DHIAJENG
ENTAH mengapa hatiku bisa terjerat oleh sosok Dhiajeng padahal aku tidak
mengidap oedhipus complex yaitu kelainan psikologis lebih menyukai lawan jenis
yang lebih tua daripada yang muda. Dhiajeng hampir selisih lima belas tahun
dengan usiaku, meski kenyataannya ia belum pantas disebut emak-emak atau
tante-tante, tetapi lebih pas jika dipanggil "nona". Sungguh.
Wajahnya tampak begitu segar, dengan hidung bangir. Ada tahi lalat di dagu
kirinya sangat indah jika tersenyum lantaran lesung pipit itu melengkapi
kecantikannya yang memang aduhai. Postur tubuhnya semampai dengan betisnya
indah, membuatku tak henti-henti mengaguminya.
Ia terkesan begitu anggun, lantaran piawai dalam urusan ngadi sarira, wajarlah
jika Dhiajeng bak sekar kedhaton : selalu tampil cantik anggun mempesona.
Sayangnya Dhiajeng orang dusun. Bahkan kata temanku yang pernah kuajak
serta bertandang ke sana, tempat itu lebih pas jika disebut pelosok, karena rumah
Dhiajeng menghadap ke jalan kampung yang tak beraspal. Di belakang rumah
mungil itu ada sungai kecil berair bening dan berarus deras, selebihnya sejauh
mata memandang hanya hamparan persawahan, tetapi bagiku semua itu justru
terasa damai, sejuk, dan tenteram di hati. Berbeda dengan rumahku, di kota besar
yang selalu bising, gerah, dan penuh kesemrawutan. Orang kota selalu tidak
peduli dengan nasib orang lain dan cuma berburu keberuntungan. Untuk itu aku
ingin hidup di desa, terlebih hubunganku dengan Dhiajeng semakin dekat.
"Aku ingin kamu memanggilku, Kangmas dan aku ingin memanggilmu
Dhiajeng, sebagaimana ayah dan ibuku ketika saling bertegur sapa. " kataku pada
Dhiajeng pada suatu sore, ketika kami tengah memberi makan ikan-ikan di kolam
belakang rumahnya.
Di situ ada kolam yang cukup besar, di tengahnya ada gazebo di antara taman
bunga yang artistik mengelilinginya. Kami sangat betah melepas lelah di situ
sembari berbincang panjang tentang masa depan.
" Apakah Kangmas kelak tidak akan kecewa jika menikahiku ?" tanya
Dhiajeng berterus terang.
" Tidak. " tegasku, "Hatiku sudah bulat untuk segera meminangmu, " lanjutku.
"Tapi..."
" Tapi kenapa ?" tukasku.
Dapat kubaca lewat raut wajahnya, ia tampak ragu, seraya menghela napas
panjang sebelum melanjutkan ucapannya, " maaf, Kangmas, aku hanya orang desa
yang bodoh dan lugu. Sementara Kangmas orang kota. Selain dari keluarga kaya
sekaligus Kangmas berpendidikan tinggi dan...."
" Dan Dhiajeng harus tahu bahwa urusan lahir, cinta, jodoh, rejeki, dan maut,
hanya milik Illahi. Manusia hanya berhak merekayasa, namun keputusan akhir
tetap di tangan Tuhan. Dhiajeng tidak usah ragu akan cintaku, kesetiaanku, dan
kesungguhanku !" sergahku.
" Tapi, Kangmas..."
" Tapi lagi, tapi lagi, "
"Hehe..." Dhiajeng terkekeh. " Jangan emosi, Kangmas. Karena aku ingin
ngomong sejujurnya, setulus hati." lanjutnya.
" Oke, silakan, Diajeng mau bilang apa ?"
Lagi-lagi Dhiajeng sejenak diam sebelum meneruskan bicaranya.
" Maaf, Kangmas, usia kita tidak sepadan aku empat satu, Kangmas baru dua
enam. Kangmas masih sangat muda dan aku sudah emak-emak dan..."
" Dan aku tidak peduli akan hal itu, titik !" tegasku. " Yang penting Dhiajeng
jadi milikku, jadi istriku ! Mengertikah Dhiajeng ?"
"Injih,Kangmas..." ucapnya lirih, ia pun tertunduk cukup lama, dan ketika
mengangkat wajahnya tampak air kristal bergayut di kedua sudut matanya.
"Mengapa kamu menangis, Sayangku...," ucapku sembari merangkul dan
mengelus bahunya. Airmata itu bergulir jatuh melalui pipinya serta-merta ia pun
rebah di dadaku.
Keelus pundaknya yang ringkih, kubelai rambutnya, semerbak wangi. Senja
semakin beringsut ke rembang petang. Di permukaan kolam tampak serombongan
ikan koi mendekati kaki kami yang menjuntai.
" Mengapa Dhiajeng menangis..." elusku.
" Aku terharu dengan kata-kata Kangmas tadi..." ucapnya lirih sembari
mendongak menatapku. Kuraba matanya yang basah dengan ujung jemariku. Juga
pipinya, hidungnya, dagunya. Dhiajeng memejamkan matanya. Dengan jemariku
kuraba kisi-kisi bibirnya, ia diam, tapi ketika ujung jemariku membuka bibir
indah itu, terasa ada hembusan hawa panas dari lubang hidungnya.
"Dhiajeng..." bisikku lirih di dekat telinganya.
Ia membuka matanya.
" Bolehkah aku mencium bibirmu yang indah ini ?"
Ia menganguk. Ada napas memburu ketika kucium lembut bibirnya yang
rekah dan wangi....