Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Tidur didefinisikan sebagai bentuk fisiologis dan berulang dari penurunan


kesadaran secara reversible dimana terjadi penurunan fungsi kognitif secara global
sehingga otak tidak mersepon secara penuh terhadap stimulus sekitar. Gangguan pola
tidur dapat mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan. 1 Berbagai kondisi medis
diketahui dapat mempengaruhi fungsi tidur, diantaranya epilepsi.
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologi dengan prevalensi yang
cukup tinggi yakni sekitar 50 juta penduduk dunia. Secara global, diperkirakan 5 juta
orang didiagnosa epilepsi setiap tahunnya.2 Di Indonesia, jumlah kasus epilepsi cukup
tinggi yakni sekitar 8, 2 per 1.000 penduduk.
Penderita epilepsi sering dilaporkan mengalami gangguan tidur. Angka
kejadian gangguan tidur pada penderita epilepsi dilaporkan 2 sampai 3 kali lebih
sering dari pada pasien yang tidak mengalami epilepsi.3 Gangguan tidur yang sering
dijumpai diantara insomnia, excessive daytime sleepiness, sleep apnea dan restless leg
syndrome.4 Lima dkk dalam penelitiannya melaporkan 61.4% pasien epilepsi
mengalami insomnia dan 35.7% mengalami excessive daytime sleepiness. Pada
penderita epilepsi dilaporkan terjadi perubahan pada struktur tidur. Secara umum,
pasien epilepsi mengalami peningakatan wake after sleep onset (WASO), pemanjangan
sleep onset latency, peningakatan waktu yang dibutuhkan pada tidur NREM fase 1 dan
2, and penurunan persentase rapid eye movement (REM) sleep.5
Tidur juga diketahui berpengaruh terhadap bangkitan epilepsi. Aristoteles dan
Hipocrates telah mencatat adanya bangkitan epilepsi selama tidur. Gower pada akhir
abad ke-19 memberikan komentar tentang hubungan bangkitan pada siklus bangun
tidur. Langdon-Down dan Brain pada tahun 1929 mengamati tentang puncak
bangkitan malam hari kira-kira 2 jam setelah waktu tidur dan antara jam 4 sampai 5
pagi.6,7
Pada makalah ini akan dibahas mengenai hubungan antara epilepsi dan
gangguan tidur, pengaruh tidur terhadap bangkitan epilepsi, gangguan tidur yang terjadi

1
pada penderita epilepsi dan efek tatalaksana epilepsi terhadap tidur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Bangun Tidur

2.1.1 Fase Bangun


Pada fase wakefulness ditandai dengan adanya gelombang alfa dengan
amplitude 15-45 mikrovolt dan frekuensi 8013 Hz pada dewasa, Amplitudo
gelombang alfa lebih tinggi pada usia lebih muda. Gelombang alfa paling jelas di
oksipital paada saat relaxed wakefulness dengan pada terpejam dan mengalami
penurunan saat membuka mata atau konsentrasi. Pada fase wakefulness,
gambaran rekaman elektrookulografi didapatkan kedipan mata dengan kontrol
volunter. Ketika mulai mengantuk tampak gambaran slow roling eye movement
(SREM). Pada rekaman EMG didapatkan aktivitas yang tinggi dari otot yang
berlangsung secara volunter.1,8

2.1.2 Fase Non Rapid Eye Movement


2.1.2.1 NREM Fase 1
Fase 1 atau juga disebut drowsiness merupakan fase transisi di tandai
dengan munculnya gerakan pendular pelan pada bola mata atau slow eye
pendular movement. Irama bangun menghilang secara bertahap ditandai
gelombang alfa yang muncul secara on-off lalu digantikan dengan gelombang
theta dan gelombang vertex. Gelombang theta adalah gelombang dengan
frekuensi 4-7 Hz dan berasal dari hipokampus. Gelombang ini tampak di
daerah sentral dan temporal. Gelombang vertex merupakan gelombang tajam
yang memiliki amplitudo defleksi < 250 mikrovolt dimana lokasi paling aik di
daerah vertex. Pada EOG tampak gambaran berupa gerakan bola mata
pendular yang lambat dan EMG didapatkan kontraksi otot tonik dengan
aktivitas tinggi sedang.1,8

3
2.1.2.2 NREM Fase 2
Fase ini ditandai dengan adanya gelombang delta kurang dari 20%
kompleks K dan sleep spindle. Fase ini meliputi 45% sampai 55% total waktu
tdur. Gelombang sleep spindle atau disebut juga aktivitas sigma adalah
gelombang ritme sinusoidal yang berkisar antara 12-14 Hz dengan lokasi
frontosentral. Gelombang spindle berlangsung 0.5 -1.5 detik dengan
amplitude rata-rata berkisar < 50 mikrovolt. Sleep spindle berasal dari nukleus
talamikus yang terletak didekat garis tengah. Kompleks K adaah gelombang
bifasik yang memiliki komponen inisial negative atau defleksi yang tajam
diikuti fasepositif. Gelombang K berdurasi 0.5 detik dan simetris tampak jelas
di region vertex. Kompleks K dapat terjadi tunggal atau berurutan secara
spontan jika mendapat stimulus auditorik. Pada fase ini pada EOG didapatkan
SREM yang kadang-kadang dapat muncul dan EMG yang berupa aktivitas
tonus yang menurun.1,9

2.1.2.3 NREM Fase 3 dan 4


Fase 3 dan 4 secara bersamaan disebut tidur dengan irama delta atau Slow
Wave Sleep (SWS). NREM Fase 3 terjadi jika 20% sampai 50% dari
gelombang dasar EEG yang terekam berupa gelombang delta. Gelombang
delta merupakan gelombang dengan amplitudo yang tinggi berkisar > 75
mikrovolt dengan kecepatan rendah yakni antara 2-4 Hz. Gelombang ini
berasal dari korteks. Gelombang spindle dapat muncul tetapi lebih jarang.
Gelombang ini muncul selama NREM fase 2, 3, dan 4, namun tidak pernah
terlihat pada fase 1 NREM dan fase REM.
NREM fase 4 terjadi jika paling tidak terdapat 50% dari gelombang
dasar EEG yang terekam berupa gelombang delta. NREM fase 3 dan 4
dikatakan sebagai fase tidur yang paling dalam dimana berfungsi
mengembalikan kesegaran tubuh dan merestorasi kondisi tubuh setelah
beraktivitas.8

4
2.1.3 Fase Rapid Eye Movement
Fase REM ditandai dengan adanya gelombang bervoltage rendah yang
bercampur dengan aktivitas gelombang alfa yang biasanya berkekuatan lebih
rendah 1-2 Hz dari gelombang alfa saat bangun atau wakefulness. Juga
didapatkan gelombang yang seperti gergaji atau saw tooth yang berkekuatan 2-
100 mikrovolt dengan frekuensi 205 Hz dandurasi > 0.25 detik yang dapat
terlihat di region frontosentral.
REM memiliki komponen fasik dan tonik. Selama fase tonik, terjadi supresi
dari aktivitas otot pada EMG dan gambaran EEG menunjukkan gelombang
voltase rendah yang bercampur alfa. Pada fase ini amplitude respirasi cenderung
teratur, paralisis otot dan peningkatan perfusi darah otak. Pada fase fasik REM
dari EMG, tonus otot yang sangat lemah dan pola detak jantung serta pernafasan
ireguler. Selama fase REM, mata akan bergerak secara cepat dibawah kelopak
mata yang tertutup ketika bermimpi.
Fase REM secara normal terjadi 60-90 menit setelah dimulai tidur. Onset
dari fase REM tidak ditentukan dengan adanya gerakan mata yang cepat yang
terekam oleh EOG, namun dapat ditentukan dengan munculnya gelombang
gergaji pada EEG. Perubahan latensi dari fase REM terjadi pada individu yang
kekurangan tidur, neonatus, individu yang mengalami narkolepsi dan withdrawal
dari alkohol serta obat-obatan yang menghambat fase ini.8

2.2. Arsitektur Tidur Normal


Siklus tidur berlangsung sebanyak 5-7 siklus tiap peiode tidur. Lama siklus berbeda
beda, namun rata-rata masing masing siklus sekitar 90 menit. Umumnya siklus pertama
terjadi paling singkat dibandingkan siklus lainnya. Pada orang dewasa normal, proses
tidur diawali dengan transisi dari proses terjaga ke tidur atau NREM fase 1. Proses
transisis ini berlangsung dalam hitungan detik ke menit. Selanjutnya, pergerakan mata
lambat (slow eye movement ) terlihat ketika seseorang mulai tertidur. NREM Fase 1
berlangsung selama satu hingga tujuh menit. NREM fase 2 yang dicirikan dengan
adanya sleep spindles dan kompleks K pada rekaman EEG berlangsung sekitar 10-25
menit. Sebagaimana fase 2 NREM berlangsung, secara bertahap muncul slow wave

5
activity yang merupakan ciri utama dari NREM fase 3 dan fase 4 atau yang disebut slow
wave sleep (SWS) Fase ini berlangsung selama 20-40 menit. Selama fase NREM
berlangsung, otak menjadi kurang responsive terhadap rangsangan external sehingga
sulit untuk dibangunkan.8
Setelah NREM fase 3 dan 4 (fase tidur dalam), tubuh mengirimkan sinyal untuk
kembali ke fase tidur ringan (NREM fase 2) yang berlangsung sekita 5-10 menit sebelum
akhirnya masuk ke fase REM yang berlasung sekitar 10 menit. 8,9
Pada orang dewasa, 2-5% dari periode tidur ialah NREM fase 1, 45-55% fase 2, 13-
23% fase SWS dan 20-25% fase REM. Pada neonatus, proporsi fase REM berkisar 50%
dari total waktu tidur, yang selanjutnya menurun menjadi 30-35% pada anak usia 2 tahun
dan stabil pada kisaran 25% pada anak usia 10 tahun hingga dewasa.

Gambar 1. Hipnogram dari tidur

2.3. Fisiologi Tidur


2.3.1. Regulasi Bangun Tidur dan Irama Sirkardian
Bangun-tidur diatur oleh hubungan interaksi antara dua proses yakni proses
yang memacu tidur (proses S) dan proses yang memastikan seseorang dalam
keadaan bangun atau terjaga (proses C). Proses S merupakan dorongan
homeostatic untuk tidur yang berakumulasi sepanjang hari dan mencapai
pucaknya pada saat malam hari sebelum tidur dan akan berkurang sepanjang

6
malam (selama tidur). Proses C merupakan proses yang memacu seseorang
untuk berada dalam keadaaan bangun dan terjaga. Proses ini diatur oleh irama
sirkardian.

Gambar 2. Regulasi bangun-tidur

Irama sirkadian (Circadian rhythm) adalah suatu proses biologis ritmis


yang menyebabkan perubahan fisiologis dan perilaku sesuai dengan siklus 24
jam. Irama sirkardian diatur oleh strukur saraf di hipotalamus, nukleus
suprakiasmatik (SCN). SCN menerima input langsung dari retina yang dapat
mereset “clock gene” pada SCN yang menghasilkan protein selama 24 jam. Dua
protein yang diketahui yakni Clock dan Bmal1 yang berikatan bersama dan
terikat pada DNA spesifik pada sel di seluruh tubuh untuk mengaktifkan gen-gen
seperti Period dan Crypthochrome. Setelah teraktivasi, gen-gen tersebut akan
mengekspresikan protein yang mempengaruhi aktivitas seluler seperti transduksi
sinyal dan metabolism sampai umpan balik negatif dicapai,dengan menghambat
Clock dan Bmal1 berikatan pada DNA.7,8
SCN menerima input dari sel saraf retina yang mendeteksi cahaya untuk
meregulasi circardian rhytm dan proses tidur melalui berbagai jalur yang
menyebabkan pengeluaran ACTH, prolaktin, melantonin dan norepinefrin.
Salah satu jalur yang paling umum diketahui ialah stimulasi pengeluaran
norepinefrin oleh SCN yang selanjutnya akan menstimulasi kelenjar pineal untuk
mengeluarkan melantonin. 8

7
Proses tidur terjadi ketika adanya supresi terhadap aktivitas dari reticular
ascending system yang dilakukan oleh neuron-neuron inhibisi dari area preoptik
ventrolateral (VLPO) yang aktif saat tidur. Adapun molekul yang memicu
terjadinya aktivasi dari VLPO dan menginisisasi onset tidur belum sepenuhnya
jelas. Namun beberapa penelitian merujuk pada adenosine. Adenosin
berakumulasi di basal forebrain selama terjaga dan berkurang saat tidur
berlangsung. Reseptor adenosin berada di VLPO dan adenosin mengaktivasi
neuron-neuron VLPO secara in vivo, sehingga menyebabkan seseorang masuk
ke tahap tidur. Pusat keterjagaan monaminergic yang berproyeksi ke VLPO
berfungsi untuk mensupresi aktivitas VLPO selama terjaga. VLPO menerima
modulasi dari nukleus suprachiasmatik yang berperan sebagai pusat circardian
ryhtm.9,10,11
Inhibisi dari arousal system oleh sistem VLPO menyebabkan aktivasi
sistem talamokortikal, dimana pada saat terjaga, arousal system mengaktivasi
sistem kolinergik yang menghihibisi dari sistem talamokortikal.10,11

2.3.2. Mekanisme Tidur NREM


Dengan adanya penurunan input dari reticular ascending system dan
hipotalamus lateral, terjadi peningkatan penyebaran aktivitas GABAergic di otak
dan batang otak. Pada level thalamus dan korteks, hal ini menimbulkan aktivitas
gelombang terkait dengan tidur yakni spindles, delta waves, dan slow
oscillations. Tahap ini disebut tidur NREM.
Sleep spindle merupakan disebut juga aktivitas sigma adalah gelombang
ritme sinusoidal yang berkisar antara 12-14 Hz dengan lokasi frontosentral.
Gelombang spindle berlangsung 0.5 -1.5 detik tiap 3sampai 10etik selama tidur
NREM. Gelombang spindle terbentuk di nukleus reticular thalamus (RE).
Gelombang ini akan dihantarkan oleh neuron-neuron penghantar di
talamokortikal pada nukleus dorsal talamik melalui sinapsis GABAergic, yang
menghasilkan inhibitory postsynaptic potential (IPSP). IPSP akan menyebabkan
deinaktivasi dari transient calcium conductance sehingga menghasilkan low
threshold spike, yang akan menghasilkan letupan aksi potensial. Aksi potensial
ini akan berjalan melalui akson gluatamatergic talamokortikal sehingga

8
menghasilkan rhythmic excitatory postsynaps potential di korteks. Gelombang
delta merupakan gelombang dengan amplitudo yang tinggi berkisar > 75
mikrovolt dengan kecepatan rendah yakni antara 2-4 Hz. Gelombang ini berasal
dari korteks. Selain sleep spindles dan gelombang delta, terdapat slow
oscillation. Slow oscilation ini berasal dari korteks dengan frekuensi < 1 Hz.
Adanya sinkronisasi neuron di korteks (slow oscillation dan gelombang
delta), akan menimbulkan sinkronisasi di RE yang selanjutnya akan
menyebabkan penyebaran sinkronisasi keseluruh korteks serebri.

Gambar 3. Sirkuit Tidur NREM

2.3.3. Mekasnisme tidur REM

Tidur REM berasal aktivsi dari neuron kolinergik di mesenfalon dan pons.
Nukleus tegmental pedukolopontin (PPT) dan dorsal lateral tegmentum (LDT)
menggunakan astetilkolin untuk memacu desinkronisasi kortikal melalui
thalamus,dimana pada EEG digambarkan dengan sawtooth waves. Tidur REM
dikarakteristikkan dengan adanya atonia otot dan desinkronisasi pada EEG dan
rapid eye movement. Atonia otot terjadi akibat inhibisi dari alfa motor neuron
oleh neuron-neuron peri-locus coerulus. Rapid eye movement terdiri dari sakadik

9
lateral yang terbentuk di paramedian pontine reticular formation dan sakadik
vertikal terbentuk di mesenphalic reticular formation. Pada tidur REM, neuron
serotonin dan norepinefrin tetap tidak aktif. 10,11

Gambar 4. Sirkuit Tidur REM

2.4. Pengaruh Tidur Pada Epilepsi


Pengaruh tidur terhadap epilepsi yakni tidur NREM mengaktivasi interictal
discharges sedangkan tidur REM menghambat interictal discharges. Pada generalized
tonic-clonic seizure, interictal discharges meningkat selama NREM, khususnya fase 1
dan 2 dan menurun selama tidur REM. Review dari 42 penelitian menunjukkan bahwa
kejang terjadi paling sering pada stage I dan II fase NREM diikuti stage III dan fase
REM.12,13 Ada beberapa teori tentang bagaimana tidur dapat mempengaruhi
hipersinkronisasi abnormal dan hipereksitabilitas yang merupakan karakteristik dari
epilepsi. Satu ide yang relatif mudah dipahami adalah bahwa fluktuasi sinkronisasi
neuron kortikal selama tidur dan terjaga dapat meningkatkan atau menekan
sinkronisasi abnormal otak epilepsi. Misalnya, peningkatan sinkronisasi selama tidur
NREM mungkin memudahkan pelepasan hipersinkron untuk menarik sekelompok
neuron, sedangkan ketika neuron relatif tidak sinkron, seperti saat bangun atau tidur
REM, lebih sulit untuk melakukannya.10,12

10
Pentingnya sinkronisasi saraf selama tidur untuk meningkatkan aktivitas epilepsi
didukung oleh penelitian pada kucing di mana diakukan pemberian farmakologis dan
lesi telah digunakan untuk secara selektif menghasilkan keadaan seperti tidur REM
tanpa desinkronisasi EEG atau keadaan seperti tidur REM tanpa atonia. Aplikasi
sistemik dari metabotropic acetylcholine receptor blocker atropine mengarah ke
keadaan seperti REM (dengan atonia dan adanya gelombang pontogeniculooccipital
karakteristik REM) tetapi dengan EEG yang disinkronkan mirip dengan tidur NREM
termasuk sleep spindles. Pada hewan-hewan tersebut terjadi peningkatkan interiktal
pelepasan epileptiform dan kejang, tetapi tanpa manifestasi motorik. Lesi pada
tegmentum medial dan lateral pontine menghasilkan keadaan seperti REM tanpa atonia
tetapi dengan EEG yang tidak sinkron. Selama keadaan ini, tidak ada peningkatan
jumlah pelepasan atau kejang interiktal. Temuan ini mendukung gagasan bahwa
desinkronisasi aktivitas saraf yang ada selama tidur REM menekan pelepasan interiktal
dan iktal.10,13
Pada generalized epileptiform discharge, dikatakan bahwa general epleptiform
discharge dan gelombang tidur memiliki sirkuit saraf yang tumpang tindih, sehingga
menyebabkan perubahan pada eksibilitas neuronal yang mengaggu ritmik tidur normal
menjadi pathologic discharge. Baik gelombang spindle maupun spike-wave discharge
dibentuk di thalamus dengan memodulasi inhibisi GABAergic. Terlebih, jika receptor
GABA yang memediasi inhibisi berkurang, gelombang spindle akan digantikan oleh
gelombang slow and spike.10
Salah satu mekanisme bagaimana sirkuit yang memproduksi spindle dapat
menimbulkan spike-waves discharge ialah dengan berkurangnya inhibisi pada neuron
reticular thalamus. Kolateral inhibisi antara neuron reticular thalamus membatasi
derajat sinkronisasi sirkuit neuron reticular thalamus- kortikal. Pembatasan ini dapat
diatasi dengan beberapa cara yakni menurunkan transmisi GABAergik dalam nukleus
retikuler. Bukti yang mendukung hipotesis ini berasal dari tikus yang tidak memiliki
subunit 3 reseptor GABAA, yang ditemukan pada sinapsis GABAergik di dalam
nukleus retikuler tetapi tidak pada sinapsis antara RE dan neuron talamo-kortikal. Pada
hewan-hewan ini, penghambatan dari kolateral di dalam nukleus retikuler dipengaruhi
sedangkan penghambatan dari neuron RE totalamokortikal tidak. Hal ini menyebabkan

11
gelombang dari talamus menjadi hipersinkronisasi dan epileptiform discharge.
Mekanisme lain diantaranya peningkatan eksitasi neuron reticular thalamus dan/neuron
talamokortikal yang memicu epileptiform discharge dan kejang.14
Pada idiophatic focal epilepsy (IFE), tidur NREM secara karakteristik
meningkatkan kejadian, amplitude dan distribusi dari epileptiform discharge. Pada
nocturnal frontal lobe epilepsy (NFLE), terjadi sensitisasi epileptik dari sistem
arousal akibat mutasi pada reseptor asetilkolin pada beberapa regio otak yang
berhubungan dengan sistem arousal. 10,14

2.5. Sleep Deprivation pada pasien epilepsi


Meskipun mekanismenya belum jelas, pengaruh sleep deprivation pada pasien
epilepsi telah dilaporkan pada berbagai penelitian. Kurangnya tidur merupakan faktor
pemicu terjadinya kejang. Satu episode tidak tidur sepanjang malam dapat menimbulkan
terjadinya kejang pada pasien epilepsi yang telah lama tidak kejang. 11 Janz dalam
penelitiannya melaporkan sleep deprivation memicu terjadinya kejang pada 27 pasien
dengan juvenile myoclonic seizure. Sleep deprivation juga memicu mengaktivasi
epileptiform discharge pada generalized epilepsy. 6
Sleep deprivation dapat menurukan inhibisi intrakortikal dan meningkatkan
eksitabilitas pada epilepsi fokal atau general. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
terjadi perubahan inhibsi transmisi sinaptik dan eksitasi seluler dari jaringan saraf pada
pasien epilepsi yang mengalami sleep deprivation.13
Sinyal GABAergik merupakan mekanisme utama inhibisi sistem saraf pusat yang
terdiri dari inhibisi tonik dan fasik. Mekanisme ini dimediasi dengan pengeluaran
GABA presinaps yang mengaktivasi reseptor GABAA dan GABAb pada membrane post
sinaps dan perisinaps. GTI dimediasi oleh GABA A reseptor yang terdiri dari alfa-4 dan
delta subunit pada girus dentate dan terdiri dari alfa-5 dan gama subunit pada region
CA1 hipokampus. Penelitian secara invitro menunjukan inhibsi tonik menghasilkan
impuls lebih besar dibandingkan inhibisi fasik, sehingga penurunan GTI dapat
meningkatkan eksitabitilitas neuron. Penelitian yang dilakukan oleh Koduru dkk pada
tikus, menunjukkan pada kondisi sleep deprivation terjadi penurunan GABAA reseptor
yang terdiri dari alfa-4 dan delta subunit pada girus dentata dan GTI. Penurunan GTI

12
berkontribusi pada peningkatan eksitabilitas neuron yang menginduksi terjadinya kejang
pada sleep deprivation.6,13

2.6. Sindroma Epilepsi Yang Berhubungan dengan Tidur


Secara umum, proses tidur memicu aktivitas epileptic dan kejang. Terdapat
beberapa sindrom epilepsi yang bermanisfetasi hanya atau sering saat tidur atau setelah
bangun tidur. The American Acadey of Sleep Medicine memberikan kriteria untuk
sindroma epilepsi terkait tidur pada International Classification of Sleep Disorder, Edisi
Kedua (ICSD-2). ICDS-2 menjabarkan syndrome epilepsi terkait tidur sebagai epilesi
yang dimana > 70% episode epilepsi terjadi pada saat tidur. Pada klasifikasi terbaru,
ICSD-3, tidak terdapat kriteria spesifik untuk menegakkan diagnosa epilepsi terkait
gangguan tidur.15

2.5.1 Nocturnal frontal lobe epilepsy (NFLE)

NFLE merupakan sindrom epilepsi fokal idiopatik yang berasal dari lobus
frontal dan dicirikan dengan adanya kejang hanya atau prodominan saat tidur.
Gejala motoric kejang bervariasi. Onset kejang biasanya pada saat anak-anak. 11,13

2.5.2. Benign epilepsy of childhood with centrotemporal spikes (BECT)


Benign epilepsy of childhood with centrotemporal spikes (BECT) atau
dikenal dengan epilepsi Rolandik merupakan jenis sindroma epilepsi yang paling
sering dijumpai pada anak. Merupakan sindroma epilepsi fokal idiopatik yang
muncul pada usia 3 sampai 13 tahun dan mengalami remisi pada saat dewasa.
BECT muncul sebagai kejang fokal disertai kedutan kronis pada wajah dan
parestesia. Kejang biasanya timbul pada saat tidur.16

2.5.3. Early-onset or late-onset childhood occipital epilepsy


Early-onset or late-onset childhood occipital epilepsy atau dikenal dengan
nama Sindroma Panayitopoulus merupakan salah satu jenis epilepsi fokal
idiopatik yang berhubungan dengan usia. Sindroma ini muncul selama masa
anak-anak dan mengalami remisi dalam 1-2 tahun setelah onset. Sebagiann
besar pasien mengalami kejang hanya 1-5 kali. Kejang diawali dengan mual,

13
muntah diikuti dengan gejala otonom berupa kemerahan pada wajah, selanjutya
timbul kejang wajah dan mata dan hilang kesadaran. Kejang seringkali
berkembang menjadi kejang general. Sebagian kejang terjadi pada saat tidur.16

2.5.4. Juvenile myoclonic epilepsy


Juvenile myoclonic epilepsy (JME) merupkan sindrom epilepsi general
idiopatik yang dicirikan dengan adanya kejang myoklonik bilateral dan
meliputi ektremitas atas. Sebagai konsekuensinya, pasien sering menjatuhkan
barang yang sedang dipegangnya. Pada beberapa pasien kejang berubah
menjadi kejang umum tonik klonik. Kejang myoclonic ini dipengaruhi oleh
circardian ryhtm dan electrical status epilepticus of sleep berhubungan dengan
tidur, sering muncul pada 2 jam pertama setelah bangun dan difasilitasi oleh
keadaan kurang tidur. Penyakit ini muncul pada usia remaja dan berespon baik
dengan asam valproat.15

2.5.5. Lennox-Gastaut Syndrome


Kejang tonik pada Lennox-Gastaut Syndrome cenderung terjadi pada
saat tidur. Lennox-Gastaut Syndrome merupakan salah satu dari sindroma
epilepsi general simptomatik atau kriptogenik yang memiliki gejala beragam
tipe kejang meliputi kejang tonik dan perkembangan intelektual yag lambat.
Sindroma ini muncul pada saat bayi sampai masa kanak-kanak awal dan
resistant terhadap obat.15

2.5.6. Continous spike waves sleep (CSWS)


CSWS atau juga yang dikenal dengan merupakan epilepsi terkait
dengan usia yang dikarakteristikan dengan adanya continous and diffuse spike
waves yang menetap selama fase slow wave sleep. Onset terjadi pada masa
kanak-kanak awal. CSWS berhubungan dengn penurunan fungsi intelektual
dan kognitif.15

2.5.7. Landau-Kleffner Syndrome

14
Landau-Kleffner Syndrome merupakan subtipe dari CSWS dan ditandai
dengan adanya afasia. Kejang berupa kejang motorik fokal. Onset terjadi pada
masa kanak-kanak awal.13

Tabel 1. Karakteristik sindroma epilepsi terkait tidur13

Sindrom Epilepsi Tipe kejang dan Onset usia Hubungan dengan


frekuensi tidur
Nocturnal frontal Focal, kejang motoric Usia anak-anak ( Kejang selama tidur
lobe epilepsy beragam lebih kurang 14
tahun)
Benign epilepsy of Focal, kejang Usia anak-anak Kejang pada saat tidur
childhood with rolandik, sering
centrotemporal
spikes
Early onset Focal, kejang Usia anak-anak Kejang terjadi segera
childhood occipital otonom, jarang setelah tidur
epilepsy
Juvenile myoclonic General, kejang Remaja Kejang terjadi segera
epilepsy myoklonik, sering saat bangun
Lenox Gastaut General, kejang Usia awal anak- Kejang selama tidur
Syndrome tonik, sering anak
Continuous spikes General, kejang Usia awal anak- Adanya gambaran
waves during non- tonik-klonik, jarang anak spike wave selama
rapid eye movement slow wave sleep
sleep
Landau-kleffner Focal, kejang Usia awal anak- Temporal lobe spike
syndrome motoric, jarang anak wave during slow
wave sleep

2.6. Seizure dan Parasomnia


Parasomnia merupakan suatu gangguan tidur yang digambarkan dengan suatu prilaku
abnormal yang terjadi selama tidur atau saat transisi menuju tidur atau saat tidur
Parasomnia memiliki gejala motorik paroksismal yang mirip dengan kejang pada epilepsi
yang berhubungan dengan tidur.
Adapun gangguan tidur (parasomnia) yang sulit dibedakan dengan epilepsi terkait tidur
diantaranya

15
1. NREM Arousal Disorder meliputi confusional arousal, sleep walking dan sleep
terror harus dibedakan dari epilepsi khususnya NFLE.
a. Confusional arousal ditandai adanya terbagun tiba-tiba disertai dengan
disorientasi, gerakan badan, kebingungan serta sering diikuti dengan adanya
vokalisasi tertentu.
b. Sleep walking ditandai dengan adanya prilaku motorik pada saat tidur tertentu
yakni berjalan dan meninggalkan tempat tidur.
c. Sleep terror ditandai dengan adanya jeritan kuat diikuti dengan aktivitas
motorik yang hebat. Pasien sering melaporkan pengalaman yang menakutkan
dan mengalami gejala otonom yang hebat seperti berkeringat, midriasis,
takikardi, hipertensi dan takipneau.
Gejala NREM arousal disorder mirip dengan kejang hipermotor pada
NFLE atau post ictal confusion. Adapun perbedaannya, pada NREM arousal
disorder, gejala kurang stereotipik dan biasanya terjadi pada sepertiga malam
pertama (2 jam pertama dari tidur).17,18

2. REM sleep behavior disorder


REM sleep behavior disorder merupakan gangguan tidur lain yang
harus dibedakan dari epilepsi. Gangguan ini dicirikan dengan hilangnya atonia
selama REM sleep. Tonus otot yang persisten ini membuat pasien dapat
mengekspresikan mimpinya bertingkah laku sesuai dengan mimpinya, Selama
REM sleep, pasien dapat menunjukkan tingkah laku kompleks yang dramatis
maupun berbahaya seperti berbicara, menjerit, memukul, menendang maupun
meloncat dari tempat tidur.
Nguyen dalam penelitiannya melaporkan pada kejang saat tidur
ditandai dengan adanya gerakan terbangun seperti mengangkat kepala,
membuka mata dan gerakan peregangan, sedangkan pada RBD pasien
kebanyakan dalam posisi terbaring dan mata terpejam.18 RBD dapat dibedakan
dari epilepsi dengan video EEG-polysomnografi yang menunjukkan prilaku
yang persisten selama tidur fase REM.20,21

16
3. Movement Disorder
Gangguan gerak selama tidur yang dapat menyerupai epilepsi diantaranya
a. Periodic limb movement in Sleep (PMLS) dapat mengakibatkan sentakan atau
tendakan. Umunya didapatkan riwayat restless leg syndrome. Berbeda
dengan kejang, PMLS terjadi dengan interval periodic dengan ciri berupa
fleksi pada tungkai dan kadang melibatkan lengan.
b. Sleep-onset myoclonus, atau dikenal juga dengan sleep jerks atau hypnic
jerks merupakan gerakan normal yang yang terjadi pada transisi dari bangun
menuju tidur, sering dijumpai fenomena sensorik seperti perasaan mau jatuh.
Berbeda dengan myoclonic seizure, sleep onset myoclonus terbatas saat onset
tidur.
c. Bruxism merupakan gerakan gigi menggilas yang mirip dengan gerakan
ritmik rahang pada epilepsi.13,21

4. Kelainan psikiatri selama tidur


Kelainan psikiatri selama tidur yang menyerupai kejang diantaranya
a. Serangan panic selama tidur
b. Kelainan stress post trauma
c. Psychogenic seizure
Terbangun secara mendadak dan autonomic arousal merupakan ciri khas pada
kelainan panik dibandingkan kejang, meskipun bisa juga terjadi pada kejang.21

Tabel 2. Karakteristik Parasomnia dan Epilepsi

Confusional Sleepwalking Sleep RBD Epilepsi


Arousal terors (NFLE)
Usia Anak-anak Anak-anak Anak-anak >50 tahun bervariasi

17
Tahap tidur N3 N3 N3 REM N1-2
(Sleep stage)
Waktu muncul 2 jam pertama 2 jam 2 jam 2 jam Bervriasi
tidur pertama tidur pertama setelah
tidur onset tidur
Durasi gejala 30detik-50 Menit samai 30 detik-10 Detik detik
menit >30 menit menit sampaimenit
Episode per Satu kali Satu kali Satu kali Satu sampai bervariasi
malam beberapa
kali
Jenis kelamin Tidak ada Tidak ada Tidak ada Laki-laki> Tidak ada
perbedaan perbedaan perbedaan perempuan perbedaan
Bermimpi + + + +++ --
Terbangun sulit sulit sulit mudah bervariasi
Amnesia + + + - bervariasi
Gambaran Terdapat Terdapat Terbangun Bertingkah Gejala
klinis lain gangguan gangguan dengan laku sesuai motorik
kognitif kognitif tanda-tanda mimpi bervarias
ketakutan

2.7. Pengaruh epilepsi pada tidur


2.7.2. Gangguan Tidur pada Penderita Epilepsi
Pada penderita epilepsi dilaporkan terjadi peningkatan gangguan tidur. Adapun
yang gangguan tidur yang paling paling sering dijumpai ialah excessive daytime
sleepiness, insomnia, sleep apnea dan restless leg syndrome (RLS)

2.7.2.1. Excessive daytime sleepiness


Excessive daytime sleepiness (EDS) merupakan gangguan tidur yang
paling sering dijumpai pada pasien epilepsi.22,23 The International Classification
of Sleep Disorders 3rd edition (ICSD-3) mendefinisikan EDS sebagai
ketidakmampuan untuk tetap terjaga dan waspada selama episode bangun yang
mengakibatkan kantuk atau tidur yang tidak disengaja.24
Gammino dkk, melaporkan terjadi peningkatan kejadian EDS pada pasien
epilepsi dibandingkan kontrol (11.1% vs 5,2%).23 Damberger dalam

18
penelitiannya juga melaporkan hasil serupa yakni pada < 50% pasien dengan
epilepsi mengalami EDS.19
Adapun faktor –faktor yang berhubungan dengan EDS pada pasien
epilepsi yakni tipe kejang, usia, onset epilepsi, jenis OAE yang digunakan,
adanya obstructive sleep apnea, restless leg syndrome dan anxietas.24 Matsuoka
dkk, dalam penelitiannya mengatakan tipe kejang, penggunaan OAE tertentu
dan usia berhubungan secara signifikan terhadap terjadinya EDS pada pasien
epilepsi.25 Giorelli dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa gejala
obstructive sleep apnea (OSA) and RLS merupakan prediktor independen
dari skor ESS >10 pada pasien epilepsi. Penyataaan ini didukung dengan
peneitian lain yang menunjukkan bahwa penggunaan CPAP pada pasien
epilepsi dapat memperbaiki gejala EDS dan mengontrol kejang. Keluhan
EDS dilaporkan 47.5% dari 99 pasien epilepsi dengan kecemasan. Beberapa
penelitian juga melaporkan tipe kejang, jenis OAE dan adanya nocturnal
seizure berkontribusi menyebabkan terjadinya EDS pada pasien epilesi.
Nocturnal seizure menyebabkan pada sleep architecture. Ini yang menjelaskan
mengapa nocturnal seizure menyebabkan EDS pada pasien epilepsi. Namun
beberapa penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna kasus EDS
pada pasien epilepsi dan kontrol. Vigantelli dkk dalam penelitian menyatakan
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pasien dengan kejang fokal yakni
pasien dengan NFLE dibandingkan dengan kasus kontrol. Beberapa penelitian
juga menunjukkan terdapat peran OAE dan EDS yang menunjukkan pasien
dengan pengobatan yang sesuai dilaporkan jarang mengalami EDS.26

2.7.2.2. Insomnia
Insomnia adalah persepsi subjektif terhadap rasa sulit memulai tidur,
durasi, konsolidasi, atau kualitas tidur, meskipun pasien diberi kesempatan
waktu yang cukup untuk tidur.23 Insomnia sering ditemukan pada pasien
epilepsi dan berpengaruh terhadap kontrol kejang dan kualitas hidup pasien.
Prevalensi insomnia pada pasien epilepsi berkisar 17.7-84.4% menurut
beberapa penelitian.27 Quigg dalam penelitiannya menyebutkan dari 207 pasien
epilepsi, 43% pasien epilepsi mengalami insomnia berdasarkan Insomnia

19
Severity Index dan 72% mengalami poor sleep berdasarkan Pittsburgh Sleep
Quality Index.28
Adapun faktor yang berhubungan dengan insomnia pada pasien epilepsi
yakni usia, kontrol kejang yang buruk, penggunaan politerapi obat anti kejang,
dan depresi.27,28 Terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan durasi
epilesi terhadap insomnia pada pasien epilepsi. Usia berkorelasi negatif
terhadap Insomnia Severity Index ( ISI ), yang menunjukkan semakin muda
usia, semakin tinggi skor ISI yang didapat.28 Akan tetapi penelitian lain tidak
menunjukkan hasil yang sama, dimana tidak ditemukan hubungan yang
bermakna antara usia dengan insomnia.29 Yang dkk dalam penelitiannya
menyatakan bahwa politerapi OAE berpengaruh secara signifikan terhadap
kejandian insomnia pada pasien epilepsi. Jumlah obat yang digunakan bukan
merupakan prediktor insomnia, akan tetapi kombinasi obat yang digunakan. 30
Quigg dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
insomnia dengan kontrol kejang yang buruk. Insomnia dianggap dihasilkan dari
interaksi antara aktivitas otak untuk mempertahankan keadaan tidur-bangun,
dan untuk merespons stresor psikososial dan medis, serta untuk memperkuat
perilaku maladaptif. Misalnya, stres emosional dan kurang tidur - pencetus
kejang yang umum terjadi pada pasien - dianggap penting dalam terjadinya
insomnia kronis menurut hipotesis hyperarousal.28. Namun, Vendrame dkk,
dalam penilitiannya terhadap 152 pasien epilepsi di Inggris menyatakan tidak
ada terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi kejang (kontrol kejang
yang buruk) terhadap insomnia.29 Depresi merupakan kormorbid utama pada
pasien epilepsi. Pasien dengan insomnia secara signifikan menunjukkan skor
Beck Depression Inventory (BDI) lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak
mengalami insomnia. Depresi merupakan faktor risiko independen terjadinya
insomnia pada pasien epilepsi.30

2.7.2.3. Sleep Apnea


Sleep apnea merupakan gangguan tidur yang dicirikan dengan adanya
pernapasan berhenti sementara pada saat tidur. Sleep apnea dapat disebabkan

20
sumbatan atau kolaps saluran pernapasan atas/ obstructive sleep apnea (OSA),
hilangnya inspiration effort/central sleep apnea (CSA) atau gabungan
keduanya. Baik OSA maupun CSA dilaporkan pada pasien epilepsi, namun
CSA lebih jarang dijumpai. Beberapa penelitian melaporkan tingginya angka
kejadian OSA pada pasien epilepsi dewasa. Meta analisis terhadap pasien
epilepsi menunjukkan frekuensi OSA pada pasien epilepsi berkisar antara 7.7
sampai 75.7% berdasarkan pemeriksaan polysomnografi. Adapun faktor-faktor
yang signifikan meningkatkan terjadinya OSA pada pasien epilepsi ialah usia
tua, peningkatan berat badan, serta adanya penyakit komorbid (misalnya
penyakit kardiovaskular).31
OSA pada pasien epilepsi mempengaruhi morbiditas dan kualitas hidup
pasien epilepsi. Beberapa penelitian menunjukkan pasien epilepsi dengan OSA
mengalami kejadian kejang pada malam hari lebih sering dibanding mereka
yang tidak mengalami OSA.31

2.7.2.4. Restless Leg Syndrome


Restless Leg Syndrome (RLS) didefinisikan sebagai pergerakan tiba-tiba
tungkai yang berkurang pada saat aktivitas dan memberat pada saat istirahat
dan malam hari. RLS cukup sering dijumpai pada pasien epilepsi, meskipun
pada beberapa penelitian tidak dijumpai perbedaan yang signifikan kejandian
RLS pada penderita epilepsi dibandingkan dengan kontrol.32 Namun, Geyer dkk
dalam penelitiannya melaporkan bahwa kejadian RLS pada pasien epilepsi
lebih sering dijumpai dibandingkan populasi yang tidak epilepsi. 33 Khacharyan
dkk dalam penelitiannya juga menunjukkan hasil serupa yaitu kejadian RLS
pada pasien epilepsi lebih sering dijumpai dibandingkan populasi yang tidak
epilepsi yakni 20.9% vs 6.1%.33

2.7.3. Pengaruh epilepsi pada arsitektur tidur


Pengaruh epilepsi terhadap tidur pertama kali dilaporkan oleh Fere
padatahun 1890, dimana pada pasien epilepsi sering dijumpai keluhan sulit tidur.

21
Sekita dua pertiga pasien epilepsi mengalami gangguan tidur. Salah satu
mekanisme yang menyebabkan gangguan tidur pada penderita epilepsi ialah
pengaruh kejang/ epilepsi terhadap arsitektur tidur.33,34
Berbagai variasi abnormal arsitektur gangguan tidur dilaporkan pada
penderita epilepsi, peningkatan latensi tidur, peningkatan wake up time after sleep
onset, peningkatan instabilitas sleep stages, peningkatan stage N1 and N2 NREM
sleep, pengurangan densitas sleep spindle, REM sleep diaporkan pada pasien
epilepsi.34
Saad dkk melaporkan pada pasien dengan epilepsi idiopatik mengalami
kualitas tidur yang buruk, peningkatan onset latensi tidur, pengurangan efisiensi
tidur, peningkatan WASO, pengurangan persentase N3 sleep, persentase REM
sleep.35 Pada orang dewasa dengan idiopatic generalized epilepsy atau partial
epilepsy menurunkan total waktu tidur, REM sleep, memperpanjang latensi REM
dan meningkatkan NREM 1 dan 2 sleep, meperpanjang wake up after sleep onset
dan arousal. Pada video EEG pasien dengan temporal lobe epilepsy yang
mengalami kejang diurnal, tampak mengalami penurunan yang signifikan REM
sleep pada saat tidur. Penurunan terbesar REM sleep terjadi pada pasien dengan
kejang yang terjadi sebelum tidur. Baik kejang diurnal maupun nocturnal dapat
memperpanjang waktu REM sleep latency. Kejang nocturnal juga dapat
meningkatkan stage NREM 1 dan menurunkan NREM 3.13

2.8. Efek tatalaksana epilepsi pada tidur


2.8.2. Obat Anti Epilepsi
Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat efek dari pemeberian OAE
terhadap tidur. Penggunaan obat antikonvulsan mungkin dapat meningkatkan
kualitas tidur. Ketika penggunaan obat tersebut diberikan secara politerapi, tentunya
terdapat terdapat interaksi farmakokinetik maupun dinamik yang menpengaruhi
proses tidur. Drowsiness sering ditemukan pada pasien yang mendapat obat

22
karbamazepim, fenitoin, asam valproate dan fenobarbital, namun tidak terdapat
perbedaan yang signifikans antara masing-masing obat tersebut. Beberapa obat
dilaporkan dapat menurunkan fase REM yakni fenobarbital, fenitoin, dan
karbamazepim, tetapi penggunaan karbamazepim jangka panjang dikaakan tidak
menurunkan fase REM. Penggunaan asam valproate dikatakan dapat
memanjangkan stage I pada fase NREM. Benzodiazepin, clonazepam, dandiazepam
yang digunakan jangka panjang dilaporkan menurunkan latensi tidur, akan tetapi
obat-obatan ini juga mengurangi persentase SWS dan fase REM.36
Penelitian efek OAE terbaru terhadap tidur dilakukan, dimana lamotrigin
yang digunakan sebagai add-on theraphy menunjukkan peningkatan REM.
Gabapentin dilaporkan meningkatkan SWS baik digunakan sebagai monoterapi
maupun politerapi. Penelitian lain menunjukan terdapat peningkatan slow wave
sleep (SWS) dan kualitas tidur pada penggunaan gabapentin. Pregabalin juga
meningkatkan SWS dan mengurangi arousal. Randomized study penggunaan
levetiracetam pada volunteers normal dibandingkan dengan placebo menujukan
tidak efek pada tidur. 13,15
Selain berpengaruh terhadap arsitektur/ pola tidur, beberapa obat
antikonvulsan dapat memberikan efek pada gangguan tidur. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, pemberian obat benzodiazepine, karbamazepin, fenitoin, asam
valproate dan fenobarbital menyebabkan drowsiness dan daytime sleepiness pada
pada pasien epilepsi yang mengkonsumsi obat tersebut. Keluhan somnolen dan
daytime sleepiness dilaporkan pada 25-33% pasien epilepsi yang mendapat
diazepam. Gejala drowsiness atau daytime sleepiness juga dilaporkan pada 22-
32.2% pasien epilepsi yang mendapat karbamazepin. Adanya gangguan tesebut
disebabkan efek sedatif dari obat-obatan tesebut. Beberapa obat antiepileptik
dilaporkan menyebabkan insomnia. Sadler dkk dalam penelitiannya melaporkan
kejadian insomnia pada pasien epilepsi yang mengkosumsi lamotrigin sebesar
6.4%.36 Namun hasil ini berberda dengan penelitian yang dilakukan Foldvary
dimana tidak ada keluhan insomnia pada subjek yang mendapatkan lamotrigin. 37
Levetiracetam dilaporkan menyebabkan insomnia sekitar 7.5% dari 1422 pasien
yang diobservasi.38 Benzodiazepin dapat memperparah sleep apnea, yang

23
disebabkan oleh efek mucle relaxant. Pregabalin dan asam valproat memperparah
sleep apneu secara tidak langsung dengan meningkatkan berat badan. Gabapentin
dan pregabalin dikatakan dapat memperbaiki gejala restless leg syndrome 13,15

Tabel 3. Efek Obat Antiepilepsi terhadap Tidur

Sleep Sleep Stage I Stage Stage REM


efficiency latency II III
Fenobarbital ↑ ↓ - ↑ 0 ↓
Fenitoin 0 ↓ ↑ ↑ ↓ 0
Primidone - ↓ - - - 0
karbamazepin 0 0 0 0 0 0
Asam valproat - 0 ↑ ↓ 0 0
Etosuksimid - - ↑ - ↓ -
Gabapentin 0 0 0 0 ↑ ↑
Lamotrogin 0 0 0 ↑ ↓ ↑
Topiramat 0 ↓ 0 0 0 0
Levetiracetam - - - ↑ ↑ ↓

Ket : 0 : tidak ada perubahan, - : tidak ada laporan.

2.8.3. Vagal Nerve Stimulation

Beberepa penelitian mengenai efek vagal nerve stimulation (VNS), modalitas


terapi pada pasien epilepsi refrakter, pada pasien epilepsi terhadap tidur
menujukkan hasil beragam. Perbaikan sleep latency yang mengindikasikan
penurunan day time sleepiness ditemukan pada pasien epilepsi yang menjalani
VNS. Pasien dengan terapi VNS pada stimulus rendah menunujukkan perbaikan
yang signifikan pada sleep latency Peningkatan slow wave sleep dan stage REM
sleep ditemukan pada beberapa penelitian. Pada beberapa kasus, ditemukan VNS
berhubungan dengan gangguan pernapasan, menurunkan frekuensi dan waktu siklus
VNS dapat mencegah perburukan sleep apnea pada pasien epilepsi selama terapi
VNS.39

2.8.4. Efek Epilepsy Surgery Terhadap Tidur

24
Tatalaksana pembedahan pada epilepsi memperbaiki kualitas tidur pada
pasien epilepsi. Penelitian kuisioner untuk melihat EDS dan kualitas tidur pasien
epilepsi yang menjalani pembedahan untuk tatalaksana epilepsi lobus temporal
menujukkan perbaikan kualitas tidur setelah menjalani pembedahan. Waktu tidur
total dan REM sleep meningkat secara signifikan setelah 1 tahun dilakukan
pembedahan yang berhubungan dengan berkurangnya frekuensi kejang.39

BAB III
KESIMPULAN

Hubungan antara epilepsi dan tidur telah diketahui sejak lama. Fase tidur NREM dapat
memfasilitasi terjadinya banngkitan kejang. Terdapat beberapa sindrom epilepsi yang

25
bermanisfetasi saat tidur. Bangkitan yang terjadi saat tidur harus dibedakan dengan
parasomnia. Pada penderita epilepsi sering dilaporkan mengalami gangguan tidur diantara
insomnia, excessive daytime sleepiness, obstructive sleep apnea dan restlessleg syndrome.
Beberapa penelitian juga melaporkan terjadi gangguan arsitektur tidur pada penderita epilepsi.
Pemberian tatalaksana epilepsi seperti obat antiepilepsi, Vagal Nerve Stimulation (VNS),
epilepsy surgery berpengaruh terhadap kualitas dan arsitektur tidur penderita epilepsi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carney.P, Clinical Sleep Disorder. 2005. Lippincott William & Wilkins. Philadehia;
page 21-58
2. World Health Organization. Epilepsy. 2019 Available from: www.who.int.
3. Okujava N, de Weerd A, Tsereteli A. Sleep disorder and epilepsy: comorbidity or

26
related conditions. Sleep Med. 2017;40(2017):e245.
4. Safarpour Lima B, Zokaei A, Assarzadegan F, Hesami O, Zareh Shahamati S.
Prevalence of sleep disorders in patients with epilepsy: A questionnaire-based cross-
sectional study. Epilepsy Behav [Internet]. 2021;11. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2020.107635
5. Grayson LP, DeWolfe JL. Sleep Disorders in Epilepsy: Current Trends and Future
Perspectives. Vol. 4, Current Sleep Medicine Reports. 2018.
6. Yun ES, Vaughn B V. The Interface Between Sleep and Epilepsy. Vol. 5, Current Sleep
Medicine Reports. 2019.
7. Tononi G, Cirelli C. Sleep and the price of plasticity: from synaptic and cellular
homeostasis to memory consolidation and integration. Neuron. 2014, 81(1):12-34
8. Carley DW, Farabi SS. Physiology of sleep. Diabetes Spectr. 2016 Feb 1;29(1):5–9.
9. R. Zielinski, M., T. McKenna, J., & W. McCarley, R. Functions and Mechanisms of
Sleep. AIMS Neuroscience. 2016 3(1), 67–104
10. Sinha, S. R. 2011. Basic Mechanisms of Sleep and Epilepsy. Journal of Clinical
Neurophysiology, 28(2), 103–110. doi:10.1097/wnp.0b013e3182120d41
11. Vyazovskiy V, Morton AJ. Editorial overview: Physiology of sleep. Curr Opin Physiol
[Internet]. 2020;15:iii–vi. Available from: https://doi.org/10.1016/j.cophys.2020.05.005
12. Kataria L, Vaughn B V. Sleep and Epilepsy. Sleep Med Clin [Internet]. 2016;11(1):25–
38. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jsmc.2015.10.008
13. Takagi S. Sleep and epilepsy. Sleep Biol Rhythms. 2017;15(3):189–96.
14. Halász, P. How Sleep Activates Epileptic Networks? Epilepsy Research and Treatment,
2013, 1–19. doi:10.1155/2013/425697
15. Carreño M, Fernández S. Sleep-Related Epilepsy. Curr Treat Options Neurol.
2016;18(5).
16. Zucconi M. Sleep-related epilepsy. Handb Clin Neurol. 2011;99(C):1109–37.
17. Kataria L, Vaughn B V. Sleep and Epilepsy. Vol. 11, Sleep Medicine Clinics. 2016.
18. Voges B. Epilepsy and parasomnias: Differential diagnosis and pathophysiology of
sleep-related events. Zeitschrift fur Epileptol. 2019;32(1):21–8.
19. Nguyen-Michel VH, Solano O, Leu-Semenescu S, Pierre-Justin A, Gales A, Navarro V,
et al. Rapid eye movement sleep behavior disorder or epileptic seizure during sleep? A
video analysis of motor events. Seizure [Internet]. 2018;58:1–5. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2018.03.021
20. Schenck CH. REM sleep behavior disorder: relevance to epileptologists. Zeitschrift fur

27
Epileptol. 2019;32(1):6–11.
21. Overeem S, Reading P. in Neurology A practical approach. 2010.
22. Grigg-Damberger M, Andrews N, Wang L, Bena J, Foldvary-Schaefer N. Subjective
and objective hypersomnia highly prevalent in adults with epilepsy. Epilepsy Behav
[Internet]. 2020;106:107023. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2020.107023
23. Gammino M, Zummo L, Bue A Lo, Urso L, Terruso V, Marrone O, et al. Excessive
Daytime Sleepiness and Sleep Disorders in a Population of Patients with Epilepsy: a
Case-Control Study. J Epilepsy Res. 2016;6(2):79–86.
24. Sateia MJ. International classification of sleep disorders-third edition highlights and
modifications. Chest [Internet]. 2014;146(5):1387–94. Available from:
http://dx.doi.org/10.1378/chest.14-0970
25. Macêdo PJOM, Oliveira PS de, Foldvary-Schaefer N, Gomes M da M. Insomnia in
people with epilepsy: A review of insomnia prevalence, risk factors and associations
with epilepsy-related factors. Epilepsy Res [Internet]. 2017;135:158–67
26. Giorelli AS, Passos P, Carnaval T, Gomes Mda M. Excessive daytime sleepiness and
epilepsy: a systematic review. Epilepsy Res Treat. 2013;2013:629469.
doi:10.1155/2013/629469
27. Matsuoka, E., Saji, M., & Kanemoto, K. (2019). Daytime sleepiness in epilepsy patients
with special attention to traffic accidents. Seizure, 69, 279–282.
doi:10.1016/j.seizure.2019.04.006 
28. Quigg M, Gharai S, Ruland J, Schroeder C, Hodges M, Ingersoll KS, et al. Insomnia in
epilepsy is associated with continuing seizures and worse quality of life. Epilepsy Res
[Internet]. 2016;122:91–6. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.eplepsyres.2016.02.014
29. Vendrame M, Yang B, Jackson S, Auerbach SH. Insomnia and epilepsy: a
questionnaire-based study. J Clin Sleep Med. 2013;9(2):141-146.
30. Yang KI, Grigg-Damberger M, Andrews N, O'Rourke C, Bena J, Foldvary-Schaefer N.
Severity of self-reported insomnia in adults with epilepsy is related to comorbid
medical disorders and depressive symptoms. Epilepsy Behav. 2016;60:27-32.
31. Latreille, V., St. Louis, E. K., & Pavlova, M. Co-morbid sleep disorders and epilepsy:
A narrative review and case examples. Epilepsy Research, 2018;145, 185–197.
doi:10.1016/j.eplepsyres.2018.07.005 
32. Khachatryan, S. G., Ghahramanyan, L., Tavadyan, Z., Yeghiazaryan, N., & Attarian, H.
P. Sleep-related movement disorders in a population of patients with epilepsy:
prevalence and impact of restless legs syndrome and sleep bruxism. Journal of Clinical
Sleep Medicine, 2020;16(3), 409–414. doi:10.5664/jcsm.8218

28
33. Geyer JD, Geyer EE, Fetterman Z, Carney PR. Epilepsy and restless legs syndrome.
Epilepsy Behav. 2017 Mar;68:41-44. doi: 10.1016/j.yebeh.2016.12.010. Epub 2017 Jan
19. PMID: 28109988.
34. Tork MA, Rashed HR, Elnabil L, Salah-Eldin N, Elkhayat N, Abdelhady AA, et al.
Sleep pattern in epilepsy patients: a polysomnographic study. Egypt J Neurol
Psychiatry Neurosurg. 2020;56(1).
35. Saad M, Gomaa M, Belal T, Fathi W, Salama S. Sleep Architecture in Patients with
Idiopathic Epilepsy. Sleep Vigil [Internet]. 2019;3(1):33–8.
36. Shvarts V, Chung S. Epilepsy, antiseizure therapy, and sleep cycle parameters. Epilepsy
Res Treat. 2013;2013:670682.
37. N. Foldvary, M. Perry, J. Lee, D. Dinner, and H. H. Morris, “The effects of lamotrigine
on sleep in patients with epilepsy,” Epilepsia, vol. 42, no. 12, pp. 1569–1573, 2001.
38. Placidi F, Scalise A, Marciani MG, Romigi A, Diomedi M, Gigli GL. Effect of
antiepileptic drugs on sleep. Clin Neurophysiol. 2000;111 Suppl 2:S115-S119.
39. Lanigar S, Bandyopadhyay S. Sleep and Epilepsy: A Complex Interplay. Mo Med.
2017;114(6):453-457.

29

Anda mungkin juga menyukai