Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT

ISPA PNEUMONIA PADA BALITA DI PROVINSI BANTEN


TAHUN 2011 - 2015

Disusun Oleh :

AZHAR MUTTAQIN 20200306098


FAUZIAH IRFANY 20200306085
INTAN RUSDIANA DEWI 20200306084
TANTRI WILANANDA 20200306094

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI REKAM MEDIS DAN INFROMASI KESEHATAN

UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA

TAHUN 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 1

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 2

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 2


B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 6
1. Tujuan Umum ..................................................................................................... 6
2. Tujuan Khusus .................................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 7

A. Inspeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ..................................................................... 7


B. Faktor Penyebab ISPA .................................................................................................... 8
1. Kepadatan Penduduk .......................................................................................... 8
2. Jenis Pekerjaan .................................................................................................... 9
3. Kemiskinan ....................................................................................................... 10
C. Analisis Spasial ............................................................................................................. 11
BAB III KERANGKA KONSEP........................................................................................... 12

A. Kerangka Teori ............................................................................................................. 12


B. Kerangka Konsep .......................................................................................................... 15
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................. 17

A. Desain Penelitian .......................................................................................................... 17


B. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................................................ 17
C. Populasi Penelitian ........................................................................................................ 17
D. Manajemen Data ........................................................................................................... 17
1. Pengumpulan Data ............................................................................................ 17
2. Pengolahan Data ............................................................................................... 18
E. Analisis Data ................................................................................................................. 19
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 20

BAB VII KESIMPULAN ....................................................................................................... 23

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah
kesehatan utama di dunia. Penyakit ini menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit infeksi di seluruh dunia (WHO, 2014) dengan angka kejadian
sebesar 18,8 miliar kasus dan jumlah kematian sebesar 4 juta orang setiap tahunnya
(WHO, 2015). Secara global, ISPA menjadi penyebab ke-7 terbesar dari terjadinya
kematian terkait lingkungan (WHO, 2016). Penyakit ini terjadi di seluruh wilayah
mulai dari negara miskin, negara berkembang sampai negara maju. Seperti di
wilayah Sub Sahara Afrika, China, dan Australia dimana penyebab utama kunjungan
masyarakat ke pelayanan kesehatan adalah ISPA (Jary, et al., 2015, Juan, et al., 2014,
Clucas, et al., 2008). Selama tahun 2015, jumlah kematian akibat ISPA tertinggi
terjadi di wilayah Afrika, yang selanjutnya diikuti oleh Asia Tenggara (WHO, 2016).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu
infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan bawah (Simoes et al,
2006). Pneumonia merupakan salah satu dari jenis infeksi saluran pernapasan bawah
dan telah menjadi perhatian serius, karena merupakan penyebab utama dari kematian
balita terutama di negara berkembang dengan 3 juta kematian setiap tahunnya
(WHO, 2015).
Balita merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap penyakit
ISPA. Sepanjang tahun 2015, pneumonia telah menyebabkan 5,9 juta balita meninggal
dunia (WHO, 2016). Hal ini menjadikan ISPA pneumonia menjadi penyebab terbesar
atas kematian anak di seluruh dunia, terutama di wilayah Asia Tenggara dan Sub
Sahara Afrika (WHO, 2015) dengan perkiraan jumlah kematian sebesar 51 %
(Dawood, 2012).
Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan jumlah
kematian akibat ISPA tertinggi yaitu sebesar 25.000 jiwa selama tahun 2015,
kemudian diikuti oleh Philipina, Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja (WHO,
2016). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2013 period
2
prevalence ISPA pneumonia di Indonesia sebesar 2,7 % yang mengalami peningkatan
dari hasil sebelumnya pada tahun 2007 yaitu sebesar 2,1 % (Kemenkes RI, 2013).
Bahkan, pneumonia sempat menjadi penyebab terbesar kematian bayi yang terjadi di
10 provinsi di Indonesia pada tahun 2005, yaitu sebesar 22,30 % dari seluruh
kematian bayi (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Sehingga penyakit ISPA
pneumonia menjadi pembunuh balita nomor satu di Indonesia dengan perkiraan
kematian sebesar 80-90% (Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, 2014).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 Provinsi Banten masuk kedalam 10
provinsi dengan ISPA tertinggi di Indonesia, dimana periode prevalence ISPA
pneumonia pada balita sebesar 19,3 permil dan telah melebihi angka Indonesia yaitu
18,5 permil (Kemenkes RI, 2013). Sementara itu, berdasarkan hasil Riskesdas Banten
tahun 2007 rasio prevalensi pneumonia klinis sebulan terakhir adalah lebih dari 1 per
10 dari prevalensi klinis ISPA (Depkes RI, 2009 & 2013). Penyakit Pneumonia pada
balita di Provinsi Banten cenderung mengalami fluktuasi, dimana pada tahun 2009
terdapat 13.098 kasus (1,6 %), kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010
menjadi 35.767 kasus (2,6 %), tahun 2011 mengalami penurunan kembali menjadi
20.475 kasus (1,8 %), dan terjadi lagi peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2012
menjadi 116.906 kasus (10,8%). Dan setiap tahun ISPA selalu menjadi urutan
pertama dari 10 penyakit terbanyak yang terjadi di Provinsi Banten (Dinas Kesehatan
Provinsi Banten, 2011, 2012, 2013).
Salah satu indikator yang ingin dicapai pada Millenium Development Goals
(MDGs) adalah menurunkan angka kematian bayi dan balita. Namun berdasarkan
hasil pencapaian MDGs 2000-2015 indikator tersebut tidak tercapai di Indonesia dan
hingga kini masih menjadi masalah yang dibutuhkan kerja keras untuk mengatasinya
(Kemenkes RI, 2015). Karena ISPA pneumonia merupakan penyebab utama kematian
pada bayi dan balita di Indonesia, maka penanggulangan dan pemberantasan penyakit
ISPA pneumonia sangat diperlukan sebagai upaya pencapaian indikator tersebut.
Perencanaan program pemberantasan penyakit ISPA harus dibentuk secara baik, dan
berdasarkan pedoman pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs) di
Indonesia bahwa peran pemerintah provinsi menjadi kekuatan dasar dalam
mewujudkan indikator yang ingin dicapai (Kemenkes RI, 2015), maka perencanaan
program pemberantasan penyakit ISPA terutama pneumonia di tingkat Provinsi perlu
dibuat dengan melakukan analisis situasi penyakit yang sedang terjadi, mulai dari
3
jumlah kasus, distribusi, serta karakteristik dan faktor yang berkontribusi terhadap
situasi penyakit tersebut.
Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa kondisi lingkungan pada
kelompok masyarakat di suatu wilayah merupakan penyebab dari terjadinya penyakit
ISPA. Keberadaan sumber-sumber pencemaran udara seperti gas buang kendaraan
bermotor, industri (Wardhani et al, 2010), pemeliharaan ternak di sekitar tempat
tinggal (Herawati & Sukoco, 2011) dapat menciptakan kondisi lingkungan udara yang
buruk dan merupakan faktor utama penyebab penyakit ISPA. Selain itu faktor
lingkungan dalam rumah juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit ISPA (Shibata et al, 2014), seperti kondisi dinding rumah (Soesanto, Lubis,
& Atmosukarto, 2000), lantai rumah, sampai dengan penggunaan bahan-bahan yang
dapat menimbulkan pencemaran udara di dalam rumah seperti obat nyamuk bakar
(Yulianti, Setiani, & Hanani, 2012) dan bahan bakar memasak (Acharya, Mishra, &
Beckhoff, 2014) berperan dalam terjadinya penyakit ISPA. Bahkan faktor sosial dan
ekonomi masyarakat seperti kepadatan penduduk (Breiman, et al., 2015), pendapatan
(Prakash, 2014), dan pekerjaan (Cohen, 2006) juga ikut mempengaruhi kejadian
penyakit ISPA. Berbagai pencemaran udara tersebut dapat menimbulkan penyakit
ISPA dan dapat memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita ISPA
terutama pneumonia pada Balita (Ditjen P2PL, 2012).
Untuk melihat gambaran situasi penyakit ISPA beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya di Provinsi Banten, maka pemetaan distribusi penyakit ISPA
dengan menggunakan analisis spasial dapat sangat membantu menghadirkaninformasi
tersebut secara lebih baik. Analisis spasial merupakan analisis data yang dilakukan
terhadap data spasial (data yang berorientasi keruangan), yang dapat dilakukan
dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi Geografis
adalah sebuah sistem yang mampu membangun, memanipulasi dan menampilkan
informasi yang memiliki referensi geografis (Ramadona & Kusnanto, 2012). Analisis
spasial menggunakan SIG memiliki keunggulan dibandingkan hanya menggunakan
analisis data tabular, karena memungkinkan untuk melihat, memahami,
menginterpretasi dan menampilkan data spasial dalam banyak cara, yang
memperlihatkan hubungan, pola dan trend secara spasial, dalam bentuk peta, globe,
laporan dan grafik (Marjuki, 2014).

4
Penggunaan analisis spasial terhadap suatu populasi di wilayah yang luas
merupakan langkah awal dalam menggambarkan situasi penyakit beserta karakteristik
yang melekat di wilayah tersebut. Analisis ini dapat sangat membantu pemerintah dan
petugas kesehatan di Provinsi Banten dalam mengetahui pola distribusi penyakit
ISPA pneumonia dan faktor-faktor yang menyertainya secara lebih jelas. Dengan
mengetahui pola distribusi penyakit dan kemungkinan penyebabnya maka akan lebih
mudah bagi petugas dalam melakukan perencanaan upaya penanggulangan dan
pencegahan penyakit ISPA pneumonia secara lebih efektif, berbasis komunitas,
ataupun mempermudah dalam merancang pengembangan program penanggulangan
selanjutnya (Ramadona & Kusnanto, 2012), data yang ditampilkan pun mudah
dipahami dan hasilnya mudah disebarluaskan (Marjuki, 2014).
Analisis spasial penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten mampu
menghadirkan peta distribusi penyakit dalam kurun waktu tertentu sehingga dapat
diketahui perkembangan penyakit yang terjadi. Maka dengan mengetahui informasi
tersebut dapat membantu membangun hipotesis terkait faktor risiko penyakit ISPA
pneumonia untuk kemudian merencanakan program penanggulangan secara efektif
dan tepat sasaran. Dengan demikian peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai analisis spasial penyakit ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten
tahun 2011-2015.

B. Rumusan Masalah
Penyakit ISPA pneumonia merupakan pembunuh nomor satu balita di
Indonesia dengan estimasi kematian sebesar 80-90%. Sejak tahun 2011-2013 penyakit
ini menjadi 10 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat di Provinsi Banten.
Bahkan Provinsi Banten termasuk kedalam 10 Provinsi dengan kasus ISPA terbesar di
Indonesia. Situasi tersebut dimungkinkan menjadi salah satu penyebab dari tidak
tercapainya salah satu indikator MDGs 2000-2015 yaitu menurunkan angka
kematian bayi dan balita. Sehingga pada perencanaan SDGs indikator tersebut
masih dimasukkan sebagai salah satu indikator yang harus dicapai dengan kerja keras.
Untuk membuat perencanaan program penanggulangan penyakit ISPA secara
tepat sebagai salah satu upaya mencapai indikator SDGs, maka perlu diketahui
informasi frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor

5
yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan penyakit tersebut secara lebih
baik di tingkat provinsi, termasuk Provinsi Banten. Informasi tersebut dapat
dihasilkan secara lebih baik dengan membuat pemetaan distribusi penyakit ISPA
pneumonia menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dengan demikian, peneliti
ingin mengangkat permasalahan ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten
beserta faktor - faktor yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan penyakit
ISPA pneumonia pada balita menggunakan analisis spasial.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA


pneumonia pada balita secara spasial dilihat dari faktor lingkungan
berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011 - 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA
pneumonia pada balita berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Banten tahun 2011 - 2015.
b. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA
pneumonia pada balita dilihat dari faktor lingkungan fisik (jenis lantai
rumah, jenis dinding rumah, jenis bahan bakar memasak, kepadatan
ternak unggas, dan kepadatan industri) berdasarkan wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011 - 2015.
c. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA
pneumonia pada balita dilihat dari faktor lingkungan sosial ekonomi
(jenis pekerjaan dan kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota
di Provinsi Banten tahun 2011 - 2015.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi yang menyerang
saluran pernapasan baik itu saluran pernapasan atas ataupun saluran pernapasan
bawah. Saluran pernapasan atas dimulai dari bagian lubang hidung, pita suara, laring,
sinus paranasal, serta telinga tengah, dan saluran pernapasan bawah terdiri dari trakea,
bronkus, bronkiolus, dan alveoli (Simoes, et al., 2006). ISPA yang terjadi pada
saluran pernapasan atas sering ditemui sebagai common cold, influenza, sinusitis,
tonsillitis, bahkan dapat meluas hingga menyebabkan otitis media. Sementara ISPA
yang menyerang saluran pernapasan bawah adalah bronchitis dan pneumonia (Asih &
Effendy, 2004).
ISPA pneumonia merupakan infeksi salurah pernafasan bawah atau biasa
disebut radang paru yang disebabkan oleh bakteri, dimana Streptococcus pneumonia
merupakan jenis bakteri penyebab utamanya (WHO, 2007). Selain bakteri, fungi
(Maryani dan Kristiana, 2004), virus (WHO, 2007), dan polutan udara (WHO,
2009) juga merupakan agen penyebab penyakit ISPA pada umumnya, dimana bukan
hanya pajanan tunggal tetapi pajanan gabungan dari beberapa jenis agen penyakit
tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA termasuk jenis pneumonia.
Walaupun penyakit ini menyerang saluran pernapasan, tetapi dampak yang
ditimbulkannya bersifat sistemik, sehingga dapat menyebabkan penyakit pada organ
dan sistem tubuh lainnya. Contoh dampak dari penyakit ISPA yang tidak
ditanggulangi adalah timbulnya penyakit berbahaya lainnya seperti penyakit difteri,
pertussis, dan campak (Simoes, et al., 2006). Penyakit ini menjadi penyebab utama
dari buruknya status kesehatan dan kematian pada anak-anak (WHO, 2009).

7
B. Faktor Penyebab ISPA
1. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk adalah angka yang menunjukkan rasio banyaknya
penduduk per kilometer persegi (Banten Dalam Angka, 2016). Kepadatan
penduduk merupakan salah satu kriteria dalam menentukan prioritas wilayah
dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama kesehatan lingkungan
karena memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi (Fauziah, 2006). Standar
Nasional Indonesia mengkategorikan kepadatan penduduk kedalam tiga
kelompok yaitu, kepadatan penduduk rendah jika <150 jiwa/ha, kepadatan
penduduk sedang jika sama dengan 150-200 jiwa/ha, dan kepadatan penduduk
tinggi jika >200 jiwa/ha.
Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah erat kaitannya
dengan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki
penduduk yang padat maka akan memiliki jarak antara satu rumah ke rumah
yang lain lebih dekat bahkan sempit, sehingga aktivitas yang dilakukan oleh
satu keluarga kemungkinan besar akan memberikan pengaruh pada orang-
orang disekitarnya, terutama aktivitas yang dapat menyebabkan timbulnya
penyakit ISPA termasuk pneumonia seperti pencemaran udara yang dihasilkan
dari kegiatan memasak terutama bila masih menggunakan kayu bakar,
aktivitas merokok anggota keluarga, membakar sampah, emisi kendaraan
bermotor, dan lainnya. Selain itu, jarak rumah yang berdekatan akan
memungkinkan anak untuk lebih sering kontak dengan orang-orang
disekitarnya yang bila berada dalam kondisi sakit akan memungkinkan
terjadinya penularan yang lebih besar. Kepadatan penduduk yang tinggi di
suatu wilayah juga memungkinkan terbentuknya lingkungan yang kumuh,
dimana pada kondisi lingkungan kumuh akan meningkatkan risiko timbulnya
berbagai penyakit termasuk ISPA. Hasil Riskesdas menunjukkan bahwa
kondisi tempat tinggal penduduk menentukan kejadian ISPA, pada daerah
rural anak-anak lebih sedikit menderita penyakit ISPA dari pada anak yang
tinggal di daerah urban, dimana daerah rural dan urban tersebut dihubungkan
dengan perbedaan pada tingkat kepadatan penduduknya (Daroham &
Mutiatikum, 2009). Pandemik Influenza A (H1N1) juga pernah terjadi di
Utah pada tahun 2009, dimana terjadi pada daerah yang memiliki
8
kepadatan penduduk tertinggi (CDC, 2011). Sebuah penelitian di Kiberia juga
menyatakan bahwa kepadatan penduduk diduga menjadi salah satu penyebab
dari penyebaran virus ISPA di wilayah perkotaan (Breiman, et al., 2015).
Penelitian di Malaysia terhadap 6 area strategis di Kota Kuala Lumpur juga
menemukan bahwa kasus ISPA yang tinggi lebih banyak terjadi pada area
perkotaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi (Leh,et al, 2011).

2. Jenis Pekerjaan
Bekerja merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang
dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau
keuntungan (Banten Dalam Angka, 2016). Dengan memperoleh pendapatan
dari hasil bekerja maka masyarakat dapat memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya, termasuk kebutuhan untuk memenuhi kesehatannya.
Jenis pekerjaan penduduk secara tidak langsung dapat mempengaruhi
kejadian ISPA di suatu wilayah. Berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh
pada frekuensi dan distribusi penyakit karena sebagian hidupnya dihabiskan di
tempat pekerjaan (Budiarto & Anggraeni, 2003). Seseorang yang bekerja di
tempat yang berisiko seperti parbik yang menghasilkan pencemaran udara,
atau di pinggir jalan yang merupakan pusat kepadatan lalu lintas sehingga
menghirup banyak polusi, dan tempat-tempat berisiko lainnya akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk terkena penyakit ISPA, dibandingkan
orang yang bekerja di lingkungan yang sehat dan jauh dari sumber
penyebab ISPA. Seperti dalam penelitian Dewi (2009) dimana pekerja polisi
lalu lintas memiliki risiko untuk mengalami ISPA 1,97 kali lebih besar dari
pada polisi bagian administrasi. Begitu pula pada orang yang bekerja di
lingkungan yang berisiko terhadap pencemaran udara lainnya seperti Rumah
Pemotongan Unggas, dimana pekerja mengalami keluhan subjektif seperti
sesak napas, batuk, serta flu/bersin yang merupakan gejala dari penyakit ISPA
(Septantiana & Asfawi, 2015). Hasil penelitian Muhe (1994) menemukan
bahwa tinggal dalam keluarga yang ayahnya bekerja sebagai petani memiliki
keterkaitan dengan meningkatnya kejadian penyakit ISPA pada anak. Goel et
al (2012) juga menemukan bahwa prevalensi ISPA paling tinggi terjadi pada
anak yang pekerjaan ayahnya di bidang pertanian. Hasil penelitian
9
Geberetsadik, Worku, & Berhane, (2015) juga menemukan bahwa status
pekerjaan ibu berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita, dimana ibu
yang memiliki pekerjaan tetap/professional/teknik merupakan faktor protektif
dari terjadinya ISPA.

3. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
menilai status ekonomi penduduk. Kemiskinan dipandang sebagai suatu
keadaan dimana terdapat ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar baik berupa makanan maupun non makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan di bawah garis kemiskinan disebut sebagai penduduk miskin
(Banten Dalam Angka, 2016). Kemiskinan juga dapat mempengaruhi kejadian
penyakit ISPA di suatu wilayah. Penduduk yang memiliki status ekonomi yang
rendah atau dikategorikan sebagai penduduk miskin cenderung akan memiliki
tempat tinggal atau rumah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, selain
itu ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan terhadap makanan yang
bergizi juga dapat terjadi sehingga masyarakatnya akan lebih rentan terserang
penyakit termasuk ISPA pneumonia. Kemiskinan juga akan mempengaruhi
kondisi lingkungan yang tercipta di wilayah mereka tinggal dan cenderung
memiliki kondisi yang tidak baik bahkan dapat menciptakan kondisi yang
kumuh. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Machmud (2009)
yang menemukan bahwa balita yang tinggal dalam lingkungan rumah tangga
miskin memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena pneumonia, yang
disebabkan oleh pencemaran di dalam rumah.
Hasil penelitian (Hapsari, Dharmayanti, & Supraptini, 2013) dalam
kurun waktu 10 tahun menyatakan bahwa penyakit ISPA terus mengalami
peningkatan seiring dengan jumlah rumah sehat yang mengalami penurunan,
dan penurunan rumah sehat tersebut terjadi pada penduduk dengan status
ekonomi yang rendah. Hasil penelitian (Biradar, 2013) juga menemukan
bahwa kejadian penyakit ISPA sangat berkaitan dengan status ekonomi
penduduknya, dimana kejadian ISPA yang tinggi terjadi pada masyarakat
yang memiliki status ekonomi yang rendah. Penelitian Rahman & Rahman
10
(1997) juga menyatakan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kejadian
ISPA, dimana ISPA pada anak lebih banyak terjadi pada keluarga yang
tergolong miskin. Hasil penelitian (Rojas, 2007) juga menyatakan bahwa
kemiskinan berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada
penduduk di Chili, terutama pada wilayah yang ditempati oleh penduduk
pribumi.

C. Analisis Spasial

Analisis spasial merupakan istilah yang sering digunakan dalam melakukan


analisis data dengan menggunakan sistem informasi geografis, yang memiliki
keunikan dan berbeda dengan analisis lainnya karena mengikutsertakan dimensi ruang
atau geografi (Handayani, Soelistijadi, & Sunardi, 2005). Analisis spasial
berhubungan dengan bagaimana data diolah dan dianalisis untuk menghasilkan
sebuah informasi yang dilakukan dengan pengukuran (measurement), reklasifikasi
spasial (spatial reclassification), analisa jaringan, analisa permukaan (surface
analysis), vector geoprocessing, dan raster geoprocessing, dan hasilnya dapat
ditampilkan dalam bentuk peta, table, grafik, maupun laporan, yang dapat disimpan
kembali dalam basis data, serta dapat dimanfaatkan untuk aplikasi lain (Marjuki,
2014).

Hubungan antara lingkungan dan kesehatan secara lebih baik dapat


digambarkan dengan menggunakan teknik pemetaan. Selain lingkungan geografis,
faktor-faktor lainnya seperti sosial ekonomi dalam kaitannya dengan kesehatan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi pola persebaran penyakit, yang dapat diselidiki
lebih lanjut untuk mengetahui korelasi antara faktor-faktor tersebut. Selain
mengetahui hubungan kausal, analisis spasial juga dapat dikembangkan untuk
memprediksi perubahan kesehatan berdasarkan perubahan lingkungan yang terjadi,
sebagai contoh pemetaan kerentanan masyarakat terhadap wabah penyakit dapat
diketahui dengan menggunakan analisis spasial yang didasarkan pada informasi
kualitas air, suhu, dan curah hujan (WHO, 2016).

Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa penggunaan analisis spasial


dapat memberikan manfaat dalam penelitian berbagai penyakit. Seperti dalam
penelitian Wardani et al (2013) yang memanfaatkan analisis spasial untuk mengetahui

11
pola persebaran penyakit tuberkulosis, hasil penelitian tersebut menunjukkan
informasi tentang lokasi populasi yang berisiko yaitu pada wilayah dengan
determinan sosial yang rendah, hasil penelitian tersebut digunakan sebagai dasar
dalam upaya pengendalian tuberkulosis. Hasil penelitian Widiarti, Heriyanto, &
Widyastuti (2014) yang menggunakan analisis spasial mampu menggambarkan pola
persebaran kejadian luar biasa penyakit malaria di Kabupaten Purbalingga yaitu
berpola mengelompok terhadap keberadaan mata air yang merupakan faktor
lingkungan yang berpengaruh pada keberadaan vektor penyakit. Pemanfaatan analisis
spasial pada penyakit lainnya seperti leptospirosis (Febrian & Solikhah, 2013),
filariasis (Wulandhari, 2015) dapat menggambarkan pola persebaran penyakit
berdasarkan faktor lingkungan, serta dapat memprediksi daerah rawan pada penyakit
ISPA (Ni’mah, 2014), daerah rentan penyakit TB, demam berdarah, dan diare (Fitria,
Wahjudi, & Wati, 2014).

12
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori
Dari Berbagai teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka status kesehatan
masyarakat terhadap terjadinya penyakit ISPA pada balita dapat dijelaskan
berdasarkan teori H. L. Blum. Menurut teori tersebut, terdapat empat faktor utama
yang berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat yaitu faktor lingkungan,
faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (Ryadi, 2016). Faktor
lingkungan merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling besar, kemudian diikuti
oleh faktor perilaku, pelayanan kesehatan, dan yang paling sedikit memberikan
pengaruh adalah faktor genetik. Jika status kesehatan masyarakat yang rendah dalam
kaitannya dengan kejadian penyakit ISPA pneumonia yang tinggi pada balita
digambarkan berdasarkan teori H. L. Blum, maka faktor lingkungan yang berperan
adalah faktor lingkungan dalam rumah seperti luas ventilasi, jenis lantai, jenis
dinding, kepadatan hunian rumah, suhu, kelembaban, dan pencemaran udara dalam
rumah; faktor lingkungan fisik luar rumah seperti suhu, kelembaban, dan pencemaran
udara ambien; serta lingkungan sosial dan ekonomi seperti kepadatan penduduk, jenis
pekerjaan, dan kemiskinan penduduk. Kemudian faktor perilaku itu sendiri dapat
dikaitkan dengan faktor lingkungan sosial dan ekonomi, dimana faktor - faktor itulah
yang turut serta membentuk perilaku masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA
pneumonia. Selanjutnya faktor pelayanan kesehatan dalam hal ini maka adanya
program penanggulangan penyakit ISPA, serta faktor genetik berupa faktor individu
yang terdiri dari usia, status imunisasi, status gizi, dan ASI eksklusif. Hubungan
berbagai faktor tersebut dapat terlihat lebih jelas dalam Bagan 3.1 Kerangka Teori
berikut ini.

13
Karakteristik

individu:

- Usia Genetik
- Status
Bakteri dan imunisasi,
virus dalam - Status gizi,
tubuh - ASI eksklusif
penderita Masuk Replikasi
Masuk ke Terhirup oleh
kedalam Metabolisme pada alveoli Sakit ISPA
udara manusia pneumonia Perilaku
saluran tubuh menimbulka
ambien (balita) n cairan,
pernapasan
balita sehingga
Polutan mengalami
udara dari kesulitan
emisi
Faktor lingkungan Faktor lingkungan dalam
bernapas
kendaraan, luar rumah :
rumah : Pelayanan
TPA,
- Suhu Keluar Kesehatan
- Luas ventilasi,
industri, dan - Kelembaban
- Jenis lantai, melalui
kandang - Jenis dinding, sistem
ternak - Kepadatan hunian ekskresi
rumah,
- Suhu dan kelembaban
- Pencemaran udara Tidak
dalam rumah Urin
sakit
Faktor lingkungan sosial dan
ekonomi : kepadatan penduduk,
jenis pekerjaan, dan kemiskinan

Bagan 3.1 Kerangka Teori

14
B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori pada pembahasan
sebelumnya dimana terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya ISPA
pneumonia pada balita, yaitu faktor individu yang terdiri dari usia, status gizi, status
imunisasi, dan ASI eksklusif; kemudian faktor lingkungan dalam rumah yang terdiri
dari jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian rumah, luas ventilasi, suhu,
kelembaban, dan pencemaran udara dalam rumah; kemudian faktor lingkungan luar
rumah yang terdiri dari suhu, kelembaban, sumber pencemaran udara ambien; serta
faktor lingkungan sosial ekonomi seperti jenis pekerjaan dan kemiskinan.
Namun, pada penelitian ini tidak semua variabel tersebut dapat diteliti. Faktor
individu tidak diteliti karena variabel tersebut tidak sesuai untuk desain studi ekologi
yang unit analisisnya merupakan populasi, selain itu penelitian ini juga lebih terfokus
pada faktor lingkungan, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial ekonomi.
Selanjutnya pada faktor lingkungan fisik dalam rumah, hanya variabel jenis lantai,
jenis dinding, dan bahan bakar memasak yang dapat dilakukan penelitian, hal ini
disebabkan oleh keterbatasan data yang tersedia. Sementara untuk faktor lingkungan
luar rumah, variabel status merokok, penggunaan obat anti nyamuk, keberadaan TPA,
serta suhu dan kelembaban udara tidak dilakukan pengukuran karena keterbatasan
data yang tersedia.
Kerangka konsep terdiri dari variabel dependen dan variable independen.
Yang merupakan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA
pneumonia pada balita. Dan yang merupakan variabel independen adalah faktor
lingkungan fisik dalam rumah (jenis lantai, jenis dinding, dan bahan bakar memasak),
faktor lingkungan fisik luar rumah (kepadatan ternak unggas dan industri), dan faktor
lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan). Hubungan antara
variabel-variabel tersebut dapat digambarkan dalam Bagan 3.2 sebagai berikut.

15
Faktor lingkungan fisik :

- jenis lantai rumah


- jenis dinding rumah
- jenis bahan bakar memasak
- kepadatan ternak unggas
Kejadian ISPA Pneumonia
- kepadatan industri
Pada Balita

Faktor lingkungan sosial ekonomi :

- Jenis pekerjaan
- Kemiskinan

Bagan 3.2
Kerangka Konsep

16
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain
studi ekologi, karena pada penelitian ini menggunakan data sekunder berbasis
populasi (aggregate). Metode yang digunakan adalah analisis spasial, karena variabel
pada penelitian ini berupa faktor risiko atau karakteristik yang keberadaannya konstan
di masyarakat, dan selanjutnya akan dianalisis terhadap distribusi penyakit (Chandra,
2009) yang dibatasi secara geografik.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Desember
tahun 2016. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Provinsi
Banten yang mencakup 4 kabupaten dan 4 kota.

C. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus ISPA pneumonia pada
balita per Kabupaten/Kota yang terlaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten
selama tahun 2011-2015.

D. Manajemen Data
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan bersumber pada data sekunder.
Data sekunder yang digunakan terdiri dari data spasial dan non spasial. Data
spasial adalah data yang berorientasi geografis, dalam hal ini maka yang
termasuk dalam data spasial adalah peta digital Provinsi Banten berdasarkan
wilayah Kabupaten/Kota yang diperoleh secara open source dari Badan
Informasi Geospasial (BIG). Sementara data non spasial merupakan data
tabular atau data yang berisi informasi deskriptif, dalam hal ini maka yang
termasuk data non spasial adalah:

17
a. Data kasus penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten per
Kabupaten/Kota selama tahun 2011-2015 yang tercatat dalam Laporan
Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Banten yang diperoleh dari Bagian
P2 (Penanggulangan Penyakit) Dinas Kesehatan Provinsi Banten.
b. Data jenis lantai rumah penduduk, jenis dinding rumah penduduk, jenis
bahan bakar memasak penduduk, kepadatan ternak unggas, kepadatan
industri, jenis pekerjaan penduduk, dan kemiskinan di Provinsi Banten
per Kabupaten/Kota yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dalam
Laporan Banten Dalam Angka Tahun 2012-2016.

2. Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Pemeriksaan Data
Pada tahapan ini semua data yang telah dikumpulkan dari
beberapa sumber akan diperiksa mana sajakah data yang dibutuhkan
dan digunakan dalam penelitian, kemudian dilakukan pemeriksaan
kembaliterkait kelengkapan dari data yang dibutuhkan tersebut.
b. Pemasukan Data
Setelah data dipilih dan diperiksa kelengkapannya selanjutnya
data yang dibutuhkan dimasukkan kedalam komputer menggunakan
software pengolah data tabular. Maka data yang akan diolah diubah
tampilannya kedalam bentuk tabel. Pada proses pemasukan data
dilakukan tahap normalisasi data. Tahapan ini dilakukan dengan cara
mengedit baris dan kolom yang tidak diperlukan pada setiap variabel
penelitian, sehingga tampilan tabel akan menjadi sesederhana
mungkin. Tampilan tabel tersebut akan membantu dalam proses
analisis data tahap selanjutnya.
c. Pemberian Kode
Tahapan selanjutnya adalah membuat kode pada setiap variabel
penelitian. Kode dibuat dengan panjang maksimal 10 huruf. Setelah
diberikan kode pada setiap variabel penelitian, selanjutnya menetapkan
primary key, dalam hal ini maka primary key adalah nama
kabupaten/kota. Kemudian tahap berikutnya adalah membuka file dbf

18
dari atribut shapfile yang telah tersedia dari BIG. Setelah filenya
terbuka, salin (copy dan paste) kolom primary key ke file berisi tabel
kerja yang dilakukan normalisasi, kemudian pindahkan dan samakan
kolom primary key ke dalam kolom kabupaten/kota dengan teknik
dragging. Lalu lakukan pengecekan kembali agartidak terjadi
kesalahan pada data yang telah dimasukan.
d. Perubahan Format File
Tahap Berikutnya Adalah Menyimpan Lembar Kerja
Pengolahan Data Tabular Yang Telah Dilakukan Normalisasi
Sebelumnya Dalam Bentuk CSV. Selanjutnya Data Tersebut Akan
Dijoin Ke Dalam Software Pengolah Data Spasial Yaitu Quantum
GIS 2.8.1.

E. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan
analisis spasial. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi
penyakit ISPA pneumonia berdasarkan variabel jenis lantai rumah penduduk, jenis
dinding rumah penduduk, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak,
kepadatan ternak unggas, kepadatan industri, jenis pekerjaan penduduk, dan
kemiskinan. Hasil dari analisis univariat berupa proporsi yang ditampilkan dalam
bentuk grafik dan diagram.

Selanjutnya distribusi penyakit ISPA pneumonia tersebut akan dianalisis


menggunakan analisis spasial sehingga akan dihasilkan peta distribusi penyakit
berdasarkan variabel-variabel penelitian yang dipisahkan dan dibandingkan
berdasarkan letak geografis yaitu dibatasi oleh wilayah masing-masing
kabupaten/kota dan trend penyakit dalam kurun waktu 5 tahun. Analisis ini
dilakukan dengan cara menggabungkan (join) database peta digital wilayah Provinsi
Banten dengan jumlah kasus ISPA pneumonia pada masing-masing kabupaten/kota.
Kemudian pada attributable, tiap wilayah kabupaten/kota akan diberi warna sesuai
klasifikasi dari masing-masing variabel penelitian dan jumlah kasus ISPA pneumonia.

19
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi distribusi


frekuensi penyakit ISPA pada balita secara umum yang dilihat dari proporsi penyakit
berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten dari tahun 2011-2015. Perkembangan
tren penyakit ISPA pada balita selama kurun waktu 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Grafik
5.1 berikut.

Grafik 5. 1
Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011-2015

Berdasarkan Grafik 5.1, dapat diketahui bahwa frekuensi penyakit ISPA pada balita
selama lima tahun mengalami fluktuasi pada semua wilayah kabupaten/kota. Dapat terlihat
bahwa kenaikan frekuensi penyakit cenderung terjadi pada tahun 2012, sedangkan penurunan
frekuensi penyakit cenderung terjadi pada tahun 2013. Secara umum, pada tahun 2014 juga
terjadi peningkatan frekuensi penyakit ISPA pada balita di sebagian besar wilayah
kabupaten/kota, kecuali Kota Cilegon, begitu pula pada tahun 2015 dimana juga terus

20
mengalami peningkatan pada sebagian besar wilayah kabupaten/kota kecuali Kota Tangerang.
Sehingga dapat terlihat adanya perkembangan penyakit ISPA pada balita yang mengalami
peningkatan tahun 2012, kemudian menurun pada tahun 2013, yang selanjutnya cenderung
terus mengalami peningkatan hingga tahun 2015.

Frekuensi penyakit ISPA pada balita yang paling tinggi terjadi di Kota Cilegon setiap
tahunnya, dengan angka yang paling tinggi sebesar 100% pada tahun 2011 dan 2012.
Sedangkan untuk kasus terendah tersebar di beberapa wilayah lainnya, dengan angka terendah
sebesar 13,13% terjadi pada tahun 2013 di Kota Serang. Berdasarkan data tersebut, maka
dapat terlihat jumlah kabupaten/kota yang telah melebihi prevalensi penyakit ISPA pada balita
di tingkat Provinsi Banten terus meningkat dalam 2 tahun terakhir.

Sedangkan informasi perkembangan tren penyakit ISPA yang lebih terfokus pada
jenis ISPA pneumonia pada balita yang dilihat dari angka insidens penyakit berdasarkan
wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama kurun waktu 5 tahun terakhir dapat dilihat
pada Grafik 5.2 sebagai berikut.

Grafik 5. 2
Insidens Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota
di Provinsi Banten Tahun 2011-2015

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten,


2011-2015

21
Berdasarkan Grafik 5.2, dapat terlihat bahwa insidens penyakit ISPA pneumonia
pada balita selama lima tahun mengalami fluktuasi pada sebagian besar wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten. Terdapat dua kabupaten/kota yang memliki tren penyakit
ISPA pneumonia yang cenderung meningkat, yaitu pada Kabupaten Serang dan Kabupaten
Tangerang, sementara Kota Tangerang Selatan terus mengalami peningkatan selama lima
tahun.
Dapat terlihat bahwa kenaikan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita
cenderung terjadi pada tahun 2014, sedangkan penurunan frekuensi penyakit cenderung
terjadi pada tahun 2013. Angka tertinggi dari insidens penyakit ISPA pneumonia pada balita
tersebut adalah sebesar 4,61% yang terjadi di Kota Tangerang tahun 2012 dan melebihi
insidens penyakit ISPA pneumonia pada balita di tingkat Provinsi Banten juga mengalami
fluktuasi dalam 5 tahun terakhir.

22
BAB VII
KESIMPULAN

1. Distribusi frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita yang tinggi di Provinsi
Banten selama tahun 2011-2015 memiliki kecenderungan lebih terpusat pada
wilayah timur Provinsi Banten, terutama pada Kota Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan. Kemudian, terdapat pola persebaran penyakit, dimana tingkat
kejadian ISPA pneumonia pada balita yang sama terjadi pada wilayah yang
berdekatan.
2. Distribusi frekuensi penyakit ISPA pneumonia berdasarkan faktor lingkungan
fisik di Provinsi Banten tahun 2011-2015 yaitu:
a. Kabupaten/kota dengan proporsi lantai tanah penduduk yang tinggi
tersebar pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada
balita yang rendah, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga terdapat pola
persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor
lingkungan berupa jenis lantai yang memiliki kecenderungan ke arah
negatif.
b. Kabupaten/kota dengan proporsi dinding kayu yang tinggi tersebar
pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita
yang rendah, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga terdapat pola
persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor
lingkungan berupa jenis dinding yang memiliki kecenderungan ke arah
negatif.
c. Kabupaten/kota dengan proporsi bahan bakar kayu yang tinggi
tersebar pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia
pada balita yang rendah, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga
terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita
terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar yang memiliki
kecenderungan ke arah negatif.
d. Kabupaten/kota yang memiliki ternak unggas padat dan sangat padat
tersebar di wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada
balita yang tinggi. Selain itu terdapat peningkatan dan penurunan

23
kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang seiring juga dengan
peningkatan dan penurunan kepadatan ternak unggas. Sehingga
terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita
terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak yang memiliki
kecenderungan ke arah positif.
e. Kabupaten/kota dengan kepadatan industri yang tinggi tersebar pada
wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang
tinggi. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia
pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan industri yang
memiliki kecenderungan ke arah positif.
3. Distribusi kejadian penyakit ISPA pneumonia berdasarkan faktor lingkungan
sosial ekonomi di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015 yaitu:
a. Kabupaten/kota dengan proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi
tersebar pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada
balita yang tinggi. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA
Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis
pekerjaan industri yang memiliki kecenderungan ke arah positif,
sementara pada jenis pekerjaan pertanian memiliki kecenderungan ke
arah negatif.
b. Kabupaten/kota dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita yang
tinggi tersebar pada wilayah yang memiliki proporsi penduduk miskin
yang rendah. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA
Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kemiskinan
yang memiliki kecenderungan ke arah negatif.

24

Anda mungkin juga menyukai