Anda di halaman 1dari 80

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritis
1. Self-Reglated Learning (SRL)
Self-Regulation (SR) mengacu pada pikiran, perasaan, dan tindakan
yang direncanakan dan disesuaikan dengan tujuan pribadi (Zimmeeman,
200:14). Vohs & Baumester (2011:1) menyamakan SR dengan self
control. Selanjutnya Baumester & Vohs (2007:2) mendefinisikan:
Sclf-regulation refers to the capacity of organisms (here, human
beings) to override and alter their responses. It is the process by
which people attempt to constrain unwanted urges in order to gai11
control of lhe incipient response. Regulation means change, especially
change to bring behavior (or other states) into line \t'ith some standard
such as an ideal or goal .
SR diterjemahkan sebagai kapasitas ma nusia untuk manambah
dan mengubah responS mereka. Proses ini merupakan upaya untuk
membatasi kepentingan yang tidak diinginkan dan mendapatkan kontrol
dari respon yang baru. Regulation dapat berarti perubahan, khususnya
perubahan untuk membawa perilaku agar dapat sejalan dengan beberapa
standar yang ideal atau tujuan yang ingin dicapai.
Susanto (2006:66) memahami SR sebagai penggunaan suatu
proses yang mengaktivasi pernikiran, perilaku, dan affects (perasaan)
secara terus menerus untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Proses ini digambarkan sebagai siklus karena adanya feedback dari
tingkah laku sebelumnya yang digunakan uhtuk membuat penyesuaian
tindakan selanjutnya. Pemahaman lain mengenai SR dikemukakan oleh
Voncouver (200-303) yang menjelaskan peranan penilaian dalam SR.
Penilaian ini tidak saja fokus pada kuantitas dari pencapaian tujuan, tetapi
juga kualitas dari tujuan yang telah dicapai.
Baumeister & Vohs (2007) menjelaskan empat bahan utama
dari proses SR, yaitu :standard , monitoring, self-regulatory strength ,
dan motivation. Regulation diartikan sebagai perubahan yang terjadi
dengan membandingkan pada beberapa standar dan karenanya
efektifitas pengaturan diri membutuhkan standar yang jelas dan
terdefinisi dengan baik. ked ua, SR membutuhkan monitoring
karena sangat sulit untuk rnengatur perilaku jika seseorang keluar
dari jalur . Ketiga, kekuatan pengaturan diri (self regulatory
strength ) atau biasa disebut sebagai kemauan untuk mengatur
dirinya . Merubah diri sendiri sangat sulit dilakukan , karena itu
membutuhkan beberapa kekuatan . Keempat adalah motivasi ,
khususnya motivasi untuk mencapai tujuan atau mencapai standar
tertentu yang dalam praktik motivasi tersebut adalah upaya
pengaturan diri. Walaupun demikian, dengan standar yang jelas ,
pemantauan sepenuhnya efektif, dan sumber daya seseorang yang
berlimpah , seseorang masih mungkin gagal untuk mengatur
dirinya sendiri karena tidak peduli tentang pencapaian tujuan.
Dalam konteks pembelajaran, Vancouver (2000) mendefinisikan
pembelajaran sebagai perubahan relatif yang permanen dari hasil
pengetahuan maupun keterampilan melalui pengalaman yang dimiliki.
SRL dikaitkan dengan tiga konsep yakni: tujuan (goals), tindakan
(actions), dan penilaian (assesment). Zimmermen (2008:166) menjelaskan
bahwa SRL mengacu pada proses pengarahan dan keyakinan diri sendiri
yang dapat mentransformasikan kemampuan mental peserta didik menjadi
keterampilan kinerja akademik, misalnya bakat verbal menjadi
kemampuan menulis.
Winne & Hadwin (2010: 34) menyebutkan bahwa SRL mengacu
pada strategi dan penerapan aktivitas pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Sementara Wang (2010: 21) menjelaskan bahwa teori SRL
mengasumsikan bahwa peserta ddik dapat meningkatkan kemampuannya
melalui penggunaan metacognitif dan strategi motivasi yang selektif.
Selain itu, mereka juga dapat secara proakti memilih, menyusun, bahkan
membuat lingkungan pembelajaran yang menguntungkan mereka
Schunk dan Ertmer (Duckworth, et el., 2009: 3) menyebutkan
bahwa SRL merupakan proses-proses dalam: penetapan tujuan
pembelajaran, memperhatikan dan konsentrasi pada pengajaran,
menggunakan strategi yang eektif dalam mengatur diri, mengunakan kode
dan berlatihinformasi untuk mengingat, membangun lingkungan kerja
yang produktif, menggunakan sumber daya secara efektif, memonitor
kinerja, mengelola waktu secara efektif, mencari bantuan jika dibutuhkan,
memegang keyakinan pada satu kemampuan, nilai-nilai pembelajaran,
memahami faktor yang mempengaruhi pembelajaran dan mengantisipasi
dampak yang dapat terjadi, danbangga serta puas akan upaya yang telah
dilakukan.
Pintrich (2004:392) menjelaskan bahwa terdapat empat ruang
lingkup pembelajaran yang menjadi sasaran pengendalian oleh peserta
didik, yaitu: 1) kognsi, menyangkut berbagai proses mental individu yang
digunakan dalam tugas-tugas akademik. Hal ini termasuk penggunaan
kognitif dan strategi metakognitif pembelajaran; 2) Motivasi dan
pengaruhnya yang merupakan target penting bagi siswa yang bekerja
untuk mengelola pembelajaran mereka sendiri; 3) perilaku atau partisipasi
nyata mereka sebagai bagian dari proses pembelajaran. Hal ini melibatkan
perilaku untuk mengatur dan mengontrol kapan dan dimana mereka cocok
belajar; 4)konteks atau lingkungan, tcnnasuk di dala:mmya menghadapi
tugas-tugas mendesak, lingkungan kclas maupun lingkungan budaya,
·serta terkait dengan cara memanfaatkan guru,orang tua, teman sejawat
dan lingkungan sosial lainnya dalam pembelajaran.
SRL menurut Wolters (2010:2) terkait dengan penerapan model-
model pengaturan diri terhadap pembelajaran pada konteks akademik.
Setiap orang berusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dengan meregulasi dirinya (Winne, 2000). SR dibedakan dari kemampuan
dalam mengefektifkan SR itu sendiri (Susanto, 2006:67). Ketika seseorang
mampu mengembangkan kemampuan SR secara optimal, maka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara optimal,
begitupun sebaliknya. Zimmerman (2000:26) menjelaskan bahwa
ketidakefektifan dalam kemampuan SR bisa jadi disebabkan karena kurang
berkembangnya salah satu fase dalam proses SR terutama pada fase
forethought dan performance control yang tidak berjalan efektif.
2. Model-model SRL
a. Model Adaptable Learning Boekaert
Model Adaptable Learning dari Boekaert fokus pada kegiatan
peserta didik di dalam kelas. Winne dan Hadwin (Aukrust, 2011:34 )
menjelaskan bahwa Model Bockaert didasarkan pada dua asumsi bahwa
peserta didik berusaha untuk menyeimbangkan dua prioritas: (1)
memperluas pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan
sumber daya pribadi mereka (dapat disebut sebagai mastery learning).
(2) mempertahankan apa yang diketahui dan dipercaya agar terhindar
dari kegiatan mempersulit diri. Kesuksesan peserta didik tergantung
pada kapasitas mereka dalam menilai situasi secara keseluruhan, dan
atas dasar itu mereka mengelola pendekatan pembelajaran yang
dilakukan sesuai dengan elemen-elemen di lingkungan tugas mereka.
Model Adaptable Learning Boekaerts (2000:449) digambarkan sebagai
berikut.

Regulation of the text

Regulation of the learning


process

Regulation of processing modes

Self regulated learning

Choice of cognitive strategies

Use of metacognitive knowledge


and skills to direct one’s learning

Choice of goal and reaserch


Gambar 1. Model SRL Boekaerts
Lapisan pertama (inti) terkait dengan persepsi peserta didik
terhadap lingkungan tugat-tugasnya. Informasi ini mengenai upaya
peserta didik dalam belajar, dan menggambarkan kualitas proses
pengendalian dirinya. Selain itu, diperlukan juga informasi mengenai
pemahaman peserta didik terhadap sejumlah alternatif pilihan. Lapisan
kedua terkait dengan kemampuan peserta didik dalam mengarahkan dan
menuntun proses pembelajaran yang dilakukannya sendiri. Mereka
mendefinisikan kembali makna kesuksesan dalam belajar sebagai
sebuah proses metacognitive. Hal ini dapat diartikan sebagai peserta
didik yang sukses dalam belajar ketika dapat dengan cepat melakukan
La pengetahuan dan menggunakan strategi yang tepat dalam suatu
situasi yang baru. Winne dan Hadwin (2010:35) menambahkan bahwa
peserta didik menggambarkan spektrum pengetahuan dan keterampilan
khusus yang terkait domain tugas yang akan dilakukan dengan rencana
aksi.
Lapisan ketiga terkait dengan hirarki tujuan, motivasi, dan nilai-
nilai peserta didik. Boekaert menekankan peserta didik untuk
menetapkan tujuan mereka dan cara mereka melakukan kontrol dalam
menangani keberhasilan maupun kegagalan dari tujuan tersebut. Peserta
didik yang produktif dalam pengendalian diri akan merencanakan
bagaimana mereka menerima umpan balik dari tujuan tersebut, ketika
tujuannya belum tercapai mereka akan mencari keseimbangan dengan
tujuan pencapaiannya dan mencari cara untuk beradaptasi dalam
mengelola kepuasan dan kesadaran dirinya.
b. Model Recursive Self-Regulation Winne and Hadwin
Model Recursive Winne and Hadwin (2010:35) menggambarkan
kegiatan peserta didik ketika mengerjakan pekerjaan rumah maupun
mempersiapkan presentasi secara lisan. Model ini terdiri dari empat
tahapan yang fleksibel dan berulang. Pada tahap pertama, peserta didik
mengidentifikasi kondisi-kondisi yang akan menentukan tugas yang
diberikan. Kondisi tersebut terbagi dalam dua kategori utama, yaitu:
kondisi tugas, terkait dengan tugas yang diberikan guru, waktu yang
tersedia, rekanrekan yang dapat terlibat, struktur sosial, sumber daya
yang tersedia untuk memulai dan mendukung tugas. Kondisi kognitif
merupakan kondisi internal peserta didik, termasuk di dalamnya ruang
lingkup dan relevansi pengetahuan sebelumnya, orientasi motivasi,
kepercayaan epistemologis, taktik mengetahui pelajaran, dan kualitas
lain yang membuat peserta didik menjadi individu yang unik.
Pada tahap kedua, peserta didik mengkonstruk persepsi mereka
mengenai tugas yang diberikan, yang selanjutnya menetapkan tujuan
mereka sendiri dalam mengerjakan tugas tersebut. Pada tahap ketiga,
peserta didik mulai menyatu dengan tugas yang diberikan dengan
mengerjakan secara bertahap untuk mencapai tujuan. Pada tahap
keempat, perubahan besar dalam proses ini dapat terjadi termasuk
perubahan pengetahuan metakognisi dalam meningkatkan keberhasilan
saat ini dan dimasa yang akan datang. Pada setiap tahapan, Winne dan
Hadwin berhipotesis bahwa peserta didik menyatu pada pengawasan
metakognisi.

c. Model Social-Cognitive Zimmerman


Model Social-Cognitive Zimmerman merupakan model yang
dilandasi teori social cognitive Bandura. Teori tersebut merupakan
proses dimana seseorang mengaktifkan dan mempertahankan perilaku,
kognisi dan pengaruhnya yang secara sistematis mengarah pada
pencapaian tujuan. Dalam pembelajaran, SR mensyaratkan peserta
didik memiliki beberapa pilihan, misalnya apa yang dilakukan dan
bagaimana melakukannya. Pilihan tersebut terkadang tidak sesuai bagi
peserta didik (Schunk, 2012: 132).
Winne dan Hadwin (2010:35) mendeskripsikan bahwa model ini
terdiri atas beberapa tahapan, yaitu: tahap pertama adalah /orethought,
peserta didik melakukan dua kegiatan utama yakni al tugas yang akan
dikerjakan peserta didik, dan mengidentifikasi bagaimana perkiraan
peserta didik dalam mencapai keberhasilan optimal. Segi lain dari
fase /orethought adalah ketika peserta didik melakukan survei
keyakinan motivasi diri (self motivational beliefs), terutama pada aspek
self-efficacy, dan harapan yang dimiliki untuk hasil yang ingin dicapai,
minat intrinsik dan tujuan yang ingin dicapai.
Pada tahap kedua, peserta didik terlibat dalam penyelesaian
tugas dan menerapkan proses kontrol untuk tetap berada di jalur dalam
mencapai tujuan. Salah satu komponen kunci adalah menerapkan
kontrol diri (Self control), yang terdiri dari empat elemen utama: (1)
self-instruction, dimana peserta didik secara terbuka maupun diam-
diam menggambarkan apa yang mereka lakukan: (2) imaging, dimana
peserta didik secara mental membayangkan kegiatan mereka: (3)
attention focusing, dimana peserta didik mengubah lingkungan
eksternal dan kognitif untuk menyaring gangguan yang mereka alami,
dan (4) applying strategies, memisahkan tugas yang kompleks menjadi
bagian-bagian yang dapat dikelola. Komponen kunci kedua adalah
pengamatan diri (self-observation), yakni menetapkan tahapan dalam
menerapkan kontrol. Pembelajar merekam mental atau material yang
mereka lakukan dan bagaimana kerjanya, terlibat dalam siklus
eksperimen diri (self-experimenting) untuk menyelidiki apakah variasi
dalam pendekatan yang mereka lakukan akan membawa kesuksesan
yang lebih besar.
Pada tahap ketiga dan terakhir, peserta didik melakukan refleksi
diri (Self-reflect). Hal ini memiliki dua komponen: penilaian diri (self-
judgement), dimana peserta didik menentukan sejauh mana tujuan yang
dicapai, dan evaluasi diri (self evaluation), dimana peserta didik
membandingkan prestasi mereka dengan standar. Standar memiliki
empat bentuk: penguasaan, kinerja sebelumnya, harapan normatif, dan
dalam lingkungan kolaboratif dimana harapan seseorang berhasil
terpenuhi. Siklus SRL oleh Zimmerman digambarkan sebagai berikut.

Performance
Forethough Self-Reflection

Gambar 2. Siklus SRL oleh Zimmerman


Wolters (2010:5) membagi tahap kedua (performance) menjadi
tahap monitoring dan tahap control sehingga tahapan SRL menjadi
empat tahapan yaitu: forethought, monitoring, control, dan reflection.
Forethought mencerminkan perencanaan mahasiswa, penetapan tujuan,
aktivasi pengetahuan sebelumnya, dan proses lainnya sebelum
melakukan tugas.
Monitoring menggambarkan upaya mahasiswa untuk tetap
berada dalam jalur akademik atau menyadari kemajuan aktivitas
pembelajaran mereka. Control merupakan proses dimana mahasiswa
menggunakan dan mengelola berbagai strategi pembelajaran yang
dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Reflection berkaitan dengan proses memikirkan kembali
pembelajaran yang telah dilalui, memahami kesulitan, dan dapat
menjadi pengetahuan metacognitive yang digunakan ketika membuat
perencanaan atau keputusan tentang bagaimana memaksimalkan
pembelajaran berikutnya.
Metacognitive menurut Winne & Perry (2000: 532) adalah
kesadaran yang dimiliki peserta didik mengenai kekuatan dan
kelemahan pada aspek pengetahuan umum, sumber daya kognitif yang
dapat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan tugas-tugas, dan
pengetahuan mereka mengenai bagaimana mengatur keterikatan dengan
tugas yang diberikan untuk memaksimalkan proses pembelajaran dan
dampak yang dapat diperoleh.

3. Pendidikan Vokasi
Pendidikan vokasi berbeda dari pendidikan umum atau liberal,
dasar dari pendidikan berhubungan dengan tujuan utama, karena itu akan
berbeda pula secara mendasar mengenai cara dan metode pada
pembelajaran, begitupun pada lembaga administrasi yang hubungan erat
dengan cara dan metode pembelajaran (Clark & Winch, 2007). Berikut
disajikan beberapa hal yang terkait dengan pendidikan vokasi, terutama
yang terkait dalam penelitian ini.
a. Pengertian Pendidikan Vokasi
....any education that provides experiences, visual stimuli, affective
awareness, cognitive information, or psychomotor skills: and that
enhances ihe vocational development process of exploring,
establishing, and maintaining oneself in the world of work.
Yaitu segala pendidikan yang memberikan pengalaman,
rangsangan visual, kesadaran afektif, informasi kognitif, atau
keterampilan psikomotor, dan selanjutnya meningkatkan
pengembangan vokasional pada proses eksplorasi, penguatan, dan
mengelola diri sendiri pada dunia kerja.
Wenrich & Wenrich (1974:3) menyatakan, “Vocational and
Technical education is for people youth and adults interested in
preparing for and progressing in career in some (ype of satisfping and
productive work.” Pendidikan vokasi adalah bagian dari sistem
pendidikan yang mempersiapkan seseorang untuk mampu bekerja dan
meniti karir dalam bidang pekerjaannya sebagai bekal hidup. Senada
dengan hal tersebut, Sarbiran (2006:4) menyebutkan bahwa pendidikan
vokasi disebut sebagai pendidikan pekerjaan/okupasi (occupational
education) yaitu pendidikan yang mempersiapkan seseorang untuk
menangani bidang-bidang vokasional yang sangat luas dan beragam
mulai dari bidang administrasi, teknologi, bisnis, seni, transportasi,
kesehatan, keamanan, dan sebagainya.
Calhoun & Finch seperti yang dikutip oleh Djohar (2007:1286)
menyebutkan bahwa definisi pendidikan vokasi menurut The United
Congress adalah:
Vocationaleducation as organized educational programs which are
direcly related to the preparation of individuals for paid or unpaid
employment, or for additional preparation for a career requiry other
than a baccalaureate of advanced degree.
Pendidikan vokasi berkaitan dengan menyiapkan individu
menjadi tenaga kerja yang digaji maupun tidak digaji, atau tambahan
persiapan untuk kebutuhan jenjang karir lebih daripada hanya tingkat
sarjana muda professional. Sementara Clarke and Winch (2007: 9)
menjelaskan, “... vocational education is confined to Ppreparing young
people and adults for working life, a process often regarded as of a
rather technical and practical nature.” Pendidikan vokasi dibatasi pada
penyiapan orang muda dan dewasa dalam bekerja, dimana prosesnya
terkadang lebih mengutamakan teknik dan praktik yang alami.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pada
penjelasan pasal 15 menyebutkan bahwa “Pendidikan vokasi
merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan pesertadidik untuk
memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara
dengan program sarjana.” Dalam hal ini adalah jenjang pendidikan
diploma dan lebih banyak berada dibawah naungan politeknik.
Politeknik menurut Hadiwiratama (2002: 555) adalah bagian dari
sistem dan usaha pengembangan sumberdaya manusia Indonesia
dengan sasaran utama lulusan yang mampu berperan secara produktif
dalam menghasilkan pembangunan nasional. Secara ekonomi, semakin
tinggi kualitas pendidikan seseorang maka akan semakin produktif
orang tersebut, sehingga selain meningkatkan produktivitas nasional
juga akan meningkatkan daya saing tenaga kerja di pasar global.
Dari beberapa rumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan vokasi merupakan pendidikan yang dirancang, untuk
mempersiapkan seseorang memasuki dunia kerja, dan/atau membantu
mengembangkan kemampuan orang tersebut untuk dapat bekerja baik
pada sektor formal maupun informal.
b. Tujuan dan Karakter Pendidikan Vokasi
Salah satu kebutuhan individu yang sangat penting adalah
kebutuhan akan pekerjaan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Education for life dan education for earning living selalu menjadi
bahan diskusi yang sangat menarik karena keduanya tidak bisa
dipisahkan secara tegas (Finch & Crunkilton, 1999). Tujuan pendidikan
vokasi menurut Evans (Slamet, 1995: 2) adalah untuk (1) memenuhi
kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja, (2) meningkatkan pilihan
pendidikan bagi setiap individu, (3) sebagai dorongan motivasi untuk
meningkatkan semua jenis pembelajaran. Selain tujuan tersebut, Miller
(1983) menyebutkan, “... principles of vocational are defined as
generalization program and curriculum construction, evaluation,
selection of instructional practices, and policy.” yang berarti bahwa
prinsip pendidikan vokasi disebut sebagai pembangunan program dan
kurikulum yang bersifat umum, evaluasi, pemilihan praktik
pembelajaran, dan kebijakan.
Wardiman (1998: 37) menyebutkan bahwa salah satu
karakteristik pendidikan kejuruan (sekolah menengah)/pendidikan
vokasi (perguruan tinggi) adalah mempersiapkan peserta didik untuk
memasuki lapangan kerja, sehingga seharusnya pendidikan kejuruan
didasarkan atas “demand driven” yakni kebutuhan akan dunia kerja.
Selanjutnya, dikemukakan pula prinsip-prinsip pendidikan
kejuruan/vokasi yang dikenal dengan Enam Belas Teori Prosser, yaitu:
1) Pendidikan vokasi akan efisien jika lingkungan dimana peserta didik
dilatih merupakan replika lingkungan dimana nanti ia akan bekerja;
2) Pendidikan vokasi yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-
tugas latihan dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang Sama
seperti yang ditetapkan di tempat kerja;
3) Pendidikan vokasi akan efektif jika dia melatih seseorang dalam
kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam
pekerjaan itu sendiri;
4) Pendidikan vokasi akan efektif jika dia dapat memampukan setiap
individu memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya
pada tingkat yang paling tinggi;
5) Pendidikan vokasi yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau
pekerjaan hanya dapat diberikan kepada seseorang yang
memerlukannya, yang menginginkannya dan yang dapat untung
darinya;
6) Pendidikan vokasi akan efektif jika pengalaman latihan untuk
membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berpikir yang benar
diluangkan sehingga pas seperti yang diperlukan dalam pekerjaan
nantinya;
7) Pendidikan vokasi akan efektif jika pendidiknya telah mempunyai
pengalaman yang sukses dalam penerapan keterampilan dan
pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan dilakukan;
8) Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai
oleh seseorang agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut;
9) Pendidikan vokasi harus memperhatikan permintaan pasar
(memperhatikan tanda-tanda pasar kerja);
10) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada peserta didik akan
tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata
(pengalaman sarat nilai);
11) Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada
suatu okupasi tertantu adalah dari pengalaman para ahli pada okupasi
tersebut;
12) Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri 1S! (body of content) yang
berbedabeda satu dengan yang lainnya;
13) Pendidikan vokasi akan merupakan layanan sosial yang efisien jika
sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan
memang paling efektif jika dilakukan lewat pengajaran vokasi;
14) Pendidikan vokasi akan efisien jika metode pengajaran yang
digunakan dan hubungan pribadi dengan peserta didik
mempertimbangkan sifatsifat peserta didik tersebut;
15) Administrasi pendidikan vokasi akan efisien jika dia luwes dan
mengalir dari pada kaku dan terstandar;
16) Pendidikan vokasi memerlukan biaya tertentu dan jika tidak
terpenuhi maka pendidikan vokasi tidak boleh dipaksakan
beroperasi.

Caihoun & Finch (Djohar, 2007: 1296) menyebutkan bahwa


karakteristik pendidikan kejuruan/vokasi dapati dilihat dari: 1) orientasi
pendidikannya, 2) justifikasi untuk eksistensinya, 3) fokus
kurikulumnya, 4) kriteria keberhasilannya, 5) kepekaan terhadap
perkembangan masyarakat, 6) sarana dan perlengkapan belajar, dan 7)
hubungan kerjasama dengan masyarakat dunia usaha/dunia industri.

Orientasi pendidikan tersebut terkait dengan penyiaapan tenaga


terampil untuk dapat bekerja di dunia industri, eksistensinya
disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri, fokus kurikulumnya pada
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk menghasilkan tenaga
kerja produktif, kriteria keberhasilan terkait dengan prestasi akademik
peserta didik dan penempatan kerja setelah lulus, kepekaan terkait
dengan kemampuan beradaptasi dengan perkembangan yang terjadi
dimasyarakat dan di dunia industri, sarana dan prasarana belajar
menjadi perhatian, terutama pada bengkel kerja dan laboratorium
sebagai wahana mengembangkan keterampilan, dan kerjasama yang
harus dijaga terutama yang terkait tuntutan relevansi dengan dunia
industri.

Keberhasilan pendidikan vokasi menurut Djohar (2007: 1297)


dapat dievaluasi dengan dasar efisiensi ekonomi, yaitu: a) menyiapkan
peserta didik pada pekerjaan tertentu dimasyarakat sesuai kebutuhan
tenaga kerja, b) meyakinkan suplai tenaga kerja yang cukup pada suatu
bidang pekerjaan, dan c) lulusan mendapatkan pekerjaan sesuai
bidangnya. Untuk menentukan keberhasilan suatu lembaga pendidikan
vokasi dapat diukur dari keberhasilan peserta didik di sekolah (in-
school success) meliputi keberhasilan dalam memenuhi persayaratan
kurikuler, dan keberhasilan peserta didik di laur sekolah (out-0f school
success) yang diindikasikan pada lulusan yang mampu bekerja sesuai
bidang keahliannya. Dengan ketujuh karakteristik bui akan berimplikasi
pada proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan
competency based yang didasarkan dua filosofi dasar, yaitu human
compelence dan mastery learning. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa tujuan pendidikan vokasi adalah membekali peserta didik
dengan kompetensikompetensi sesuai dengan program keahlian yang
dipilih dan memberikan nilai produktif bagi individu dan masyarakat.

c. Kompetensi Lulusan Pendidikan Vokasi D3 TS


Kata kompetensi ditinjau dari perspektif epistimologi berasal
dari kata kompeten atau mampu. Kata mampu memiliki arti sebagai
kemampuan atau keahlian atau keterampilan untuk melakukan suatu
pekerjaan atau aktivitas. Karena itu, Jordan, Carlile & Stack (2008:
203) membedakan defenisi antara kompetensi dan kompeten.
Kompetensi merupakan kemampuan melakukan seperangkat tugas yang
membutuhkan integrasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap,
sedangkan kompeten merupakan kemampuan melakukan peran secara
efektif dalam suatu konteks.
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 10 menyebutkan bahwa kompetensi
adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar
yang ditetapkan. Sejalan dengan hal tersebut, Surat Keputusan
Mendiknas Nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Perguruan
Tinggi dikemukakan bahwa kompetensi adalah seperangkat tindakan
cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat
untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-
tugas di bidang pekerjaan tertentu. Kata kompetensi terkait dengan
terminologi ketenagakerjaan, adalah suatu kemampuan/kecakapan yang
dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melakukan
suatu pekerjaan.
DEST (2002: 3) menyebutkan bahwa “Competency is used to
refer to an observable behaviour performed to a specified level and
therefore provides a basis for the assessment of performance.“
Kompetensi digunakan merujuk pada suatu perilaku kerja yang dapat
diamati pada tingkatan tertentu dan hal tersebut memberikan dasar bagi
penilaian kinerja. Dari definisi ini, dapat dikatakan bahwa kompetensi
didasarkan pada pengetahuan dan keterampilan dan diperoleh melalui
pengalaman kerja dan belajar sambil melakukan (learning by doing).
Mc. Ashan (Mulyasa 2004: 38), memberikan definisi bahwa
kompetensi adalah: “... knowledge, skills, and abilities or capabilities
that a person achieves, which become part of his or her being to the
exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive,
affective, and psychomotor behaviors.” Kompetensi didefinisikan
sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh
seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat
melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan
sebaik-baiknya. Pendapat senada juga diungkapkan Soemarsono dalam
Arikunto (2005:133), bahwa kompetensi merupakan tujuan yang
menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan sikap
yang harus dimiliki oleh peserta didik sebagai akibat dari hasil
pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang
dapat diamati dan diukur.
Hal lain dikemukakan oleh Sehulltheiss & Brunstein (2005: 42),
"Competence is a multifaceted concept. It can refer to the skills and
abilities a person has developed, to the degree to which the person is
effective in her or his transactions with the environment, and to how
successfully a person performs." Kompetensi dapat mengacu pada
keterampilan dan kemampuan yang dikembangkan seseorang agar
dapat efektif dalam bergaul di lingkungannya dan berhasil dalam
penampilannya.
ILO & Regional Skills and Employability Programme in Asia
and the Pacific (2006: 5) menjelaskan bahwa konsep dasar dari
kompetensi pada Regional Model Competency Standard (RMCS)
adalah fokus pada apa yang diharapkan tenaga kerja di tempat kerja
daripada proses pembelajaran atau menghabiskan waktu pada
pendidikan maupun pelatihan. Karena itu, Sternberg (2005: 15)
berpendapat, “... to the exteni that these competencies overlap with the
competencies reguired by schooling or by the workplace, there will be
a correlation between the tests and performance in school or in the
workplace." Kompetensi yang diberikan di sekolah harus sesuai dengan
kompetensi yang ada di dunia kerja agar tidak terjadi saling
ketimpangan dengan membuat tes dan penampilan yang saling
berhubungan antara sekolah dan tempat kerja.
Dalam konteks pengembangan kompetensi lulusan pendidikan
vokasi, maka penilaian kompetensi perlu secara komprehensif
mengarah pada kompetensi lunak (saft-competence) dan kompetensi
keras (ard-competence). Istilah kompetensi dalam kurikulum berbasis
kompetensi dimaksudkan adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh
tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap
mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang
pekerjaan tertentu. Secara umum, pengertian kompetensi dikaitkan
dengan pengetahuan, keterampilan, perilaku dan nilai-nilai yang
dimiliki peserta didik sesudah mengikuti pendidikan (Kepmendiknas
No. 232/U/2000, No. 045/U/2002).
Menurut Gonczi (1998: 38), karakteristik penting yang terdapat
pada modelmodel pendidikan berbasis kompetensi, di antaranya: (1)
Adanya daftar kompetensi yang terdokumentasikan disertai dengan
standar dan kondisi khusus untuk masing-masing kompetensi, (2)
Setiap saat peserta didik dapat dinilai pencapaian kompetensinya ketika
telah siap: (3) Pembelajaran berlangsung dengan format modul yang
berkaitan dengan masing-masing kompetensi, (4) Penilaian berdasarkan
standar tertentu dalam bentuk pernyataan-pernyataan kompetensi: (5)
Sebagian besar penilaian berdasarkan keterampilan yang
didemontrasikan secara nyata: (6) Peserta didik dapat memperoleh
pengecualian dari bagian pembelajaran dan melanjutkan ke unit kerja
berikutnya berdasarkan kompetensi yang telah tercapai, dan (7) Hasil
belajar peserta didik dicatat dan dilaporkan dalam pernyataan-
pernyataan kompetensi. Dengan demikian, kompetensi lulusan
merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standard nasional yang
telah disepakati.
The Employment and Training Administration (ETA) (Ennis,
2008: 7) Amerika Serikat mengembangkan suatu model kompetensi
yang terbagi ke dalam 9 kelompok/kategori, yaitu: 1) kompetensi
pribadi yang efektif, 2) kompetensi akademik: 3) kompetensi di tempat
kerja, 4) kompetensi teknik industri secara luas, 5) kompetensi teknik
industri bidang tertentu, 6) Lingkup pengetahuan pekerjaan yang
spesifik, 7) kompetensi teknik pekerjaan yang spesifik, 8) kebutuhan
pekerjaan yang spesifik: dan 9) kompetensi manajemen. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Pada Gambar 3 terlihat bahwa kompetensi pribadi setiap orang
menjadi dasar bagi tingkat kompetensi berikutnya, dalam artian bahwa
untuk dapat memiliki kompetensi berikutnya, seseorang seharusnya
memiliki kompetensikompetensi dasar yang ada dibawahnya sehingga
dapat mencapai tingkat kompetensi yang paling tinggi. Kompetensi
pribadi diperoleh dari pribadi masingmasing orang untuk
dikembangkan, sementara kompetensi berikutnya dapat diperoleh
melalui pendidikan dan pelatihan, serta melalui pengalaman kerja.
Jacinto (2010: 152) mendeskripsikan dampak karakteristik
organisasi pekerjaan terhadap kompetensi sebagai referensi untuk
mengembangkan kurikulum sampai pada proses pembelajaran. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa karakteristik yang
dibutuhkan dunia kerja saat ini memerlukan adanya perubahan
paradigma pemikiran terutama yang terkait pada aspek pendidikan,
dimana pengembangan kurikulum sampai pada proses pembelajaran
harus menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi pada dunia kerja.

8
9
Management Occupation-Specific
Competencies Requirement
Stafing, Informing, Requirements TBD
Delegating, Networking,
7
Monitor work, Suporting
others, Motivation and Occupation-Spescific
insparing, Tecnical Competiencies
Developing&mentoring,
Stategic planing and action,
Preparing&evaluating, 6
Bodgets, Clarilying Occupation-Spescific
Roles&objective, Managing Knowledge Area
Conflict&Team Building,
Developing an Knowledge areas from O’Net
Organizational, Vision, and OPM Mosaik
Monitoring&Controlling taxonomies
Resource

5
Industry-Sector Technical Competencies

Competencies to be specified by industry repsentatives


4
Industry-Wide Technical Competencies

Competencies to be specified by industry sector repsentatives


3

Workplace Competencies
Using Workin
Teamw Flexibeli Creati Scedul Recor
Planing Compu g with
ork ty ve ling ding
ter tool
2
Academic Competencies

Mahem Science&T Communic Active


Reading Writing Training
atic echnology ation learning

1
Academic Competencies
Dependenbi
Interperso Profession Interperso Willingness
Integrity Initiative lity&Reliabil
nal Skills alism nal Skills to Learn
ity

Gambar 3.

Kategori kompetensi menurut ETA U.S. Departement of Labour

Tabel 1. Karakteristik Organisasi Pekerjaan dan Dampaknya pada


Kompetensi

Dulu Saat ini


Hierarchical organization Organizational ofwork is initiated
by the workers
Imposed objectives, limited Participation in the
responsibility conceptualizating ofprojects
Predefined positions Flexibility in activities and roles
Limited understanding of the
Understanding ofthe entire
general framework of the work
process
process
Complex work with horizontal
Specialized work with traditional
and vertical enrichment and
technologies
support ofthe IT sector
Management ofproduction in a Management of information in a
static environment constantly changing environment
Work based on physicalforce Intellectual work based on the
applied to materials or the management and transmission
manipulation ofobjects ofinformation
Intellectual speed in terms
Routine, repetitive situations and
ofperception, reaction and
predictable problems
coordination
Management of unpredictible
Predominance ofspecialized
situations which require an
manual workers
accumulation ofexperience
Predominance ofcompetent
workers, technicians, engineers
Work driven by orders and
and management staff The work
specifications
requires independence, initiative,
responsibility and creativity
Work is supervised Work is self-evaluated
Separation between thinking and Integration ofthought and action,
action problem solving
Ir.dividuals are adapted to the Adaptationto respond to the
requirments of the machines requirements of each situations
Kompetensi yang dimilikioleh lulusan suatu lmbaga pendidikan harus
disesuaikan dengan kompetensi yang ada di dunia kerja, mulai dari
pembentukan mental personal sampai pada pembentukan lingkungan
belajar seperti halnya dunia kerja bahkan pembelajaran di lingkungan
kerja untuk bisa membiasakan diri dengan budaya kerja suatu
pekerjaan.
Saat ini, kompetensi Seseorang akan terlihat dari jenjang
kualifikasi yang dimiliki. Hal ini tertuang di dalam Peraturan Presiden
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) yang menyebutkan bahwa KKNI adalah kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan,
menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan
bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian
pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di
berbagai sektor. KKNI terdiri atas 9 (sembilan) jenjang kualifikasi,
dimulai dari jenjang 1 (satu) sebagai jenjang terendah sampai dengan
jenjang 9 (sembilan) sebagai jenjang tertinggi, dengan pengelompokan
sebagai berikut: (a) jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan
dalam jabatan operator, (b) jenjang 4 sampai dengan jenjang 6
dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis, dan (c) jenjang 7
sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan dalam jabatan ahli. Lulusan
D3 paling rendah setara dengan jenjang 5 dengan jabatan teknisi atau
analis.
Secara spesifik, deskripsi kualifikasi pada jenjang 5 untuk
pendidikan D3 antara lain: (a) mampu menyelesaikan pekerjaan
berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang
sudah maupun belum baku dengan menganalisis data, serta mampu
menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur, (b)
menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan tertentu secara serta
mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural, (c)
memiliki kemampuan mengelola kelompok kerja dan menyusun
laporan tertulis secara kompretiensif, dan (d) bertanggung jawab pada
pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung j awab atas pencapaian
hasil kerja kelompok.
Berkaitan dengan hal tersebut, kompetensi lulusan pendidikan
vokasi yang memiliki arti kemampuan atau kecakapan kerja lulusan
yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk
melakukan suatu pekerjaan, yang pengukurannya menggunakan acuan
tertentu. Pendidikan vokasi sebagai salah satu jenis pendidikan dalam
Perguruan Tinggi (PT) diberikan kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan sesuai amanat Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional (2003).
Kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan
yang disandang oleh perguruan tinggi menyebabkan beragamnya
kompetensi lulusan yang bisa dihasilkan antara satu PT dengan PT yang
lain. Khusus pada program studi (PS) Diploma Tiga (D3) TS (TS),
berikut dipaparkan beberapa kompetensi lulusan dirangkum dari
beberapa perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Kompetensi lulusan D3 TS Politeknik Negeri Lhokseumawe
(pnl, 2010) adalah (1) Bidang Keahlian Konsentrasi Gedung diharapkan
bagi kompetensi para lulusan mampu merencanakan, melaksanakan dan
mampu untuk melakukan pengawasan menyangkut dengan konstruksi
gedung, (2) Bidang Keahlian Konsentrasi Bangunan Air diharapkan
bagi kompetensi para lulusan mampu merencanakan, melaksanakan,
dan melakukan pengawasan, baik muara dan pantai dan (3) Untuk
Bidang Keahlian Konsentrasi Bangunan Transportasi diharapkan
dengan kompetensi lulusan mampu merencanakan, melaksanakan dan
melakukan pengawasan jalan dan jembatan (transportasi).
Kompetensi lulusan D3 TS Politeknik Negeri Bandung (polban,
2010) :
1) Kompetensi lulusan Program Studi Teknik Konstruksi Gedung
secara Umum, mampu bersikap mandiri dalam bertugas, Mampu
mengadaptasi dan mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Bidang Konstruksi Bangunan Gedung dengan
memperhatikan lingkungan mulai dari perencanaan, penjaminan
mutu pelaksanaan sesuai bahan yang digunakan, sampai dengan
pengawasan berdasarkan skala kompleksitas menengah. Secara
khusus kompetensi lulusannya dapat membaca,
menginterpretasikan gambar kerja bangunan gedung, menyusun
RAB, memahami dan melaksanakan pengujian laboratorium,
mampu mengendalikan kualitas, menerapkan prosedur dan metode
pelaksanaan konstruksi berserta pengawasannya dan menguasai
standar, peraturan, etika serta memahami Analisa Dampak
Lingkungan,
2) Kompetensi lulusan Prodi Teknik Konstruksi Sipil mempunyai
kemampuan sebagai: (a) Asisten perencanaan, membantu
interprestasi dan persiapan, modi-fikasi spesifik, gambar teknik,
estimasi, supervisi bagian dari proyek utama, (b) Melakukan
pengujian,membuat prototipe,memecahkan masalah yang timbul
dalam produksi dan konstruksi, kompilasi data dan membuat
laporan, (0) Supervisi tahapan/bagian dari pekerjaan konstruksi,
mengawasi proyek konstruksi , melakukan pengujian, melakukan
survey, menyiapkan perhitungan untuk aktivitas konstruksi, (d)
Memasang, melakukan kalibrasi, melakukan pearwatan, supervisi
perbaikan instalasi atau peralatan produksi, 6 Pendukung pekerjaan
yang bersifat operasional,termasuk supervisi operasional dan
aktivitas yang bersifat operasional seperti penjamin mutu,kontrol
produksi, dan (9) Pendukung pekerjaan di lingkungan
laboratorium, seperti melakukan pengujian, percobaan, atau
memakai peralatan yang kompleks sebagai pendukung penelitian
dan pengembangan, kontrol kualitas maupun akademik.
Kompetensi lulusan D3 TS Institut Teknologi Sepuluh
November (ITS, 2010):
Komptensi lulusan tahun I
Drafter TS Tingkat 1: Menguasai teknik penggambaran secara manual
untuk gambar desain bangunan sipil seperti:
rumah sederhana, gedung, jalan dan jembatan,
bangunan air dan lain-lain.
Surveyor TS Tingkat 1: Menguasai teknik pengukuran pada bangunan
sipil dengan menggunakan peralatan Waterpass
dan Theodolit, serta mampu menyajikan
perhitungan dan laporan secara manual.
Kompetensi lulusan tahun II
Drafter TS Tingkat 2: Menguasai teknik penggambaran secara
komputerisasi (dengan program AutoCad) untuk
gambar desain bangunan sipil seperti, rumah
sederhana, gedung, jalan dan jembatan, bangunan air
dll.
Surveyor TS Tingkat 2: Menguasai teknik pengukuran pada bangunan sipil
dengan menggunakan peralatan Total Station dan GPS
(Global Positioning System), serta mampu menyajikan
perhitungan dan laporan secara komputerisasi.
Kompetensi lulusan tahun III
Produksi Bahan Bangunan: terampil teknik memproduksi bahan bangunan
seperti batako, paving, genteng beton, tegel dan
sejenisnya. Keterampilan ini bisa menjadi bekal
lulusan untuk berwirausaha di bidang bangunan sipil.
Estimator Teknik : Menguasai teknik penyusunan perkiraan volume dan
biaya suatu bangunan sipil, baik secara manual
maupun dengan program komputer.
Pelaksana/Pengawas : Menguasai metode kerja, penjadwalan,
pengendalian, dan administrasi pada proyek bangunan
sipil.
Asisten Desain Bangunan Sipil: Mampu menghitung dalam suatu
perencanaan bangunan sipil, penggambaran,
perhitungan rencana anggaran biaya, spesifikasi
teknik, serta dokumen lelang lainnya.
Dari beberapa kompetensi lulusan yang disebutkan di atas, dapat
dirumuskan kompetensi lulusan D3 TS secara umum, yaitu: (1) Mampu
melakukan desain gambar bangunan sipil baik secara manual maupun
secara komputerisasi, (2) Mampu menghitung analisa anggaran biaya,
(3) Mampu melakukan survey (pengukuran dan pemetaan suatu lahan),
(4) Mempu menyusun administrasi proyek, (5) Mampu menyusun
dokumen lelang, dan (6) Mampu melakukan pengawasan pekerjaan
suatu proyek konstruksi.

4. Keterampilan Bekerja (Employability Skills)


Sailah (2008: 12) memilih 10 perguruan tinggi karena lulusannya
yang berkarakter. Karakter penting di dunia kerja yang dikemukakannya
yaitu: 1) Mau bekerja keras, 2) Kepercayaan diri tinggi, 3) Mempunyai
Visi kedepan, 4) Bisa bekerja dalam tim, 5) Memiliki kepercayaan matang,
6) Mampu berpikir analitis, 7) Mudah beradaptasi, 8) Mampu bekerja
dalam tekanan, 9) Cakap berbahasa Inggris, dan 10) Mampu
mengorganisasi pekerjaan. Dengan karakter tersebut di atas, maka lulusan
perguruan tinggi harus mampu berupaya untuk memiliki karakter tersebut
baik secara parsial terlebih lagi penguasaannya secara menyeluruh.
Karakter ini dapat digolongkan sebagai keterampilan yang harus dimiliki
lulusan untuk dapat bersaing di pasar tenaga kerja nantinya, yang dapat
dikatakan sebagai keterampilan bekerja.
DEST (2002: 13) menyebutkan, “skills are commonly understood
to refer to an ability to perform 9 specific task." Keterampilan biasanya
dipahami dengan merujuk pada kemampuan untuk melaksanakan tugas
yang spesifik atau tertentu. Jordan Carlile and Stack (2008:203)
menjelaskan bahwa keterampilan adalah kemampuan melakukan
seperangkat aktivitas secara konsisten.Keterampilan tersebut melibatkan
penampilan seseorang pada kegiatan tertentu.
Employability secara terminologi dapat diartikan sebagai
kemampuan bekerja. Kneale (2009: 100) menggambarkan bahwa
employability merupakan terminology yang memiliki banyak arti, “For
some people employability is about skills, for others it is an activity which
prepares individuals for long-term employment.” Bagi beberapa kalangan
mengartikan employability berkaitan dengan keterampilan-keterampilan,
dan yang lain mengartikan aktivitas yang mempersiapkan seseorang untuk
bekerja dalam jangka panjang.
Definisi employability menurut beberapa ahli antara lain: Hillage
dan Pollard (Knight and Yorke, 2004: 5) mendefinisikan employability
sebagai “the capability to move self-sufficiently within the labour market
to realize potential through sustainable employment,” yakni kemampuan
untuk bergerak sendiri di Sl pasar tenaga kerja untuk mewujudkan potensi
diri melalui pekerjaan yang berkelanjutan. Sementara Knight dan Yorke
(2004: 4) mendefinisikan employability adalah “a set of achievemenis,
understandings and personal viduals more likely to gain employment and
be successful attributes that make individuals in their chosen
occupations,” sekumpulan prestasi, pemahaman dan atribut seseorang
yang menjadikan individu tersebut lebih mudah memperoleh pekerjaan
dan sukses pada pekerjaan yang telah dipilih tersebut.
ILO (2004) mendeskripsikan: on relates to portable competencies and
gualifications that pa apa dividual 5 capaciiy 10 make use of the
education and training enhance an ini available in order to secure and
retain decent work, to ities opportuni avaliable in order to secure
andretain decent work to progress within the enterprise and between
jobs, and to cope with changing technology and labour market
conditions.

Kemampuan bekerja berhubungan dengan kompetensi dan kualifikasi


yang dapat meningkatkan kapasitas seseorang dalam memanfaatkan
kesempatan pendidikan dan pelatihan yang tersedia untuk menjamin dan
menetapkan pekerjaan layak, berkembang di dalam perusahaan dan antar
pekerjaan, dan mengatasi kondisi perubahan teknologi dan pasar kerja.

The Enhancing Student Employability Co-ordination Team


(ESECT) (Yorke dan Knight, 2006: 567) mendefinisikan: employability
skills is a set of achievements—skills, understandings and personal
attributes—that make graduates more likely to gain employment and be
successful in their chosen occupations, which benefits themselves, the
workforce, the community and the economy.
Definisi tersebut menyebutkan bahwa keterampilan bekerja
merupakan sekumpulan pencapaian (achievement) meliputi keterampilan,
pemahaman, dan atribut personalSkills,inclu
yang lebih memungkinan lulusan untuk
S
memperoleh pekerjaan dan suksesding key pilihan kerjanya serta memberi
dalam
skills
keuntungan bagi diri mereka sendiri, tenaga kerja, masyarakat, dan
ekonomi secara keseluruhan. Definisi ini berkaitan dengan beberapa dasar
employability seperti yang tertuang dalam model USEM (Knight and
Yorke, 2004: 8) yang menggambarkan bahwa Employability dipengaruhi
oleh empat komponen yang luas dan saling berkaitan, yaitu:
understanding, Skills, efficacy beliefs, dan metacognition. Selanjutnya
dapat dilihat pada Gambar 4.

Employability,
Personal
citizenship, etc.
quality,
including self-
theories and
effecacy
beliefs

Metacognition

Subject
understanding M

Gambar 4.

Model USEM diadopsi dari Knight & Yorke (2004)

Dalam laporan penelitian employability skills for the future (DEST,


2002: 13) disebutkan “employability skills are defined as 'skills reguired
not only to gain employment, but also t0 progress within an enterprise to
achieve one '$ potential and contribute successfully to enterprise strategic
directions," Keterampilan bekerja didefinisikan sebagai keterampilan-
keterampilan yang dibutuhkan tidak hanya untuk mendapatkan pekerjaan,
tetapi juga untuk kemajuan di dalam perusahaan untuk meningkatkan
potensi seseorang dan berkontribusi pada arah kesuksesan strategis
perusahaan.

Commonwealth of Australia (2006: 5) menjelaskan bahwa


Employability Skills, bukanlah merupakan konsep baru, namun merupakan
sesuatu yang menggambarkan keterampilan non-teknis dan kompetensi-
kompetensi yang akan lalu menjadi bagian penting di dalam kesuksesan
dan efektifitas di tempat kerja.

Employability skills, hampir sama dengan key competencies yang


merupakan konseptualisasi spesifik yang dikenal luas dengan
keterampilan-keterampilan umum. Key competencies yang dikeluarkan
oleh Sistem Pelatihan Australia, antara lain adalah: a) collect, analyse and
organise information, b) communicaie ideas and information, c) plan and
organise activities, d) work with others in teams, €) use mathematical
ideas and technijues: 1) solve problems, dan 8) use technology. Sedangkan
Employability Skills terdiri atas: communication, teamwork, problem
solving, initiative and enterprise, planning and organizing, self-
management, learning, and technology.

Fabbris (2007: V-VI) menyatakan perlunya perguruan tinggi


menjadi bagian dari kesuksesan lulusannya: employability and successfil
career attainments should be in the background of the university aims
together with that of developing culture and civic spirit of students. All this
should be kept in mind while designing study programmes and the services
that take care of students before, during and after their university paths.

Kemampuan bekerja dan pencapaian kesuksesan karir seharusnya


menjadi latar belakang dan tujuan bersama dari universitas dengan
pengembangan budaya dan. semangat kemasyarakatan dari peserta
didik.Semua hal tersebut harus tersimpan di dalam pikiran ketika
merancang program studi dan layanan dalam memperhatikan peserta didik
sebelum, selama, dan setelah perjalanan mereka di universitas.

LSIS (2010: 28) menyatakan “Skills for life and employability


should be central to your pre-redundancy offer,” keterampilan-
keterampilan untuk hidup dan bekerja harus berpusat pada penawaran
kelebihan. Selanjutnya ditambahkan bahwa peningkatan keterampilan
membaca, menghitung, berbahasa dapat memberikan dampak positif
kepada orang-orang dan prospek pekerjaan mereka, dimana keterampilan-
keterampilan tersebut dapat membantu dalam mempelajasi suatu hal baru
yang spesifik serta Keterampilan keterampilan lainnya diterpat kerja.
Untuk membandingkan antara Key compelcncies dengan employability
skills, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Mapping Key Competencies Into Employability Skills

Key Competencies Employability Skills


Communicate Ideas and
Information Communication
Work with others and in teams Teamwork
Solve Problems Problem Solving
Use Technology Technology
Collect, Analyse and organise
Information Planning and organising
- Initiative and enterprise
Plan and organise activities Self-management
- Learning
Contained within the descriptions
Use Mathematical Techniques and of several ofthe other
Ideas Employability Skills

Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa


Employability Skills adalah sekumpulan keterampilan-keterampilan yang
harus dimiliki seseorang dalam upaya untuk mendapatkan pekerjaan
maupun meningkatkan prestasi di tempat kerja yang dapat memberikan
keuntungan bagi individu tersebut dan bagi perusahaan/instansi tempatnya
bekerja.

Secara umum diakui bahwa pembelajaran dengan “hands on”


paling efektif dalam mengembangkan pemberian karakteristik
employability skills kepada peserta didik. Karena itu, Cleary, Flyan and
Thomasson (AFLF, 2009: 2-3) merekomendasikan bahwa dalam
mengembangkan employability skills secara efektif, desain seluruh strategi
pembelajaran dan penilaian mengacu pada empat prinsip pembelajaran
orang dewasa, yaitu: 1) Responsible learning—dimana peserta didik
bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari, 2) Experiential
learning—peserta didik belajara dari pengalaman mereka, 3) Cooperative
learning—peserta didik belajar dengan dan melalui teman yang lain, dan
4) Reflective learning—peserta didik merefleksikan dan belajar dari
pengalaman.

Liule & ESECT (2006:3) mengemukakan “employability can be


enhanced by work-related activities which do not include doing a job of
work." Kemampuan bekerja dapat ditingkatkan melalui kegiatan yang
berhubungan dengan pekerjaan, tanpa harus terlibat sebagai pekerja.
Mengembangkan keterampilan seperti di dunia kerja, melakukan
pengalaman kerja, dan simulasi di ruang kelas merupakan bentuk
employability skills. Perbandingan employability skills pada beberapa
Negara (DEST, 2002: 28) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Employability Skills Beberapa Negara

Australian
Key United Kingdom Canada
United States (SCANS)
Competencies (NCVQ) core Employability
work place know-how
(Mayer Key skills Skills Profie
Competience
Collectin,
analysing and Informationfoundationsk
Communication Thinking skils
organising ills: basic skills
information
Communicatio CommunicationPe Communication Information foundation
ns ideas and rsonal skills: skills skills: basic skils
information improved own
performance and
learning
Personal skills:
Planning and Responsibility Resources
improving own
organising skills Foundation skills:
perfonnance and
activities Thinking skills personal qualities
learning
positive attitudes
Personal skills:
Working with and behaviour
working with Interpersonal skills
others in team Work with others
others
Adaptability
Using Understand and
Numeracy:
mathematical solve problems foundation skills: basic
application
ideas and using skills
ofnumber
techniques mathematics
Problem-solving
and
Solving foundation skills:
Problem solving decisionmaking
problems thinking
skills
Learning skills
Use Technology
Using Information Technology
Communication
technologies Technology Systems
skills
Manage
Post-Mayer
information
addition:
Modern foreign Use Numbers
Cultural
language Work Safely
understanding
Participate in
s
projects and tasks

Pada Tabel 3 terlihat bahwa hampir semua Negara memiliki


kesamaan dalam hal employability yang memberikan penekanan pada
beberapa aspek dengan penjelasan secara lebih mendetail untuk
menunjukkan muatan lokal dari masing-masing Negara terhadap
employability skills lulusan. Namun demikian, employability skills
tersebut pada akhirnya mengerucut pada keterampilan-keterampilan pada
Komunikasi, kerja tim, memecahkan masalah, teknologi, manajemen diri,
inisiatif, pengorganisasian, dan keterampilan belajar. Mencapai
keterampilan bekerja tidak saja datang begitu saja. Hal tersebut juga
membutuhkan strategi terutama dalam proses pembelajaran dan
pengajaran.

Australian Flexible Learning Framework (2009: 2) menjelaskan


bahwa employability skills memiliki beberapa karakteristik yang dapat
memberikan tantangan dalam pembelajaran, yaitu (1) Digunakan dalam
kombinasi yang saling tumpang tindih untuk melaksanakan tugas-tugas
pekerjaan, (2) Dapat dilaksanakan dalam berbagai tingkatan sesuai tugas
yang diberikan, (3) Konteksnya tergantung aplikasi yang akan dilakukan
tetapi dapat di transfer pada konteks yang lain, dan (4) Dikembangkan
dalam segala aspek kehidupan dan sepanjang masa. Karakteristik ini
diakui dalam beberapa istilah lain seperti: core skills, basic skills, life skills
and key competencies. Kerka (2006) menjelaskan bahwa proses
pengajaran dan pembelajaran employability skills secara konsisten, tidak
hanya karena kondisi ekonomi dunia yang mengharuskan lingkungan kerja
dengan kinerja yang tinggi, tetapi juga untuk kesuksesan akademik peserta
didik di masa depan. Cleary, Flynn & Thomasson (2006:50) memberikan
bentuk pembelajaran dan penilaian employability skills pada Tabel 4.

Tabel 4. Bentuk Pembelajaran dan Penilaian pada Employability Skills

Learning and Assesment


Employability Skill
Strategies and Activities
 Preparing and presenting written
and verbal reports
Commtmication  Comnlunicating with and
responding to internal/ external
clients and customers
 Team or group projects
Teamwork
 Communities ofpractice
 Investigative projects and research
Problem solving
 Decision making activities
Initiative and enterprise  Initiating change
 Research and data collection
 Developing action plans
 Planning and organising events
 Time management activities
Planning and organising
 Goal setting activities and
scheduling tasks
 Collecting and analysing
information
 Development ofportfolios
 Work plans
Self-managentent  Using log books to record time
management skills and monitor
own performance
 Using skills in different contexts
Learning
 Self-evaluation tools
Technology  Use ofInternet, Intranets
 Using ICT skills to complete
activities
 Industry relevant software,
technology and equipment

Strategi dan aktivitas pembelajaran yang diperlihatkan pada Tabel


4 merupakan beberapa bentuk yang dapat diterapkan pada pembelajaran
berbasis proyek yang menjadi fokus pada penelitian ini. Beberapa
diantaranya dapat digabung menjadi satu aktivitas dalam mencapai
beberapa employability skills yang diinginkan. Hal ini juga berkaitan
dengan kondisi pembelajaran yang akan dilaksanakan nanti yang
disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan di lapangan.

Rake C2009-16) dalam laporannya mengenai tantangan


empluyakility, menjelaskan laskan bahwa Inti dari pengembangan
emplovabilisy skills melalui: a)experiental acion-learning yang
mengutamakan keterampilan daripada pengetahuan yang sederhana: b)
work experience, terutama pada penempatan kerja/prakerin, dan juga pada
pembelajaran dengan simulasi yang kompleks, susah ditebak, dan
konsekuensi pada kesuksesan atau kegagalan seperti di dunia kerja: dan c)
Kesempatan untuk refleksi dan integrasi, mengacu pada pengalaman
belajar dan persiapan dalam menempatkan peserta didik pada situasi kerja
yang lain.
Gambar 5. Employability wheel Diadopsi dari Rake (2009)

Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa untuk mengembangkan


employability skills diperlukan pelibatan dunia usaha/industri dalam hal ini
pengusaha terkait, kepemimpinan dan sumber daya dari suatu
lembaga/institusi, dan perencanaan dan pelaksanaan program dalam hal ini
pembelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik. Untuk
mendukung ketiga hal tersebut, dibutuhkan beberapa fitur kunci
sebagaimana yang tertera pada lingkaran tengah. Selanjutnya, lingkar luar
menunjukkan dampak dari employability skills bagi peserta didik,
pengusaha, dan penyelenggara baik lembaga pendidikan formal maupun
informal.

The Secretary's Commission on Achieving Necessary Skills


Commission (SCANS) 2000 Center meyakinkan bahwa prinsip dasar
dalam membangun kualitas yang tinggi dari kurikulum sekolah, perguruan
tinggi, dan program pelatihan antara lain adalah: 1) menggunakan
pembelajaran berbasis proyek, 2) menghubungkan antara Gan) akademik
yang tinggi dan standar (proses) dari SCANS, 3) merancang proyek yang
berkaitan dengan karir yang baik, 4) menerapkan kerjasama antara peserta
didik, 5) menggunakan teknologi secara intensif, 9) menilai kompetensi
SCANS secara sistematis, dan 7) hasil dokumentasi bernilai bagi
pengusaha. Dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa koneksi
dengan dunia kerja harus terbangun, baik yang berkaitan dengan
kurikulum (isi), pembelajaran (proses), sampai pada hasil (output) dan
jenjang karir dari peserta didik setelah lulus.

5. Link and Match Pendidikan Vokasi


Menyiapkan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan dudi menjadi
pusat perhatian pendidikan kejuruar/vokasi. Untuk itu, Departemen
pendidikan dan kebudayaan (Depdikbud) memperkenalkan kebijakan Link
and Match pada tahun 1993/1994, Secara harfiah, Link berarti terkait,
menyangkut proses yang harus interaktif, dan Match berarti cocok,
menyangkut hasil yang harus sesuai atau sepadan. Link and Match
mengandung dua muatan penting, yaitu: makna filosofis dan kebijakan
operasional. Makna filosofis mengandung wawasan pengembangan
sumberdaya manusia, wawasan masa depan, wawasan mutu Aa
keunggulan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai tambah, dan
wawasan efisiensi (Wardiman, 1998).
Hakekat pembaruan pendidikan vokasi sesuai dengan kebijakan
link and match adalah perubahan dari pola lama yang cenderung berbentuk
pendidikan demi pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas dan konkrit
manjadi pendidikan kejuruan sebagai program pengembangan
sumberdayamanusia. Dimensi pembaruan yang diturunkan dari kebijakan
link and match, adalah Perubahan: (1) dari pendekatan supply driven ke
demand driven, (2) dari pendidikan berbasis sekolah ke sistem berbasis
ganda, (3) model pengajaran ke model pengajaran berbasis kompetensi, (4)
dari program dasar yang sempit program dasar yang an luas, (5) sistem
pendidikan ke sistem yang luwes dan menganut prinsip multy entry, multy
exit, (6) ke sistem yang mengakui keahlian yang diperoleh dari manapun,
(7) ke sistem baru yang mengintegrasikan pendidikan dan pelatihan
kejuruan secara terpadu, (8) dari sistem terminal ke sistem berkelanjutan:
(9) dari manajemen terpusat ke pola manajemen mandiri (prinsip
desentralisasi): (10) pembiayaan ke swadana dengan subsidi pemerintah
pusat (Wardiman, 1998:69).
Link and match merupakan jembatan antara dunia pendidikan dan
dunia industri, dimana dunia pendidikan sebagai penyedia sumber daya
manusia yang memiliki keterampilan-keterampilan yang sesuai kebutuhan
dunia industri ataukah sumber daya manusia yang dipersiapkan untuk
kebutuhan pembangunan bangsa yang akan datang. Jembatan ini dibangun
dengan kerjasama yang harus kuat antara pihak dunia pendidikan dan pihak
dunia industri. Kebijakan Link and Match merupakan alat atau wahana
untuk membangun kemitraan dengan industri dalam menentukan prioritas
serta menyusun bentuk dan materi program-program pendidikan dan
pelatihan kejuruan (Depdikbud, 1997).
Program link and match di Indonesia banyak mengacu pada
program dual sistem yang diselenggarakan di Jerman. Federal Ministry 0f
Education and Research (2003:4) Jerman menjelaskan bahwa dalam sistem
ganda, kombinasi belajar dan bekerja memberikan dasar dalam mengajar
keterampilan kejuruan. Lingkungan belajar yang berbeda melibatkan
perusahaan dan sekolah kejuruan berinteraksi dan membagi tugas dengan
penekanan yang berbeda, tetapi tetap fleksibel, dimana sekolah tidak hanya
memberikan pemahaman teori, dan di industri tidak hanya memberikan
pelatihan, namun lebih dari itu semua. Dalam ujian akhir, peserta harus
menunjukkan bahwa mereka telah memperoleh dan menguasai
keterampilan yang diperlukan (dari industri), baik berupa pengetahuan
praktis maupun teoretis. Negara mengatur kerangka kerajsama antara
industri dan sekolah. Spesialisasi bidang diijinkan untuk diajarkan, tapi
menjadi pelengkap kualifikasi dasar setiap pekerjaan yang diminta.
UNEVOC (2010:1) mendeskripsikan, “Dual Education System it
called "dual" because icombines apprenticeships In 4 company and
vocational education at a vocational school In one course," Pendidikan
dual system disebut "dual" karena adanya kombinasi kegiatan
magang/pelatihan/pembelajaran di industri dan pendidikan vokasi pada
sekolah vokasi dalam satu pelajaran. Di industri, peserta magang akan
mendapatkan pelatihan praktik sebagai tambahan dari pembelajaran teori
yang didapatkan di sekolah. Selain itu, dijelaskan bahwa Dual system di
Jerman sangat berkembang pesat dan menjadi penopang pendidikan vokasi
karena diselenggarakan berdasarkan konsep di dunia kerja: suatu pekerjaan
yang membutuhkan pelatihan formal sebaiknya berorientasi pada kelompok
kualifikasi yang relevan dengan proses kerja di dunia kerja.
Permasalahan Link and Match bukanlah hal yang mudah, negara
lain yang sudah maju sekalipun masih menghadapi masalah antara keluaran
dari pendidikan dengan kebutuhan dunia industri, hanya saja mereka
berusaha setiap tahun memperkecil kesenjangan tersebut dengan
mengevaluasi dan memperbaiki sistem pendidikan yang dijalankan. Di
Jepang kendala yang dihadapi terkait dengan penempatan tenaga kerja,
yang kemudian diatasi dengan memberikan kesempatan bagi pencari kerja
angkatan muda untuk melaksanakan program magang di industri atau pada
Usaha Kecil Menengah (UKM), melalui program tersebut, peserta diberi
uang saku yang memadai dan mampu meningkatkan keterampilan bekerja
mereka. Sedangkan di Jerman, Pemerintah memberikan kewenangan yang
cukup besar kepada KADIN (Kamar Dagang dan Industri) untuk membuat
kurikulum, menyediakan tempat magang, menyediakan materi ajar, trainer
atau pengajar, dan juga assesornya (Iftida, 2009:1). Dengan program
magang di industri, peserta akan memiliki kesempatan untuk belajar lebih
banyak dan menggunakan peralatan dan kebutuhan perusahaan yang up 10
date yang sekaligus meningkatkan keterampilan mereka terutama bagi
mereka yang masih belajar.
Di Australia, konsep Link and Match dikenal dengan
apprenticeships yang merupakan program magang bagi yang masih sekolah
maupun yang telah tamat. DEEWR (2011: 1) menjelaskan tujuan program
magang insentif di Australia adalah “... to develop a more skilled
Australian workforce that delivers long-term benefits for our nation and
our international competitiveness.” untuk lebih mengembangkan
keterampilan angkatan kerja Australia yang akan menghasilkan keuntungan
jangka panjang bagi bangsa dan daya saing internasional. Australia telah
mempersiapkan angkatan kerjanya menghadapi globalisasi melalui
program magang yang tidak hanya berlatih keterampilan, tetapi juga diberi
insentif sebagai peserta magang.
Pelaksanaan Link and Match di Mesir menurut Abou-Zeid, Bode &
Sayed (1999: 64) dilakukan dengan memperkuat kemitraan antara sekolah
teknik dan industri/pabrik dengan pemberian teori di sekolah dan
pengalaman praktik di seminggu, peserta didik belajar teori selama 2 hari di
industri/pabrik. Dalam sekolah dan belajar praktik 4 hari di industri sesuai
bidang keahliannya. Dual system yang dikembangkan di Mesir saat ini
diarahkan pada: a) penekanan pada profesi yang disesuaikan dengan
kebutuhan indutri dalam mendukung ertariikian ekonomi Mesir: b)
berorientasi perdagangan dalam artian bahwa teori dan praktik yang
dilakukan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik dalam
keahlian yang diinginkan: dan c) berpartisipasi meningkatkan pendidikan
melalui peningkatan kualitas fasilitas laboratorium, peningkatan
pengetahuan dan kualifikasi instruktur, dan memperkenalkan metode
pembelajaran yang lebih baik.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip
utama dari program Link and Match adalah bagaimana cara agar peserta
didik mendapatkan pengalaman belajar maupun bekerja yang seperti halnya
aktivitas yang ada pada dunia kerja nyata sehingga peserta didik dapat
memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup sebelum memasuki dunia
kerja. Pengembangan modelmodel pembelajaran yang berorientasi pada
pengalaman belajar pada dunia kerja nyata menjadi aspek penting bagi
proses pembelajaran pada pendidikan vokasi.
6. Pembelajaran pada Tugas Akhir
Pembelajaran pada TA merupakan salah satu inti dari pendidikan D3 TS.
Mengkonstruk sendiri pengetahuan yang diperoleh, pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik, dan memberikan kemandirian peserta didik
dalam belajar menjadi aspek penting pada pelaksanaan tugas akhir.
Beberapa hal yang melandasi pembelajaran pada pendidikan vokasi,
terutama dalam menyelesaikan tugas akhir antara lain adalah:
a. Teori Belajar Konstruktivis
Proses belajar dan pembelajaran pada pendidikan vokasi banyak
mengacu pada teori belajar konstruktivis yang didasarkan pada filsafat
konstruktivisme£. Pendidikan Vokasi yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat memiliki keterampilan tertentu dan mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan bidangnya merupakan suatu perekat yang
menghubungkan antata pendidikan vokasi dengan filkatat konstruktivis.
Von Glaserifeld dan Piaget berpendapat bahwa pengetahuan itu
adalah bentukan (konstruksi) dari orang yang, menekuninya. dan
berjalan terus menerus setiap kali muncul pemahaman baru, Teori
perkembangan mental Piaget merupakan sulah satu teori yang sangat
berkaitan dengan teori belajar konsiruktivis terutama yang terkait
dengan konstruktivisme personal (Suparno, 2007:810). Teori tersebut
berkaitan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam
tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa, setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi — dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi — ilmu pengetahuan. Kemampuan
kognitif anak dikonstruksikan melalui kegiatan motivasi diri dalam
dunia nyata (Ruseffendi, 1988:132).
Pandangan Piaget tentang perkembangan kognitif anak dapat
dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak
mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual
anak. Dampak teori pembelajaran, yaitu: (a) memusatkan perhatian
kepada Piaget dalam proses berpikir atau proses mental anak sehingga
tidak sekedar focus pada hasil tetapi juga prosesnya, (b) mengutamakan
peran peserta didik dalam berinisiatif sendiri, keterlibatan aktif dalam
pembelajaran, (c) menghargai perbedaan individual sehingga kegiatan
pembelajaran dapat diatur dalam Kelompok kecil, dan (d) peran
pendidik mempersiapkan lingkungan yang memungkinkan peserta didik
dapat memperoleh pengalaman yang luas. memun.
Vyzotsky (1978) berpendapat bahwa sebaiknya pesertu didik
diberi tantangan yang setingkat, atau sedikit di atas perkembangannya
pada saat itu. Berbekal pengalaman sukses sepenuhnya dalam
menuntaskan lugas yang menantang, peserta didik memperoleh
kepercayaan diri dan motivasi untuk menaklukkan tantangan baru yang
lebih besar. Selain daripada hal tersebut, Gredler (1997) menekankan
pentingnya latar belakang dan budaya peserta didik yang
membangkitkan keberanian untuk sampai pada kebenaran versi masing-
masing, yang dipengaruhi oleh latar belakangnya, budaya atau
lingkungannya. Perkembangan historis atau sistem simbol, seperti
bahasa, logika, dan sistem matematika, merupakan faktor bawaan dari
peserta didik sebagai anggota dari budaya tertentu dan hal ini dipelajari
sepanjang hidupnya. Seseorang telah belajar ketika mereka
mengkonstruksi interpretasi baru berdasarkan lingkungan social,
budaya, fisik, dan intelektual mereka (Dick , Carey & Carey, 2005:4)
Konstruktivisme sosial dikembangkan oleh Vygotsky dengan
ankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain yang memiliki
pengetahuan yang lebih baik dan sistem yang secara kultural telah
berkembang dengan baik (Cobb, 1996). Konstruktivisme sosial bukan
hanya memahami keunikan dan kompleksitas peserta didik, namun juga
membangkitkan. memanfaatkan dan memberikan penghargaan pada
keduanya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran (Wertsch,
1997).
Teori belajar konstruktivisme modern secara umum menyatakan
bahwa peserta didik harus secara pribadi menemukan dan menerapkan
informasi peserta yang kompleks kemudian mengecek informasi baru
dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila
tidak sesuai lagi (Upi, 2007). Giaa oi L i 7) Hakikat dari teori
konstruktivisme adalah pendapat yang mengatakan bahwa peserta didik
harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri (Nur & Prima, 2000).
Belajar menurut pandangan kaum konstruktivis merupakan proses aktif
peserta didik dalam mengkonstruksi arti/makna dari sesuatu baik itu
teks, dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Selain itu, belajar juga
merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan sesuatu yang
dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki sehingga
pengertiannya dapat dikembangkan (Suparno, 2007:61). Ide utama teori
konstruktivistik menurut Hamzah (2008:1) adalah: a) peserta didik
secara aktif membangun pengetahuannya sendiri, b) agar benar-benar
dapat memahami dan dapat menerapkan pengetahuan peserta didik
harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk
dirinya sendiri, c) belajar adalah proses membangun pengetahuan bukan
dan d) belajar adalah proses membangun penyerapan atau absorbsi,
pengetahuan yang selalu diubah secara berkelanjutan melalui asimilasi
dan akomodasi informasi baru.
Beberapa konsep mendasar yang dimunculkan dalam
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis (Mohammad dkk,
2000:5) antara lain: 1) Scaffolding, menurut Vygotsky konsep
scaffolding memberikan sejumlah bantuan kepada peserta didik selama
tahap-tahap awal pembelajaran dan mengurangi bantuan serta
memberikan kesempatan kepada peserta didik tersebut untuk
mengambil alih tanggung jawab yang besar setelah ia dapat
melakukannya: 2) Proses Top Down, ini berarti peserta didik memulai
dengan masalah kompleks untuk dipecahkan dan memecahkan atau
menemukan ketrampilan dasar yang diperlukan, 3) Zone of Proximal
Development (ZPD), yaitu kemampuan memecahkan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sejawat yang lebih mampu, dan 4)
Pembelajaran kooperatif, menurut Vygotsky perlunya kelas berbentuk
kooperatif antar peserta didik, sehingga dapat berinteraksi dalam
menyelesaikan tugas serta memunculkan strategi pemecahan masalah
yang lebih efektif di dalam masing-masing zone of. 'proximal
development mereka. Pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja
atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas
tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya, atau berada dalam
zone of proximal development yang berarti perkembangan kemampuan
peserta didik yang diperoleh di atas kemampuan yang sudah dimiliki.
Von Glasersfeld (Prawat and Floden, 1994) menekankan agar
peserta didik mengkonstruksi pemahamannya Sendiri dan tidak hanya
sekedar Meniru dan melakukan begitu saja yang ia baca. Ketika tiada
informasi yang lengkap. peserta didik mencari kebermaknaan dan
memiliki kemauan untuk engKap, mencoba menemukan keteraturan
dan pola kejadian-kejadian di dunia nyata. Asumsi penting lain
mengenai keadaan alami peserta didik berkenaan dengan tingkatan dan
sumber motivasi belajar.
Driver dan Bell (Susan, Marilyn & Tony, 1995: 222)
mengemukakan aa karakteristik anak dan lingkungan belajar
konstruktivistik adalah: (1) peseria didik tidak dipandang sebagai
sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar
mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan peserta
didik, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan
dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5)
kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat
pembelajaran, materi, dan sumber. Sementara Meyer (Neo & Kian,
2003: 14) menjelaskan bahwa pendekatan konstruktivis dalam
pembelajaran menjelaskan proses pembelajaran dimana peserta didik
bekerja secara individu maupun kelompok kecil dalam mengeksplorasi,
menyelidiki dan memecahkan masalah otentik dan aktif terlibat mencari
pengetahuan dan informasi daripada menjadi penerima pasif seperti
pada pembelajaran rpusat pada pendidik. Dari beberapa pandangan di
atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
peserta didik dalam mengorganisasi pengalaman mereka, bukan
kepatuhan peserta didik mengorganisasikan pengalaman mereka, bukan
kepatuhan peserta didik dalam refleksi atas apa yang telah
diperintahkan dan dilakukan oleh tenaga pendidik.
Santyasa (2005:4) menyatakan bahwa menurut paradigm
konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan pemecahan
masalah, mengembangkan onsep, konstruksi solusi dan algoritma
ketimbang menghafal Prosedur dan menggunakannya untuk
memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran lebih dicirikan oleh
aktivitas eksperimentasi, pernyataan-pernyataan, investigasi, hipotesis,
dan model-model yang dibangkitkan oleh peserta didik sendiri.
b. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (PBPD)
Pendekatan konstruktivisme dalam implementasinya melahirkan
pendekatan Siudeni Centered Learning yaitu pembelajaran yang
berpusat pada peseria didik (PBPD). Cannon (Ingleton, et al., 2000: 3)
menyebutkan bahwa:
Student-cenired learning describes ways of ihinking about learning
and teaching ihat emphasise student responsibilisy for such activities
as planning learning, interacting with teachers and other studenis,
researching, and assessing learning.
PBPD menggambarkan cara berpikir mengenai pembelajaran
dan pengajaran yang menekankan pada tanggung jawab peserta didik
pada aktivitas belajar seperti perencanaan belajar, interaksi dengan
pendidik dan teman sejawat, penelitian, dan penilaian pembelajaran.
Tanggung jawab dan kebebasan yang diberikan kepada peserta didik
membantu untuk membangun karakteristik dari peserta didik sepanjang
hayat seperti evaluasi diri, manajeman waktu, dan keterampilan
mengakses berbasis masalah merupakan salah satu contoh dari
motivasi, informasi. Pembelajaran pembelajaran yang berpusat pada
peserta didik di perguruan tinggi.
Lea, et al (O’Neill & McMahon, 2005:3) menyimpulkan
beberapa definisi dari PBPD, yaitu: 1) “the reliance on active rather
than passive learning”. Ketergantungan pada pembelajaran yang aktif
dari pada pasif: 2) an emphasis on deep learning and understanding.
Penekanan pada pembelajaran dan pemahaman yang mendalam: 3)
increased responsibiliry and accountability on the part of ihe student.
Peningkatan tanggung jawab dan kepercayaan setiap peserta didik: 4)
an increased sense of autonomy in the learner. Peningkatan rasa
kemandirian peserta didik: 5) an interdependence between teacher and
learner. Saling ketergantungan antara pendidik dan peserta didik: 6)
mutrual respect within the learner teacher relationship. Hubungan
saling menghormati antara pendidik dan peserta didik, 7) a reflexive
approach to the teaching and learning process on ihe partof both
teacher and learner. Pendekatan reflektif pada proses pembelajaran
bagi pendidik dan peserta didik.
Geven (2010:3) menjelaskan: “student centred learning is
therefore about seeing students as active participants' in the classroom,
as pariners who contribute to reaching the reguired outcomes 0f a
course or programme," PBPD terkait dengan pandangan terhadap
peserta didik sebagai peserta yang aktif di dalam kelas sebagai mitra
yang berkontribusi dalam pencapaian hasil belajar yang diinginkan. Hal
ini menunjukkan pahwa proaktif dari peserta didik menjadi hal yang
utama dalam proses embelajaran untuk mencapai hasil belajar yang
maksimal.
Neo & Kian (2003:2) menjelaskan bahwa pada PBPD, peserta
didik memainkan peran aktif dalam proses belajar mereka dan menjadi
peserta didik mandiri yang terlibat aktif dalam membangun pemahaman
baru dalam konteks pengetahuan, pengalaman, dan lingkungan sosial
mereka. Peserta SINI Al, Sina membangun pengetahuan mereka
melalui pemecahan masalah yang nyata dan selalu bekerja sama dengan
orang lain.
Ingleton, et al. (2000: 6) memberikan beberapa alasan mengapa
PBPD menjadi perhatian penting pada pendidikan tinggi, yaitu: a)
Mass: yakni perguruan tinggi tidak hanya melayani peserta didik dari
golongan ekonomi atas, b) Diversity. jumlah keberagaman peserta
didik, baik lokal maupun internasional: c) Competition: kompetisi
dalam penerimaan peserta didik, d) Employment: kebutuhan akan
lulusan yang memiliki keterampilan dan pekerjaan yang umum, e)
Information explosion: akses informasi dan pengetahuan yang luas,
cepat, dan dapat diakses dimana saja, f) Research: berbagai penelitian
yang berkembang terkait dengan bagaimana peserta didik belajar, dan
g) Practice: dampak yang kuat dari nilai-nilai dan praktis yang
membentuk peserta didik dalam belajar.
UNESCO merekomendasikan dilakukannya perubahan
pendidikan tinggi yang bersifat mendasar dengan empat perubahan
besar di pendidikan tinggi, yaitu (i) learning to know, (ii) learning to do
yang bermakna pada penguasaan kompetensi. (iii) learning to live
together (withothers), dan (iv) learningto be, serta belajar sepanjang
hayat (learning throughoutlife).
Selain itu, direkomendasikan adanya pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik. Beberapa langkah Yang diambil untuk
menggantikan metode pembelajaran konvensional dengan berbagai
strategi, teknik dan kegiatan berada di bawah paying pembelajaran yang
bersumber dan berpusat pada peserta didik PE (APEID, 1992: 27). Hal
ini membawa konsekuensi bahwa proses pembelaiaran harus
berorientasi pada pencapaian kompetensi. Pendidik dituntut memiliki
kemampuan merancang pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi
dan karakteristik peserta didik. Pendekatan pembelajaran berbasis
kompetensi menuntun proses pembelajaran secara langsung berorientasi
pada kompetensi atau satuan-satuan kemampuan (Mukminan, Waras &
Herminarto, 2008). Untuk itu diperlukan adanya perubahan desain
kurikulum yang berisi pernyataan seperangkat kompetensi.
Santyasa (2005: 3) menambahkan beberapa perubahan tatanan
pembelajaran antara lain: 1) kecenderungan bergesernya orientasi
pembelajaran dari teacher centered menuju student centered, 2)
kecenderungan pergeseran dari content-based curriculum menuju
competency-based curriculum, 3) perubahan teori pembelajaran dan
asesmen dari model behavioristik menuju model konstruktivistik, 4)
perubahan pendekatan teoretis menuju kontekstual, 5) perubahan
paradigma pembelajaran dari standardization menjadi customization, 6)
dari evaluasi dengan paper and pencil test yang hanya mengukur
convergen thinking menuju opened question, performance assessment,
dan portfolio assesment. Perbedaan pembelajaran dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan antara Teacher Centered Learning dan Student
Centered learning

No TRADITIONAL TEACHING NEW LEARNING (Student


(Teaching Centre Learning)
Centre Learning)
Transformasi pengetahuan dari Mahasiswa aktif mengembangkan
1. dosen ke Mahasiswa. pengetahuan dan keterampilan yang
dipelajari.
2. Mahasiswa menerima Mahasiswa secara aktif terlibat
pengetahuan secara pasif. dalam mengelola pengetahuan
Lebih menekankan pada Tidak terfokus hanya pada
3. penguasaan materi penguasaan materi tetapi juga
mengembangkan sikap belajar (life
long learning)
4. Single Media. Multimedia.

5. Fungsi dosen pemberi informasi Fungsi dosen sebagai motivator,


utama dan evaluator fasilitator dan evaluator
Proses pembelajaran dan Proses pembelajaran dan penilaian
6. penilaian dilakukan terpisah dilakukan berkesinambungan dan
terintegrasi.
Menekankan pada jawaban yang Penekanan pada proses
7. benar saja pengembangan pengetahuan.
Kesalahan dapat digunakan sebagai
sumber belajar
8. Sesuai dengan pengembangan Sesuai dengan pengembangan ilmu
ilmu dalam satu disiplin saja. dengan pendekatan interdisipliner.
9. Iklim belajar individual dan Iklim yang dikembangkan bersifat
kompetitif. kolaboratif, suportif dan kooperatif.
Hanya mahasiswa yang dianggap Mahasiswa dan dosen belajar
10. melakukan proses pembelajaran. bersama dalam mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan.
Perkuliahan merupakan bagian Mahasiswa melakukan
11. terbesar dalam proses pembelajaran dengan berbagai
pembelajaran. model pembelajaran SCL.
12. Penekanan pada tuntasnya materi Penekanan pada pencapaian
pembelajaran kompetensi mahasiswa
Penekanan pada bagaimana cara Penekanan pada bagaimana cara
13. dosen melakukan pembelajaran mahasiswa melakukan
pembelajaran
14 Cenderung penekanan pada Penekanan pada pengusaan Hard
penguasaan Hard-Skill Mahasiswa Skill dan Soft Skill
Sumber: Abdulaziz (2013)

Dalam mengatasi hambata perihal peran, langkah yang harus


dilakukan pendidik adalah mengurangi hal-halyang biasa dilakukan
seperti: ceramah, mengorganisasikan materi pelajaran, membuat
contoh, menjawab pertanyaan, merangkum diskusi, dan memecahkan
permasalahan. Dengan kata lain pendidik perlu mengulangi pengalaman
proses belajarnya sendiri dan menempatkan diri sebagai peserta didik,
sehingga peserta didik dapat mengalami proses belajar yang menarik
dan menyenangkan (Doyle, 2006). Untuk itu, yang harus lebih banyak
dilakukan adalah mendisain aktivitas dan tugas, memperbolehkan
peserta didik menemukan sendiri dan belajar di antara sesamanya, dan
menciptakan suasana belajar aktif dalam kelas:
Dalam rangka peningkatan kualitas proses pembelajaran,
perguruan tinggi perlu secara kreatif mengembangkan konsep-konsep
pendidikan baru yang lebih komprehensif sekaligus kompetitif. Hal ini
dapat dilakukan dengan pembaharuan metode pembelajaran yang lebih
fleksibel, menempatkan peserta didik sebagai subjek (student-centered
learning), dibandingkan sebagai objek pendidikan (Dikti, 2004).
Perubahan pemikiran bahwa peserta didik secara aktif
membentuk pengetahuanya sendiri dikenal sebagai pemikiran
konstruktivisme. Pendekatan konstruktivisme tersebut dalam
implementasinya melahirkan pendekatan Student Centered Learning
(SCL) yaitu pembelajaran yang erta didik. John Dewey menyatakan
bahwa pembelajaran sejati adalah lebih berdasar pada penjelajahan
terbimbing dengan pendampingan daripada sekedar transmisi
pengetahuan.Metode ini biasa disebut sebagai pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik, dimana pendidik/dosen tidak lagi menjadi
pengajar tetapi menjadi fasilitator.
Froyd & Simpson (2010: 2) mengemukakan beberapa
pendekatan pembelajaran yang dikemukakan oleh berbagai ahli
pendidikan dan umumnya digunakan dalan melaksanakan PBPD, di
antaranya adalah: a) active learning, 3, b) collaborative learning, c)
Inguiry-based learning, d) cooperative learning, e) problem-based
learning, f) peer led team learning, g) team-based learning, h) peer
instruction, i) inguiry guided learning, j) just-in-time teaching: k) small
group learning, I) projeci-based learning, and m) guestion-directed
instruction.
Dari seluruh pendapat yang dijelaskan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
(PBPD) merupakan pembelajaran yang memberikan kebebasan pada
peserta didik dalam mencapai hasil belajar yang ditetapkan. Kebebasan
yang diberikan tetap berada dibawah pengawasan guru maupun dosen
yang berperan sebagai fasilitator dan mediator bagi peserta didik dalam
mencapai tujuan yang akan dicapai.
c. Pembelajaran Mandiri (Self-directed learning)
Gibbons (2005: 2) menjelaskan, “self-directed learning is any
increase in knowledge, Skill, accomplishment, Or personal
development that an individual selects and bring about by his or her
own efforts using any ihod in any circumstances at any time."
Pembelajaran mandiri (PM) merupakan setiap peningkatan
pengetahuan, keterampilan, prestasi, maupun pengembangan diri yang
dipilih dan dilakukan seseorang atas usahanya pengemban ide, berbagai
kondisi dan dilakukan kapan saja. Pengertian ini menunjukkan bahwa
PM terkait dengan motivasi internal dari seseorang untuk
mengembangkan dirinya baikdalam aspek pengetahan meupun
keterampilan pada situasi apapun.
Kuowles (1975 ) berpendapat bahwa pembelajaran mandiri
(PM) terdiri dari berapa komponen dasar yang g ili i yang ada pada
berbagai literatur, Seperti: students initiate the 1earning, determine
needs, set goals for learning, select strategies and evaluate learning
outcomes, Sementara Mezirow (1985) menyatakan bahwa PM adalah ".
. the capacity of adults for critical self reflection and for changing their
lives." Yakni kapasitas orang dewasa dalam merefleksikan diri secara
kritis dan untuk merubah kehidupan mereka. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa PM merupakan kekuatan internal yang mendorong
seseorang untuk mengasimilasi, mensintesis, dan menginternalisasi
informasi baru, memberikan keadaan dimana mereka menemukan atau
berharap menemukan dirinya sendiri.
Hiemstra (1998: 7) menjelaskan beberapa hal yang terkait self-
direction in learning, antara lain: a) peserta didik secara pribadi dapat
berkuasa dalam meningkatkan tanggung jawabnya dalam berbagai
keputusan yang berkaitan dengan usaha belajarnya, b) pengarahan diri
akan tampak sangat baik bagai rangkaian atau karakteristik yang ada
pada beberapa tingkatan pada setiap orang dalam situasi pembel ajaran,
c) pengarahan diri tidak perlu berarti bahwa seluruh pembelajaran akan
dilakukan dengan mengisolasi diri dari yang lain, d) pengarahan diri
peserta didik dapat muncul dalam mentransfer pembelajaran, seperti
halnya mempelajari pengetahuan dan keterampilan darisatu situasi ke
situasi yang lain, e) belajar mengarahkan diri dapat melibatkan berbagai
aktivitas dan sumber daya, seperti buku petunjuk, partisipasi dalam
kelompokbelajar, megang, dialog dengan elektronik, dan , menulis
artikel, f) peran efektif pendidik dalam pembelajaran Pengarahan di
Barahan diri dapat dimungkinkan seperti dialog derigan peserta didik,
menjamin adanya sumber daya, mengevaluasi dampak, dan
memperkenalkan cara berpikir kritis, dan g) sejumlah lembaga
pendidikan menemukan berbagai cara dalam mendukung cara belajar
pengarahan diri melalui program pembelajaran terbuka, pilihan belajar
individual, penawaran kuliah non-tradisional, pembelajaran jarak jauh,
dan berbagai inisiatif program lainnya.
Mengajar pada PM membutuhkan kumpulan instruksional yang
professional termasuk keterampilan pelatihan, melatih, mengarahkan,
dan membimbing. Hal ini menunjukkan perubahan pandangan dalam
pemikiran tentang pengajaran dan pembelajaran. Peserta didik secara
bertahap mengambil alih kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh
guru sampai pada perencanaan aktivitas pembelajaran mereka sendiri.
Peran guru ditransformasikan kepada peserta didik dan keaktifan
peserta didik menjadi lebih penting dan lebih dibutuhkan.
Light, Cox & Calkins (2009: 164) menjelaskan bahwa
penggunaan PM dan tambahan meta-skills(belajar bagaimana belajar
dan transfer pembelajaran pada konteks yang baru) merupakan aspek
penting dalam suatu proses pembimbingan. Pembelajaran keterampilan
meta kognitif fokus pada manajemen diri (self-management) dan apa
yang peserta didik lakukan pada konteks baru yang menjadi tujuan dari
universitas pembelajaran. Dengan self-directed learning, peserta didik
dapat mengembangkan diri iri iri i nya sendiri sesuai keinginan dan
kompetensi yang ingin dimilikinya.
PM memberikan instruksi langsung yang diikuti oleh kegiatan
orientasi pikiran yang memberikan tantangan kepada peserta didik
untuk dapat mengaplikasikan, mengeneralisasi dan menemukan
kembali pemahaman mereka (Biggs, Tang & Tang, 2007). Hal ini
seperti halnya dengan pembelajaran berbasis pengalaman, berbasis
masalah, dan berbasis penemuan dimana peserta didik didorong untuk
memunculkan pertanyaan kritis untuk merumuskan masalah dan
menguji solusi baru yang ditemukan.
Borich (Purnamawati, 2011:52) menjelaskan bahwa strategi PM
adalah metakognisi atau proses-proses mental yang membantu peserta
didik untuk merefleksikan cara berpikirnya melalui internalisasi,
pemahaman, dan pengingatan kembali isi pembelajaran. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa PM adalah pembelajaran yang
memberikan kebebasan kepada peserta didik dengan menggunakan
strategi metakognitif untuk membantu pengembangan diri dan
mencapai kompetensi yang diharapkan.
d. Pembelajaran Berbasis Proyek (PBP)
1) Pengertian
PBP atau Project Based Learning (PBL) merupakan sebuah
belajaran yang sudah banyak dikembangkan di Negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Australia, Eropa, dan beberapa negara di
Asia. Bell (2010:40) menyatakan, “PBL promotes social learning as
children practice and become proficient with the twenty-first-
century of communication, negotiation, and collaboration”PBP
memperkenalkan praktik belajar sosial kepada anak-anakdan pada
akhirny akan mahir dengan keterampilan abad 21 seperti
keterampilan komunikasi, organisasi, dan kolaborasi.
Thomas (2000: 1) menggambarkan bahwa definisi PBP
seperti yang tertuang di dalam PBL Handbook adalah:
projects are complex tasks, based on challenging guestions Or
problems, that involve students in design, problem-solving, decision
making, or investigative activities: give students the opportunity to
work relatively autonomously over extended periods of time, and
culminate in realistic products or presentations.
Secara garis besar dapat diartikan bahwa PBP merupakan
tugastugas yang kompleks yang didasarkan pada pertanyaan yang
menantang atau masalah yang melibatkan peserta didik dalam
merencanakan, memecahkan masalah, mengambil keputusan, atau
kegiatan investigasi, memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk dapat bekerja ara mandiri dalam kurun waktu tertentu, dan
menghasilkan produktasi. Dari definisi tersebut di atas, Moursund
memasukkan materi dan penilaian yang otentik, guru Sebagai
fasilitator dalam mencapai tujuan pendidikan dengan jelas.
Sementara Diehl, Grobg, Lopez, & Cabral menambahkan adanya
pembelajaran kooperatif, refleksi, dan beberapa keerampilan orang
dewasa.
Cord (2010:1) menjelaskan, “project-based learning is a
teaching and learning strategy that engages in complex activities”.
PBP merupakan strategi beajar mengajar yang meibatkan peserta
didik ke dalam aktivitas ya yang kompleks.Kegiatan ini dilakukan
dalam beberapa hapan dan tahap: Waktu tertentu dalam kerja
kelompok.Proyek dapat berupa pengembangan produk atau
penampilan, dan umumnya rancangan, investigasi. gasi,
pemecahkan masalah, dan sintesis informasi dilakukan sendiri oleh
peserta didik.
Buck Institute fo Education (BIE) (2010:4) mendefinisikan
PBP sebagai:
Systematic teaching method that engages students in learning
knowledge and skills through an extended inguiry — process
Siructured around complex, authentic guestions and carefully
designed products and tasks.
PBP merupakan metode pengajaran sistematis yang
menyatukan peserta didik dalam pembelajaran pengetahuan dan
keterampilan melalui struktur proses penyelidikan yang lebih luas
dan kompleks, pertanyaan yang nyata dan perencanaan tugas dan
produk secara hatihati. Selanjutnya BIE (2011:1) menjelaskan
bahwa dalam PBP, peserta didik melewati proses penyelidikan
yang luas dalam menjawab pertanyaan, masalah atau tantangan
yang kompleks. Ketika peserta didik diberikan kebebasan berbicara
dan memilih, proyek yang tepat direncanakan, diatur, dan dinilai
dengan baik untuk membantu peserta didik mempelajari kunci dari
materi akademik, mempraktikkan keterampilan abad 21 (Seperti
komunikasi, kolaborasi, dan berpikir kritis) dan menciptakan
kualitas yang tinggi, produk dan presentasi yang asli.
Blumenfeld (Saripudin 2009:180) berpendapat, “Project
based learing is a comprehendive prespective focused on teaching
by engaging students in investigations”. PBP adalah pandangan
kompreten-sif yang fokus pada pengajara dengan melibatkan didik
di dalam investigasi, Hadgraft (2009:4) menjelaskan bahwa PBP
merupakan pusat dari belajar yang berasal dari proyek kerja Mala
Pembelajaran yang terjadi lebih penting daripada solusi dari
pekerjaan proyek. Pada PBP, peserta didik akan menghabiskan
waktu belajar dengan melakukan: a) identifikasi apa yang ingin
diketahui, b) mencari informasi, data, dan yang lainnya dari
berbagai sumber, c) saling bertukar pikiran dengan teman yang
lain, dan d) menerapkan pengetahuan baru pada proyek. Karena itu,
tujuan utama dari PBP bukan menyelesaikan proyek tetapi proses
pembelajaran.
The George Lucas Educational Foundation (Rais, Mustari
& Farida, 2009) mendeskripsikan pengertian PBP adalah 1) PBP
merupakan isi kurikulum dan berbasis standar. Melalui project
based learning, proses inguiry dimulai dengan memunculkan
pertanyaan penuntun (a guiding guestion) dan membimbing peserta
didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan
berbagai subjek (materi) dalam kurikulum, 2) PBP adalah model
pembelajaran yang menuntut pengajar dan atau peserta didik
mengembangkan pertanyaan penuntun (a guiding guestion). Hal ini
memungkinkan setiap peserta didik dapat menjawab pertanyaan
penuntun karena masing-masing peserta didik memiliki gaya
belajar yang berbeda: 3) PBP merupakan pendekatan pembelajaran
yang muntut peserta didik membuat “jembatan” yang
menghubungkan antar berbagai subjek materi. Melalui jalan ini,
peserta didik dapat melihat pengetahuan secara holistik dan
merupakan investigasi mendalam terkait dunia nyata: dan 4) PBP
merupakan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan
pemahaman. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian,
interpretasi dan mensintesis informasi melalui cara yang bermakna.
Bell (2010: 42) bahwa tugas-tugas yang ada di dunia kerja
nyata melibatkan seluruh keterampilan-keterampilan yang
diperlukan. Meskipun suatu proyek berdasarkan satu aspek
kurikuler, namun hal tersebut terkait dengan semua bidang studi
pada akademik yang tradisional.
Pentingnya PBP bagi peserta didik teknik dikemukakan
oleh Hiscocks (2010:1) dengan penekanan pada 2 aspek, yakni: 1)
belajar asik secara aktif melibatkan peserta didik pada proses
pembelajaran (student centered), dan hasilnya dalam meningkatkan
motivasi, diri peserta didik, dan 2) membandingkan tugas-tugas
doses praktik laboratorium yang dilakukan selama ini. PBP akan
mengajarkan beberapa keterampilan berbeda kepada pesertadidik,
seperti manajemen proyek, menejemen waktu, organisasi, kerja
tim, penelitian, upaya belajar, dan mengatasi gangguan.
2) Karakteristik
Buck Institute fo Educati sducation (2010), bahwa PBP
mengandung aktivitas: (a) peserta didik membuat keputusan, dan
membuat kerangka keria, (b) di dalamnya terdapat masalah yang
pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya, (c) peserta didik
merancang proses untuk mencapai hasil, (d) peserta didik
bertanggung jawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi
yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara kontinu, (f)
peserta didik secara teratur melihat kembali apa yang mereka
kerjakan, (g) yang hasil akhirnya berupa produk dan dievaluasi
kualitasnya, dan (h) kelas memiliki atmosfer yang memberi
toleransi kesalahan dan perubahan.
GlobalschoolNet (2010:1) menyebutkan beberapa
karakteristik dari PBP, yaitu: (a) peserta didik membuat keputusan
tentang sebuah kerangka kerja: (b) adanya permasalahan atau
tantangan yang diajukan kepada peserta didik, (c) peserta didik
mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau
tantangan yang diajukan, (d) peserta didik secara kolaboratif
bertanggung jawab untuk mengakses dan mengelola informasi
untuk memecahkan permasalahan, (e) proses berkala evaluasi
dijalankan secara kontinyu, (f) peserta didik secara berkala yang
sudah dijalankan, (g) produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi
secara kualitatif, dan (h) situasi pembelajaran sangat toleran
terhadap kesalahan dan perubahan.
Ada 5kriteria suatu pemelajaran disebut sebagai PBP menurut
Thomas (2004:4), yaitu (1) PBP merupakan inti dari kurikulum,
bukan sebagai pendukung, (2) PBP fokus pada pertanyaan dan
masalah yang mengantarkan peserta didik untukmendapatkan
konsep dan prinsip utama, (3) proyek melibatkan peserta didik
dalam pencairian secara konstruktif 4) proyek membawa peserta
didikpada peningkatan yang signifikan, (5) proyek yang dilakukan
sesuai dunia nyata.
Kriteria PBP menurut Thomas tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut: (l) P BP merupakan suatu kurikulum dimana
proyek merupakan strategi pembelajarannya; 2) proyek
mengarahkan peserta didik pada pencapaian keahlian yang
diharapkan; 3) proses yang terjadi merupakan proses yang langsung
pada tujuanmelalui transformasi dan pengembangan pengetahuan
baru oleh peserta didik; 4) proyek bukan merupakan kegiatan yang
kontinuitas dan melibatkan kemandirian peserta didik dałam
memilih proyek, bekerja tanpa pengawasan, dan bertanggung jawab
sendiri atas apa yang dikerjakan; dan 5) PBP melibatkan tantangan
kehidupan nyata dengan fokus pada karya nyata yang dapat
diterapkan untuk menyelesaikan persoalan.
Konsep PBP hampir sama dengan pembelajaran berbasis
masalah yang dikonsepsikan sebagai model pembelajaran yang
dapat menggiatkan semua peserta didik, strategi-strategi
pembelajarannya ideał untuk kelas yang heterogen dimana peserta
didik dapat bekerja kolaboratif untuk menyelesaikan masalah. PBP
juga membawa peserta didik ke orientasi interdisipliner karena
penyelesaian masalah seringkali memerlukan infonnasi dari
beberapa area akademik. Dengan mendorong peserta didik
mengarahkan aktivitas belajarnya sendin, dan dengan memberi
tanggung jawab yang lebih tinggi, dosen dengan P BP telah
menunjukkan kepada peserta didik bagaimana mereka menghadapi
tantangan diri sendiri dan belajar pada diri sendiri (Waras, 2008).
Santyasa (2006:11) mengemukakan bahwa PBP berfokus
pada konsep dan prinsip inti sebuah disiplin, memfasilitasi peserta
didik untuk berinvestigasi, pemecahan masalah, dan tugas-tugas
bermakna lainnya, berpusat pada peserta didik, dan menghasilkan
prodük nyata. Adapun karakteristik PBP, yaitu isi, kondisi,
aktivitas, dan hasil.
Sementara Choo (2010) menyebutkan terdapat 5 karakteristik
utama dari PBP, yaitu: l) berpusat pada peseıla didik; 2)
mengembankan keterampilan yang luas; 3) melibatkan proses
pembelajaran yang aktif; 4) menyebutkan pengetahuan dari modül
yang diberikan; dan 5) sering dilakukan dalam bentuk kerja
kelompok. Selanjutnya ditambahkan bahwa bentuk kegiatan PBP
dapat berupa: a) merancang dan membangung; b) menyusun
portofolio; c) penilaian dampak lingkungan; d) simulasi
manajemen; e) memproduksi dokumen tender; f) analisis prodük
atau menilai objek•, dan g) simuıasi stildi kasus di masyarakat.
Hadgaft (2009:4) mengemukakan bahwa PBP membeâkan
kesempatan kepada peserta didik dalam mengembangkan
keterampilan berupa: problem solving skills, thingking skills, team
work skills, time management skills, Information retrieval and
evaluation skills, Communication skills, dan Computing skills.
3) Pelaksanaan PBP
Langkah-langkah atau sintak PBP menurut The George
Lucas Educational Foundation (Sabar, 2008:7), yaitu: Tahap
pertama sintak PBP adalah "Starts With the Essential Question. "
Pembelajaran diawali dengan suatu pertanyaan mendasar.
Pertanyaan ini bias muncul dari dosen atau pun dari peserta didik
atau kolaborasi antara keduanya. Pertanyaan esensial inilah yang
akan menjadi sentral dalam PBP. Essential question pada PBP dapat
disetarakan dengan scientific question pada Scientific Method.
Proses Scientific Method juga diawali dengan munculnya suatu
pertanyaan ilmiah. Dengan demikian, tahap pertama sintak PBP
dapat memfasilitasi tahap pertama proses pembuatan proyek, yaitu
membuat pertanyaan ilmiah.
Tahap kedua sintak PBP adalah "Design a Plan for the
Project. " Pada tahap ini, peserta didik bersama-sama dosen secara
kolaboratif merencanakan sebuah proyek untuk menyelesaikan
pertanyaan yang telah dirumuskan pada tahap pertama. Agar tepat
dalam mendesain proyek, maka dilakukan penggalian informasi
yang terkait dengan pertanyaan. Proses ini dilakukan melalui
kepada narasumber, diskusi dengan dosen atau peserta didik Iain,
kajian literature berupa buku maupun searching diinternet. Apabila
informasi sudah cukup, maka dengan mudah peserta didik secara
kolaboratif dapat merancang suatu proyek. Aktivitas Design a Plan
for the Project pada PBP, dapat disetarakan dengan aktivitas
melakukan kajian teoretis (research), dan mengkonstruksi hipotesis
yang merupakan langkah kedua dan ketiga dalam Scientific
Method. Hal ini dikarenakan pada tahap Design a Plan for the
Project, peserta didik mengumpulkan berbagai informasi dari
berbagai sumber.
Tahap ketiga sintak PBP adalah "Creates a Schedule. " Pada
tahap ini, peserta didik membuat jadwal pelaksanaan proyek dan
sekaligus menjalankan proyek dibawah monitor dosen. Inti
pelaksanaan proyek dilakukan pada tahap ini. Peserta didik
melakukan observasi dan atau eksperimen dengan cara yang telah
didesain pada tahap sebelumnya.
Tahap keempat sintak PBP adalah "monitor the students and
the progress of the project." Pada tahap ini, peserta didik diberi
tanggung jawab untuk menjaga dan memonitor pekerjaannya.
Kegiatan yang ada didalamnya adalah: mengajarkan peserta didik
agar belajar kooperatif, mendesain peraturan dalam kelompok,
menyiapkan sumber-sumber bacaan dan membuat petunjuk proyek,
dan menilai proses melalui tim kreatif dan rubrik proyek.
Tahap kelima sintak PBP adalah "Assess the Outcome, " yang
dapat dimaknai sebagai keseluruhan hasil (produk) selama aktivitas
menjalankan proyek. Dengan demikian, tahap ini dilakukan setelah
proyek selesai dijalankan. Outcome dinilai untuk membantu dosen
dalam mengukur ketercapaian standar kompetensi, mengetahui
kemajuan masing-masing peserta didik, memberi umpan balik
tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, dan
membantu dosen dalam menyusun strategi pembelajaran
berikutnya. Penilaian terhadap outcome merupakan aktivitas
menganalisis produk dari proyek yang sudah dijalankan peserta
didik. Apakah hasil observasi dan atau eksperimen sudah dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan yang dimunculkan pada
bagian awal pembelajaran atau belum?. Jika sudah, maka peserta
didik telah mampu menyimpulkan inti persoalan adanya proyek.
Tahap keenam sintak PBP adalah "Evaluate the
Experiences”. Pada akhir proses pembelajaran, dosen dan peserta
didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang
sudah dijalankan. Pada tahap ini, peserta didik diminta untuk
mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan
proyek. Dosen dan peserta didik mengembangkan diskusi dalam
rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran sehingga
pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk
menjawab pennasalahan yang diajukan pada tahap pertama
pembelajaran.
Santyasa (2006: 12) mengemukakan lima langkah utama
pelaksanaan model PBP, yaitu:
a) Menetapkan tema proyek. Tema proyek hendaknya memenuhi
indikator-indikator berikut: (1) memuat gagasan umum dan
orisinil, (2) penting dan menarik, (3) mendeskripsikan masalah
kompleks, (4) mencerminkan hubungan berbagai gagasan, (5)
mengutamakan pemecahan masalah ill defined.
b) Menetapkan konteks belajar. Konteks belajar hendaknya
memenuhi indikator-indikator berikut: (l) Pertanyaan-
pertanyaan proyek mempersoalkan masalah dunia nyata, (2)
mengutamakan otonomi peserta didik, (3) Melakukan inquiry
dalam konteks masyarakat, (4) Peserta didik mampu mengelola
waktu secara efektif dan efesien, (5) Peserta didik belajar penuh
dengan kontrol diri, (6) Mensimulasikan kerja secara
profesional.
c) Merencanakan aktivitas-aktivitas. Pengalaman belajar terkait
dengan merencanakan proyek adalah sebagai berikut: (l)
membaca, (2) meneliti, (3) observasi, (4) interviu, (5) merekam,
(6) mengunjungi objek proyek, (7) akses internet.
d) Memproses aktivitas-aktivitas. Indikator-indikator memeroses
aktivitas meliputi antara lain: (1) membuat sketsa, (2)
melukiskan analisa, (3) menghitung, (4) mengenerate, (5)
mengembangkan prototipe.
e) Penerapan aktivitas-aktivitas untuk menyelesaikan proyek.
Langkah-langkha yang dilakukan, adalah: (1) mencoba
mengerjakan proyek berdasarkan sketsa, (2) menguji
langkahlangkah yang telah dikerjakan dan hasil yang diperoleh,
(3) mengevaluasi hasil yang telah diperoleh, (4) merevisi hasil
yang telah diperoleh, (5) melakukan daur ulang proyek yang
lam, (6) mengklaslfikast hasll terbaik.
4) Penilaian
Dalam PBP, proyek peserta didik dapat disiapkan dalam
kolabora.si dengan dosen/instruktur tunggal atau doserv'instruktur
ganda, sedangkan peserta didik belajar di dalam kelompok
kolaboratif antara 3-5 orang. Ketika peserta didik bekerja di dalam
tim, mereka menemukan keterampilan merencanakan,
mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu
tugas yang akan dikerjakan, siapa yang bertanggung jawab untuk
setiap tugas, dan bagaimana informasi akan dikumpulkan dan
disajikan. Keterampilan-keterampilan yang telah diidentifikasi oleh
peserta didik ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk
keberhasilan hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan
keterampilan yang amat penting di tempat kerja. Karena hakikat
kerja proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan
tersebut berlangsung di antara peserta didik. Di dalam kerja tim
suatu proyek pemecahan masalah, kekuatan individu dan cara
belajar yang dipacu memperkuat kerja tim sebagai suatu
keseluruhan.

Dari beberapa pengertian dan karakteristik dari PBP, dapat


disimpulkan bahwa PBP merupakan pembelajaran yang dapat
mendekatkan peserta didik dengan dunia kerja nyata dengan pencapaian
kompetensi yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. Program
studi TS merupakan program studi yang lulusannya akan bersentuhan
langsung dengan dunia proyek sehingga PBP sangat cocok ditetapkan
pada pembelajaran di D3 TS terutatna pada penyusunan tugas akhłr.

7. Pembimbingan Tugas Akhir


Model merupakan gambaran secara garis besar mengenai sesuatu
yang menjelaskan keterkaitan antar bagian. Model dalam penelitian ini
diartikan sebagai seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan
suatu proses. Prosedur yang dimaksud merupakan kumpulan beberapa
komponen yang saling berkaitan satu sama Iain dan menuju pada hasil
tertentu.
Program D3 diarahkan pada lulusan yang menguasai kemampuan
dalam bidang kerja yang bersifat rutin maupun yang belum akrab dengan
sifat-sifat maupun kontekstualnya, secara mandiri dalam pelaksanaan
maupun tanggung jawab pekerjaannya, serta mampu melaksanakan
pengawasan dan bimbingan atas dasar keterampilan manajerial yang
dimilikinya (BAN-PT, 2010:5). Kebebasan akademik yang dimiliki
pendidikan tinggi membuat definisi mengenai TA menjadi berbeda-beda.
Namun demikian, secara prinsip dapat dikatakan bahwa TA adalah karya
ilmiah yang disusun atas dasar penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
atau seni pada program studi dan jenjang tertentu.
TA merupakan suatu proses penilaian akhir studi dan prestasi peserta
didik sebelum dinyatakan lulus. TA menjadi bahan evaluasi komprehensif
dalam mengukur pencapaian kompetensi dan atau keterampilan tertentu
dari mahasiswa dan menjadi salah satu syarat untuk diberi gelar sebagai
Ahli Madya (A.Md) sebagai bagian dari pendidikan vokasi yang diarahkan
pada pencapaian keahlian pada tingkat tertentu, TA harus memenuhi
kriteria: 1) menjelaskan pencapaian kompetensi tertentu, 2) menunjukkan
kemandirian belajar mahasiswa, 3) menghasilkan suatu produk (laporan
ilmiah, benda, karya seni, dll), 4) mengutamakan unjuk kerja
(keterampilan), dan 5) berorientasi dunia kerja.
Pelaksanaan TA melibatkan dua subjek yaitu dosen sebagai
pembimbing, dan mahasiswa sebagai bimbingan. Ketika kedua subjek
tersebut berinteraksi satu sama lain, maka hal tersebut dinamakan
pembimbingan (supervising). Mahasiswa akan sangat fokus pada
pengerjaan TA yang merupakan salah satu aspek yang paling
memungkinkan dalam mengubah paradigma perkembangan pengetahuan
dan keterampilan peserta didik (Rath, 2009).
Pembimbingan masih terkait dengan teori-teori praktik pengajaran
dan pembelajaran (Grant, 2005; Green & Lee, 1995; Green, 2004). Connell
(1985: 38) melukiskan, "Supervision is the most advanced level of teaching
in our education system [and] certainly one of the most complex and
problematic." Pembimbingan merupakan level tertinggi pengajaran dalam
sistem pendidikan dan merupakan salah satu hal yang sangat kompleks dan
problematik.
Penelitian yang berusaha mengungkap dinamika pendidikan antara
pembimbing dan peserta didik (bimbingan) masih sangat sedikit, sehingga
menurut McKinley, et al. (2007) pembimbingan masih sangat sulit
dimengerti terkait dengan bagaimana dan kenapa pembimbingan itu dapat
berhasil dilaksanakan terutama pada tingkat diploma dan sarjana. Beberapa
literatur penelitian pada pembimbingan disertasi level doktoral
menunjukkan bahwa pembimbingan yang baik merupakan pusat
kesuksesan kandidat Doktor (Acker, 2001; Middleton, 2001; Phillips &
Pugh, 1994). Prinsip-prinsip umum penduan membimbing doktor saat ini
telah dibuat oleh beberapa ahli seperti Brew & Peseta, 2004', James &
Baldwin, 1999; dan Sinclair, 2004, namun masih sangat sedikit yang
menulis panduan pembimbingan pada tingkat Doktoral ke bawah terutama
pada tingkat Diploma dan Sarjana. Hal ini juga diungkapkan oleh Rath
(2009:5) bahwa karakteristik pembimbingan pada tingkat politeknik dan
lembaga pelatihan swasta lebih mengarah pada aspek pengajaran dari pada
perluasan praktik penelitian, dan belum ada keinginan yang kuat dari pihak
lembaga maupun individu pembimbing untuk mencari seperti apa peran
pembimbing yang baik dan bagaimana melaksanakannya.
Light, Cox & Calkins (2009: 154) menjelaskan bahwa
pembimbingan secara umum memiliki kesamaan dengan pengajaran,
contohnya dalam hal mengerjakan proyek, pelaporan, pengerjaan skripsi,
tesis, dan disertasi, dimana prinsip utamanya adalah pengelolaan dalam
menyeimbangkan antara dukungan pembimbing dan membantu
perkembangan kemandirian peserta didik. Pengajar dan pembimbing
memang memiliki kesamaan dalam meningkatkan kemampuan dan
keterampilan peserta didik, hanya saja pengajaran dilakukan dengan peserta
didik dalam kelompok maupun klasikal, sementara pembimbingan
dilakukan secara personal.
Salmon (Brockbank & McGill, 2007:297) membedakan peran
pembimbingan pada tingkat industri dan pada tingkat akademik. Pada
tingkat industri, supervisor berperan sebagai mengontrol aktivitas,
menjalankan tugas, mengukur hasil, dan memeriksa kehadiran. Sedangkan
pada tingkat akademik lebih kepada kegiatan diskusi, mendorong kemajuan
belajar, dan memeriksa hastl pekerjaan.
Pembimbing memiliki tiga fungsi utama secara umum, yaitu:
mendorong, mendidik, dan mengelola yang umumnya terlihat merupakan
proses yang searah (Carrington, 2004; Bluckert, 2008; dan Rath, 2009).
Pendorong dalam hal ini berfungsi dalam memotivasi peserta didik dalam
menyelesaikan proyek penelitiannya secara mandiri dan lebih banyak
belajar, pendidik berfungsi untuk mendidik peserta didik agar dapat
meningkatkan kemampuan dan keterampilannya, sedangkan pengelola
berfungsi untuk menjaga proyek penelitian agar berada pada jalur yang
benar dan dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Todd, Smith & Bannister (2006) menjelaskan beberapa karakteristik
pembimbingan pada suatu pekerjaan proyek penelitian seperti halnya gaya
mengajar serta pengalaman peserta didik pada proyek tersebut, yakni: a)
bermaksud untuk fokus pada peserta didik, dimana peserta didik
menentukan sendiri pertanyaan penelitiannya yang kemudian dipertajam
oleh pembimbing pada fokus penelitian dan metodologinya, b) mendorong
kemandirian dan pengarahan diri peserta didik dalam pembelajaran, dimana
peserta didik diharapkan dapat menyelesaikan sendiri tugasnya, namun
tetap dipandu oleh pembimbing dalam proses pengumpulan, analisis, dan
interpretasi data sesuai dengan tingkat keahlian yang diharapkan peserta
didik, dan c) memberikan penjelasan yang inti dan dalam terkait proyek
penelitian yang akan dilakukan oleh peserta didik melebihi penjelasan pada
pembelajaran tatap muka.
Grant (2003) menggambarkan bahwa pembimbing yang bersedia
membantu dengan menyelami proses emosional, berbagi kesenangan dan
penderitaan sangat penting bagi peserta didik terutama dalam mengawasi
penyelesaian pekerjaan mereka. Untuk itu, Light, cox & Calkins
(2009:156) menjelaskan bahwa hubungan yang erat antara pembimbing dan
peserta didik dapat mengikis sensitifitas dalam perbedaan individu.
Kemampuan dalam mengakomodasi perbedaan dan menerima perbedaan
dengan baik, serta pendekatan motivasi dan intelektual sangat penting
dalam membangun hubungan sebagaimana membangun kualitas proyek
penelitian.
Gardiner (1989:131) mengidentifikasi tiga tingkat interaksi pada
proses pembimbingan, yaitu: l) fokus pada materi pembelajaran dan
hubungannya dengan konsep reproduksi pembelajaran, yang mana
pembimbing berkeyakinan bahwa pembimbingan yang baik adalah
merefleksikan hirarki hubungan dengan klien dan tetap mengontrol apa
yang seharusnya peserta didik pelajari serta berada pada jalur yang tepat
untuk mencapai tujuan, 2) fokus pada proses pembelajaran dengan
mengenali perbedaan dan terlibat aktif dalam proses pembelajaran, dalam
hal ini peserta didik diberikan tanggung jawab yang lebih dalam mengatur
agenda, pembimbingan, dan menilai pekerjaan dan pembelajarannya
sendiri, dan 3) fokus pada meta-learning, belajar cara belajar dan
mendemonstrasikan kepandaian dalam banyak hal dengan menggunakan
proses pembelajaran yang terjadi sebagai dasar dalam belajar selanjutnya
pada level yang lebih tinggi.
Sementara menurut Brockbank & McGill (2007:304) pembimbingan
mencakup tiga dimensi fungsi, yakni: l ) fungsi formatif, kesediaan untuk
menjadi bagian pembimbing dan membagi keahlian terkait subjek yang
dipelajari, 2) fungsi normatif, penegasan pengaturan kontrak yang
mencakup batas-batas, komitmen, komunikasi dan lainnya yang terkait
antara keduanya, dan 3) fungsi restorasi, kesediaan menerima dan
merespon secara emosional kondisi masing-masing.
Peran pembimbing yang baik sebagaimana diungkapkan oleh Brown
& Atkins (Brockbank & McGill, 2007: 302) yaitu sebagai: 1) fasilitator,
yang membolehkan adanya proses pengembangan ide dan gagasan; 2) guru,
mengajarkan keterampilan belajar dan metodologi penelitian sesuai subjek
materi yang dilakukan; 3) penilai, memberikan kritikan dan umpanbalik
yang konstruktif; 4) konselor, menggunakan keterampilan konseling
dengan mendengarkan keluhan dan hambatan peserta didik dan kemudian
memberikan dukungan emosional; 5) kolega, dalam hal ini membagi
ketertarikan yang sama terhadap subjek penelitian yang dilakukan; 6)
manejer, mengatur pedoman, batas waktu, batas-batas pelaksanaan
kegiatan; dan 7) penasihat, memberikan saran, komentar, sumber-sumber
informasi, dan lainnya.
Schon (1983, 1987) menjelaskan dua model perilaku antarpribadi
dalam proses pembimbingan, yakni 'single-loop' dan 'double-loop'. Model
single-loop memiliki nilai "meningkatkan objek/peserta didik menurut
pandangan saya", "berusaha untuk menang/berhasil dan menghindari
kesalahan", dan "menghindari perasaan negatif'. Model ini ruang gerak
peserta didik dalambekerja karena harus selalu dikontrol Oleh pembimbing,
asumsi-asumsi peserla didik tidak didiskusikan dan senantiasa
menyembunyikan dilema pribadi.
Model double-loop memberikan kesempatan kepada peserta didik
dalam mempelajari nilai dan asumsi yang menggerakkan perilaku dirinya
dan atau orang Iain. Peserta didik bersedia berbagi kesulitan dan perasaan
mengenai pekerjaannya maupun hal Iain, sementara pembimbing bersedia
memberikan nasihat dan penilaian baik dalam bentuk kesenangan maupun
dalam bentuk kekecewaan dari penampilan peserta didik.
Wenger (Anderson, Day & McLaughlin, 2006:164) menjelaskan
bagaimana peran pembimbing mendorong pesefla didik untuk mengerjakan
tugas akhir serta membentuk peserta didik agar sesuai dengan ketentuan
akademik dan menghasilkan karya yang bermakna dan bermanfaat. Pada
Gambar 6 menjelaskan bahwa pembimbing ditempatkan pada posisi pusat
komitmen untuk mendorong dan membentuk peserta didik. Peran
pembimbing dapat dikatakan sebagai penyeimbang antara hubungan
pribadi dan hubungan kelembagaan. Jika pembimbing hanya fokus pada
aspek 'dorongan (supporting)', maka pembimbing terlihat lebih
mengutamakan kemandirian peserta didik dalam berkreatifitas dan
berkarya sehingga cenderung melupakan fakta bahwa pembimbingan
disertasi merupakan kebutuhan bersama antara pembimbing dan peserta
didik karena pembimbing memiliki tanggung jawab menjaga standar
akademik sebagai komitmennya terhadap lembaga pendidikan. Sebaliknya,
jika pembimbing hanya fokus pada bagaimana membentuk peserta didik,
maka hal tersebut dapat berdampak pada hubungan pembimbing dan
peserta didik yang tidak harmonis karena harus menekan dan memaksa
sehingga kemandirian peserta didik menjac hilang dan melupakan tugasnya
sebagai pendorong. Pembimbing sebaiknya memberikan kesadaran kepada
peserta didik mengenai apa yang akan merek hadapi setelah menyelesaikan
pendidikan seperti dunia kerja nyata.

Actions assisting student


to pursure a topic of
Commitment to academic
personal inters/
standars/gatekeeper
‘scafolding’ student sense
of agency
Commitments
SUPORTING

SHAPING
actions
Supervisior

Commitments

actions
Action ensuring
Personal commitment to
dissertation work is
student
reaserch worthy

Gambar 6. Schematic Representation of Supervisor’s Commitment and


Action
Styles dan Radloff (2001) memberikan pikiran lain mengenai
hubungan antara pembimbing dan peserta didik, seperti terlihat pada
Gambar 7. Walaupun model ini ditujukan pada tingkat pascasarjana, namun
secara prinsip dapat diterapkan pada tingkat diploma dan sarjana.

Motivation shared commitment to


research, mutual, respect,
willingness to learn

Learner Learner
autonomy adaptability
Beliefs shared language
Affect mutual recognition
Student- and conceptualization of
of feeling, shared
supervisior research
empathy with constraints
relationship

Learner Learner self-


control efficacy

Management of
Pada Gambar 7organization
dapat kita of self bahwa
lihat and model ini mengintegrasikan
task, use of resource
empat elemen pembimbingan, yaitu: a) motivasi (motivation) yang terdiri
dari komitmen bersama terhadap penelitian, saling menghormati, dan
kemauan untuk belajar, b) keyakinan/kepercayaan (beliefs) yang
mensyaratkan pembimbing dan peserta didik saling berbagi bahasa dan
konseptualisasi dari proyek penelitian, c) strategi manajemen (management
strategies) dalam mengorganisasi diri dan tugas dan menggunakan strategi
yang tepat dan sumber daya yang relevan, dan d) pengaruh (affect) dalam
mengenali perubahan perasaan Yang terjadi baik Yang positif maupun
negatif, dan berempati pada kondisi dan masalah Yang dihadapi satu sama
Iain. Model ini diarahkan pada pengaturan diri sendiri peserta didik Yang
meliputi otonomi, kemanjuran diri, kemampuan beradaptasi dan
pengendalian terhadap pembelajaran yang akan dicapai
a. Motivasi
Motivasi pembimbingan terkait dengan harapan (expectancy)
dari masing-masing subjek yang terlibat yakni harapan dari pihak
pembimbing dan harapan dari pihak peserta didik. Jordan, Carlile &
Stack (2008:160) menjelaskan bahwa harapan mengacu pada persepsi
seseorang dan memutuskan kemampuan dia sendiri. Harapan yang
tinggi didasarkan pada sukses sebelumnya yang meningkatkan
kesempatan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Harapan sangat tergantung pada harga diri (self-esteem) dan
kemanjuran diri (self-efficacy). Harga diri mengacu pada persepsi
seseorang dan evaluasi pada kegunaan dirinya sendiri, sementara self-
efficacy mengacu persepsi seseorang dan evaluasi pada kemampuan
dirinya pada bidang tertentu. Menurut Bandura (Jordan, Carlile &
Stack, 2008:161) self-efficacy peserta didik dipengaruhi oleh: a)
penampilan sebelumnya, b) pengalaman sendiri, c) ajakan pendidik atau
teman sejawat, dan d) isyarat psikologi dan emosional.
Pembimbingan menekankan pentingnya dorongan kepada
peserta didik dalarn belajar dan membuat keputusan daripada transfer
pengetahuan dan mengambil keputusan bagi peserta didik. segala
inovasi, perubahan, dan kreatifitas kerja melibatkan pengambilan
resiko, namun terkadang hal ini masih sangat sulit bagi peserta didik
karena merasa tidak aman. Namun demikian, pada level diploma
maupun sarjana kegiatan proyek mungkin satu-satunya wilayah dimana
peserta diclik merasa sadar bagaimana belajar mengambil resiko
(Grant, 2003: 176).
Peserta didik memiliki harapan yang bermacam-macam
terhadap pembimbingnya, beberapa harapan peserta didik tersebut
berdasarkan penelitian Phillips & Pugh (2005), Woolhouse (2002), dan
Day & Brown (2000) antara lain adalah: a) bersahabat dan mendukung
(be friendly and supportive), b) membaca pekerjaan dihadapan mereka
dan memberikan umpan balik (read their work ahead of time and
provide feedback), c) memiliki pengalaman dan pengetahuan yang
relevan dengan subjek penelitian (have relevant experience and
knowledge of the research field), d) membantu menunjukkan sumber-
sumber bacaan (help them locate resource), dan e) terlibat dan tertarik
dalam mengembangkan dirinya (to be involve and interested in their
development). Harapan peserta didik yang cukup banyak tidak serta
merta dapat terwujud semua. Ketika pembimbing memiliki pertemuan,
telepon, dan kondisi yang sangat penting, peserta didik umumnya
memaklumi hal tersebut jika mereka di"nomor duakan", karena salah
satu harapan yang tidak tertulis adalah mendapatkan pekerjaan maupun
jaringan yang kuat dari pembimbing setelah mereka lulus.
Harapan tersebut di atas sejalan dengan hasil wawancara Todd,
Smith & Bannister (2006) kepada pembimbing yang menjelaskan
bahwa mereka bertanggung jawab kepada peserta didiknya dalam hal:
a) mendukung. membantu mengidentifikasi dan mendefinisikan
pertanyaan pcnelltlan (supporting students by helping them identify and
define their research question), b) menentukan kelayakan proposal
penelitian (determining the feasibility of the student's proposed
research), c) bertanya bahkan menantang keputusan penelitian nantinya
(questioning—even challenging— the student on research decisions), d)
mensyaratkan penggunaan metode dan pendekatan penelitian yang
benar (requiring the student to justify the research approach and
methods), e) memberi nasihat metodologi yang tepat (advising the
students on appropriate methodologies), f) membantu perencanaan
kerja dan mencapai target (helping the student plan work and meet
targets), dan g) menghadiri pertemuan teknis dan mekanisme terkait
proyek penelitian (attending to technical or mechanical parts of the
research project (writing, grammar, citation, etc.). Dengan kesadaran
pembimbing tersebut, kiranya dapat mewujudkan harapan peserta didik
akan tanggapan (feed back) secara tertulis dan mendetail yang
berkualitas dan memberikan alternatif pilihan terhadap apa yang
disajikan oleh peserta didik.
Di satu Sisi peserta didik memiliki harapan terhadap
pembimbingnya, di sisi lain pembimbing juga memiliki harapan
terhadap peserta didik bimbingannya. Hal ini diungkapkan Anderson,
Day & McLaughlin (2006:156) dalam hasil penelitiannya bahwa
pembimbing sering mengharapkan peserta didik bimbingannya untuk:
a) membiasakan dan mengadopsi kegiatan kelompok penelitian
(become.familiar and adopt the practice of the research community), b)
memberikan kontribusi di bidangnya (make original contributions to
the field), c) mengembangkan kritik dan kokoh pada pendirian
intelektual (develop a 'critical and reflexive intellectual stance ), dan d)
percaya sendiri secara mendalam akan nilai proyek yang dikerjakan
(believe deeply in the value of the project at a personal level). Selain
itu, beberapa harapan lainnya seperti tepat waktu saat janjian,
mempersiapkan segala sesuatu pada saat bertemu, menentukan dan
mencapai tujuan, memiliki hasrat dan antusias pada kegiatan proyek
(Todd, Smith & Bannister, 2006; Brockbank & McGill, 2007), jujur
dalam melaporkan kemajuan dan bangga dengan hasil penelitian yang
dilakukan (Phillips & Pugh, 2005).
Pembimbing terkadang memiliki harapan yang sangat tinggi
terhadap peserta didiknya. Hal ini digambarkan oleh Brew & Peseta
(2004) bahwa pembimbing awalnya berpendapat peserta didik memiliki
kompetensi otonomi dalam mengerjakan proyek penelitian yang terdiri
dari kemampuan perencanaan eksperimen, mengkaji literatur,
menganalisa data, tahu teknik laboratorium dan lapangan, dan
mengetahui teknik penulisan ilmiah. Setelah program berjalan, muncul
pendapat baru untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
peserta didik seperti: kemampuan menulis jurnal, mempersiapkan
proposal penelitian hibah, mampu menjawab kelompok penguji,
berbicara di depan publik, bekerja sama, membimbing/mengawasi, dan
memahami standar profesional di bidangnya.
Untuk mencapai pembimbing yang sesuai harapan peserta didik,
Alyn (201 1) menjelaskan 10 tanda-tanda dari pembimbing yang buruk,
yaltu: 1) memimpin dan mengatur dengan intimidasi, 2) tidak
memperlihatkan hasil kerja yang maksimal, 3) kurang jujur dan
integritas yang rendah, 4) tidak belajar dari kesalahan baik yang
diperbuat sendiri maupun oleh orang lain, 5) kurang terbuka terhadap
ide dan saran baru, 6) merasa terancam jika peserta didik bimbingannya
berusaha banyak belajar dan mengembangkan diri, 7) selalu mengkritik
yang lain, 8) tidak membuat dirinya bertanggung jawab, 9) kurang
terampil dalam berkomunikasi terutama di depan public, dan 10)
menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi tapi tidak memiliki
kompetensi yang cukup.
Sikap saling menghormati antara pembimbing dan peserta didik
sangat diperlukan dalam menjaga dan meningkatkan motivasi keduanya
selama proses penyelesaian tugas akhir. Sikap saling menghormati
dalam menciptakan lingkungan yang kondusifmenurut Crane (2007)
antara lain: a) menghargai waktu, hal ini terkait kedisiplinan dalam
menggunakan dan mengelola waktu yang ada terutama pada saat
berjanji untuk bertemu; b) kesabaran, terutama ketika salah satu pihak
memiliki hambatan yang berarti sehingga belum memenuhi harapan
yang diinginkan; c) mendengarkan keluh kesah yang dihadapi masing-
masing pihak baik yang terkait dengan objek tugas akhir maupun objek
lain yang ingin dibagi untuk didiskusikan, d) bahkan tertawa sesuai
konteks yang menunjukkan hubungan yang antar keduanya; dan e)
kejujuran, dalam hal ini kejujuran satu sama Iain dalam rangka
meningkatkan kualitas tugas akhir Yang dikerjakan sehingga hasil akhir
Yang diperoleh dapat maksimal dan tidak menjadi sesuatu Yang
memalukan bagi diri sendiri.
b. Kepercayaan
Kepercayaan yang dimaksud disini ialah saling percaya antara
pembimbing dan peserta didik dalam menyelesaikan tugas akhir.
Kepercayaan satu sama Iain mensyaratkan pembimbing dan peserta
didik saling berbagi bahasa dan konsep terkait maksud dan tujuan
proyek tugas akhir yang akan dilaksanakan. Berbagi bahasa yang
dimaksud adalah membangun dialog yang konstruktif satu sama Iain,
terutama kaitannya dengan aspek teknis pelaksanaan tugas akhir,
sehingga tidak menimbulkan kesan adanya pemaksaan kehendak dari
pembimbing kepada peserta didik, begitupun sebaliknya.
Pembimbing dalam hal ini tidak melakukan intervensi kepada
peserta didik mengenai apa yang seharusnya dilakukan, namun
memberikan saran dan petunjuk mengenai jalan yang akan dilalui
peserta didik yang selanjutnya menjadi kewenangan peserta didik
dalam memilih dan memutuskan jalan yang akan di ambil sebagai
bagian dari kemandirian belajar peserta didik. Walaupun demikian,
persoalan kemandirian menjadi sulit diseimbangkan dengan tanggung
jawab pembimbing pada penelitian tersebut. Penelitian Rudd (1985)
menggambarkan bahwa banyak peserta didik yang melakukan
penelitian, terutama pada ilmu sains merasa bahwa penelitian tersebut
bukanlah milik mereka sendiri, melainkan hampir seluruhnya adalah
milik pembimbing. Dalam keadaan seperti ini sangat sullt
mengembangkan kemandirian peserta didik. Karena itu, dipcrlukan
perencanaan yang hati-hati dalam membantu pembimbing mengatur
posisinya sebagai direktur proyek dan para peserta didik diakomodasi.
Selain dipandang sebagai peserta didik mereka juga sering
dianggap sebagai asisten penelitian, padahal kedua peran tersebut masih
harus dikenali terutama dalam mengembangkan kemandirian mereka.
Nilai-nilai pengembangan keterampilan interpersonal dan kerjasama
telah dikenal luas memberikan manfaat bagi pribadi, sosia), bahkan
dunia industri. Pendidikan tinggi saat ini berupaya membantu penelitian
peserta didik dalam mengembangkan keterampilan bekerjasama dan
berkomunikasi secara luas dengan berbagai cara, diantaranya:
mengikuti konferensi, presentasi seminar dan poster, dan kelompok
jurnal dan penelitian.
Praktik keterampilan antarpribadi (interpersonal) dapat
dikembangkan dalam hubungan antara peserta didik dan pembimbing
secara terbatas. Hal ini dapat ditingkatkan dengan menjadi bagian dari
tim peneliti atau kelompok peneliti yang fokus pada mutu proses dari
praktik penelitian yang umum maupun yang spesifik. Dapat juga
melalui negosiasi peran dan tugas, penyusunan kriteria kemajuan dan
pelibatan dalam praktik penilaian dan evaluasi kelompok. Selain itu,
dapat juga dilakukan dengan mendorong upaya hubungan profesional,
kunjungan profesional, dan pertukaran peserta didik untuk memberikan
keluasan wawasan mengenai praktik penelitian terutama dalam
meningkatkan keterampilan berkolaborasi dan berkomunikasi mereka.
Peserta didik pada program sarjana dan diploma yang
tnelaksanakan kerja praktik memiliki banyak kesempatan untuk
memilih keputusan dan melakukan tugas-tugas, temasuk diantaranya: a)
keterlibatan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, b)
memilih dan menyediakan bahan pendukung, c) terlibat dalam
menyusun kriteria kemajuan dan penilaian diri, d) mendapatkan
kesempatan untuk mengembangkan dan mengambil resiko, dan e)
mempertanggung jawabkan kegiatan dan penyelesaian proyek
penelitian.
c. Manajemen
Manajemen yang dimaksud adalah pengelolaan diri dan tugas
masingmasing pihak yang terkait pada pembimbingan tugas akhir,
dalam hal ini dosen dan peserta didik. Pentingnya pengaturan peran
pembimbing dan peserta didik dalam bentuk kontrak belajar sebagai
langkah awal yang penting (Stone, 2002; Phillips & Pugh, 2005; Todd,
Smith & Bannister, 2006; Brockbank & McGill, 2007). Hal ini sangat
penting mengingat kebiasaan yang terjadi hanyalah kesepakatan
bersama antara pembimbing dan peserta didik yang tidak tertuang
dalam kertas sehingga dapat dilupakan dikemudian hari terutama pada
kondisi yang tertekan. Selain itu, hal ini dapat membantu peserta didik
memahami peran pembimbing dan persepsi mereka mengenai perilaku
pembimbing.
Terkait dengan hal tersebut, Light, cox & Calkins (2009:161)
menjelaskan bahwa peran dan hubungan tersebut tidak saja Inenjadi
bagian penting dari aturan dasar, tetapi juga penting dalam negosiasi
mengenai sesuatu yang diharapkan satu sama lain. Perumusan hak dan
kewajiban peserla didik juga perlu dijelaskan untuk menghindari
kesalahpahaman antara pembimbing dan peserta didik. Selain itu,
aturan dasar tersebut juga menjelaskan bahan-bahan materi apa yang
harus dipersiapkan pada pertemuan pertama dan seterusnya, jadwal
pertemuan dan mekanismenya, serta kemungkinan perubahan dan
modifikasi atas berbagai saran dan informasi terbaru.
Penggunaan strategi yang tepat dalam melaksanakan tugas akhir
menjadi salah satu aspek dalam manajemen pembimbingan. Strategi
yang tepat terkait dengan bagaimana melakukan segala sesuatu untuk
menyelesaikan tugas akhir, seperti: manajemen waktu, penggunaan
sarana dan prasarana, pemanfaatan sumber informasi dan sumber
belajar yang relevan dengan tugas akhir. Pengembangan keterampilan
peserta didik harus didukung dengan memberikan akses terhadap
peralatan dan ruangan yang sesuai kebutuhan, serta layanan yang
relevan. Karena itu, diperlukan adanya struktur, dan jadwal yang tegas,
petunjuk yang jelas, dokumen/materi/peralatan pendukung, dan
petunjuk penggunaannya bersama pembimbing, pengawas teknis, serta
umpan balik (Brockbank & McGill, 2007).
Mencan sumber-sumber dengan tugas akhir bukan tugas peserta
didik, tetapi menjadi tanggung jawab pembimbing untuk mengarahkan
atau paling tidak memberikan infomasi yang tepat sehingga peserta
didik dapat mengefektiflcan waktu yang ada sehingga dapat
menyelesaikan tugas akhir dengan cepat dan sesuai kualitas yang
diharapkan serta mencapai kompetensi yang diinginkam Hal ini juga
terkait dengan bagaimana mengelola waktu yang tersedia sehingga
dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya dan menghasilkan tugas
akhir yang memiliki kualitas secara individu dan kelembagaan.
d. Pengaruh
Pembimbingan sebagian besar merupakan dialog, namun dalam
hal ini bukan merupakan dialog biasa dimana ada pihak mendengarkan
dan ada pihak yang berbicara. Dialog tersebut kadang membutuhkan
'interogasi' untuk mengembangkan keterampilan kritik pribadi dan
refleksi kritik, dengan tenang dan senang menyampaikan opini sendiri.
Hal ini dilakukan sebagai proses mencari keaktifan peserta didik dalam
menjelaskan asumsinya yang tersembunyi dan konsepsi yang tidak
sama.
Penelitian maupun tugas akhir yang dilakukan peserta didik
terkadang menimbulkan kesan kesepian ketika teman-teman yang lain
juga tidak ikut membantu (Brockbank & McGill, 2007:303). Peserta
didik terkadang menemui masa kesulitan dan kehilangan rasa percaya
diri yang berkaitan dengan kualitas penelitian yang dikerjakan. Proses
dialog dengan pembimbing merupakan salah satu cara menghilangkan
kesepian dan kesulitan tersebut. Karena itu, berbagi pandangan dan
pendekatan mengenał penelitian merupakan bagian penting bagi pesefla
didik, terutama berbagi dengan pembimbing dan seminar-seminar yang
ada. Membangun komunikasi dan dialog dalam pembimbingan
merupakan kunci keberhasilan dalam penyelesaian tugas
akhir/penelitian yang dilakukan.
Peserta didik merasa mereka sangat dipengaruhi oleh
pandangannya terhadap penelitian yang sedang dia kerjakan dan hal ini
juga dirasakan oleh pembimbing mereka. Bagi pembimbing, mengelola
keseimbangan antara dukungan dan kemandirian dalam konteks
personal dapat lebih sulit jika dibandingkan dengan konteks intelektual,
upaya agar peserta didik lebih mandiri dipandang oleh orang lain
sebagai tindakan yang tidak peduli dan tidak mendukung (Light, Cox &
Calkins, 2009: 168). Pengaruh hubungan pribadi dalam proses
pembimbingan sangatlah penting, namun masih sedikit kontroversial
mengenai seberapa jauh hubungan tersebut menjadi pertemanan.
Terbatasnya literatur mengenai hal ini sehingga pembimbing
berpendapat sebaiknya diarahkan pada dimensi sosial yang lebih
informal. Karena itu, dimensi pribadi yang dimaksudkan disini adalah
dimensi pribadi peserta didik dan dimensi pribadi pembimbing.
Pembimbing yang berpengalaman juga sering mengalami
masalah yang serius yang merupakan masalah pribadi dan kemudian
berpengaruh terhadap pekerjaan peserta didik. Karena itu, dibutuhkan
orang lain pada tingkat program studi yang dapat bertanggung jawab
bagi kelangsungan penyelesaian proyek penelitian peserta didik ketika
pembimbingnya menghadapi masalah yang sulit. Hal ini mungkin dapat
diwujudkan dengan membentuk komisi pembimbing kecil Yang
bertanggung jawab ketika hal tersebut terjadi.
Beberapa pembimbing memiliki gaya dan cara masing-masing
dalam melakukan bimbingan. Ada yang berpegang teguh pada
pendekatan yang dilakukan terhadap peserta bimbingannya. Gough &
Woodworth (Leight, Cox & Calkins, 2009:17()) mengidentifikasi
delapan variasi gaya sejumlah peneliti ilmuan profesional, yaitu: fanatik
(the zealot), pemrakarsa (the initiator), pemeriksa (the diagnotician),
cendikia (the scholar), ahli (the artificer), seni (the aesthetician), taat
metode (the methodologist), dan mandiri (the independent). Peserta
didik yang dibiarkan mengembangkan sendiri gaya yang tepat untuk
penelitiannya sangat berbahaya bagi pengembangan kemandirian
mereka. Pembimbing memiliki peran kunci dalam menuntun dan
mengembangkan pemahaman dan kepercayaan diri peserta didik
(Anderson, Day & McLaughlin, 2006: 154). Yang terpenting dalam
pembimbingan, baik secara pribadi maupun kolektif bahwa kita
membutuhkan pemahaman yang lebih terkait dengan mengapa para
peserta didik melakukan penelitian mereka pada pendidikan tinggi dan
seberapa jauh hal tersebut dapat mengembangkan perasaan identitas
profesional mereka.
Pengaruh sosial juga menjadi masalah bagi peserta didik.
Pengaruh sosial yang dimaksud adalah ketersediaan sarana dan
prasarana bagi penelitian peserta didik (Becher, Henkel & Kogan,
1994), aspek budaya yang masih asing dan rendahnya kepercayaan diri
(Smith, 2007; Brockbank & McGill, 2007). Sarana prasarana yang
dimaksud tidak hanya peralatan di laboratorium, tetapi juga bahan
bacaan di perpustakaan serta ruang kompüter bagi pengetikan laporan
penelitian baik yang dilengkapi fasilitas internet maupun tidak. Cryer
(Light, Cox & Calkins, 2009: 171) menggambarkan bahwa dimensi
sosial terkait dengan pengembangan jaringan kerja bagi peserta didik,
tenaga kependidikan, dan lulusan.
Oblinger (2003) menambahkan bahwa email dan sistem jaringan
kerja sosial berbasis web tidak mungkin menyediakan semua kontak
sosial yang dibutuhkan peserta didik, meskipun mereka pasti dapat
membantu mengurangi isolasi dan memberikan jembatan yang bernilai
dalam berkomunikasi berdasarkan sisi intelektual menjadi peneliti
untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial.

8. Pengembangan Model
Model adalah keterkaitan beberapa komponen yang saling
mendukung dan menggambarkan suatu pola pemikiran. Model dapat pula
diartikan sebagai seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan
suatu proses. Prosedur yang dimaksud merupakan kumpuıan beberapa
komponen yang saling berkaitan sattı sama lain dan menuju pada hasil
tertentu. Hasanah (2011:150) menyebutkan bahwa model adalah sesuatu
yang menggambarkan adanya pola pikir dan menggambarkan keseıuruhan
konsep yang saling berkaitan.
Dalam konteks pembelajaran, beberapa alili mendeskripsikan bahwa
model pembeıajaran merupakan kerangka konseptuaı yang menunjukkan
sistematika prosedur pengalaman belajar dalam mencapai tujuan. Beberapa
ahli mcnyamakan antara model pembelajaran dengan model pengajaran,
Joyce, dkk, menyatakan bahwa model pengajaran menłpakan gambaran
suatu lingkungan pembelajaran, termasuk perilaku guru saat menerapkan
model. Sclanjutnya Joyce, dkk (2009) mengelompokkan model-model
pembclajaran menjadi empat kelompok besar, yaitu: (I) proses informasi,
(2) sosial, (3) personal, dan (4) sistem perilaku. Pembuatan tugas akhir
mahasiswa lebih mengarah pada kelompok personal dimana kelompok
model pembelajaran personal didasarkan pada perpektif konsep diri sebagai
individu. Kelompok ini terdiri dari model pembelajaran tanpa arahan
(Nondirective teaching) yang dikembangkan olch Carl Rogers, dan model
pembelajaran peningkatan harga diri (enhance self-esteem) yang
dikembangkan oleh Abraham Maslow dan dikembangkan lagi olch Bruce
Joyce (2009: 326).
Model Nondirective teaching memberikan peran kepada pendidik
sebagai konselor, pembimbing, dan fasilitator dalam menuntun
pertumbuhan dan pengembangan diri peserta didik. Sementara model
enhance self-esteem lebih menitikberatkan pada peserta didik dengan
asumsi bahwa setiap peserta didik dapat belajar bagaimana cara belajar dan
memberi respon pada situasi lingkungan belajar yang ada untuk
berakselerasi dalam mencapai tujuan yang mereka inginkan. Kolaborasi
model ini terjadi pada proses pembuatan tugas akhir mahasiswa karena
mereka tidak lagi belajar secara tatap muka, melainkan lebih pada proses
belajar mandin dengan dukungan dosen sebagai pembimbing. Unsurunsur
yang ada pada model pembelajaran personal yakni sintaks, sistem sosial,
prinsip reaksi, dan sistem pendukung. Sintaks merupakan tahapan kegiatan
dari model, sistem sosial merupakan situasi yang terjadi pada tahapan
kcgiatan terscbut, prinsip reaksi merupakan respon yang seharusnya terjadi
antara pendidik dan peserta didik, dan sistem pendukung merupakan sarana
pendukung kegiatan dari model tersebut. Model inilah yang terjadi pada
pelaksanaan penyusunan tugas akhir.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Pintrich (2004) menjelaskan bahwa pada Self-Reguiated Learning
(SRL),peserta didik dipandang sebagai peserta yang aktif. Meskipun
demikian, mereka dapat memonitor, mengendalikan, dan mengatur aspek
kognitif, motivasi, dan perilaku mereka. Model SRL juga
mengasumsikan beberapa jenİs tujuan, kriteria, atau standar yang dapat
dibandingkan dalam menilai proses pembelajaran yang mereka lakukan
ataupun beberapa hal yang membutuhkan perubahan secara cepat.
Kuisioner yang melaporkan diri sendiri tidak cukup baik digunakan
dalam menangkap aktivitas nyata maupun proses dinamis yang terjadi
dari self-regulation.
2. Aksan (2009). Hasil studi literatur yang dilakukannya menjelaskan
bahwa keterampilan Self-regulation membantu peserta didik dalam
memilih strategi pembelajaran yang cocok untuk tujuan yang mereka
inginkan. Epistemologicaı beliefs dan self-reguıation skilis dapat
dikombinasikan untuk mencapai proses pembelajaran. SRL menyediakan
kepercayaan pengetahuan yang positif mengenai kemampuan diri
seseorang, nilai pembeıajaran, faktor pembelajaran, memperkirakan hasil
kegiatan, konsentrasi yang mempengaruhi p pada instruksi, dan yang
latnnya. Keterampilan self-regulation yang kurang akan berdampak pada
rendahnya motivasi dan kurangnya petnbelajaran. Karena itu, peserta
didlk harus tahu bagaimana mereka belajar dan bagaimana bahan-bahan
materi yang akan dipelajari.
3. Sitzman & Ely (2011). Mengidentifikasi 16 konstruk inti dari SRL.
Kegiatan meta-analisis tersebut menemukan proses hubungan self-
regulatory dari tingkat menengah ke tingkat tinggi yang saling terkait
satu sama lain. Konstruk metakognisi dan strategi pembelajaran
merupakan konstruk yang saling tumpang tindih. Tingkat tujuan (goal
level), (persistence), (effort), and kepercayaan diri (self-efficacy)
merupakan pengaruh yang terkuat pada proses self-regulation.
Sedangkan proses self-regulatoty seperti: perencanaan (planning),
monitoring, meminta bantuan (help seeking), dan kontrol emosi
(emotional control) tidak memberikan hubungan yang signifikan pada
pembelajaran.
4. Bradbury-Jones, Irvine & Sambrook. (2007) melakukan penelitian untuk
menganalisa korespondensi antara seorang kandidat doktor dengan dua
orang pembimbing menggunakan analisis diskursus yang berasal dari the
Foucauldian notion of disciplinary power. Hasilnya menunjukkan
hubungan yang tarik ulur antara pembimbing dan peserta didik selama
proses pembimbingan program doktoral. Karena itu, disarankan agar
penelitian peserta didik tidak teriepas dari pembimbing mereka sejak
awai hubungan mereka dan mendiskusikan pernahaman yang berbeda
kepada pembimbing untuk dapat meningkatkan kualitas penelltian dan
keberhasilan menyelesalkan studi.
5. Anderson, Day & Mclaughlin. (2006). Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa terdapat beberapa aspek SOSiokultural pada pembelajaran dan
pengajaran. Hal tersebut menekankan pada membentuk dan mendorong
usaha peserta didik yang membingkai komitmen dan tindakan
pembimbing. Pembimbing berkomitmen pada standar akademik yang ada
dan berperan sebagai penjaga pintu untuk meluruskan pekerjaan peserta
didik agar berada pada standar akademik, dan disaat yang bersamaan
mengharuskan komitmen pribadi yang melibatkan tanggung jawab untuk
membantu peserta didik mengejar topik yang sesuai dengan keinginan
mereka dan mendorong pendirian yang mereka tetapkan.
6. Mainhard, dkk. (2009) memberikan informasi mengenai persepsi
mahasiswa doktor terkait hubungan mereka dengan dosen pembimbing
yang dapat berguna dalam menyediakan umpan balik yang detail kepada
pembimbing dalam rangka meningkatkan kualitas pembimbingan. Pada
penelitian ini digambarkan pengembangan instrumen interaksi antara
mahasiswa doktoral dan dosen pembimbing yang disebut the
questionnaire on supervisor—doctoral student interaction (QSDI).
Kuisioner tersebut dapat digunakan untuk mencari umpan balik gaya
hubungan antar pribadi pembimbing kepada mahasiswa.
7. Rahman, al. (2009) meneliti mengenai pelaksanaan Project Based
Learning Bharu, Malaysia. Penelitian ini focus pada (PjBL) pada
Politeknik Kota arkan pendekatan socio-konstruktivistik,
pengembangan modul PjBL berdas dan bertujuan untuk menggali Iebih
dalam mengenai pengaruh efektititas penggunaan PjBL modul pada
metakognitif, motivasi, dan penguasaan diri peserta didik.Pengembangan
modul PjBL didasarkan pada konsep Buck Institute Education (BIE).
Hasil penelitian ini memperlihatkan level tertinggi pada aspek motivasi,
kepercayaan diri, dan penguasaan diri melalui proses PjBL. Selain itu,
PjBL juga memperkaya kemampuan kognitif dan berpikir kritis pada
teknik pemecahan masalah pada sejumlah peserta didik. Modul PjBL
bermanfaat bagi peserta didik dalam merencanakan proyek mereka
dengan mudah, bekerja secara kolaboratif dalam kelompok dengan
pengawasan yang minimal dari para pendidik atau pengawas, dan mampu
menyelesaikan proyek mereka tepat waktu.
8. Penelitian Stewart (2007) menyimpulkan bahwa penerapan pembelajaran
berbasis proyek menghasilkan bakat belajarhnandiri (self-directed
learning) dan memberikan kesiapan belajar mandiri yang dapat
membuka jalan menuju pembelajaran tingkat tinggi dari lingkungan
pembelajaran berbasis proyek.Lulusan yang memiliki bakat belajar
mandiri yang tinggi merupakan salah satu dampak yang sangat baik dari
suatu penyelenggara pendidikan dalam menawarkan tenaga professional
di pasar kerja. Tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan peserta
didik, evaluasi terstruktur dan berkelanjutan dari kesediaan belajar
mandiri dan peningkatan dampak pembelajaran dari lingkungan
pembelajaran berbasis proyek akan membawa lulusan menjadi tenaga
kerja yang berkualitas diberbagai industri.
9. savage, Vanasupa, & Stolk (2007) nłenjelaskan hasil evaluasi PBP
menunjukkan peningkatan pada: motivasi peserta didik, kemampuan
memecahkan masalah, keterampilan berkomunikasi dan kerjasama tim,
pengetahuan, dan kapasitas kemandirian belajar. Walaupun menunjukkan
hal yang baik, namun pelaksanaan P BP secara umum masih jarang
dilakukan, aspek keahlian teknik juga menjadi perhatian, dan belum
jelasnya metode yang diyakini tidak menghilangkan kompetensi inti
melalui P BP. Pelaksanaan P BP pada California Polytechnic dilakukan
dengan proses kolaborasi pada tingkat fakultas secara sistematis untuk
mencapai kompetensi inti. Pelaksanaan tersebut melibatkan
pengembangan dalam membagi pemahaman visi dan tujuan,
mengidentifikasi kebutuhan pengguna dan nilai-nilai, mengartikulasi dan
mengelompokkan kompetensi inti bidang ilmu, dan merancang
pengalaman berbasis proyek melalui proses interaktif dalam menyatukan
kompetensi inti dan memetakan pengalaman berdasarkan kebutuhan
pengguna lulusan.
10. Mioduser dan Betzer (2007) menguji kontribusi PBP dalam mendukung
proses penambahan pengetahuan dan pemecahan masalah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran tersebut memberikan
motivasi dan peluang untuk mencapai kesuksesan dan mengatasi
hambatan. Pembelajaran tersebut juga memberikan model pembelajaran
yang sangat kuat dalam membawa peserta didik mencapai prestasi
gemilang. Namun demikian, penerapan PBP merupakan proses yang
panjang dan bertahap untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan.

C. Kerangka Pikir

Anda mungkin juga menyukai