Anda di halaman 1dari 57

GEOTEKNIK

1. Peranan Geoteknik Dalam Pertambangan

1.1 Pendahuluan

Secara historis, penerapan geoteknik dalam tambang terbuka pada


awalnya adalah hanya dalam analisis kestabilan lereng yang oleh banyak
pihak dianggap lebih bersifat teoritik. Dalam tahun-tahun selanjutnya,
perancangan lereng telah menjadi bagian yang terpisahkan dari
perencanaan tambang. Hal ini disebabkan oleh semakin berkembangnya
teknik-teknik pengumpulan data, analisis dapat dilakukan dengan bantuan
komputer, dan adanya analisis biaya-manfaat yang semakin handal dalam
perencanaan tambang. Selain perancangan lereng, terdapat juga
sejumlah penerapan lain dari geoteknik pada tambang terbuka, seperti
analisis-analisis diggability, traficability, daya dukung, serta peremukan
dan penggerucan. Modul ini dibatasi pada penerapan geoteknik dalam
perancangan tambang dan analisis kemampugalian material.

Perancangan lereng di tambang terbuka menuntut dua persyaratan yang


saling bertentangan. Pada satu sisi, sejumlah biaya dapat dihemat melalui
penggunaan lereng tambang yang securam mungkin, sehingga
mengurangi jumlah lapisan penutup yang harus digali. Pada sisi lainnya,
kerusakan pada peralatan dan infrastruktur dan kehilangan jiwa dapat
terjadi akibat longsoranya tambang yang terlalu curam. Oleh karena itu,
perlu dibuat suatu rancangan lereng tambang yang optimum dimana
lereng cukup curam sehingga menguntungkan secara ekonomis dan
cukup landai sehingga mantap.

Pada saat sekarang ini, penggunaan alat gali mekanis telah semakin
berkembang di tambang terbuka karena dirasakan lebih menguntungkan
dibandingkan dengan pengeboran dan peledakan. Penggunaan alat gali
mekanis juga akan meniadakan getaran tanah akibat peledakan yang
dapat mengurangi kestabilan lereng penambangan. Meskipun demikian,
harus diyakini bahwa alat gali mekanis yang dipilih harus sesuai dengan
material yang
ang akan digali, sehingga alat tersebut dapat bekerja secara
optimum.

1.2 Perancangan Lereng Tambang

Perancangan lereng tambang mencakup analisis terhadap tiga komponen


yaitu: geometri jenjang (tinggi, lebar, dan kemiringan), sudut interramp,
interramp
dan kemiringan lereng keseluruhan, seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1
Komponen Lereng Tambang

Selain masalah kestabilan


bilan, perancangan lereng tambang juga dipengaruhi
oleh pemilihan metode penambangan
mbangan yang hendak dipakai, apakah
dengan sistem penambangan gali bebas
beb dengan shovel-and-truck
truck, sistem
penambangan gali bebas se
secara kontinyu,, atau sistem penambangan
dengan drill-and-blast
blast. Sistem penembangan kontinyu mensyaratkan
geometri lereng yang sangat berbeda dengan
de sistem penembangan
dengan shovel-and-truck
truck, yang geometri lerengnya
rengnya mendekati geometri
lereng penambangan dengan drill-and-blast.
Sistem penambangan kontinyu dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
untuk geo-material lunak sampai sedang dan geo-material sedang sampai
sedikit keras. Sistem yang pertama dan kapasitas produksi yang tinggi
mensyaratkan penggunaan peralatan yang lebih besar dari sistem yang
kedua. Lereng tambangnya dapat mempunyai tinggi jenjang 10-15 meter
dengan lebar jenjang 25-50 meter. Kedua sistem penambangan lainnya
umumnya menggunakan tinggi jenjang 5-10 meter dengan lebar jenjang
10-20 meter. Oleh karena itu analisis kestabilan lerengnya jauh lebih
mudah dibandingkan dengan sistem yang pertama.

1.2.1 Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan rancangan lereng tambang yang optimum dengan


biaya yang seminimum mungkin, studi geoteknik harus dimulai sedini
mungkin, sebaiknya pada saat eksplorasi. Pengkombinasian
pengumpulan data geoteknik dengan pengumpukan data untuk
permodelan atau perhitungan cadangan merupakan cara yang paling baik
untuk menghemat biaya studi geoteknik. Sebagai contoh, inti bor dapat
diorientasikan untuk mendapatkan data bidang diskontinyu, beberapa
potongan inti bor dapat digunakan untuk uji laboratorium, dan lubang bor
eksplorasi dapat digunakan untuk pemasangan piezometer.

a. Orientasi Bidang Diskontinyu

Pengumpulan data orientasi bidang diskontinyu bertujuan untuk


menentukan bentuk, ukuran, dan lokasi dari potensi kelongsoran pada
lereng tambang terbuka. Pengumpulan data bidang diskontinyu dapat
dilakukan dengan pengukuran langsung dipermukaan atau dengan
pengorientasian inti bor, seperti terlihat pada Gambar 2.

b. Karakteristik Geoteknik

Beberapa contoh dapat diambil dari inti bor untuk diuji di laboratorium.
Pengujian yang biasa dilakukan untuk keperluan perancangan lereng
tambang adalah uji sifat fisik, uji kuat tekan uniaksial, dan uji geser
langsung. Gambar 3 menunjukkan peralatan
peralatan-peralatan
peralatan utama yang
digunakan dalam uji kuat tekan uniaksial dan uji geser langsung.

Gambar 2
Penentuan Orientasi Bidang Kontinyu

Gambar 2
Contoh Peralatan Uji Laboratorium
Karena parameter-parameter di atas bervariasi dari satu tempat ke tempat
lainnya pada tambang terbuka, tambang tersebut harus dibagi-bagi ke
dalam sektor-sektor rancangan yang mempunyai parameter yang hampir
sama. Batas-batas sektor umumnya ditentukan oleh batas-batas domain
struktur geologi.

Penentuan sektor-sektor rancangan dan perancangan lereng umumnya


bersifat iteratif. Perancang lereng memerlukan posisi, orientasi, dan tinggi
lereng akhir untuk merancang lereng akhir tambang, tetapi perencana
tambang memerlukan sudut lereng untuk merancang geometri tambang.
Oleh karena itu, rencana tambang harus dikembangkan dari sudut lereng
yang diasumsikan. Sektor-sektor rancangan kemudian ditetapkan sudut-
sudut lereng optimum ditentukan, Dengan menggunakan sudut-sudut ini,
tambang harus dirancang ulang dan sudut lereng dievaluasi kembali
berdasarkan geometri yang baru. Proses ini akan sulit jika perencanaan
tambang dilakukan secara manual, tetapi dapat dilakukan dalam hanya
beberapa jam jika perencanaan tambang dilakukan dengan bantuan
komputer.

1.2.2 Analisis Kestabilan Here

Analisis kestabilan lereng diawali dengan pemilihan model-model


perhitungan yang sesuai untuk jenis-jenis longsoran yang mungkin terjadi
pada setiap sektor rancangan. Model-model ini merupakan representasi
geometrik sederhana dari jenis longsoran aktual yang diperkirakan terjadi.
Penjelasan rinci mengenai jenis longsoran serta metode analisis
kestabilannya diberikan pada bagian selanjutnya dari modul ini.

1.3 Analisis Kemampugalian

Analisis kemampugalian dimaksudkan untuk menjamin agar peralatan gali


yang dipilih dapat bekerja optimum. Meskipun produsen alat gali telah
memberikan panduan mengenai kemampugalian/kemampugaruan alat
(Lihat contoh pada Gambar 4), perlu dicatat bahwa panduan
panduan ini hanya
didasarkan kepada hasil pengukuran kecepatan rambat gelombang
seismik.

Dengan semakin berkembangnya penelitian mengenai kemampugalian,


dijumpai bahwa kemampugalian material tidak hanya ditentukan oleh
kekuatan massa batuan tetapi juga oleh kondisi
kondisi bidang diskontinyu di
dalam massa batuan. Franklin et al. (1971) mengusulkan sebuah grafik
yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan kemampugalian massa
batuan, seperti terlihat pada Gambar 5, yang merupakan hasil modifikasi.

Selanjutnya, Kirsten (1982)


(1982) mengusulkan sebuah indeks ekskavasi, N,
yang bernilai satu sampai 10000 untuk mendeskripsikan kemampug
kemampugaruan
massa
assa batuan. Semakin rendah nilai N akan semakin mudah massa
bantuan tersebut digaru dan semakin tinggi nilai N akan semakin sukar
massa batuan tersebut
ersebut digaru. Indeks N ini merupakan fungsi dari
kekuatan batuan serta orientasi dan karakteristik bidang diskontinyu
dalam massa batuan.

Gambar 4

Contoh Grafik Perkiraan Kemampugaruan Batuan


Gambar 5

Grafik Perkiraan Kemampugalian Material


2. Jenis-Jenis Longsoran Pada Tambang Terbuka

2.1 Pendahuluan

Jenis longsoran lereng akan berhubungan dengan struktur geologi dan


perancang lereng harus mampu mengenali potensi masalah
ketidakstabilan lereng sejak tahapan awal pada sebuah tambang.
Beberapa pola struktur geologi yang harus diwaspadai karena akan dapat
menyebabkan ketidakstabilan lereng didiskusikan dalam bab ini,
sementara perhitungan faktor keamanannya didiskusikan pada bab
selanjutnya dalam modul ini.

2.2 Longsoran Bidang (Plane Failure)

2.2.1 Umum

Longsoran bidang umumnya jarang dijumpai pnda Jereng karena


longsoran jenis ini hanya akan terjadi jika semua kondisi geometrikal
untuk terjadinya longsoran terdapat pada lereng aktual. Longsoran baji,
yang didiskusikan pada bagian selanjutnya dalam modul ini, merupakan
kasus umum yang jauh lebih sering dijumpai dan banyak perancangan
lereng yang memperlakukan longsoran bidang sebagai kasus khusus dari
longsoran baji.

Meskipun hal ini mungkin merupakanp pendekatan yang benar untuk


perancangan lereng yang telah berpengalaman, adalah tidak benar untuk
mengabaikan kasus dua dimensi dalam diskusi umum mengenai
longsoran sederhana ini dan secara khusus jenis longsoran ini berguna
untuk menunjukan sensitivitas lereng terhadap perubahan kuat geser dan
kondisi air tanah. Kedua perubahan ini kurang terlihat dalam longsoran
tiga dimensi.
2.2.2 Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Bidang

Longsoran bidang pada satu bidang tunggal akan terjadi jika kondisi
kondisi-
kondisi geometrikal berikut terpenuhi (Lihat Gambar 6):

Gambar 6
Kondisi Umum Longsoran Bidang (Hoek & Bray, 1981
a. Jurus (strike) bidang gelincir sejajar atau hampir sejajar (dalam rentang
sekitar ± 20°) dengan jurus muka lereng.
b. Jejak bagian bawah bidang gelincir harus muncul di muka lereng,
dengan kata lain kemiringan bidang gelincir ( ψp) lebih kecil daripada
kemiringan kemiringan muka lereng (ψf).
c. Kemiringan bidang gelincir (ψp) lebih besar daripada sudut geser
dalamnya (φ).
d. Harus ada bidang release, dengan kuat geser yang dapat diabaikan,
sebagai pembatas di kanan-kiri blok yang menggelincir.

Dalam analisis kestabilan lereng dua dimensi, umumnya digunakan satu


satu irisan dengan ketebalan satu unit yang tegak lurus dengan muka
lereng. Ini berarti bahwa bidang gelincir dapat direpresentasikan oleh garis
dengan kemiringan tertentu dan blok yang menggelincir dapat
direpisentasikan oleh suatu luasan pada penampang vertikal yang tgak
lurus dengan jurus muka lereng (Gambar 6).

2.3 Longsoran Baji

2.3.1 Umum

Longsoran baji terjadi jika struktur-struktur geologi penyebab longsoran


mempunyai jurus yang memotong crest lereng dan longsoran terjadi
sepanjang garis perpotongan kedua struktur geologi tersebut.

2.3.2 Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Baji

Longsoran baji akan terjadi bila ada dua atau lebih bidang lemah yang
saling berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap
lereng (Gambar 7).
Gambar 7
Kondisi Umum Longsoran Baji (Hoek & Bray, 1981)

Persyaratan lain yang harus terpenuhi untuk terjadinya longsoran baji


adalah :

a. Kemiringan muka (ψf)


( f) lebih besar dari kemiringan garis perpotongan
kedua bidang lemah tersebut (ψi).
(
b. Kemiringan garis potong kedua bidang lemah (ψi)
( i) lebih besar daripada
sudut garis dalamnya (φ)
(
2.4 Longsoran Guling (Toppling Failure)

2.4.1 Umum

Jenis-jenis longsoran yang diberikan di bagian depan dari modul ini


semuanya berhubungan dengan meluncurnya massa batuan atau tanah di
atas sebuah permukaan, sedangkan longsoran guling melibatkan rotasi
kolom-kolom atau blok-blok batuan.

2.4.2 Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Guling

Goodman and Bray (1976) memberikan penjelasan singkaf jenis


longsoran guling yang mungkin dijumpai di lapangan sebagai berikut :

a. Flexural Toppling

Flexural toppling (Gambar 8) terjadi jika kolom-kolom batuan, yang


dipisahkan dengan baik oleh bidang-bidang kontinyunya dengan
kemiringan curam, patah karena tertekuk.

b. Block Toppling

Block topping (gambar 9) terjadi jika kolom-kolom individual batuan keras


terbagi-bagi karena adanya bidang-bidang diskontinyu orthogonal yang
berjarak cukup lebar.

c. Block Flexure Topping

Longsoran guling jenis ini (Gambar 10) dicirikan oleh terjadinya tekukan
pseudo continuous sepanjang kolom-kolom batuan yang panjang dengan
bidang-bidang diskontiyu yang memotongnya.
Gambar 8
Flexural Toppling (Hoek & Bray, 1981)

Gambar 9
Block Toppling (Hoek & Bray, 1981)

Gambar 10
Block Flexure Toppling (Hoek & Bray, 1981)
d. Longsoran Guling Sekunder

Goodman and Bray (1976) menunjukan sejumlah kemungkinan terjadinya


longsoran guling sekunder, seperti ditunjukan pada gambar 11.

Gambar 11
Longsoran Guling Sekunder (Goodman & Bray, 1976)
2.5 Longsoran Busur (Circular Failure)

2.5.1 Umum

Meskipun lereng di tambang umumnya adalah lereng batuan, pada


beberapa kasus, mungkin juga dijumpai lereng dari material lunak, seperti
lereng pada lapisan tanah penutup, lereng timbunan, atau lereng dimana
materialnya menyerupai tanah. Pada material-material seperti ini,
longsoran terjadi pada sebuah permukaan dengan bentuk menyerupai
busur.

2.5.2 Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Busur

Jenis-jenis longsoran yang didiskusikan sebelum ini dikontrol oleh struktur


geologi seperti bidang perlapisan (bedding plane) dan kekar (Joint) yang
membagi-bagi massa batuan menjadi sebuah massa diskontinyu.
Longsoran umumnya ditentukan oleh satu atau lebih bidang diskontinyu.
Pada lereng tanah, pola-pola struktur geologi umumnya tidak terdapat lagi
dan permukaan longsor dapat terjadi dimana saja pada garis yang
mempunyai ketahanan terkecil. Penyelidikan pada longsoran-longsoran
yang terjadi pada lereng tanah menunjukkan bahwa permukaan
longsoran-longsoran umumnya berbentuk busur.

Longsoran busur (Gambar 12) terjadi jika partikei-partikel individual di


dalam massa tanah atau batuan, yang mempunyai ukuran yang sangat
kecil jika dibandingkan dengan ukuran lereng, tidak saling berikatan lagi.
Gambar 12
Longsoran Busur
3. Analisis Kestabilan Lereng

3.1 Longsoran Bidang

Pada analisis
sis kestabilan lereng untuk longsoran bidang, posisi rekahan
tarik (tension crack) perlu diperhatikan, apakah di belakang crest lereng
atau di muka lereng (Lihat Gambar 13).

Gambar 13
Rekahan Tarik Pada Lereng Batuan (Hoek & Bray 1981)

Sedangkan asumsi-asumsi
asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah
sebagai berikut:

a. Bidang gelincir dan rekahan tarik mempunyai jurus yang sejajar


dengan jurus muka lereng.
b. Rekahan tarik adalah bidang vertikal dan terisi air sedalam zw.
c. Air membasahi bidang gelincir lewat bagian bawah bidang rekahan
tarik dan merembes sampai di jejaknya pada muka lereng.
d. Gaya W (berat blok yang menggelincir), U (gaya angkat oleh air) dan V
(gaya tekan air di rekahan tarik) bekerja di titik pusat blok, sehingga
diasumsikan tidak ada momen penyebab rotasi.
e. Kuat geser (τ) dari bidang gelincir adalah τ = c + σ tan φ, dengan c
adalah kohesi dan φ adalah sudut gesek dalam.
f. Terdapat bidang release di kanan-kiri blok sehingga tak ada hambatan
di kanan-kiri blok yang menggelincir.

Persamaan yang digunakan untuk menentukan faktor keamanan (FK)


adalah:


  
FK =
   

Dengan :

A = (H-z) cosec Ψp

U = ½γwzw (H-z) cosecΨp

V = ½γwzw2

Jika rekahan tarik terletak di belakang crest lereng:

W = ½ H2 {1-z/H)2 cot Ψp - cot Ψf}

Jika rekahan tarik terletak di muka lereng:

W = ½ H2 {1-z/H)2 cot Ψp (cot Ψp tan Ψf - 1)}

Bila ingin digunakan perbandingan antara geometri lereng, kedalaman air


dalam rekahan tarik dan pengaruh dari kuat geser yang berbeda, maka
Persamaan (1) dapat dimodifikasi menjadi:
/

FK = 
dengan:

P = (1 - z/H) cosec Ψp

Jika rekahan tarik terletak di belakang crest lereng

Q = {(1-z/H)2) cot Ψp - cot Ψf} sin Ψp

Jika rekahan tarik terletak di muka lereng:

Q = {(1-(z/H)2) cot Ψp (cot Ψp tan Ψf - 1)}

 ! !

 ! "

! !
# $%&Ψ(
" "

Untuk kepraktisan, nilai-nilai P dan S dapat dicari dengan menggunakan


grafik pada Gambar 14, sedangkan nilai Q dapat ditentukan dengan
menggunakan grafik pada Gambar 15.
Gambar 14

Penentuan Nilai P dan S (Hoek & Bray, 1981)


Gambar 15

Penentuan Nilai Q (Hoek & Bray, 1981)


Bila lereng batuan tersebut berada di daerah rawan gempa dan
percepatan yang ditimbulkan gempa (α) dapat dimodelkan sebagai gaya
statis αW maka perhitungan faktor keamanan dapat dilakukan dengan
memasukkan pengaruh gempa dengan cara memodifikasi Persamaan (1)
menjadi;
 
*    

    
FK =
        

3.2 Longsoran Baji

Bila tahanan bidang gelincir (permukaan bidang lemah yang berpotongan)


hanya bergantung pada friksi saja (tanpa kohesi), maka penentuan factor
keamanan dapat menggunakan persamaan berikut ini.

 - . /0&1
+, 
2$%& Ψ3

dimana RA dan RB adalah reaksi ke arah normal bidang A dan B (Lihat


Gambar 16). Dengan membuat penampang tegak Iurus garis potong
kedua bidang lemah tersebut, dan melakukan beberapa subsritusi
trigonometri, maka Persamaan (4) dapat dituliskan sebagai:

$%&4 /0&1
+, 
$%& 172 8 /0&Ψ

sudut β, ξ dan Ψi akan sangat mudah ditentukan dengan bantuan


stereonet, seperti terlihat pada gambar 17)
Gambar 16

Gaya-gaya
gaya pada Baji (Hoek & Bray, 1981)

Gambar 17

Proyeksi Stereografis Longsoran Baji (Hoek & Bray, 1981)


Apabila kuat geser bidang gelincir juga dipengaruhi oleh kohesi serta
dijumpai pula adanya rembesan air di bidang-bidang lemah tersebut,
maka penentuan faktor keamanan harus mempertimbangkan kedua faktor
tersebut. Dengan membuat asumsi bahwa air hanya masuk di sepanjang
garis potong bidang lemah dengan muka atas lereng (Garis 3 dan 4 pada
Gambar 18) dan merembes keluar di sepanjang garis potong bidang
lemah dengan muka lereng (Garis 1 dan 2 pada Gambar 18) serta baji
bersifat impermeabel, maka persamaan yang digunakan untuk
menentukan faktor keamanan adalah sebagai berikut:

dengan:

cA dan cB = kohesi bidang lemah A dan B

φA dan φB = sudut gesek dalam bidang lemah A dan B

γ = bobot isi batuan

γw = bobot isi air

H = tinggi keseluruhan dari baji yang terbentuk (Gambar 18)

X = sin θ24/(sin θ45 sin θ2.na)

Y = sin θ13/(sin θ35 sin θ1.nb)

A = (cos Ψa - cos Ψb θna.nb)/(sin Ψ5 sin 2θna.nb)

B = (cos Ψb - cos Ψa θna.nb)/(sin Ψ5 sin 2θna.nb)

Ψa dan Ψb = kemiringan bidang lemah A dan B

Ψ5 = kemiringan garis potong kedua bidang lemah (Garis 5)

θ24 dll = sudut-sudut yang diperoleh dengan menggunakan


stereonet seperti terlihat pada Gambar 19
Gambar 18
Geometri Baji (Hoek & Bray,1981)
Gambar 19
Sudut-sudut
sudut pada Longsoran Baji (Hoek & Bray,1981)

3.3 Longsoran Guling

Pada analisis kestabilan


stabilan lereng untuk longsoran guling, perlu ditentukan
blok kolom mana
na yang stabil, meluncur, ataupun terguling. Penentuan ini
akan sangat memakan waktu jika dilakukan secara manual, misalnya
dengan mengikuti prosedur yang diusulkan oleh Hoek & Bray (1981).
(198
Prosedur ini tidak diberikan dalam modul ini, sehingga pembaca yang
ingin lebih mandalaminya disarankan untuk membaca Hoek & Bray
(1981).
Pada saat ini di pasaran dapat dengan mudah dijumpai bermacam
bermacam-
macam perangkat lunak untuk analisis kestabilan lereng
lereng terhadap
longsoran guling. Contoh keluaran dari perangkat lunak jenis ini diberikan
dalam Gambar 20.

Gambar 20
Analisis Longsoran Guling (Eberhardt, et al., 2002)

3.4 Longsoran Busur

Seperti telah diberikan pada uraian


an di depan, longsoran busur terjadi pada
material lemah, misalnya tanah. Oleh karena itu, analisis kestabilan lereng
terhadap longsoran
ran busur umumnya
mumnya didasarkan pada pendekatan
mekanika tanah, dan saat ini di plsaran sangat mudah dijumpai
umpai perangkat
lunak untuk analisis longsoran busur. Modul ini membahas tentang
analisis longsoran busur secara grafis dengan menggunakan chart
chart-chart
yang diberikan oleh Hoek & Bray (1981), sedangkan contoh hasil analisis
dengan metode lainnya diberikan pada akhir dari bagian ini.

Langkah-langkah analisis longsoran busur secara grafis ini adalah


sebagai berikut (Gambar 21):

Langkah 1 : Tentukan kondisi air tanah pada lereng dan tentukan


kategori kondisi ini berdasarkan Gambar 22. Berdasarkan
hal ini, pilih chart yang sesuai dari chart-chart pada
Gambar 23-27.

Langkah 2 : Hitung angka dan tandai angka tersebut pada
.

lingkaran terluar dari chart yang dipilih.

Langkah 3 : Ikuti jari-jari mulai dari angka yang diperoleh pada


Langkah 2 sampai memotong kurva kemiringan lereng.

Langkah 4 : Dari titik pada Langkah 3, tarik garis ke kiri dan kikba^hke
 
bawah untuk mencari angka-angka dan
: :

Langkah 5 : Hitung faktor keamanan (F) dari kedua angka yang


diperoleh dari Langkah 4.
Gambar 21
Langkah Analisis Longsoran Busur (Hoek & Bray, 1981)
Gambar 22
Kondisi Air Tanah Longsoran Busur (Hoek & Bray, 1981)
Gambar 23
Chart 1 Analisis Longsoran Busur (Hoek & Bray, 1981)
Gambar 24
Chart 2 Analisis Longsoran Busur (Hoek & Bray, 1981)
Gambar 25
Chart 3 Analisis Longsoran Busur (Hoek & Bray, 1981)
Gambar 26
Chart 4 Analisis Longsoran Busur (Hoek & Bray, 1981)
Gambar 27
Chart 5 Analisis Longsoran Busur (Hoek & Bray, 1981)

Analisis kestabilan lereng terhadap longsoran busur dapat juga dilakukan


dengan Metode kesetimbangan
setimbangan Batas (Gambar 28) atau metode
metode-metode
numeric, seperti Metode
etode Elemen Hingga (Gambar 29), Metode Elemen
Batas, dan Metode Elemen Distinct.
Gambar 28
Metode Kesetimbangan Batas (Wattimena et al., 2007)

Gambar 29
Metode Elemen Hingga
4. Pemantauan Lereng

4.1 Pendahuluan

Lereng yang dirancang dengan sangat berhati-hati tetap mempunyai


kemungkinan untuk menjadi tidak stabil. Pemahaman bahwa
ketidakstabilan lereng dapat terjadi dan pengetahuan akan tanda-tanda
ketidakstabilan tersebut akan memberikan kontribusi yang berarti pada
keselamatan operasi.

Terdapat beberapa tanda-tanda ketidakmantapan lereng yang penting


untuk diketahui dan tanda-tanda ini dapat dilihat secara visual. Selain itu,
program pemantauan yang baik akan dapat pula memberikan peringatan
awal mengenai ketidakstabilan lereng.

4.2 Pemantauan Lereng Secara Visual

4.2.1 Rekahan Tarik

Rekahan tarik (Gambar 30) akan jika material lereng telah bergerak ke,
arah pit. Perpindahan ini tidak dapat dideteksi dari lantai pit, sehingga
inspeksi reguler pada crest dari highwall di ,atas daerah penambangan
aktif penting untuk dilakukan. Oleh karena itu, akses yang aman harus
terus dijaga di daerah yang langsung berada di lokasi aktif penambangan.
Inspeksi dengan frekuensi sering mungkin diperlukan selama periode
musim hujan dan setelah peledakan yang besar.
Gambar 30
Rekahan Pada Lereng

4.2.2 Scarps

Scarps terjadi jika material


materia telah bergerak ke bawah secara vertikal atau
hampir vertikal. Material dan permukaan
p kaan scarp dapat tidak stabil dan
harus dipantau secara benar.1

Gambar 31
Scarps Pada Lereng
4.2.3 Aliran Air Tak Norm3l

Peningkatan aliran air di dalam lereng dapat menyebabkan pengaruh


yang buruk pada lereng. Perubahan aliran langgeng pada sumur
sumur-sumur
penirisan atau perubahan pada hasil pembacaan piezometer juga dapat
menunjukkan pergerakan subsurface yang telah memotong muka air
tanah atau lapisan pembawa air.

Gambar 32
Re
Rembesan Air Tanah Pada Lereng

4.2.4 Pelendutan (Bugle)


(Bug atau Rayapan (Creep)

Muka lereng yang melenidut


mele mengindikasikan
dikasikan adanya rayapan atau
pergerakan subsurface perlahan-lahan dari lereng. Indikator lain dari
terjadinya rayapan adalah dengan melihat vegetasi pada area
penambangan, misalnya pergerakan pohon pada crest lereng.
Gambar 33
Pelendutan Muka Lereng

Gambar 34
Pelengkungan Pohon Pada Lereng (Girard, 2002)
4.3 Pemantauan Lereng Menggunakan Peralatan

4.3.1 Umum

Jenis peralatan yang dipilih untuk program pemantauan lereng akan


ditentukan oleh besaran yang akan dipantau. Suatu sistem pemantauan
terpadu dapat terdiri atas peralatan-peralatan yang dapat mengukur
perpindahan massa batuan, parameter-parameter air tanah, dan tingkat
getaran tanah akibat peledakan.

Dalam memilih peralatan, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan


lebih dari satu jenis peralatan dalam sistem untuk memeriksa kehandalan
peralatan, meminimalkan kesalahan, dan sebagai back-up jika salah satu
peralatan rusak.

Peralatan otomatis umumnya lebih akurat dari peralatan manual karena


beberapa "human error" ditiadakan. Sistem otomatis juga lebih fleksibel
dalam sampling rate sehingga pemantauan dapat dilakukan dengan lebih
sering. Sistem otomatis juga dapat mengaktifkan alarm jika batas tertentu
dilewati. Tetapi, sistem ini umumnya lebih mahal dari sistem manual dan
komponen elektroniknya mungkin lebih sensitif. HaI lain yang perlu
dipertimbangkan adalah jumlah pelatihan yang dibutuhkan dan waktu
untuk pengumpulan data. Personal mungkin memerlukan pelatihan
teknikal yang tinggi untuk mengalibrasi dan merawat sistem elektronik
yang kompleks. Kadang-kadang, pemasangan lebih banyak peralatan
yang lebih murah tetapi handal akan lebih bermanfaat dibandingkan
dengan pemasangan lebih sedikit peralatan yang mahal dan sangat
sensitif.

Peralatan sebaiknya dipasang di lokasi dimana peralatan tersebut akan


bekerja paling efektif dan perkiraan pergerakan pada sebuah lokasi
tersebut akan sangat membantu agar batas bacaan peralatan tidak
terlampaui. Mungkin juga ada batasan-batasan dari segi lingkungan
(panas, dingin) yang menentukan dapat tidaknya sebuah peralatan
tertentu digunakan.

Perpindahan adalah salah satu besaran primer yang paling sering diukur
pada kegiatan pemantauan di tambang. "Pengukuran" parameter lainnya,
khususnya gaya dan tegangan, membutuhkan penggunaan model
matematis dan karakteristik material untuk perhitungannya. Perlu diingat
bahwa "... stress is a philosophical concept - deformation is the physical
reality" (Burland, 1967).

Beberapa peralatan pemantauan perpindahan yang umum digunakan


akan didiskusikan berikut ini.

4.3.2 Jaringan Survey (Survey Network)

Peralatan EDM (Electronic Distance Measurement) sangat umum


digunakan dan efektif untuk pemantauan lereng. Jaringan survey terdiri
atas beberapa prisma yang dipasang pada dan sekitar area-area dimana
ketidakstbilan mungkin terjadi serta satu atau lebih titik kontrol (yang tidak
bergerak) sebagai stasiun (Gambar 35). Sudut dan jarak dari stasiun ke
prisma-prisma diukur secara reguler untuk mendapatkan historis
pergerakan dan hal ini dapat dilakukan secara manual atau otomatis.
Gambar 35
Jaringan Survey Pemantauan Lereng (Sjoberg, 1996)

Peralatan survey harus dikalibrasi secara benar, sesuai petunjuk pabrik


untuk menjamin keakuratan dan kehandalannya. Selain itu, sangat
penting untuk meletakkan titik-titik
titik titik kontrol permanen pada lokasi yang
stabil dan memasang prisma secara baik.

4.3.3 Pengukur Rekahan

Pengukuran dan pemantauan lebar rekahan dan arah


arah propagasi rekahan
diperlukan untuk penentuan luasnya daerah yang tidak stabil. Metode
paling sederhana untuk pemantauan rekahan adalah dengan
menyemprotkah cat (Gambar 36) atau memasang bendera pada ujung
rekahan sehingga rekahan baru atau propagasi sepanjang rekahan yang
ada dapat teramati
Gambar 36
Penyemprotan Cat Untuk Pemantauan Rekahan

Crack gages dengan electrical readout (Gambar 37) juga dapat


digunakan, tetapi sering terjadi pada masalah lereng tambang, rekahan
melampaui batas pengukuran dari peralatan.
Gambar 37
Rangkaian Crack Gages

Metode apa pun yang dipilih untuk


uk pengukuran rekahan, peralatan harus
ditandai dengan tanggal pemasangan dan dapat menunjukan besar dan
arah pergerekan. Selain
Selai itu, diperlukan kehati-hatian
hatian agar personal tidak
berada di bagian yang tidak stabil dari longsoran ketika melakukan
pemasangan peralatan dan pembacaan.

4.3.4 Wireline Extensometer

Rangkaian
gkaian umum wireline extensometer (Gambar 38) terdiri atas kabel
yang di-anchored
anchored pada bagian lereng yang tidak stabil dengan stasiun
pemantauan dan pulley dipasang pada bagian lereng yang stabil di
belakang rekahan tarik yang terakhir. Kabel dibentangkan di atas pulley
dan ditegangkan dengan pemberat pada ujung kabel yang lain.
l
Gambar 38
Rangkaian Wireline Extensometer
Jika bagian yang tidak stabil bergerak menjauh tiang pulley, pemberat
akan bergerak dan perpindahan dapat direkam, baik secara manual
maupun elektronik. Peralatan pemantauan elektronik dapat diprogram
untuk mengaktifkan alarm apabila
apa perpindahan melebihi batas yang telah
ditetapkan.

4.3.5 Inclinometer

Inclinometer (Gambar 39) terdiri atas sebuah casing yang dipasang ke


dalam tanah melalui area yang diperkirakan bergerak. Ujung casing
diasumsikan tidak bergerak sehingga profil dari perpindahan lateral dapat
dihitung. Sisi casing lajur untuk unit sensor. Defleksi dari casing (yang
berarti juga massa batuan) diukur dengan menentukan inklinasi dari unit
sensor pada beberapa titik sepanjang casing.
Gambar 39
Rangkaian Inclinometer (Girard, 2002)

4.3.6 Time Domain Reflectometry (TD

TDR (Gambar 40) merupakan sebuah teknik dimana


imana pulsa
pulsa-pulsa
elektronik dikirimkan sepanjang sebuah kabel coaxial yang sudah d
di-
grouted di dalam sebuah lubang bor. Jika terjadi deformasi
masi atau kabel
putus, sebuah signal akan dipantulkan, yang memberikan
emberikan informasi
mengenai deformasi sub-permukaan
sub dari massa batuan.
Gambar 40
Rangkaian TDR (Kane & Beck, 2002)

4.3.7 Borehole Extensometer

Borehole extensometer (Gambar 41) digunakan untuk mendeteksi


mendeteksi dan
memantau perubahan jarak antara beberapa anchors dalam sebuah
lubang bor dengan anchor yang dianggap tetap pada collar lubang bor.
Perubahan jarak ini memberikan informasi mengenai perpindahan yang
terjadi pada massa batuan. Extensometer jenis ini yang terbaik untuk
memantau pergerakan akibat struktur geologi yang diketahui tetapi cukup
mahal jika dibandingkan dengan peralatan pemantauan lainnya.
Gambar 41
Rangkaian Borehole Extensometer (Girard, 2002)

4.4 Kriteria untuk Pemantauan

Pemantauan akan menghasilkan banyak data, tetapi pengetahuan


mengenai data mana yang penting akan dapat mengarahkan tindakan
selanjutnya.

Plotting perpindahan terhadap waktu tidak akan memberikan informasi


yang cukup bagi perencana tambang. Laju perpindahan merupakan
parameter paling penting yang harus dipantau.
Gambar 42
Contoh Grafik Hasil Pemantauan Perpindahan

Permasalahan lainnya adalah berapa harga limit yang harus digunakan


sehingga tidak terjadi kasus dimana kelongsoran sudah terjadi sedangkan
alarm belum berbunyi atau alarm berbunyi tetapi lereng sebenarnya dalam
keadaan stabil.

Jadi, sebenarnya para personal yang bekerja di tambanglah yang


memegang peranan lebih penting dibandingkan dari sistem monitoring,
seperti yang dinyatakan dalam sebuah video berjudul
berjud “Unearthing Black
Gold” bahwa : “We can’t rely only on monitoring systems. The eyes and
ears of a committed workforce are the most valuable assets mines have
for monitoring hazards.”
5. Stabilisasi Lereng

5.1 Pendahuluan

Meskipun telah dilakukan pemetaan geologi yang sangat baik,


perancangan geoteknik yang hati-hati, dan pemantauan yang memadai,
kemungkinan terjadinya longsoran tetap ada. Jika longsoran terjadi,
tambang sebaiknya mempunyai rencana respons terhadap pergerakan.
Jika longsoran yang terjadi sangat besar, personal harus segera
dipindahkan dari daerah berbahaya.

Sebuah tambang terbuka harus mempunyai prosedur untuk menentukan


nilai-nilai batas pergerakan dan bagaimana mengkomunikasikan skenario
evakuasi kepada para pekerja. Selain itu, prosedur tersebut harus
menetapkan para personal yang bertanggung jawab untuk highwall pre-
shift inspections dan para personal yang bertanggung jawab untuk
pengumpulan data dari peralatan pemantauan.

Longsoran lereng sangat jarang terjadi tanpa beberapa tanda dan semua
impersonal harus dapat mengenali potensi bahaya dan bertindak dengan
tepat.

Jika longsoran tidak langsung membahayakan personal, beberapa


tindakan dapat diambil untuk merespons pergerakan. Pemilihan tindakan
perbaikan ini bergantung kepada kondisi ketidakmantapan dan
dampaknya pada operasi. Setiap kasus harus dievaluasi secara terpisah
dengan mempertimbangkan keselamatan, rencana tambang, dan analisis
manfaat-biaya.

5.2 Alternatif 1: Tinggalkan Material Longsoran

Jika longsoran terjadi pada area yang tidak kritikal, kemungkinan respons
paling mudah adalah dengan membiarkan material tetap di tempatnya.
Penambangan dapat dilanjutkan dengan laju terkontrol jika kecepatan
longsoran rendah dan mekanisme longsorannya diketahui dengan baik.
Tetapi, jika ada keragu-raguan
keragu raguan mengenai kemantapan selanjutnya,
material longsoran perlu digali.

Longsoran skala-besar
besar dapat sangat sulit dan mahal untuk dibersihkan.
Seringkali, perusahaan akan memilih untuk meninggalkan sebuah step
step-
out dalam
am rancangan tambang untuk menampung material longsoran dan
melanjutkan penambangan di bawah step
step-out
out (Lihat Gambar 43).

Gambar 43
Step-Out
Out Pada Lereng Penambangan (Sjoberg, 1996)

Nilai cadangan yang hilang harus dibandingkan dengan biaya


pembersihan untuk mema
memastikan hal ini merupakan solusi yang layak.
Selain itu, ukuran peledakan kemungkinan haruss dikurangi juga untuk
meminimalkan dampaknya terhadap zona tak mantap.
5.3 Alternatif
ternatif 2: Lakukan Penyanggaan

Jika material yang tidak stabil tidak dapat dibiarkan, penyanggaan material
tersebut mungkin menjadi solusinya. Beberapa tambang telah berhasil
menggunakan penyangga seperti baut batuan, kabel, mesh, dan beton
tembak untuk menyangga massa batuan.

Penggunaan penyangga
yangga dapat sangat mahal. Tetapi, jika highwall dapat
dibuat lebih curam dan biaya pembersihan dapat dikurangi, biaya
tambahan untuk penyanggaan tentunya dapat dijustifikasi.

Studi struktur geologi harus dilakukan untuk memilih penyangga yang


cocok (panjang
ng baut batuan atau kabel, tebal beton tembak, dll). Baut
yang terlalu pendek tidak akan berfungsi dalam pencegahan kelongsoran.
Dalam beberapa kasus, penyangga hanya berfungsi untuk mengikatkan
longsoran-longsoran kecil menjadi sebuah longsoran yang lebih besar,
seperti ditunjukan pada Gambar 44.

Gambar 44
Kegagalan Penyangga Cable Bolts (Sjoberg, 1996)

Solusi lainnya adalah dengan membuat buttress pada toe (Gambar 45).
Jika jarak angkut material buttress dekat, alternatif
atif ini dapat menjadi
pilihan yang baik.
Gambar 45
Buttress Pada Toe Leren (Sjoberg, 1996)

Gambar 46
Contoh Pembuatan Buttress Pada Toe Lereng

5.4 Alternatif
natif 3: Hilangkan Bahaya

Jika lereng tetap longsor dan penyanggaan tidak layak dilakukan, perlu
diambil tindakan untuk menghilangkan bahaya. Yang sering dilakukan
adalah dengan melandaikan lereng sampai sudut tertentu.
Jika tidak ada sistem penangkapan, metode scaling yang tepat perlu
dilakukan secara reguler untuk menghilangkan bahaya akibat adanya
jatuhan batuan-batuan kecil. Pemasangan mesh untuk keperluan ini dapat
juga menjadi sebuah alternatif (Gambar 47).

Gambar 47
Pemasangan Mesh Pada Lereng

Dewatering melalui lubang horisontal, lubang vertikal, drainase


permukaan, dan saluran pengelak (Gambar 48), dapat juga digunakan
sebagai alternatif untuk mengurangi bahaya longsoran
Gambar 48
Dewatering Tambang Terbuka (Hoek & Bray 1981)

Anda mungkin juga menyukai