Disusun Oleh :
Mengetehaui :
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik
(……………………………………..) (..…………………………………)
2. Etiologi
a. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2) Appendisitis yang meradang dan perforasi
3) Tukak peptik (lambung/dudenum)
4) Tukak thypoid
5) Tukan disentri amuba/colitis
6) Tukak pada tumor
7) Salpingitis peradangan pada saluran tuba, dipicu oleh infeksi bakteri.
8) Divertikulitis kondisi di mana kantung pada kolon (usus besar) mengalami
peradangan atau infeksi. Terbentuknya kantung atau benjolan kecil pada dinding
usus sendiri sudah merupakan kelainan yang biasa dinamakan divertikula.
9) Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
b. Secara langsung dari luar:
1) Operasi yang tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
3) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
4) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
3. Jenis – jenis laparatomi
a. Mid-line incision.
b. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang
(12,5 cm).
c. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
d. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian
bawah ±4cm diatas anterior spinaliliaka, misalnya; pada operasi
appendictomy. Latihan - latihan fisik seperti latihan napas dalam, latihan
batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong,
Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur. Semuanya dilakukan hari
ke 2 post operasi. (Smeltzer, 2012).
4. Manifestasi klinis
Menurut Corwin (2000), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
2. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena perpindahan
cairan kedalam peritoneum.
3. Mual dan muntah.
4. Abdomen yang kaku.
5. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot terhadap
trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis.
6. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan sel darah putih
dan takikardia.
7. Rasa sakit pada daerah abdomen
8. Dehidrasi
9. Lemas
10. Nyeri tekan pada daerah abdomen
11. Bising usus berkurang atau menghilang
12. Nafas dangkal 13. Tekanan darah menurun
14. Nadi kecil dan cepat
15. Berkeringat dingin
5. Komplikasi
1. Abses abdominal yang terlokalisasi.
2. Peritonitis.
3. kegagalan organ multiple dan syok septik.
a. Septikemia didefinisikan sebagai proliferasi bakteri kedalam aliran darah
menghasilkan manifestasi sistemik seperti rigor, demam, hipotermi (pada
septikemia gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia,
takikardia, dan kolaps sirkulasi.
b. Syok septik berhubungan dengan kombinasi dari beberapa dibawah ini:
a) Peningkatan permeabilitas kapiler.
b) Kerusakan endothelium kapiler.
c) Hilangnya volume darah sirkulasi.
d) Depresi miokardial dan syok.
c. Infeksi pada gram negatif biasanya lebih buruk prognosisnya daripada gram positif,
karena gram negatif bisa menimbulkan endotoksemia.
4. Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan elektrolit dan pH.
5. Perdarahan mukosa gastroinstestinal Biasanya berhubungan dengan kegagalan
organ multiple dan berhubungan dengan defek pada mukosa lambung.
6. Obstruksi instestinal mekanik Sering terjadi setelah operasi disebabkan perlekatan
setelah operasi.
6. Pathway
7. Patofisiologi
Peristiwa patofisiologi yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama
tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab
mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik di mana
peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik
peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan
dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen,
yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh
karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari,
tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan
cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan
sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini
adalah penciutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok—
hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan
asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan
lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke
dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan
peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin
bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk
menyebabkan bakteriemia.
8. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada
pasien dengan peritonitis adalah :
1) Darah. Diperoleh perubahan dari nilai normal, seperti :
a. Leukositosis
b. Hemoglobin mungkin rendah bila terjadi perdarahan
c. Hematokrit meningkat
d. Asidosis metabolik
2).Cairan peritoneal, untuk mengidentifikasi kuman penyebab infeksi dan
memeriksa kepekaannya terhadap berbagai antibiotika.
2. Pemeriksaan Radiologi
1) X-Ray Foto polos abdomen dengan
3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
a. Udara (pada kasus perforasi)
b. Kadar cairan serta lengkung usus yang terdistensi
2) CT Abdomen. Menunjukkan adanya pembentukan abses
3) USG (Ultrasonografi)
a. Dapat diketahui lokalisasi kumpulan gas yang berhubungan dengan perforasi.
b. Dapat diketahui lokasi perforasi.
c. Selain itu bisa juga mengevaluasi hati, limpa, pankreas, ginjal, ovarium, adrenal,
uterus.
4) Laparaskopi Signifikan untuk memutuskan dilakukan operasi pada pasien dengan
nyeri abdomen akut.
5. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
2. Mata
penglihatan adanya kekaburan, akibat akibat adanya gangguan nervus
optikus (nervus II), gangguan dalam mengangkat bola mata (nervus III),
gangguan dalam memutar bola mata (nervus IV) dan gangguan dalam
menggerakkan boal mata kalateral (nervus VI).
3. Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karna terganggu pada nervus
olfatorius (nervus I).
4. Mulut
Adanya gangguan pengecapan (lidah ) akibat kerusakan nervus vagus
adanya kesulitan dalam menelan.
5. Dada
Inspeksi :kesimetrisan bentuk, dan kembang
kempih dada.
7. Ekstremitas
Pengukuran otot menurut (Arif Mutaqqin, 2012).
a. Nilai 0: bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
b. Nilai 1: Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada
sendi.
c. Nilai 2: Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan
grafitasi.
d. Nilai 3: Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat melawan
tekanan pemeriksaan.
e. Nilai 4: Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi
kekuatanya berkurang.
f. Nilai 5: bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan
kekuatan penuh.