Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS SPASIAL FAKTOR RISIKO DEMAM BERDARAH DENGUE

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN JOHOR TAHUN 2018

Kelompok

Chaerul Anwar

Fathul Baari

Putri Rafikasani

Program Studi D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan


Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Esa Unggul
2021
BAB I Pendahuluan

Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular di abad ke-21 yang masih
menjadi perhatian di seluruh dunia karena dapat menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi pada semua usia populasi. Penyakit infeksius ini ditularkan melalui gigitan Aedes
aegypti dan Aedes albopictus yang mengandung virus dengue (DEN) dalam kelenjar salivanya.
Virus dengue merupakan virus yang tergolong dalam Arthropod-Borne Virus dan berasal dari
famili Flaviviridae yang memiliki empat serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-
4 (World Health Organization [WHO], 2016).

Infeksi virus dengue dapat menyebabkan manifestasi klinis yang bervariasi baik berupa
asimtomatis (tanpa gejala) dan simtomatis (dengan gejala). Penyakit infeksi ini berlangsung
sepanjang tahun terutama ketika memasuki musim penghujan yang merupakan kondisi yang
kondusif untuk perkembangbiakan jentik-jentik nyamuk sebagai vektor. Menurut The World
Mosquito Program, sebuah komunitas global yang bertujuan melindungi dunia dari ancaman
penyakit berbasis mosquito-borne, diperkirakan sebesar 40% populasi di dunia berisiko terkena
infeksi virus dengue dan sebanyak 390 juta populasi di dunia telah terinfeksi virus dengue setiap
tahun.

Meskipun telah terjadi penurunan kasus mortalitas akibat infeksi dengue sebesar 28% pada rentang
waktu antara 2010 hingga 2016 di dunia, namun dalam beberapa tahun terakhir penularan virus
dengue masih signifikan terjadi di Asia Tenggara, Amerika dan Pasifik Barat. Pada Tahun 2008,
jumlah kasus infeksi dengue yang ditemukan di Asia Tenggara, Amerika dan Pasifik Barat
melebihi 1,2 juta dan melonjak hampir 3 kali lipat di Tahun 2015 menjadi 3,2 juta (WHO, 2016).
Berdasarkan data WHO mengenai epidemi dengue pada Tahun 1968 hingga Tahun 2009,
Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah kasus DBD tertinggi setelah negara Thailand di
kawasan Asia Tenggara (Kemenkes RI, 2010).

Di Indonesia, Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD pertama kali terjadi pada Tahun 1968 di Kota
Surabaya dengan kasus yang ditemukan adalah sebanyak 58 kasus dan 24 orang diantaranya
meninggal dunia (CFR = 41,3%). Penyebaran kasus DBD semakin meluas terjadi di Indonesia
didukung oleh kondisi geografis dan iklim di Indonesia yang endemis untuk peningkatan populasi
nyamuk aedes.

Pada Tahun 2017, jumlah kasus DBD di Indonesia adalah 68.407 kasus dengan 493 orang
diantaranya meninggal dunia (IR = 26,10 per 100.000 penduduk). Jumlah tersebut mengalami
penurunan yang drastis dibandingkan dengan

Tahun 2016 yang mencatat sebanyak 204.171 kasus dan 1.598 orang meninggal dunia (IR = 78,85
per 100.000 penduduk). Sepanjang Tahun 2017, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit (DITJEN P2P) Kementerian Kesehatan RI pun melaporkan bahwa sebagian besar
provinsi di Indonesia mengalami penurunan angka kesakitan (Incidence Rate) DBD sesuai dengan
target Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2015-2019 yaitu kurang dari 49 per 100.000 penduduk.
Hal itu disebabkan oleh pelaksanaan program pencegahan DBD melalui kegiatan “Gerakan 1
Rumah 1 Jumantik” yang telah berjalan cukup efektif meskipun belum dapat diimplementasikan
di seluruh provinsi dan kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2018).

Jumlah kasus DBD di Provinsi Sumatera Utara juga memiliki trend angka kesakitan (IR) yang
menurun secara signifikan, terbukti melalui data Tahun 2016 yang melaporkan kasus DBD
sebanyak 8.715 kasus lalu turun menjadi 5.454 kasus pada Tahun 2017. Angka morbiditas atau
Incidence Rate (IR) DBD Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017 adalah 39,6 per 100.000 penduduk,
dimana angka tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya, yakni 63,3 per 100.000 penduduk.
Adapun angka mortalitas atau Case Fatality Rate (CFR) DBD Provinsi Sumatera Utara Tahun
2017 adalah 0,51% lebih rendah dibandingkan dengan Tahun 2016 yaitu 0,69%. Meskipun begitu,
penyakit DBD masih menjadi persoalan yang cukup serius di Provinsi Sumatera Utara karena
secara historis 33 kabupaten/kota di wilayah Sumatera Utara pernah terjangkit infeksi dengue
bahkan beberapa diantaranya adalah wilayah endemis DBD (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera
Utara, 2018). Kota Medan adalah wilayah di Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah kasus DBD
tertinggi hingga Tahun 2017, yakni sebanyak 1.214 kasus dengan CFR 0,91%. Kasus DBD yang
dilaporkan terjadi di Kota Medan Tahun 2013-2016 secara berurutan yaitu Incidence Rate (IR)
59,80 per 100.000 penduduk pada Tahun 2013, Incidence Rate (IR) 77,50 per 100.000 penduduk
pada Tahun 2014, Incidence Rate (IR) 61,60 per 100.000 penduduk pada Tahun 2015 dan
Incidence Rate (IR) 80,00 per 100.000 penduduk pada Tahun 2016. Kondisi tersebut menandakan
bahwa jumlah kasus DBD di Kota Medan mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat setiap
tahunnya (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2016).

Kota Medan merupakan wilayah yang endemis bagi perkembangbiakan vektor dan transmisi
penyakit DBD, sehingga per tahunnya sering ditemukan penderita DBD pada setiap kecamatan.
Berdasarkan laporan bulanan Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas
Kesehatan Kota Medan Tahun 2018 terdapat sepuluh kecamatan dengan jumlah kasus DBD yang
tinggi (angka kasus yang dilaporkan melebihi dari 50 kasus) yang diantaranya ialah Kecamatan
Medan Helvetia dan Kecamatan Medan Johor. Kecamatan Medan Helvetia terbagi atas tujuh
kelurahan dengan satu unit Puskesmas (Primary Health Care Centres) yaitu Puskesmas Helvetia
dan Kecamatan Medan Johor terdiri dari enam kelurahan dengan dua unit Puskesmas yaitu
Puskesmas Medan Johor dan Puskesmas Kedai Durian. Puskesmas Helvetia mencatat kasus DBD
dengan jumlah yang lebih besar yaitu sebanyak 122 kasus bila dibandingkan dengan jumlah kasus
DBD yang ditemukan di Puskesmas Medan Johor (72 kasus) dan Puskesmas Kedai Durian (49
kasus), namun berdasarkan laporan bulanan Unit Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
Menular Puskesmas Medan Johor, ditemukan 2 kasus meninggal dunia karena DBD yang
membutuhkan penanganan serius dan strategi pengendalian penyakit yang adekuat untuk
mencegah dan menanggulangi penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor.

Penularan penyakit DBD disebabkan oleh beberapa faktor risiko yang antara lain adalah
pergantian iklim, faktor lingkungan, urbanisasi, mobilitas penduduk dan kepadatan penduduk
(Kemenkes RI, 2010). Sedangkan menurut Novrita dkk (2017) terdapat penjabaran yang lebih
dalam mengenai karakteristik dan perilaku penderita sebagai faktor risiko seperti umur, jenis
kelamin, pengetahuan, pekerjaan, penggunaan kawat kasa, menguras tempat penampungan air
(TPA) dan pelayanan kesehatan. Pada dasarnya, kejadian penyakit DBD merupakan hasil resultan
dari hubungan antara variabel lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dengan
faktor geografis di suatu wilayah administratif yang tidak seimbang. Interaksi antara variabel
lingkungan dengan variabel geografis yang tidak seimbang dapat menimbulkan efek yang
mengancam kesehatan masyarakat, sehingga diperlukan upaya pengendalian melalui suatu
manajemen penyakit terpadu berbasis kewilayahan yang dapat meminimalisir jumlah kasus dan
faktor risiko secara terintegrasi. Ada tiga metode esensial yang dapat digunakan untuk melakukan
manajemen penyakit di suatu wilayah, yang salah satunya adalah dengan menggunakan analisis
spasial.

Analisis spasial dapat menyajikan informasi geografis secara akurat untuk mengetahui bagaimana
gambaran dan pola penyebaran penyakit serta wilayah mana yang memiliki risiko tinggi sehingga
dapat menyelesaikan permasalahan DBD di suatu wilayah. Sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Semarang yang memperlihatkan bahwa
penyebaran kasus DBD memiliki pola berkerumun di wilayah dengan jumlah populasi yang padat.
Analisis spasial lebih informatif daripada rekapitulasi kasus sederhana yang disajikan dalam
bentuk tabular maupun grafik karena dapat memberikan gambaran nyata yang diperlukan
stakeholder dalam pengambilan keputusan.

Dalam melakukan analisis spasial, diperlukan sistem berbasis komputer yaitu Sistem Informasi
Geografis (SIG) yang mendukung proses pengolahan dan penyimpanan data atau informasi
geografis (cartographic modeling). SIG memiliki kemampuan untuk memberikan representasi
ruang dari peristiwa kesehatan dan menggambarkan hubungan antar lokasi dengan kejadian
penyakit (event) yang berguna dalam kegiatan monitoring dan evaluasi program kesehatan. SIG
bersifat eksploratif dan dapat menghubungkan indikator sosiokultural secara spasial dengan data
penyakit tanpa terbatas ruang dan waktu sehingga memudahkan menganalisis faktor risiko yang
ditularkan oleh vektor.

Meskipun SIG sangat aplikatif dalam menyelesaikan suatu masalah kesehatan di wilayah endemis
maupun non endemis, namun belum banyak ditemukan penelitian terdahulu yang membahas
kejadian DBD menggunakan SIG terutama di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor. Oleh sebab
itu, maka dilakukan penelitian mengenai analisis spasial faktor risiko DBD di wilayah kerja
Puskesmas Medan Johor Tahun 2018 yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan
rekomendasi dalam upaya penanggulangan kasus DBD yang lebih efektif dan lebih efisien.

Rumusan Masalah

Berdasarkan data bahwa terdapat 2 kasus meninggal dunia disebabkan DBD yang terjadi di
wilayah kerja Puskesmas Medan Johor dan belum adanya pendekatan spasial yang digunakan
dalam upaya memutuskan rantai penularan melalui faktor risiko penyakit DBD, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana factor risiko DBD dan pemetaan sebaran kasus
DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor Tahun 2018.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan faktor risiko Demam Berdarah Dengue
(data individu dan data agregat) dan memetakan sebaran kasus Demam Berdarah Dengue
menggunakan analisis spasial di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor Tahun 2018.

Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menjelaskan hubungan umur, pendidikan, pendapatan, penggunaan obat anti nyamuk,


kebiasaan menguras TPA, penggunaan kawat kasa dan genangan air dengan kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Medan Johor Tahun 2018.
2. Menjelaskan hubungan kepadatan penduduk dan ABJ (Angka Bebas Jentik) dengan jumlah
kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor Tahun 2018.
3. Menjelaskan pola sebaran kasus DBD secara spasial di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor
Tahun 2018.
4. Menjelaskan zona buffer kasus DBD dengan fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerja
Puskesmas Medan Johor Tahun 2018.
Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)


Demam Berdarah Dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit
berbasis mosquito-borne yang disebabkan oleh virus dengue (DEN). Virus dengue merupakan
RNA untai tunggal (ssRNA) positive-strand virus yang berasal dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. Virus DEN merupakan virus berukuran kecil yaitu 50 nanometer yang memiliki
genom virus dengan panjang 11.000 nukleotida yang terdiri dari tiga gen protein struktural. Tiga
gen protein struktural ini memberikan kode pada satu protein inti atau core (C), satu protein pre-
membran (M), satu protein penyelubung atau envelope (E) dan tujuh protein non-struktural (NS)
yaitu NS1 - NS2A - NS2B - NS3 - NS4A - NS4B - NS5 (Nasronudin, 2007).

Virus DEN mempunyai empat jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4
dengan yang banyak berkembang di masyarakat adalah serotipe DEN1 dan DEN-3 (WHO, 2016).
Empat jenis serotipe tersebut memiliki sifat antigenik yang berbeda dalam menginfeksi manusia.
Secara in vitro, antibodi manusia terdiri dari 4 fungsi pertahanan biologis terhadap virus DEN,
yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC)
dan antibody dependent enhancement (ADE). Derajat beratnya penyakit ditentukan oleh efek
antibody dependent enhancement (ADE) yang dimiliki pejamu ketika terjadi reaksi silang antar
serotipe (Sjahrodji, 2012).

Bila seseorang terkena infeksi salah satu serotipe, maka akan terbentuk imunitas jangka panjang
terhadap serotipe sejenis. Namun, bila penderita terinfeksi untuk kedua kalinya oleh jenis serotipe
virus DEN yang berbeda dan efek antibody dependent enhancement (ADE) tidak dapat
memberikan kekebalan yang sempurna terhadap infeksi virus dari serotipe tersebut maka hal itu
dapat meningkatkan keparahan penyakit seperti perdarahan fatal, kerusakan endotel hingga
memicu terjadinya Dengue Shock Syndrome (DSS).

2.2 Faktor penyebab

Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)


Virus DEN ditularkan pada manusia melalui gigitan Aedes (Stegomyia) aegypti dan Aedes
(Stegomyia) albopictus yang telah terinfeksi. Aedes aegypti merupakan vektor utama dalam
penularan penyakit DBD. Seringkali nyamuk ini berkembang biak pada air bersih yang tergenang
pada ban dan botol bekas, bak mandi, drum, kaleng, tempurung dan atau pada container buatan
manusia lainnya. Frekuensi gigitan oleh Aedes aegypti cenderung akan lebih banyak sebesar 3,3
kali pada orang yang diam atau tidak beraktivitas dibandingkan dengan orang lebih aktif bergerak.
Indeks populasi Aedes aegypti paling banyak ditemukan di daerah perumahan yang kumuh, rumah
susun dan rumah usaha atau ruko. Sedangkan Aedes albopictus menyebar di kawasan terbuka
dengan banyak vegetasi.

Aedes aegypti termasuk nyamuk antropofilik (menyukai darah manusia) yang sering menggigit
leher bagian belakang dan daerah sekitar mata kaki. Nyamuk ini aktif mencari mangsa pada pagi
hari sekitar pukul 08.00-11.00 dan sore hari pukul 15.00-17.00 dengan jarak terbang sekitar 40-
100 meter dari tempat perindukannya. Aedes aegypti menghisap darah penderita dengan posisi
mendatar sehingga mudah terganggu dan sering berpindah pada pejamu lain (multiple bites) untuk
melanjutkan proses menghisap darah hingga kenyang. Sifat bionomik nyamuk inilah yang semakin
memperbesar penyebaran infeksi dengue hingga menjadi hiperendemik.

Nyamuk yang telah terinfeksi virus DEN akan tetap infektif seumur hidupnya. Diperlukan masa
inkubasi ekstrinsik (extrinsic incubation period) selama 8-10 hari agar virus DEN memasuki
kelenjar liur (salivary glands) Aedes betina lalu berkembangbiak dan ditularkan kepada manusia.
Setelah virus DEN bereplikasi dalam tubuh manusia maka terjadi masa inkubasi selama 3-14 hari
sampai terjadinya onset demam dan gejala yang nonspesifik seperti sakit kepala frontal, nyeri otot
(mialgia), nyeri sendi (atralgia), rasa mual, muntah dan ruam kulit (Garna, 2012).

Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue (DBD)


Penularan penyakit DBD disebabkan oleh kausalitas yang majemuk yang terdiri dari berbagai
faktor yang saling berhubungan antara satu sama lain. Faktor-faktor tersebut dapat memengaruhi
peningkatan jumlah kasus serta luas wilayah yang terjangkit. Penyakit DBD dapat dijelaskan
melalui konsep segitiga epidemiologi (triad epidemiology) yang terdiri dari faktor risiko host,
agent dan environment.

a. Faktor host.

Manusia merupakan penjamu utama yang peka terhadap infeksi virus dengue. Faktor-faktor yang
berperan dalam penularan infeksi DENV pada manusia adalah umur dan jenis kelamin, pendidikan
dan pengetahuan, perilaku masyarakat, sosial ekonomi, riwayat sakit DBD sebelumnya, tingkat
kerentanan (susceptibility), kepadatan penduduk dan mobilitas penduduk.

b. Umur dan jenis kelamin.

Umur adalah salah satu faktor yang dapat memengaruhi kepekaan infeksi virus DEN sehingga
memperbesar peluang terjadinya penularan penyakit. Dewasa ini penyakit DBD mengalami
pergeseran pola jumlah penderita yang meningkat pada seluruh kelompok umur terutama usia
produktif yaitu 15-64 tahun.

c. Pendidikan dan pengetahuan.

Tingkat pendidikan dapat memengaruhi cara berpikir seseorang dalam menerima penyuluhan.
Seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung tahu lebih banyak tentang masalah
kesehatan dan dapat menjaga kesehatannya dengan lebih baik. Pendidikan berkaitan erat dengan
pengetahuan yang nantinya akan berhubungan dengan keputusan seseorang untuk berperilaku
sehat (predisposing factor). Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan akan berpengaruh pada
peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat untuk mencegah DBD dengan tindakan preventif.

d. Perilaku masyarakat
Perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari
perilaku yang paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang dirasakan sampai paling yang tidak
dirasakan (Okviana, 2015). Perilaku merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkunganya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku
merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam
dirinya (Notoatmojo, 2010).
e. Sosial ekonomi

Status ekonomi berhubungan langsung dengan kerentanan manusia terhadap penyakit DBD
karena infeksi dengue sering ditemukan di wilayah-wilayah kumuh yang padat dengan sistem
sanitasi yang buruk. Faktor pendapatan sangat berpengaruh terhadap perilaku sehat penderita
DBD. Seseorang yang memiliki pendapatan yang baik mampu untuk menjaga kesehatan dengan
cara memperhatikan konsumsi makanan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan biaya kesehatan
yang diperlukan, sehingga secara tidak langsung dapat mencegah persebaran infeksi virus penyakit
DBD dengan maksimal (Kusumawati dkk, 2016).
f. Riwayat penyakit DBD.

Penderita DBD memiliki kemungkinan untuk bisa terkena infeksi dengue lebih dari satu kali atau
mengalami infeksi sekunder disebabkan oleh empat strain virus yang berbeda. Apabila seseorang
terinfeksi salah satu serotipe virus DEN, maka tubuh akan memiliki antibodi terhadap jenis
serotipe tersebut dan hanya menjadi pelindung sementara terhadap serotipe lainnya (Soedarto,
2012). Transmisi infeksi dengue tidak akan meluas apabila sebagian besar populasi memiliki
tingkat kekebalan yang tinggi terhadap DBD sehingga dapat melindungi kelompok populasi
lainnya (herd immunity).

g. Kepadatan penduduk.

Semakin padat penduduk maka menyebabkan semakin optimal perkembangbiakan virus di


masyarakat. Laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali menyebabkan munculnya
pemukiman yang padat dan kumuh sehingga terjadi breeding site bagi nyamuk. Kondisi tersebut
mendukung penularan penyakit DBD semakin cepat karena jarak terbang nyamuk yang juga
pendek.

h. Mobilitas penduduk.

Perpindahan penduduk yang melintasi batas wilayah memudahkan penularan penyakit infeksi dari
satu tempat ke tempat lainnya. Arus urbanisasi yang terus meningkat telah membuat terjadinya
pergeseran pola penyebaran penyakit DBD yang semula di daerah perkotaan menyebar ke daerah
pedesaan. Mobilisasi penduduk yang tinggi didukung oleh adanya peningkatan industrialisasi dan
perkembangan jalur transportasi di dalam kota maupun antar daerah.

2.3 Analisis Spasial

Analisis spasial menggunakan beberapa teknik atau proses yang melibatkan sejumlah
hitungan dan evaluasi logika matematis dalam rangka menemukan hubungan atau pola-pola
yang terdapat di antara unsur-unsur spasial (Prahasta, 2014:305). Kemampuan analisis dalam
SIG (Prahasta, 2014:117), diantaranya:

1. Klasifikasi
Mengklasifikasikan kembali suatu data hingga menjadi data spasial baru berdasarkan kriteria
(atribut) tertentu.

2. Jaringan

Fungsionalitas ini merujuk data spasial titik-titik atau garis-garis sebagai jaringan yang tidak
terpisahkan.

3. Overlay

Fungsionalitas ini menghasilkan layer data spasial baru yang merupakan hasil kombinasi
dari minimal dua layer yang menjadi masukannya. Pada penelitian yang akan dilakukan
menggunakan teknik ini untuk menggabungkan beberapa tematik atau layer diantaranya peta
administrasi, kejadian DBD, kepadatan penduduk, dan ABJ.

4. Buffering

Fungsi ini akan menghasilkan layer spasial baru yang berbentuk poligon dengan jarak
tertentu dari unsur-unsur spasial yang menjadi masukannya. Buffer adalah suatu analisis untuk
membuat suatu area penyangga di sekitar objek yang sedang dilakukan pengamatan. Jarak buffer
DBD dengan menggunakan dua pertimbangan jarak terbang nyamuk sepanjang hidupnya, dan
rata-rata jarak terbang per hari dari nyamuk Aedes aegypti. Rata-rata nyamuk betina Aedes aegypti
hidup selama 8-15 hari dan rata-rata nyamuk tersebut dapat terbang 30-50 m per hari. Hal tersebut
mengindikasikan umumnya nyamuk betina berpindah sekitar 240-750 m selama hidupnya.

5. 3D Analysis

Fungsi ini terdiri atas sub-sub fungsi yang terkait dengan presentasi data spasial di dalam
ruang 3 dimensi (permukaan digital).

6. Digital Image Processing

Fungsionalitas ini, nilai/intensitas dianggap sebagai fungsi sebaran spasial.

7. Average Nearest Neighbor (ANN)


Merupakan suatu analisis yang digunakan untuk menentukan pola penyebaran. Nilai
Average Nearest Neighbor (ANN) dinyatakan dengan ANN=1 berarti kejadian berpola random,
ANN<1, berarti kejadian berkerumun (clustered), ANN>1 berarti kejadian menyebar
(dispersed) (Puspitasari, Rheni dan Irwan Susanto,

2011: 73-75).

III. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 KERANGKA TEORI

Kejadian penyakit sebagai salah satu sumber transmisi agent merupakan hasil dari
hubungan interaktif antara faktor kependudukan dengan faktor lingkungan. Kejadian penyakit
dalam perspektif faktor-faktor di atas dapat digambarkan melalui teori simpul. Proses kejadian
penyakit (disease occurrences) dijelaskan oleh 5 simpul yang saling berhubungan, dimulai dari
simpul 1 berupa sumber penyakit; simpul 2, komponen lingkungan sebagai media transmisi
penyakit; simpul 3, perilaku pemajanan (behavioural exposure); simpul 4, kondisi penduduk yang
sehat atau sakit akibat interaksi dengan lingkungan dan simpul 5, variabel suprasistem seperti
variabel iklim, topografi, temporal atau kebijakan yang dapat memengaruhi semua simpul.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disusun kerangka teori mengenai faktor
kependudukan, faktor lingkungan (curah hujan, suhu, kelembaban dan kepadatan vektor) dan
upaya pengendalian DBD terhadap kejadian DBD di bawah ini :
Upaya Pengendalian DBD

3 M Plus, Pengendalian B iologik


dan Kimiawi serta PJB

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Sumber Media Penduduk : Kejadian


Penyakit : Transmisi DBD :
1. Umur
Penyakit :
1. DENV 2. Jenis 1. Sakit
2. Penderita 1. Aedes Kelamin DBD
DBD yang aegypti dan 3. Kepadatan 2. Sehat
infeksius Aedes Penduduk
albopictus 4. Mobilitas
Penduduk
5. Pendidikan
6. Sosial
Ekonomi
7. Perilaku
Masyarakat

Faktor Iklim

Curah Hujan, Suhu, Kelembaban, Ketinggian Tempat

Gambar 1.1 Kerangka Teori


3.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu diagram yang menggambarkan hubungan antara satu
variabel dengan variabel lain yang diteliti. Berdasarkan penjelasan teori simpul pada kerangka
teori di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Data Individu
1. Umur
2. Pendidikan
3. Pendapatan
4. Penggunaan obat anti Kejadian DBD
nyamuk
5. Kebiasaan menguras
tempat penampungan air
( TPA )
6. Penggunaan kawat kasa
7. Genangan air

Data Agregat
1. Kepadatan penduduk
Jumlah kasus DBD
2. Angka Bebas Jentik
( ABJ )

Gambar 1.2 Kerangka Konsep


IV. Metodologi Penelitian

4.1 Rancangan penelitian

Lokasi dan Waktu (Data apa yang digunakan dan disesuaikan dengan judul tema)

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor yang terdiri dari Kelurahan
Pangkalan Masyhur, Kelurahan Gedung Johor dan Kelurahan Kwala Bekala dimulai dari Bulan
Desember 2018 sampai Juli 2019.

4.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua teknik yakni
pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan
wawancara terhadap kasus dan kontrol. Pengambilan titik koordinat tempat tinggal penderita DBD
di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor dilakukan melalui aplikasi GPS Logger. Waktu yang
diperlukan untuk proses perekaman titik koordinat menggunakan GPS Logger adalah sekitar ±2
menit di lokasi terbuka yang berada di depan rumah penderita DBD dengan tingkat akurasi <6
meter. Untuk memindahkan data dari GPS Logger ke Quantum GIS (QGIS) digunakan aplikasi
EasyGPS. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Puskesmas Medan
Johor berupa data kasus DBD setiap kelurahan per bulan dan Angka Bebas Jentik (ABJ) yang
tercatat pada buku register DBD. Melalui publikasi Kecamatan Medan Johor dalam Angka Tahun
2018 dapat diketahui data jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk di wilayah
kerja Puskesmas Medan Johor Tahun 2018.

4.4 Analisis Spasial

Data kepadatan penduduk dan Angka Bebas Jentik (ABJ) akan dianalisis secara spasial dengan
menggunakan perangkat lunak Quantum GIS (QGIS) dan GeoDa. Pada Quantum GIS (QGIS)
akan digunakan fungsi overlay, fungsi buffer dan analisis tetangga terdekat (nearest neighbor
analysis). Fungsi buffer dilakukan untuk melihat jarak fasilitas pelayanan kesehatan dengan kasus
DBD sedangkan analisis tetangga terdekat (nearest neighbor analysis) dilakukan untuk
menjelaskan pola sebaran kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor. Fungsi classic
regression (disebut juga spatially weighted regression) yang tersedia pada GeoDa digunakan untuk
mengetahui hubungan statistik secara kewilayahan (uji regresi) antara variabel kepadatan
penduduk dan ABJ dengan jumlah kasus DBD.

Analisis Spasial
Sebaran kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor. Data agregat yang akan
dianalisis secara spasial adalah data kepadatan penduduk dan angka bebas jentik (ABJ) dengan
jumlah kasus DBD. Fungsi analisis spasial yang digunakan adalah overlay, Nearest Neighbor
Analysis (NNA), buffering dan spatially weighted regression.

Dari 72 kasus yang tercatat dalam buku register DBD yang dapat dipetakan adalah
sebanyak 51 kasus. Selebihnya yaitu 21 kasus tidak dapat dipetakan karena data alamat yang tidak
lengkap dan tidak jelas sehingga sulit untuk ditemukan di lapangan. Berikut adalah distribusi kasus
DBD berdasarkan kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor :

Tabel 6
Distribusi Sebaran Kasus DBD Per Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor Tahun
2018

Kelurahan Jumlah Kasus DBD


Pangkalan Masyhur 19
Gedung Johor 25
Kwala Bekala 7
Total 51

Jumlah Kasus DBD


30

25

20

15

10

0
Pangkalan Masyhur Gedung Johor Kwala Bekala
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa proporsi kasus DBD terbesar terdapat pada Kelurahan
Gedung Johor sebesar 25 kasus DBD disusul oleh Kelurahan Pangkalan Masyhur sebesar 19 kasus
DBD dan Kelurahan Kwala Bekala sebesar 7 kasus DBD Tahun 2018
KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor Tahun 2018
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Ada hubungan umur dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor
Tahun 2018.
2. Tidak ada hubungan pendidikan dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan
Johor Tahun 2018.
3. Tidak ada hubungan pendapatan dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan
Johor Tahun 2018.
4. Ada hubungan kebiasaan menguras TPA dengan kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Medan Johor Tahun 2018.
5. Ada hubungan genangan air dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan
Johor Tahun 2018.
6. Tidak ada hubungan kepadatan penduduk dengan jumlah kasus DBD di wilayah kerja
Puskesmas Medan Johor Tahun 2018.
7. Ditemukan adanya pola yang mengelompok (clustered) pada sebaran kasus DBD di
wilayah kerja Puskesmas Medan Johor Tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai