Anda di halaman 1dari 112

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN KASUS PASIEN


DEFISIT PERAWATAN DIRI (DPD) DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR
SURABAYA

Oleh
BISMA ADITIYA PUTRA
1120021017

Dosen Pembimbing
NUR HIDAAYAH.,S.Kep.,Ns.,M.Kes
NPP. 0307738

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. KONSEP DEFISIT PERAWATAN DIRI
1. PENGERTIAN
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan melakukan aktifitas perawatan
diri (mandi, berhias, makan serta toileting) kegiatan itu harus bisa dilakukan secara
mandiri (Herman, 2011).
Defisit perawatan diri adalah situasi seseorang yang mengalami kelemahan dalam
kemampuan melakukan hal untuk melengkapi aktifitas perawatan diri secara mandiri
(Nita, 20019).
Defisit perawatan diri adalah kemampuan dasar yang dimiliki manusia dalam
melengkapi kebutuhannya dalam kelangsungan hidupnya sesuai kondisi kesehatannya.
(Damaiyanti dan Iskandar, 2012).
Pewatan diri adalah salah satu kemampuan manusia dalam memenuhi kebutuhannya
sehari-hari guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan
kondisi kesehatannya, klien bisa dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak
dapat melakukan perawatan diri sendiri (Depkes, 2000 dalam Direja, 2011)
Jenis-jenis defisit perawatan diri menurut nanda 2017 terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri: Mandi
b. Defisit perawatan diri : Perawatan Ganti Pakaian
Menurut Yosep (2011) bahwa defisit perawatan diri ialah:
a. Defisit perawatan diri: Makan dan Minum
b. Defisit perawatan diri: Eliminasi
2. ETIOLOGI
Menurut Keliat (2007), masalah kurang perawatan diri meliputi penyebab antara lain:
Faktor Predisposisi meliputi Perkembangan, Biologis, Kemampuan realitas turun, Sosial.
Faktor Prespitasi menurut Herman (2011) ialah Penurunan motivasi, kerusakan kognisi
serta cemas,lelah yang dialami klien sehingga kurang perawatan diri.
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000). Penyebab kurang perawatan diri adalah
sebagai berikut:
1. Faktor Prediposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri
c. Kemampuan realistis turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realistis yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk keperawatan diri
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan keperawatan diri lingkungannya. Situsi
lingkungan mempengaruhi latihan termasuk keperawatan diri
2. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasideficit keperawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakankognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebakan individu kurang mampun melakukan
perawatan diri.
Menurut Departen Kesehatan (DEPKES), 20015 faktor-faktor yang mempengaruhi
personal hygiene adalah:
1. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri,
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
2. Praktik sosial
Pada anak anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan personal gygiene
3. Ststus sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan.Misalnya pada pasien penderita diabetes melitus.Ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya
Sebagian manyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
6. Kebiasaan seseorang
Adsa kebiasaan seseorang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, shampoo ,dll.
7. Kondisi fisik atau psikis.
Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya.
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering
terjadi adalah : gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut,
infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga
diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial.
c. JENIS-JENIS DEFISIT PERAWATAN DIRI
Menurut Nurjannah (2004, dalam Dermawan (2013) Jenis-jenis defisit perawatan diri
terdiri dari:
a. Kurang Perawatan Diri : Mandi dan Kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas mandi dan kebersihan diri.
b. Kurang Perawatan Diri : Mengenakan pakaian dan berhias
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai
pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
c. Kurang Perawatan Diri : Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan
aktivitas makan.
d. Kurang Perawatan Diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan. (Azizah, 2016)
d. TANDA DAN GEJALA
Menurut Fitria (2009) tanda dan gejala adalah sebagai berikut: Mandi
(ketidakmampuan membersihkan badan,mengeringkan). Berpakaian (Ketidakmampuan
melepas,mengambil pakaian). Menurut Herman (2011)tanda gejala defisit perawatan diri
ialah: Makan (Ketidakmampuan mengunyah ,menelan, mengambil makan). Eliminas
(ketidakmampuan duduk,berdiri,menyiram jamban).
Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013) tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri adalah :
a. Fisik
1. Badan bau, pakaian kotor.
2. Rambut dan kulit kotor.
3. Kuku panjang dan kotor.
4. Gigi kotor disertai mulut bau.
5. Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis
1. Malas, tidak ada inisiatif.
2. Menarik diri, isolasi diri.
3. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1. Interaksi kurang.
2. Kegiataan kurang.
3. Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
4. Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembaraang tempat, gosok gigi dan
mandi tidak mampu mandiri
.Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :
a. Data subyektif
1. Pasien merasa lemah.
2. Malas untuk beraktivitas.
3. Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
1. Rambut kotor, acak-acakan.
2. Bdan dan pakaian kotor dan bau.
3. Mulut dan gigi bau.
4. Kulit kusam dan kotor.
5. Kuku panjang dan tidak terawat. (Azizah, 2016)
4. MEKANISME KOPING
1. regresi
2. penyangkalan
3. Isolasi diri, menarik diri
4. intelektualisasi
6. Rentang Respon Kognitif
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat meraeat diri
adalah
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a. Bina hubungan saling percaya
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri
a. Bantu klien merawat diri.
b. Ajarkan keterampilan secara bertahap.
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari.
3. Cipatakan lingkungan yang mendukung.
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya, kamar mandi
yang dekat dan tertutup. (Azizah, 2016)
7. Pohon Masalah
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri

Isolasi Sosial

Defisit perawatan diri : mandi, toileting, makan, berhias.


(Azizah, 2016)
8. Diagnosa keperawatan
Menurut Depkes (2000) diagnose keperawatan yang muncul pada pasien defisit
perawatan diri sesuai dengan bagan pohon masalah yaitu
1. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
2. Defisit perawatan diri
3. Isolasi sosial. (Azizah, 2016)
9. Fokus Intervensi
Diagnose keperawatan: penurunan kemampuan dan motivasi kemampuan diri
Tujuan umum.
Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk memperhatikan kebersihan diri.

Tujuan Khusus
TUK 1 : klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat. Kliteria evalusi
dalam berinteraksi klien menunjukan tanada-tanda percaya pada perawat :
a. Wajah cerah dan tersenyum
b. Mau berkenalan
c. Ada kontak mata
d. Menerima kehadiran perawat
e. Bersedia menceritakan perasaan perawat
Intervensi
a. Berikan salam setiap berinteraksi
b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan
c. Tanyakan nama dan panggilan kesukaan klien
d. Tujunkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi
e. Tanyakan perasaan masalah yang di hadapi klien
f. Buat kontrak interaksi yang jelas
g. Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati
h. Penuhi kebutuhan klien.
TUK II : klien dapat mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.
Tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan untuk pasien kurang keperawatan diri juga ditujukan untuk
keluarga sehingga keluarga mampu mengarahkan pasien dalam melakukan perawatan
diri.
1. Tindakan keperawatan untuk pasien
a. Tujuan.
1. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2. Pasien mampu melakukan berhias/ berdandan secara baik
3. Pasien mampu melakukan makan dengan baik.
4. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri.
2. Tindakan keperawatan.
Melatih pasien cara cara keperawatan kebersihan diri untuk melatih pasien dalam
menjaga kebersiha diri saudara dapat melakukan tahapan tindakan yang melipuiti:
1. Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri.
2. Menjelaskan alat alat untuk menjaga kebersihan diri.
3. Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
4. Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.
Kriteria evaluasi
Klien dapat menyebutkan kebersihan diri pada waktu 2x pertemuan, mampu
menyebutkan kembali kebersihan untuk kesehatan seperti manjaga penyakit dan klien
dapat meningkatkan cara merawat diri.
Intervensi
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip indikasi terapeutik.
b. Diskusikan Bersama klien pentingnya bersihan diri dengan cara menjelaskan
pengertian tentang bersih dan tanda tanda klien.
c. Dorong klien untuk menyebutkan 3 dari 5 tanda kebersihan.
d. Mendiskusikan fungsi kebersihan diri dengan menggali pengetahuan klien
terhadap hal yang berhubungan dengan kebersihan diri.
e. Bantu klien mengungkapkan arti kebersihan diri dan tujuan memelihara
kebersihan diri.
f. Beri reinforcement positif setelah klien mampu mengungkapkan arti kebersihan
diri.
g. Ingatkan klien untuk untuk memelihara kesehatan diri seperti : mandi 2x pagi
dan sore, sikat gigi minimal 2x sehari (sesudah makan dan sebelum tidur),
keramas dan menyisir rambut, gunting kuku jika Panjang.
TUK III
Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Kriteria evaluasi
Klien berusaha untuk memelihara kebersihan diri seperti mandi pakai sabun
dan disiram air sampai bersih, mengaganti pakaian bersih sehari-hari, dan
merapapikan penampilan.
Intervensi
a. Motivasi klien untuk mandi
b. Beri kesempatan untuk mandi, berikan kesempatan klien untuk
mendemonstrasikan cara memelihara kebersihan diri yang benar
c. Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari
d. Kaji keinginan klien untuk mememotong kuku dan merapikan rambut
e. Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas oerawatan
kebersihan diri, seperti mandi dan membersihkan kamar mandi
f. Bekerja sama dengan keluarga untuk mengadakan fasilas kebersihan diri seperti
odol, sikat gigi, shampoo, pakaian ganti, handuk dan sandal
TUK IV :klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri
Kriteria evaluasi
Setelah 1 minggu klien dapat melakuakan perawatan kebersihan diri secara rutin dan
teratur tanpa anjuran, seperti mandi pagi dan sore, ganti baju setiap, hari penampilan
bersih dan rapi.
Intervensi
Monitor klien dalam melakukan kebersihan diri, ingatkan untuk mencuci ramput,
menyisir, gosok gigi, dan ganti baju pakai sandal
TUK V :klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri
Kriteria evaluasi
Klien tampak bersih dan rapi
Intervensi
Beri reinforcement positif ketika berhasil melakukan kebersihan diri.
TUK VI :klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kenberdihan diri.
Kriteria evaluasi
Keluarga selalu mengingatkan hal hal yang berhubungan dengan kebersihan diri,
keluaga menyiapkan sarana untuk membatu klien dalam menjaga kebersihan diri, dan
keluarga membantu dan membimbing klien dalam menjaga kebersihan diri.
Intervensi
a. Jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga kebersihan
diri.
b. Diskusikan Bersama keluarga tentang tindakan yang telah dilakukan klien selama di
RS dalam menjaga kebersihan dan kemajuan yang telah dialamai di RS.
c. Anjurkan keluarga untuk memutuskan memberi stimulasi terhadap kemajuan yang
telah dialami di RS.
d. Jelaskan pada keluarga tentang manfaat sarana yang lengkap dalam menjaga
kebersihan diri klien
e. Anjurkan keluarga untuk menyiapkan sarana dalam menjaga kebersihan diri.
f. Diskusikan Bersama keluarga cara membantu klien dalam menjaga kebersihan diri.
g. Diskusikan dengan keluarga mengenai hal yang dilakukan misalnya: mengingatkan
pada waktu mandi, sikat gigi, mandi, keramas, dll. (Azizah, 2016)
B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
1. Pengkajian Keperawatan
b. Identitas
Biasanya identitas terdiri dari: nama klien, umur, jenis kelamin, alamat, agama,
pekerjaan, tanggal masuk, alasan masuk, nomor rekam medik, keluarga yang dapat
dihubungi.
b. Alasan Masuk
Biasanya apa yang menyebabkan pasien atau keluarga datang, atau dirawat
dirumah sakit. Biasanya masalah yang di alami pasien yaitu senang menyendiri, tidak
mau banyak berbicara dengan orang lain, terlihat murung, penampilan acak-acakan,
tidak peduli dengan diri sendiri dan mulai mengganggu orang lain.
c. Faktor Predisposisi.
Pada pasien yang mengalami defisit perawatan diri ditemukan adanya faktor
herediter mengalami gangguan jiwa, adanyapenyakit fisik dan mental yang diderita
pasien sehingga menyebabkan pasien tidak mampu melakukan perawatan diri.
Ditemukan adanya faktor perkembangan dimana keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan pasien sehingga perkembangan inisiatif terganggu, menurunnya
kemampuan realitas sehingga menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri serta didapatkan kurangnya dukungan dan situasi lingkungan
yang mempengaruhi kemampuan dalam perawatan diri.
d. Pemeriksaan Fisik
Biasanya pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tandatanda vital (TTV),
pemeriksaan secara keseluruhan tubuh yaitu pemeriksaan head to toe yang biasanya
penampilan klien yang kotor dan acak-acakan.
e. Psikososial
1. Genogram
Biasanya menggambarkan pasien dengan anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan
dan pola asuh.
2. Konsep diri
a. Citra tubuh
Biasanya persepsi pasien tentang tubuhnya, bagian tubuh yang disukai,
reaksi pasien terhadap bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai.
b. Identitas diri
Biasanya dikaji status dan posisi pasien sebelum pasien dirawat,
kepuasan pasien terhadap status dan posisinya, kepuasan pasien sebagai laki-laki
atau perempuan , keunikan yang dimiliki sesuai dengan jenis kelamin dan
posisinnya.
c. Peran diri
Biasanya meliputi tugas atau peran pasien dalam keluarga/pekerjaan/
kelompok/ masyarakat, kemampuan pasien dalam melaksanakan fungsi atau
perannya, perubahan yang terjadi saat pasien sakit dan dirawat, bagaimana
perasaan pasien akibat perubahan tersebut.
d. Ideal diri
Biasanya berisi harapan pasien terhadap kedaan tubuh yang ideal,
posisi, tugas, peran dalam keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan pasien
terhadap lingkungan sekitar, serta harapan pasien terhadap penyakitnya
e. Harga diri
Biasanya mengkaji tentang hubungan pasien dengan orang lain sesuai
dengan kondisi, dampak pada pasien berubungan dengan orang lain, fungsi
peran tidak sesuai harapan, penilaian pasien terhadap pandangan atau
penghargaan orang lain.
f. Hubungan sosial
Biasanya hubungan pasien dengan orang lain sangat terganggu karena
penampilan pasien yang kotor sehingga orang sekitar menghindari pasien.
Adanya hambatan dalam behubungan dengan orang lain, minat berinteraksi
dengan orang lain.
g. spiritual
1. Nilai dan keyakinan
Biasanya nilai dan keyakinan terhadap agama pasien terganggu karna
tidak menghirauan lagi dirinya.
2. Kegiatan ibadah
Biasanya kegiatan ibadah pasien tidak dilakukan ketika pasien menglami
gangguan jiwa.
h. Status mental
1. Penampilan
Biasanya penampilan pasien sangat tidak rapi, tidak tahu cara berpakaian,
dan penggunaan pakaian tidak sesuai.
2. Cara bicara/ pembicaraan
cara bicara pasien lambat, gagap, sering terhenti/bloking,
apatisserta tidak mampu memulai pembicaraan.
3. Aktivitas motoric
Biasanya klien tampak lesu, gelisah, tremor dan kompulsif.
4. Alam perasaan
Biasanya keadaan pasien tampak sedih, putus asa, merasa tidak
berdaya, rendah diri dan merasa dihina.
5. Afek
Biasanya afek pasien tampak datar, tumpul, emosi pasien
berubah-ubah, kesepian, apatis, depresi/sedih dan cemas.
6. Interaksi selama wawancara
Biasanya respon pasien saat wawancara tidak kooperatif, mudah
tersinggung, kontak kurang serta curiga yang menunjukan sikap atau
peran tidak percaya kepada pewawancara atau orang lain.
7. Persepsi
Biasanya pasien berhalusinasi tentang ketakutan terhadap hal-hal
kebersihan diri baik halusinasi pendengaran, penglihatan serta halusinasi
perabaan yang membuat pasien tidak mau membersihkan diri dan pasien
mengalami depersonalisasi.
8. Proses piker
Biasanya bentuk pikir pasien otistik, dereistik, sirkumtansial,
kadang tangensial, kehilangan asosiasi,pembicaraan meloncat dari topik
satu ke topik lainnya dan kadang pembicaraan berhenti tiba-tiba.
i. Kebutuhan pasien pulang
1. Makan
Biasanya pasien kurang makan, cara makan pasien terganggu serta
pasien tidak memiliki kemampuan menyiapkan dan membersihkan alat
makan.
2. Berpakaian
Biasanya pasien tidak mau mengganti pakaian, tidak bisa
menggunakan pakaian yang sesuai dan tidak bisa berdandan.
3. Mandi
Biasanya pasien jarang mandi, tidak tahu cara mandi, tidak gosok
gigi, tidak mencuci rambut, tidak menggunting kuku, tubuh pasien tampak
kusam dan badan pasien mengeluarkan aroma bau.
4. BAB/BAK
Biasanya pasien BAB/BAK tidak pada tempatnya seperti di
tempat tidur dan pasien tidak bisa membersihkan WC setelah BAB/BAK.
5. Istirahat
Biasanya istirahat pasien terganggu dan tidak melakukan aktivitas
apapun setelah bangun tidur.
6. Penggunaan obat
Apabila pasien mendapat obat, biasanya pasien minum obat tidak
teratur.
7. Aktivitas dalam rumah
Biasanya pasien tidak mampu melakukan semua aktivitas di
dalam maupun diluar rumah karena pasien selalu merasa malas.
j. Mekanisme koping
1. Adaptif
Biasanya pasien tidak mau berbicara dengan orang lain, tidak bisa
menyelesikan masalah yang ada, pasien tidak mampu berolahraga karena
pasien selalu malas.
2. Maladaptif
Biasanya pasien bereaksi sangat lambat atau kadang berlebihan,
pasien tidak mau bekerja sama sekali, selalu menghindari orang lain.
3. Masalah psikososial dan lingkungan
Biasanya pasien mengalami masalah psikososial seperti berinteraksi
dengan orang lain dan lingkungan. Biasanya disebabkan oleh kurangnya
dukungan dari keluarga, pendidikan yang kurang, masalah dengan sosial
ekonomi dan pelayanan kesehatan.
4. Pengetahuan
Biasanya pasien defisit perawatan diri terkadang mengalami
gangguan kognitif sehingga tidak mampu mengambil keputusan.
k. Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping
dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas
dengan menggunakan sumber koping yang ada di lingkungannya. Sumber
koping tersebut dijadikan sebagai modal untuk menyelesaikan masalah.
2.Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan defisit
perawatan diri menurut Fitria (2012), adalah sebagai berikut:
a. Defisit perawatan diri
b. Harga diri rendah
c. Isolasi sosial
3.INTERVENSI KEPERAWATAN
Perencanaan
Diagnosa
Tujuan
Keperawatan Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
(TUK/TUM)
Defisit TUM : Pasien menunjukkan Bina Hubungan Saling Percaya Kepercayaan dari pasien
perawatan diri: Pasien dapat tanda-tanda dapat dengan prinsip berkomunikasi merupakan hal yang akan
Kebersihan diri, memelihara atau membina hubungan terapeutik, yaitu : memudah perawat dalam
berdandan, merawat kebersihan saling percaya dengan 1.1 Sapa pasien dengan ramah melakukan pendekatan
makan, sendiri secara perawat, yaitu : baik verbal maupun keperawatan atau intervensi
BAK/BAB mandiri 1. Ekspresi wajah nonverbal selanjutnya terhadap pasien.
bersahabat 1.2 Perkenalkan diri dengan
TUK 1 : 2. Pasien menunjukkan sopan
Pasien dapat rasa senang 1.3 Tanyakan nama lengkap
membina hubungan 3. Pasien bersedia pasien dan nama panggilan
saling percaya berjabat tangan 1.4 Jelaskan tujuan pertemuan
4. Pasien bersedia 1.5 Jujur dan menepati janji
menyebutkan nama 1.6 Tunjukkan sikap empati
5. Ada kontak mata dan menerima pasien apa
6. Pasien bersedia duduk adanya
berdampingan dengan 1.7 Beri perhatian pada
perawat pemenuhan kebutuhan
7. Pasien bersedia dasar pasien
mengutarakan masalah
yang dihadapinya
TUK 2 : Kriteria evaluasi : Melatih pasien cara-cara Pengetahuan tentang
Pasien mampu Pasien dengan aman perawatan diri dengan cara : pentingnya perawatan diri
melakukan melakukan (kemampuan 2.1 Menjelaskan pentingnya dapat meningkatkan
kebersihan diri maksimum) aktivitas kebersihan diri motivasi pasien
secara mandiri perawatan diri secara 2.2 Menjelaskan alat-alat untuk
mandiri menjaga kebersihan diri Menyiapkan untuk
2.3 Menjelaskan cara-cara meningkatkan kemandirian
melakukan kebersihan diri
2.4 Melatih pasien Bimbingan perawat akan
mempraktikan cara menjaga mempermudah pasien
kebersihan diri melakukan perawatan diri
secara mandiri
TUK 3 : Kriteria evaluasi : 3.1 Melatih pasien berdandan, Membiasakan diri untuk
Pasien mampu Pasien dengan aman dengan rincian : melakukan perawatan diri
melakukan tindakan melakukan (kemampuan a. Untuk pasien laki-laki, sendiri
perawatan, berupa maksimum) atau latihan meliputi :
berhias atau mempertahankan berpakaian, menyikat
berdandan secara aktivitas perawatan diri rambut, bercukur
baik berupa berhias dan b. Untuk pasien wanita,
berdandan. Pasien latihan meliputi :
berusaha untuk berpakaian, menyisir
memelihara kebersihan rambut, berhias
diri, seperti mandi pakai 3.2 Memantau kemampuan
sabun dan disiram pasien dalam berpakaian
dengan air sampai bersih, dan berhias
mengganti pakaian bersih 3.3 Memonitor atau
sehari-hari, dan mengidentifikasi adanya
merapikan penampilan kemunduran sensori,
kognitif, dan psikomotor
yang menyebabkan pasien
mempunyai kesulitan dalam
berpakaian dan berhias
3.4 Diskusikan dengan pasien
kemungkinan adanya
hambatan dalam berpakaian
dan berhias
3.5 Menggunakan komunikasi /
intruksi yang mudah
dimengerti pasien untuk
mengakomodasi
keterbatasan kognitif pasien
TUK 4 : Kriteria evaluasi : 4.1 Memantau kemampuan Identifikasi mengenai
Pasien mampu Kebutuhan personl pasien makan penyebab pasien tidak mau
melakukan kegiatan hygiene pasien terpenuhi. 4.2 Identifikasi Bersama pasien makan menentukan
makan dengan baik Pasien mampu faktor-faktor penyebab intervensi perawat
melakukan kegiatan pasien tidak mau makan selanjutnya.
makan secara mandiri 4.3 Identifikasi adanya
dan tepat dengan hambatan makan Pengetahuan tentang
mengungkapkan a. Fisik : kelemahan, pentingnya perawatan diri
kepuasan makan isolasi, keterbatasan meningkatkan motivasi.
extremitas, dll
b. Emosi : depresi, Pasien mungkin kesulitan
penurunan nafsu makan dalam mempersiapkan,
c. Intelektual : curiga mengambil makanan
d. Sosial : curiga sendiri, dan merapikan
e. Spiritual : adanya peralatan.
waham
4.4 Diskusikan dengan pasien Menambah wawasan pasien
akibat kurang / tidak mau tentang personal hygiene :
makan makan
4.5 Diskusikan dengan pasien
fungsi makanan bagi Penguatan (reinforcement)
kesehatan dapat meningkatkan
4.6 Menjelaskan cara motivasi pasien.
mempersiapkan makan
kepada pasien
4.7 Menjelaskan tentang
personal hygiene tentang
pola makan
TUK 5 : Kriteria evaluasi : 5.1 Mengkaji budaya pasien Mengetahui kebiasaan
Mampu melakukan Pasien dapat ketika mempromosikan pasien dalam toileting dapat
BAK/BAB secara melaksanakan perawatan aktivitas perawatan diri membantu perawat
mandiri diri secara mandiri dalam 5.2 Bantu pasien ke toilet melakukan intervensi
hal BAB/BAK seperti : 5.3 Berikan pengetahuan selanjutnya.
a. Mampu duduk dan tentang personal hygiene
turun dari toilet dalam kaitannya dengan Hambatan mobilitas
b. Mampu toileting menyebabkan tidak mampu
membersihkan diri 5.4 Menjelaskan tempat melakukan perawatan diri
setelah eleminasi BAB/BAK yang sesuai secara mandiri.
secara 5.5 Menjelaskan cara
mandiri/dibantu membersihkan diri setelah Mengetahui pentingnya
BAB/BAK personal hygiene bagi
5.6 Menjelaskan cara pasien.
membersihkn tempat
BAB/BAK Memberikan kesempatan
kepada keluarga untuk
membantu pasien.
TUK 6 : Kriteria evaluasi : 6.1 Diskusikan dengan keluarga Memberikan kesempatan
Keluarga mampu Keluarga dapat tentang fasilitas kebersihan kepada keluarga untuk
merawat anggota mengetahui defisit diri yang dibutuhkan oleh membantu pasien dan
keluarganya yang perawatan diri pasien dan pasien untuk menjaga memberi motivasi.
mengalami masalah cara memberikan perawatan diri pasien
kurang perawatan dukungan dalam 6.2 Anjurkan keluarga untuk Keluarga sebagai system
diri memberikan pada pasien terlibat dalam merawat diri pendukung berperan
dalam melakukan pasien dan membantu penting dalam membantu
perawatan diri. mengingatkan pasien dalam pasien.
merawat diri (sesuai dengan
yang disepakati)
6.3 Anjurkan keluarga untuk
memberikan pujian atas
keberhasilan pasien dalam
merawat diri
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan.Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh
pasien saat ini. Semua tindakan yang telah dilaksanakan beserta respons pasien
didokumentasikan (Prabowo, 2014)
5. EVALUASI
Menurut Direja (2011), evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai
efek dari tindakan keperawatan kepada pasien. Evaluasi dapat dibagi dua yaitu: Evaluasi
proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil
tau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respons pasien dan tujuan
khusus serta umum yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP, sebagai berikut :
a. S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dapat di ukur dengan menanyakan kepada pasien langsung.
b. O : Respon objektif pasien terhadap tinddakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku pasien pada saat
tindakan dilakukan.
c. A : Analisis ulang atas data subjektif data subjektif dan objektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada
data yang kontradiksi dengan masalah yang ada .
d. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon pasien
yang terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindakan lanjut oleh perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Nasir, Muhit. (2015) Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar Dan Teori.Jakarta :
Salemba Medika.
Ambarwati, F.R.,Nasution, N. (2012). Buku pintar asuhan keperawatan kesehatan
jiwa. Yogyakarta: Cakrawala Ilmu.
Azizah, L M, dkk. 2016.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik
Klinik. Yogyakarta : Indonesia Pustaka
Dermawan, Deden dan Rusdi. 2013. Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyan Publishing.
Gloria Bulecheck, Howard Butcher, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification
(NIC).Singapore : Elsevier Global Rights.
Nur Laili, Desy. 2014. Pengaruh Aktivitas Mandiri: Personal Hygiene Terhadap
Kemandirian Pasien Defisit Perawatan Diri Pada Pasien Gangguan Jiwa.
Semarang :Jurnal Keperawatan dan Kebidanan
Pinedendi, Novita dkk. 2016. Pengaruh Penerapan Asuhan Keperawatan Defisit Perawatan
Diri Terhadap Kemandirian Personal Hygiene Pada Pasien Di Rsj. Prof. V. L.
Ratumbuysang Manado Tahun 2016. Manado : e-Journal Keperawatan (e-Kp)
Volume 4 Nomor 2
Sue Moorhead, Marion Johnson, dkk. 2016. Nursing Outcome Classification
(NOC).Singapore : Elsevier Global Rights.
Susanti, Herni. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Defisit
Perawatan. Depok : Jurnal Keperawatan Indonesia
Sutejo. 2017. Keperawatan Jiwa Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa :
Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Yusuf, AH, dkk. 2015. Buku Ajar Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN PASIEN
RESIKO BUNUH DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

Oleh
BISMA ADITIYA PUTRA
1120021017

Dosen Pembimbing
NUR HIDAAYAH.,S.Kep.,Ns.,M.Kes
NPP. 0307738

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Resiko Bunuh Diri
1. Definisi
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat membantah
kehidupan.Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari individu untuk
memecahkan masalah yang berhasil.Risiko membunuh diri dapat diartikan sebagai risiko
individu untuk terlukaidiri sendiri, mencederai diri, serta mengancam jiwa. (Nanda,
2012)
Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena pasien berada dalam
keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif.Situasi gawat pada
bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik
atau percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri.Oleh karena itu,
diperlukan pengetahuan dan keterampilan perawat yang tinggi dalam merawat pasien
dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien tidak melakukan tindakan bunuh diri.
(Yusuf, 2015)
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan.Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan
karena stres yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam
mengatasi masalah. (Damaiyanti,2012)
Percobaan bunuh diri adalah upaya tindakan mandiriyang diambil oleh
seseorang yang akan menyebabkan kematian jika tidak dihentikan. Semua ancaman dan
upaya bunuh diri harus dianggap serius, kewaspadaan di perlukan ketika seseorang
berencana atau mencoba metode yang sangat mematikan, seperti tembakan,
menggantung, atau melompat.Metode yang kurang mematikan diantaranya adalah
overdosis karbon monoksida dan obat, yang memberikan waktu untuk diselamatkan
setelah aksi bunuh diri dimulai. (Stuart, 2016)
2. Etiologi
Berdasarkan 3 sebab dibutuhkan sebagai berikut:
1. Genetika dan teori biologi
Faktor genetik yang dapat mempengaruhi hasil langsung sesuai dengan
kebutuhannya. Disamping itu adalah penurunan serotonin yang dapat
menyebabkan depresi yangberkontribusi pada risiko bunuh diri.
2. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi bunuh diri dalam 3 kategori yaitu: Egoistik (orang
yang tidak terintegrasi pada kelompok sosial), atruistik (melakukan bunuh diri
untuk kesejahteraan masyarakat) dan anomik (bunuh diri terkait dengan orang lain
dan beradaptası dengan stressor)
3. Teori psikologi
Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini apa yang menyebabkan diri
merupakan hasil dari kemarahan yang diarahkan pada dirisendiri.
Penyebab masing-masing golongan usia:
1. Pada anak
a. Pelarian dari penganiayaan atau pemerkosaan,
b. situasi keluarga yang terganggu
c. Perasaan tidak disayang atau selaia dikritik
d. Gagal sekolah
e. Takut atau dihina di sekolah
f. Kehilangan crang yang dicintai
g. Di hukum orang lain
2. Pada remaja
a. Hubungan interpersonal yang tidak bermakna.
b. Sulit mempertahankan hubungan interpersonal.
c. Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan
d. Perasaan tidak di mengerti orang lain.
e. Kehilangan orang yang dicintai.
f. Keadaan fisik.
g. Masalah dengan orang tua.
h. Masalah seksual.

3. Pada dewasa
a. Selt-ideal terlalu tinggi.
b. Cemas akan tugas akademik yang banyak.
c. Kegagalan akademik
d. Kehilangan penghargaan dan kasih saying orang tua.
e. Kompetisi untuk sukses.
4. Pada usia lanjut
a. Perubahan status dari mandiri ketergantungan.
b. Penyakit yang murunkan kemampuan berfungsi.
c. Perasaan yang tidak berarti di masyarakat.
d. Kesepian dan isolasi social.
e. Kehilangan ganda (seperti kesahatan, pekerjaan, pasangan.)
f. Sumber hidup berkurang.
Berdasarkan proses terjadinya sebagai berikut :
1) Faktor Predisposisi
a. Diagnosis Psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa.Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri
adalah gangguan efektif, penyalagunaan zat, dan skizofreni.
b. Sifat kepribadian
Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan dan bahkan
perceraian.Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam menciptakan
intervensi yang terapiutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab
maslah, respon seorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-
lain.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh
diri.

e. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonim,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui
rekaman gelombang otak Electro enchepalo graph (EEG).
2) Faktor presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan
yang dialami oleh individu.Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktur lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat
atau membaca melalui medaia mengenai orang yang melakukan bunuh diri
ataupun percobaan bunu diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan.
a. Perilaku koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini
secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri.Perilaku
bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor sosial maupun
budaya.Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih mampu
menoleransi stres dan menurunkan angka bunuh diri.
b. Mekanisme koping
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression dan megical thinking. Mekanisme pertahanan
diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping
alternatif.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari resiko bunuh diri adalah :
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
d. Inpulsif.
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g. Verbal terselubung ( berbicara tentang kematian, menayakan tentang obat dosis
mematikan)
h. Status emosional ( harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah dan
mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental( secara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi, psikosis dan
menyalagunakan narkoba).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier).
l. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
m. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
n. Pekerjaan.
o. Konflik interpersonal.
p. Latar belakang keluarga.
q. Orientasi seksual.
r. Sumber-sumber personal.
(Muhajir, 2016)
4. Rentang Respon Protektif Diri
Respon adaptif Respon maladaptif

Peningkatan Pengambilan Perilaku destruktif pencederaan bunuh diri resiko yang


meningkatkan langsung pertumbuhan
Keterangan :
a) Peningkatan diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar terhadap
situasional yang membutuhkan pertahanan diri.Sebagai contoh seseorang
mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap
pimpinan ditempat kerjanya.
b) Berisiko destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku destruktif atau
menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan
diri,seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak
loyal terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
c) Destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat terhadap situasi yang
membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan
pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi tidak
masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
d) Pencederaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri akibat hilangnya
harapan terhadap situasi yang ada (putus asa)
e) Bunuh diri
Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya hilang.
f) Respons adaptif
Merupakan respon atau masalah yang masih dapat ditoleransi atau masih dapat di
selesaikan oleh kita sendiri dalam batas yang normal.
g) Respons maladatif
Merupakan respon yang diberikan individu dalam menyelesaikan masalahnya
menyimpang dari norma-norma dan kebudayaan suatu tempat atau dengan kata lain diluar
batas individu tersebut.
5. Tahapan Resiko Bunuh Diri
a. Suicide Ideation
Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah metode yang
digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan
mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu
menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikir:n tentang keinginan untuk mati
b. Suicide intent
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang konkrit
untuk melakukan bunuh diri 3.
c. Suicide threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keirginan dan hasrat yang dalam,
bahkan ancaman untuk mengakiniri hidupnya.
d. Suicide gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada
percobaan untuk melakukan bunuh diri.Tindakan yang dilakukan pada fase ini pada
umumnya karena individu memahami ambivalen antara mati dan hidup dan tidak
berencana untuk mati.Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di
selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental.Tahap ini sering di
namakan. "Crying for help" sebab individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak
mampu di selesaikan.
e. Suicide attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu ingin
mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan .walaupun
demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.
f. Suicide
Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri .hal ini telah didahului oleh
beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya.30% orang yang berhasil melakukan
bunuhdiri adalah orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya.
6. Klasifikasi Resiko Bunuh Diri
a. Jenis Bunuh Diri
1) Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2) Bunuh diri altruistic
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3) Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
b. Pengelompokan Bunuh Diri
1) Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin
bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak karena saya akan
pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.”Pada kondisi ini pasien
mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, tetapi tidak disertai dengan
ancaman dan percobaan bunuh diri.Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti
rasabersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan hal-
hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
2) Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, yang berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat
untuk melaksanakan rencana tersebut.Secara aktif pasien telah memikirkan rencana
bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.Walaupun dalam kondisi
ini pasien belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus
dilakukan.Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan
rencana bunuh dirinya.

3) Percobaan bunuh diri


Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai diri
untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencoba bunuh diri
dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri
dari tempat yang tinggi.
7. Pohon Masalah

Bunuh diri

Risiko mencederai diri sendiri, orang


lain dan lingkungan

Resiko bunuh diri

Harga diri rendah kronis

B. Asuhan Keperawatan Secara Teori


1. Pengkajian
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, diagnosa medis, Pendidikan dan pekerjaan.
b. Keluhan utama dan alasan masuk
Apa yang menyebabkan klien dan keluarga dating atau dirawat di rumah sakit,
biasanya berupa sikap percobaan bunuh diri, komunikasi dengan keluarga
kurang, tidak mampu berkonsentrasi, merasa gagal, merasa tidak berguna dan
merasa tidak yakin melangsungkan hidup.
c. Faktor predisposisi
Menanyakan apakah keluarga mengalami gangguan jiwa, bagaimana hasil
pengobatan sebelumnya, apakah pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan criminal.Menanyakan kepada klien dan keluarga apakah
ada yang mengalami gangguan jiwa, menanyakan kepada klien tentang
pengalaman yang tidak menyenangkan.
d. Aspek fisik atau biologis
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan tanyakan apakah
ada keluhan fisik yang dirasakan klien .apakah ada bekas percobaan bunuh diri
pada leher, pergelangan tangan maupun dibagian tubuh lainnya. Pasien biasanya
mengeluh sakit pada dirinya, pusing ataupun tidak dapat melakukan aktifitas
seperti biasanya.Pasien mengeluh bahwa dirinya sudah tidak mampu
beraktivitas.
e. Aspek psikososial
1. Genogram
a) Menggambarkan klien dengan keluarga, dilihat dari pola komunikasi,
pengambilan keputusan dan pola asuh.
b) Konsep diri
c) Gambaran diri
Pasien merasa tidak ada yang ia sukai agi dari dirinya, ada bagian tubuh
pasien yang mengalami penurunan fungsi sehingga pasien tidak bisa
menerima keadaan tubuhnya.

d) Identitas diri
Pasien berstatus sudah menikah ataupun belum, merasa tidak puas dengan
status ataupun pekerjaannya sedang dapat mempengaruhi hibungan social
dengan orang lain.
2. Peran diri
Klien dengan resiko bunuh diri merasa tidak mampu melaksanakan tugas atau
peranannya baik dalam keluarga, pekerjaan atau dalam kelompok masyarakat.
3. Ideal diri
Pasien merasakan kesedihan dan keputusasaan yang sangat mendalam tidak
ada harapan lagi dengan masalah yang menimpanya.
4. Harga diri
Pasien mengatakan hal yang negative tentang dirinya yang menunjukan harga
diri yang rendah, selalu berfikiran negative kepada orang lain bahwa dirinya
tidak lagi dihargai dan dianggap.
f. Hubungan sosial
Pasien dengan resiko bunuh diri cenderung ada gangguan dalam berhubungan
dengan prang lain, mereka tidak dapat berhubungan dengan orang lain, tidak
dapat berperan dikelompok masyarakat sering mengeluh atau curhat ke orang
lain yang dipercayai bahwa ia ingin mengakhiri hidupnya.
g. Status mental
Penampilan pasien tidak rapi, acak-acakan, malas untuk membersikan tubuh,
rambut, kuku.
h. Pembicaraan nya lesu dan topik yang dibicarakan tentang kematian dan
penyesalan hidup.
i. Aktivitas motoric klien lebih mengarah untuk mengakhiri hidupnya missal
membenturkan kepalanya, melukai badannya.
j. Efek dan emosi : perasaan sedih, rasa tidak berguna, gagal, kehilangan,merasa
berdosa, putus asa.
k. Interaksi selama wawancara: kontak kurang, tidak mau menatap lawan bicara.
Pasien tidak kooperatif, tidak mau mendengarkan pendapat atau saran.
l. Persepsi sensori : adanya halusinasi pendengaran yang menyeluruhnya
mengakhiri hidupnya.
m. Tingkat kesadaran : bingung, seseorang yang ingin melakukan bunuh diri
merasa dirinya bingung karena adanya kejadian-kejadian negative dalam
hidupnya.
n. Memori: ingatan yang keliru dan dimanifestasikan dengan pembicaraan tidak
sesuai dengan kenyataan dengan memasukkan cerita yang tidak benar untuk
menutupi daya ingatannya. Perilaku bunuh diri biasanya bercerita yang tidak
sesuai dengan kenyataan.
o. Tingkat konsentrasi dan berhitung
1) Mudah berahli : perhatian perilaku bunuh diri mudah berganti dari satu
objek ke objek lain
2) Tidak mampu berkonsentrasi : perilaku bunuh diri tidak mampu untuk
berkonsentrasi dengan baik. Selalu meminta agar pertanyaan diulang atau
tidak dapat menjelaskan kembali pembicaraan.
3) Tidak mampu berhitung: perilaku bunuh diri tidak dapat melakukan
penambahan atau pengurangan pada benda-benda.
p. Kemampuan penilaian
1) Gangguan kemampuan penilaian ringan : dapat mengambil keputusan yang
sederhana dengan bantuan orang lain.
2) Gangguan kemampuan penilaian bermakna : tidak mampu mengambil
keputusan ealaupun dibantu orang lain.

3) Kebutuhan persiapan pulang


4) Mekanisme koping
5) Masalah psikososial dan lingkungan : Pasien mendapat perilaku yang tidak
wajar dari lingkungan seperti pasien diajak dan direndahkan karena pasien
menderita gangguan jiwa.
6) Pengetahuan : Kurang pengetahuan dalam hal mencari bantuan,factor
predisposisi, koping mekanisme dan system pendukung dan system
pendukung dan obat-obatan sehingga penyakit semakin berat.
7) Aspek medic
2. Diagnosa keperawatan
a. Risiko bunuh diri
b. Harga diri rendah kronis

3. Intervensi
Fokus pertama dari rencana asuhan keperawatan untuk orang dengan perilaku
mencederai diri sendiri harus fokus ada melindungi klien dari bahaya.Selain itu,
rencana tersebut harus mengatasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku
klien yang berbahaya.Perawat selanjutnya dapat berfokus pada pengembangan
penghayatan pada perilaku bunuh diri dan mengganti mekanisme koping yang
sehat.Klien bunuh diri dapat ditritmen pada berbagai tatanan.Keputusan tentang
tatanan yang paling sesuai untuk klien diberikan berdasarkan pada pengkajian risiko.
(Struat, 2016).
Walaupun kesadaran akan bunuh diri sangat besar, namun keberhasilan upaya
pencegahan, dan efektivitas tindakan, dalam mentritmen perilaku bunuh diri masih
terbatas. Individu yang datang ke unit gawat darurat setelah percobaan bunuh diri
sangat sulit untuk patuh terhadap untuk ditritmen, mencapai 50% menolak rawat
jalan, dan 60% putus obat setelah satu kali kunjungan (Struat, 2016).
Keterlibatan dalam tritmen sangat penting, tetapi sering diabaikan.Wawancara
motivasi dapat meningkatkan keterlibatan klien yang mencoba bunuh diri.Tindakan
singkat dapat digunakan di unit gawat darurat.Perawatan lanjutan adalah aspek yang
diabaikan dalam perawatan yang dapat membantu mengurangi perilaku bunuh diri.
Faktor lain yang penting dalam menentukan tritmen adalah penilaian klien. Apa pun
penilaian klien dan pengambilan keputusan rasional klien akan meningkatkan risiko
percobaan bunuh diri dan merupakan indikasi yang baik untuk rawat inap. Masalah
terakhir adalah ketersediaan anggota keluarga yang bertanggung jawab atau teman
dekat yang bersedia untuk tinggal dengan klien selama fase krisis sampai keinginan
bunuh diri mereda.Kadang - kadang hal ini memerlukan beberapa anggota keluarga
bergantian menemani dan mengobservasi klien setiap saat.Dalam analisis akhir,
keselamatan klien adalah prioritas utama. (Struat, 2016)
DIAGNOSA PERENCANAAN
KEPERAWATAN TUJUAN
KRITERIA EVALUASI INTERVENSI RASIONAL
(TUK/TUM)
Dx 1 : TUM : Pasien menunjukkan 1.1 BHBS dengan Kepercayaan dari pasien
Resiko bunuh diri : Pasien tidak tanda-tanda percaya mengemukakan prinsip merupakan hal yang akan
Ancaman / percobaan mencederai dirinya kepada perawat,melalui : komunikasi terapeutik : mempermudah perawat
bunuh diri. sendiri/tidak melakukan a) Ekspresi wajah cerah, dalam melakukan
bunuh diri. tersenyum. a) Mengucapkan pendekatan
salam terapeutik. keperawatan/intervensi
TUK 1 : b) Mau berkenalan. Sapa pasien selanjutnya terhadap
Pasien dapat membina dengan pasien.
c) Ada kontak mata. ramah,baik verbal
hubungan saling
percaya. maupun non
d) Bersedia menceritakan
verbal.
perasaanya.
b) Berjabat tangan
e) Bersedia
dengan pasien.
mengungkapkan
masalah. c) Memperkenalkan
diri dengan sopan.
d) Tanyakan nama
lengkap pasien
dan nama
panggilan yang
disukai pasien.
e) Jelaskan tujuan
pertemuan.

a. Membantu kontrak
topic,waktu,dan tempat
setiap kali bertemu
pasien.
b. Tunjukkan sikap empati
dan menerima pasien apa
adanya.
c. Beri perhatian kepada
pasien dan perhatian
kebutuhan dasar pasien.

TUK 2 : Pasien tetap 2.1 Menemani pasien terus Pasien tidak melakukan
Pasien tetap aman dan aman,terlindungi dan menerus sampai dia dapat tindakan percobaan
terlindungi. selamat. dipindahkan ke tempat bunuh diri.
yang aman.
2.2 Menjauhkan benda-benda
yang berbahaya atau yang
berpotensi
membahayakan pasien
(missal : pisau, silet, kaca,
gelas, ikat pinggang).
2.3 Mendapatkan orang yang
dapat dengan segera
membawa pasien ke
rumah sakit untuk
pengkajian lebih lanjut
dan kemungkinan
dirawat.
2.2 Memeriksa apakah pasien
benar-benar meminum
obatnya, jika pasien
mendapatkan obat.
2.3 Dengan lembut
menjelaskan kepada
pasien bahwa anda
(perawat) akan
melindungi pasien sampai
tidak ada keinginan bunuh
diri.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. (Potter &
Perry, 2011)

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam, yaitu evaluasi proses
atau evaluasi formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan
evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respons pasien
pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan.
Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut.
S : respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O : respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontradiksi terhadap
masalah yang ada.
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.
Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut.
1. Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah).
2. Rencana dimodifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksanakan semua tindakan
tetapi hasil belum memuaskan).
3. Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang ada).
Rencana selesai jika tujuan sudah tercapai dan perlu mempertahankan keadaan baru.
DAFTAR PUSTAKA

Aulia, Nur, 2019. Analisis Hubungan Faktor Risiko Bunuh Diri dengan Ide Bunuh Diri pada
Remaja. Jurnal Keparawatan 11(4)
Azizah, Lilik Ma’rifatul, Dkk. 2016.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.Yogyakarta :
Inomeedia Pustaka
Damayanti, M & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
Iyus, Yosep. 2011. Keperawatan jiwa, Edisi 4. Jakarta : Refika Aditama
Keliat, Budi Anna & Akemat. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.Jakarta :
Buku Kedokteran : EGC
Nanda, 2012.Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : Buku
Kedokteran : EGC
Stuart. Gail. W, 2016.Keperawatan Kesehatan Jiwa. Indonesia : Elsever
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosia Keperawatan Indonesia
Edisi 1. Jakarta:PPNI
Yusuf, AH Dkk. 2015.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN PASIEN
WAHAM DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

Oleh
BISMA ADITIYA PUTRA
1120021017

Dosen Pembimbing
NUR HIDAAYAH.,S.Kep.,Ns.,M.Kes
NPP. 0307738

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi Waham
Waham adalah suatu keadaan dimana seorang individu mengalami seuatu kekacauan
dalam pengoprasian dan aktivitas-aktivitas kognitif. Waham adalah keyakinan yang salah
secara kokoh diperthankan walaupun tidak diyakin oleh orang lain dan bertentangan
dengan realita normal. Waham adalah suatu keyakinan sesorang yang berdasarkan
penilaian realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual
eksternal melalui proses interaksi atau informasi secara akurat. (Yosep, 2014)
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus internal dan
eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa waham yaitu keyakinan individu
yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realitas. Keyakinan individu tersebut
tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya, serta tidak dapat
diubah dengan alasan yang logis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan berulang kali
(Kusumawati, 2010).
A. Klasifikasi Waham
1. Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, serta diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “ Saya ini seorang bupati
loh...” atau “Saya punya sawah 20 hektar loh”.
2. Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha merugikan
/mencederai dirinya, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “Saya tahu..kalian semua mau membunuh saya”.
3. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, serta diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Kalau saya mau masuk surga
saya harus investasi saham yang banyak buat masuk surga”
4. Waham somatik
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang penyakit, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya sakit
menderita penyakit menular ganas”, setelah pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia terserang
kanker.
5. Waham nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, serta diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan alam kubur ya, semua
yang ada di sini adalah roh-roh”.(Akemat,2012)
B. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses pikir waham adalah sebagai
berikut :
a. Menolak makan
b. Tidak ada perhatian pada perawatan diri
c. Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan
d. Gerakan tidak terkontrol
e. Mudah tersinggung
f. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
g. Tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
h. Menghindar dari orang lain
i. Mendominasi pembicaraan
j. Berbicara kasar
k. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan(Yusuf,2015)
C. Etiologi
Keadaan yang timbul sebagai akibat dari pada proyek di mana seseorang
melemparkan kekurangan dan rasa tidak nyaman kedunia luar. Individu itu biasanya
peka dan mudah tersinggung , sikap dingin dan cenderung menarik dari keadaan yang
sering kali disebabkan karena merasa lingkungan yang tidak nyaman, merasa benci,
kaku, cinta pada diri sendiri yang berlebihan angkuh dan keras kepala. Dengan seringnya
memakai mekanisme proyeksi dan adanya kecenderungan melamun serta mendambakan
suatu secara berlebihan, maka keadaan ini dapat berkembang menjadi waham. Secara
berlahan-lahan individu itu tidak dapat melepas diri dari khayalannya kemudian
meninggalkan dunia realita.
Kecintaan pada diri sendiri, angkuh dan keras kepala, adanya rasa tidak aman,
keutuhan keluarga merupakan penyabab terjadinya halusinasi dan waham. Mengenai
perbedaan antara apa yang dipikirkan dengan perasaan diri sendiri menurun sehingga
segala sesuatu sukar lagi dibedakan, mana rangsangan dari pikiran dan rangsangan dari
lingkungan (Budi,2012).
Ada dua faktor yang menyababkan terjadinya waham, yaitu:
a. Faktor Prediosisi
Meliputi perkembangan sosial kultural, psikologis, genetik, biokimia. Jika tugas
perkembngan terhambat dan hubungan interpersonal terganggu maka individu
mengalami stres dan kecemasan.Berbagai faktor masyarakat dapat membuat
seseorang merasa terisolasi dankesepian yang mengkibatkan kurangnya rangsangan
ekternal. Stres yang berlebihan dapat menggangu metabolisme dalam tubuh
sehingga membuat tidak mampu dalam proses simulasi internal dan ekternal.
b. Faktor Presipitasi
Rangsangan lingkungan yang sering menjadi pencetus terjadinya waham yaitu
klien mengalami hubungan yang bermasalah, terlalu lama diajak bicara, objek yang
ada dilingkungannya dan suasana sepi (isolasi). Suasana ini dapat meningkatkan
stres dan kecemasan.(Yosep , 2016)
D. Pohon Masalah

Resiko tinggi mencederai diri


Effect
,lingkungan dan orang lain

Kerusakan komunikasi verbal Effect

Perubahan isi Pikir: Waham


Core Problem

Harga Diri Rendah kronik Causa

E. Fase – Fase Waham


1. Lack of human need
Diawali dengan keterbatasnya kebutuhan klien baik secara fisik maupun psikis.
Contoh : masalah status ekonomi
2. Lack of Selfesteen
Tidak ada pengakuan lingkungan dan meningkatnya kesenjangan antara kenyataan
dan harapan. Contoh : perceraian berumah tangga tidak diterima oleh lingkungannya.
3. Control Internal Eksternal
Mencoba berfikir rasional, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh : seseorang yang mencoba menutupi kekurangan
4. Environment support
Kerusakan control dan tidak berfungsi normal ditandai dengan tidak merasa bersalah
saat berbohong. Contoh : seseorang yang mengaku dirinya adalah guru tari Adanya
beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungan, klien merasa didukung,
klien menganggap hal yang dikatakan sebagai kebenaran, kerusakan control diri dan
tidak berfungsi normal (super ego)
a. Fase Comforting
Klien merasa nyaman dengan kebohongannya
b. Fase Improving
Jika tidak ada konfrontasi dan korelasi maka keyakinan yang salah akan
meningkat. (Yusuf,2015)
F. Mekanisme Koping
Waham adalah anggapan tentang orang yang hypersensitive, dan mekanisme ego
spesifik, reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham menggunakan
mekanisme pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada rekasi formasi,
digunakan sebagai pertahanan melawan agresi, kebutuhan, ketergantungan dan perasaan
cinta. Kebutuhan akan ketergantungan ditransformasikan menjadi kemandirian yang
kokoh.
Penyangkalan, digunakan untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang
menyakitkan. Proyeksi digunakan untuk melindungi diri dari mengenal impuls yang
tidak dapat diterima dari dirinya sendiri. Hypersensitifitas dan perasaan inferioritas telah
dihipotesiskan telah menyebabkan reaksi formasi dan proyeksi waham dan
suporioritas.Waham juga dapat muncul dari hasil pengembangan pikiran rahasia yang
menggunakan fantasi sebagai cara untuk meningkatkan harga diri mereka yang terluka.
(Damaiyanti,2012)

G. Rentan Respon

Adaptif Maladaptif
1. Pikiran logis 1. Pikiran kadang 1. Gangguan proses
2. Persepsi akurat menyimpang pikir: Waham
3. Emosi konsisten 2. Illusi 2. Halusinasi
dengan 3. Reaksiemosional 3. Kerusakanemosi
pengalaman berlebihandankurang 4. Perilaku
4. Perilaku social 4. Perilakutidaksesuai tidaksesuai
5. Hubungan sosial 5. Menarik diri 5. Ketidakteraturan
6. isolasi sosial

G. Penatalaksanaan
Menurut Harnawati (2010) penanganan pasien dengan gangguan jiwa waham antara
lain :
1. Psikofarmakologi
a.  Litium Karbonat
Litium Karbonat adalah jenis litium yang paling sering digunakan untuk
mengatasi gangguan bipolar, menyusul kemudian litium sitial. Sejak disahkan
oleh “Food and Drug Administration” (FDA). Pada 1970 untuk mengatasi mania
akut litium masih efektif dalam menstabilkan mood pasien dengan gangguan
bipolar. Meski demikian, efek samping yang dilaporkan pada gangguan litium
cukup serius. Efek yang ditimbulkan hampir serupa dengan efek mengkonsumsi
banyak garam, yakni tekanan darah tinggi, retensi air, dan konstipasi. Oleh karena
itu, selama penggunaan obat ini harus dilakukan tes darah secara teratur untuk
menentukan kadar litium.
a) Indikasi
Mengatasi episode waham dari gangguan bipolar. Gejala hilang dalam jangka
waktu 1-3 minggu setelah minum obat litium juga digunakan untuk
mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang pasien bipolar dengan
riwayat mania.
b) Dosis
Untuk tablet atau kapsul immendiate rease biasanya diberikan 3 dan 4 kali
sehari, sedangkan tablet controlled release diberikan 2 kali sehari interval 12
jam. Pemberian dosis litium harus dilakukan hati-hati dan individual, yakni
berdasarkan kadar dalam serum dan respon klinis. Untuk menukar bentuk
tablet dari immediate release maka diusahakan agar dosis total harian
keduanya tetap sama.
c) Mekanisme kerja
Menghambat pelepasan serotonin dan mengurangi sensitivitas dari reseptor
dopamine.
b.  Haloperidol
Haloperidol merupakan obat antipsikotik (mayor tranquiliner) pertama dari
turunan butirofenon. Mekanisme kerjanya yang pasti tidak diketahui.
a) Indikasi
Haloperidol efektif untuk pengobatan kelainan tingkah laku berat pada anak-
anak yang sering membangkang an eksplosif. Haloperidol juga efektif untuk
pengobatan jangka pendek, pada anak yang hiperaktif juga melibatkan
aktivitas motorik berlebih disertai kelainan tingkah laku seperti : impulsive,
sulit memusatkan perhatian, agresif, suasana hati yang labil dan tidak tahan
frustasi.
b) Dosis
Untuk dewasa dosis yang digunakan adalah sebagai berikut:
Gejala sedang : 0,5-2mg, 2 atau 3 kali sehari
Gejala berat : 3-5mg, 2 atau 3 kali sehari
c) Efek samping
1) Pada sistem saraf pusat akan menimbulkan gejala ekstrapiramidal,
diskinesia Tardif, distonia tardif, gelisah, cemas, perubahan pengaturan
temperature tubuh, agitasi, pusing. Depresi, lelah, sakit kepala,
mengantuk, bingung, vertigo, kejang.
2) Pada saluran cerna : Anoreksia, konstipasi, diare dan mual muntah.
Mata  : Penglihatan kabur. Pernapasan  : Spasme laring dan bronkus.
Saluran genitourinaria : Retensi urin.
d) Mekanisme kerja
Memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak.
Menekan pelepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular
Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolism basal.
Temperature tubuh, tonus vasomotor dan emesis..
2. Penarikan Diri High Potensial
Selama seseorang mengalami waham. Dia cenderung menarik diri dari
pergaulan dengan orang lain dan cenderung asyik dengan dunianya sendiri (khayalan
dan pikirannya sendiri). Oleh karena itu, salah satu penatalaksanaan pasien waham
adalah penarikan diri high potensial. Hal ini berarti penatalaksanaannya ditekankan
pada gejala dari waham itu sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan dengan
kecanduan morfin biasanya dialami sesaat sebelum waktu yang dijadwalkan
berikutnya, penarikan diri dari lingkungan sosial.
3. ECT Tipe Katatonik
Electro Convulsive Terapi (ECT) adalah sebuah prosedur dimana arus listrik
melewati otak untuk memicu kejang singkat. Hal ini tampaknya menyebabkan
perubahan dalam kimiawi otak yang dapat mengurangi gejala penyakit mental
tertentu, seperti skizofrenia katatonik. ECT bisa menjadi pilihan jika gejala yang
parah atau jika obat-obatan tidak membantu meredakan katatonik episode.
4. Psikoterapi
Walaupun obat-obatan penting untuk mengatasi pasien waham, namun
psikoterapi juga penting. Psikoterapi mungkin tidak sesuai untuk semua orang,
terutama jika gejala terlalu berat untuk terlibat dalam proses terapi yang memerlukan
komunikasi dua arah. Yang termasuk dalam psikoterapi adalah terapi perilaku, terapi
kelompok, terapi keluarga, terapi supportif.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
a) Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak dengan
klien tentang : nama perawat, nama klien, tujuan, waktu, tempat
pertemuan, topik yang akan dibicarakan.
b) Usia dan No. Rekam Medik.
2. Alasan Masuk
Biasanya alasan utama pasien untuk masuk ke rumah sakit yaitu curiga dengan
orang lain, keluarga.
3. Faktor Predisposisi
Biasanya pasien dengan waham curiga sebelumnya pernah mendapat
perawatan di rumah sakit. Pengobatan yang dilakukan masih meninggalkan
gejala sisa, sehingga pasien kurang dapat beradaptasi dengan lingkungannya.
Biasanya gejala sisa timbul merupakan akibat pengalaman buruk pasien
tersebut.
4. Pemeriksaan Fisik
Biasanya saat melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan hasil yang
normal dan tidak ada gejala fisik.
5. Psikososial
Biasanya menggambarkan tentang garis keturunan keluarga pasien, apakah
anggota keluarga ada yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami
oleh pasien. Konsep diri terdiri dari:
a) Citra tubuh
Biasanya tidak ada keluhan mengenai persepsi pasien terhadap tubuhnya,
seperti bagian tubuh yang tidak disukai
b) Identitas diri
Biasanya pasien merupakan anggota dari masyarakat dan keluarga. Tetapi
karena pasien mengalami gangguan jiwa maka interaksi antara pasien
dengan keluarga maupun masyarakat tidak efektif sehingga pasien tidak
merasa puas akan status ataupun posisi pasien sebagai anggota keluarga
dan masyarakat.
c) Peran diri
Biasanya pasien kurang dapat melakukan peran dan tugasnya dengan baik
sebagai anggota keluarga dalam masyarakat.
d) Ideal diri
Biasanya pasien ingin diperlakukan dengan baik oleh keluarga ataupun
masyarakat sehingga pasien dapat melakukan perannya sebagai anggota
keluarga atau anggota masyarakat dengan baik.
e) Harga diri
Biasanya pasien memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang lain
sehingga pasien merasa dikucilkan di lingkungan sekitarnya.
6. Hubungan sosial
Biasanya pasien dekat dengan keluarga nya saja. Dan terhambat berhubungan
dengan masyarakat.
7. Spiritual
a) Nilai keyakinan
Biasanya pasien meyakini agama yang dianutnya dengan melakukan
ibadah sesuai dengan keyakinannya.
b) Kegiatan ibadah
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan kurang (jarang) melakukan
ibadah sesuai dengan keyakinannya
8. Status mental
Penampilan ,biasanya pasien berpenampilan kurang lebih rapi.
9. Pembicaraan
Biasanya pasien berbicara cepat dan terkadang lambat.
10. Aktivitas motoric
Biasanya pasien terlihat gelisah, berjalan mondar-mandir dan terkadang diam.
11. Alam perasaan
Biasanya pasien merasakan sedih, putus asa, dan malu
12. Interaksi selama wawancara
Biasanya pasien memperlihatkan perilaku kooperatif namun focus mata tidak
selalu terjalin
13. Proses atau arus pikir
Biasanya pasien berbicara dengan blocking yaitu pembicaraan yang terhenti
tiba-tiba eksternal kemudian dilanjutkan kembali.
14. Isi pikir
Biasanya pasien memliki isi piker yang berbeda beda sesuai jenis waham
namujn isi pemikiran mereka tidak sesuai engan realita
15. Tingkat kesadaran
Biasanya pasien dengan keaadan composmentis atau sadar penuh
16. Memori
Biasanya klien memiliki memori yang konfabulasi yaitu pembicaraan yang
tidak sesuai dengan kenyataan dengan memasukkan cerita yang tidak benar
17. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Biasanya pasien tidak mampu berkonsentrasi, pasien selalu meminta agar
pernyataan diulang/tidak dapat menjelaskan kembali pembicaraan. Biasanya
pasien pernah menduduki dunia pendidikan, tidak memiliki masalah dalam
berhitung (penambahan maupun pengurangan).
18. Kemampuan penilaian
Biasanya pasien memiliki kemampuan penilaian yang baik, seperti jika
disuruh untuk memilih mana yang baik antara makan atau mandi terlebih
dahulu, maka ia akan menjawab mandi terlebih dahulu.
19. Daya titik diri
Biasanya pasien menyadari bahwa ia berada dalam masa pengobatan.
20. Kebutuhan persiapan pulang
a) Makan
Biasanya pasien makan 3x sehari

b) BAB/BAK
Biasanya pasien menggunakan toilet yang disediakan untuk BAB/BAK
dan membersihkannya kembali.
c) Mandi
Biasanya pasien mandi 2x sehari dan membersihkan rambut 1x2 hari.
Ketika mandi pasien tidak lupa untuk menggosok gigi.
d) Berpakaian
Biasanya pasien mengganti pakaiannya setiap selesai mandi dengan
menggunakan pakaian yang bersih.
e) Istirahat dan tidur
Biasanya pasien tidur siang lebih kurang 1 sampai 2 jam, tidur malam
lebih kurang 8 sampai 9 jam. Persiapan pasien sebelum tidur cuci kaki,
tangan dan gosok gigi.
f) Penggunaan obat
biasanya pasien minum obat 3x sehari dengan obat oral. Reaksi obat
pasien dapat tenang dan tidur.
g) Pemeliharaan kesehatan
Biasanya pasien melanjutkan obat untuk terapinya dengan dukungan
keluarga dan petugas kesehatan serta orang disekitarnya.
h) Kegiatan di dalam rumah
Biasanya klien melakukan kegiatan sehari-hari seperti merapika kamar
tidur, membersihkan rumah, mencuci pakaian sendiri dan mengatur
kebutuhan sehari-hari.
i) Kegiatan di luar rumah
Biasanya klien melakukan aktivitas diluar rumah secara mandiri seperti
menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum jika ada kegiatan
diluar rumah.
j) Mekanisme koping
Biasanya data yang didapat melalui wawancara pada pasien/keluarga,
bagaimana cara pasien mengendalikan diri ketika menghadapi masalah:
21. Koping adaptif
a) Pikiran logis
b) Persepsi akurat
c) Emosi konsisten dengan pengalaman
d) Perilaku social
e) Hubungan sosial
22. Koping maladaptive
a) Gangguan proses pikir: Waham
b) Halusinasi
c) Kerusakan emosi
d) Perilaku tidak sesuai
e) Ketidakteraturan
f) Isolasi sosial
Pohon m
Resiko tinggi mencederai diri
Effect
,lingkungan dan orang lain

Kerusakan komunikasi verbal Effect

Perubahan isi Pikir: Waham


Core Problem

Harga Diri Rendah kronik Causa

C. Masalah Keperawatan
1) Ganguan konsep diri
2) Harga diri rendah
3) Hambatan komunikasi verbal
4) Gangguan pemenuhan kebutuhan spiritual
5) Ansietas gangguuan komunikasi
6) Waham kebesaran
7) Perubahan isifikir
8) Gangguan isipikir
9) Hambatan interaksi sosial
10) Defisit pengetahuan

D. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan proses pikir: Waham
2. Perilaku kekerasan
3. Gangguan interaksi sosial: menarik diri
4. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
5. Resiko tinggi mencederai diri dan orang lain serta lingkungan
E. Rencana Tindakan Keperawatan
1. SP1
a. Pasien
1) Membantu orientasi realita
2) Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
3) Membantu pasien memenuhi kebutuhannya
4) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. Keluarga
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala waham dan jenis waham yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
2. SP2
a. Pasien
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. Keluarga
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan waham
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien waham
3. SP3
a. Pasien
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Berdiskusi tentang kemampuan yang dimiliki
3) Melatih kemampuan yang dimiliki
b. Keluarga
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat
2) Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa dijngkau keluarga
F. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam, yaitu (1) evaluasi proses atau evaluasi
formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan (2) evaluasi hasil atau
sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respons pasien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditetapkan.
Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut.
S : Respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O : Respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A : Analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontradiksi terhadap
masalah yang ada.
P : Tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.
Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut.
1. Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah).
2. Rencana dimodifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksanakan semua tindakan tetapi
hasil belum memuaskan).
3. Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang ada).
4. Rencana selesai jika tujuan sudah tercapai dan perlu mempertahankan keadaan baru.

DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti. Iskandar.2012. Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung.Refika Aditama


Yosep.Sutini.2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa Dan Advance Mental Health Nursing.
Bandung.Refita Aditama
Yusuf.Fitriyasari.Endang.2015. Buku Ajara Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta.Salemba
Medika
Keliat, Budi Anna & Akemat . 2012. Modul praktik keperawatan professional jiwa. Jakarta.
EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN PASIEN
PERILAKU KEKERASAN DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

Oleh
BISMA ADITIYA PUTRA
1120021017

Dosen Pembimbing
NUR HIDAAYAH.,S.Kep.,Ns.,M.Kes
NPP. 0307738

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN
A. Definisi
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah tidak memiliki tujuan khusus,
tapi lebih merujuk pada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya
disebut dengan perasaan marah (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku
kekerasaan dapat dilakukan secara verbal, di arahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang
berlangsung perilaku kekerasan atau riwayar perilaku kekerasan (Dermawan dan Rsudi,
2013).
Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan
klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Fitria, 2010).
B. Tanda dan Gejala
Fitria (2010) mengungkapkan fakta tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
1. Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/oranglain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : mendominasi cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
8. Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan sosial.

C. Rentang Respon
Respon marah berfluktuasi sepanjang respon adaptif dan maladaptive.
Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Pasif Perilaku kekerasan

Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berprilaku pasif, asertif, dan agresif / prilaku
kekerasan.
1. Prilaku asertif merupakan prilaku individu yang mampu menyatakan atau
menggungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau menyakiti orang
lain sehingga prilaku ini dapat menimbulkn kelegaan pada individu.
2. Prilaku pasif merupakan prilaku individu yang tidak mampu untuk menggungkapkan
perasaan marah yang sedang di alami, dilakukan dengan tujuan menghindari suatu
ancman nyata.
3. Agresif / Prilaku Kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang sangat tinggi atau
ketakutan (panik).
Stress, cemas. Harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan kemarahan
yang dapat mengarah pada prilaku kekerasan. Respon rasa marah dapatdiekspresikan secara
eksternal (prilaku kekerasan) maupun internal (depresi dan penyakit fisik).
Mengekspresikan marah dengan prilaku kontruktif, menggunakan kata-kata yang
dapat dimenggerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega,
menurunkan ketegangan sehingga perasaan marah dapat teratasi. Apabila perasaan marah
diekspresikan dengan perilaku kekerasan biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat.
Cara demikian tidak menyelesaikan masalah, bahakan dapat menimbulkan kemarahan
berkepanjangan dan prilaku dekstruktif.
Prilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan maran dilakukan individu seperti
pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya sehingga rasa marah tidak
terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan suatu
saat akan menimbulkan perasaan dekstruktif yang ditunjukan kepada diri sendiri.
Table 1. perbandingan prilaku Asertif, Pasif dan Agresif

Asertif Pasif Agresif


Isi Positif Negatif, Menyombongkan
pembicaraan Menawarkan diri merendahkan diri, merendahkan
(,,Saya dapat ,,, diri (,,Dapatkah orang lain, (,,Kamu
,,
Saya akan,, ) saya?,,, ,,dapatkah selalu,,, ,, Kamu tidak
kamu?,,). pernah,,).

Tekanan suara Sedang Cepat, lambat Keras, ngotot


dan menggeluh
Posisi badan Tagap dan santai Menundukan Kaku condong ke
kepala depan
Jarak Mempertahankan Menjaga jarak Siap dengan jarak
jarak yang nyaman. dengan sikap akan menyerang
acuh / orang lain.
mengabaikan

Penampilan Sikap tenang Loyo, tidak Mengancam, posisi


dapat tenang. menyerang
Kontak mata Mempertahankan Sedikit atau Mata melotot dan di
kontak mata sesuai sama sekali pertahankan
dengan hubungan tidak.
yang berlangsung
D. Patofisiologi
Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maldaptif yang ditandai dengan
perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan control, yang individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (keliat, 1991). Amuk adalah respons marah
terhadap adanya stress, rasa cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan
ketidakberdayaan.
Respons marah dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara internal
dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal. Secara
internal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Respon marah dapat diungkapkan melalui
tiga cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2) menekan, dan (3) menantang.
Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-
kata yang dapat dimengertidan diterima tanpa menyakiti orang lainakan memberikan
kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan
menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk.

E. Manifestasi Klinis
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien dibawah ke rumah sakit
adalah prilaku kekerasan di rumah, klien dengan prilaku kekerasan sering menunjukan
adanya tanda dan gejala adalah:
1. Data Obyektif : muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat,
sering pula tampak klien memaksakan kehendak, merampas makanan, memukul jika
tidak senang.
2. Data Subyektif : mengeluh perasaan terancam, menggungkapkan perasaan tidak berguna,
menggungkapkan perasaan jengkel, menggungkapkan adanya keluhan fisik, berdebar-
debar, merasa tercekik, dada sesak, dan bingung.
F. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
1. Obat anti psikosis, phenotizin (CPZ atau HLP).
2. Obat anti depresi, amitriptyline
3. Obat anti ansietas, diazepam, bromozepam, clobozam
b. Terapi modalitas
c. Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga dimana keluarga membantu
mengatasi masalah klien dengan memberikan perhatian:
d. Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan social atau aktifitas
lain dengan berdiskusi dan bermain untuk mengendalikan.

G. Pohon masalah

Risiko mencederai diri, orang


lain dan lingkungan (efek)
Perilaku Kekerasan
(CP)

Harga diri rendah (etiologi) Defisit perwatan diri

Gaduh gelisah

Koping keluarga tidak


Koping individu tidak efektif
efektif

H. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah.
2. Perilaku kekerasan.
3. Koping individu tidak efektif.
4. Perubahan sensori persepsi. : halusinasi
5. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
I. Rencana Tindakan Keperawatan
1. SP1
a. Pasien
1) Mengidentifikasi penyebab PK
2) Mengidentifikasi tanda dan gejala PK
3) Mengidentifikasi PK yang dilakukan
4) Mengidentifikasi akibat PK
5) Melatih mengontrol PK dengan cara fisik (relaksasi nafas dalam dan pukul bantal)
6) Menganjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian
b. Keluarga
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala PK dan proses terjadinya PK
3) Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK
2. SP2
a. Pasien
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Menjelaskan cara mengontrol PK dengan minum obat
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. Keluarga
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan PK
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien PK
3. SP3
a. Pasien
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Melatih pasien mengontrol PK dengan cara verbal
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. Keluarga
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
4. SP3
a. Pasien
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Melatih pasien mengontrol PK dengan cara spiritual
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

DAFTAR PUSTAKA
April, Tutu. 2012. Sistem Neurobehavior.Jakarta.Salemba Medika
Yusuf, Rizky. 2015. Buku Ajar Keperawatan Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta.Salemba Medika
Anna, Budi. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.Jakarta.EGC
Kusumawati, Farida. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. Salemba Medika.
Yani, Achir. 2012. Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta.EGC
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Jakarta. Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN PASIEN
ISOLASI SOSIAL DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

Oleh
BISMA ADITIYA PUTRA
1120021017

Dosen Pembimbing
NUR HIDAAYAH.,S.Kep.,Ns.,M.Kes
NPP. 0307738

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL
A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Klien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain (Purba dkk, 2008).
Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain (Keliat,
1999).
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000).
Menarik diri adalah reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis. Reaksi fisik yaitu individu pergi atau menghindari sumber stresor. Misalnya
menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Sedangkan reaksi psikologis
individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat sering disertai rasa
takut dan bermusuhan.
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindaari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin 1993 dikutip Budi keliat, 2011).
B. Proses Terjadinya Masalah
Pattern of Ineffective coping Lack of Stressor Internal
parenting (koping individu development task and External
(Pola Asuhan) tidak efektif) (Gangguan Tugas (Stress Internal
Perkembangan) dan Eksternal)
Misal : Misal : Misal : Misal :
Pada anak yang Saat individu Kegagalan Stres terjadi akibat
kelahirannya tidak mengalami menjalani ansietas yang
dikehendaki kegagalan hubungan intim berkepanjangan
(unwanted child) menyalahkan orang dengan sesama dan terjadi
akibat kegagalan lain, jenis atau lawan bersamaan dengan
KB, hamil diluar ketidakberdayaan, jenis, tidak mampu keterbatasan
nikah, jenis menyangkal tidak mandiri dan kemampuan
kelamin yang tidak mampu menyelesaikan individu untuk
diinginkan, bentuk menghadapi tugas, bekerja, mengatasinya.
fisik kurang kenyataan dan bergaul, Ansietas terjadi
menawan menarik diri dari bersekolah, akibat berpisah
menyebabkan lingkungan, terlalu menyebabkan dengan orang
keluarga tingginya self ideal ketergantungan terdekat, hilangnya
mengeluarkan dan tidak mampu pada orang tua, pekerjaan atau
komentar-komentar menerima realitas rendahnya orang yang dicitai.
negative, dengan rasa ketahanan terhadap
merendahkan, syukur. berbagai
menyalahkan anak. kegagalan.

C. Etiologi
1. Faktor predisposisi
Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku islasi sosial
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa bayi sampai dewasa
tua akan menjadi pencetus seseorang sehingga mempunyai masalah respon sosial
menaarik diri. Sistem keluarga yang terganggu juga dapat mempengaruhu terjaadinya
menarik diri. Organisasi anggota keluarga bekerjasama dengan tenaga profesional untuk
mengembangkan gambaran yang lebihh tepat tentang hubungan antara kelainan jiwa dan
stress keluarga. Pendekatan kolaboratif dapat memengurangi masalah respon sosial
menarik diri.
b. Faktor biologik
Faktor genetik apat menunjang terhadap respon sosial maladaptif. Genetik merupakan
salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi,
pembesara ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbik diduga
dapat menyebabkanskizofrenia.
c. Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini merupakan akibat
dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai
anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan berpenyakit
kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengaadopsi norma, perilaku dan sistem nilai yang
berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap
hubungan merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini (Stuart dan Sundeen,
1998).
d. Faktor presipitasi
Adapun faktor pencetus terdiri dari 4 sumber utama yang dapat menentukan alam perasaan
adalah :
e. Kehilangan ketertaarikan yang nyataatau yang dibayangkan, termasuk kehilangan cinta
seseorang. Fungsi fisik, kedudukan atau harga diri, karena elemen aktual dan simbolik
melibatkan konsep kehilangan, maka konsep persepsi merupakan hal yang sangat
penting.
f. Peristiwa besar dalm kehidupan, sering dilaporkan sebagai pendahulu episode depresi
dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
g. Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi depresi terutama pada
wanita
h. Perubahan fisiologis diakibatkan oleh obat-obatan berbagai penyakit fisik seperti
infeksi, meoplasma dan gangguan keseimbangan metabolik dapat mencetus gangguan
alam perasaan. (Stuart, 1998)
D. Tanda dan Gejala
Gejala subjektif :
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Respon verbal kurang dan sangat singkat
4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan rang lain
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
7. Klien merasa tidak berguna
8. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
9. Klien merasa ditolak
Gejala obyektif :
1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara
2. Tidak mengikuti kegiatan
3. Banyak berdiam diri dikamar
4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
6. Kontak mata kurang
7. Kurang spontan
8. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
9. Ekspresi wajah kurang berseri
10. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
11. Mengisolasi diri
12. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
13. Masukan makanan dan minuman terganggu
14. Retensi urine dan feses
15. Aktivitas menurun
16. Kurang energi (tenaga)
17. Rendah diri
18. Postur tubh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi tidur)
E. Rentang Respon

F. Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
2. Electri Convulsive Terapi
Electro confulsive therapy (ETC) atau yang lebih dikenal dengan elektroshock
adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha
pengobatannya. ETC bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat
memberi efek terapi (therapeutic Clonic Seizure) setidaknya selama 15 detik.
3. Terapi Kelompok
Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien
bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan
oleh seorang terapist atau petugas kesehatan jiwa.
4. Terapi Lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan harus
mendapatkan perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan memelihara
kesehatan manusia.
G. POHON MASALAH

Perubahan persepsi sensori : halusinasi Gangguan komunikasi verbal

Kerusakan interaksi sosial


CP
Isolasi sosial : menarik diri

Defisit perawatan diri

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

Defisit pengetahuan

oping individu inefektif

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. harga diri rendah
2. isolasi sosial : menarik diri
3. perubahan persepsi sensori : halusinasi
4. koping individu in efektif
5. kerusakan interaksi sosial
6. defisit perawatan diri
7. defisit pengetahuan
8. gangguan komunikasi nonverbal

I. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


1. SP1
a. Pasien
1) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
2) Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain
3) Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
4) Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
5) Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan
orang lain dalam kegiatan harian
b. Keluarga
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isos yang dialami pasien beserta proses
terjadinya
3) Menjelaskan cara merawat pasien isos
2. SP2
a. Pasien
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan
satu orang
3) Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian
b. Keluarga
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isos
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isos
3. SP3
a. Pasien
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan
dua orang atau lebih
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. Keluarga
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budiana. 2007. “Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (BASIC
COURSE)”. Jakarta : EGC
H. Yosep, Iyus. 2007. “Buku Ajar Keperawatan Jiwa da Advance Mental Health Nursing”.
Bandung : Refika Aditama
Muhit, Abdul. 2015. “Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi”. Yogyakarta : Andi
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN PASIEN
HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

Oleh
BISMA ADITIYA PUTRA
1120021017

Dosen Pembimbing
NUR HIDAAYAH.,S.Kep.,Ns.,M.Kes
NPP. 0307738

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Harga Diri Rendah


1. Pengertian Harga Diri Rendah
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan rendah
hati.Rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri
sendiri atau kemampuan diri. Adannya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa
gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri ( Iyus Yosep, 2016).
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti an rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Adanya hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu
mencapai keinginan sesuai ideal diri. Ganguan harga diri yang disebut sebagain
harga diri rendah dapat terjadi secara: (Mukhripah Damaiyanti, 2014)
a. Situasional, yaitu terjadi terutama yang tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami atau istri, putus sekolah, putus hubungan kerja,
perasaan malu karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara
tiba-tiba).
b. Kronik, yaitu perasaan negative terhadap diri berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit atau dirawat. Klien ini mempunyai cara yang berpikir yang negatif.
Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negative terhadap
dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respon mal yang adaptif. Kondisi ini dapat
ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronik atau pada klien gangguan
jiwa.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena
tidak mampu mencapai keinginan sesuai dengan ideal diri. Ganguan harga diri
rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang. perlakuan orang lain yang
mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Harga diri meningkat bila
diperhatikan atau dicintai dandihargai atau dibanggakan. Tingkat harga diri
seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Harga diri tinggi positif
ditandai dengan ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok, dan diterima oleh
orang lain. Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara
aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa
aman sedangkan individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan
dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman.
2. Upaya Yang Dapat Dilakukan
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan untuk melakukan
kegiatan pada pasien yang mengalami harga diri rendah adalah dengan terapi kreasi
seni menggambar yang merupakan salah satu bagian dari terapi lingkungan. Terapi
lingkungan berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan fisik mampu psikologis seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan baik pada kondisi fisik maupun psikologis
seseorang.Berbagai jeneis terapi spesialis yang diberikan untuk pasien dengan harga
diri rendah kronis meliputi tiga kategori yaitu untuk individu, keluarga, dan
kelompok terapi spesialis imndividu yang dapat diberikan pada pasien dengan harga
diri rendah kronis adalah Cognitive Behaviour Therapy (CBT) atau terapi kognitif
perilaku dan Logotherapy. Terapi kelompok yang dapat diimplemaentasikan
padapasien dengan harga diri rendah kronis adalah Supportive Therapy atau terapi
supportif dan Self Help Group (SHG) atau kelpmpok swabantu. Untuk keluarga
pasien, perawat spesialis jiwa dapat memberikan terapi spesialis Psikoedukasi
keluarga dan Triangle Therapy (Widianti et.al, 2017).
a. Terapi lingkungan dapat membantu pasien untuk mengembangkan rasa harga
diri, mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,
membantu mempercayai orang lain. Terapi lingkungan dapat dibagi menjadi 4
jenis yaitu terapi rekreasi, terapi kreasi seni, pettherapy dan plantherapy. Jenis
terapi lingkungan yang tepat diterapkan pada pasien harga diri rendah adalah
yang pertama terapi rekreasi, tujuan dari terapi tersebut adalah agar pasien
dapat melakukan kegiatan secara konstruktif dan menyenangkan, dan
mengembangkan kemampuan hubungan sosial, yang kedua adalah terpi kreasi
seni, dalam terapi kreasi seni terbagi menjadi empat bagian yaitu terapi
menari, atau dance, terapi musik, terapi menggambar atau melukis terapi
literatur atau biblio. Keempat jenis terapi ini membantu pasien untuk
mengkomunikasikan tentang perasaan-perasaan dan kebutuhankebutuhanya,
memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekpresikan tentang apa yang
terjadi dengan dirinya serta memberikan kesempatan pada pasien untuk
mengembangkan wawasan diri dan bagaimana mengekspresikan pikiran dan
perilaku sesuai dengan norma yang baik.
b. Terapi kreasi seni menggambarkan diterapkan karena ada anggapan dasar
bahwa pasien harga diri rendah akan dapat mengekspresikan perasaan melalui
terapi lingkungan seni menggambar dari dengan ekspresi verbal. Dengan
terapi kreasi seni menggambar perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan,
status emosional pasien dengan harga diri rendah, hipotesa diagnostiknya,
serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah pasien harga diri rendah
tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kegiatan pada
pasien yang mengalami harga diri rendah adalah dengan terapi kreasi seni
menggambar yang merupakan salah satu terapi lingkungan. Terapi kreasi seni
menggambar berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan baik pada kondisi fisik maupun psiologis
seseorang.
c. Terapi kognitif diberikan dalam tiga sesi yaitu sesi: (Febriana et. al, 2016).
1) Identifikasi pikiran otomatis negati
2) Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negative
3) Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif
Pelaksanaan terapi kognitif menggunakan pendekatan interpersonal peplau
yang terdiri dari orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi. Pendekatan
peplau sangat dalamproses keperawatan yang terdiri dari pengkajian
orientasi dan identifikasi, eksploitasi perencanaan dan implementasi,
resolisi atau evaluasi. Begitu juga dengan tahap komunikasi terapeutik
yang digunakan dalam terapi kognitif yaitu: orientasi, kerja dan terminasi.
Atas dasar kesesuaian tersebut menggunakan interpersonal peplau sebagai
kerangka penyelesaian masalah pasien harga diri rendah dengan terapi
kognitif (Mubin. 2016).
Adapun klasifikasi perilaku kekerasan menurut Muhith (2015), sebagai berikut:
a. Irritable aggression, merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan
marah. Biasanya diinduksi oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada
proses penerimaan dan memahami informasi dengan intensitas emosional yang
tinggi.
b. Instrumental aggression adalah suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat
untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya untuk mencapai suatu tujuan
politik tertentu dilakukan tindak kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan
terencana: seperti peristiwa penghancuran menara kembar WTC di new York,
tergolong dalam kekerasan instrumental)
c. Mass aggression adalah tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat
kehilangan individualitas dari masing-masing individu. (misalnya, bila ada
seseorang yang mempelopori tindakan kekerasan maka secara otomatis semua
akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi, karena saling
membangkitkan).
Sedangkan menurut Yusuf (2015), ada beberapa perilaku yang harus dikenali dari
klien gangguan risiko perilaku kekerasan sebagai berikut:
a. Menyerang atau menghindari
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi,
kewaspadaan meningkat, disertai ketegangan otot seperti :rahang terkatup, tangan
mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yangditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya,
yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif merupakan cara terbaik
individu untuk mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara
fisik maupun psikologis. Dengan perilaku tersebut, individu juga dapat
mengembangkan diri
c. Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan.
3. Etiologi
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang
dalam tinjaun life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah
pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat
individu mencapain masa remaja keberadaanya kurang dihargai, tidak diberi
kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah,
pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuanya. Menurut Stuart, 2016, faktor-
faktor yang mengakibatkan harga diri rendah kronik meliputi factor predisposisi dan
faktor presipitasi sebagai berkut:
a. Faktor Predisposisi, Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan
orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalanyang berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal
diri yang tidak realistis.Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereo
type peran gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.Faktor yang
mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakkepercayaan orang tua, tekanan
dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial.
b. Faktor Presipitasi, Menurut yosep, 2015. Faktor presipitasi terjadi haga diri
rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk
tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menurun. Secara umum, ganguan
konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara stuasional atau kronik.
Secara situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi, kecelakaan, perkosaan atau dipenjara. Termasuk dirawat dirumah sakit
bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik atau
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman. Harga diri rendah
kronik, biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah
memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.
c. Perilaku, perilaku yang objektif dan dapat diamati serta perasaan subjektif dan
dunia dalamdiri klien sendiri. Perilaku yang berhubungan dengan harga diri
rendah salah satunya mengkritik diri sendiri, sedangkan keracuan identitasseperti
sifat kepribadian yang bertentangan serta depersonalisasi Stuart, 2006.
4. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti 2018, tanda dan gejala harga diri rendah kronik adalah
sebagai berikut:
a. Mengkritik diri sendiri.
b. Perasaan tidak mampu.
c. Pandangan hidup yang pesimis.
d. Penurunan produktifitas
e. Penolakan terhadap kemampuan diri
5. Rentang Respon Harga Diri
Konsep diri merupakan aspek kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu
dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari
kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan.
Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu an sosial yang
maladaptive( Stuart G.W, 2016)

a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
b. Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa yang ada
pada dirinya meliputi citra dirinya. Ideal dirinya harga dirinya, penampilan
peran serta identitas dirinya secara positif. Hal ini akan menunjukan bahwa
individu itu akan menjadi individu yang sukses.
c. Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak, berguna, pesimis tidak
ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku yang berhubungan dengan harga
diri yang rendah yaitu mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan
produktivitas, destruktif yang diarahkan kepada orang lain, ganguan dalam
berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai
tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir, serta
menarik diri dari realitas.
d. Keracuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku yang
berhubungan dengan keracuan identitas yaitu tidak ada kode moral, sifat
kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal eksploitatif, perasaan
hampa. Perasaan mengambang tentang diri sendiri, tingkat ansietas yang
tinggi, ketidak mampuan untuk empati terhadaapa orang lain.
e. Despersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis dimana klien
tidak dapat membedakan stimulus dari dalam atau luar dirinya. Individu
mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya sendiri dari orang lain, dan
tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan asing baginya.
6. Pohon Masalah Harga Diri Rendah

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

Perilaku kekerasan

Harga diri rendah

7. Mekanisme Koping Harga Diri Rendah


Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015)
adalah:
a. Jangka pendek
1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian obat-
obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus.
2) Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial, keagaman,
politik).
3) Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga kontes
popularitas).
4) Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara (penyalahgunaan
obat).
b. Jangka panjang
1) Menutup identitas
2) Identitas negative, asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.
8. Penatalaksanaan harga diri rendah
Strategi pelaksanaan tindakan dan komunikasi (SP/SK) merupakan suatu
metoda bimbingan dalam melaksanakan tindakan keperawatan yang berdasarkan
kebutuhan pasien dan mengacu pada standar dengan mengimplementasikan
komunikasi yang efektif. Penatalaksanaan harga diri rendah tindakan keperawatan
pada pasien menurut Suhron (2017) diantaranya:
1. Tujuan keperawatan: pasien mampu :
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c. Menilai kemampuan yang dapat digunakan
d. Menetapkan atau memilih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
e. Merencanakan kegiatan yang telah dilatih
2. Tindakan keperawatan
a. Membina hubungan saling percaya dengan cara:
1) Ucapkan setiap kali berinteraksi dengan pasien
2) Perkenalkan diri dengan pasien
3) Tanyakan perasaan dan keluhan saat ini
4) Buat kontrak asuhan
5) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi
6) Tunjukkan sikap empati terhadap klien
7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki
pasien:
1) Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif pasien
(buat daftar kegiatan)
2) Beri pujian yang realistik dan hindarkan memberikan penilaian yang
negatif setiap kali bertemu dengan pasien
c. Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
1) Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih dari
daftar kegiatan) : buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini
2) Bantu pasien menyebutkan dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien
d. Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan berdasarkan
kegiatan yang dilakukan
1) Diskusikan kegiatan yang dipilih untuk dilatih saat pertemuan.
2) Bantu pasien memberikan alasan terhadap pilihan yang ia tetapkan.
e. Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
1) Latih kegiatan yang dipilih (alat atau cara melakukannnya).
2) Bantu pasien memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan dua kali
perhari.
3) Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah dilatihkan.
4) Beri pujian atas kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap hari
5) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas.
6) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan
keluarga.
7) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya setelah
pelaksanaan kegiatan.
B. Rencana Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Harga Diri Rendah
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status
kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan
klien, serta merumuskan diagnosa keperawatan. Pengkajian adalah pemikiran dasar
dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data
tentang klien agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah, kebutuhan
kesehatan dan keperawatan klien baik mental, sosial, dan lingkungan (Keliat, 2011)
Menurut Prabowo (2014) isi dari pengkajian tersebut adalah:
a. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
pekerjaan, status marital, suku/bangsa, alamat, nomor rekam medis, ruang rawat,
tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, dan identitas
penanggung jawab.
b. Alasan masuk
Biasanya pasien datang ke rumah sakit jiwa atau puskesmas dengan alasan
masuk pasien sering menyendiri, tidak berani menatap lawan bicara, sering
menunduk dan nada suara rendah.
c. Faktor predisposisi
1) Riwayat gangguan jiwa Biasanya pasien dengan harga diri rendah memiliki
riwayat gangguan jiwa dan pernah dirawat sebelumnya.
2) Pengobatan Biasanya pasien dengan harga diri rendah pernah memiliki
riwayat gangguan jiwa sebelumnya, namun pengobatan klien belum berhasil.
3) Aniaya Biasanya pasiendengan harga diri rendah pernah melakukan,
mengalami, menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan tindakan kriminal.
4) Anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa Biasanya ada keluarga
yang mengalami gangguan jiwa yang sama dengan pasien.
5) Pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan Biasanya pasien dengan
harga diri rendah mempunyai pengalaman yang kurang menyenangkan pada
masa lalu seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan serta
tidak tercapainya ideal diri merupakan stressor psikologik bagi klien yang
dapat menyebabkan gangguan jiwa.
d. Tipe Keluarga
Pengkajian dilakukan mengenai riwayat kesehatan keluarga inti, meliputi riwayat
penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing – masing anggota keluarga
meliputi penyakit yang pernah diderita oleh keluarga, terutama gangguan jiwa.
Pengkajian mengenai riwayat kesehatan orang tua dari suami dan istri, serta
penyakit keturunan dari nenek dan kakek mereka. Berisi tentang penyakit yang
pernah diderita oleh keluarga klien, baik berhubungan dengan panyakit yang
diderita oleh klien, maupun penyakit keturunan dan menular lainnya.
e. Pemeriksaan fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan tanyakan apakah ada
keluhan fisik yang dirasakan klien. Pada klien dengan harga diri rendah biasanya
darah meningkat, RR meningkat, nafas dangkat, muka memerah, tonus otot
meningkat, dan dilatasi pupil.
f. Psikososial
1) Genogram
Biasanya menggambarkan garis keturunan keluarga pasien, apakah ada
keluarga pasien yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami pasien.
2) Konsep diri
a) Gambaran diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah akan mengatakan tidak ada
keluhan apapun
b) Identitas diri
c) Biasanya pasien dengan harga diri rendah merasa tidak berdaya dan
rendah diri sehingga tidak mempunyai status yang di banggakan atau
diharapkan di keluarga maupun di masyarakat.
d) Fungsi peran
e) Biasanya pasien mengalami penurunan produktifitas, ketegangan peran
dan merasa tidak mampu dalam melaksanakan tugas.
f) Ideal diri
g) Biasanya pasien dengan harga diri rendah ingin diperlakukan dengan baik
oleh keluarga maupun masyarakat, sehingga pasien merasa dapat
menjalankan perannya di keluarga maupun di masyarakat.
h) Harga diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah kronis selalu mengungkapkan
hal negatif tentang dirinya dan orang lain, perasaan tidak mampu,
pandangan hidup yang pesimis serta penolakan terhadap kemampuan diri.
Hal ini menyebabkan pasien dengan harga diri rendah memiliki hubungan
yang kurang baik dengan orang lain sehingga pasien merasa dikucilkan di
lingkungan sekitarnya.
3) Hubungan sosial
Pasien tidak mempunyai orang yang berarti untuk mengadu atau meminta
dukungan , Pasien merasa berada di lingkungan yang mengancam, Keluarga
kurang memberikan penghargaan kepada klien, Pasien sulit berinteraksi
karena berprilaku kejam dan mengeksploitasi orang lain.
4) Spiritual
Falsafah hidup Biasanya pasien merasa perjalanan hidupnya penuh dengan
ancaman, tujuan hidup biasanya jelas, kepercayaannya terhadap sakit serta
dengan penyembuhannya. Konsep kebutuhan dan praktek keagamaan Pasien
mengakui adanya tuhan, putus asa karena tuhan tidak memberikan sesuatu
yang diharapkan dan tidak mau menjalankan kegiatan keagamaan.
g. Status mental
1) Penampilan
Biasanya pasien dengan harga diri rendah penampilannya tidak rapi, tidak
sesuai karena klien kurang minta untuk melakukan perawatan diri. Kemuduran
dalam tingkat kebersihan dan kerapian dapat merupakan tanda adanya depresi
atau skizoprenia.
2) Pembicaraan
Biasanya pasien berbicara dengan frekuensi lambat, tertahan, volume suara
rendah, sedikit bicara, inkoheren, dan bloking
3) Aktivitas motorik
4) Biasanya aktivitas motorik pasien tegang, lambat, gelisah, dan terjadi
penurunan aktivitas interaksi.
5) Afek dan emosi
Afek pasien biasanya tumpul yaitu klien tidak mampu berespon bila ada
stimulus emosi yang bereaksi.
6) Interaksi selama wawancara
Biasanya pasien dengan harga diri rendah kurang kooperatif dan mudah
tersinggung.
7) Persepsi atau sensori
Biasanya pasien mengalami halusinasi dengar/lihat yang mengancam atau
memberi perintah.
8) Proses pikir
a) Proses pikir (arus dan bentuk pikir)
Biasanya pasien dengan harga diri rendah terjadi pengulangan
pembicaraan (perseverasi) disebabkan karena pasien kurang kooperatif dan
bicara lambat sehingga sulit dipahami.
b) Isi pikir
Biasanya pasien merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak
diri sendiri, mengejek dan mengkritik diri sendiri.
9) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran pasien stupor (gangguan motorik seperti ketakutan,
gerakan yang diulang-ulang, anggota tubuh klien dalam sikap canggung yang
dipertahankan dalam waktu lama tetapi klien menyadari semua yang terjadi di
lingkungannya).
10) Memori
Biasanya pasien dengan harga diri rendah umumnya tidak terdapat gangguan
pada memorinya, baik memori jangka pendek ataupun memori jangka
panjang.
11) Tingkat konsentrasi
Biasanya tingkat konsentrasi terganggu dan mudah beralih atau tidak mampu
mempertahankan konsentrasi dalam waktu lama, karena merasa cemas. Dan
biasanya tidak mengalami gangguan dalam berhitung.
12) Kemampuan penilaian/pengambilan keputusan
Biasanya gangguan kemampuan penilaian ringan (dapat mengambil
keputusan yang sederhana dengan bantuan orang lain, contohnya: berikan
kesempatan pada pasien untuk memilih mandi dahulu sebelum makan atau
makan dahulu sebelum mandi, setelah diberikan penjelasan pasien masih
tidak mampu mengambil keputusan) jelaskan sesuai data yang terkait.
Masalah keperawatan sesuai dengan data.
13) Daya titik
Biasanya pasien tidak menyadari gejala penyakit (perubahan fisik dan emosi)
pada dirinya dan merasa tidak perlu meminta pertolongan/pasien menyangkal
keadaan penyakitnya, pasien tidak mau bercerita penyakitnya.
2. Diagnosa
Yosep (2014) menjelaskan terdapat beberapa masalah keperawatan yang mungkin
muncul pada pasien dengan harga diri rendah diantaranya adalah
a. Harga diri rendah kronik
b. Koping Individu tidak efektif
c. Isolasi sosial
d. Defisit Perawatan Diri
3. Intervensi
Diagnosa Perencanaaan
Keperawatan Tujuan Intervensi Kriteria Evaluasi
Harga Diri Rendah TUM: Bina hubungan saling percaya: - Klien dapat menerima
Klien dapat berinteraksi a. Mengucapkan salam terapeutik. kehadiran perawat setelah 3x
dengan orang lain Sapa klien dengan ramah, baik petemuan
verbal maupun non verbal. - Klien dapat mengungkapkan
TUK 1: b. Perkenalkan diri dengan sopan perasaan dan keberdayaan
Klien mampu membina c. Perkenalkan diri dengan sopan saat ini secara verbal
hubungan saling percaya d. Tanyakan nama lengkap klien dan a. Klien mau menjawab
nama panggilan yang disukai klien. b. Ada kontak mata
e. Jelaskan tujuan pertemuan c. Klien mau berjabat tangan
f. Buta kontrak interaksi yang jelas, d. Klien mau berkenalan
jujur, dan tepat janji e. Klien mau menjawab
g. Tunjukkan sikap empati dan pertanyaan
menerima apa adanya. f. Klien mau duduk
h. Beri perhatian kepada klien dan berdampingan dengan
perhatian kebutuhan dasar klien. perawat
g. Klien mampu
mengungkapkan perasaanya
TUK 2: 1. Tanyakan klien tentang Klien dapat menyebutkan
Klien mampu menyebutkan a. Orang yang tinggal serumah minimal satu penyebab menarik
penyebab menarik diri dengan klien diri
b. Orang yang paling dekat a. Diri sendiri
dengan klien dirumah b. Orang lain
c. Apa yang membuat klien dekat c. Lingkungan
dengan orang tersebut
d. Orang yang tidak dekat dengan
klien dirumah
e. Apa yang membuat klien tidak
dengan orang tersebut
f. Upaya yang sudah dilakukan
agar dekat dengan orang lain.
TUK 3: Klien dapat menyebutkan
Klien mampu menyebutkan a. Kaji pengetahuan klien tentang keuntungan dan kerugian
keuntungan dan kerugian manfaat dan keuntungan bergaul berhubungan social setelah 3x
berhubungan dengan orang dengan orang lain interakti,
lain b. Beri kesempatan pada klien untuk a. Banyak teman
mengungkapkan perasaanya b. Tidak kesepian
tentang keuntungan berhubungan c. Bisa diskusi
dengan orang lain. d. Saling menolong
c. Diskusikan berama klien tentang
manfaat berhubungan dengan
orang lain
d. Beri reinforcement positif terhadap
kemampuan mengungkapkan
perasaanya tentang keuntungan
berhubungan dengan orang lain
e. Kaji pengetahuan klien tentang
kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain
f. Beri kesempatan klien untuk
mengungkapkan perasaanya
tentang kerugian bila tidak
berhubungan dengan orang lain
g. Diskusikan bersama klien tentang
kerugian tidak berhubungan
dengan orang lainDiskusikan dan
motivasi klien untuk menceritakan
kondisi fisik saat perilaku
kekerasan terjadi.
h. Diskusikan dan motivasi klien
untuk menceritakan kondisi
emosinya saat terjadinya perilaku
kekerasan.
i. Diskusikan dan motivasi klien
untuk menceritakan kondisi
psikologis saat terjadi perilaku
kekerasan.
j. Diskusikan dan motivasi klien
untuk menceritakan kondisi
hubungan dengan orang lain saat
terjadi perilaku kekerasan.
TUK 4: g. Observasi perilaku klien saat Klien dapat melaksanakan
Klien daopat melaksanakan berhubungan dengan orang lain hubungan social secara bertahap
hubungan social secara h. Beri motivasi dan bantu klien untuk setelah 3x interaksi dengan
bertahap berkenalan atau berkomunikasi a. Klien-perawat
dengan orang lain b. Klien-perawat-perawat lain
i. Beri reinforcement terhadap c. Klien-perawat-perawat lain-
keberhasilan yang telah dicapai klien lain
j. Bantu klien mengevaluasi manfaat d. Klien-keluarga atau
berhubungan dengan orang lain kelompok atau masyarakat
TUK 5: a. Dorong klien untuk Klien dapat mengungkapkan
Klien mampu mengungkapkan perasaanya dengan perasaanya setelah berhubungan
mengungkapkan perasaanya orang lain/kelompok dengan orang lain setelah 3x
setelah berhubungan dengan b. Diskusikan dengan klien manfaat interaksi untuk
orang lain berhubungan dengan klien a. Diri sendiri
b. Orang lain
c. kelompok
TUK 6: a. Diskusikan pentingnya peran Klien dapat menjelaskan setelah
Klien mendapat dukungan serta keluarga sebagai berhubungan dengan orang lain
keluarga dalam memperluas pendukung untuk mengatasi setelah 3x interaksi untuk
hubungan sosial perilaku menarik diri. d. Pengertian menarik diri
b. Diskusikan potensi keluarga e. Tanda dan gejala menarik diri
untuk membantu klien f. Penyebab dan akibat menarik
mengatasi perilaku menarik diri
diri
c. Tanyakan perasaan keluarga
setelah mencoba cara yang
dilatih
d. Dorong anggota keluarga klien
untuk memberikan dukungan
kepada klien berkomunikasi
dengan orang lain
e. Anjurkan anggota keluarga
untuk secara rutin dan
bergantian mengunjungi klien
minimal 1x/minggu
TUK 7: a. Diskusikan dengan klien tentang Klien menyebutkan setelah 3x
Klien dapat memanfaatkan manfaat dan kerugian tidak minum interaksi yaitu
obat dengan baik obat, nama, warna, dosis, cara, a. Manfaat minum obat
efek, terapi dan efek samping b. Kerugian tidak minum obat
penggunaan obat c. Nama, warna, dosis, efek
b. Pantau klien saat penggunaan obat terapi dan efek samping obat.
c. Anjurkan klien minta sendiri obat d. Klien mendemonstrasikan
pada perawat agar dapat penggunaan obat dan tanpa
merasakan manfaatnya konsultasi dokter setelah 3x
d. Beri pujian jika klien interaksi.
menggunakan obat dengan benar
e. Diskusikan akibat berhenti minum
obat tanpa konsultasi dengan
dokter
f. Anjurkan klien untuk konsultasi
kepada dokter atau perawat jika
terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
4. Implementasi
serangkaian kegiatan yang dilakukan perawat untuk membantu klien dari masalah
status kesehatan yang dihadapi menuju status kesehatan yang baik/optimal.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada ua macam yaitu:
a. Evaluasi proses atau evaluasi formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan
tindakan
b. Evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respon
pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan

Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP yaitu sebagai berikut:


S : respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
O : respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksakan
A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang
kontradiksi terhadap masalah yang ada
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien

Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut:


a. Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah)
b. Rencana di modifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksakan semua tindakan
tetapi hasil belum memuaskan)
c. Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang ada)
DAFTAR PUSTAKA
Damaiyanti & Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika
Febriana et.al, 2016. Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Harga Diri Remaja Korban
Bullying Vol. 4, No. 1. Jurnal Ilmu Keperawatan.
Mulyawan & Agustina. 2018. Terapi Kreasi Seni Menggambar Terhadap Kemampuan
Melakukan Menggambar Bentuk Pada Pasien Harga Diri Rendah Vol. 8 No. 1. Jurnal
Ilmiah Keperawatan Indonesia
Prabowo, Eko. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika Rohmah &
Walid. 2017. Dokumentasi Keperawtan. Jember: Universitas Muhammadiyah Jember
Sutejo. 2010. Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Baru Press
Widianti et. al, 2017. Aplikasi Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa Pada Pasien Skizofrenia
Dengan Harga Diri Rendah Kronis di RSMM Jawa Barat. Jurnal Pendidikan
Keperawatan Indonesia
Yosep & Sutini. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama
Yusuf et.al, 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN PASIEN
HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

Oleh
BISMA ADITIYA PUTRA
1120021017

Dosen Pembimbing
NUR HIDAAYAH.,S.Kep.,Ns.,M.Kes
NPP. 0307738

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Halusinasi
1. Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi: merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghidu (Direja, 2011). Halusinasi adalah gangguan
persepsi sensori tentang suatu objek atau gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan (Dalami,
dkk, 2014). Halusinasi hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Kusumawati,
2012).
2. Etiologi
Menurut Stuart (2007) proses terjadinya halusinasi dapat dilihat dari faktor
predisposisi dan faktor presipitasi (Dalami, dkk, 2014):
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi (Dalami, dkk, 2014):
1) Biologis
Hal yang dikaji dalam faktor biologis meliputi: Adanya faktor herediter
mengalami gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri, riwayat penyakit atau
trauma kepala, dan riwayat penggunaan Napza. Abnormalitas perkembangan
sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif
baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih
luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal
dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan
dengan terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak
klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel,
atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan
kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien adanya kegagalan yang berulang,
kurangnya kasih sayang, atau overprotektif.
3) Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi (Prabowo, 2014):
1) Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor.
3. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologi termasuk (Dalami, dkk, 2014 ) :
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali seperti
pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah proses
informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
b. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang
lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk menjelaskan
keracunan persepsi).
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor, misalnya
menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain, sedangkan reaksi
psikologis individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat,
sering disertai rasa takut dan bermusuhan.
Halusinasi berkembang melalui empat fase, yaitu sebagai berikut (Kusumawati,
2012) :
a. Fase pertama
Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini
masuk dalam golongan nonpsikotik.
Karakteristik: klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah,
kesepian yang memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan
memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cari ini hanya menolong sementara.
Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa
suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan
halusinasinya dan suka menyendiri.
b. Fase kedua
Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi
menjijikkan. Termasuk dalam psikotik ringan.
Karakteristik: pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan, kecemasan
meningkat, melamun dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan
yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu, dan ia tetap dapat
mengontrolnya.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya dan tidak bisa
membedakan realitas.
c. Fase ketiga
Disebut dengan fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori
menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik: bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan
mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa
menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan tidak
mampu mematuhi perintah.
d. Fase keempat
Adalah conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya. Termasuk
dalam psikotik berat.
Karakteristik: halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan
memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol dan tidak dapat
berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri atau katakonik, tidak mampu merespon terhadap perintah
kompleks, dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
4. Rentang Respon
Menurut Stuart dan Laraia (2005, dalam Muhith 2015) halusinasi merupakan salah
satu respon maladaptif individu yang berada dalan rentang respon neurobiologis. Ini
merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat
mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang
diterima melalui pancaindra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan,
peraban), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus pancaindra walaupun
sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Rentang respon tersebut dapat digambarkan
seperti dibawah ini (Muhith, 2015)

Keterangan:
a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon adaptif
meliputi:
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan,
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan,
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli,
4) Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran,
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
b. Respon psikososial meliputi:
1) Proses pikir terganggu yang menimbulkan gangguan
2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang yang benar-
benar terjadi (objek nyata) karena gangguan panca indra,
3) Emosi berlebihan atau kurang,
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas untuk
menghindari interaksi dengan orang lain,
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interkasi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain.
c. Respon maladaptif adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya dan lingkungan, adapun respon
maladaptif ini meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial,
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada,
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati,
4) Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur,
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negatif mengancam.
5. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat teramati sebagai
berikut (Dalami, dkk, 2014) :
a. Halusinasi penglihatan
1) Melirikkan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apasaja
yang sedang dibicarakan.
2) Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang sedang tidak
berbicara atau pada benda seperti mebel.
3) Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang tidak
tampak.
4) Menggerakan-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang menjawab
suara.
b. Halusinasi pendengaran
Adapun perilaku yang dapat teramati yakni:
1) Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakutkan oleh orang lain, benda
mati atau stimulus yang tidak tampak.
2) Tiba-tiba berlari keruangan lain.
c. Halusinasi penciuman
Perilaku yang dapat teramati pada klien gangguan halusinasi penciuman adalah:
1) Hidung yang dikerutkan seperti mencium bau yang tidak enak.
2) Mencium bau tubuh.
3) Mencium bau udara ketika sedang berjalan ke arah orang lain.
4) Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api atau darah.
5) Melempar selimut atau menuang air pada orang lain seakan sedang
memadamkan api.
d. Halusinasi pengecapan
Adapun perilaku yang terlihat pada klien yang mengalami gangguan halusinasi
pengecapan adalah:
1) Meludahkan makanan atau minuman.
2) Menolak untuk makan, minum dan minum obat.
3) Tiba-tiba meninggalkan meja makan.
e. Halusinasi perabaan
Perilaku yang tampak pada klien yang mengalami halusinasi perabaan adalah:
1) Tampak menggaruk-garuk permukaan kulit.
Menurut Pusdiklatnakes (2012), tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil
observasi terhadap klien serta ungkapan klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi
adalah sebagai berikut :
a. Data Subjektif
Klien mengatakan:
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan,
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap,
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya,
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu dan
monster,
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan,
6) Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses,
7) Merasa takutan atau senang dengan halusinasinya.
b. Data Objektif
1) Bicara atau tertawa sendiri,
2) Marah marah tanpa sebab,
3) Mengarahkan telinga kearah tertentu,
4) Menutup telinga,
5) Menunjuk kearah tertentu,
6) Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas,
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu,
8) Menutup hidung,
9) Sering meludah,
10) Menggaruk garuk permukaan kulit
6. Penatalaksanaan
Menurut Prabowo (2014) Pengobatan harus secepat mungkin diberikan, disini peran
keluarga sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ klien dinyatakan
boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam hal
merawat klien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan sebagai pengawas
minum obat.

a. Penatalaksanaan Medis
Menurut Muhith (2015) Penatalaksanaan klien skizofrenia yang mengalami
halusinasi adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain.
1) Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah
obat anti psikosis. Adapun kelompok yang umum digunakan adalah:
Kelas Kimia Nama Generik Dosis Harian
Fenotazin Tiodazin (Mellaril) 2-40 mg
Tioksanten Kloprotiksen (Tarctan) 75-600 mg
Tiotiksen (Navane) 8-30 mg
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100
Dibenzodiasepi Klozapin (Clorazil) 300-900
n
2) Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode
yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan
pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Penerapan Strategi Pelaksanaan
Menurut Keliat (2007) tindakan keperawatan yang dilakukan adalah:
a) Melatih klien mengontrol halusinasi:
1) Strategi Pelaksanaan 1 : menghardik halusinasi
2) Strategi Pelaksanaan 2 : menggunakan obat secara teratur
3) Strategi Pelaksanaan 3: bercakap-cakap dengan orang lain
4) Strategi Pelaksanaan 4 : melakukan aktivitas yang terjadwal
b) Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan tidak hanya
ditujukan untuk klien tetapi juga diberikan kepada keluarga, sehingga
keluarga mampu mengarahkan klien dalam mengontrol halusinasi.
1) Strategi Pelaksanaan 1 keluarga: mengenal masalah dalam
merawat klien halusinasi dan melatih mengontrol halusinasi klien
dengan menghardik,
2) Strategi Pelaksanaan 2 keluarga: melatih keluarga merawat klien
halusinasi dengan enam benar minum obat,
3) Strategi Pelaksanaan 3 keluarga: melatih keluarga merawat klien
halusinasi dengan bercakap-cakap dan melakukan kegiatan,
4) Strategi Pelaksanaan 4 keluarga: melatih keluarag memnafaatkan
fasilitas kesehatan untuk follow up klien halusinasi.
2) Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena
klien kembali ke masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk
mendorong klien bergaul dengan orang lain, klien lain, perawat dan dokter.
Maksudnya supaya klien tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk
kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau
latihan bersama, seperti terapi modalitas yang terdiri dari :
a) Terapi Aktivitas
Meliputi : terapi musik, terapi seni, terapi menari, terapi relaksasi,
terapi sosial, terapi kelompok , terapi lingkungan.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses untuk tahap awal dan dasar utama dari proes keperawatan
terdiri drai pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang
dikumpulkan melalui data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokkan
data pengkajian kesehatan jiwa, dapat berupa faktor presipitasi, penilaian terhadap
stressor, sumber koping, dan kemampuan yang dimiliki (Afnuhazi, 2015) :
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelmain, tanggal pengkajian, tanggal dirawat, nomor
rekam medis.
b. Alasan masuk
Alasan klien datang ke RSJ, biasanya klien sering berbicara sendiri, mendengar
atau melihat sesuatu, suka berjalan tanpa tujuan, membanting peralatan dirumah,
menarik diri.
c. Faktor predisposisi
1) Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil dalam
pengobatan,
2) Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan dalam keluarga,
3) Klien dengan gangguan orientasi besifat herediter,
4) Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat menganggu.
d. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan adanya riwayat
penyakit infeksi, penyakt kronis atau kelaina stuktur otak, kekerasan dalam
keluarga, atau adanya kegagalan kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya
aturan atau tuntutan dalam keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai
dengan klien serta konflik antar masyarakat.
e. Fisik Tidak mengalami keluhan fisik.
f. Psikososial
1) Genogram
Pada genogram biasanya terlihat ada anggota keluarga yang mengalami
kelainan jiwa, pola komunikasi klien terganggu begitupun dengan
pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
Gambaran diri klien biasanya mengeluh dengan keadaan tubuhnya, ada bagian
tubuh yang disukai dan tidak disukai, identifikasi diri : klien biasanya mampu
menilai identitasnya, peran diri klien menyadari peran sebelum sakit, saat
dirawat peran klien terganggu, ideal diri tidak menilai diri, harga diri klien
memilki harga diri yang rendah sehubungan dengan sakitnya.
3) Hubungan sosial : klien kurang dihargai di lingkungan dan keluarga.
4) Spiritual
Nilai dan keyakinan biasanya klien dengan sakit jiwa dipandang tidak sesuai
dengan agama dan budaya, kegiatan ibadah klien biasanya menjalankan
ibadah di rumah sebelumnya, saat sakit ibadah terganggu atau sangat
berlebihan.
g. Mental
1) Penampilan
Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak serasi atau cocok dan berubah
dari biasanya
2) Pembicaraan
Tidak terorganisir dan bentuk yang maladaptif seperti kehilangan, tidak logis,
berbelit-belit.
3) Aktifitas motorik
Meningkat atau menurun, impulsif, kataton dan beberapa gerakan yang
abnormal.
4) Alam perasaan
5) Berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari faktor presipitasi misalnya
sedih dan putus asa disertai apatis.
6) Afek : afek sering tumpul, datar, tidak sesuai dan ambivalen. f) Interaksi
selama wawancara Selama berinteraksi dapat dideteksi sikap klien yang
tampak komat-kamit, tertawa sendiri, tidak terkait dengan pembicaraan.
7) Persepsi
Halusinasi apa yang terjadi dengan klien. Data yang terkait tentang halusinasi
lainnya yaitu berbicara sendiri dan tertawa sendiri, menarik diri dan
menghindar dari orang lain, tidak dapat membedakan nyata atau tidak nyata,
tidak dapat memusatkan perhatian, curiga, bermusuhan, merusak, takut,
ekspresi muka tegang, dan mudah tersinggung.
8) Proses pikir
Biasanya klien tidak mampu mengorganisir dan menyusun pembicaraan logis
dan koheren, tidak berhubungan, berbelit. Ketidakmampuan klien ini sering
membuat lingkungan takut dan merasa aneh terhadap klien.
9) Isi pikir
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budaya klien. Ketidakmampuan memproses stimulus internal dan eksternal
melalui proses informasi dapat menimbulkan waham.
10) Tingkat kesadaran
Biasanya klien akan mengalami disorientasi terhadap orang, tempat dan
waktu.
11) Memori
Terjadi gangguan daya ingat jangka panjang maupun jangka pendek, mudah
lupa, klien kurang mampu menjalankan peraturan yang telah disepakati, tidak
mudah tertarik. Klien berulang kali menanyakan waktu, menanyakan apakah
tugasnya sudah dikerjakan dengan baik, permisi untuk satu hal.
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Kemampuan mengorganisir dan konsentrasi terhadap realitas eksternal, sukar
menyelesaikan tugas, sukar berkonsentrasi pada kegiatan atau pekerjaan dan
mudah mengalihkan perhatian, mengalami masalah dalam memberikan
perhatian.
13) Kemampuan penilaian
Klien mengalami ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, menilai, dan
mengevaluasi diri sendiri dan juga tidak mampu melaksanakan keputusan
yang telah disepakati. Sering tidak merasa yang dipikirkan dan diucapkan
adalah salah.
14) Daya tilik diri
Klien mengalami ketidakmampuan dalam mengambil keputusan. Menilai dan
mengevaluasi diri sendiri, penilaian terhadap lingkungan dan stimulus,
membuat rencana termasuk memutuskan, melaksanakan keputusan yang telah
disepakati. Klien yang sama seklai tidak dapat mengambil keputusan merasa
kehidupan sangat sulit, situasi ini sering mempengaruhi motivasi dan insiatif
klien.
h. Kebutuhan persiapan klien pulang
1) Makan
Keadaan berat, klien sibuk dengan halusinasi dan cenderung tidak
memperhatikan diri termasuk tidak peduli makanan karena tidak memiliki
minat dan kepedulian.
2) BAB atau BAK
3) Observasi kemampuan klien untuk BAK atau BAK serta kemampuan klien
untuk membersihkan diri.
4) Mandi : biasanya klien mandi berulang-ulang atau tidak mandi sama sekali.
5) Berpakaian : biasanya tidak rapi, tidak sesuai dan tidak diganti.
6) Observasi tentang lama dan waktu tidur siang dan malam : biasanya istirahat
klien terganggu bila halusinasinya datang.
7) Pemeliharaan kesehatan
Pemeliharaan kesehatan klien selanjutnya, peran keluarga dan sistem
pendukung sangat menentukan.
8) Aktifitas dalam rumah
Klien tidak mampu melakukan aktivitas di dalam rumah seperti menyapu.
i. Aspek medis
1) Diagnosa medis : Skizofrenia
2) Terapi yang diberikan
Obat yang diberikan pada klien dengan halusinasi biasanya diberikan
antipsikotik seperti haloperidol (HLP), chlorpromazine (CPZ), Triflnu perazin
(TFZ), dan anti parkinson trihenski phenidol (THP), triplofrazine arkine.
j. Skema Masalah

k. Pohon Masalah
Menurut Prabowo, (2014) Pohon masalah pada masalah halusinasi dapat
diuraikan sebagai berikut:
l. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang terdapat pada klien dengan gangguan persepsi
sensori halusinasi adalah sebagai berikut (Dalami, dkk, 2014):
1) Resiko perilaku kekerasan
2) Gangguan persepsi sensori halusinasi
3) Isolasi sosial
m. Intervensi Keperawatan
1) Tindakan keperawatan untuk pasien halusinasi
Tujuan tindakan untuk klien meliputi (Dermawan & Rusdi, 2013):
a) Klien mengenali halusinasi yang dialaminya,
b) Klien dapat mengontrol halusinasinya,
c) Klien mengikuti progam pengobatan secara optimal.
Menurut Keliat (2007) tindakan keperawatan yang dilakukan adalah:
a) Membantu klien mengenali halusinasi
Membantu klien mengenali halusinasi dapat melakukan dengan cara
berdiskusi dengan klien tentang isi halusinasi (apa yang di dengar Effect
Perubahan sensori persepsi : Halusinasi Core problem Cause atau dilihat),
waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang
menyebabkan halusinasi muncul dan respon klien saat halusiansi muncul

b) Melatih klien mengontrol halusinasi


1. Strategi Pelaksanaan 1 : Menghardik halusinasi
Upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak
halusinasi yang muncul. Klien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap
halusinasi yang muncul atau tidak mempedulikan halusinasinya, ini
dapat dilakukan klien dan mampu mengendalikan diri dan tidak
mengikuti halusinasi yang muncul, mungkin halusinasi tetap ada
namun dengan kemampuan ini klien tidak akan larut untuk menuruti
apa yang ada dalam halusinasinya.
Tahapan tindakan meliputi : menjelaskan cara meghardik halusinasi,
memperagakan cara menghardik, meminta klien memperagakan ulang,
memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku klien.
2. Strategi Pelaksanaan 2 : menggunakan obat secara teratur
3. Mampu mengontrol halusinasi klien juga harus dilatih untuk
menggunakan obat secara teratur sesuai dengan progam. Klien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah seringkali mengalami putus obat
sehingga akibatnya klien mengalami kekambuhan. Bila kekambuhan
terjadi maka untuk itu klien perlu dilatih menggunakan obat sesuai
progam dan berkelanjutan.
4. Strategi Pelaksanaan 3: bercakap-cakap dengan orang lain
Mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan orang
lain. Ketika klien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi
distraksi fokus perhatian klien akan beralih dari halusinasi ke
percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut, sehingga salah
satu cara yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan
bercakap-cakap dengan orang lain.
5. Strategi Pelaksanaan 4: melakukan aktivitas yang terjadwal
Mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan
diri dengan aktivitas yang teratur. Beraktivitas secara terjadwal klien
tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yangseringkali
mencetuskan halusinasi. Untuk itu klien yang mengalmai halusinasi
bisa dibantu untuk mengatasi halusinasi dengan cara beraktivitas secara
teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam
seminggu.
2) Tindakan keperawatan untuk keluarga klien halusinasi
Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan tidak hanya ditujukan
untuk klien tetapi juga diberikan kepada keluarga, sehingga keluarga mampu
mengarahkan klien dalam mengontrol halusinasi. Tujuan : keluarga mampu :
a) Merawat masalah halusinasi dan masalah yang dirasakan dalam merawat
klien,
b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya halusinasi,
c) Merawat klien halusinasi,
d) Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan untuk mengontrol
halusinasi,
e) Mengenal tanda dan gejala kekambuhan yang memerlukan rujukan segera
ke fasilitas kesehatan,
f) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk follow up klien secara
teratur.
Tindakan keperawatan :
a) Strategi Pelaksanaan 1 keluarga : mengenal masalah dalam merawat klien
halusinasi dan melatih mengontrol halusinasi klien dengan menghardik.
Tahapan sebagai berikut :
1. Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat klien.
2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya halusinasi
(gunakan booklet).
3. Jelaskan cara mengontrol halusinasi dengan melatih cara menghardik.
4. Anjurkan membantu klien sesuai jadwal dan beri pujian
b) Strategi Pelaksanaan 2 keluarga : melatih keluarga merawat klien
halusinasi dengan enam benar minum oba.
Tahapan tindakan sebagai berikut :
1. Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala halusinasi
klien, merawat klien dalam mengontrol halusinasi dengan
menghardik.
2. Berikan pujian.
3. Jelaskan 6 benar cara memberikan obat.
4. Latih cara memberikan/membimbing minum obat.
5. Anjurkan membantu klien sesuai jadwal.
c) Strategi Pelaksanaan 3 keluarga : melatih keluarga merawat klien
halusinasi dengan bercakap-cakap dan melakukan kegiatan.
Tahapan tindakan sebagai berikut :
a) Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi halusinasi klien dan
merawat/melatih klien menghardik, dan memberikan obat.
b) Berikan pujian atas upaya yang telah dilakukan keluarga.
c) Jelaskan cara bercakap-cakap dan melakukan kegiatan untuk
mengontrol halusinasi.
d) Latih dan sediakan waktu bercakap-cakap dengan klien terutama saat
halusinasi.
e) Anjurkan membantu klien sesuai jadwal dan memberikan pujian.
d) Strategi Pelaksanaan 4 keluarga : melatih keluarga memanfaatkan fasilitas
kesehatan untuk follow up klien halusinasi.
Tahapan tindakan sebagai berikut :
1. Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala halusinasi
pasien, merawat/melatih pasien mengahrdik, memberikan obat,
bercakap-cakap.
2. Berikan pujian atas upaya yang telah dilakukan keluraga.
3. Jelaskan follow up ke pelayanan kesehatan, tanda kekambuhan,
rujukan.
4. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian.
n. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan keperawatan oleh klien. Hal yang harus
diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah tindakan keperawatan yang
akan dilakukan implementasi pada klien dengan halusinasi dilakukan secara
interaksi dalam melaksanakan tindakan keperawatan, perawat harus lebih dulu
melakukan (Afnuhazi, 2015):
1) Bina hubungan saling percaya
2) Identifikasi waktu, frekuensi, situasi, respon klien terhadap halusinasi
3) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
4) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat
5) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap
6) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara melaksanakan kegiatan
terjadwal Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan.
Pada situasi nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana. Sebelum
melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan
klien sesuai dengan kondisinya (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri,
apakah kemampuan interpersonal, intelektual, teknikal sesuai dengan tindakan
yang akan dilaksanakan (Dalami, dkk, 2014).
o. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan sesuai dengan tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi dua yaitu evaluasi proses dan
evaluasi formatif, dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan evaluasi hasil
atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan yang telah
ditentukan (Afnuhazi, 2015).

DAFTAR PUSTAKA
Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa.Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Anggraini, dkk. 2013. Pengaruh Menghardik Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi
Dengar Pada Pasien Skizofrenia Di RSJD Dr.
AminogondohutomoSemarang.http://Download.Portalgaruda.Org.
Dalami E, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta: CV. Trans Info
Media.
Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit ANDI.
Nasir A dan Muhith A. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental : konsep, proses, dan praktik vol 2 edisi 4. Jakarta:
EGC.
Prabowo, Eko. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Pusdiklatnakes. 2012. Modul Pelatihan Keperawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta: Badan
PPSDM Kesehatan.
Undang Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.

Anda mungkin juga menyukai