KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritis
1. Self-Reglated Learning (SRL)
Self-Regulation (SR) mengacu pada pikiran, perasaan, dan tindakan
yang direncanakan dan disesuaikan dengan tujuan pribadi (Zimmeeman,
200:14). Vohs & Baumester (2011:1) menyamakan SR dengan self
control. Selanjutnya Baumester & Vohs (2007:2) mendefinisikan:
Sclf-regulation refers to the capacity of organisms (here, human
beings) to override and alter their responses. It is the process by
which people attempt to constrain unwanted urges in order to gai11
control of lhe incipient response. Regulation means change, especially
change to bring behavior (or other states) into line \t'ith some standard
such as an ideal or goal .
SR diterjemahkan sebagai kapasitas ma nusia untuk manambah
dan mengubah responS mereka. Proses ini merupakan upaya untuk
membatasi kepentingan yang tidak diinginkan dan mendapatkan kontrol
dari respon yang baru. Regulation dapat berarti perubahan, khususnya
perubahan untuk membawa perilaku agar dapat sejalan dengan beberapa
standar yang ideal atau tujuan yang ingin dicapai.
Susanto (2006:66) memahami SR sebagai penggunaan suatu
proses yang mengaktivasi pernikiran, perilaku, dan affects (perasaan)
secara terus menerus untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Proses ini digambarkan sebagai siklus karena adanya feedback dari
tingkah laku sebelumnya yang digunakan uhtuk membuat penyesuaian
tindakan selanjutnya. Pemahaman lain mengenai SR dikemukakan oleh
Voncouver (200-303) yang menjelaskan peranan penilaian dalam SR.
Penilaian ini tidak saja fokus pada kuantitas dari pencapaian tujuan, tetapi
juga kualitas dari tujuan yang telah dicapai.
Baumeister & Vohs (2007) menjelaskan empat bahan utama
dari proses SR, yaitu :standard , monitoring, self-regulatory strength ,
dan motivation. Regulation diartikan sebagai perubahan yang terjadi
dengan membandingkan pada beberapa standar dan karenanya
efektifitas pengaturan diri membutuhkan standar yang jelas dan
terdefinisi dengan baik. ked ua, SR membutuhkan monitoring
karena sangat sulit untuk rnengatur perilaku jika seseorang keluar
dari jalur . Ketiga, kekuatan pengaturan diri (self regulatory
strength ) atau biasa disebut sebagai kemauan untuk mengatur
dirinya . Merubah diri sendiri sangat sulit dilakukan , karena itu
membutuhkan beberapa kekuatan . Keempat adalah motivasi ,
khususnya motivasi untuk mencapai tujuan atau mencapai standar
tertentu yang dalam praktik motivasi tersebut adalah upaya
pengaturan diri. Walaupun demikian, dengan standar yang jelas ,
pemantauan sepenuhnya efektif, dan sumber daya seseorang yang
berlimpah , seseorang masih mungkin gagal untuk mengatur
dirinya sendiri karena tidak peduli tentang pencapaian tujuan.
Dalam konteks pembelajaran, Vancouver (2000) mendefinisikan
pembelajaran sebagai perubahan relatif yang permanen dari hasil
pengetahuan maupun keterampilan melalui pengalaman yang dimiliki.
SRL dikaitkan dengan tiga konsep yakni: tujuan (goals), tindakan
(actions), dan penilaian (assesment). Zimmermen (2008:166) menjelaskan
bahwa SRL mengacu pada proses pengarahan dan keyakinan diri sendiri
yang dapat mentransformasikan kemampuan mental peserta didik menjadi
keterampilan kinerja akademik, misalnya bakat verbal menjadi
kemampuan menulis.
Winne & Hadwin (2010: 34) menyebutkan bahwa SRL mengacu
pada strategi dan penerapan aktivitas pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Sementara Wang (2010: 21) menjelaskan bahwa teori SRL
mengasumsikan bahwa peserta ddik dapat meningkatkan kemampuannya
melalui penggunaan metacognitif dan strategi motivasi yang selektif.
Selain itu, mereka juga dapat secara proakti memilih, menyusun, bahkan
membuat lingkungan pembelajaran yang menguntungkan mereka
Schunk dan Ertmer (Duckworth, et el., 2009: 3) menyebutkan
bahwa SRL merupakan proses-proses dalam: penetapan tujuan
pembelajaran, memperhatikan dan konsentrasi pada pengajaran,
menggunakan strategi yang eektif dalam mengatur diri, mengunakan kode
dan berlatihinformasi untuk mengingat, membangun lingkungan kerja
yang produktif, menggunakan sumber daya secara efektif, memonitor
kinerja, mengelola waktu secara efektif, mencari bantuan jika dibutuhkan,
memegang keyakinan pada satu kemampuan, nilai-nilai pembelajaran,
memahami faktor yang mempengaruhi pembelajaran dan mengantisipasi
dampak yang dapat terjadi, danbangga serta puas akan upaya yang telah
dilakukan.
Pintrich (2004:392) menjelaskan bahwa terdapat empat ruang
lingkup pembelajaran yang menjadi sasaran pengendalian oleh peserta
didik, yaitu: 1) kognsi, menyangkut berbagai proses mental individu yang
digunakan dalam tugas-tugas akademik. Hal ini termasuk penggunaan
kognitif dan strategi metakognitif pembelajaran; 2) Motivasi dan
pengaruhnya yang merupakan target penting bagi siswa yang bekerja
untuk mengelola pembelajaran mereka sendiri; 3) perilaku atau partisipasi
nyata mereka sebagai bagian dari proses pembelajaran. Hal ini melibatkan
perilaku untuk mengatur dan mengontrol kapan dan dimana mereka cocok
belajar; 4)konteks atau lingkungan, tcnnasuk di dala:mmya menghadapi
tugas-tugas mendesak, lingkungan kclas maupun lingkungan budaya,
·serta terkait dengan cara memanfaatkan guru,orang tua, teman sejawat
dan lingkungan sosial lainnya dalam pembelajaran.
SRL menurut Wolters (2010:2) terkait dengan penerapan model-
model pengaturan diri terhadap pembelajaran pada konteks akademik.
Setiap orang berusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dengan meregulasi dirinya (Winne, 2000). SR dibedakan dari kemampuan
dalam mengefektifkan SR itu sendiri (Susanto, 2006:67). Ketika seseorang
mampu mengembangkan kemampuan SR secara optimal, maka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara optimal,
begitupun sebaliknya. Zimmerman (2000:26) menjelaskan bahwa
ketidakefektifan dalam kemampuan SR bisa jadi disebabkan karena kurang
berkembangnya salah satu fase dalam proses SR terutama pada fase
forethought dan performance control yang tidak berjalan efektif.
2. Model-model SRL
a. Model Adaptable Learning Boekaert
Model Adaptable Learning dari Boekaert fokus pada kegiatan
peserta didik di dalam kelas. Winne dan Hadwin (Aukrust, 2011:34 )
menjelaskan bahwa Model Bockaert didasarkan pada dua asumsi bahwa
peserta didik berusaha untuk menyeimbangkan dua prioritas: (1)
memperluas pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan
sumber daya pribadi mereka (dapat disebut sebagai mastery learning).
(2) mempertahankan apa yang diketahui dan dipercaya agar terhindar
dari kegiatan mempersulit diri. Kesuksesan peserta didik tergantung
pada kapasitas mereka dalam menilai situasi secara keseluruhan, dan
atas dasar itu mereka mengelola pendekatan pembelajaran yang
dilakukan sesuai dengan elemen-elemen di lingkungan tugas mereka.
Model Adaptable Learning Boekaerts (2000:449) digambarkan sebagai
berikut.
Performance
Forethough Self-Reflection
3. Pendidikan Vokasi
Pendidikan vokasi berbeda dari pendidikan umum atau liberal,
dasar dari pendidikan berhubungan dengan tujuan utama, karena itu akan
berbeda pula secara mendasar mengenai cara dan metode pada
pembelajaran, begitupun pada lembaga administrasi yang hubungan erat
dengan cara dan metode pembelajaran (Clark & Winch, 2007). Berikut
disajikan beberapa hal yang terkait dengan pendidikan vokasi, terutama
yang terkait dalam penelitian ini.
a. Pengertian Pendidikan Vokasi
....any education that provides experiences, visual stimuli, affective
awareness, cognitive information, or psychomotor skills: and that
enhances ihe vocational development process of exploring,
establishing, and maintaining oneself in the world of work.
Yaitu segala pendidikan yang memberikan pengalaman,
rangsangan visual, kesadaran afektif, informasi kognitif, atau
keterampilan psikomotor, dan selanjutnya meningkatkan
pengembangan vokasional pada proses eksplorasi, penguatan, dan
mengelola diri sendiri pada dunia kerja.
Wenrich & Wenrich (1974:3) menyatakan, “Vocational and
Technical education is for people youth and adults interested in
preparing for and progressing in career in some (ype of satisfping and
productive work.” Pendidikan vokasi adalah bagian dari sistem
pendidikan yang mempersiapkan seseorang untuk mampu bekerja dan
meniti karir dalam bidang pekerjaannya sebagai bekal hidup. Senada
dengan hal tersebut, Sarbiran (2006:4) menyebutkan bahwa pendidikan
vokasi disebut sebagai pendidikan pekerjaan/okupasi (occupational
education) yaitu pendidikan yang mempersiapkan seseorang untuk
menangani bidang-bidang vokasional yang sangat luas dan beragam
mulai dari bidang administrasi, teknologi, bisnis, seni, transportasi,
kesehatan, keamanan, dan sebagainya.
Calhoun & Finch seperti yang dikutip oleh Djohar (2007:1286)
menyebutkan bahwa definisi pendidikan vokasi menurut The United
Congress adalah:
Vocationaleducation as organized educational programs which are
direcly related to the preparation of individuals for paid or unpaid
employment, or for additional preparation for a career requiry other
than a baccalaureate of advanced degree.
Pendidikan vokasi berkaitan dengan menyiapkan individu
menjadi tenaga kerja yang digaji maupun tidak digaji, atau tambahan
persiapan untuk kebutuhan jenjang karir lebih daripada hanya tingkat
sarjana muda professional. Sementara Clarke and Winch (2007: 9)
menjelaskan, “... vocational education is confined to Ppreparing young
people and adults for working life, a process often regarded as of a
rather technical and practical nature.” Pendidikan vokasi dibatasi pada
penyiapan orang muda dan dewasa dalam bekerja, dimana prosesnya
terkadang lebih mengutamakan teknik dan praktik yang alami.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pada
penjelasan pasal 15 menyebutkan bahwa “Pendidikan vokasi
merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan pesertadidik untuk
memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara
dengan program sarjana.” Dalam hal ini adalah jenjang pendidikan
diploma dan lebih banyak berada dibawah naungan politeknik.
Politeknik menurut Hadiwiratama (2002: 555) adalah bagian dari
sistem dan usaha pengembangan sumberdaya manusia Indonesia
dengan sasaran utama lulusan yang mampu berperan secara produktif
dalam menghasilkan pembangunan nasional. Secara ekonomi, semakin
tinggi kualitas pendidikan seseorang maka akan semakin produktif
orang tersebut, sehingga selain meningkatkan produktivitas nasional
juga akan meningkatkan daya saing tenaga kerja di pasar global.
Dari beberapa rumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan vokasi merupakan pendidikan yang dirancang, untuk
mempersiapkan seseorang memasuki dunia kerja, dan/atau membantu
mengembangkan kemampuan orang tersebut untuk dapat bekerja baik
pada sektor formal maupun informal.
b. Tujuan dan Karakter Pendidikan Vokasi
Salah satu kebutuhan individu yang sangat penting adalah
kebutuhan akan pekerjaan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Education for life dan education for earning living selalu menjadi
bahan diskusi yang sangat menarik karena keduanya tidak bisa
dipisahkan secara tegas (Finch & Crunkilton, 1999). Tujuan pendidikan
vokasi menurut Evans (Slamet, 1995: 2) adalah untuk (1) memenuhi
kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja, (2) meningkatkan pilihan
pendidikan bagi setiap individu, (3) sebagai dorongan motivasi untuk
meningkatkan semua jenis pembelajaran. Selain tujuan tersebut, Miller
(1983) menyebutkan, “... principles of vocational are defined as
generalization program and curriculum construction, evaluation,
selection of instructional practices, and policy.” yang berarti bahwa
prinsip pendidikan vokasi disebut sebagai pembangunan program dan
kurikulum yang bersifat umum, evaluasi, pemilihan praktik
pembelajaran, dan kebijakan.
Wardiman (1998: 37) menyebutkan bahwa salah satu
karakteristik pendidikan kejuruan (sekolah menengah)/pendidikan
vokasi (perguruan tinggi) adalah mempersiapkan peserta didik untuk
memasuki lapangan kerja, sehingga seharusnya pendidikan kejuruan
didasarkan atas “demand driven” yakni kebutuhan akan dunia kerja.
Selanjutnya, dikemukakan pula prinsip-prinsip pendidikan
kejuruan/vokasi yang dikenal dengan Enam Belas Teori Prosser, yaitu:
1) Pendidikan vokasi akan efisien jika lingkungan dimana peserta didik
dilatih merupakan replika lingkungan dimana nanti ia akan bekerja;
2) Pendidikan vokasi yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-
tugas latihan dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang Sama
seperti yang ditetapkan di tempat kerja;
3) Pendidikan vokasi akan efektif jika dia melatih seseorang dalam
kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam
pekerjaan itu sendiri;
4) Pendidikan vokasi akan efektif jika dia dapat memampukan setiap
individu memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya
pada tingkat yang paling tinggi;
5) Pendidikan vokasi yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau
pekerjaan hanya dapat diberikan kepada seseorang yang
memerlukannya, yang menginginkannya dan yang dapat untung
darinya;
6) Pendidikan vokasi akan efektif jika pengalaman latihan untuk
membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berpikir yang benar
diluangkan sehingga pas seperti yang diperlukan dalam pekerjaan
nantinya;
7) Pendidikan vokasi akan efektif jika pendidiknya telah mempunyai
pengalaman yang sukses dalam penerapan keterampilan dan
pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan dilakukan;
8) Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai
oleh seseorang agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut;
9) Pendidikan vokasi harus memperhatikan permintaan pasar
(memperhatikan tanda-tanda pasar kerja);
10) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada peserta didik akan
tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata
(pengalaman sarat nilai);
11) Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada
suatu okupasi tertantu adalah dari pengalaman para ahli pada okupasi
tersebut;
12) Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri 1S! (body of content) yang
berbedabeda satu dengan yang lainnya;
13) Pendidikan vokasi akan merupakan layanan sosial yang efisien jika
sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan
memang paling efektif jika dilakukan lewat pengajaran vokasi;
14) Pendidikan vokasi akan efisien jika metode pengajaran yang
digunakan dan hubungan pribadi dengan peserta didik
mempertimbangkan sifatsifat peserta didik tersebut;
15) Administrasi pendidikan vokasi akan efisien jika dia luwes dan
mengalir dari pada kaku dan terstandar;
16) Pendidikan vokasi memerlukan biaya tertentu dan jika tidak
terpenuhi maka pendidikan vokasi tidak boleh dipaksakan
beroperasi.
8
9
Management Occupation-Specific
Competencies Requirement
Stafing, Informing, Requirements TBD
Delegating, Networking,
7
Monitor work, Suporting
others, Motivation and Occupation-Spescific
insparing, Tecnical Competiencies
Developing&mentoring,
Stategic planing and action,
Preparing&evaluating, 6
Bodgets, Clarilying Occupation-Spescific
Roles&objective, Managing Knowledge Area
Conflict&Team Building,
Developing an Knowledge areas from O’Net
Organizational, Vision, and OPM Mosaik
Monitoring&Controlling taxonomies
Resource
5
Industry-Sector Technical Competencies
Workplace Competencies
Using Workin
Teamw Flexibeli Creati Scedul Recor
Planing Compu g with
ork ty ve ling ding
ter tool
2
Academic Competencies
1
Academic Competencies
Dependenbi
Interperso Profession Interperso Willingness
Integrity Initiative lity&Reliabil
nal Skills alism nal Skills to Learn
ity
Gambar 3.
Employability,
Personal
citizenship, etc.
quality,
including self-
theories and
effecacy
beliefs
Metacognition
Subject
understanding M
Gambar 4.
Australian
Key United Kingdom Canada
United States (SCANS)
Competencies (NCVQ) core Employability
work place know-how
(Mayer Key skills Skills Profie
Competience
Collectin,
analysing and Informationfoundationsk
Communication Thinking skils
organising ills: basic skills
information
Communicatio CommunicationPe Communication Information foundation
ns ideas and rsonal skills: skills skills: basic skils
information improved own
performance and
learning
Personal skills:
Planning and Responsibility Resources
improving own
organising skills Foundation skills:
perfonnance and
activities Thinking skills personal qualities
learning
positive attitudes
Personal skills:
Working with and behaviour
working with Interpersonal skills
others in team Work with others
others
Adaptability
Using Understand and
Numeracy:
mathematical solve problems foundation skills: basic
application
ideas and using skills
ofnumber
techniques mathematics
Problem-solving
and
Solving foundation skills:
Problem solving decisionmaking
problems thinking
skills
Learning skills
Use Technology
Using Information Technology
Communication
technologies Technology Systems
skills
Manage
Post-Mayer
information
addition:
Modern foreign Use Numbers
Cultural
language Work Safely
understanding
Participate in
s
projects and tasks
SHAPING
actions
Supervisior
Commitments
actions
Action ensuring
Personal commitment to
dissertation work is
student
reaserch worthy
Learner Learner
autonomy adaptability
Beliefs shared language
Affect mutual recognition
Student- and conceptualization of
of feeling, shared
supervisior research
empathy with constraints
relationship
Management of
Pada Gambar 7organization
dapat kita of self bahwa
lihat and model ini mengintegrasikan
task, use of resource
empat elemen pembimbingan, yaitu: a) motivasi (motivation) yang terdiri
dari komitmen bersama terhadap penelitian, saling menghormati, dan
kemauan untuk belajar, b) keyakinan/kepercayaan (beliefs) yang
mensyaratkan pembimbing dan peserta didik saling berbagi bahasa dan
konseptualisasi dari proyek penelitian, c) strategi manajemen (management
strategies) dalam mengorganisasi diri dan tugas dan menggunakan strategi
yang tepat dan sumber daya yang relevan, dan d) pengaruh (affect) dalam
mengenali perubahan perasaan Yang terjadi baik Yang positif maupun
negatif, dan berempati pada kondisi dan masalah Yang dihadapi satu sama
Iain. Model ini diarahkan pada pengaturan diri sendiri peserta didik Yang
meliputi otonomi, kemanjuran diri, kemampuan beradaptasi dan
pengendalian terhadap pembelajaran yang akan dicapai
a. Motivasi
Motivasi pembimbingan terkait dengan harapan (expectancy)
dari masing-masing subjek yang terlibat yakni harapan dari pihak
pembimbing dan harapan dari pihak peserta didik. Jordan, Carlile &
Stack (2008:160) menjelaskan bahwa harapan mengacu pada persepsi
seseorang dan memutuskan kemampuan dia sendiri. Harapan yang
tinggi didasarkan pada sukses sebelumnya yang meningkatkan
kesempatan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Harapan sangat tergantung pada harga diri (self-esteem) dan
kemanjuran diri (self-efficacy). Harga diri mengacu pada persepsi
seseorang dan evaluasi pada kegunaan dirinya sendiri, sementara self-
efficacy mengacu persepsi seseorang dan evaluasi pada kemampuan
dirinya pada bidang tertentu. Menurut Bandura (Jordan, Carlile &
Stack, 2008:161) self-efficacy peserta didik dipengaruhi oleh: a)
penampilan sebelumnya, b) pengalaman sendiri, c) ajakan pendidik atau
teman sejawat, dan d) isyarat psikologi dan emosional.
Pembimbingan menekankan pentingnya dorongan kepada
peserta didik dalarn belajar dan membuat keputusan daripada transfer
pengetahuan dan mengambil keputusan bagi peserta didik. segala
inovasi, perubahan, dan kreatifitas kerja melibatkan pengambilan
resiko, namun terkadang hal ini masih sangat sulit bagi peserta didik
karena merasa tidak aman. Namun demikian, pada level diploma
maupun sarjana kegiatan proyek mungkin satu-satunya wilayah dimana
peserta diclik merasa sadar bagaimana belajar mengambil resiko
(Grant, 2003: 176).
Peserta didik memiliki harapan yang bermacam-macam
terhadap pembimbingnya, beberapa harapan peserta didik tersebut
berdasarkan penelitian Phillips & Pugh (2005), Woolhouse (2002), dan
Day & Brown (2000) antara lain adalah: a) bersahabat dan mendukung
(be friendly and supportive), b) membaca pekerjaan dihadapan mereka
dan memberikan umpan balik (read their work ahead of time and
provide feedback), c) memiliki pengalaman dan pengetahuan yang
relevan dengan subjek penelitian (have relevant experience and
knowledge of the research field), d) membantu menunjukkan sumber-
sumber bacaan (help them locate resource), dan e) terlibat dan tertarik
dalam mengembangkan dirinya (to be involve and interested in their
development). Harapan peserta didik yang cukup banyak tidak serta
merta dapat terwujud semua. Ketika pembimbing memiliki pertemuan,
telepon, dan kondisi yang sangat penting, peserta didik umumnya
memaklumi hal tersebut jika mereka di"nomor duakan", karena salah
satu harapan yang tidak tertulis adalah mendapatkan pekerjaan maupun
jaringan yang kuat dari pembimbing setelah mereka lulus.
Harapan tersebut di atas sejalan dengan hasil wawancara Todd,
Smith & Bannister (2006) kepada pembimbing yang menjelaskan
bahwa mereka bertanggung jawab kepada peserta didiknya dalam hal:
a) mendukung. membantu mengidentifikasi dan mendefinisikan
pertanyaan pcnelltlan (supporting students by helping them identify and
define their research question), b) menentukan kelayakan proposal
penelitian (determining the feasibility of the student's proposed
research), c) bertanya bahkan menantang keputusan penelitian nantinya
(questioning—even challenging— the student on research decisions), d)
mensyaratkan penggunaan metode dan pendekatan penelitian yang
benar (requiring the student to justify the research approach and
methods), e) memberi nasihat metodologi yang tepat (advising the
students on appropriate methodologies), f) membantu perencanaan
kerja dan mencapai target (helping the student plan work and meet
targets), dan g) menghadiri pertemuan teknis dan mekanisme terkait
proyek penelitian (attending to technical or mechanical parts of the
research project (writing, grammar, citation, etc.). Dengan kesadaran
pembimbing tersebut, kiranya dapat mewujudkan harapan peserta didik
akan tanggapan (feed back) secara tertulis dan mendetail yang
berkualitas dan memberikan alternatif pilihan terhadap apa yang
disajikan oleh peserta didik.
Di satu Sisi peserta didik memiliki harapan terhadap
pembimbingnya, di sisi lain pembimbing juga memiliki harapan
terhadap peserta didik bimbingannya. Hal ini diungkapkan Anderson,
Day & McLaughlin (2006:156) dalam hasil penelitiannya bahwa
pembimbing sering mengharapkan peserta didik bimbingannya untuk:
a) membiasakan dan mengadopsi kegiatan kelompok penelitian
(become.familiar and adopt the practice of the research community), b)
memberikan kontribusi di bidangnya (make original contributions to
the field), c) mengembangkan kritik dan kokoh pada pendirian
intelektual (develop a 'critical and reflexive intellectual stance ), dan d)
percaya sendiri secara mendalam akan nilai proyek yang dikerjakan
(believe deeply in the value of the project at a personal level). Selain
itu, beberapa harapan lainnya seperti tepat waktu saat janjian,
mempersiapkan segala sesuatu pada saat bertemu, menentukan dan
mencapai tujuan, memiliki hasrat dan antusias pada kegiatan proyek
(Todd, Smith & Bannister, 2006; Brockbank & McGill, 2007), jujur
dalam melaporkan kemajuan dan bangga dengan hasil penelitian yang
dilakukan (Phillips & Pugh, 2005).
Pembimbing terkadang memiliki harapan yang sangat tinggi
terhadap peserta didiknya. Hal ini digambarkan oleh Brew & Peseta
(2004) bahwa pembimbing awalnya berpendapat peserta didik memiliki
kompetensi otonomi dalam mengerjakan proyek penelitian yang terdiri
dari kemampuan perencanaan eksperimen, mengkaji literatur,
menganalisa data, tahu teknik laboratorium dan lapangan, dan
mengetahui teknik penulisan ilmiah. Setelah program berjalan, muncul
pendapat baru untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
peserta didik seperti: kemampuan menulis jurnal, mempersiapkan
proposal penelitian hibah, mampu menjawab kelompok penguji,
berbicara di depan publik, bekerja sama, membimbing/mengawasi, dan
memahami standar profesional di bidangnya.
Untuk mencapai pembimbing yang sesuai harapan peserta didik,
Alyn (201 1) menjelaskan 10 tanda-tanda dari pembimbing yang buruk,
yaltu: 1) memimpin dan mengatur dengan intimidasi, 2) tidak
memperlihatkan hasil kerja yang maksimal, 3) kurang jujur dan
integritas yang rendah, 4) tidak belajar dari kesalahan baik yang
diperbuat sendiri maupun oleh orang lain, 5) kurang terbuka terhadap
ide dan saran baru, 6) merasa terancam jika peserta didik bimbingannya
berusaha banyak belajar dan mengembangkan diri, 7) selalu mengkritik
yang lain, 8) tidak membuat dirinya bertanggung jawab, 9) kurang
terampil dalam berkomunikasi terutama di depan public, dan 10)
menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi tapi tidak memiliki
kompetensi yang cukup.
Sikap saling menghormati antara pembimbing dan peserta didik
sangat diperlukan dalam menjaga dan meningkatkan motivasi keduanya
selama proses penyelesaian tugas akhir. Sikap saling menghormati
dalam menciptakan lingkungan yang kondusifmenurut Crane (2007)
antara lain: a) menghargai waktu, hal ini terkait kedisiplinan dalam
menggunakan dan mengelola waktu yang ada terutama pada saat
berjanji untuk bertemu; b) kesabaran, terutama ketika salah satu pihak
memiliki hambatan yang berarti sehingga belum memenuhi harapan
yang diinginkan; c) mendengarkan keluh kesah yang dihadapi masing-
masing pihak baik yang terkait dengan objek tugas akhir maupun objek
lain yang ingin dibagi untuk didiskusikan, d) bahkan tertawa sesuai
konteks yang menunjukkan hubungan yang antar keduanya; dan e)
kejujuran, dalam hal ini kejujuran satu sama Iain dalam rangka
meningkatkan kualitas tugas akhir Yang dikerjakan sehingga hasil akhir
Yang diperoleh dapat maksimal dan tidak menjadi sesuatu Yang
memalukan bagi diri sendiri.
b. Kepercayaan
Kepercayaan yang dimaksud disini ialah saling percaya antara
pembimbing dan peserta didik dalam menyelesaikan tugas akhir.
Kepercayaan satu sama Iain mensyaratkan pembimbing dan peserta
didik saling berbagi bahasa dan konsep terkait maksud dan tujuan
proyek tugas akhir yang akan dilaksanakan. Berbagi bahasa yang
dimaksud adalah membangun dialog yang konstruktif satu sama Iain,
terutama kaitannya dengan aspek teknis pelaksanaan tugas akhir,
sehingga tidak menimbulkan kesan adanya pemaksaan kehendak dari
pembimbing kepada peserta didik, begitupun sebaliknya.
Pembimbing dalam hal ini tidak melakukan intervensi kepada
peserta didik mengenai apa yang seharusnya dilakukan, namun
memberikan saran dan petunjuk mengenai jalan yang akan dilalui
peserta didik yang selanjutnya menjadi kewenangan peserta didik
dalam memilih dan memutuskan jalan yang akan di ambil sebagai
bagian dari kemandirian belajar peserta didik. Walaupun demikian,
persoalan kemandirian menjadi sulit diseimbangkan dengan tanggung
jawab pembimbing pada penelitian tersebut. Penelitian Rudd (1985)
menggambarkan bahwa banyak peserta didik yang melakukan
penelitian, terutama pada ilmu sains merasa bahwa penelitian tersebut
bukanlah milik mereka sendiri, melainkan hampir seluruhnya adalah
milik pembimbing. Dalam keadaan seperti ini sangat sullt
mengembangkan kemandirian peserta didik. Karena itu, dipcrlukan
perencanaan yang hati-hati dalam membantu pembimbing mengatur
posisinya sebagai direktur proyek dan para peserta didik diakomodasi.
Selain dipandang sebagai peserta didik mereka juga sering
dianggap sebagai asisten penelitian, padahal kedua peran tersebut masih
harus dikenali terutama dalam mengembangkan kemandirian mereka.
Nilai-nilai pengembangan keterampilan interpersonal dan kerjasama
telah dikenal luas memberikan manfaat bagi pribadi, sosia), bahkan
dunia industri. Pendidikan tinggi saat ini berupaya membantu penelitian
peserta didik dalam mengembangkan keterampilan bekerjasama dan
berkomunikasi secara luas dengan berbagai cara, diantaranya:
mengikuti konferensi, presentasi seminar dan poster, dan kelompok
jurnal dan penelitian.
Praktik keterampilan antarpribadi (interpersonal) dapat
dikembangkan dalam hubungan antara peserta didik dan pembimbing
secara terbatas. Hal ini dapat ditingkatkan dengan menjadi bagian dari
tim peneliti atau kelompok peneliti yang fokus pada mutu proses dari
praktik penelitian yang umum maupun yang spesifik. Dapat juga
melalui negosiasi peran dan tugas, penyusunan kriteria kemajuan dan
pelibatan dalam praktik penilaian dan evaluasi kelompok. Selain itu,
dapat juga dilakukan dengan mendorong upaya hubungan profesional,
kunjungan profesional, dan pertukaran peserta didik untuk memberikan
keluasan wawasan mengenai praktik penelitian terutama dalam
meningkatkan keterampilan berkolaborasi dan berkomunikasi mereka.
Peserta didik pada program sarjana dan diploma yang
tnelaksanakan kerja praktik memiliki banyak kesempatan untuk
memilih keputusan dan melakukan tugas-tugas, temasuk diantaranya: a)
keterlibatan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, b)
memilih dan menyediakan bahan pendukung, c) terlibat dalam
menyusun kriteria kemajuan dan penilaian diri, d) mendapatkan
kesempatan untuk mengembangkan dan mengambil resiko, dan e)
mempertanggung jawabkan kegiatan dan penyelesaian proyek
penelitian.
c. Manajemen
Manajemen yang dimaksud adalah pengelolaan diri dan tugas
masingmasing pihak yang terkait pada pembimbingan tugas akhir,
dalam hal ini dosen dan peserta didik. Pentingnya pengaturan peran
pembimbing dan peserta didik dalam bentuk kontrak belajar sebagai
langkah awal yang penting (Stone, 2002; Phillips & Pugh, 2005; Todd,
Smith & Bannister, 2006; Brockbank & McGill, 2007). Hal ini sangat
penting mengingat kebiasaan yang terjadi hanyalah kesepakatan
bersama antara pembimbing dan peserta didik yang tidak tertuang
dalam kertas sehingga dapat dilupakan dikemudian hari terutama pada
kondisi yang tertekan. Selain itu, hal ini dapat membantu peserta didik
memahami peran pembimbing dan persepsi mereka mengenai perilaku
pembimbing.
Terkait dengan hal tersebut, Light, cox & Calkins (2009:161)
menjelaskan bahwa peran dan hubungan tersebut tidak saja Inenjadi
bagian penting dari aturan dasar, tetapi juga penting dalam negosiasi
mengenai sesuatu yang diharapkan satu sama lain. Perumusan hak dan
kewajiban peserla didik juga perlu dijelaskan untuk menghindari
kesalahpahaman antara pembimbing dan peserta didik. Selain itu,
aturan dasar tersebut juga menjelaskan bahan-bahan materi apa yang
harus dipersiapkan pada pertemuan pertama dan seterusnya, jadwal
pertemuan dan mekanismenya, serta kemungkinan perubahan dan
modifikasi atas berbagai saran dan informasi terbaru.
Penggunaan strategi yang tepat dalam melaksanakan tugas akhir
menjadi salah satu aspek dalam manajemen pembimbingan. Strategi
yang tepat terkait dengan bagaimana melakukan segala sesuatu untuk
menyelesaikan tugas akhir, seperti: manajemen waktu, penggunaan
sarana dan prasarana, pemanfaatan sumber informasi dan sumber
belajar yang relevan dengan tugas akhir. Pengembangan keterampilan
peserta didik harus didukung dengan memberikan akses terhadap
peralatan dan ruangan yang sesuai kebutuhan, serta layanan yang
relevan. Karena itu, diperlukan adanya struktur, dan jadwal yang tegas,
petunjuk yang jelas, dokumen/materi/peralatan pendukung, dan
petunjuk penggunaannya bersama pembimbing, pengawas teknis, serta
umpan balik (Brockbank & McGill, 2007).
Mencan sumber-sumber dengan tugas akhir bukan tugas peserta
didik, tetapi menjadi tanggung jawab pembimbing untuk mengarahkan
atau paling tidak memberikan infomasi yang tepat sehingga peserta
didik dapat mengefektiflcan waktu yang ada sehingga dapat
menyelesaikan tugas akhir dengan cepat dan sesuai kualitas yang
diharapkan serta mencapai kompetensi yang diinginkam Hal ini juga
terkait dengan bagaimana mengelola waktu yang tersedia sehingga
dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya dan menghasilkan tugas
akhir yang memiliki kualitas secara individu dan kelembagaan.
d. Pengaruh
Pembimbingan sebagian besar merupakan dialog, namun dalam
hal ini bukan merupakan dialog biasa dimana ada pihak mendengarkan
dan ada pihak yang berbicara. Dialog tersebut kadang membutuhkan
'interogasi' untuk mengembangkan keterampilan kritik pribadi dan
refleksi kritik, dengan tenang dan senang menyampaikan opini sendiri.
Hal ini dilakukan sebagai proses mencari keaktifan peserta didik dalam
menjelaskan asumsinya yang tersembunyi dan konsepsi yang tidak
sama.
Penelitian maupun tugas akhir yang dilakukan peserta didik
terkadang menimbulkan kesan kesepian ketika teman-teman yang lain
juga tidak ikut membantu (Brockbank & McGill, 2007:303). Peserta
didik terkadang menemui masa kesulitan dan kehilangan rasa percaya
diri yang berkaitan dengan kualitas penelitian yang dikerjakan. Proses
dialog dengan pembimbing merupakan salah satu cara menghilangkan
kesepian dan kesulitan tersebut. Karena itu, berbagi pandangan dan
pendekatan mengenał penelitian merupakan bagian penting bagi pesefla
didik, terutama berbagi dengan pembimbing dan seminar-seminar yang
ada. Membangun komunikasi dan dialog dalam pembimbingan
merupakan kunci keberhasilan dalam penyelesaian tugas
akhir/penelitian yang dilakukan.
Peserta didik merasa mereka sangat dipengaruhi oleh
pandangannya terhadap penelitian yang sedang dia kerjakan dan hal ini
juga dirasakan oleh pembimbing mereka. Bagi pembimbing, mengelola
keseimbangan antara dukungan dan kemandirian dalam konteks
personal dapat lebih sulit jika dibandingkan dengan konteks intelektual,
upaya agar peserta didik lebih mandiri dipandang oleh orang lain
sebagai tindakan yang tidak peduli dan tidak mendukung (Light, Cox &
Calkins, 2009: 168). Pengaruh hubungan pribadi dalam proses
pembimbingan sangatlah penting, namun masih sedikit kontroversial
mengenai seberapa jauh hubungan tersebut menjadi pertemanan.
Terbatasnya literatur mengenai hal ini sehingga pembimbing
berpendapat sebaiknya diarahkan pada dimensi sosial yang lebih
informal. Karena itu, dimensi pribadi yang dimaksudkan disini adalah
dimensi pribadi peserta didik dan dimensi pribadi pembimbing.
Pembimbing yang berpengalaman juga sering mengalami
masalah yang serius yang merupakan masalah pribadi dan kemudian
berpengaruh terhadap pekerjaan peserta didik. Karena itu, dibutuhkan
orang lain pada tingkat program studi yang dapat bertanggung jawab
bagi kelangsungan penyelesaian proyek penelitian peserta didik ketika
pembimbingnya menghadapi masalah yang sulit. Hal ini mungkin dapat
diwujudkan dengan membentuk komisi pembimbing kecil Yang
bertanggung jawab ketika hal tersebut terjadi.
Beberapa pembimbing memiliki gaya dan cara masing-masing
dalam melakukan bimbingan. Ada yang berpegang teguh pada
pendekatan yang dilakukan terhadap peserta bimbingannya. Gough &
Woodworth (Leight, Cox & Calkins, 2009:17()) mengidentifikasi
delapan variasi gaya sejumlah peneliti ilmuan profesional, yaitu: fanatik
(the zealot), pemrakarsa (the initiator), pemeriksa (the diagnotician),
cendikia (the scholar), ahli (the artificer), seni (the aesthetician), taat
metode (the methodologist), dan mandiri (the independent). Peserta
didik yang dibiarkan mengembangkan sendiri gaya yang tepat untuk
penelitiannya sangat berbahaya bagi pengembangan kemandirian
mereka. Pembimbing memiliki peran kunci dalam menuntun dan
mengembangkan pemahaman dan kepercayaan diri peserta didik
(Anderson, Day & McLaughlin, 2006: 154). Yang terpenting dalam
pembimbingan, baik secara pribadi maupun kolektif bahwa kita
membutuhkan pemahaman yang lebih terkait dengan mengapa para
peserta didik melakukan penelitian mereka pada pendidikan tinggi dan
seberapa jauh hal tersebut dapat mengembangkan perasaan identitas
profesional mereka.
Pengaruh sosial juga menjadi masalah bagi peserta didik.
Pengaruh sosial yang dimaksud adalah ketersediaan sarana dan
prasarana bagi penelitian peserta didik (Becher, Henkel & Kogan,
1994), aspek budaya yang masih asing dan rendahnya kepercayaan diri
(Smith, 2007; Brockbank & McGill, 2007). Sarana prasarana yang
dimaksud tidak hanya peralatan di laboratorium, tetapi juga bahan
bacaan di perpustakaan serta ruang kompüter bagi pengetikan laporan
penelitian baik yang dilengkapi fasilitas internet maupun tidak. Cryer
(Light, Cox & Calkins, 2009: 171) menggambarkan bahwa dimensi
sosial terkait dengan pengembangan jaringan kerja bagi peserta didik,
tenaga kependidikan, dan lulusan.
Oblinger (2003) menambahkan bahwa email dan sistem jaringan
kerja sosial berbasis web tidak mungkin menyediakan semua kontak
sosial yang dibutuhkan peserta didik, meskipun mereka pasti dapat
membantu mengurangi isolasi dan memberikan jembatan yang bernilai
dalam berkomunikasi berdasarkan sisi intelektual menjadi peneliti
untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial.
8. Pengembangan Model
Model adalah keterkaitan beberapa komponen yang saling
mendukung dan menggambarkan suatu pola pemikiran. Model dapat pula
diartikan sebagai seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan
suatu proses. Prosedur yang dimaksud merupakan kumpuıan beberapa
komponen yang saling berkaitan sattı sama lain dan menuju pada hasil
tertentu. Hasanah (2011:150) menyebutkan bahwa model adalah sesuatu
yang menggambarkan adanya pola pikir dan menggambarkan keseıuruhan
konsep yang saling berkaitan.
Dalam konteks pembelajaran, beberapa alili mendeskripsikan bahwa
model pembeıajaran merupakan kerangka konseptuaı yang menunjukkan
sistematika prosedur pengalaman belajar dalam mencapai tujuan. Beberapa
ahli mcnyamakan antara model pembelajaran dengan model pengajaran,
Joyce, dkk, menyatakan bahwa model pengajaran menłpakan gambaran
suatu lingkungan pembelajaran, termasuk perilaku guru saat menerapkan
model. Sclanjutnya Joyce, dkk (2009) mengelompokkan model-model
pembclajaran menjadi empat kelompok besar, yaitu: (I) proses informasi,
(2) sosial, (3) personal, dan (4) sistem perilaku. Pembuatan tugas akhir
mahasiswa lebih mengarah pada kelompok personal dimana kelompok
model pembelajaran personal didasarkan pada perpektif konsep diri sebagai
individu. Kelompok ini terdiri dari model pembelajaran tanpa arahan
(Nondirective teaching) yang dikembangkan olch Carl Rogers, dan model
pembelajaran peningkatan harga diri (enhance self-esteem) yang
dikembangkan oleh Abraham Maslow dan dikembangkan lagi olch Bruce
Joyce (2009: 326).
Model Nondirective teaching memberikan peran kepada pendidik
sebagai konselor, pembimbing, dan fasilitator dalam menuntun
pertumbuhan dan pengembangan diri peserta didik. Sementara model
enhance self-esteem lebih menitikberatkan pada peserta didik dengan
asumsi bahwa setiap peserta didik dapat belajar bagaimana cara belajar dan
memberi respon pada situasi lingkungan belajar yang ada untuk
berakselerasi dalam mencapai tujuan yang mereka inginkan. Kolaborasi
model ini terjadi pada proses pembuatan tugas akhir mahasiswa karena
mereka tidak lagi belajar secara tatap muka, melainkan lebih pada proses
belajar mandin dengan dukungan dosen sebagai pembimbing. Unsurunsur
yang ada pada model pembelajaran personal yakni sintaks, sistem sosial,
prinsip reaksi, dan sistem pendukung. Sintaks merupakan tahapan kegiatan
dari model, sistem sosial merupakan situasi yang terjadi pada tahapan
kcgiatan terscbut, prinsip reaksi merupakan respon yang seharusnya terjadi
antara pendidik dan peserta didik, dan sistem pendukung merupakan sarana
pendukung kegiatan dari model tersebut. Model inilah yang terjadi pada
pelaksanaan penyusunan tugas akhir.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Pintrich (2004) menjelaskan bahwa pada Self-Reguiated Learning
(SRL),peserta didik dipandang sebagai peserta yang aktif. Meskipun
demikian, mereka dapat memonitor, mengendalikan, dan mengatur aspek
kognitif, motivasi, dan perilaku mereka. Model SRL juga
mengasumsikan beberapa jenİs tujuan, kriteria, atau standar yang dapat
dibandingkan dalam menilai proses pembelajaran yang mereka lakukan
ataupun beberapa hal yang membutuhkan perubahan secara cepat.
Kuisioner yang melaporkan diri sendiri tidak cukup baik digunakan
dalam menangkap aktivitas nyata maupun proses dinamis yang terjadi
dari self-regulation.
2. Aksan (2009). Hasil studi literatur yang dilakukannya menjelaskan
bahwa keterampilan Self-regulation membantu peserta didik dalam
memilih strategi pembelajaran yang cocok untuk tujuan yang mereka
inginkan. Epistemologicaı beliefs dan self-reguıation skilis dapat
dikombinasikan untuk mencapai proses pembelajaran. SRL menyediakan
kepercayaan pengetahuan yang positif mengenai kemampuan diri
seseorang, nilai pembeıajaran, faktor pembelajaran, memperkirakan hasil
kegiatan, konsentrasi yang mempengaruhi p pada instruksi, dan yang
latnnya. Keterampilan self-regulation yang kurang akan berdampak pada
rendahnya motivasi dan kurangnya petnbelajaran. Karena itu, peserta
didlk harus tahu bagaimana mereka belajar dan bagaimana bahan-bahan
materi yang akan dipelajari.
3. Sitzman & Ely (2011). Mengidentifikasi 16 konstruk inti dari SRL.
Kegiatan meta-analisis tersebut menemukan proses hubungan self-
regulatory dari tingkat menengah ke tingkat tinggi yang saling terkait
satu sama lain. Konstruk metakognisi dan strategi pembelajaran
merupakan konstruk yang saling tumpang tindih. Tingkat tujuan (goal
level), (persistence), (effort), and kepercayaan diri (self-efficacy)
merupakan pengaruh yang terkuat pada proses self-regulation.
Sedangkan proses self-regulatoty seperti: perencanaan (planning),
monitoring, meminta bantuan (help seeking), dan kontrol emosi
(emotional control) tidak memberikan hubungan yang signifikan pada
pembelajaran.
4. Bradbury-Jones, Irvine & Sambrook. (2007) melakukan penelitian untuk
menganalisa korespondensi antara seorang kandidat doktor dengan dua
orang pembimbing menggunakan analisis diskursus yang berasal dari the
Foucauldian notion of disciplinary power. Hasilnya menunjukkan
hubungan yang tarik ulur antara pembimbing dan peserta didik selama
proses pembimbingan program doktoral. Karena itu, disarankan agar
penelitian peserta didik tidak teriepas dari pembimbing mereka sejak
awai hubungan mereka dan mendiskusikan pernahaman yang berbeda
kepada pembimbing untuk dapat meningkatkan kualitas penelltian dan
keberhasilan menyelesalkan studi.
5. Anderson, Day & Mclaughlin. (2006). Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa terdapat beberapa aspek SOSiokultural pada pembelajaran dan
pengajaran. Hal tersebut menekankan pada membentuk dan mendorong
usaha peserta didik yang membingkai komitmen dan tindakan
pembimbing. Pembimbing berkomitmen pada standar akademik yang ada
dan berperan sebagai penjaga pintu untuk meluruskan pekerjaan peserta
didik agar berada pada standar akademik, dan disaat yang bersamaan
mengharuskan komitmen pribadi yang melibatkan tanggung jawab untuk
membantu peserta didik mengejar topik yang sesuai dengan keinginan
mereka dan mendorong pendirian yang mereka tetapkan.
6. Mainhard, dkk. (2009) memberikan informasi mengenai persepsi
mahasiswa doktor terkait hubungan mereka dengan dosen pembimbing
yang dapat berguna dalam menyediakan umpan balik yang detail kepada
pembimbing dalam rangka meningkatkan kualitas pembimbingan. Pada
penelitian ini digambarkan pengembangan instrumen interaksi antara
mahasiswa doktoral dan dosen pembimbing yang disebut the
questionnaire on supervisor—doctoral student interaction (QSDI).
Kuisioner tersebut dapat digunakan untuk mencari umpan balik gaya
hubungan antar pribadi pembimbing kepada mahasiswa.
7. Rahman, al. (2009) meneliti mengenai pelaksanaan Project Based
Learning Bharu, Malaysia. Penelitian ini focus pada (PjBL) pada
Politeknik Kota arkan pendekatan socio-konstruktivistik,
pengembangan modul PjBL berdas dan bertujuan untuk menggali Iebih
dalam mengenai pengaruh efektititas penggunaan PjBL modul pada
metakognitif, motivasi, dan penguasaan diri peserta didik.Pengembangan
modul PjBL didasarkan pada konsep Buck Institute Education (BIE).
Hasil penelitian ini memperlihatkan level tertinggi pada aspek motivasi,
kepercayaan diri, dan penguasaan diri melalui proses PjBL. Selain itu,
PjBL juga memperkaya kemampuan kognitif dan berpikir kritis pada
teknik pemecahan masalah pada sejumlah peserta didik. Modul PjBL
bermanfaat bagi peserta didik dalam merencanakan proyek mereka
dengan mudah, bekerja secara kolaboratif dalam kelompok dengan
pengawasan yang minimal dari para pendidik atau pengawas, dan mampu
menyelesaikan proyek mereka tepat waktu.
8. Penelitian Stewart (2007) menyimpulkan bahwa penerapan pembelajaran
berbasis proyek menghasilkan bakat belajarhnandiri (self-directed
learning) dan memberikan kesiapan belajar mandiri yang dapat
membuka jalan menuju pembelajaran tingkat tinggi dari lingkungan
pembelajaran berbasis proyek.Lulusan yang memiliki bakat belajar
mandiri yang tinggi merupakan salah satu dampak yang sangat baik dari
suatu penyelenggara pendidikan dalam menawarkan tenaga professional
di pasar kerja. Tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan peserta
didik, evaluasi terstruktur dan berkelanjutan dari kesediaan belajar
mandiri dan peningkatan dampak pembelajaran dari lingkungan
pembelajaran berbasis proyek akan membawa lulusan menjadi tenaga
kerja yang berkualitas diberbagai industri.
9. savage, Vanasupa, & Stolk (2007) nłenjelaskan hasil evaluasi PBP
menunjukkan peningkatan pada: motivasi peserta didik, kemampuan
memecahkan masalah, keterampilan berkomunikasi dan kerjasama tim,
pengetahuan, dan kapasitas kemandirian belajar. Walaupun menunjukkan
hal yang baik, namun pelaksanaan P BP secara umum masih jarang
dilakukan, aspek keahlian teknik juga menjadi perhatian, dan belum
jelasnya metode yang diyakini tidak menghilangkan kompetensi inti
melalui P BP. Pelaksanaan P BP pada California Polytechnic dilakukan
dengan proses kolaborasi pada tingkat fakultas secara sistematis untuk
mencapai kompetensi inti. Pelaksanaan tersebut melibatkan
pengembangan dalam membagi pemahaman visi dan tujuan,
mengidentifikasi kebutuhan pengguna dan nilai-nilai, mengartikulasi dan
mengelompokkan kompetensi inti bidang ilmu, dan merancang
pengalaman berbasis proyek melalui proses interaktif dalam menyatukan
kompetensi inti dan memetakan pengalaman berdasarkan kebutuhan
pengguna lulusan.
10. Mioduser dan Betzer (2007) menguji kontribusi PBP dalam mendukung
proses penambahan pengetahuan dan pemecahan masalah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran tersebut memberikan
motivasi dan peluang untuk mencapai kesuksesan dan mengatasi
hambatan. Pembelajaran tersebut juga memberikan model pembelajaran
yang sangat kuat dalam membawa peserta didik mencapai prestasi
gemilang. Namun demikian, penerapan PBP merupakan proses yang
panjang dan bertahap untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan.
C. Kerangka Pikir