Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PEMIKIRAN KONTEMPORER DALAM ISLAM

“HASYIM ASY'ARI DAN AHMAD DAHLAN”


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Pemikiran Kontemporer Dalam Islam
Dosen Pengampu: Ansor Bahary, MA

Oleh:
Muhamad Hasin Tuba
Tsulus Afdhaluddin

KELAS B
FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
KATA PENGANTAR

Puji syukur hanyalah milik Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena
dengan rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang sangat sederhana ini tepat
pada waktunya. Sholawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada baginda Nabi
Muhammad Saw, serta kepada keluarganya para sahabatnya dan kita selaku ummatnya.
Aamiin.
Dalam makalah Pemikiran Kontemporer Dalam Islam yang telah kami susun ini, kami
ingin menyampaikan tentang dua tokoh besar di Nusantara yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan KH.
Ahmad Dahlan.
Kami sangat berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyusun makalah
ini, khususnya kepada Dosen pengampu mata kuliah ini, yaitu Bapak Ansor Bahary, MA.
Kami juga berharap makalah ini dapat berguna bagi kawan-kawan semuanya dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Jakarta, 19 Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………… 2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….. 3

BAB I : PENDAHULUAN

Latar Belakang………………………………………………………………………… 4

Rumusan Masalah……………………………………………………………………... 5

Tujuan Penulisan…………………………………………………………………….....

BAB II : PEMBAHASAN

Biografi Singkat Hasyim Asy’ari……………………………………………………… 6

Rihlah Ilmiah Hasyim Asy’ari………………………………………………………….

Pemikiran Hasyim Asy’ari…………………………………………………………….. 8

Biografi Singkat Ahmad Dahlan.……………………………………………………… 10

Rihlah Ilmiah Ahmad Dahlan………………………………………………………….. 11

Pemikiran Ahmad Dahlan………………………………………………………………

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan…………………………………………………………………………….. 13

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. 14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di nusantara ini terdapat banyak tokoh muslim yang mempunyai keahlian di berbagai
bidang seperti agama, pendidikan, politik, dan sosial. Mereka memberi andil yang besar bagi
perkembangan Islam dan bangsa Indonesia. Sejak pertama kali Islam datang di Nusantara,
Allah telah menganugerahi tokoh-tokoh besar, para ulama, cendekiawan, panglima perang,
serta pemimpin yang berjasa bagi negeri ini. Mereka berjuang dengan segenap ilmu, tenaga
dan kemampuannya untuk kemajuan Islam dan kemaslahatan umat.

Ada dua tokoh yang masyhur dalam sejarah peradaban Islam maupun sejarah
kemerdekaan pada abad ke-19 di bumi nusantara ini. Kedua tokoh yang telah memberikan
kontribusi sangat besar bagi negeri ini ialah Hasyim Asy’ri dan Ahmad Dahlan, mereka adalah
ulama yang memprakarsai dua organisasi besar yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
yang saat ini menjadi organisasi islam terbesar di Indonesia.

Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), ia juga pendiri
pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren.
Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Sedangkan Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh pembaharu Islam atau bisa
diistilahkan sebagai tokoh Islam modern. Beliau berbekal Ilmu agama yang ia kuasai dan ide-
ide pembaharu dari Timur Tengah, Ahmad Dahlan mencoba menerapkannya di bumi
Nusantara. Ahmad Dahlan adalah tokoh yang paling bersemangat dalam melakukan
pembaharuan bagi dunia Islam. Beliau memiliki peran besar dalam mengembangkan
pendidikan Islam dengan pendekatan-pendekatan yang lebih modern. Ia melihat banyaknya
pengalaman keislaman masyarakat yang menurutnya tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan
Hadis.
B. Rumusan Masalah

Adapun runtutan yang akan dipaparkan dalam makalah ini yaitu :

1. Biografi Singkat Hasyim Asy’ari


2. Rihlah Ilmiah Hasyim Asy’ari
3. Pemikiran Hasyim Asy’ari
4. Biografi Singkat Ahmad Dahlan
5. Rihlah Ilmiah Ahmad Dahlan
6. Pemikiran Ahmad Dahlan

C. Tujuan

1. Mengetahui tentang biografi, rihlah ilmiah dan pemikiran Hasyim Asy’ari


2. Mengetahui tentang biografi, rihlah ilmiah dan pemikiran Ahmad Dahlan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Hasyim Asy’ari

Hasyim Asy’ari dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa

kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287
H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang,
tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di
desa Tambakrejo kecamatan Jombang.

Sejak masa kanak-kanak, Asy’ari Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim
tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri
pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Hasyim Asy’ari (Kiai Asy’ari)
merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai
Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat
perhatian terutama dari santri-santri Jawa. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah
dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.

Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa
di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun
pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun,
sebelum akhirnya, meninggalkan Keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu
hingga ke Makkah.

B. Rihlah Ilmiah Hasyim Asy’ari

Hasyim Asy’ari dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (Islam). Untuk
mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa
Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk
mendalami Islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Hasyim Asy’ari
termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru
ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana.”
Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Hasyim Asy’ari secara serius dididik dan
dibimbing mendalami pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama
mulai dari anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalui ayahnya, Hasyim Asy’ari
mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadis, Bahasa Arab dan bidang kajian Islam
lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Hasyim Asy’ari cukup menonjol. Belum
genap 13 tahun, beliau telah mampu menguasai berbagai bidang kajian Islam dan dipercaya
oleh ayahnya untuk membantu mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Hasyim Asy’ari mulai
menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, beliau belajar di pesantren Wonokoyo
(Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai
Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan
kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai
Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Hasyim Asy’ari melanjutkan di pesantren Siwalan
Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang
berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Hasyim Asy’ari. Selama tiga tahun beliau
mendalami berbagai bidang kajian Islam, terutama Tata Bahasa arab, Sastra, Fiqh dan
Tasawwuf kepada Kiai Kholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, beliau berhasil
mendalami Tauhid, Fiqh, Adab, Tafsir dan Hadis.

Atas nasihat Kiai Ya’kub, Hasyim Asy’ari akhirnya meninggalkan tanah air untuk
berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambil menunaikan ibadah haji untuk kali
kedua. Di Makkah, Hasyim Asy’ari berguru pada Syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan
bin Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin
Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal,
dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim
Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan
Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Selain itu, Hasyim Asy’ari
juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Nawawi al-
Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan
Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan
dalam pembentukan intelektual Hasyim Asy’ari di masa selanjutnya.
Prestasi belajar Hasyim Asy’ari yang menonjol, membuatnya kemudian juga
memperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari
berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’dullah al-
Maymani (Mufti di Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), al-Shihan
Ahmad bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), KH.
R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH.
Saleh (Tayu).

Seperti yang disebutkan tadi, bahwa Hasyim Asy’ari pernah mendapatkan bimbingan
langsung dari Syaikh Khatib al-Minangkabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar
oleh gurunya tersebut. Beberapa sisi tertentu dari pandangan Hasyim Asy’ari, khususnya
mengenai tarekat, diduga kuat juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun
pada sisi yang lain Hasyim Asy’ari berbeda dengan gurunya itu. Dialektika intelektual antara
guru dan murid (Syaikh Khatib dan Hasyim Asy’ari) ini sangat menarik.

Sejak masih di Makkah, Hasyim Asy’ari sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan
tarekat. Bahkan, Hasyim Asy’ari juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat
Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).

C. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari


1. Perjuangan Melawan Belanda
Masa awal perjuangan Hasyim Asy’ari di Tebuireng bersamaan dengan semakin
represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Belanda tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada saat itupengaruh Hasyim Asy’ari sangat kuat, maka keberadaannya menjadi
perhatian serius bagi penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya.
Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru
Hasyim Asy’ari sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa
perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan,
karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
Kedua, Hasyim Asy’ari juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda.
Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas.
Keruan saja, Van Der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam
yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat
Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke
tentara Jepang.
2. Perjuangan Melawan Jepang
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda
dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi
dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu
perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hasyim Asy’ari beserta sejumlah putera
dan kerabatnya. Hal tersebut dilakukan karena Hasyim Asy’ari menolak melakukan Seikerei.
Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi,
sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari
(Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah
pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Hasyim Asy’ari menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah,
bukan manusia. Akibatnya, Hasyim Asy’ari ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah,
mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa gurunya berada di pihak yang benar, sejumlah santri
Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Hasyim Asy’ari mengalami banyak
penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hasyim Asy’ari, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren
Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hasyim Asy’ari tercerai
berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota
Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh
Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Hasyim
Asy’ari juga berkat usaha dari puteranya, Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam
menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil
Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang
dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya). Dengan alasan
mengurus tawanan Jepang, Hasyim Asy’ari bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad
melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di
kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam
pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Ummat Islam yang mendengar Resolusi
Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional.
3. Membentuk Komite Hijaz
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-
Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap
bid’ah. Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S.
Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak
dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban.
Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak
dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di
Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa
kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Hasyim Asy’ari bersama para
pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang
diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk
mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai
penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga
saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-
masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang
sangat berharga.
4. Mendirikan Nahdatul Ulama (NU)
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya
dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hasyim Asy’ari yang
dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, memohon
petunjuk dari Allah.
Singkatnya, pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, organisasi tersebut
secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama.
Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Dan pada saat ini, organisasi tersebut
menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

D. Biografi Singkat Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan memiliki nama asli Muhammad Darwis, lahir pada 1 Agustus 1869 M
di Kauman, Yogyakarta. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya
bernama KH. Abu Bakar bin KH. Sulaiman, yaitu seorang Khatib di Masjid Besar Kesultanan
Yogyakarta di era Hindia Belanda. Ibunya,Siti Aminah merupakan putri dari Haji Ibrahim,
Kepala Kesultanan Yogyakarta saat itu. Muhammad Darwis atau Ahmad Dahlan hidup dalam
lingkungan yang tenteram dan masyarakat yang sejahtera. Ibunya bernama Siti Aminah binti
KH. Ibrahim, seorang penghulu kesultanan di Yogyakarta.
Dalam silsilah keturunannya, Darwis termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali terkemuka diantara Wali Songo yang merupakan pelopor pertama dari
penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad
Darwis (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadha
bin Kiai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan
Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen)
bin Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Ahmad Dahlan wafat pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923 M.
Beliau wafat di Yogyakarta, kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen,
Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta.
E. Rihlah Ilmiah Ahmad Dahlan
Semasa kecilnya, Ahmad Dahlan diasuh dan dididik mengaji oleh ayahnya sendiri.
Kemudian, ia meneruskan pelajarannya mengaji tafsir dan hadis serta bahasa arab dan fiqih
kepada beberapa ulama, diantaranya yaitu KH. Muhammad Saleh, KH. Muhsin, KH. R.
Dahlan, KH. Mahfudz, Syaikh Khayyat Sattokh, Syaikh Amin, dan Sayyid Bakri. Dengan
ketajaman intelektualitasnya yang tinggi Ahmad Dahlan selalu merasa tidak puas dengan
disiplin ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Ahmad Dahlan menempuh pendidikan di pesantren. Kemudian pada umur 15 tahun, ia
pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai
berinteraksi dengan pemikiran para tokoh pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-
Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888,
ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan
menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau yang juga guru dari tokoh pendiri NU, yaitu Hasyim Asyari.

F. Pemikiran Ahmad Dahlan


Pada tahun 1909 Ahmad Dahlan masuk Boedi Oetomo, organisasi yang melahirkan
banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran agama untuk memenuhi
keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi
Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar ia membuka sekolah
sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa
tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Ahmad Dahlan dengan mendirikan sebuah
organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330).
Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah
beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
Pemikiran Ahmad Dahlan adalah bahwa Islam hendak didekati serta dikaji melalui
kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional.
Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak
hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur’an semata, melainkan dapat memahami
makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan
sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan
masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan
memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, ia mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu. Yang
menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan
menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Ahmad Dahlan mendirikan
sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa
Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya,
beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Ia terus
mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah
banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan
ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa
semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau
juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan
terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau
juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme,
dinamisme, dan kejawen.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Ahmad Dahlan ini agak menyimpang dari
tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh.
Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran
binatang. Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan
dituduh sebagai kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa
melakukan suatu pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan
mempunyai risiko. Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh oleh Ahmad
Dahlan ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat
mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi.
Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang
dipraktekkan Ahmad Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota
Muhammadiyah. Sehingga dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi
salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kesimpulan
KH. Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868.
Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871. Selisih dua
tahunan di antara keduanya, pertanda bahwa KH. Ahmad Dahlan lebih tua dari KH. Hasyim
Asy’ari. Kiai Dahlan yang tinggal di kota menggunakan sekolah sebagai sarana dakwah.
Hingga kemudian sekolah menyebar ke desa-desa. Sementara, Hadratusyekh yang berangkat
dari desa menggunakan pesantren sebagai ‘motor dakwah.’ Saat ini, pesantren sudah berdiri di
kota-kota.
Kedua tokoh ini merupakan tokoh pahlawan nasional. Keduanya mempunyai peranan
penting di balik kemerdekaan negeri tercinta ini. K.H Ahmad Dahlan yang merupakan salah
satu anggota Boedi Oetomo, mendirikan sekolah di tengah-tengah masyarakat untuk
membasmi kebodohan dengan tujuan dapat mengentaskan Indonesia dari penjajahan kolonial
dengan pendidikan.
KH. Hasyim Asyari juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional atas jasa dan peran
serta beliau ketika terjadi perang kemerdekaan di Surabaya. Ketika itu, KH. Hasyim Asyari
mengeluarkan Resolusi Jihad yang mewajibkan setiap orang Islam yang tempat tinggalnya
berjarak di bawah 96 KM dari Surabaya, untuk datang ke Surabaya demi ikut berperang
melawan penjajah. Akhirnya masyarakat Islam berbondong-bondong datang ke Surabaya,
bahkan tidak sedikit yang datang dari daerah yang jauh.
DAFTAR PUSTAKA

Siswanto, Filsafat Dan Pemikiran Pendidikan Islam (Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama,
2015)
Abudin Nata, Tokoh tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005)
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M Hasyim Asy’ari Tentang Ahlu Sunnah Wa Al-
Jama’ah, (Surabaya, 2010)
Drs. Abdul Hadi, KH. Hasyim Asy’ari Sehimpun Cerita, dan Karya Maha Guru Ulama
Nusantara, (Yogyakarta, 2018)
https://www.biografiku.com/biografi-kh-hasyim-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama.

Anda mungkin juga menyukai