DISUSUN OLEH :
1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..………………………………………………………………… 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………….. 6
2.1 Diare ………………………………………………………………………...…… 6
2.2 Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Bayi …………………. 7
2
2.3.2 Asi Eksklusif ………………………………………….…….. 10
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP ……………………………… 12
3.1 Kerangka Teori ……………………………………………………….………. 12
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………………………13
4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………………………….. 13
BAB V
5.1 Gambaran Kasus Diare Pada Balita Di Kota Jakarta Barat …………………15
5.2 Gambaran Kasus Diare Pada Balita Berdasarkan Akses Air Minum Layak … 15
5.3 Gambaran Kasus Diare Pada Balita Berdasarkan Jamban Sehat …………….. 16
BAB VI
KESIMPULAN ………………………………………………………………………17
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diare merupakan suatu kondisi dimana individu mengalami buang air dengan frekuensi
sebanyak 3 atau lebih per hari dengan konsistensi tinja dalam bentuk cair (Sumampouw, 2017).
Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit
potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian (Kemenkes RI,
2016). Organisme, bakteri, atau virus penyebab diare dapat menginfeksi tubuh manusia melalui
kontaminasi terhadap makanan atau minuman. Kontaminasi makanan atau minuman oleh agen
penyebab diare dapat terjadi ketika seseorang tidak menerapkan perilaku Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat.
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Insidensi diare nasional hasil Survei
Morbiditas Diare tahun 2014 yaitu sebesar 270/1.000 penduduk, maka diperkirakan jumlah
penderita diare di fasilitas kesehatan pada tahun 2016 sebanyak 6.897.463 orang, sedangkan
jumlah penderita diare yang dilaporkan ditangani di fasilitas kesehatan adalah sebanyak
3.198.411 orang atau 46,4% dari target. Target cakupan pelayanan penderita diare yang datang
ke sarana kesehatan dan kader kesehatan adalah 10% dari perkiraan jumlah penderita diare
(Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2017, Provinsi DKI Jakarta masih memiliki
angka kejadian diare yang tinggi dibandingkan provinsi lain, dimana angka perkiraan diare di
fasilitas kesehatan mencapai 280.104 kasus dan diare ditangani sebanyak 250.234 kasus. DIY
Yogyakarta memiliki angka pekiraan diare di fasilitas kesehatan sebanyak 101.579 kasus 2 dan
diare ditangani sebanyak 41.066 kasus, Papua memiliki angka pekiraan diare di fasilitas
kesehatan sebanyak 24.094 kasus dan diare ditangani sebanyak 1.380 kasus, Kalimantan Utara
memiliki angka pekiraan diare di fasilitas kesehatan sebanyak 18.659 kasus dan diare ditangani
sebanyak 16.353 kasus (Kemenkes RI, 2017).
Diare dapat terjadi karena faktor-faktor seperti stop buang ar besar sembarangan, cuci
tangan pakai sabun, pengelolaan makanan dan minuman, pengamanan sampah, dan
pengamanan limbah cair. Sanitasi total berbasis masyarakat selanjutnya disingkat STBM adalah
pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat
dengan cara pemicuan. Pilar STBM terdiri dari lima yaitu stop buang air besar sembarangan,
cuci tangan pakai sabun, pengelolaan makanan dan minuman, pengamanan sampah, dan
pengamanan limbah cair (Kemenkes RI, 2014).
Angka kejadian diare di Kota Jakarta Barat masih terbilang tinggi. Data diare di tahun 2014
menunjukkan total penderita diare di Kota Jakarta Barat sebanyak 50.458 orang. Oleh karena itu
peneliti bermaksud melakukan penelitian terkait hubungan sanitasi total berbasis masyarakat
dengan kejadian diare di Kota Jakarta Barat Tahun 2014.
4
1.3 Tujuan Penelitian
Diketahuinya gambaran spasial kasus diare pada anak balita berdasarkan faktor risiko
lingkungan di Kota Jakarta Barat periode tahun 2014.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
2.1.1 Pengertian
Diare adalah keluarnya tinja yang berbentuk lebih cair dengan frekuensi lebih dari tiga
kali sehari atau terjadi lebih sering dari biasanya pada seseorang, yang umumnya merupakan
gejala infeksi saluran cerna yang di sebabkan oleh mikroorganisme akibat kontaminasi
makanan, air minum, ataupun langsung dari orang ke orang akibat dari kurangnya sanitaso
(WHO, 2016). Hippocrates mendefinisikan diare sebagai buang air besar dengan frekuensi yang
tidak normal atau cenderung meningkat diikuti dengan konsentrasi tinja yang lebih lembek atau
cair (Suharyono, 2008).
Diare juga diartikan sebagai kondisi hilangnya cairan dan elektrolit dalam jumlah
banyak melalui fase pada tubuh yang umumnya dikarenakan adanta kelainan penyerapan di usu
halus (Sodikin, 2011).
2.1.2 Etiologi
Etiologi atau agen penyebab kejadian diare dapat berupa agen biologis seperti
mikroorganisme maupun agen kimia. Pada dasarnya, diare secara klinis dapat disebabkan oleh
infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, defisiensi imunisasi dan sebab lainnya, namun penyebab
yang paling umum ditemukan adalah diare yang disebabkan oleh infeksi atau diare infeksius
dan keracunan akibat bahan kimia tertentu (Koletzko & Osterrieder, 2009).
Diare infeksius merupakan suatu gejala akibat adanya infeksi pada saluran pencernaan
yang disebabkan oleh berbagai macam organisme seperti bakteri, virus, maupun parasit
(WHO, 2013). Jenis virus yang paling sering menjadi penyebab diare pada bayi dan anak
khususnya di daerah berkembang adalah rotavirus (Gillespie & Bamford, 2009). Rotavirus di
lingkungan dapat ditemukan pada tangan, permukaan benda, makanan, dan air yang
terkontaminasi. Bayi dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap pajanan
dari rotavirus (CDC, 2014). Adapun bakteri yang paling umum menjadi penyebab penyakit
diare pada anak-anak adalah bakteri Eschericia coli (E.coli) yang dapat ditransmsikan melalui
makanan atau air yang terkontaminasi tinja (CDC, 2016).
Gejala klinis dan tanda diare terbagi menjadi dua, yaitu gejala umum dan gejala
spesifik. Sebagian besar kasus diare pada dasarnya memang memiliki gejala yang umum,
namun terdapat beberapa kasus memiliki gejala yang khas akibat infeksi patogen tertentu.
Adapun gejala umum diare di antaranya adalah berak cair atau lembek yang terkadang
tercampur dengan darag dan diikuti dengan muntah, demam, dan dehidrasi (Koletzko &
Osterrieder, 2009).
6
Gejala dan tanda spesifik diare terjadi pada infeksi akibat patogen tertentu. Contohnya
adalah gejala akibat infeksi Vibrio cholera yang berupa diare hebat (masif) dengan warna tinja
seperti cucian beras dan berbau amis hingga mencapai 20 liter perhari (Widoyono, 2011;
Gillespie & Bamford, 2009). Pada infeksi Shigella, gejala khas di antaranya adalah tinja yang
mengandung darah dan berlendir (CDC, 2015). Gejala yang hampir sama juga terjadi pada
beberapa kasus infeksi akibat patogen E.colienterohemoragik yang menyebabkan diare berdarah
atau haemorrhagic colitis (WHO, 2011).
2.1.4 Penularan
Diare merupakan salah satu maslah kesehatan yang dapat ditularkan melalui air yang
terkontaminasi (waterbone dsasses), makanan atau minuman yang terkontaminasi (Foodbone
diseases) ataupun penularan langsusng dari orang (kontak). Agen penyebab diare umumnya
menyebar melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja baik secara langsung
maupun tidak langsung. Agen penyab diare juga dpat dibawa oleh vector, seperti lalat yang
kemudian mengkontaminasi makanan atau minuman. Adapun penularan langsung dari orang ke
orang adalah saat melakukan kontak dengan orang dengan tangan yang terkontaminasi kuman
penyab diare tanpa mencuci tangan dengan benar (soegijanto & Pra,ama, 2009).
2.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita
Diare merupakan masalah kesehatan yang umum di masyarakat sehingga perlu diketahui
faktor-faktor penyebabnya untuk dilakukan kegiatan pencegahan. Hingga saat ini, faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian diare sudah banyak diteliti dengan berbagai macam konsep
yang berbeda. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian diare khususnya pada anak balita umumnya terbagi menjadi
faktor lingkungan, faktor perilaku ibu, faktor balita, dan faktor sosial ekonomi (Adisasmito,
2007).
a. Air Minum
Air minum merupakan komponen lingkungan yang sangat dibutuhkan manusia untuk
dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian air minum menurut Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 492 tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum adalah air yang
melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan
dapat langsung diminum. Air minum yang dikonsumsi oleh masyarakat dapat diperoleh dari
berbagai sumber air minum. Berikut ini merupakan beberapa jenis sumber air minum yang
umum digunakan oleh masyarakat untuk keperluan sehari-hari (Ginanjar, 2008):
7
Sumur gali merupakan sarana air bersih yang bersumber dari air tanah dengan cara
menggali lubang ke dalam tanah hingga mendapatkan air, kemudian lubang diberi dinding, bibir
dan lantai. Sumur gali merupakan sarana air bersih yang umumnya digunakan oleh masyarakat
di pedesaan. Adapun persyaratan kesehatan sumur gali adalah sebagai berikut (Kemenkes RI,
1995).
Penampungan air hujan merupakan sarana air bersih yang berasal dari air hujan yang
ditampung sebagai sediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari.
3) Sumur Pompa
Sumur pompa merupakan sarana air bersih yang menggunakan pompa air untuk
menaikkan air dari sumber air atau sumur. Pompa air dapat berupa pompa tangan maupun
pompa listrik.
Mata air terlindungi merupakan sumber air permukaan tanah dimana air timbul dengan
sendirinya. Masyarakat dapat dikatakan menggunakan sumber air minum yang berasal dari mata
air terlindungi apabila sumber air minum yang digunakan hanya berasal dari mata air yang
diperoleh dari lokasi munculnya mata air tanpa sistem perpipaan / pompa dan tanpa melalui
proses penyaringan.
Air ledeng merupakan sarana air bersih yang bersumber dari satu pusat sumber air yang
dikelola dan didistribusikan ke rumah tangga melalui jaringan perpipaan.
Selain jenis sumbernya, kualitas air minum juga perlu diperhatikan baik secara fisika,
kimia, maupun dari segi mikrobiologisnya. Namun, syarat minimal yang harus terpenuhi adalah
syarat fisik yang dapat diidentifikasi menggunakan penginderaan manusia dengan cara, dilihat,
dicium, dan dirasa. Adapun syarat-syarat air minum secara fisik adalah sebagai berikut
(Kemenkes RI, 2009):
Indikator yang digunakan dalam program penyehatan lingkungan untuk terhadap konsumsi
air minum layak pada masyarakat umumnya adalah akses air minum yang layak dan
berkelanjutan. Secara umum, terdapat lima aspek yang digunakan untuk mengukur akses
masyarakat terhadap ketersediaan air minum, yaitu kualitas, kuantitas, kontinuitas, keandalan
(reliability) sistem penyediaan air minum, serta kemudahan dalam aspek biaya, waktu, maupun
jarak tempuhnya (Hakim, 2010). Sejalan dengan indikator tersebut WHO dalam JMP juga
8
menetapkan bahwa apabila jumlah pemakaian air per orang kurang dari 20 liter per hari dari
sumber air dalam radius lebih dari 1 km atau waktu tempuh lebih dari 30 menit maka
dikategorikan sebagai tidak mempunyai akses dan mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian
penyakit (WHO & UNICEF, 2004).
b. Jamban
Jamban merupakan tempat yang digunakan untuk buang air besar dan umumnya
digunakan di rumah tangga, sekolah, rumah ibadah, dan lembaga-lembaga lain. Adapun yang
dimaksud dengan jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang dapat mencegah
kontaminasi ke badan air, mencegah kontak antara manusia dan tinja, membuat tinja tersebut
tidak dapat dihinggapi serangga dan binatang lainnya, mencegah bau yang tidak sedap serta
konstruksi dudukannya dibuat dengan baik, aman dan mudah dibersihkan (World Bank, 2009).
Terdapat beberapa jenis jamban yang digunakan oleh masyarakat, namun jenis jamban
yang dianjurkan yaitu jamban cemplung yang memiliki penutup dan jamban leher angsa atau
jamban tangki septik (septic tank). WHO dan UNICEF dalam Joint Monitoring Programme
(JMP) juga membuat kriteria untuk fasilitas sanitasi yang dalam hal ini adalah jamban. Sama
halnya dengan kriteria sumber air minum, kriteria jamban dibagi menjadi dua, yaitu sarana
sanitasi improved (layak dan berkelanjutan) dan sarana sanitasi unimproved (tidak layak dan
berkelanjutan).
Jamban yang digunakan juga harus memenuhi syarat-syarat kesehatan. Adapun syarat-
syarat jamban yang memenuhi kesehatan atau jamban sehat adalah sebagai berikut (Kemenkes
RI, 2009):
Penggunaan jamban keluarga yang tidak bersih dan tidak sesuai dengan syarat
kesehatan dapat mengundang lalat atau vektor lainnya untuk membawa patogen penyebab diare
(Wandasari, 2013). Hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994
menunjukkan bahwa kondisi jamban berpengaruh secara signifikan sebagai faktor risiko
kejadian diare pada anak balita (Irianto, et al., 1996). Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan
bahwa kepemilikan dan kondisi sarana pembuangan tinja (jamban) mempengaruhi kejadian
diare pada anak balita (Kamilla, et al., 2012; Lindayani & Azizah, 2013). Hasil penelitian di
beberapa regional di Indonesia menunjukkan bahwa bahwa kondisi dan kepemilikan jamban
berhubungan signifikan terhadap kejadian diare di regional Jawa-Bali, Sumatra dan Sulawesi
(Mubasyiroh, 2010).
9
2.2.3 Faktor Perilaku Ibu
Perilaku mencuci tangan yang tidak benar dapat menjadi salah satu fator risiko kejadian
diare pada balita. Hasil penelitian di Jakarta Barat diketahui bahwa perilaku mencuci tangan
pada ibu saat sebelum makan dan setelah BAB berhubungan signifikan terhadap kejadian diare
pada balita.
Selain ditularkan melalui air, diare juga dapat ditularkan melalui makanan. Sanitasi
yang buruk dalam praktik pengolahan makanan dapat menjadi faktor yang dapat meningkatkan
resiko diare. Hasil penelitian di Jakarta Barat diketahui bahwa praktik pengolahan makanan
pada ibu memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian diare pada balita.
Penderita diare yang sebelumnya sudah memiliki gangguan gizi (malnutrisi) umumnya
berisiko untuk mengalami diare yang lebih berat.
ASI (Air Susu Ibu) adalah sumber makanan utama bayi. ASI merupakan makanan yang
memiliki komponen nutrisi yan ideal untuk dicerna dan diserap oleh bayi. ASI bersifat steril
tanpa adanya kontaminasi alat makan seperti botol. Penelitian yang dilakukan terhdap kasus
diare pada balita menunjukkan bahwa balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dan cenderung
memberikan susu formula atau air lainnya berisiko terkena diare
Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan daya tahan tubuh terhadap
beberapa penyakit tertentu khususnya pada balita. Imunisasi merupakan salah satu upaya
pencegahan terjangkitnya penyakit tertentu. Pemberian imunisasi campak setelah bayi berusia 9
bulan merupakan salah satu bentuk pencegahan terhadap diare pada bayi dan balita. Hal ini
dikarenakan anka yang terkena campak sring kakli disertai dengan diare.
Status ekonomi keluarga sering kali dikaitkan dengan suatu penyakit, salah satunya
diare. Beberapa penelitian membuktikan bahwa status sosial ekonomi keluarga berpengaruh
signifikan sebagai salah satu faktor risiko diare pada bayi dan balita, dengan simpulan bahwa
10
diare dengan lebih sering muncul pada bayi dan balita yang berasal dari keluarga dengan status
ekonomi keluarga rendah atau miskin.
Sistem Informasi Geografis merupakan sebuah sistem yang dirancang untuk menjawab
pertanyaan berdasarkan data spasial maupun non-spasial beserta kombinasinya. Analisis spasial
sendiri merupakan sekumpulan teknik untuk menganalisis data spasial, sehingga hasilnya akan
bergantung pada akses terhadap lokasi objek dan atributnya.Analisis ini dapat digunakan untuk
melakukan analisis persebaran faktor risiko penyakit infeksi maupun non infeksi, penyakit yang
ditularkan oleh binatang, pelayanan kesehatan, analisis potensi bahaya lingkungan,
pengelompokan kejadian penyakit, pemetaan informasi kesehatan dan lain sebagainya.
11
BAB III
Faktor Balita
- Imunisasi
Terdapat beberapa variabel yang tidak diteliti, di antaranya adalah faktor perilaku
ibu (perilaku mencuci tangan dan praktik mengelola makanan), faktor balita (status gizi, ASI
eksklusif, imunisasi), serta faktor sosial ekonomi (kemiskinan).
12
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan berdasarkan tempat atau lokasi.
Penelitian ini menggunakan analisis spasial metode skoring dengan memberikan skor terhadap
klasifikasi tinggi, sedang dan rendah. Kemudian dilakukan overlay untuk mendapatkan peta
distribusi risiko dan peta kerentanan diare pada balita. Analisis data dilakukan menggunakan
aplikasi QGIS 3.16.11. penelitian dengan rancangan ini menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari institusi terkait.
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2014. Lokasi penelitian ini adalah seluruh wilayah yang ada
di Kota Administrasi Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
institusiinstitusi terkait. Data yang dikumpulkan berupa data spasial dan non spasial. Data yang
telah terkumpul kemudian diolah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi sebagai alat
dalam analisis.
Data yang diperoleh merupakan data yang dikumpulkan oleh instansi yang menjadi sumber
data. Adapun cara pengumpulan data yang dilakukan oleh instansi terkait pada masing-masing
variabel:
13
3 dengan kader kesehatan di setiap puskesmas
melakukan pemeriksaan kondisi sanitasi perumahan
menggunakan formulir penilaian rumah sehat yang
diberikan oleh Dinkes Kota Jakarta Barat. Formulir
tersebut telah mencakup penilaian terkait sumber air
minum dan jumlah penggunanya serta jamban sehat
dan jumlah penggunanya.
4.4 Analisis Spasial
14
BAB V
Hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan informasi terkait kasus diare pada balita di
Kota Jakarta Barat. Kasus diare cenderung terjadi di daerah dengan populasi tunggi dan
lingkungan perumahan yang padat sehingga mempengaruhi kondisi sumber air, pembuangan
tinja dan tempat pembuangan sampah. Setelah dianalisis didapatkan peta distribusi risiko kasus
diare pada balita yang menunjukkan bahwa semakin padat penduduk semakin tinggi pula risiko
terjadi kasus diare pada balita. Peta distribusi risiko diare pada balita menunjukkan sebagian
besar wilayah kecamatan di Kota Jakarta Barat memiliki risiko tinggi dan risiko sedang.
Sedangkan beberapa kecamatan memiliki risiko sangat tinggi.
5.2 Gambaran Kasus Diare pada Balita Berdasarkan Akses Air Minum Layak
Air minum merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat mendasar. Sarana air minum
merupakan faktor risiko yang berhubungan erat dengan diare pada balita mengingat diare
merupakan water-borne disease. Air yang digunakan sebagai air minum harus aman dan
memenuhi berbagai syarat kesehatan, seperti persyaratan fisik, bakteriologis, dan syarat kimia.
Air minum yang kualitasnya tidak memenuhi persyaratan kesehatan tersebut akan menjadi
media penularan diare. Oleh karena itu, perlu adanya monitoring yang dilakukan oleh badan
atau instansi yang berwenang untuk memastikan bahwa masyarakat mendapatkan air minum
yang layak berdasarkan kuantitas maupun kualitasnya. Wilayah dengan kasus diare pada balita
15
tinggi cenderung lebih banyak berada di daerah dengan akses air minum rendah. Pada tahun
2014, akses air minum layak sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Namun, masih terdapat beberapa kecamatan yang memiliki akses air minum rendah. Kecamatan
dengan persentase diare balita tinggi lebih banyak di daerah yang memiliki akses air minum
tinggi.
5.3 Gambaran Kasus Diare pada Balita Berdasarkan Akses Jamban Sehat
Sarana buang air besar (jamban)merupakan sarana sanitasi yang sangat berhubungan dengan
kasus diare. Rumah tangga yang mempunyai kebiasaan membuang tinja yang tidak sesuai
aturan akan meningkatkan risiko diare pada balita sebesar 2 kali lipat dibandingkan dengan
rumah tangga yang mempunyai kebiasaan membuang tinja sesuai aturan. Jamban sehat
merupakan indikator yang digunakan oleh Dinas Kesehatan Kota Jakarta Barat untuk mengukur
akses sanitasi layak pada masyarakat. Kriteria jamban sehat terdiri dari jamban leher angsa yang
dihalirkan melalui sewer terpusat, jamban leher angsa yang memiliki tangki septik untuk saluran
air limbabhnya, jamban cubluk dengan ventilasi dan dudukan, serta jamban kompos. Selain itu
juga terdapat aspek jumlah pengguna (anggota keluarga yang menggunakan jamban) dalam satu
keluarga. Pada tahun 2014, berdasarkan Dinas Kesehatan Kota Jakarta Barat menyakan bahwa
akses sanitasi layak di masyarakat terhadap jamban sehat sudah tergolong tinggi. Semakin
tinggi persentase terhadap jamban sehat, maka akan semakin rendah tingkat risiko terjadinya
diare. Meskipun begitu, masih ada beberapa wilayah yang berdasarkan kecamatan yang belum
memenuhi kriteria akses jamban sehat yang diharapkan. Penggunakaan jamban yang layak dan
berkelanjutan sesuai dengan persyaratan kesehatan sangat berguna untuk membantu mencega
pencemaran sumber air yang berada di sekitarnya. Memanfaatkan jamban keluarga yang bersih
dan sehat juga dapat mencegah datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular
penyakit yang dapat diakibatkan oleh tinja manusia.
16
BAB VI
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis spasial yang telah dilakukan, didapatkan peta persebaran diare yang
menunjukkan bahwa kasus cenderung akan meningkat pada wilayah dengan karakteristik
kepadatan penduduk yang tinggi, rendahnya sarana air minum yang layak dan memenuhi syarat
dan rendahnya akses jamban sehat. Hasil pemetaan kerentanan diare pada balita di Kota Jakarta
Barat, didapatkan 13 kecamatan yang memiliki kerentanan tinggi terhadap kasus diare pada
balita yaitu kecamatan Cengkareng Barat, Cengkareng Timur, Kapuk, Kedaung Kaliangke,
Jelambar Baru, Duri Kepa, Pekojan, Grogol, Duri Selatan, Slipi, Jembatan Lima, Kembangan
Selatan dan Meruya Utara. Persentase akses air minum layak pada masyarakat di Kota Jakarta
Barat pada tahun 2014 cenderung tinggi. Berdasarkan pola sebarannya, kecamatan dengan
persentase diare balita tinggi tidak memiliki kecenderungan lebih banyak di daerah yang
memiliki akses rendah terhadap air minum yang layak. Akses jamban sehat pada masyarakat di
Kota Jakarta Barat pada tahun 2014 cenderung tinggi, berdasarkan pola sebarannya, kecamatn
dengan persentase diare balita tinggi cenderung lebih banyak di daerah yang memiliki akses
rendah terhadap jamban sehat.
17