Anda di halaman 1dari 2

PAPUA Nomor Satu Pengidap HIV. Mengapa???

Papua dijadikan sebagai tempat mengadu nasib berbagai masyarakat dari berbagai belahan
bumi Indonesia. Alasannya, tanah Papua memiliki berbagai sumber daya yang dapat dijadikan sumber
pemasukan dan untuk kelangsungan hidup. Dengan adanya pabrik di mana-mana, program-program
pemerintah, dan pemekaran daerah di berbagai sudut Papua, menciptakan tawaran pekerjaan yang
menggiurkan sehingga banyak orang hadir di tanah ini dengan berbagai profesi. Ada yang positif dan ada
yang negatif, semuanya bertujuan untuk mencari kehidupan. Seorang wanita penjaja seks komersial
(PSK) yang dianggap bekerja secara tidak halal pun mempunyai tujuan yang sama dengan orang yang
bekerja secara halal, yakni mencari uang guna hidup. Meskipun tujuan PSK itu baik, di lain pihak timbul
dampak negatif karena bentuk pekerjaannya sebagai objek pemuas nafsu yang sangat rentan terhadap
HIV/AIDS. Ditambah lagi kenyataan bahwa dewasa ini orang dapat melakukan segala cara demi
mendapatkan apa yang diinginkan bagi dirinya. Seorang wanita yang bukan penjaja seks sekalipun,
dapat menyerahkan anggota tubuhnya yang paling berharga guna memperoleh keinginannya. Seorang
pria baik-baik, bahkan tokoh pejabat yang seharusnya menjadi panutan rakyat, dapat menyimpang dari
nilai-nilai bersama demi memuaskan nafsunya. Tak dipungkiri pula berbagai faktor lain pun membawa
dampak HIV/AIDS dalam masyarakat. Kita dapat menyebutkan miras, judi, narkoba dan berbagai hal lain
sebagai jalan menuju HIV/AIDS

Jika kita mengambil contoh bagaimana kelompok ibu-ibu di Biak, Timika, Merauke, dan Wamena
berdemo soal Miras, judi, dan PSK, kiranya terindikasi secara kuat bahwa pemerintah belum mengambil
tindakan yang sistematik guna mengurangi dan mencegah penyebaran penyakit mematikan itu.

Menurut pengakuan Kebena, seorang penderita HIV positif dari Pegunungan Bintang,
dirinya tertular melalui hubungan seksual secara bebas. Pada umumnya, para orang tua di daerah
Kebena mendidik anak dengan keras. Anak dilarang pacaran atau berhubungan dengan lelaki
lain. Maka, anak-anak pacaran secara sembunyi-sembunyi, di hutan atau tempat yang jauh dari
rumah1. Secara adat hal ini dapat dibenarkan, namun jika kita melihat secara jeli akibat yang
dapat ditimbulkan, kita dapat mengatakan bahwa kebijakan orang tua tersebut adalah hal yang
keliru. Anak-anak pacaran jauh dari rumah (hutan), kontrol terhadap anak pun berkurang.
Akibatnya, perilaku seksual yang menyimpang dapat saja terjadi.

Timika menjadi daerah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi, diikuti dengan Merauke dan
Kota Jayapura serta berbagai daerah lainnya. Laporan terakhir tahun 2010 menyebutkan bahwa
sebanyak 1.536 warga tujuh suku di Kabupaten Mimika (Timika) telah terinfeksi HIV/AIDS.
Data sebelumnya (tahun 2009) mencatat bahwa jumlah ibu rumah tangga di Timika yang
terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 551 orang dan warga yang mempunyai pekerjaan tidak tetap yang
terinfeksi sebanyak 600 orang. Sedangkan kelompok umur yang terbanyak menderita penyakit
ini yakni antara 20-29 tahun2[14].

2
Menjadi jelas bahwa HIV/AIDS bukan lagi melingkupi para pekerja seksual, para pelaku
perilaku seksual yang salah atau para pengguna narkoba. HIV/AIDS kini merangsek masuk ke
dalam kehidupan masyarakat umum. Para ibu rumah tangga pun juga terkena penyakit ini. Hal
ini turut menambah kritis realitas HIV/AIDS. Bukan hanya itu saja, penderita paling banyak
ialah orang-orang muda. Bagaimana masa depan tanah ini dapat terjamin jika orang-orang muda
telah terbius oleh penyakit mematikan ini? Sekali lagi memang sangat dibutuhkan suatu sikap
prihatin yang kuat dibarengi usaha konkrit demi menanggulangi masalah ini.

Anda mungkin juga menyukai