(SEJARAH)
Oleh:
Makalah:
Dipersentasikan Untuk Memenuhi Persyaratan Perkuliahan
Program Doktor Strata S-3 Hukum Islam
Program Studi
HUKUM ISLAM
PASCASARJANA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
1
SEJARAH KEWENANGAN MAHKAMAH SYARIYAH
DALAM MENGADILI
PENDAHULUAN
Khusus yang berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari
Peradilan Agama. Mahkamah Syar'iyah terdiri dari Mahkamah Syar'iyah Provinsi dan
kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam
bidang ibadah dan Syariat Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Saat ini terdapat satu
smenarik untuk di kaji. Untuk lebih memahami perubahan Hukum, penulis terlebih
dahulu melihat defenisi hukum, hukum menurut Oxford English Dictionary misalnya
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan aturan, perundang-
undangan atau kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai
suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadapnya dalam tulisan prof. Abdul
Manan S.H., S.IP., M.Hum hukum terdiri dari beberapa unsure sebagai berikut:
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Syar%27iyah
d. Tujuan Hukum adalah untuk menjaga ketertiban, kedamaian dan mencapai
kebahagiaan warganya.
Dan untuk mengetahui lebih lanjut kedudukan Mahkamah Syariyah yang dikaitkan
dengan salah satu kewenangannya mengadili sengketa ekonomi syariyah penulis perlu
Darussalam, hukum yang berlaku adalah hukum yang bersumber dari syari’at Islam. Di
samping itu adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh juga adat istiadat yang
bersumber dan sejalan dengan hukum Islam. Oleh karena itu ada ungkapan “Hukom
ngon adat, lage zat ngon sifeut”, maksudnya hukum dengan adat seperti zat dengan
sifat Allah2, untuk lebih mengetahui perkembangan mahkamah syariyah dari setiap
Islam mulai menapak di bumi Aceh pada abad I hijriyah, kemudian menyebar ke
Peureulak Aceh timur, pada tanggal I Muharram 225H. Rajanya yang pertama adalah
Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdul Aziz syah, dengan ibu negaranya Bandar
Khafifah, hukum yang berlaku pada waktu itu adalah hukum Islam (Syari’at) versi Syi’ah,
2
Al Yasa Abubakar, Eksistensi Mahkamah Syar’iyah “Dalam Menjalankan Peradilan Syariat Di Provinsi
Aceh Darussalam”, ARJC, 2008, h . 9
hingga tahun 306H. Sejak Sultan keempat, yaitu Sultan Makhdum Alaudin Malik Abdul
Kadir Syah Jihan berdaulat, memangku jabatan (306-310H) dan seterusnya, ajaran
Syi’ah diganti dengan Ahlushunnah wal Jamaah dengan pegangan dalam pengamalan
syari’at di tetapkan mazhab Imam Syafi’i3.Lembaga Peradilan Islam pada masa kerajaan
Aceh dipegang oleh Qadhi Malikul Adil yang berkedudukan di ibu kota kerajaan, dimana
Qadhi Malikul Adil yang berkedudukan di ibu kota kerajaan, dimana lembaga ini dapat
Dalam masa penjajahan Belanda, sistem Peradilan Islam yang telah ada di Aceh
turut diubah sesuai dengan kepentingan penjajah waktu itu. Pengadilan Agama di
daerah ini waktu itu merupakan bagian dari Pengadilan Adat5. Pada daerah yang
Sedangkan pada tingkat afdeeling atau onder afdeeling ada pengadilan yang bernama
musapat yang diketuai oleh seorang controleur (dalam bahasa Aceh disebut kontulee,
pen). Dalam lembaga ini ulee-balang dan pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.
3
Salim Segaf al-Jufri, dkk, Penerapan Syari’at Islam Di Indonesia Antara Peluang Dan Tantangan, h
177
4
Opcit Al Yasa Abubakar, Eksistensi Mahkamah Syar’iyah , h. 36
5
Iskandar Ritonga, Mahkamah Syariah Di Nangroe Aceh Darussalam Dalam Perundang- Undangan Dan
Qanun, Suluh Press, Padang, 2004, h 4-6
dikeluarkannya Atjeh Syu Rei (Undang-undang Daerah Aceh) Nomor 12 tanggal 15
Februari 1944 tentang Syukyo Hooin (Mahkamah Agama). Berdasarkan bunyi pasal 1
dari Undang-undang Daerah Aceh tersebut, pembentukan Mahkamah Agama ini adalah
untuk menghormati Agama Islam dan untuk menjalankan Syari`at Islam yang patut dan
sesuai di dalam daerah Aceh. Namun demikian kewenangan Mahkamah Agama ini
masih sangat terbatas pada perkara-perkara perdata tertentu saja, yakni tentang
perkara yang bersangkutan dengan urusan perkawinan dan urusan faraidh (Kewarisan)
nafkah, pembagian pusaka (kewarisan), harta waqaf, hibah, sedeqah dan baitul mal 6.
zaman Jepang, juga didasarkan pada kawat Gubernur Sumatera (Mr. Teuku.
Muhammad Hasan) bertanggal 13 Januari 1947 No. 189 dan Kawat Wakil Kepala
Jawatan Agama Provinsi Sumatera bertanggal 22 Pebruari 1947 No. 226/3/Djaps yang
berisi perintah untuk membentuk Mahkamah Syar`iyah di Aceh7. Selanjutnya pada era
otonomi khusus, Peradilan agama di Aceh memasuki sejarah baru, dengan lahirnya UU
18/2001 Tentang Otonomi Khusus. Sebab salah satu lembaga yang harus ada untuk
agama, dan diresmikan pada 4 Maret 2003 M/ 1 Muharram 1424 H, sesuai dengan UU
18/2001, Kepres 11/2003, dan Qanun Prov. Nanggroe Aceh Darussalam No. 10/2002.9
Sebagai wujud pengalihan, dari Pengadilan Agama ke Mahkamah Syariah, kini terdapat
6
Http://Fokus Mahkamah Syar’iyah. Com// Refleksi Perkembangan Mahkamah Syar’iyah.html
7
ibid
8
Pasal 25 ayat 1 dan ayat 2 undang-undang Nomor 18 Tahun 2001
9
Dinas Syariat Islam Peovinsi Aceh, Himpunan Undang-undang, kepres,qanun,instruksi gubernur,
berkaitan pelaksanaan Syariat Islam 2006 h. 45 dan 94
satu Mahkamah Syariah sebagai pengadilan banding di Banda Aceh, dan 20 Mahkamah
Syariah sebagai pengadilan tingkat pertama di kab/kota. Bahwa untuk memberi dasar
hukum kepada atas perubahan hukum dari Pengadilan Agama menjadi Mahkamah
kekuasaan pengadilan agama ini, berpedoman pada UU 7/1989 pasal 49 ayat 1, jo pasal
pemutusan dan penyelesaian perkara-perkara tingkat pertama bagi para pemeluk Islam,
dalam hal perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syar'iyah. Namun demikian Mahkamah Syariah tetap merupakan bagian dari sistem
peradilan nasional. Hal ini secara tegas telah dinyatakan dalam UU 18/2001 pasal 25
ayat (1)10. Mahkamah Syariah juga harus menganut tiga tingkat peradilan, yakni tingkat
pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung11. Dan dengan
disahkannya beberapa qanun oleh DPRA, Mahkamah Syariah di Aceh telah lebih luas
hukum jinayat (pidana) yang juga didukung oleh Qanun no. 11/2002 tentang
Syar`iyah pada masa lalu di Aceh sebagaimana diuraikan diatas, dapat dikatakan bahwa
kehadiran Peradilan Syari`at Islam yang dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam saat ini, bukanlah hadiah dari pemerintah pusat kepada
masyarakat Aceh tetapi lebih merupakan “pengembalian hak masyarakat Aceh yang
telah pernah hilang”. Oleh karena itu kehadiran dan kiprahnya di tengah masyarakat
10
Dr. Pagar, M.Ag. Makalah : Dualisme Hukum Pidana di Nangroe Aceh Darussalam ‘Analisis Terhadap
Dampak Penerapan Hukum Islam, 2006, h 25
11
Pasal 26 ayat 1 dan ayat 2 undang-undang Nomor 18 Tahun 2001
Aceh sebagai bagian dari pelaksanaan Syari`at Islam secara Kaffah di Provinsi
Mahakamah Syariyah diakui secara yuridis formal dalam sistim hukum dan peradilan di
Indonesia .
sebagai berikut:
ayat (2) UUD 1995 dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana
diubah dengan UU Nomor. 35 tahun 1999 dan diganti dengan Pasal 2 jo Pasal 10 ayat
(2) UU Nomor. 4 tahun 2004 terkahir di uabh dengan Pasal 25 ayat (1) sampai dengan
ayat (5) UU Nomor. 48 tahun 2009 yang berada dibawah Mahkamah Agung dilakukan
dan dilaksanakan oleh beberapa lingkungan badan Peradilan, ayat satunya berbunyi
sebagai berikut: Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
12
Pasal 25 ayat (1) sampai dengan (5) UU Nomor. 48 tahun 2009
1. Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan13.
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan15.
4. Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara tertentu yang diatur
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
13
Penjelasan Pasal 25 ayat (1) sampai dengan (5) UU Nomor. 48 tahun 2009
14
ibid
15
ibid
16
ibid
17
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Mahkamah Agung R.I Dirjen
badilag, h.54
18
ibid
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang Nomor 50
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat.
3. dispensasi kawin.
4. pencegahan perkawinan.
6. pembatalan perkawinan.
9. gugatan perceraian.
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang
wali dicabut.
18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
19. pembentukan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya.
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam.
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran.
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain19.
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki22.
19
Penjelasan Pasal 49 UU Nomor. 7 tahun 1989 yang diubah dengan UU Nomor. 3 tahun 2006
terakhir diubah dengan UU Nomor. 50 tahun 2009
20
ibid
21
ibid
22
ibid
Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk
sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
Dan yang terakhir sebagai focus dalam penbahasan tesis ini adalah ekonomi
syariah yaitu perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,
Ekonomi syariah antara lain meliputi Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah,
asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat
Keislaman, namun Asas ini tidak berlaku dan dikecualikan dalam kasus-kasus sebagai
berikut :
dimana salah satu pihak (suami atau isteri) keluar dari agama Islam.
23
ibiid
24
ibid
25
ibid
26
ibid
2. Sengketa bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam, walaupun sebagian
4. Sengketa bidang wakaf walaupun para pihak atau salah satu pihak beragama non
Muslim.
5. Sengketa bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum Islam27.
Perubahan hukum atas azas pilihan hukum yang diterpkan sebelumnya tidak
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka
pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa waris Islam sudah tidak berlaku lagi,
sengketa hak milik hanya terjadi bila objek sengketa atau sebagian objek sengketa milik
pihak ketiga yang beragama selain Islam. Jika dalam kasus yang diperiksa oleh
Pengadilan Agama terdapat objek sengketa atau sebagian objek sengketa terdapat
sengketa hak milik, Pengadilan Agama harus memeriksa ada tidaknya bukti kepemilikan
tersebut akan tetapi tidak berwenang menilai sah tidaknya bukti hak milik tersebut, dan
Pengadilan Agama harus menyatakan gugatan atas objek sengketa atau sebagian
objek sengketa tersebut tidak dapat diterima, jika terbukti pihak ketiga yang tidak
beragama Islam tersebut memiliki bukti kepemilikan. Jika bukti atas hak milik tersebut
atas dasar hibah, wasiat, wakaf dan tansaksitransaksi syari’ah, Pengadilan Agama
berwenang untuk menilai sah tidaknya alat bukti hak milik tersebut serta membatalkan
alas hak milik tersebut28, jika bertentangan dengan hukum dan ketertiban umum.
Dasar Hukum.
- Pasal 24 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 beserta amandemennya.
27
Opcit Buku II, h.59
28
Ibid, h.60
- Pasal 10 ayat (2) jo. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Nomor 11 tahun 2006 pasal 128 ayat (3)) memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Syar’iyah atas dasar Syari’at Islam melalui Qanun Propinsi. Atas dasar kewengan
tersebut telah ditetapkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at
Islam30.
1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama dan perkara bidang ahwalusy alsyakhsiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam
yang diatur dalam Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 serta Qanun Nomor 11 Tahun
200231
Nomor 18 tahun 2001, terdapat dalam beberapa pasal, termasuk pasal 25 ayat (2) yang
29
Ibid,h.54
30
Opcit Dinas Syariat Islam Peovinsi Aceh, Himpunan Undang-undang, kepres,qanun,instruksi gubernur,
h. 45 dan 94
31
Opcit Buku II, h. 56
lebih tegas dalam pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2001, bahwa
Aceh Darussalam. Untuk itu telah disahkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang
a. Ahwal al-syakhshiyah;
b. Mu’amalah; dan
c. Jinayah
Apa yang diatur pada pasal 25 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 joncto
pasal 49 Qanun Nomor 10 tahun 2002, adalah merupakan ketentuan khusus yang
perkara, bagi orang Islam yang berada diwilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
tahun 1986 tentqng Peradilan Umum yang menentukan “ Pengadilan Negeri bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara
32
Opcit Dinas Syariat Islam Peovinsi Aceh, Himpunan Undang-undang, kepres,qanun,instruksi gubernur,
h. 45 dan 94
memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata (sepanjang telah
diatur dalam Qanun) bagi orang Islam menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
2001 dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 adalah merupakan produk nasional
yang sama. Hal ini disamping telah menjadi teori ilmu hukum, juga dengan tegas
undang ini, dinyatakan tetap berlaku di Propinsi Aceh”. Penafsiran a Contrario atau
tidak berlaku, dalam hal telah terdapat pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 18
tahun 2001. pengertian ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-
Syar’iyah sebagai peradilan Islam mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya
pelaksanaan Syari’at Islam secara kaffah. Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-
sungguh atau Jihad dari segala komponen masyarakat di Nanggroe ini, terutama upaya
ketaqwaan dari insan-insan yang terlibat langsung maupun tidak terlibat langsung
didalamnya.
Peradilan Syari’at Islam, yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang Jinayah
1. Hudud yang meliputi, Zina, Menuduh orang berzina (Qadhaf), Minuman keras
Melihat kewenangan yang diberikan oleh qanun tersebut, berarti keseluruhan pidana
atau jinayah menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah khusus dalam bidang jinayah,
maka lahirlah beberapa qanun yang menjadi hukum formil dan hukum material antara
lain:
1. Qanun No.11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, ibadah
Dan yang paling terakhir dan yang ditunggu banyak kalangan adalah lahirnya hukum
acara yang selama ini menjadi batu sandungan penegakan syariat Islam diaceh dengan
lahirnya Qanun Aceh No.7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, yang sangat
33
Ibid,h.
34
ibid
35
ibid
menarik untuk dikaji, dan penulis mempersilakan penulis lainnya untuk lebih mendalami
hal tersebut.
Selanjutnya juga yang paling terakhir dan yang ditunggu banyak kalangan meski
menjadi perdebatan panjang dikalangan penggiat Hak Azasi Manuasia adalah lahirnya
hukum Materil jinayat yang juga menjadi batu sandungan penegakan syariat Islam
diaceh dengan lahirnya Qanun Aceh No.6 tahun 2014 tentang Hukum Materil Jinayat
Dalam bab penutup Qanun Aceh No.6 tahun 2014 dinyatakan Pada saat
a. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar
2003 Nomor 25 Seri D Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
b. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir
Nomor 26Seri D Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
c. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat
Nomor 27Seri D Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 30), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dan Qanun ini mulai
36
Qanun Aceh No.6 tahun 2014
37
ibid
Aceh. Ditetapkan dan diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 22-23 Oktober
2. Maisir adalah perbuatan yang mengandung unsur taruhan dan/atau unsur untung-
untungan yang dilakukan antara 2 (dua) pihak atau lebih, disertai kesepakatan
bahwa pihak yang menang akan mendapat bayaran/keuntungan tertentu dari pihak
3. Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2
(dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan Mahram dan tanpa ikatan
perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengarah pada perbuatan
Zina
berpelukan dan berciuman antara lakilaki dan perempuan yang bukan suami istri
dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup atau terbuka
5. Zina adalah persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang
perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak
6. Pelecehan Seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatan cabul yang sengaja
dilakukan seseorang di depan umum atau terhadap orang lain sebagai korban baik
kedalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah pihak.
38
ibid
8. Musahaqah adalah perbuatan dua orang wanita atau lebih dengan cara saling
9. Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain
sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku
atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut
korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman
terhadap korban.
10. Qadzaf adalah menuduh seseorang melakukan Zina tanpa dapat mengajukan paling
PENUTUP
Kajian tentang politik Hukum Islam pada kewenangan Mahkamah
keberadaan Peradilan Islam khususnya Mahkamah Syar`iyah pada masa lalu di Aceh
Islam yang dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
saat ini, bukanlah hadiah dari pemerintah pusat kepada masyarakat Aceh tetapi lebih
merupakan “pengembalian hak masyarakat Aceh yang telah pernah hilang”. Oleh
karena itu kehadiran dan kiprahnya di tengah masyarakat Aceh sebagai bagian dari
dengan Hukum Acara Perdata, Edisi II, Mahkamah Agung RI, Jakarta.
- Mahkamah Agung RI, 2009, Yurisprudensi Indonesia, PT Pilar Juri Ultima, Jakarta.
Yogyakarta.
- Hasbi, tesis tahun 2009 Kompetensi Peradilan Agama Dalam Perkara Ekonomi
Syariah ,.
- Nur Fadhil Lubis, tahun 2007 “Peluang dan Tantangan Peradilan Agama dalam
Medan.
- Tarigan, Azhari Akmal, 2007 Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia: Studi tentang
- Mukti Arto, Makalah 2006 “Peluang dan Tantangan Praktisi Hukum Terhadap
- Tim Peneliti,2003 Prinsip-prinsip Hukum Islam (Fiqh), (Jakarta: Fakultas Syariah dan
RI dengan Hakim Agung Tim Uldilag, KPTA se-Indonesia, dan Wakil Warga MA,
Jakarta.
- BUKU II, tahun 2013 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama.
- Harahap Latif Rusydi Azhari, tahun 2010 “Pengaruh Promosi Dan Pelayanan
dengan Hukum Acara Perdata, Edisi II, Mahkamah Agung RI, Jakarta.
- Mahkamah Agung RI, 2009, Yurisprudensi Indonesia, PT Pilar Juri Ultima, Jakarta.
Yogyakarta.
- Mukti Arto, Makalah 2006 “Peluang dan Tantangan Praktisi Hukum Terhadap