Anda di halaman 1dari 22

POLITIK HUKUM ISLAM

KEWENAGAN MENGADILI MAHKAMAH SYARIYAH ACEH

(SEJARAH)
Oleh:

Dangas Siregar, S.HI, MH


NIM. 4001203022

Makalah:
Dipersentasikan Untuk Memenuhi Persyaratan Perkuliahan
Program Doktor Strata S-3 Hukum Islam

Program Studi
HUKUM ISLAM
PASCASARJANA

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

1
SEJARAH KEWENANGAN MAHKAMAH SYARIYAH

DALAM MENGADILI

PENDAHULUAN

Mahkamah Syar'iyah yang biasa disingkat MS adalah salah satu Pengadilan

Khusus yang berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari

Peradilan Agama. Mahkamah Syar'iyah terdiri dari Mahkamah Syar'iyah Provinsi dan

Mahkamah Syar'iyah (tingkat Kabupaten dan Kota). Kekuasaan dan Kewenangan

Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah kekuasaan dan

kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan

kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam

bidang ibadah dan Syariat Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Saat ini terdapat satu

Mahkamah Syar'iyah Provinsi dan 23 Mahkamah Syar'iyah di seluruh provinsi Aceh1.

Berbagai kewenangan Mahkamah Syariyah yang diberikan oleh Undang-undang

smenarik untuk di kaji. Untuk lebih memahami perubahan Hukum, penulis terlebih

dahulu melihat defenisi hukum, hukum menurut Oxford English Dictionary misalnya

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan aturan, perundang-

undangan atau kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai

suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadapnya dalam tulisan prof. Abdul

Manan S.H., S.IP., M.Hum hukum terdiri dari beberapa unsure sebagai berikut:

a. Hukum merupakan peraturan mengenai tingkah laku manusia.

b. Peraturan itu bersifat mengikat dan memaksa.

c. Peraturan itu dibuat oleh badan-badan resmi (pihak legislatif).

1
http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Syar%27iyah
d. Tujuan Hukum adalah untuk menjaga ketertiban, kedamaian dan mencapai

kebahagiaan warganya.

Dan untuk mengetahui lebih lanjut kedudukan Mahkamah Syariyah yang dikaitkan

dengan salah satu kewenangannya mengadili sengketa ekonomi syariyah penulis perlu

kiranya mengutarakan sejarah singkat berdirinya Mahkamah syariyah, dan dasar-dasar

hukum ekonomi syariyah tersebut.

a. Sejarah berdirinya mahkamah syariyah.

Menurut catatan sejarah, Aceh merupakan daerah pertama masuk dan

berkembangnya agama Islam di Indonesia. Pada zaman jayanya kerajaan Aceh

Darussalam, hukum yang berlaku adalah hukum yang bersumber dari syari’at Islam. Di

samping itu adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh juga adat istiadat yang

bersumber dan sejalan dengan hukum Islam. Oleh karena itu ada ungkapan “Hukom

ngon adat, lage zat ngon sifeut”, maksudnya hukum dengan adat seperti zat dengan

sifat Allah2, untuk lebih mengetahui perkembangan mahkamah syariyah dari setiap

masanya, penulis mengurai singkat tentang berdirinya Mahkamah Syariyah;

a.1. Masa kerajaan Islam Aceh.

Islam mulai menapak di bumi Aceh pada abad I hijriyah, kemudian menyebar ke

seluruh Nusantara, kerajaan Islam di Asia Tenggara didirikan di Aceh, tepatnya di

Peureulak Aceh timur, pada tanggal I Muharram 225H. Rajanya yang pertama adalah

Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdul Aziz syah, dengan ibu negaranya Bandar

Khafifah, hukum yang berlaku pada waktu itu adalah hukum Islam (Syari’at) versi Syi’ah,

2
Al Yasa Abubakar, Eksistensi Mahkamah Syar’iyah “Dalam Menjalankan Peradilan Syariat Di Provinsi
Aceh Darussalam”, ARJC, 2008, h . 9
hingga tahun 306H. Sejak Sultan keempat, yaitu Sultan Makhdum Alaudin Malik Abdul

Kadir Syah Jihan berdaulat, memangku jabatan (306-310H) dan seterusnya, ajaran

Syi’ah diganti dengan Ahlushunnah wal Jamaah dengan pegangan dalam pengamalan

syari’at di tetapkan mazhab Imam Syafi’i3.Lembaga Peradilan Islam pada masa kerajaan

Aceh dipegang oleh Qadhi Malikul Adil yang berkedudukan di ibu kota kerajaan, dimana

lembaga ini dapat disamakan dengan Mahkamah Agung sebagai

PeradilanTertinggiLembaga peradilan Islam pada masa kerajaan Aceh dipegang oleh

Qadhi Malikul Adil yang berkedudukan di ibu kota kerajaan, dimana lembaga ini dapat

disamakan dengan Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi. Sedangkan di

masing-masing daerah uleebalang terdapat Qadhi Uleebalang4.

a.2. Masa penjajahan Belanda.

Dalam masa penjajahan Belanda, sistem Peradilan Islam yang telah ada di Aceh

turut diubah sesuai dengan kepentingan penjajah waktu itu. Pengadilan Agama di

daerah ini waktu itu merupakan bagian dari Pengadilan Adat5. Pada daerah yang

uleebalang sebagai penguasanya, uleebalanglah sebagai ketua pengadilannya.

Sedangkan pada tingkat afdeeling atau onder afdeeling ada pengadilan yang bernama

musapat yang diketuai oleh seorang controleur (dalam bahasa Aceh disebut kontulee,

pen). Dalam lembaga ini ulee-balang dan pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.

a.3. Masa penjajahan Jepang.

Ketika Jepang berkuasa di Aceh, status Pengadilan Agama ditingkatkan kembali

berkat perjuangan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yakni dengan

3
Salim Segaf al-Jufri, dkk, Penerapan Syari’at Islam Di Indonesia Antara Peluang Dan Tantangan, h
177

4
Opcit Al Yasa Abubakar, Eksistensi Mahkamah Syar’iyah , h. 36
5
Iskandar Ritonga, Mahkamah Syariah Di Nangroe Aceh Darussalam Dalam Perundang- Undangan Dan
Qanun, Suluh Press, Padang, 2004, h 4-6
dikeluarkannya Atjeh Syu Rei (Undang-undang Daerah Aceh) Nomor 12 tanggal 15

Februari 1944 tentang Syukyo Hooin (Mahkamah Agama). Berdasarkan bunyi pasal 1

dari Undang-undang Daerah Aceh tersebut, pembentukan Mahkamah Agama ini adalah

untuk menghormati Agama Islam dan untuk menjalankan Syari`at Islam yang patut dan

sesuai di dalam daerah Aceh. Namun demikian kewenangan Mahkamah Agama ini

masih sangat terbatas pada perkara-perkara perdata tertentu saja, yakni tentang

perkara yang bersangkutan dengan urusan perkawinan dan urusan faraidh (Kewarisan)

nafkah, pembagian pusaka (kewarisan), harta waqaf, hibah, sedeqah dan baitul mal 6.

a.4. Masa kemerdekaan Republik Indonesia.

Di awal kemerdekaan Republik Indonesia keberadaan Mahkamah Syar`’iyah

(Pengadilan Agama) di Aceh selain merupakan kelanjutan dari Mahkamah Agama di

zaman Jepang, juga didasarkan pada kawat Gubernur Sumatera (Mr. Teuku.

Muhammad Hasan) bertanggal 13 Januari 1947 No. 189 dan Kawat Wakil Kepala

Jawatan Agama Provinsi Sumatera bertanggal 22 Pebruari 1947 No. 226/3/Djaps yang

berisi perintah untuk membentuk Mahkamah Syar`iyah di Aceh7. Selanjutnya pada era

otonomi khusus, Peradilan agama di Aceh memasuki sejarah baru, dengan lahirnya UU

18/2001 Tentang Otonomi Khusus. Sebab salah satu lembaga yang harus ada untuk

mendukung penegakan peradilan syariat Islam di Aceh, yakni dibentuknya Mahkamah

Syariah8. Seterusnya Mahkamah Syariah merupakan pengembangan dari peradilan

agama, dan diresmikan pada 4 Maret 2003 M/ 1 Muharram 1424 H, sesuai dengan UU

18/2001, Kepres 11/2003, dan Qanun Prov. Nanggroe Aceh Darussalam No. 10/2002.9

Sebagai wujud pengalihan, dari Pengadilan Agama ke Mahkamah Syariah, kini terdapat

6
Http://Fokus Mahkamah Syar’iyah. Com// Refleksi Perkembangan Mahkamah Syar’iyah.html

7
ibid
8
Pasal 25 ayat 1 dan ayat 2 undang-undang Nomor 18 Tahun 2001
9
Dinas Syariat Islam Peovinsi Aceh, Himpunan Undang-undang, kepres,qanun,instruksi gubernur,
berkaitan pelaksanaan Syariat Islam 2006 h. 45 dan 94
satu Mahkamah Syariah sebagai pengadilan banding di Banda Aceh, dan 20 Mahkamah

Syariah sebagai pengadilan tingkat pertama di kab/kota. Bahwa untuk memberi dasar

hukum kepada atas perubahan hukum dari Pengadilan Agama menjadi Mahkamah

Syariyah Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri, Kewenangan dan

kekuasaan pengadilan agama ini, berpedoman pada UU 7/1989 pasal 49 ayat 1, jo pasal

49 UU 3/2006, tentang perubahan terhadap UU 7/1989, meliputi pemeriksaan,

pemutusan dan penyelesaian perkara-perkara tingkat pertama bagi para pemeluk Islam,

dalam hal perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi

syar'iyah. Namun demikian Mahkamah Syariah tetap merupakan bagian dari sistem

peradilan nasional. Hal ini secara tegas telah dinyatakan dalam UU 18/2001 pasal 25

ayat (1)10. Mahkamah Syariah juga harus menganut tiga tingkat peradilan, yakni tingkat

pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung11. Dan dengan

disahkannya beberapa qanun oleh DPRA, Mahkamah Syariah di Aceh telah lebih luas

dalam melaksanakan kewajiban penetapan hukum-hukum Islam, terhadap perkara-

perkara hukum keluarga (al-akhwal al-syakhshiyah), mu'amalah (hukum perdata) serta

hukum jinayat (pidana) yang juga didukung oleh Qanun no. 11/2002 tentang

pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam.

Dari gambaran tentang keberadaan Peradilan Islam khususnya Mahkamah

Syar`iyah pada masa lalu di Aceh sebagaimana diuraikan diatas, dapat dikatakan bahwa

kehadiran Peradilan Syari`at Islam yang dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam saat ini, bukanlah hadiah dari pemerintah pusat kepada

masyarakat Aceh tetapi lebih merupakan “pengembalian hak masyarakat Aceh yang

telah pernah hilang”. Oleh karena itu kehadiran dan kiprahnya di tengah masyarakat

10
Dr. Pagar, M.Ag. Makalah : Dualisme Hukum Pidana di Nangroe Aceh Darussalam ‘Analisis Terhadap
Dampak Penerapan Hukum Islam, 2006, h 25

11
Pasal 26 ayat 1 dan ayat 2 undang-undang Nomor 18 Tahun 2001
Aceh sebagai bagian dari pelaksanaan Syari`at Islam secara Kaffah di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan keniscayaan, dan jelas kiranya kedudukan

Mahakamah Syariyah diakui secara yuridis formal dalam sistim hukum dan peradilan di

Indonesia .

b. Kewenangan Mahkamah Syariyah/Pengadilan Agama.

Sebelum lebih lanjut penulis mengurai kewenagan absolute Mahkamah syariyah,

untuk diketahui semua kewengan absolute Pengadilan Agama adalah merupakan

kewenangan absolute Mahkamah Syariyah, akan tetapi secara praktek seluruh

kewenangan absolute Mahkamah Syariyah tidak dapat menjadi kewengan absolute

Pengadilan Agama disebabkan adanya kekhususan bagi Mahkamah Syariyah

sebagaimana telah diterangkan, agar lebih jelas terlihat perbedaan keistimewaan

Mahkamah Syariyah maka kewenangan Pengadilan agama lebih dahulu dijelaskan

sebagai berikut:

b.1 kewenangan absolute Pengadilan Agama

Berdasarkan pembagian lingkungan peradilan menurut amandemen Pasal 24

ayat (2) UUD 1995 dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana

diubah dengan UU Nomor. 35 tahun 1999 dan diganti dengan Pasal 2 jo Pasal 10 ayat

(2) UU Nomor. 4 tahun 2004 terkahir di uabh dengan Pasal 25 ayat (1) sampai dengan

ayat (5) UU Nomor. 48 tahun 2009 yang berada dibawah Mahkamah Agung dilakukan

dan dilaksanakan oleh beberapa lingkungan badan Peradilan, ayat satunya berbunyi

sebagai berikut: Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi

badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,

dan peradilan tata usaha negara12.

12
Pasal 25 ayat (1) sampai dengan (5) UU Nomor. 48 tahun 2009
1. Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan13.

2. Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang

beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan14.

3. Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan15.

4. Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang

memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan16.

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasan kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara tertentu yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan

Undang Nomor 50 Tahun 200917.

Kewenangan Pengadilan Agama meliputi: memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di

bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi

syariah18. Hal mana kewenagan tersebut termaktub dalam Pasal 49 Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan

13
Penjelasan Pasal 25 ayat (1) sampai dengan (5) UU Nomor. 48 tahun 2009

14
ibid
15
ibid
16
ibid
17
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Mahkamah Agung R.I Dirjen
badilag, h.54
18
ibid
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang Nomor 50

Tahun 2009, dalam penjelasannya dijabarkan kewenagan tersebut sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau

berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan

menurut syari’ah, antara lain:

1. izin beristeri lebih dari seorang.

2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu)

tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan

pendapat.

3. dispensasi kawin.

4. pencegahan perkawinan.

5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

6. pembatalan perkawinan.

7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan isteri.

8. perceraian karena talak.

9. gugatan perceraian.

10. penyelesaian harta bersama.

11. penguasaan anak-anak.

12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang

seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya.

13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri

atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak.

15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.

16. pencabutan kekuasaan wali.

17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang

wali dicabut.
18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18

(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya.

19. pembentukan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah

kekuasaannya.

20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan

hukum Islam.

21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan

campuran.

22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang

lain19.

Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,

penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris,

dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan

atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,

penentuan bagian masing-masing ahli waris20.

Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah Perbuatan seseorang memberikan

suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku

setelah yang memberi tersebut meninggal dunia21.

Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari

seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki22.

19
Penjelasan Pasal 49 UU Nomor. 7 tahun 1989 yang diubah dengan UU Nomor. 3 tahun 2006
terakhir diubah dengan UU Nomor. 50 tahun 2009

20
ibid
21
ibid
22
ibid
Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk

memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan

selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna

keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah23.

Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan

hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk

diberikan kepada yang berhak menerimanya24.

Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan

sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,

mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang

lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala25.

Dan yang terakhir sebagai focus dalam penbahasan tesis ini adalah ekonomi

syariah yaitu perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,

Ekonomi syariah antara lain meliputi Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah,

asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat

berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah,

pegadaian syariah, dana pensiun lembaga syariah dan bisnis syariah26.

Agar Pengadilan Agama berwenang secara absolute sebagai mana

kewenagannya yang diberikan Undang-undang maka harus berlaku asas Personalitas

Keislaman, namun Asas ini tidak berlaku dan dikecualikan dalam kasus-kasus sebagai

berikut :

1. Sengketa bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama,

dimana salah satu pihak (suami atau isteri) keluar dari agama Islam.

23
ibiid
24
ibid
25
ibid
26
ibid
2. Sengketa bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam, walaupun sebagian

ahli waris non Islam.

3. Sengketa bidang Ekonomi Syariah dimana nasabahnya non Muslim.

4. Sengketa bidang wakaf walaupun para pihak atau salah satu pihak beragama non

Muslim.

5. Sengketa bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum Islam27.

Dalam semua sengketa tersebut di atas meskipun sebagian subjek hukumnya

bukan beragama Islam, tetap diselesaikan oleh Peradilan Agama.

Perubahan hukum atas azas pilihan hukum yang diterpkan sebelumnya tidak

berlaku lagi, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka

pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa waris Islam sudah tidak berlaku lagi,

sengketa hak milik hanya terjadi bila objek sengketa atau sebagian objek sengketa milik

pihak ketiga yang beragama selain Islam. Jika dalam kasus yang diperiksa oleh

Pengadilan Agama terdapat objek sengketa atau sebagian objek sengketa terdapat

sengketa hak milik, Pengadilan Agama harus memeriksa ada tidaknya bukti kepemilikan

tersebut akan tetapi tidak berwenang menilai sah tidaknya bukti hak milik tersebut, dan

Pengadilan Agama harus menyatakan gugatan atas objek sengketa atau sebagian

objek sengketa tersebut tidak dapat diterima, jika terbukti pihak ketiga yang tidak

beragama Islam tersebut memiliki bukti kepemilikan. Jika bukti atas hak milik tersebut

atas dasar hibah, wasiat, wakaf dan tansaksitransaksi syari’ah, Pengadilan Agama

berwenang untuk menilai sah tidaknya alat bukti hak milik tersebut serta membatalkan

alas hak milik tersebut28, jika bertentangan dengan hukum dan ketertiban umum.

Dasar Hukum.

- Pasal 24 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 beserta amandemennya.

27
Opcit Buku II, h.59
28
Ibid, h.60
- Pasal 10 ayat (2) jo. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman.

- Pasal 2, 3 dan 3 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 dan terkahir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 200929.

b.1 kewenangan absolute Mahkamah Syariyah

Pasal 25 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 (Undang-undang

Nomor 11 tahun 2006 pasal 128 ayat (3)) memberikan kewenangan kepada Mahkamah

Syar’iyah atas dasar Syari’at Islam melalui Qanun Propinsi. Atas dasar kewengan

tersebut telah ditetapkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at

Islam30.

Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan

menyelesaikan perkara yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Peradilan Agama dan perkara bidang ahwalusy alsyakhsiyah (hukum keluarga),

muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam

yang diatur dalam Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 serta Qanun Nomor 11 Tahun

200231

Pemberian wewenang untuk membuat ketentuan pelaksanaan Undang-undang

Nomor 18 tahun 2001, terdapat dalam beberapa pasal, termasuk pasal 25 ayat (2) yang

mengatur kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Disamping itu terdapat ketentuan yang

29
Ibid,h.54
30
Opcit Dinas Syariat Islam Peovinsi Aceh, Himpunan Undang-undang, kepres,qanun,instruksi gubernur,
h. 45 dan 94
31
Opcit Buku II, h. 56
lebih tegas dalam pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2001, bahwa

ketentuan pelaksanaan Undang-undang ini yang menyangkut kewenangan pemerintah

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Propinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. Untuk itu telah disahkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang

Peradilan Syari’at Islam32.

Pasal 49 Qanun Nomor 10 tahun 2002 menentukan Mahkamah Syar’iyah

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara

pada tingkat pertama, dalam bidang:

a. Ahwal al-syakhshiyah;

b. Mu’amalah; dan

c. Jinayah

Lebih lanjut dalam pasal 50 ayat (1) ditentukan kewenangan Mahkamah

Syar’iyah Propinsi untuk memeriksa, dan memutuskan perkara yang menjadi

kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam tingkat banding.

Apa yang diatur pada pasal 25 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 joncto

pasal 49 Qanun Nomor 10 tahun 2002, adalah merupakan ketentuan khusus yang

mengatur tentang kewenangan Peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan

perkara, bagi orang Islam yang berada diwilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Ketentuan tersebut mengenyampingkan ketentuan pasal 50 Undang-undang Nomor 2

tahun 1986 tentqng Peradilan Umum yang menentukan “ Pengadilan Negeri bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara

perdata pada tingkat pertama”. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 44 tahun

1999 dan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 maka kewenangan memeriksa,

32
Opcit Dinas Syariat Islam Peovinsi Aceh, Himpunan Undang-undang, kepres,qanun,instruksi gubernur,
h. 45 dan 94
memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata (sepanjang telah

diatur dalam Qanun) bagi orang Islam menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

Bahwa Undang-undang Nomor 44 tahun 1999, Undang-undang Nomor 18 tahun

2001 dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 adalah merupakan produk nasional

dan menempati posisi sebagai Undang-undang Khusus. Pemberlakuan Undang-undang

Khusus mengenyampingkan ketentuan Undang-undang lainnya yang mengatur hal

yang sama. Hal ini disamping telah menjadi teori ilmu hukum, juga dengan tegas

dikatakan dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 bahwa “semua

peraturan perundang-undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan Undang-

undang ini, dinyatakan tetap berlaku di Propinsi Aceh”. Penafsiran a Contrario atau

mafhum mukhalafah mengatakan, semua peraturan perundang-undangan lain menjadi

tidak berlaku, dalam hal telah terdapat pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 18

tahun 2001. pengertian ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang diperintahkan atau diberi wewenang oleh Undang-undang tersebut,

seperti Qanun Nomor 10 tahun 2002.

Untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di masa depan Mahkamah

Syar’iyah sebagai peradilan Islam mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya

pelaksanaan Syari’at Islam secara kaffah. Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-

sungguh atau Jihad dari segala komponen masyarakat di Nanggroe ini, terutama upaya

yang terus menerus meningkatkan SDM, profesionalitas, integritas dan kualitas

ketaqwaan dari insan-insan yang terlibat langsung maupun tidak terlibat langsung

didalamnya.

Kewenangan dalam Jinayah


Sebagaimana tersebut dalam penjelasan pasal 49 Qanun No.10 tahun 2002 tentang

Peradilan Syari’at Islam, yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang Jinayah

adalah sebagai berikut :

1. Hudud yang meliputi, Zina, Menuduh orang berzina (Qadhaf), Minuman keras

dan Napza, Murtad, Pemberontakan (Buqhaat), Qishash yang meliputi,

Pembunuhan dan penganiayaan33

2. Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan

pelanggaran Syari’at selain hudud dan Qishash/diat seperti: Judi, Khalwat,

meninggalkan shalat fardhu dan puasa ramadhan34.

Melihat kewenangan yang diberikan oleh qanun tersebut, berarti keseluruhan pidana

atau jinayah menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah khusus dalam bidang jinayah,

maka lahirlah beberapa qanun yang menjadi hukum formil dan hukum material antara

lain:

1. Qanun No.11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, ibadah

dan Syiar Islam.

2. Qanun No.12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya.

3. Qanun No.13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).

4. Qanun No.14 tahun 2003 tentang khalwat (Mesum)35.

Dan yang paling terakhir dan yang ditunggu banyak kalangan adalah lahirnya hukum

acara yang selama ini menjadi batu sandungan penegakan syariat Islam diaceh dengan

lahirnya Qanun Aceh No.7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, yang sangat

33
Ibid,h.
34
ibid
35
ibid
menarik untuk dikaji, dan penulis mempersilakan penulis lainnya untuk lebih mendalami

hal tersebut.

Selanjutnya juga yang paling terakhir dan yang ditunggu banyak kalangan meski

menjadi perdebatan panjang dikalangan penggiat Hak Azasi Manuasia adalah lahirnya

hukum Materil jinayat yang juga menjadi batu sandungan penegakan syariat Islam

diaceh dengan lahirnya Qanun Aceh No.6 tahun 2014 tentang Hukum Materil Jinayat

kiranya sandungan penegakan syariat Islam di Aceh menjadi keniscayaan,.

Dalam bab penutup Qanun Aceh No.6 tahun 2014 dinyatakan Pada saat

qanun ini mulai berlaku maka:

a. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar

dan Sejenisnya (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun

2003 Nomor 25 Seri D Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam Nomor 28)36.

b. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir

(Perjudian) (LembaranDaerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003

Nomor 26Seri D Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 29)37.

c. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat

(Mesum) (Lembaran DaerahProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003

Nomor 27Seri D Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 30), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dan Qanun ini mulai

berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan, Agar Setiap Orang mengetahuinya,

memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran

36
Qanun Aceh No.6 tahun 2014
37
ibid
Aceh. Ditetapkan dan diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 22-23 Oktober

2014 M bertepatan dengan 27 Dzulhijjah 1435 oleh GUBERNUR ACEH, ZAINI

ABDULLAH (Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 7).38

Adapun kewenangan absolut Mahkamah Syariyah menurut Qanun Aceh No.6

tahun 2014 tentang Hukum Materil Jinayat adalah:

1. Khamar adalah minuman yang memabukkan dan/atau mengandung alkohol dengan

kadar 2% (dua persen) atau lebih.

2. Maisir adalah perbuatan yang mengandung unsur taruhan dan/atau unsur untung-

untungan yang dilakukan antara 2 (dua) pihak atau lebih, disertai kesepakatan

bahwa pihak yang menang akan mendapat bayaran/keuntungan tertentu dari pihak

yang kalah baik secara langsung atau tidak langsung

3. Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2

(dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan Mahram dan tanpa ikatan

perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengarah pada perbuatan

Zina

4. Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan,

berpelukan dan berciuman antara lakilaki dan perempuan yang bukan suami istri

dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup atau terbuka

5. Zina adalah persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang

perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak

6. Pelecehan Seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatan cabul yang sengaja

dilakukan seseorang di depan umum atau terhadap orang lain sebagai korban baik

laki-laki maupun perempuan tanpa kerelaan korban.

7. Liwath adalah perbuatan seorang laki-laki dengan cara memasukkan zakarnya

kedalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah pihak.

38
ibid
8. Musahaqah adalah perbuatan dua orang wanita atau lebih dengan cara saling

menggosok-gosokkan anggota tubuh atau faraj untuk memperoleh rangsangan

(kenikmatan) seksual dengan kerelaan kedua belah pihak.

9. Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain

sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku

atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut

korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman

terhadap korban.

10. Qadzaf adalah menuduh seseorang melakukan Zina tanpa dapat mengajukan paling

kurang 4 (empat) orang saksi.

PENUTUP
Kajian tentang politik Hukum Islam pada kewenangan Mahkamah

syariyah di Aceh merupakan manifestasi kemauan tinggi dari masayakat

Aceh yang telah di perjuangkan sangat lama sekali. gambaran tentang

keberadaan Peradilan Islam khususnya Mahkamah Syar`iyah pada masa lalu di Aceh

sebagaimana diuraikan diatas, dapat dikatakan bahwa kehadiran Peradilan Syari`at

Islam yang dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

saat ini, bukanlah hadiah dari pemerintah pusat kepada masyarakat Aceh tetapi lebih

merupakan “pengembalian hak masyarakat Aceh yang telah pernah hilang”. Oleh

karena itu kehadiran dan kiprahnya di tengah masyarakat Aceh sebagai bagian dari

pelaksanaan Syari`at Islam secara Kaffah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

merupakan keniscayaan, dan jelas kiranya kedudukan Mahakamah Syariyah diakui

secara yuridis formal dalam sistim hukum dan peradilan di Indonesia .


DAFTAR PUSTAKA

- Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009.

- Asikin, Zainal, 1992, Beberapa Yurisprudensi yang Penting serta Hubungannya

dengan Hukum Acara Perdata, Edisi II, Mahkamah Agung RI, Jakarta.

- Mahkamah Agung RI, 2009, Yurisprudensi Indonesia, PT Pilar Juri Ultima, Jakarta.

- Hasbi, tahun 2010, desertasi Filsafat Hermeneutika Sebagai Metode Penemuan

Hukum Yurisprudensi Relevansinya bagi Pengembangan Hukum Indonesia,

Yogyakarta.

- Hasbi, tesis tahun 2009 Kompetensi Peradilan Agama Dalam Perkara Ekonomi

Syariah ,.

- Nur Fadhil Lubis, tahun 2007 “Peluang dan Tantangan Peradilan Agama dalam

Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006,

Medan.

- Syaifuddin, 2007 ”Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah,”

- Tarigan, Azhari Akmal, 2007 Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia: Studi tentang

Persentuhan Hukum & Ekonomi Islam, Bandung: Cita Pustaka Media.

- Mukti Arto, Makalah 2006 “Peluang dan Tantangan Praktisi Hukum Terhadap

Perluasan Kewenangan Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989” Yogyakarta.

- Tim Peneliti,2003 Prinsip-prinsip Hukum Islam (Fiqh), (Jakarta: Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Bank Indonesia).

- Adiwarman A Karim, “Choice of Forum Perbankan Syariah”, www.mui.or.id.

- Ediwarman, 2014 revisi, Monograf Metode Penelitian Hukum Medan Panduan

penulisan tesis dan desertasi.


- Hasbi, 2006 Kompetensi Peradilan Agama Dalam Perkara Ekonomi Syariah, diambil

dari makalah Syamsuhadi Irsyad disampaikan dalam Pertemuan Ditjen Badilag MA

RI dengan Hakim Agung Tim Uldilag, KPTA se-Indonesia, dan Wakil Warga MA,

Jakarta.

- BUKU II, tahun 2013 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan

Agama , Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan

Agama.

- Harahap Latif Rusydi Azhari, tahun 2010 “Pengaruh Promosi Dan Pelayanan

Terhadap Keputusan Menabung Di Bank Muamalat Cabang Medan”, Medan.

- Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009.

- Asikin, Zainal, 1992, Beberapa Yurisprudensi yang Penting serta Hubungannya

dengan Hukum Acara Perdata, Edisi II, Mahkamah Agung RI, Jakarta.

- Mahkamah Agung RI, 2009, Yurisprudensi Indonesia, PT Pilar Juri Ultima, Jakarta.

- Hasbi, tahun 2010, desertasi Filsafat Hermeneutika Sebagai Metode Penemuan

Hukum Yurisprudensi Relevansinya bagi Pengembangan Hukum Indonesia,

Yogyakarta.

- Mukti Arto, Makalah 2006 “Peluang dan Tantangan Praktisi Hukum Terhadap

Perluasan Kewenangan Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989” Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai