PEMBAHASAN
4. Equity pedagogy (pedagogi yang setaral). Pendekatan ini menekankan pada persamaan
dan kesetaraan layanan pendidikan pada semua warga masyarakat. Proses pendidikan yang
dilakukan sedapat mungkin memfasilitas semua gaya belajar peserta didik dari beragam
kultur dan menumbuhkan kebersamaan dan kerja sama.
5. An empowering school culture and social culture (memberdayakan kultur sekolah dan
masyarakat). Pendekatan ini digunakan untuk memberdayakan semua pihak baik guru,
sekolah, maupun masyarakat untuk menciptakan budaya keadilan baik melalui kegiatan
rekreasi, olah raga, dan kegiatan lainnya. Kultur saling bekerjasama dibangun berdasarkan
pada consensus dan kepentingan bersama.
Melalui pendekatan kontribusi ini, pemimpin informal bertindak sebagai orang yang
memberikan pemahaman atau informasi mengenai berbagai element-element yang ada di
masyarakat yang dapat mengembangkan pemahaman masyarakat tentanga keberagaman.
Pemimpin informal memberikan informasi kepada warga masyarakat mengenai hari libur
keagamaan, para tokoh masyarakat yang berjasa dalam menjaga keutuhan masyarakat, dan
element-element kebudayaan lainnya.
Dalam konteks ini, pemimpin informal dapat berperan sebagai penyampai keberhasilan,
seorang pemimpin informal dituntut untuk dapat mempengaruhi dan memotivasi warganya
melalui penyampaian-penyampaian cerita-cerita atau kisah-kisah kehidupan yang bermakna.
Perjalanan-perjalanan seseorang atau masyarakat tertentu yang dipandang unggul dan
berhasil, memiliki semangat kerja keras dan pengorbanan tinggi dapat dijadikan materi untuk
mempengaruhi warga masyarakat lain. Misal, kisah perjuangan Mahatma Ghandi di India
dengan perilaku perjuangan kemerdekaan tanpa kekerasannya, Nelson Mandela dengan
perlawanan terhadap politik aparteide, atau tokoh-tokoh social-keagamaannya. Melalui kisah-
kisah berbobot tersebut, warga masyarakat di lingkungan sosialnya akan dapat mengambil
pelajaran-pelajaran penting, mencontoh dan berusaha menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Proses imitasi menuju internalisasi nilai dan perilaku positif diharapkan dapat
terbentuk. Penyampaian kisah-kisan bermanfaat perlu dilakukan oleh seorang pemimpin
informal dengan menggunakan media komunikasi baik langsung maupun tidak langsung
secara terbuka/dialogis, intens berulang-ulang, dan menggunakan bahasa-bahasa yang dapat
dengan mudah dipahami warga masyarakat.
2. The Additive Approach
Dalam pendekatan ini materi, konsep, tema, dan perspektif ditambahkan ke program atau
kegiatan pendidikan tanpa mengubah struktur dasarnya. Artinya pemimpin informal dapat
memberikan berbagai pemahaman yang baik mengenai keberagaman, keharmonisan dan
pengembangannya dalam berbagai kesempatan yang ada di masyarakat. Pemimpin informal
dapat menggunakan pertemuan-pertemuan baik level dusun/kampung, pemerintahan desa,
maupun kecamatan; pertemuan rutin maupun incidental, untuk menanamkan konsep-konsep
kesetaraan social yang menjadi harapan bersama. Literatur mengenai mengenai keberagaman
(mutlkultural) dapat disampaikan kepada warga masyarakat untuk meningkatkan
pemahamannya. Tentunya, pemimpin informal juga perlu menyadarkan bahwa warga
masyarakat budaya belajar sehingga akhirnya mereka memiliki kemampuan literasi terhadap
berbagai etnik, dan cultural yang berbeda (literasi budaya). Terkait dengan ini, tentunya
seorang pemimpin informal harus well-informed terhadap berbagai persoalan yang dapat
bermanfaat bagi pelaksanaan kedua keterampilan tersebut. Pemimpin yang berpengetahuan,
memungkinkan terjadi proses pembelajaran (transfer ilmu) kepada pengikutnya dimana
dirinya akan menjadi seseorang yang dipandang dapat dimintai pendapat, wawasan dan
pemikiran mengenai suatu persoalan, dan menjadi sumber belajar bagi pengikutnya. Seorang
pemimpin masyarakat perlu memiliki pengetahuan mengenai paradigma utama, konsep
utama, kultur dan sejarah, dan pedagogis dalam penyelenggaraan pendidikan multicultural.
3. The Transformation Approach
Pendekatan ini menekankan pada perubahan paradigm atau sudut pandang warga masyakat,
yaitu paradigman untuk melihat berbagai konsep, isu, dan masalah dari perspektif etnik yang
beragam. Mendasarkan pada pemikiran ini, pemimpin informal perlu memiliki kemampuan
membelajarkan warga masyarakat agar mengubah paradigmanya yang semula mono-
perspektif menjadi multi-perspektif terhadap suatu persoalan atau kelompok lain. Pemimpin
perlu menjadikan warga masyarakat memiliki paradigma yang sesuai dengan keharmonisan
masyarakat. Proses penyadaran diharapkan dapat mengubah persepsi atau cara pandang
warga masyarakat yang salah terhadap lingkungan dirinya dan lingkungan masyarakat atau
kelompok lain. Proses penyadaran dapat dilakukan dengan pendekatan pembelajaran
dialogis-rekonstruktif atau pembelajaran transformatif. Menurut Mezirow (200:7-9) bahwa
belajar transformative adalah proses yang mana individu-individu merubah kerangka pikir
yang sudah ada, terjadi melalui proses refleksi krisis yang difasilitasi oleh dialog terbuka
dalam kondisi yang nyaman, saling menghargai, dan saling membelajarkan. Melalui
penyadaran atau conscientization menurut istilah Freire (Jana Noel, 2000:211), pemimpin
informal diharapkan mampu mengembangkan warga masyarakat untuk mengingat kembali,
memahami kembali, merenungkan kembali secara kritis dan selanjutnya merefleksikan
kembali apa yang sudah dialami; keberhasilan dan kegagalan mana saja yang dialami; dan
kekuatan apa yang dimiliki. Penyadaran dilakukan guna memerikan pemahaman kepada
warga masyarakat mengenai realita yang terjadi dalam lingkungannya, mampu
mengidentifikasi kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi, dan mengajak mereka untuk
mencari alternative solusi yang tepat demi memperbaiki mutu kehidupannya.
Proses penyadaran yang dilakukan pemimpin informal akan terjadi transformasi kesadaran
diri (Zamrani, 2011:153) dari setiap warga masyarakat. Kesadaran diri ini mencakup bahwa
seseorang harus: a) berfikir kritis mengapa dirinya tidak mau dan tidak mampu berfikir kritis;
b) menyadari dirinya anti ketidakadilan; c) menyadari bahwa ketidakadilan terjadi bersifat
sistemik; d) mewujudkan proses yang mengkaji berbagai kultur yang ada dan mencintai
keberagaman; e) menyadari bahwa tidak dapat menghindari dari ketidaknyamanan karena
pendirian sendiri; f) berorientasi kesetaraan; g) aktif berusaha dalam proses pemberdayaan;
dan h) menyadari bahwa pendidikan (multicultural) atau pemberdayaan bersifat
komprehensif, tidak sekadar tambal sulam. Penyadaran dapat dilakukan menggunakan
pendekatan berbasis pengalaman (experiential based approach) baik pengalaman atau
masalah yang telah, sedang dihadapi atau potensial dihadapi. Pengalaman dimaksudkan untuk
menghubungkan apa yang dipikirkan dengan yang terjadi di masyarakat. Warga masyarakat,
tentunya bersama para pemimpin informal, mengkritisi berbagai pengalaman atau kenyataan
yang ada di masyarakat seperti kebijakan pemerintah yang kurang relevan, tingginya angka
kemiskinan, pengangguran dan kesehatan yang buruk, terjadinya disintegrasi social, tindakan
dekadensi moral, perlakukan tindak kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi atas nama
agama, human trafficking, penyediaan infrastruktur social yang timpang, dsb.
Pengalaman yang diberikan pemimpin informal untuk penyadaran pastinya pengalaman yang
menarik, menantang, dan sesuai dengan karakteristik masyarakat yang dipimpinnya. Melalui
interaksi dengan pengalaman-pengalaman (experiences) baru, pemimpin informal diharapkan
membentuk pemahaman dan nilai-nilai baru yang mengarah pada perbaikan diri warga
masyarakat (Illeris, 2004). Pengalaman ini akan menjadi instrumen yang penting di dalam
menjalani proses belajar selanjutnya. Bentuk-bentuk pemberian pengalaman belajar yang
dapat dilakukan oleh pemimpin informal antara lain: penyuluhan rutin yang disepakati
bersama, membuka forum-forum kajian di masyarakat, dan pemanfaatan media massa. Selain
itu, pemberian pengalaman perlu dilakukan dengan menekankan pada pandangan bahwa
warga masyarakat memiliki kemampuan untuk belajar dan mengembangkan dirinya;
didukung oleh terciptanya proses interaksi edukasi yang setara (equity pedagogy) dan dialog
yang murni dalam proses penyadaran masyarakat.
Guna mewujudkan pemimpin informal yang memiliki kapasitas cultural unggul, nampaknya
pengembangan (pemberdayaan) pemimpin menjadi suatu tugas baru. Pemberdayaan
pemimpin merupakan proses menjadikan kemampuan individu pemimpin menjadi lebih
berdaya, lebih efektif, dan berorientasi unggul untuk mewujudkan masyarakat yang toleran,
memiliki consensus dan mampu berpartisipasi baik. Proses pemberdayaan tentunya
memerlukan intervensi dari berbagai pihak lain baik pemerintah, organisasi pemberdyaaan
maupun individu. Dan pada pelaksanaan teknis pemberdayaan pemimpin informal dapat
dilakukan dengan pendekatan individual maupun kelompok. Proses mengembangkan
pemimpin agar lebih berkompetensi cultural dapat dilakukan dengan memberikan bimbingan
dan pendampingan secara kelompok. Artinya, para pemimpin dalam mengembangkan
kemampuannya dilakukan secara bersama dalam suatu forum yang berfungsi untuk sharing
pengetahuan antar setiap pemimpin masyarakat dan saling membelajarkan. Adanya kelompok
bersama yang terbimbing, keinginan atau motivasi untuk berprestasi mengembangkan
masyarakatnya masing-masing tercipta pada diri semua pemimpin dan belajar untuk saling
menghargai, terbuka, dan berinteraksi secara dialogis dengan orang lain. Selain itu, melalu
sarana ini diharapkan terbangun saling pengertian dan kerja sama yang baik antar para
pemimpin informal.
Pemimpin informal sekaligus juga berfungsi sebagai manajer, yang mana seorang pemimpin
perlu memiliki kemampuan dalam rencanakan tindakan, memobilisasi sumberdaya, dan
melakukan kegiatan evaluasi terhadap implementasi pembaharuan.Seorang pemimpin
informal harus dapat berfikir kreatif dalam mengelola kehidupan bermasyarakat. Pemikiran-
pemikiran rasional berbasis fakta harus dimiliki seorang pemimpin informal dalam
menjalankan fungsinya di masyarakat. Seorang pemimpin harus mampu menganalisis
berbagai peluang yang ada di lingkungannya guna dimanfaatkan untuk pembangunan
masyarakat, bekerja secara professional sesuai dengan batasan-batasan yang dimilikinya,
berani mengambil keputusan-keputusan strategis dalam mengenai kepentingan bersama, dan
selalu memberikan arahan dan bantuan teknis kepada semua orang yang dipandang
memerlukan bantuannya. Pengembangan kapasitas ini dapat dilakukan dengan memberikan
berbagai fasilitas bimbingan dan konsultasi, pembentukan kelompok diskusi, pemanfaatan
fasilitas media maya (internet), dan pelatihan-pelatihan.
Tipologi Tafsir Sebagai Solusi dalam Memecahkan Isu-Isu
Budaya Lokal Keindonesiaan
A. Pendahuluan
al-Qur’an adalah shalih li kulli zaman wa makan. Pernyataan ini bukan hanya diakui oleh
para ulama tafsir klasik, namun juga diakui oleh para ulma tafsir kontemporer. Hal inilah
yang kemudian menjadikan diskursus seputar penafsiran al-Qur’an tidak pernah mengenal
kata usai. Hal tersebut telah terbukti bahwa selama ini, al-Qur’an
telah dikaji dengan beragam metode dan diajarkan dengan aneka cara.1
Namun ibarat samudera yang luas dan dalam, al-Qur’an tidak akan pernah
mengalami kekeringan walaupun telah, sedang dan akan terus di kaji dari
berbagai segi dan metodologi. Geliat diskursus studi al-Qur’an ini bukan
dunia Barat.2
zaman kontemporer ini tidak akan pernah berhenti. Oleh sebab itu, tidaklah
cukup jika al-Qur’an hanya dibaca sebagai rutinitas belaka dalam kehidupan
Into The Ligh Of The Holy Qur’an (Iran: Imam Ali Public Library, 1998), hlm. 16.
2Lihat, Fazlur Rahman, “Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors,”
Jurnal of Religion, Vol. 64, 1984, hlm. 73. Sejak seperempat terakhir abad keduapuluh,
kajian-kajian terhadap kitab suci al-Qur’an ini menunjukkan intensitas yang cukup
meningkat. Tidak kurang bermunculan tokoh-tokoh kontemporer dalam studi al-Qur’an ini
seperti Fazlur Rahman dengan hermeneutika double movement. Lihat, Fazlur Rahman, Islam
1977),Nasr Hamid Abu Zaid dengan pemikirannya dalam bidang hermeneutika sastra kritis.
Salah satu karyanya adalah Mafhum al-Nașș: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’ān. Lihat, Nasr Hamid
Abū Zayd, Mafhum al-Nașș: Dirāsat fî ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyah,
Salah satu karyanya adalah Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab. Lihat Hassan Hanafi,
Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (Kairo: Dar Al-Fanniyyah, 1991), Farid Esack dengan
Amina Wadud dengan hermeneutika gendernya. Lihat, Amina Wadud-Muhsin, Qur’an and
Woman (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1992),Fatima Mernissi juga hermeneutika gendernya.
Lihat, Fatima Mernissi, al-Shulthanat al-Munsiyyat: Nisa Ra’isat Dawlah fi al-Islam, terj.
Abd al-Hadi Abbas dan Jamill Mu’alla, (Damsyiq: Dar al-Hasad wa al-Tauzi, 1994),
1990), dan lain-lain. Kajian-kajian terhadap kitab suci al-Qur’an ini pun menunjukkan
intensitas yang cukup meningkat dikalangan para orientalis seperti, Abraham Geiger dengan
karyanya “What did Muhammad Borrow From Yudaism?,” dalam The Origin of Koran, Ibn
Warraq (ed.) (New York: Prometheus Books, 1998), Arthur Jeffery dengan karyanya
“Material for the History of the Text of the Koran,” dalam The Origin of Koran, Ibn Warraq
(ed.) (New York: Prometheus Books, 1998), John Wansbrough dengan karyanya,
University Press, 1977), Andrew Rippin dengan karyanya “Interpreting the Bible thrugh the
Qur’an,” dalam G.R. Hawting and Abdul Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’an
setempat.4
Model tipologi sepeperti apakah yang tepat dan baik sebagai solusi
metodologi dan tipolologi yang ada pada karya tafsir al-Qur’an. Hasil sintesa
sebagai salah satu solusi atas kebuntuan metodologi Islam seolah menjadi
ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman kontemporer yang dihadapi umat manusia. Lihat,
4M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
sesuatu yang niscaya. Para pemikir Islam kontemporer seperti Arkoun,5 Nasr
sumber dan ajaran Islam kurang relevan untuk konteks sekarang, karenanya
hermeneutika yang selama ini dianggap bukan ‘produk Islam’ ini dapat
memunculkan apa yang disebut dengan tipologi pemikiran tafsir. Jika dilihat
dari segi tipologi pembacaan pada masa kontemporer ini, para sarjanasarjana
5Lihat, Mohammed Arkoun, Tarikhiyyat al-Fikr al-Arabi al-Islami (Beirut: Markaz Al-
Anma’, 1977).
6Lihat, Nasr Hamid Abū Zayd, Mafhum al-Nașș: Dirāsat fî ‘Ulūm al-Qur’ān(Kairo: al-
1991).
8Lihat, Amina Wadud-Muhsin, Qur’an and Woman (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1992)
Islam,terj. Abd Al-Hadi Abbas dan Jamill Mu’alla (Damsyiq: Dar al-Hasad wa al-Tauzi,
1994)
Islam tersebut diantaranya adalah: Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari'ah (Mesir: Dar
al-
Qalam, tt.); Yusuf al-Qardlawi, al-Ijtihad fi al-Syari'ah al-Islamiyah Ma'a Nazarat Tahliliyah
fi al-Ijtihad al-Mu'asir (Kuwait: Dar al-Qalam, t.t.); Ali Syari'ati, On The Sociology of Islam
terj. Hamid Algar (Berkeley: Mizan Press,1979); Mahmud Muhammad Taha dan Abdullahi
Ahmed an-Na'im dalam The Second Message of Islam, terj. Abdullahi Ahmed an-Na'im,
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation ofan Intellectual Tradition (Chicago:
University of Chicago Press, 1982); Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An
secara tektual seperti yang tertera di dalam teks ayat tersebut dan yang sesui
beberapa negara Islam. Memang benar kelompok ini ketika menafsirkan al-
ilmu tafsir yang telah mapan, seperti ilmu asbab al-nuzul, nasikh dan
balik ayat yang ditafsirkan mampu terungkap dengan baik. Ciri utama yang
mudah dikenali dari model penafsiran kelompok ini adalah penafsiran yang
tekstualis (literal).
obyektifis revivalis.
pemahaman al-Qur’an haruslah sesuai dan sama dengan bunyi teksnya. Ciri
utama dari tipologi ini adalah suatu penafsiran yang tekstual dan hanya
Muhammad Šahrurs Koranhermeneutik und die Debatte um sie bei muslimischen Autoren
Maka tidak heran jika produk penafsirannya tidak bisa berkembang dan
pada kisaran tahun 2000-an masih banyak karya tafsir dengan tipologi ini
Jilid 1,21 Tafsir Ayat-ayat Haji: Menuju Baitullah Berbekal Al-Qur’an,22 dan
yang lainnya. Hanya satu karya tafsir yang tergolong tipologi obyektifis
semacan ini dilakukan secara konsisten setiap ayat dalam surah-surah yang
atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk pada tata bahasa yang sering
14Abd Khaliq Hasan, Tafsir Ibadah, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2008).
15 Luthfi Hadi Aminuddin, Tafsir Ayat Ahkam, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,
2008).
16H. E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, (Jakarta: Rajawali Press, 2008).
17H. Zaini Dahlan, Tafsir al-Qur’an Juz 30 (Yogyakarta: Masjid Baitul Qahhar dan
18 Sa’ad Abdul Wahid, Tafsir al-Hidayah: Ayat-ayat Akidah Jilid II (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2003).
20A. Rofiq Zainul Mun'im, Tafsir Surah al-Fatihah (Yogyakarta: Forstudia, 2004).
2004).
penulis dalam, M. Nurdin Zuhdi, “Tipologi Tafsir al-Qur’an Mazhab Indonesia” Tesis PPs
digunakan al-Qur’an, dan memahami arti ayat atas dasar digunakannya kata
dan jelas dalam mengungkap seputar kebahasaan. Namun disisi lain model
yang ada di balik ayat yang ditafsirkan. Lebih tegasnya adalah bahwa model
semata. Bagaimana bisa menjawab jika hanya sibuk berdebat pada wilayah
lain yang jelas-jelas perlu untuk dikemukakan, yaitu makna universal ayat
tersebut. Karena dengan melihat makna universal dari sebuah ayat akan
yang murni. Dalam arti pemahaman terhadap al-Qur’an yang murni yang
karakter ideologis yang statis, ahistoris, sangat ekslusif, tekstualis dan bias
Muhammad dan para Sahabat di era kontemporer ini. Bagi mereka, Islam
pada masa kaum salaf inilah yang merupakan Islam paling sempurna, masih murni dan bersih
dari berbagai tambahan atau campuran (bid’ah) yang
Tafsir al-Wa’ie.25 Karya Tafsir ini merupakan produk dari kalangan Hizbut
Tahrir Indonesia. Ciri dari tafsir tipologi obyektifis revivalis ini, selain
kelompok ini begitu sangat mendukung dalam penegakkan syariat Islam dan
juga terhadap jihad dalam pengertian tekstual. Maka tidak heran jika yang
terjadi justru sebaliknya, sebuah problem baru ketika jihad dimaknai secara
begitu ”kaku”. Menurut kelompok ini tema global surat ayat ini seputar
diterapkan secara total. Tidak boleh ada sebagian yang boleh ditinggalkan
atau diabaikan.26 Dan ketentuan ini menurut kelompok ini adalah harus
disetujui kaum kafir atau tidak.27 Juga ketika menafsirkan Surat al-Baqarah:
30. Menurut kelompok ini pengertian khilafah ini adalah khilafah yang wajib
diangkat dengan jalan baiat. Sehingga menurut kelompok ini, dengan adanya
Sebaliknya, jika tidak ada khilafah, baiat yang diwajibkan itu tidak ada
”Jika realita hukum Islam ini dihubungkan dengan kedudukan manusia sebagai
hanya bisa menjadi khalifah (dalam pengertian QS. Al-Baqarah [2]: 30) secara
24 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur
26 Rokhmat S. Labib, Tafsir al-Wa’ie (Jakarta: Wadi Press, 2010), hlm. 245.
27 Rokhmat S. Labib, Tafsir al-Wa’ie, hlm. 245.
seorang khalifah (dalam pengertian syara’, yakni: orang yang mewakili umat
syari’ah.). Sebab, hanya ketika ada khalifah seluruh hukum-hukum Allah Swt
saw. Itulah suatu gambaran ide sebuah penafsiran kaum reivivalis yang
mengajak kembali umat Islam sebagaimana umat Islam yang ada dan sama
pada zaman 1400 tahun lebih yang lalu. Padahal jika dilihat kondisi sosial,
budaya, politik dan kulturalnya jauh sangat berbeda dengan era sekarang,
tentang jihad. Maka tidak heran jika ayat-ayat jihad tersebut dimaknai secara
tekstual dan kaku yang terjadi adalah lahirnya teroris-teroris yang justru
banyak merugikan umat Islam itu sendiri. Karena konsep jihad bagi mereka
Rasulullah saw. Padahal konsep jihad itu sendiri memiliki cakupan makna
yang dianggap sebagai sistem “jahiliyah modern”. Maka tidak heran jika
mereka syariat Islam harus diterapkan dalam setiap sendi kehidupan. Baik
Tarbiyah, FPI dan lain sebagainya. Produk penafsiran mereka hemat penulis
2) Tipologi Subyektivis
Tipologi yang menganut aliran subyektivis menegaskan bahwa setiap
dengan ilmu-ilmu bantu yang berkembang pada era sekarang tanpa harus
tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayatayat.
sesuai dengan perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun
asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasabih dan lain
dan Politik Anti Feminisme di Indonesia,” Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 9,
lainnya (hermeneutik).
subyektivis dalam peanfsiran pasti ada, namun subyektivis dalam arti bawha
metode kontemporer yang ada seperti hermenutika, maka wajar jika metode
yang mereka gunakan masih menggunakan metode yang telah mapan dalam
ulum al-Qur’an. Karena bagi mereka metode tafsir yang ada di dalam ulum
al-Qur’an sudah cukup dan belum perlu lagi menggunakan metode baru
secara keseluruhan, nyaris belum ada yang berani. Selain itu juga mungkin
klasik, karena metode baru yang bukan produk Islam selama ini telah
nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasabih dan lain sebagainya yang
metodis lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan
wahyu, teori-teori ilmu bahasa dan sastra modern
sebagai pijakan awal bagi pembacaan al-Qur’an di masa kini; makna asal
Jelasnya bahwa pandangan ini sama sekali tidak mengabaikan teks dan
sekarang. Menurut Sahiron, muslim saat ini harus juga berusaha memahami
makna di balik pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis,
pesan literal inilah yang harus diimplementasikan pada masa kini dan akan
datang.38
36Lihat, Ath-Thalibi, ‘Iyal Allah (Tunis: Saras li-l-Nasyr, 1992), hlm. 142-144.
37Lihat, Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nashsh, al-Sulthah, al-Íaqiqah (Beirut: al-Markaz al-
Islam dalam al-Qur’an Menuju Titik Temu Agama-agama Semitik (Yogyakarta: AK Group
Yogya 2004). Konteks,41 Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial
Qur’an.49
pada kontektualitas ayat dengan tanpa mengabaikan makna asal ayat dan
Berpolotik”.50
2007).
50 Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu’i: Solusi, hlm. 195-210. Kholis Setiawan.51 Karya
tafsir ini memperlihatkan bagaimana pentingnya
sosial masyarakat luas. Tema-tema yang diusung dalam tafsir tipologi ini
Keindonesiaan
terjadi sejak abad ke-16. Kita mengenal beberapa kitab tafsir mulai dari
klasik hingga kontemporer, misalnya dari tafsir klasik yang ditulis dengan
ditemukannya naskah tafsir Surah all-Kahfi [18]: 9.52 Kitab tafsir ini ditulis
dalam bentuk yang sangat sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir,
sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan sepasi
rangkap.53 Leteratur tafsir ini menafsirkan dua ayat dari surat an-Nisa, yaitu
ayat 11 dan 12 yang berbicara mengenai warisan. Selain Kitab Fars’idul
Qur’an, pada abad ke-19 ini pun muncul sebuah literatur tafsir utuh yang
berjudul Tafsir Munir li Ma’alim al-Tanzil yang ditulis oleh seorang ulama
berkembang.55
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012); M. Nur Kholis Setiawan, Tafsir Mazhab Indonesia
52Naskah ini tidak diketahui siapa penulisnya, namun dapat diperkirakan naskah ini
ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).Mengenai riwayat
hidup Sultan Iskandar Muda. Lihat, Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar
Muda (1607-1636) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 106-107, 232-236.
54 Lihat, M. Nurdin Zuhdi, “Tipologi Tafsir al-Qur’an Mazhab Indonesia” PPs UIN
8, No. 1, 1991 dan M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad
Keduapuluh,” Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 3, No. 4, 1992, hlm. 53. hlm. 50. Lihat dinamika
sejarah tafsir di Indonesia sejak abad 16 hingga tahun 2000-an dalam, M. Nurdin Zudi,
“Tipologi Tafsir al-Qur’an Mazhab Indonesia”, PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011,
mulai dibangun dalam tradsisi karya tafsir al-Qur’an hingga saat ini.56 Tidak
kurang dalam kurun waktu tersebut telah banyak para mufsir Indonesia yang
melahirkan banyak karya dalam studi al-Qur’an telah bermunculan dengan
56Lihat, M. Nurdin Zuhdi, “Wacana Tafsir al-Qur’an di Indonesia: Menuju Arah Baru
Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia Tahun 2000-2008,” Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-
Qur’an dan Hadis, Vol. 11, No. 2, Juli, 2009, hlm. 249-266.
“Maqahashid Syariah Sebagai Doktrin dan Metode,” dalam M. Amin Abdullah dkk,
Restrukturisasi
2007); M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural
(Yogyakarta: Panitia Dies IAIN Sunan Kalijaga, 2002); Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika
59 Ibid.
60 Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama al-Qur’an, hlm. 223-229; lihat juga, M. Nur
64Lihat, Waryonodan Muh. Isnanto (ed.), Gender dan Islam Teks dan Konteks
(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2009); Hamim Ilyas, “Jender dalam Islam: Masalah
Penafsiran,” Jurnal asy-Syir’ah, Vol. 35, No. II, 2001, hlm. 22-33; Hamim Ilyas, “Kodrat
Perempuan Kurang Akal dan Kurang Agama,” dalam Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas:
“Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Islam dan Gender,” dalamTim Pusat Studi Wanita,
Hak-Hak dalam Keluarga (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2009); Abdul Mustaqim,
Paradigma Tafsir Feminis: Membaca al-Qur’an dengan Optik Perempuan Studi Pemikiran
Riffat Hasan Tentang Isu Gender dalam Islam (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008); Abdul
Perempuan di Ranah Publik,” Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 9, No. 1, Januari,
Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 8, No. 1, Januari, 2007; Hamim Ilyas, “Poligami
yang tentunya sangat erat kaitannya dengan isu-isu aktual serta nuansa
setidaknya ada bebapa isu-isu aktual yang belum diangkat dan mesti di
sumber daya alam, juga beberapa isu-isu terkait dengan kerukunan umat
beragama.
pluralisme.
Di bawah ini adalah gambar skema tipologi tafsir di atas. Skema ini
dan dipraktekkan dalam penafsiran. Dari gambar skema ini akan terlihat
dalam Tradisi dan Ajaran Islam,” dalam Inayah Rahmaniyah dan Moh. Sodik (ed.), Menyoal
67Lihat, Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks
(Yogyakarta: eLSAQ, 2005); Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama al-Qur’an: Jawaban
Al-Qur’an Terhadap Problematika Sosial (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2007).
68Lihat, Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari
di tengah-tengah masyarakat.
3. Tipologi Subyektivis
D. Simpulan
Dari semua uraian di atas, kajian ini semata-mata bukan hanya ingin
selama ini telah terjadi dalam tradsisi penulisan tafsir, terutama di Indonesia.
Lebih dari itu, kajian terhadap karya-karya tafsir ini juga ingin menegaskan
bahwa sebuah karya, tidak terkecuali karya tafsir, bukanlah suatu karya suci
yang kedap kritik. Analisis wacana kritis yang dipakai dalam kajian ini,
dari tema yang diusung di atas menunjukkan bahwa studi tarhadap tafsir al-Qur’an ini terus
mengalami perkembangan yang signifikan. Selain itu,
produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text), dan
pembaca (reader).
hidup, tidaklah cukup jika al-Qur’an hanya dibaca sebagai rutinitas seharihari
intelektual Islam tidak akan pernah bisa untuk dilepaskan dari realitas,
tersebut. Maka dalam konteks seperti inilah para pembaca tafsir dituntut agar
dapat kritis membaca dan bahkan dituntut pula untuk mampu membongkar
sesuatu yang ada dan tersimpan di balik sebuah teks karya tafsir tersebut.
Semua itu menuntut kita untuk selalu sadar menempatkan sebuah karya
tafsir secara kritis, bukan malah ”mensakralkan” teks tafsir. Meskipun perlu
Harb—tidak ada kebenaran yang dapat ditangkap secara universal dan jelas.
A. PENDAHULUAN
Berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya), multi-kulturalisme
mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik
keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun
keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap
sejarah kehidupan masyarakat.
Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat Indonesia. Ini
tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan
masyarakat Indonesia terlihat dari beberapa fakta berikut: tersebar dalam kepulauan yang
terdiri atas 13.667 pulau (meskipun tidak seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358
suku bangsa dan 200 subsuku bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan yang
menurut statistik: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang
lain 1% (dengan catatan ada pula penduduk yang menganut keyakinan yang tidak termasuk
agama resmi pemerintah, namun di kartu tanda penduduk menyebut diri sebagai pemeluk
agama resmi pemerintah), dan riwayat kultural percampuran berbagai macam pengaruh
budaya, mulai dari kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen, dan juga Barat modern.
Yang umumnya dikenal oleh masyarakat awam adalah multikultural-isme dalam bentuk
deskriptif, yakni menggambarkan realitas multikultural di tengah masyarakat (Heywood,
2007).
Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni kebudayaan, pluralitas
kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Multikulturalisme bukanlah
doktrin politik pragmatik, melainkan cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua
negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya
—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka
multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik
pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.
Setidaknya ada tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi realitas
pluralitas kebudayaan. Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas
adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa,
agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini
setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model
ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan
negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini
dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk
menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang
landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional
(founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini
dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut
hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang
asing.
Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara
kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan
diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang
muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi
juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks
lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus
menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah
karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi
pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-konflik internal berkepanjangan yang
pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.
Sampai saat ini pemerintah dan masyarakat Indonesia belum menentukan secara normatif
model multikulturalisme macam apa yang harus diterapkan di negeri ini. Selain
membutuhkan kajian-kajian antropologis yang lebih mendalam, tampaknya juga diperlukan
kajian filosofis terhadap multikulturalisme itu sendiri sebagai sebuah ideologi. Berbeda dari
yang dipahami orang awam, ternyata multikulturalisme mengandung asumsi-asumsi
problematis yang harus sebaiknya dikenali, diakui sepenuhnya atau direvisi sesuai realitas
khas setiap negeri, sebelum pemerintah dan masyarakat dapat memutuskan apakah akan
memeluk ideologi multikulturalisme dan selanjutnya menormatifkannya. Dalam makalah ini,
penulis akan berusaha menguraikan asumsi-asumsi dasar dari multikulturalisme dan
konsekuensinya secara konseptual, lalu menyajikan beberapa tinjauan kritis terhadap
multikulturalisme tersebut, sebelum akhirnya mencoba untuk mengaitkan pertimbangan atas
bangunan konsep multikulturalisme itu secara keseluruhan dengan realitas masyarakat
Indonesia yang majemuk.
2. Tujuan Penulisan
B. METODE PENULISAN
Objek material dari kajian ini adalah multikulturalisme sebagai sebuah bangunan konsep,
sementara objek formalnya adalah ontologi. Dengan demikian multikulturalisme tidak akan
diteliti menurut metode antropologis, melainkan disoroti secara filosofis, yaitu ditinjau dalam
cahaya dasar-dasar kenyataan tentang manusia dan dunia, hakikat keberadaan.
Ada tiga langkah metodis yang akan disajikan dalam penulisan ini. Pertama, mengidentifikasi
filsafat tersembunyi, yaitu menyelidiki konsep filosofis (pandangan hidup) yang secara
faktual tersembunyi di dalam peristiwa, atau keadaan dan situasi, atau fenomena yang
merupakan masalah itu. Terutama diperhatikan sikap, pilihan, dan penilaian orang, sejauh
diungkapkan atau diperlihatkan dalam tingkah lakunya (pendapat umum). Filsafat
tersembunyi itu dirumuskan dan dijelaskan tanpa memberikan komentar lebih lanjut.
Kedua, evaluasi kritis. Filsafat tersembunyi itu dievaluasi secara kritis dengan
memperlihatkan kekuatan dan kelemahannya. Untuk itu, konsepsi itu dikonfrontasi dengan
data-data masalah atau situasi yang lengkap; atau dibandingkan dengan pengalaman orang
umum; atau diteliti koherensi interen pada filsafat tersembunyi itu.
Ketiga, konsepsi filosofis yang lebih utuh. Konsepsi itu mungkin dapat memecahkan masalah
yang bersangkutan dengan lebih baik dan lengkap. Pemahamannya dapat menjelaskan
kedudukan peristiwa atau fenomena aktual. Mungkin juga pemahaman itu dapat memberikan
pengarahan fundamental untuk mengambil sikap yang lebih tepat (etis) dalam situasi itu (lihat
Bakker dan Zubair, 1990: 107-108).
Istilah multikulturalisme marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Istilah ini diderivasi
dari kata multicultural yang dipopulerkan surat kabar-surat kabar di Kanada, yang
menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural dan multilingual.
Pengertian tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama: pertama, kebutuhan terhadap
pengakuan (the need of recognition), kedua, legitimasi keanekaragaman budaya atau
pluralisme budaya. Parsudi Suparlan menuliskan, ―Konsep multikulturalisme tidaklah dapat
disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku-bangsa atau kebudayaan suku-
bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multi-kulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan
harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi
ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan
berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral, dan tingkat serta mutu produktivitas (Suparlan, 2002).‖ Multikulturalisme lahir dari
benih-benih konsep yang sama dengan demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, dan
prinsip-prinsip etika dan moral egaliter sosial-politik (Fay, 1996; Rex, 1985 dalam Suparlan,
2002).
Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang beragam itu tampak dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Ungkapan itu sendiri
mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui perbedaan tapi sekaligus
memelihara kesatuan atas dasar pemeliharaan keragaman, bukan dengan menghapuskannya
atau mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan, hal ini
adalah asumsi dasar yang juga melandasi paham multikulturalisme.
Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan (the need of
recognition) terhadap kemajemukan budaya, yang menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa,
termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai
suatu ideologi, menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan
semua manusia dan kemanusiaannya yang secara operasional mewujud melalui pranata-
pranata sosialnya, yakni budaya sebagai pemandu kehidupan sekelompok manusia sehari-
hari. Dalam konteks ini, multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi keanekaragaman
budaya. Kita melihat kuatnya prinsip kesetaraan (egality) dan prinsip pengakuan
(recognition) pada berbagai definisi multikulturalisme:
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai
dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (Parekh,
1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
Konsekuensi dari multikulturalisme adalah sikap menentang dan anti terhadap, atau
setidaknya bermasalah dengan, monokulturalisme dan asimilasi yang merupakan norma-
norma wajar dari sebuah negara bangsa sejak abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki
adanya kesatuan budaya secara normatif, sebab yang dituju oleh monokulturalisme adalah
homogenitas, sekalipun homogenitas itu masih pada tahap harapan atau wacana dan belum
terwujud (pre-existing). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan bersatu antara
dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan
untuk mewujud menjadi satu kebudayaan baru. Pertentangan antara multikulturalisme dan
monokulturalisme tampak nyata sekali dari asumsi dasar yang saling berseberangan, yang
satu melegitimasi perbedaan sementara yang lain meminimalisir perbedaan.
Secara awam, kita menyadari kebutuhan untuk mengakui berbagai ragam budaya sebagai
sederajat demi kesatuan bangsa Indonesia. Namun secara filosofis, ternyata multikulturalisme
mengandung persoalan yang cukup mendasar tentang konsep kesetaraan budaya itu sendiri.
Beberapa kritikus multikulturalisme telah bicara tentang kelemahan multikulturalisme. Kritik
terhadap multikulturalisme biasanya berangkat dari dua titik tolak.
Pertama, kesadaran tentang ketegangan filosofis antara kesatuan dan perbedaan (one and
many). David Miller (1995) menulis bahwa multikulturalisme radikal menekankan
perbedaan-perbedaan antarkelompok budaya dengan mengorbankan berbagai persamaan
yang mereka miliki dan dengan demikian multikulturalisme akan melemahkan ikatan-ikatan
solidaritas yang berfungsi mendorong para warga negara untuk mendukung kebijakan-
kebijakan redistributif dari negara kesejahteraan. Hal ini, komentar Anne Phillips (2007:13),
akan menghancurkan kohesi sosial, melemahkan identitas nasional, mengosongkan sebagian
besar dari isi konsep ―kewarganegaraan‖. Jika telah sampai pada titik yang berbahaya,
multikulturalisme radikal akan membangkitkan semangat untuk memisahkan diri atau
separatisme dalam psike kelompok-kelompok kultural.
Kedua, kenyataan bahwa dapat terjadi benturan prinsip kesetaraan antara elemen minoritas
dalam kelompok sosial. Peneliti feminis Susan Moller Okin (lihat Okin, 1998, 1999, dan
2002), misalnya, menilai bahwa agenda multikulturalisme tidak dapat berbuat banyak, atau
justru makin melemahkan posisi perempuan dalam tatanan masyarakat lokalnya. Praktik-
praktik seperti poligami, penyunatan alat kelamin perempuan, pernikahan paksa terhadap
anak-anak perempuan termasuk anak-anak perempuan berusia dini, dan lain sebagainya
praktik yang bias gender, justru dilegitimasi oleh multikulturalisme yang memberikan hak
otonom bagi setiap kelompok kultural untuk melanggengkan tatanan sosial masing-masing.
Jika tatanan sosial dari kelompok kultural tersebut didasarkan atas sistem patriarki, kata Okin,
posisi perempuan dalam masyarakat itu sangat lemah.
Anne Phillips menganalisis situasi ini sebagai benturan antarprinsip kesetaraan. Terjadi
konflik antara dua klaim kesetaraan. Multikulturalisme ingin menghapuskan ketidaksetaraan
yang dialami oleh kelompok-kelompok kultural minoritas, sementara feminisme ingin
menghapuskan ketidaksetaraan yang dialami oleh kaum perempuan. Kedua proyek ini,
multikulturalisme dan feminisme, sebetulnya berangkat dari komitmen yang sama terhadap
prinsip kesetaraan dan keduanya berhadap-hadapan sebagai dua aspek yang harus
diseimbangkan. Karena keduanya sama-sama mengurusi isyu ketidaksetaraan yang nyata,
sangat tidak tepat untuk memutuskan yang satu lebih fundamental daripada yang lain
(Phillips, 2007:3).
Ada risiko konseptual dalam multikulturalisme bahwa perbedaan budaya akan terlalu
disakralkan sehingga kebenaran universal tentang praktik sosial-politik yang ideal tidak lagi
dicari dan kritik normatif atas praktik budaya tertentu ditabukan. Para feminis sudah lama
mengkritik multikulturalisme sebagai ideologi yang merugikan perempuan karena
melegitimasi sistem sosial patriarkis dalam budaya-budaya lokal. Sekalipun prinsip
kesetaraan (principle of equality) bersifat mendasar bagi demokrasi dan kehidupan
kebangsaan modern, namun kesetaraan bukanlah satu-satunya prinsip yang berlaku.
Demokrasi juga mengandung penghargaan terhadap hak asasi manusia dan memberikan
ruang luas bagi individu dalam kelompok untuk mengekspresikan diri secara unik. Isyu
ketegangan antara penghargaan terhadap keberbedaan dan hak untuk menjadi berbeda dengan
konsep universal tentang martabat individu sesungguhnya inilah perlu diteliti lebih lanjut
agar ditemukan solusi yang tepat.
Sampai di titik ini, kita bisa memandang proyek multikulturalisme dengan lebih menyeluruh,
bukan semata-mata sebagai jargon politik untuk mencitrakan ideologi atau organisasi yang
pro kemanusiaan, melainkan sebagai sebuah konsep filosofis dengan asumsi-asumsi yang
ternyata problematis. Salah satu ironi dari proyek multikultural, lanjut Anne Phillips
(2007:25), adalah bahwa atas nama kesetaraan dan respek mutual antarelemen masyarakat, ia
juga mendorong kita untuk memandang kelompok-kelompok dan tatanan-tatanan budaya
secara sistematis lebih berbeda daripada kenyataan sesungguhnya dan dalam proses tersebut,
multikulturalisme berkontribusi menciptakan stereotipisasi wujud-wujud kultural yang ada.
Saat ini term multikulturalisme sedang laris dalam arti positif di kalangan birokrat,
akademisi, maupun masyarakat umum. Visi indah tentang kelompok-kelompok budaya
berbeda yang berinteraksi dalam kedamaian dan ko-eksistensi konstruktif ada di benak kita
semua. Pidato-pidato dan esai-esai yang mendorong dijunjung tingginya multikulturalisme
ada di mana-mana, meminta dan menuntut adanya sikap menghargai setiap wujud
kebudayaan, daerah atau sub-kelompok, yang ada di Indonesia.
Namun, konflik inheren dalam konsep multikulturalisme belum dicarikan solusi fundamental,
sehingga kita melihat dalam praktiknya terjadi benturan-benturan antara konsep yang satu
dan yang banyak (one and many). Aksi terorisme, misalnya, menunjukkan adanya identitas
kelompok kultural yang kuat namun memberontak terhadap identitas bersama dan
kepentingan rakyat banyak sebagai sesama warga Indonesia. Para teroris mengorbankan
kepentingan dan keselamatan sesama warga negara Indonesia untuk memperjuangkan tujuan
kelompok kulturalnya sendiri. Kita bisa menilai hal yang sama terjadi pada gerakan-gerakan
separatisme di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Menguatkan identitas kelompok kultural
ternyata bisa menabrak kepentingan agenda nasional yang lebih besar, sila ketiga dari
Pancasila, yakni persatuan Indonesia.
Problem benturan antarklaim kesetaraan juga perlu diselesaikan. Jika esensi dari
multikulturalisme adalah pengakuan bahwa kaum minoritas perlu diperlakukan setara seperti
kelompok mayoritas, kita akan berhadapan dengan persoalan: bagaimana dengan kaum
minoritas di tengah kaum minoritas itu (minorities within minorities)? Bahkan kaum
minoritas pun dapat berlaku menindas terhadap kaum minoritasnya sendiri, itu kita temui
dalam realitas masyarakat. Perlakuan terhadap kaum perempuan di tengah sub-kelompok
kultural yang patriarkis adalah satu contoh. Di Indonesia juga kita temukan kasus-kasus
seperti sekte-sekte keagamaan minoritas yang tidak memperoleh pengakuan kesetaraan dari
kelompok keagamaan mayoritas tempat mereka berafiliasi, juga sub-sub kultur lain yang
masih bergerak di bawah tanah, eksis tapi tidak berani menampilkan diri karena takut pada
konsekuensi sosial dari kelompok kultural mayoritas, misalnya kaum gay dan lesbian,
kelompok ateis, dan seterusnya. Multikulturalisme macam apa yang bisa memperlakukan
mereka secara sepantasnya? Jika kesetaraan dan penghargaan atas perbedaan dijunjung
tinggi, adakah batas-batasnya? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dibahas lebih lanjut dalam
penelitian-penelitian selanjutnya.
Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban
Pendahuluan
Sejauh ini, sudah terlanjur mapan pandangan yang menempatkan masyarakat warga
atau masyarakat sipil sebagai kekuatan yang lahir untuk mengimbangi dan mengontrol
kekuasaan negara. Kecenderungan negara yang despotik dan sewenang-wenang dipahami
sebagai syarat ontologis bagi munculnya fenomena masyarakat warga. Problem utama
masyarakat warga dengan demikian adalah negara yang otoriter, anti-demokrasi atau anti-
kebebasan. Namun persoalan menjadi berbeda dengan munculnya kasus seperti penyerangan
Front Pembela Islam (FPI) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (AKKBP) di Monumen Nasional Jakarta awal Juni 2008. Kasus kekerasan ini
jelas merupakan fakta masyarakat warga yang menggambarkan bagaimana kelompok-
kelompok dalam masyarakat pluralistik berinteraksi satu sama lain, bagaimana perbedaan dan
keragaman diperlakukan, serta bagaimana peran negara pada aras itu.
Pada kasus kekerasan FPI terhadap AKKBP, jelas pula problem masyarakat warga
bukan tendensi negara yang otoriter dan despotik. Tak ada sosok negara yang kuat dan
otoritatif pada kasus ini. Yang ada adalah peragaan telanjang state of nature, naluri instingtif-
alamiah manusia, perilaku tidak beradab kelompok masyarakat terhadap kelompok
masyarakat yang lain. Pada kasus ini, masyarakat warga dihadapkan pada kondisi tidak
adanya tatanan untuk ‘kebersaman dalam keberagaman’, yang mampu menjamin keselamatan
dan kenyamanan warga masyarakat untuk menjalankan aktivitas di ruang publik, entah dalam
bentuk undang-undang, hukum, etika publik, solidaritas sosial dan seterusnya.
Kekerasan FPI terhadap AKKBP, sebagaimana kasus kekerasan dan
ketidakberadaban tindakan-tindakan dalam relasi antarwarga masyarakat yang msih kerap
terjadi di negeri ini hingga kini, menjadi titik-tolak untuk merenungkan kembali, apakah
sesungguhnya fenomena masyarakat warga? Bagaimana genealogi lahirnya masyarakat
warga? Apa saja problem-problemnya? Bagaimana duduk-perkara hingga akhirnya muncul
pemahaman tentang masyarakat warga sebagai antinomi dari negara? Tulisan ini memberikan
tinjauan atas perkembangan teori tentang masyarakat warga tersebut.
Pada bagian pertama, akan dijelaskan versi awal masyarakat warga sebagai
pengertian yang diberikan kepada adanya masyarakat dengan suatu tatatan vis a vis
masyarakat yang tanpa tatanan dan hidup dalam situasi barbar, perang semua melawan
semua. Masyarakat warga perlu dibentuk karena tidak mungkin lagi manusia hidup dengan
insting alamiah dan kebebasannya yang tanpa batas. Bagian kedua menjelaskan konteks
sejarah ‘perpecahan’ antara masyarakat warga dengan negara. Mengapa kekuatan negara
harus dikontrol? Dan masyarakat seperti apakah yang dapat melakukannya? Bagian ketiga
menjelaskan kemunculan masyarakatwarga dalam kaitannya dengan fenomena perdagangan
dan komersialisasi. Persoalannya, apakah perdagangan menjadi faktor pendorong
perkembangan lebih advance dari masyarakat warga, atau sebaliknya perdagangan justru
merusak sendi-sendi kebersamaan, solidaritas, empati sosial, nilai-nilai kewargaan sebagai
sendi-sendi penopang masyarakat warga. Bagian keempat menampilkan pandangan-
pandangan kritis tentang fenomena masyarakat warga.
Ketidakberadaban: Problem Asali Masyarakat Warga
Fenomena masyarakat warga dapat dilacak dari karya klasik Aristoteles berjudul
Politics. Dalam buku ini, Aristoteles membahas tentang koinonia politike sebagai konsep
awal dari masyarakat warga. Koinonia politike dalam perjalanannya diterjemahkan sebagai
politica communicatio, communitas politica, Civilis communitas, societas civilis hingga
akhirnya menjadi Civil society. Merujuk pada hasil terjemahan tokoh Renaissance Italia,
Leonardo Bruni, atas karya Aristoteles tersebut, koinonia politike merujuk pada pengertian
tentang: pemerintahan negara republik, komunitas hidup bersama, tatanan sosial, komunitas
beradab, tata hidup beradab, atau nilai-nilai keadaban. Keberagaman makna inilah yang
membentuk perkembangan makna masyarakat warga dalam sejarah selanjutnya.
Dalam konteks Aristotelian, masyarakat warga adalah ‘kondisi tatanan sosial’ sebagai
kebalikan dari ‘kondisi hukum rimba’, keberadaban versus barbarisme. Keberadaban
dimungkinkan oleh kapasitas manusia untuk berpikir secara moral hingga menghasilkan
produk hukum, undang-undang, dan konstitusi. Sedangkan masyarakat barbar merujuk pada
kehidupan yang melulu disandarkan pada hukum rimba, pada naluri-naluri alami manusia
yang saling beradu satu sama lain. (Politics, buku I, bab 2).1
1 B Herry Priyono, Sketsa Evolusi Istilah Civil Society, manuskrip pengantar kuliah “Membaca Ulang Civil Society”,
2008, hlm. 2.Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010 26
Aristoteles tidak sendirian di sini. Pandangan aristotelian tentang masyarakat warga itu juga
dapat ditemukan dalam pemikiran beberapa pemikir pada jaman yang berbeda. Dalam
buku Of the Law of Ecclesiastical Polity, Richard Hooker (1554-1600) mengasalkan
terbentuknya masyarakat warga dari kecenderungan-kecenderungan alamiah (natural
inclination) yang mendorong manusia untuk membentuk kehidupan sosial dan ikatan
persahabatan. Sebelum terbentuknya masyarakat warga, manusia digambarkan hidup
dalam lingkaran ketakutan, ancaman dan bahaya karena manusia berhadap-hadapan satu
sama lain dengan kepentingan dan naluri masing-masing. Maka masyarakat warga
sesungguhnya terbentuk melalui logika negatif, dengan mekanisme leisure of evil: hukum
dan aturan diciptakan justru untuk membatasi dan memblokir insting-insting gelap
manusia. Untuk mengatasi situasi saling melanggar, menyakiti dan menyengsarakan
antarindividu, tak ada cara lain kecuali mengembangkan kesepakatan dan peraturan di
antara mereka, dengan membentuk pemerintahan (government public). Kepada
pemerintahan ini diatribusikan otoritas untuk mengatur dan memerintah kehidupan
bersama guna menciptakan perdamaian, kesetaraan dan kebahagiaan bersama.
Muncul kesadaran bahwa tidaklah mungkin manusia secara rasional bertindak hanya
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya sendiri. Jika setiap orang secara partikular
hanya mengurusi dirinya sendiri dan orang-orang yang berada dalam kekuasaannya, maka
yang tercipta adalah situasi pertengkaran dan konflik yang tak ada akhirnya.2
2 Richard Hooker “Civil society as political society”, dalam John A. Hall and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in
History, Theory and Global Politics, Palgrave Macmillan, 2005, hlm. 2: Inasmuch as every man is towards himself, and them
whom he greatly affecteth, partial; and therefore that strifes and troubles would be endless; except they gave their
common consent all to be ordered by some whom they should agree upon: without which consent, there were no reason
that one man should take upon him to be lord or judge over another; because althougth there be according the the opinion
of some very great and judicious men, a kind of natural right in the noble, wise, and virtuous, to govern them which are of
servile disposition; nevertheless for manifestation of this their right, and men’s more peacable contentment on both sides,
the assent of them who are to be governed seemeth necessary.
Situasi ini hanya akan berakhir jika muncul kesadaran bersama (common consent)
tentang perlunya pemerintahan untuk mengatur kehidupan antar individu dan antarkelompok.
Dengan demikian, masyarakat warga ditandai dengan adanya tiga unsur: komunitas politik,
pemerintahan dan hukum. Isi dari masyarakat warga adalah ketaatan pada hukum,
persetujuan hidup bersama, kesetaraan dan penyelenggaraan pemerintahan. Lawan
masyarakat warga dengan demikian adalah kondisi-kondisi tidak adanya hukum,
pemerintahan, dan komunitas politik. Meskipun masyarakat warga tidak pernah terbentuk
secara sempurna, adanya masyarakat warga tetap lebih baik daripada ketika
5 Locke, ibid., hlm. 31: whereby it is easy to discern who are and are not in political society together. Those who are united
into one body, and have a common established law and judicature ta appeal to, with authority to decide controversies
between them and punish offenders, are in masyarakat warga one with another; but those who have no such common appeal
– I mean on earth—are still in the state of nature, each being, where there is no other, judge for himself and executioner,
which is, as I have before shown it, the prefect state of nature. (hlm. 31)
Gambaran tentang state of nature sebagai pendorong terbentuknya masyarakat warga
lebih dramatis lagi di tangan Thomas Hobbes. Hobbes menegaskan, seluruh kelakuan
manusia dapat dikembalikan pada satu hal saja: perasaan takut terhadap maut dan naluri
untuk menyelamatkan diri darinya. Jika keadaan alamiah sebagai titik tolak tindakan
manusia, ini berarti semua orang bebas bertindak, karena tidak ada lembaga atau otoritas
yang berwenang mengatur individu dan masyarakat. Semua orang sama kedudukannya,
sama-sama memiliki hak-hak alamiah, terutama hak untuk membela diri. Semua orang hidup
sendiri-sendiri, sesuai dengan kebutuhan individual masing-masing.
Keadaan inilah yang akhirnya menyadarkan individu-individu untuk memikirkan
tindakan bersama. Mereka lalu mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri untuk
mendirikan lembaga yang berwenang mutlak untuk menata semua orang dan menuntut
ketaatannya terhadap undang-undang. Mereka menyerahkan semua hak alamiah mereka
kepada lembaga itu, kecuali hak untuk melindungi diri. Dari perjanjian bersama ini lahirlah
negara. State of nature ditempatkan Hobbes sebagai ikhwal lahirnya negara. Namun yang
kurang menonjol dari Hobbes adalah penjelasan tentang masyarakat warga. Hobbes tidak
menjelaskan bahwa sebelum atau di samping fenomena negara, ada fenomena masyarakat
warga.
Jika Hooker bicara tentang natural inclination, dan Locke dan Hobbes bicara tentang state of
nature, maka filosof besar Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) berbicara tentang
antagonisme sosial sebagai dasar ontologis kelahiran masyarakat warga. Masyarakat
warga tak terelakkan karena antagonisme yang inheren pada manusia, dan juga pada
lembaga-lembaga ciptaannya tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Antagonisme ini
bersumber dari keinginan setiap orang untuk menikmati kebebasan yang sebesar-besarnya.
Jika setiap orang menghendaki demikian, maka manusia akan saling menghancurkan satu
sama lain. Oleh karena itu, secara alamiah manusia kemudian terdorong untuk
menghindari situasi chaos, lalu terkondisikan untuk membutuhkan atau menerima adanya
hukum yang mengatur kehidupan bersama. Manusia tidak dapat hidup satu sama lain
dalam kebebasan liar yang tanpa batas. Di sini Kant merumuskan masalah alami terbesar
kehidupan manusia: bagaimana menyeimbangkan antara kebebasan yang diatur oleh
hukum-hukum eksternal dalam derajatnya paling besar, dengan otoritas formal atau
konstitusi yang adil, legitimate dan harus dipatuhi bersama.6
Dalam konteks Kantian ini, hukum adalah instrumen untuk mengatur agar kebebasan
setiap orang tidak sampai menghambat kebebasan orang lain. Hukum berfungsi
mendisiplinkan naluri-naluri kebebasan manusia yang cenderung tanpa batas. Namun yang
dilakukan hukum bukan menghapuskan antagonisme sosial, namun mempertahankannya
dalam equilibrium. Di satu sisi manusia mempunyai kebebasannya, tetapi di sisi lain manusia
harus siap untuk terbatasi kebebasannya. Kebebasan individu berada dalam koridor
kebebasan orang lain. Menurut Kant, tujuan tertinggi alam, yakni pengembangan semua
kapasitas manusia hanya dapat dicapai dalam masyarakat yang memungkinkan kebebasan
terbesar (the greatest freedom), namun dapat mempertahankan antagonisme anggota-
anggotanya, dapat pula menerapkan pembatasan kebebasan yang paling pasti.7
Antagonisme bukan sesuatu yang harus disingkirkan. Peradaban manusia maju dan
berkembang berkat antagonisme. ”Semua kebudayaan dan seni yang memuliakan
kemanusiaan, dan tatanan sosial yang paling baik, adalah buah dari ketidaksosialan, yang
mengharuskan manusia mendisisplinkan diri, dan memaksanya untuk mengembangkan
potensi-potensi alaminya secara sempurna,” tulis Kant.8
Sudut pandang yang sama juga digunakan Kant untuk menjelaskan konstitusi sipil
universal. Sebelum adanya konstitusi sipil universal, bangsa-bangsa senantiasa berada dalam
ketegangan mengantisipasi serangan atau ancaman bangsa lain. Kebutuhan untuk keluar dari
situasi serba tidak pasti dan tidak nyaman ini, secara alamiah mendorong bangsa-bangsa
untuk untuk mengikat diri dalam kesatuan sipil universal yang diatur oleh hukum antar
negara. Maka terbentuklah Liga Bangsa Bangsa. Di sini menurut Kant, alam kembali
menggunakan ketidaksosialan umat manusia, dan bahkan ketidaksosialan masyarakat dan
lembaga-lembaga ciptaan manusia, sebagai sarana untuk menghasilkan kondisi damai dan
aman. Dialektika antagonisme (mutual antagonism) tidak berujung pada kekacauan, tetapi
kepada saling pemahaman dan tatanan. “Alam bekerja melalui perang dan ketegangan terus-
menerus menghadapi kemungkinan perang, untuk memaksa manusia memulai usaha-usaha
melaksanakan tujuan alam. Dan akhirnya, setelah melalui kehancuran, penggulingan
kekuasaan dan bahkan kelelahan dahsyat, bangsa-bangsa didorong untuk menciptakan sebuah
tatanan sipil universal.”9
6 Immanuel Kant, “Civil Society, nation, cosmopolitanism”, dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society… op.cit., hlm.
93.
7 Kant, ibid., hlm. 93.
8 Kant, ibid., hlm. 94.
9 Kant, ibid., hlm. 94.
Dari penelusuran pemikiran Aristoteles, Hooker, Rousseau, Hobbes dan Kant, tampak
bahwa oposisi masyarakat warga versus negara bukan bagian hakiki dari konsep awal
masyarakat warga. Bahkan negara atau pemerintahan sesungguhnya merupakan bagian dari
masyarakat warga dalam artian political community. Negara adalah masyarakat warga itu
sendiri. Negara adalah civitas, dan civitas adalah societas civilis. Jika masyarakat warga
identik dengan suatu tatanan, maka negara sesungguhnya adalah perkembangan lebih lanjut
dari masyarakat warga. Negara adalah komplikasi lebih lanjut dari sistemisasi dan penataan
masyarakat. Negara dan masyarakat sipil terbentuk oleh alasan yang sama: dibutuhkannya
tatanan dan hukum bagi kehidupan bersama.
Pada momentum inilah, masyarakat warga mengalami krisis serius. Atau sebaliknya,
masyarakat warga menjadi solusi untuk melawan gejala otomatisasi dan atomisasi
masyarakat itu. Pada momentum inilah, masyarakat warga mengalami krisis serius. Atau
sebaliknya, masyarakat warga menjadi solusi untuk melawan gejala otomatisasi dan
atomisasi masyarakat itu.
Pada titik ini, Havel tidak hanya mengidentifikasi problem masyarakat warga pada
negara, tetapi juga pada industrialisasi dan determinasi teknologi. Havel mengritik kondisi-
kondisi demokrasi parlementer: pengelompokan statis dan kaku partai-partai politik massa,
kehidupan politik yang secara konseptual kacau, dikelola oleh aparat-aparat profesional.
Namun Havel juga mengritik kediktatoran kegiatan produksi, periklanan, dunia finansial serta
budaya konsumen. Sebuah pengantar menuju diskursus masyarakat sipil dalam relasinya
dengan komersialisasi dan perdagangan.
Dalam konteks yang sama, Adam Smith (1723-1790) meragukan budaya baru yang
dibentuk aktivitas perdagangan. Yang terjadi adalah, masyarakat menjadi terinspirasi
mengejar hal-hal yang kurang lebih remeh-temeh dan parsial. Budaya konsumsi membentuk
masyarakat yang benar-benar baru, dengan kebiasaan, penampilan, identitas dan pola
interaksi baru. Orang-orang tidak pernah bisa leluasa menyimpan hartanya, dan hanya
berpikir bagaimana mengejar kekayaan sebanyak-banyaknya. Jika mungkin ”mereka bahkan
menyelipkan dompet secara tidak diketahui pada saku orang lain, guna mendapatkan lebih
banyak uang.”20 Yang miskin bermimpi menjadi kaya. Masyarakat warga seperti roda putar
hamster (hamster wheel) di mana individu terlibat dalam sirkuit tak berujung mengejar
kekayaan dan penghargaan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Pada akhirnya, individu-
individu kecewa karena mengetahui kemakmuran yang mereka kejar ternyata tak lebih dari
sekedar hal-hal yang tak berguna dan remeh-temeh.21
Smith melihat paradoks yang lebih halus namun jelas dalam masyarakat warga.
Individu terkunci dalam sirkuit pencarian status tidak berdasarkan pada kehendak bebasnya
sendiri, tetapi berdasarkan apa kata the spectator. Namun dari perspektif pendukung
masyarakat warga, penyimpangan ini ternyata dianggap ada gunanya. Penyimpangan ini
adalah sebentuk mekanisme yang menjaga gerak kontinyu perdagangan menuju penemuan
teknologi baru, makanan yang lebih berkualitas dan melimpah, dan proses komunikasi
antarmanusia. Kompetisi untuk mendapatkan status dan pengejaran kemakmuran yang lebih
besar juga membawa mekanisme built-in dalam harmoni sosial. Dengan kemampuan
membayangkan menjadi kaya, orang miskin menerima fakta ketidaksetaraan sosial, dan
melupakan opsi untuk melawannya secara anarkistis. Perdagangan menstabilkan masyarakat
warga dengan cara ini. Kesenjangan tidak lagi dilihat sebagai masalah, tetapi diam-diam
diterima sebagai kenyataan.
20 Bandingkan Adam Smith, “The social benefits of deception”, dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society...,
op.cit., hlm. 80: How many people ruin themselves by laying out money on trinkets of frivolous utility? What pleases
these lovers is not so much the utility, as the aptness of the machines which are fitted to promote it. All their pockets are
stuffed with little inconveniencies. They contrive new pockets, unknown in the clothes of other people, in order to carry a
greater number…..
21 Smith, ibid., hlm. 80: The poor man’s son, whom heaven in its anger has visited with ambition, when he
begins to look around him, admires the condition of the rich. He finds the cottage of his father too small for his