Anda di halaman 1dari 62

ABSTRAK

Pendidikan multicultural diselenggarakan sebagai upaya menciptakan kehidupan masyarakat


yang terbebas dari ketidakadilan atau disfungsi social. Keberhasilan pencapain tujuan
pendidikan multukultural di masyarakat dipengaruhi oleh keberfungsian pemimpin informal.
Pemimpin informal memiliki pengaruh dan posisi strategis dalam menciptakan kehidupan
masyarakat yang harmonis-humanis. Oleh karena itu, pemimpin informal perlu menjalankan
berbagai pendekatan pendidikan multikultural secara optimal sebagai individu yang paling
berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan mutlikultural di masyarakat. Fungsi
pemimpin dimaksud tidak akan tercapai apabila kapasitas cultural pemimpin informal tidak
dapat terwujud. Oleh karena itu, kapasitas cultural perlu dikembangkan melalui berbagai
intervensi. Kata kunci: pendidikan multicultural, pemimpin informal, kapasitas cultural
PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan suatu masyarakat pada dasarnya diarahkan pada peningkatan
mutu kehidupan warga masyarakat baik dalam bidang ekonomi, social-budaya maupun
politik. Dalam bidang ekonomi, warga masyarakat diharapkan menjadi manusia yang
produktif, mandiri, inovatif, dan memiliki sikap dan nilai berwirausaha. Dalam bidang social
budaya, setiap warga negara diharapkan menjadi manusia yang memiliki kepribadian utuh,
berkarakter baik dan memiliki perilaku positif dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
dalam kehidupan politik, warga masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dan positif
dalam menyukseskan pembangunan bangsa, dan selalui melaksanakan dan menjaga perilaku
demokratis, toleransi, dan kebersamaan dengan orang lain (Fegerlind & Saha, 1983). Dalam
kehidupan nyata dewasa ini, banyak kenyataan yang menggambarkan bahwa tujuan
pembangunan, khususnya dalam bidang social budaya belum tercapai optimal. Berbagai
bentuk ketidakharmonisan dalam keseimbangan system social masyarakat saat ini, nampak
terlihat dari berbagai informasi media massa yang menggambarkan terjadinya masalah social.
Misalnya perlakuan perkelahian antar warga masyarakat, bentrokan antar para pendukung
partai politik, perlakukan disparitas memperoleh kesempatan pendidikan pada kelompok
miskin dan kelompok beruntung karena struktur social yang kaku dan hegemoni kepentingan
tertentu, perlakukan anggota masyarakat yang tidak manusia terhadap kelompok masyarakat
kurang beruntung baik fisik maupun mental, perlakukan tindak kekerasan terhadap suatu
kelompok tertentu, dan lain sebagainya.
Setiap anggota masyarakat dapat berfungsi aktif dalam mengembangankan dan menjaga
keharmonisan social. Salah satu pihak yang memiliki peran strategis dalam mencegah dan
mengurangi tindakan-tindakan destruktif terhadap kesejahteraan social masyarakat adalah
pemimpin informal. Pemimpin informal memiliki kedudukan yang cukup tinggi di
masyarakatnya mengingat mereka adalah orang-orang yang dipandang memiliki kapasitas
atau keunggulan tertentu dibanding dengan warga masyarakat lainnya. Keberadaan pemimpin
informal menjadi pintu masuk berbagai pengaruh positif maupun negative yang berasal dari
lingkungan luar masyarakatnya. Dengan kata lain, pemimpin informal merupakan individu-
individu yang berfungsi sebagai saluran dan agent pengembangan masyarakat. Fungsi
pemimpin informal dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis, dalam kenyataan belum
dapat berjalan optimal. Berbagai bentuk disharmoni dalam interaksi social dapat diakibatkan
oleh perilaku pemimpin informal yang kurang dapat mewaspadai dan peka terhadap berbagai
pengaruh negative yang masuk ke dalam masyarakat, pemahaman yang keliru yang
dimilikinya mengenai kelompok-kelompok social lain dan paham tersebut disebarluaskan
kepada para pengikutnya, pemahaman mengenai superioritas kelompok yang dipandang lebih
unggul dibanding kelompok lain, dan bahkan ketidakmauan terbuka terhadap kelompok
social lain. Selain itu, pengetahuan yang minim terhadap keragaman, kekurang terbukaan
pada perubahan, dan sikap enggan melakukan perubahan menjadi factor penghambat pula.
Dalam hal ini, pemimpin informal masih belum dapat menjalankan kewajiban membentuk
masyarakat yang adil, toleransi, saling menghargai, dan saling bekerja sama dalam struktur
social yang heterogen. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajiban untuk mengembangkan
pemimpin informal menjadi individu-individu yang memiliki wawasan dan kapasitas
multicultural.

PEMBAHASAN

Pendidikan Multikultural untuk Keharmonisan


Kehidupan masyarakat yang harmonis nampaknya nampaknya keadaan proses social yang
tidak terdapat konfliks-konfliks social. Konfliks social menggambarkan adanya
ketidakharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat Konfliks social dimaknai sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya (www.wikipedia.org). Menurut Webster (1966) istilah “conflict” di dalam bahasa
aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan atau perjuangan”- yaitu berupa konfrontasi
fisik antar beberapa pihak, dan berkembang kemudian dengan masuknya “ketidaksepakatan
yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain (Pruitt and Rubin,
2004:9). Sedangkan Rummel menyatakan bahwa social conflict is then the confrontation of
social powers. Konfliks social adalam konfrontasi kekuatan-kekuatan social
(www.hawaii.edu). Dengan demikian dapat diartikan bahwa konfliks dapat bentuk
konfrontasi fisik maupun konfrontasi aspek psikologis karena perbedaan antar kekuatan
social.
Konfliks social dapat terjadi karena adanya 1) perbedaan pertimbangan antara pertimbangan
idealistis dengan pertimbangan realistis, 2) adanya sikap frustasi dan cemburu social terhadap
keberhasilan-keberhasilan orang lain, 3) tidak ada alternative-alternative atau aspirasi yang
dapat diterima oleh semua pihak, atau tidak terwujudnya solusi integrative yang dapat
menyepakatkan kepentingan kedua belah pihak, dan 4) adanya kondisi stabilitas yang dapat
memicu konfliks (Puitt and Rubin, 2004:27-53). Terkait dengan ini, Rumlett menjelaskan
bahwa konfliks terjadi karena ketidakseimbangan kekuatan (power) yang dimiliki para pihak
yaitu coersive power, bargaining power, intellectual power, authrorative power, altruistic
power, dan manipulative power (www.hawaii.edu). Pendapata lain disampaikan oleh Sutoro
Eko (2002:145) bahwa konfliks dapat terjadi antar kedua pihak dalam dimensi sturktural dan
dimensi cultural. Dimensi structural merupakan perilku konfliks yang terjadi antara para
pihak terkait dengan penyediaan dan pemerataan akses atau kesempatan dalam
memanfaatkan sumberdaya masyarakat yang ada, atau adanya perlakukan-perlakuan tidak
adil dari pihak satu terhadap pihakt lain. Dimensi cultural menekankan bahwan konfliks
terjadi akibat adanya perbedaan-perbedaan aspek cultural, misalnya perbedaan kegiatan
makan bersama dan komunikasi yang kurang kondusif. Mengingat bahaya konfliks social
baik bahaya material maupun nonmaterial maka perlu diupaya solusi pemecahannya.
Konfliks social dapat diatasi dengan dua pendekatan yaitu: pertama pendekatan yang
menekankan pada kekuasaan negara yang mana negera menggunakan powernya untuk
mengatur dan mengontrol masyarakat, dan dalam perkembangannya pendekatan ini
mengarah pada tindakan koersi dan represi
183 Diklus, Edisi XVI, Nomor 02, September 2012
negara terhadap pemerintah. Pendapatan kedua yaitu pendekatan yang menekankan pada
partisipasi masyarakat. Pendekatan ini dilakukan dengan berlandaskan pada terbangunnya
dialog atau kontrak social dalam prularisme masyarakat. Terkait dengan dua pendekatan ini,
nampaknya di masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis-sejahtera,
pengembangan pendidikan multicultural dalam masyarakat menjadi suatu upaya
pembaharuan masyarakat. Pendidikan multicultural sebagai pendekatan progresif untuk
melakukan transformasi pendididikan secara holistic, memberikan kritik kelemahan-
kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskriminasi yang terjadi dalam dunia pendidikan saat
ini (Smith, 1998; dalam Zamroni, 2011:144). Layanan pendidikan selama ini kurang dapat
dirasakan oleh kelompok masyarakat kurang beruntung; pendidikan lebih diorientasikan bagi
warga masyarakat yang memiliki sumberdaya untuk memperolehnya; dan berbagai tindakan
diskriminasi dalam proses pendidiakn sering terjadi. Ladson-Billings menyatakan bawah
pendidikan multikultural sebagai bentuk pendidikan yang dapat dijadikan pondasi guna
melakukan transformasi masyarakat dan menghilangkan penindasan dan ketidakadilan.
Pendapat lain sampaikan Banks (2002:1) bahwa pendidikan multicultural merupakan suatu
pergerakan reformasi yang dirancang untuk membuat perubahan-perubahan besar dalam
pendidikan anak-anak.
Multicultural education is an idea, an educational reform movement, and a process whose
major goal is to change the structure of educational institutions so that male and female
students, exceptional students, and students who are members of diverse racial, ethnic, and
cultural groups will have an equal chance to achieve academically in school (Banks, 2005:9)
Banks (2002:1-3) menyatakan bahwa tujuan pendidikan multicultural mencakup:
membangun pemahaman individu mengenai kehidupannya dari perspektif cultural dan etnis
orang lain yang dapat menjadi arahan dalam berperilaku, memberikan pengalaman belajar
yang menggambarkan berbagai kultur dan budaya orang lain, membantu individu dengan
penyediaan berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutukan untuk hidup dalam
arus budaya utama dan dalam arus lintas budaya, dan menghilangkan tindakan diskriminasi
yang individu atau masyakat alami karena perbedaan fisik, ras dan karakteristik budaya.
Sebagai suatu ide, pendidikan multicultural berusaha untuk menciptakan kesempatan
pendidikan yang sama untuk semua peserta didik dengan mengubah seluruh lingkungan
sekolah agar merefleksikan kelompok-kelompok dan budaya-budaya yang beragam dalam
suatu masyarakat dan dalam suatu negara.
Secara lebih rinci, James A. Banks (2002:12; 2007:83) menjelaskan bahwa dalam
mengimplementasikan pendidikan multikultur dapat dilakukan dengan menekankan pada
lima dimensi yang sekaligus merupakan tujuan pendidikan multicultural, yang mencakup:
1. Content integration (integrasi kruikulum). Pendekatan in mengembangkan muatan
kurikulum (kegiatan, atau program) dengan memasukan informasi-informasi atau fakta-fakta
dari dan mengenai berbagai kebudayaan untuk menjelaskan prinsip, teori maupun konsep-
konsep yang terkait dalam proses pendidikan multicultural kepada peserta didik atau
kelompok sasaran.

2. The knowledge contruction process (proses konstruksi pengetahuan). Proses pendidikan


merupakan upaya pendidik membantu peserta didik untuk memahami bagaimana
pengetahuan dibentuk dan bagaimana pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh ras, etnis,
gender dan posisi kelas social seseorang individu dan kelompok.

3. Prejudice reduction (pengurangan prasangka). Pendekatan ini menekankan pada proses


pembelajaran yang dapat mengeliminir berbagai bias dan prasangka antar pendidik dengan
peserta didik atau antar peserta didik. Melalui pembelajaran

multicultural diharapkan terbangun pemahaman positif, terbangun wawasan untuk mengenal,


mengetahui sekaligus mengalami pertautan antar karakteristik, serta dan dapat melakukan
pemecahan masalah.

4. Equity pedagogy (pedagogi yang setaral). Pendekatan ini menekankan pada persamaan
dan kesetaraan layanan pendidikan pada semua warga masyarakat. Proses pendidikan yang
dilakukan sedapat mungkin memfasilitas semua gaya belajar peserta didik dari beragam
kultur dan menumbuhkan kebersamaan dan kerja sama.

5. An empowering school culture and social culture (memberdayakan kultur sekolah dan
masyarakat). Pendekatan ini digunakan untuk memberdayakan semua pihak baik guru,
sekolah, maupun masyarakat untuk menciptakan budaya keadilan baik melalui kegiatan
rekreasi, olah raga, dan kegiatan lainnya. Kultur saling bekerjasama dibangun berdasarkan
pada consensus dan kepentingan bersama.

Pengembangan pendidikan multicultural tidak hanya dalam konteks pembelajaran di lembaga


pendidikan namun juga dalam konteks kehidupan masyarakat luas. Penyelenggaraan
pendidikan multicultural semestinya menjadi tanggung jawab semua pihak yang memiliki
tanggung jawab karena pada dasarnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama. Undang-
Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 54 menyatakan
bahwa semua lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Keberhasilan pembangunan pendidikan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata,
melainkan menjadi tanggung jawab bersama tiga pilar pelaksana pembangunan pendidikan
yaitu pemerintah, masyarakat dan keluarga. Dalam kaitan ini, masyarakat memiliki
kewajiban dan hak untuk merencanakan, melaksanakan, dan membina serta mengembangkan
berbagai upaya edukatif. Walau disadari bahwa penyelenggaran pendidikan sering kurang
mendapatkan partisipasi masyarakat yang tinggi disebabkan sikap dan perilaku warga
masyarakat yang tidak kooperatif dan apatis, kurang tersedia ruang untuk menyampaikan
pesan atau pikiran terhadap kebijakan/kepentingan yang ada, dominasi kelompok tertentu,
dan sistem sosial yang membatasi setiap warga masyarakat untuk berkembang.

Fungsi Pemimpin Informal menuju Masyarakat Harmonis


Salah satu pihak yang seharusnya dapat berpartisipasi aktif secara optimal dalam mendidik
individu maupun masyarakat untuk lebih menjadi masyarakat yang terbuka, toleran, dan tidak
diskriminatif adalah para pemimpin informal. Mereka adalah individu-individu yang
memiliki fungsi strategis dalam pengembangan masyarakatnya mengingat di dalam diri
pemimpin terdapat kekuatan mempengaruhi para pengikutnya untuk mencapai tujuan
bersama atau dengan kata lain dalam diri seseorang terdapata kapasitas kempemimpinan
(leadership). Konsep kepemimpinan dimaknai beragam oleh para ahli. Northouse (2007:3)
menyatakan bahwa suatu proses dimana seorang individu mempengaruhi kelompok atau
individu lain untuk mencapai tujuan. Senada dengan pendapat Hemling & Coons (1957)
bahwa kepemimpinan adalah perilaku individual yang mengarahkan aktivitas suatu kelompok
untuk mencapai tujuan bersama (Yukl, 2006:5). Terkait definisi kepemimpinan di atas,
pemimpin informal dapat pahami sebagai seseorang yang dalam penentuan dirinya menjadi
seorang pemimpin dikarenakan kepemilikan faktor-faktor atau sifat-sifat (traits) tertentu yang
terdapat dalam pribadinya. Karakteristik dimaksud mencakup kepememilikan intelegensi
yang tinggi, kepercayaan pada diri sendiri yang baik, keinginan dan kemampuan untuk
bertindak lebih maju atau berpestasi, dapat dipercaya dan memiliki kejujuran, dan
menyenangkan dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya (Northouse, 2007:19).
Dalam konteks pengembangan pendidikan multicultural, pemimpin informal menjadi
kelompok strategis dalam menyampaikan ide-ide pembaharuan kepada masyarakatnya, yaitu
pembaharuan menuju masyarakat demoratis dan harmonis. Pendidikan multikulural sebagai
upaya pembaharuan dalam dunia pendidikan perlu dipahami, dihayati, dan diaplikasikan baik
oleh agent pemberdayaan maupun kelompok sasaran pemberdayaan sehingga gerakan
pembaruan ini dapat berjalan dengan proporsional karena berpijak pada consensus dan rasa
memiliki bersama. Oleh karena itu, seorang pemimpin informal perlu menjalankan fungsinya
dengan sebaik mungkin dan berpedoman pada hasil kinerja unggul. Mengacu pada pendapat
Banks (2002:30) bahwa pengembangan pendidikan multicultural dapat dilakukan dengan
empat pendekatan yaitu: pendekatan kontribusi, pendekatan adiktif, pendekatan transformasi,
dan pendekatan aksi social. Keempat pendekatan tersebut menjadi pemikiran untuk
mengungkapkan fungsi-fungsi pemimpin informal dalam pengembangan pendidikan
multicultural di masyatakat.
1. The Contributions Approach

Melalui pendekatan kontribusi ini, pemimpin informal bertindak sebagai orang yang
memberikan pemahaman atau informasi mengenai berbagai element-element yang ada di
masyarakat yang dapat mengembangkan pemahaman masyarakat tentanga keberagaman.
Pemimpin informal memberikan informasi kepada warga masyarakat mengenai hari libur
keagamaan, para tokoh masyarakat yang berjasa dalam menjaga keutuhan masyarakat, dan
element-element kebudayaan lainnya.
Dalam konteks ini, pemimpin informal dapat berperan sebagai penyampai keberhasilan,
seorang pemimpin informal dituntut untuk dapat mempengaruhi dan memotivasi warganya
melalui penyampaian-penyampaian cerita-cerita atau kisah-kisah kehidupan yang bermakna.
Perjalanan-perjalanan seseorang atau masyarakat tertentu yang dipandang unggul dan
berhasil, memiliki semangat kerja keras dan pengorbanan tinggi dapat dijadikan materi untuk
mempengaruhi warga masyarakat lain. Misal, kisah perjuangan Mahatma Ghandi di India
dengan perilaku perjuangan kemerdekaan tanpa kekerasannya, Nelson Mandela dengan
perlawanan terhadap politik aparteide, atau tokoh-tokoh social-keagamaannya. Melalui kisah-
kisah berbobot tersebut, warga masyarakat di lingkungan sosialnya akan dapat mengambil
pelajaran-pelajaran penting, mencontoh dan berusaha menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Proses imitasi menuju internalisasi nilai dan perilaku positif diharapkan dapat
terbentuk. Penyampaian kisah-kisan bermanfaat perlu dilakukan oleh seorang pemimpin
informal dengan menggunakan media komunikasi baik langsung maupun tidak langsung
secara terbuka/dialogis, intens berulang-ulang, dan menggunakan bahasa-bahasa yang dapat
dengan mudah dipahami warga masyarakat.
2. The Additive Approach
Dalam pendekatan ini materi, konsep, tema, dan perspektif ditambahkan ke program atau
kegiatan pendidikan tanpa mengubah struktur dasarnya. Artinya pemimpin informal dapat
memberikan berbagai pemahaman yang baik mengenai keberagaman, keharmonisan dan
pengembangannya dalam berbagai kesempatan yang ada di masyarakat. Pemimpin informal
dapat menggunakan pertemuan-pertemuan baik level dusun/kampung, pemerintahan desa,
maupun kecamatan; pertemuan rutin maupun incidental, untuk menanamkan konsep-konsep
kesetaraan social yang menjadi harapan bersama. Literatur mengenai mengenai keberagaman
(mutlkultural) dapat disampaikan kepada warga masyarakat untuk meningkatkan
pemahamannya. Tentunya, pemimpin informal juga perlu menyadarkan bahwa warga
masyarakat budaya belajar sehingga akhirnya mereka memiliki kemampuan literasi terhadap
berbagai etnik, dan cultural yang berbeda (literasi budaya). Terkait dengan ini, tentunya
seorang pemimpin informal harus well-informed terhadap berbagai persoalan yang dapat
bermanfaat bagi pelaksanaan kedua keterampilan tersebut. Pemimpin yang berpengetahuan,
memungkinkan terjadi proses pembelajaran (transfer ilmu) kepada pengikutnya dimana
dirinya akan menjadi seseorang yang dipandang dapat dimintai pendapat, wawasan dan
pemikiran mengenai suatu persoalan, dan menjadi sumber belajar bagi pengikutnya. Seorang
pemimpin masyarakat perlu memiliki pengetahuan mengenai paradigma utama, konsep
utama, kultur dan sejarah, dan pedagogis dalam penyelenggaraan pendidikan multicultural.
3. The Transformation Approach
Pendekatan ini menekankan pada perubahan paradigm atau sudut pandang warga masyakat,
yaitu paradigman untuk melihat berbagai konsep, isu, dan masalah dari perspektif etnik yang
beragam. Mendasarkan pada pemikiran ini, pemimpin informal perlu memiliki kemampuan
membelajarkan warga masyarakat agar mengubah paradigmanya yang semula mono-
perspektif menjadi multi-perspektif terhadap suatu persoalan atau kelompok lain. Pemimpin
perlu menjadikan warga masyarakat memiliki paradigma yang sesuai dengan keharmonisan
masyarakat. Proses penyadaran diharapkan dapat mengubah persepsi atau cara pandang
warga masyarakat yang salah terhadap lingkungan dirinya dan lingkungan masyarakat atau
kelompok lain. Proses penyadaran dapat dilakukan dengan pendekatan pembelajaran
dialogis-rekonstruktif atau pembelajaran transformatif. Menurut Mezirow (200:7-9) bahwa
belajar transformative adalah proses yang mana individu-individu merubah kerangka pikir
yang sudah ada, terjadi melalui proses refleksi krisis yang difasilitasi oleh dialog terbuka
dalam kondisi yang nyaman, saling menghargai, dan saling membelajarkan. Melalui
penyadaran atau conscientization menurut istilah Freire (Jana Noel, 2000:211), pemimpin
informal diharapkan mampu mengembangkan warga masyarakat untuk mengingat kembali,
memahami kembali, merenungkan kembali secara kritis dan selanjutnya merefleksikan
kembali apa yang sudah dialami; keberhasilan dan kegagalan mana saja yang dialami; dan
kekuatan apa yang dimiliki. Penyadaran dilakukan guna memerikan pemahaman kepada
warga masyarakat mengenai realita yang terjadi dalam lingkungannya, mampu
mengidentifikasi kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi, dan mengajak mereka untuk
mencari alternative solusi yang tepat demi memperbaiki mutu kehidupannya.
Proses penyadaran yang dilakukan pemimpin informal akan terjadi transformasi kesadaran
diri (Zamrani, 2011:153) dari setiap warga masyarakat. Kesadaran diri ini mencakup bahwa
seseorang harus: a) berfikir kritis mengapa dirinya tidak mau dan tidak mampu berfikir kritis;
b) menyadari dirinya anti ketidakadilan; c) menyadari bahwa ketidakadilan terjadi bersifat
sistemik; d) mewujudkan proses yang mengkaji berbagai kultur yang ada dan mencintai
keberagaman; e) menyadari bahwa tidak dapat menghindari dari ketidaknyamanan karena
pendirian sendiri; f) berorientasi kesetaraan; g) aktif berusaha dalam proses pemberdayaan;
dan h) menyadari bahwa pendidikan (multicultural) atau pemberdayaan bersifat
komprehensif, tidak sekadar tambal sulam. Penyadaran dapat dilakukan menggunakan
pendekatan berbasis pengalaman (experiential based approach) baik pengalaman atau
masalah yang telah, sedang dihadapi atau potensial dihadapi. Pengalaman dimaksudkan untuk
menghubungkan apa yang dipikirkan dengan yang terjadi di masyarakat. Warga masyarakat,
tentunya bersama para pemimpin informal, mengkritisi berbagai pengalaman atau kenyataan
yang ada di masyarakat seperti kebijakan pemerintah yang kurang relevan, tingginya angka
kemiskinan, pengangguran dan kesehatan yang buruk, terjadinya disintegrasi social, tindakan
dekadensi moral, perlakukan tindak kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi atas nama
agama, human trafficking, penyediaan infrastruktur social yang timpang, dsb.
Pengalaman yang diberikan pemimpin informal untuk penyadaran pastinya pengalaman yang
menarik, menantang, dan sesuai dengan karakteristik masyarakat yang dipimpinnya. Melalui
interaksi dengan pengalaman-pengalaman (experiences) baru, pemimpin informal diharapkan
membentuk pemahaman dan nilai-nilai baru yang mengarah pada perbaikan diri warga
masyarakat (Illeris, 2004). Pengalaman ini akan menjadi instrumen yang penting di dalam
menjalani proses belajar selanjutnya. Bentuk-bentuk pemberian pengalaman belajar yang
dapat dilakukan oleh pemimpin informal antara lain: penyuluhan rutin yang disepakati
bersama, membuka forum-forum kajian di masyarakat, dan pemanfaatan media massa. Selain
itu, pemberian pengalaman perlu dilakukan dengan menekankan pada pandangan bahwa
warga masyarakat memiliki kemampuan untuk belajar dan mengembangkan dirinya;
didukung oleh terciptanya proses interaksi edukasi yang setara (equity pedagogy) dan dialog
yang murni dalam proses penyadaran masyarakat.

4. The Social Action Approach


Pendekatan ini menggabungkan pendekatan transformasi dengan kegiatan untuk berjuang
untuk perubahan sosial. Warga masyarakat tidak hanya diperintahkan untuk memahami dan
mempertanyakan isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting tentang hal itu.
Pendekatan ini menekankan pada peran aktif semua warga masyarakat untuk berpartipasi
dalam mewujudkan masyarakat harmonis melalui tindakan-tindakan nyata. Pemimpin
informal mengajak dan bersama-sama warga masyarakat melakukan berbagai tindakan
pemberdayaan. Warga masyarakat dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang
merugikan, menyampaikan pendapat/kritik secara bebas dan normative dalam berbagai media
atau kesempatan publik, dan melakukan tindakan preventif, advokasi, edukasi ataupun
rehabilitas pada warga masyarakat yang dipandang menerima perlakukan tidak adil. Misalnya
program pengembangan masyarakat miskin, pengembangan bantuan social kemanusian,
pengembangan pendidikan baik formal maupun nonformal yang dapat diakses oleh lapisan
masyarakat, program pendampingan pada korban-korban tindakan kekerasan dan konfliks
dsb, perlu direncanakan dan dikembangkan oleh para pemimpin formal. Pemimpin informal
memiliki kewajiban untuk mendesain berbagai program pemberdayaan masyarakat sebagai
solusi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat, dimana
programnya mendapat dukungan dari pengikutnya. Dalam hal ini, pemimpin informal perlu
menjadi orang yang berfungsi sebagai orang yang memililiki keterampilan mengatasi
masalah atau problem solving skills (Nothouse, 2007:4). Kemampuan ini mencakup
kemampuan mendefinisikan permasalahan yang dihadapi, mengumpulkan informasi yang
terkait masalah, merumuskan pemahaman baru mengenai masalah, dan merumuskan rencana
untuk mengatasi masalah. Dan juga, pemimpin informal perlu menyadari bahwa masalah
yang dihadapinya berbeda dengan masalah pada lingkugan social lainnya. Kapasitas
Kultural Pemimpin Informal Keberhasilan melakukan pendekatan-pendekatan di atas,
sangat tergantung pada kualitas diri para pemimpin informal. Artinya, pemberdayaan
masyarakat menuju masyarakat demokratis-humanis akan dapat tercapai apabila para
pemimpin informal memiliki kapasitas cultural yang unggul. Kapasitas atau kompetensi
(multi) cultural, yang dimaknai oleh Roger (2006) sebagai kemampuan menerjemahkan
pengetahuan tentang perbedaan kultur dalam layanan yang penuh afektif dan peka, dan
kesadaran mengenai identitas diri (yaitu identitas yang dicirikan oleh etnis, gender, orientasi
seks, dll) serta bias-bias (Zamroni, 2011;155). Dengan istilah hampir sama, Zamroni
(2011:157) menyatakan bahwa kompetensi cultural mencakup berbagai hal: a) kemampuan
individu untuk menerima, menghormati, dan membangun kerja sama dengan siapa pun juga
yang memiliki perbedaan-perbedaan dari dirinya; b) kompetensi cultural merupakan hasil
dari kesadaran atau pengetahuan dan “bias cultural” yang dimilikinya sebagai factor yang
mempengaruhi perbedaan kultur; c) proses pengembangan kompetensi cultural memerlukan
pengembangan pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang memungkinkan
seseorang memahami dan berperilaku secara efesien dengan orang yang memiliki perbedaan
kultur.
Senada dengan pendapat di atas, Blanks (2007:25) menegaskan bahwa individu harus
memiliki pemahaman cultural identification, national identification, dan global identication.
Pemimpin informal perlu memiliki pengetahuan untuk memahami dimensi atau karakteristik
budayanya, sekaligus memiliki pengetahuan untuk memahami bagaimana budaya diri dan
bangsanya berpengaruh kepada dan dipengaruhi oleh kehidupan bangsa lain, dan memahami
bagaimana saling hubungan dan ketergantungan antara budaya dan masyarakat secara global.
Kompetensi cultural ini menurut Papadopoulos & Lee (2003) dalam Zamrani (2011:157)
dibentuk oleh factor pengetahuan, pemikiran kritis, kemampuan mengembangkan sesuatu,
dan kemampuan praktis. Keempat hal ini tidak statisk melainkan dinamis terus bergerak,
membentuk kompetensi cultural. Berikut gambar keterkaitan empat factor kompetensi
cultural.

Guna mewujudkan pemimpin informal yang memiliki kapasitas cultural unggul, nampaknya
pengembangan (pemberdayaan) pemimpin menjadi suatu tugas baru. Pemberdayaan
pemimpin merupakan proses menjadikan kemampuan individu pemimpin menjadi lebih
berdaya, lebih efektif, dan berorientasi unggul untuk mewujudkan masyarakat yang toleran,
memiliki consensus dan mampu berpartisipasi baik. Proses pemberdayaan tentunya
memerlukan intervensi dari berbagai pihak lain baik pemerintah, organisasi pemberdyaaan
maupun individu. Dan pada pelaksanaan teknis pemberdayaan pemimpin informal dapat
dilakukan dengan pendekatan individual maupun kelompok. Proses mengembangkan
pemimpin agar lebih berkompetensi cultural dapat dilakukan dengan memberikan bimbingan
dan pendampingan secara kelompok. Artinya, para pemimpin dalam mengembangkan
kemampuannya dilakukan secara bersama dalam suatu forum yang berfungsi untuk sharing
pengetahuan antar setiap pemimpin masyarakat dan saling membelajarkan. Adanya kelompok
bersama yang terbimbing, keinginan atau motivasi untuk berprestasi mengembangkan
masyarakatnya masing-masing tercipta pada diri semua pemimpin dan belajar untuk saling
menghargai, terbuka, dan berinteraksi secara dialogis dengan orang lain. Selain itu, melalu
sarana ini diharapkan terbangun saling pengertian dan kerja sama yang baik antar para
pemimpin informal.

Pengembangan kemampuan komunikasi efektif perlu bagi seorang pemimpin informal,


mengingat berbagai karakteristik masyarakat yang heterogen. Kemampuan komunikasi perlu
dibangun untuk membentuk keterampilan-keterampilan berhubungan dengan pengikut atau
masyarakat yang berbeda secara kultur. Dengan adanya kemampuan komunikasi yang baik,
seorang pemimpin informal akan dengan mudah menangkap pesan dari berbagai pihak dan
terhindar dari ketidakpastian mengenai orang lain atau fakta tertentu, selain untuk
mengembangkan kesetiakawanan, persahabatan, dan menghindari terjadinya konfliks.
Adanya kemampun berkomunikasi, berbagai pesan pembaharuan akan mudah tersampaikan
kepada kelompok sasaran, karena pemimpin dapat memilih sarana komunikasi bagaimana
yang akan digunakan dan bagaimana karakteristik dan respon kelompok sasaran.
Kemampuan komunikasi harus didukung oleh kebersediaan untuk melakukan dialog secara
terbuka, dialog yang tidak semu, yang setiap orang memiliki hak yang setara dalam
menyampaikan pemikiran dan harapan-harapannya, dialog yang membebaskan (Freire,
1972). Membiasakan pemimpin untuk mengunjungi kelompok-kelompok sasaran pendidikan,
atau bertemu dengan masyarakat lain secara langsung dan nyata dalam konteks kehidupannya
memungkinkan terjadinya kemampuan-kemampuan berkomunikasi dengan baik.

Pemimpin informal sekaligus juga berfungsi sebagai manajer, yang mana seorang pemimpin
perlu memiliki kemampuan dalam rencanakan tindakan, memobilisasi sumberdaya, dan
melakukan kegiatan evaluasi terhadap implementasi pembaharuan.Seorang pemimpin
informal harus dapat berfikir kreatif dalam mengelola kehidupan bermasyarakat. Pemikiran-
pemikiran rasional berbasis fakta harus dimiliki seorang pemimpin informal dalam
menjalankan fungsinya di masyarakat. Seorang pemimpin harus mampu menganalisis
berbagai peluang yang ada di lingkungannya guna dimanfaatkan untuk pembangunan
masyarakat, bekerja secara professional sesuai dengan batasan-batasan yang dimilikinya,
berani mengambil keputusan-keputusan strategis dalam mengenai kepentingan bersama, dan
selalu memberikan arahan dan bantuan teknis kepada semua orang yang dipandang
memerlukan bantuannya. Pengembangan kapasitas ini dapat dilakukan dengan memberikan
berbagai fasilitas bimbingan dan konsultasi, pembentukan kelompok diskusi, pemanfaatan
fasilitas media maya (internet), dan pelatihan-pelatihan.
Tipologi Tafsir Sebagai Solusi dalam Memecahkan Isu-Isu
Budaya Lokal Keindonesiaan
A. Pendahuluan

al-Qur’an adalah shalih li kulli zaman wa makan. Pernyataan ini bukan hanya diakui oleh
para ulama tafsir klasik, namun juga diakui oleh para ulma tafsir kontemporer. Hal inilah
yang kemudian menjadikan diskursus seputar penafsiran al-Qur’an tidak pernah mengenal
kata usai. Hal tersebut telah terbukti bahwa selama ini, al-Qur’an

telah dikaji dengan beragam metode dan diajarkan dengan aneka cara.1

Namun ibarat samudera yang luas dan dalam, al-Qur’an tidak akan pernah

mengalami kekeringan walaupun telah, sedang dan akan terus di kaji dari

berbagai segi dan metodologi. Geliat diskursus studi al-Qur’an ini bukan

hanya terjadi di dunia Islam semata, namun juga mengundang perhatian di

dunia Barat.2

Tuntutan agar al-Qur’an dapat berperan dan berfungsi dengan baik

sebagai pedoman dan petunjuk hidup untuk umat manusia, terutama di

zaman kontemporer ini tidak akan pernah berhenti. Oleh sebab itu, tidaklah

cukup jika al-Qur’an hanya dibaca sebagai rutinitas belaka dalam kehidupan

1Ayatullah Sayyid Kamal Faghih Imani, Nur al-Qur’an: An Enlightening Commentary

Into The Ligh Of The Holy Qur’an (Iran: Imam Ali Public Library, 1998), hlm. 16.

2Lihat, Fazlur Rahman, “Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors,”

Jurnal of Religion, Vol. 64, 1984, hlm. 73. Sejak seperempat terakhir abad keduapuluh,

kajian-kajian terhadap kitab suci al-Qur’an ini menunjukkan intensitas yang cukup

meningkat. Tidak kurang bermunculan tokoh-tokoh kontemporer dalam studi al-Qur’an ini

seperti Fazlur Rahman dengan hermeneutika double movement. Lihat, Fazlur Rahman, Islam

and Modernity: Transformation ofan Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago


Press, 1982), Mohammad Arkoun dengan hermeneutika-abtropologi nalar Islam. Lihat,

Mohammed Arkoun, Tarikhiyyat al-Fikr al-Arabi al-Islami (Beirut: Markaz Al-Anma’,

1977),Nasr Hamid Abu Zaid dengan pemikirannya dalam bidang hermeneutika sastra kritis.

Salah satu karyanya adalah Mafhum al-Nașș: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’ān. Lihat, Nasr Hamid

Abū Zayd, Mafhum al-Nașș: Dirāsat fî ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyah,

1993), Hassan Hanafi dengan pemikirannya tentang hermeneutika fenomenologi-


pembebasan.

Salah satu karyanya adalah Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab. Lihat Hassan Hanafi,

Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (Kairo: Dar Al-Fanniyyah, 1991), Farid Esack dengan

hermeneutika pembebasannya. Lihat, Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An

Islamic Perspektive of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld,1997),

Amina Wadud dengan hermeneutika gendernya. Lihat, Amina Wadud-Muhsin, Qur’an and

Woman (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1992),Fatima Mernissi juga hermeneutika gendernya.

Lihat, Fatima Mernissi, al-Shulthanat al-Munsiyyat: Nisa Ra’isat Dawlah fi al-Islam, terj.

Abd al-Hadi Abbas dan Jamill Mu’alla, (Damsyiq: Dar al-Hasad wa al-Tauzi, 1994),

Muhammad Shahrur dengan pemikiran hermeneutika strukturalisme linguistik. Lihat,

Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an: Qira’ah Mu’asirah (Damaskus: Dar al-Ahali,

1990), dan lain-lain. Kajian-kajian terhadap kitab suci al-Qur’an ini pun menunjukkan

intensitas yang cukup meningkat dikalangan para orientalis seperti, Abraham Geiger dengan

karyanya “What did Muhammad Borrow From Yudaism?,” dalam The Origin of Koran, Ibn

Warraq (ed.) (New York: Prometheus Books, 1998), Arthur Jeffery dengan karyanya

“Material for the History of the Text of the Koran,” dalam The Origin of Koran, Ibn Warraq

(ed.) (New York: Prometheus Books, 1998), John Wansbrough dengan karyanya,

Qur’anicStudies: Source and Methods of Sckriptural Interpretation (Oxford: Oxford

University Press, 1977), Andrew Rippin dengan karyanya “Interpreting the Bible thrugh the
Qur’an,” dalam G.R. Hawting and Abdul Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’an

(London and New York: Routledge,1993),dan lain-lain.

sehari-hari tanpa memahami maksud, mengungkap isi serta mengetahui

prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.3 Pemeliharaan terhadap al-

Qur’an dan menjadikannya menyentuh realitas kehidupan adalah sudah

menjadi suatu keniscayaan. Salah satu bentuknya adalah dengan selalu

berusaha untuk mefungsikannya dalam kehidupan kontemporer ini, yakni

dengan memberinya interpretasi yang sesuai dengan keadaan masyarakat

setempat.4

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia

tentu memberikan andil yang besar terhadap perkembangan studi Islam,

termasuk dalam studi al-Qur’an. Dalam studi al-Qur’an Indonesia banyak

melahirkan karya-karya dalam tafsir al-Qur’an. Lahirnya suatu tafsir dengan

beragamnya metodologi dan coraknya mengindikasikan betapa setiap karya

tafsir memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Akhir-akhir inipun

hermeneutika menjadi tren baru sebagai metodologi dan corak penafsiran

kontemporer, termasuk di Indonesia. Lalu, bagaimanakah ide dasar

hermeneutika ini kemudian bisa melahirkan tipologi tafsir yang berbedabeda?

Model tipologi sepeperti apakah yang tepat dan baik sebagai solusi

dalam menjawab tantangan zaman? Artikel ini dimaksudkan untuk

melakukan ‘kritisme’ untuk kemudian mencari sintesa kreatif terhadap

metodologi dan tipolologi yang ada pada karya tafsir al-Qur’an. Hasil sintesa

tersebut diharapkan dapat menjadi contribution to knowledge dalam studi

tafsir al-Qur’an di era kontemporer ini, khususnya di Indonesia. Untuk


selanjutnya dirumuskan sebuah metodologi dan tipologi tafsir yang lebih

dialektis, kritis, reformatif, dan transformatif, sehingga produk penafsiran

tersebut mampu menjawab tantangan dan problematika kontemporer yang

dihadapi umat manusia.

B. Tipologi Tafsir al-Qur’an

Dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer, wacana hermeneutika

sebagai salah satu solusi atas kebuntuan metodologi Islam seolah menjadi

3Muhammad Shahrur pun mengakui, bahwa di zaman kontemporer ini, al-Qur’anperlu

ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman kontemporer yang dihadapi umat manusia. Lihat,

Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an, hlm. 33.

4M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 88.

sesuatu yang niscaya. Para pemikir Islam kontemporer seperti Arkoun,5 Nasr

Abu Zayd,6 Hassan Hanafi,7Amina Wadud-Muhsin,8 Fatima Mernissi,9

Muhammad Shahur,10 dan tokoh-tokoh lainnya pun senantiasa menyinggung

pentingnya metode ini.11

Yang menjadi asumsi dasar dari para pendukung hermeneutika adalah

bahwa pemahaman dengan menggunakan metodologi konvensional terhadap

sumber dan ajaran Islam kurang relevan untuk konteks sekarang, karenanya

perlu dibantu dengan metodologi pemahaman kontemporer, salah satunya

seperti hermeneutika. Namun demikian persoalannya adalah, mungkinkah

hermeneutika yang selama ini dianggap bukan ‘produk Islam’ ini dapat

membantu metodologi konvensional, dalam memahami sumber teks ajaran

Islam, dalam hal ini adalah al-Qur’an?


Ide dasar hermeneutika al-Qur’an kontemporer ini pada akhirnya

memunculkan apa yang disebut dengan tipologi pemikiran tafsir. Jika dilihat

dari segi tipologi pembacaan pada masa kontemporer ini, para sarjanasarjana

Muslim, khususnya para pemerhati terhadap studi al-Qur’an menurut

Sahiron Syamsuddin terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu pandangan

5Lihat, Mohammed Arkoun, Tarikhiyyat al-Fikr al-Arabi al-Islami (Beirut: Markaz Al-

Anma’, 1977).

6Lihat, Nasr Hamid Abū Zayd, Mafhum al-Nașș: Dirāsat fî ‘Ulūm al-Qur’ān(Kairo: al-

Hay’ah al-Misriyah, 1993).

7Lihat, Hassan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm Al-Istighrab (Kairo: Dar Al-Fanniyyah,

1991).

8Lihat, Amina Wadud-Muhsin, Qur’an and Woman (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1992)

9Lihat, Fatima Mernissi, al-Shulthanat al-Munsiyyat: Nisa Ra’isat Dawlah fial-

Islam,terj. Abd Al-Hadi Abbas dan Jamill Mu’alla (Damsyiq: Dar al-Hasad wa al-Tauzi,

1994)

10Lihat, Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an: Qira’ah Mu’asirah (Damaskus:

Dar al-Ahali, 1990).

11Diantara tokoh-tokoh lainnya yang menawarkan pembaharuan metodologi dalam

Islam tersebut diantaranya adalah: Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari'ah (Mesir: Dar
al-

Qalam, tt.); Yusuf al-Qardlawi, al-Ijtihad fi al-Syari'ah al-Islamiyah Ma'a Nazarat Tahliliyah

fi al-Ijtihad al-Mu'asir (Kuwait: Dar al-Qalam, t.t.); Ali Syari'ati, On The Sociology of Islam

terj. Hamid Algar (Berkeley: Mizan Press,1979); Mahmud Muhammad Taha dan Abdullahi

Ahmed an-Na'im dalam The Second Message of Islam, terj. Abdullahi Ahmed an-Na'im,

(Syracuse: Syracuse University Press,1987) dan Toward an Islamic Reformation: Civil


Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse Universiry Press, 1990);

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation ofan Intellectual Tradition (Chicago:

University of Chicago Press, 1982); Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An

Islamic Perspektive of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld,1997).

1) Tipologi Quasi-Obyektivis Tradisionalis

Adapun yang dimaksud dengan pandangan quasi-obyektifis

tradisionalis, yaitu suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’anharus

dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia

dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana al-Qur’an

diturunkan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada generasi

Muslim awal.13 Singkatnya adalah ajaran-ajaran al-Qur’an harus dipahami

secara tektual seperti yang tertera di dalam teks ayat tersebut dan yang sesui

dengan kondisi di zaman ayat tersebut diturunkan.

Sahiron mencontohkan yang mengikuti pandangan ini seperti kelompok

Ikhwanul Muslimin di Mesir dan beberapa kaum salafi yang ada di

beberapa negara Islam. Memang benar kelompok ini ketika menafsirkan al-

Qur’an metode yang digunkan dibantu dengan berbagai perangkat metodis

ilmu tafsir yang telah mapan, seperti ilmu asbab al-nuzul, nasikh dan

mansukh, munasabah, muhkam dan mutashabih dan lain sebagainya, namun

mereka mengabaikan kontekstualisasi ayat. Sehingga hasil dari penafsiran

kelompok ini terkesan tekstual. Karena ilmu-ilmu bantu kontemporer lainnya

diabaikan. Dengan metode yang ada mereka berharap makna obyektif di

balik ayat yang ditafsirkan mampu terungkap dengan baik. Ciri utama yang

mudah dikenali dari model penafsiran kelompok ini adalah penafsiran yang
tekstualis (literal).

Tipologi quasi-obyektifis tradisionalis ini hemat penulis perlu

dikembangkan lagi menjadi dua bagian, yaitu: obyektifis tradisionalis dan

obyektifis revivalis.

a) Tipologi Obyektifis Tradisionalis

Pertama, obyektifis tradisionalis adalah suatu pandangan bahwa

pemahaman al-Qur’an haruslah sesuai dan sama dengan bunyi teksnya. Ciri

utama dari tipologi ini adalah suatu penafsiran yang tekstual dan hanya

berkutat pada wilayah kebahasaan semata dan kurang memperhatikan pesan

12Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika, hlm. 73-76; Sahiron Syamsuddin,

Muhammad Šahrurs Koranhermeneutik und die Debatte um sie bei muslimischen Autoren

(Otto-Friedrich Universitat Barberg, 2006), hlm. 40-66.

13 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika, hlm.73.

moral dibalik ayat yang ditafsirkannnya. Sehingga hasil dari penafsiran

tipologi ini hanya memperdebatkan wilayah gramatikal kebahasaan semata.

Maka tidak heran jika produk penafsirannya tidak bisa berkembang dan

produk penafsirannya tidak bisa memecahkan problem kekinian. Contohnya

adalah kitab-kitab tafsir klasik seperti Tafsir Jalalain. Di Indonesia sendiri

pada kisaran tahun 2000-an masih banyak karya tafsir dengan tipologi ini

yang bermunculan, diantaranya adalah Tafsir Ibadah,14 Tafsir Ayat Ahkam,15

Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,16 Tafsir Al-Qur’an Juz 30,17 Tafsir al-Hidayah:

Ayt-ayat Akidah Jilid I dan II,18 Qur’an al-Karim, Bayani: Memahami

Makna Al-Qur’an,19 Tafsir Surah al-Fatihah,20 Tafsir Maudhu’i al-Muntaha

Jilid 1,21 Tafsir Ayat-ayat Haji: Menuju Baitullah Berbekal Al-Qur’an,22 dan
yang lainnya. Hanya satu karya tafsir yang tergolong tipologi obyektifis

revivalis yaitu Tafsir al-Wa’ie.23

Ciri dari pandangan tipologi obyektifis tradisionalis ini adalah produk

penafsiran yang tektual (literal). Pembahasannya sering hanya berkutat pada

wilayah gramatikal kebahasaan semata. Dan kebanyakan pembahasan

semacan ini dilakukan secara konsisten setiap ayat dalam surah-surah yang

dikajinya. Karya-karya tafsir tersebut sangat memperhatikan arti kosakata

atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk pada tata bahasa yang sering

digunakan oleh para ulama ahli, memperhatikan bagaimana kosakata itu

14Abd Khaliq Hasan, Tafsir Ibadah, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2008).

15 Luthfi Hadi Aminuddin, Tafsir Ayat Ahkam, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,

2008).

16H. E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, (Jakarta: Rajawali Press, 2008).

17H. Zaini Dahlan, Tafsir al-Qur’an Juz 30 (Yogyakarta: Masjid Baitul Qahhar dan

LAZIS UII, 2007).

18 Sa’ad Abdul Wahid, Tafsir al-Hidayah: Ayat-ayat Akidah Jilid II (Yogyakarta: Suara

Muhammadiyah, 2003).

19Ahmad Mudjab, Qur’an al-Karim, Bayani: Memahami Makna al-Qur’an

(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002).

20A. Rofiq Zainul Mun'im, Tafsir Surah al-Fatihah (Yogyakarta: Forstudia, 2004).

21Tim Sembilan, Tafsir Maudhu’i Al-Muntaha Jilid I, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,

2004).

22Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Menuju Baitullah Berbekal al-Qur’an,

(Bandung: Mizan Pustaka, 2005).


23Rokhmat S. Labib, Tafsir al-Wa’ie (Jakarta: Wadi Press, 2010). Lihat juga penelitian

penulis dalam, M. Nurdin Zuhdi, “Tipologi Tafsir al-Qur’an Mazhab Indonesia” Tesis PPs

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012, hlm. 184.

digunakan al-Qur’an, dan memahami arti ayat atas dasar digunakannya kata

tersebut oleh al-Qur’an.

Model tipologi penafsiran ini memiliki kelebihan karena cukup lengkap

dan jelas dalam mengungkap seputar kebahasaan. Namun disisi lain model

tipologi penafsiran seperti ini memiliki kelemahan, karena makna universal

dibalik ayatnya terabaikan. Produk penafsirannya tidak bisa diharapkan akan

mampu menjawab problematika kekinian yang tengah berkembang. Karena

produk penafsiran seperti ini tidak mampu mengungkap makna universal

yang ada di balik ayat yang ditafsirkan. Lebih tegasnya adalah bahwa model

penafsiran seperti ini tidak memperhatikan kontekstualitas ayat yang

ditafsirkan, yakni yang diperhatikan hanyalah wilayah tekstualitasnya

semata. Bagaimana bisa menjawab jika hanya sibuk berdebat pada wilayah

yang semestinya sudah selesai untuk diperdebatkan. Padahal ada wilayah

lain yang jelas-jelas perlu untuk dikemukakan, yaitu makna universal ayat

tersebut. Karena dengan melihat makna universal dari sebuah ayat akan

ditemukan makna sejati yang sebenarnya terkandung dibalik suatu ayat.

Dengan demikian akan ditemukan sebuah penafsiran yang akan mampu

menjawab problem kekinian. Hal tersebut masih mencerminkan bahwa

penafsiran tersebut belum mapu menyentuh wilayah-wilayah yang

semestinya membutuhkan penyelesaian. Dalam arti bahwa tipologi

penafsiran semacam ini seharusnya sudah berubah, agar karya-karya tafsir


semacam ini tidak hanya sebatas pajangan atau koleksi kitab tafsir semata

tanpa mampu memberikan solusi dan kemaslahatan bagi umat manusia.

b) Tipologi Obyektifis Revivalis

Tipologi obyektifis revivalis yaitu suatu pemahaman terhadap al-Qur’an

yang murni. Dalam arti pemahaman terhadap al-Qur’an yang murni yang

mereka maksudkan adalah pemahaman al-Qur’an yang kembali kepada

karakter ideologis yang statis, ahistoris, sangat ekslusif, tekstualis dan bias

patriarkis. Menurut kelompok ini al-Qur’an pada era sekarang haruslah

dipahami sesuai dengan zaman dimana al-Qur’an tersebut diturunkan tanpa

mempedulikan konteksnya pada era sekarang. Tipologi ini secara

keseluruhan menganut paham “salafisme radikal”, yakni berorientasi pada

penciptaan kembali masyarakat salaf. Maksud dari menciptakan masyarakat

yang salaf adalah bagaimana menciptakan kembali generasi Nabi

Muhammad dan para Sahabat di era kontemporer ini. Bagi mereka, Islam

pada masa kaum salaf inilah yang merupakan Islam paling sempurna, masih murni dan bersih
dari berbagai tambahan atau campuran (bid’ah) yang

dipandang mengotori Islam.24

Adapun contoh karya afsir dengan tipologi obyektifis revivalis adalah

Tafsir al-Wa’ie.25 Karya Tafsir ini merupakan produk dari kalangan Hizbut

Tahrir Indonesia. Ciri dari tafsir tipologi obyektifis revivalis ini, selain

produk tafsirnya yang tekstual, juga penafsirannya tampak begitu ideologis

dan tampak begitu keras dalam penafsirannya terutama ketika memahami

ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum dan jihad (syari’at). Karena

kelompok ini begitu sangat mendukung dalam penegakkan syariat Islam dan

juga terhadap jihad dalam pengertian tekstual. Maka tidak heran jika yang
terjadi justru sebaliknya, sebuah problem baru ketika jihad dimaknai secara

tekstual. Isu-isu kewajiban mendirikan negara khilafah dan penegakan

syariat Islam begitu gencar disusung oleh kelompok revivalis ini.

Misalnya, ketika menafsirkan surat al-Maidah: 49 terlihat sekali bahwa

begitu ”kaku”. Menurut kelompok ini tema global surat ayat ini seputar

penerapan syari’ah. Dan syari’ah di sini menurut kelompok ini wajib

diterapkan secara total. Tidak boleh ada sebagian yang boleh ditinggalkan

atau diabaikan.26 Dan ketentuan ini menurut kelompok ini adalah harus

dijalankan kaum muslim secara konsisten, tanpa memandang apakah

disetujui kaum kafir atau tidak.27 Juga ketika menafsirkan Surat al-Baqarah:

30. Menurut kelompok ini pengertian khilafah ini adalah khilafah yang wajib

diangkat dengan jalan baiat. Sehingga menurut kelompok ini, dengan adanya

khilafah kewajiban adanya baiat dipundak setiap muslim dapat diwujudkan.

Sebaliknya, jika tidak ada khilafah, baiat yang diwajibkan itu tidak ada

dipundak setiap kaum muslim.28 Dibawah ini penulis kutipkan penafsiran

mereka tentang pentingnya mendirikan khlifah:

”Jika realita hukum Islam ini dihubungkan dengan kedudukan manusia sebagai

khalifah di bumi, maka dapat dinyatakan: kedudukan umat Rasulullah saw

hanya bisa menjadi khalifah (dalam pengertian QS. Al-Baqarah [2]: 30) secara

sempurna jika kehidupannya di bawah naungan khilafah yang dipimpin

24 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur

Tengah Ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. xi.

25Rokhmat S. Labib, Tafsir al-Wa’ie (Jakarta: Wadi Press, 2010).

26 Rokhmat S. Labib, Tafsir al-Wa’ie (Jakarta: Wadi Press, 2010), hlm. 245.
27 Rokhmat S. Labib, Tafsir al-Wa’ie, hlm. 245.

28 Rokhmat S. Labib, Tafsir al-Wa’ie, hlm. 9.

seorang khalifah (dalam pengertian syara’, yakni: orang yang mewakili umat

untuk menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum

syari’ah.). Sebab, hanya ketika ada khalifah seluruh hukum-hukum Allah Swt

bisa dilaksankan secara total.”29

Pemahan seperti tersebut di atas merupakan contoh salah satu

penafsiran yang benar-benar mendukung berdirinya negara Islam yang

dipimpin oleh seorang khalifah sebagaimana yang ada di jaman Rasulullha

saw. Itulah suatu gambaran ide sebuah penafsiran kaum reivivalis yang

mengajak kembali umat Islam sebagaimana umat Islam yang ada dan sama

pada zaman 1400 tahun lebih yang lalu. Padahal jika dilihat kondisi sosial,

budaya, politik dan kulturalnya jauh sangat berbeda dengan era sekarang,

terutama di Indonesia. Tentunya produk penafsiran seperti ini perlu untuk

ditilik kembali, sesuaikah dengan kondisi masyarakat di mana ayat tersebut

dipahami. Jika ada ”pemaksaan makna” dikhawatirkan bukan solusi yang

didapat, justru sebaliknya sebuah problem baru yang justru menimbulkan

keresahan bagi umat. Bagaimana tidak, masalah pemahaman ayat-ayat

tentang jihad. Maka tidak heran jika ayat-ayat jihad tersebut dimaknai secara

tekstual dan kaku yang terjadi adalah lahirnya teroris-teroris yang justru

banyak merugikan umat Islam itu sendiri. Karena konsep jihad bagi mereka

adalah jihad perang fisik sebagaimana perang yang terjadi dizaman

Rasulullah saw. Padahal konsep jihad itu sendiri memiliki cakupan makna

yang cukup luas. Bukankah mencari nafkah untuk keluarga, pendidikan,


berkarya dan lain sebagainya merupakan jihad?

Secara sekilas ada kemiripan dengan tipologi obyektifis tradisionalis,

yaitu sama-sama tektualis. Perbedaannya adalah bahwa tipologi obyektifis

revivalis memahami al-Qur’an secara kaku dan keras. Karena tipologi

obyektifis revivalis ini lahir sebagai respon terhadap gerakan sekularisme

yang dianggap sebagai sistem “jahiliyah modern”. Maka tidak heran jika

tipologi obyektifis revivalis ini mendukung penuh penegakan syariat Islam.

Menurutnya aturan-aturan negara haruslah sesuai dengan Islam. Misalnya

seperti hukum pencuri haruslah dipotong tangannya, pezina haruslah

dirajam, pembunuh haruslah dipancung dan lain sebagainya. Menurut

mereka syariat Islam harus diterapkan dalam setiap sendi kehidupan. Baik

dari segi sosial, budaya, ekonomi, politik hingga nilai-nilai kehidupan

29 Rokhmat S. Labib, Tafsir al-Wa’ie, hlm. 9.

lainnya, seluruh undang-undang dan perangkat hukum haruslah berdasarkan

Islam. Dalam arti syari’at Islam harus diterapkan untuk menggantikan

hukum buatan manusia. Selain itu, pemikiran ke-Islaman yang mereka

sampaikan, khususnya berkaitan dengan relasi gender, sangat akomodatif

dengan budaya patriarki yang masih kental dianut di masyarakat, yaitu

pemikiran yang memandang perempuan sebagai makhluk kedua atau sebagai

makhluk domistik belaka.30 Adapun yang mengikuti tipologi ini adalah

seperti kelompok Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi, Gerakan

Tarbiyah, FPI dan lain sebagainya. Produk penafsiran mereka hemat penulis

tidak bisa menyelesaikan problem kekinian.

2) Tipologi Subyektivis
Tipologi yang menganut aliran subyektivis menegaskan bahwa setiap

penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu

kebenaran interpretatif bersifat relatif.31 Berdasarkan argumen inilah

menurut kelompok yang menganut tipologi ini, setiap generasi umat

manusia, khususnya umat Islam mempunyai hak untuk menafsirkan kembali

al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman.

Menurut kelompok ini pada era sekarang al-Qur’an dapat ditafsirkan

dengan ilmu-ilmu bantu yang berkembang pada era sekarang tanpa harus

melibatkan metode konfensional. Pandangan seperti ini antara lain dianut

oleh Muhammad Shahrur. Dalam menafsirkan al-Qur’an Shahrur tidak lagi

tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayatayat.

Mufassir modern, menurutnya, seharusnya menafsirkan al-Qur’an

sesuai dengan perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun

non-eksakta.32 Biasanya umat Islam yang mengikuti pandangan Shahrur ini

mendapat predikat “kaum liberal”. Karena pandangan ini tidak lagi

membutuhkan perangkat metodologi ulum al-Qur’an yang telah ada seperti

asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasabih dan lain

sebagainya. Bagi pandangan ini al-Qur’an cukup ditafsirkan dengan

menggunakan perkembangan ilmu-ilmu modern-kontemporer, seperti

30 Lihat, M. Nurdin Zuhdi, “Perempuan dalam Revivalisme: Gerakan Revivalisme Islam

dan Politik Anti Feminisme di Indonesia,” Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 9,

No. 2, Juli 2010.

31 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika, hlm. 75.

32 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika, hlm. 75-76.


sosiologi, antropologi, matematik, psikologi dan ilmu-ilmu humaniora

lainnya (hermeneutik).

Sedangkan untuk di Indonesia sendiri belum ada yang berani

melakukan penafsiran dengan tipologi subyektivis ini. Dalam arti bahwa

subyektivis dalam peanfsiran pasti ada, namun subyektivis dalam arti bawha

penafsirannya sebagaimana dengan kreteria kerangka teori di atas yang

benar-benar meniggalkan metodologi konvensional dan hanya menggunakan

metodologi kontemporer belum ditemukan dalam karya tafsir di Indonesia.

Belum ditemukannya karya tafsir dengan tipologi subyektivis untuk wilayah

Indonesia hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya adalah masih banyaknya para mufasir yang belum berani

melangkah kepada sebuah penafsiran yang seperti telah dilakukan oleh

Shahrur. Selain itu juga mereka masih hati-hati dengan perkembangan

metode kontemporer yang ada seperti hermenutika, maka wajar jika metode

yang mereka gunakan masih menggunakan metode yang telah mapan dalam

ulum al-Qur’an. Karena bagi mereka metode tafsir yang ada di dalam ulum

al-Qur’an sudah cukup dan belum perlu lagi menggunakan metode baru

seperti hermeneutika. Apalagi dengan meninggalkan metode yang telah ada

secara keseluruhan, nyaris belum ada yang berani. Selain itu juga mungkin

bisa dikatakan masih banyaknya para mufasir yang mensyakralkan metode

klasik, karena metode baru yang bukan produk Islam selama ini telah

dianggap tidak syah, bahkan diharamkan.

3) Tipologi Quasi-Obyektivis Modernis

Berbeda dengan tipologi-tipologi tersebut di atas, tipologi quasiobyektivis


modernis yaitu suatu pemahaman terhadap al-Qur’an dengan

menggunakan metode konfensional yang telah ada seperti asbab al-nuzul,

nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasabih dan lain sebagainya yang

terdapat dalam ulum al-Qur’an, dengan tanpa mengabaikan perangkat

metode baru modern-kontemporer seperti ilmu-ilmu eksakta maupun noneksakta

(hermeneutika). Tipologi ini menurut Sahiron memiliki kesamaan

dengan tipologi quasi-obyektivis tradisionalis dalam hal bahwa mufasir di

masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan

menggunakan di samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkatperangkat

metodis lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan
wahyu, teori-teori ilmu bahasa dan sastra modern

dan hermeneutika.33 Manurut Sahiron perbedaannya adalah bahwa aliran

quasi-obyektivis modernis memandang makna asal (bersifat historis) hanya

sebagai pijakan awal bagi pembacaan al-Qur’an di masa kini; makna asal

literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-Qur’an.34

Jelasnya bahwa pandangan ini sama sekali tidak mengabaikan teks dan

kontekstualitas al-Qur’an. Umat Islam yang mengikuti pandangan ini di

antaranya dianut oleh Fazlur Rahman dengan konsepnya double movement.35

Muhammad al-Thalibi dengan konsepnya al-tafsir al-maqashidi36 dan Nashr

Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaqi.37 Al-Qur’an memang

perlu ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman, namun perlu diingat

pula latar belakang historisnya yang kemudian ditarik penafsirannya di era

sekarang. Menurut Sahiron, muslim saat ini harus juga berusaha memahami

makna di balik pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis,

dinamakan oleh al-Thalibi dengan maqashid (tujuan-tujuan ayat) atau


disebut oleh Abu Zayd dengan maghza (signifikansi ayat). Makna di balik

pesan literal inilah yang harus diimplementasikan pada masa kini dan akan

datang.38

Kemudian di Indonesia sendiri pada era 2000-an untuk tiopologi quasiobyektivis

modernis setidaknya ada beberapa karya tafsir yang muncul,

diantaranya adalah: Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayatayat

Hukum dalam Al-Qur’an,39 Tafsir Insklusif Makna Islam: Analisis

Linguistik-Historis Pemaknaan Islam dalam Al-Qur’an Menuju Titik Temu

Agama-agama Semitik,40 Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan

33Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika, hlm. 74-75.

34 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika, hlm. 75.

35Lihat, Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 5-7.

36Lihat, Ath-Thalibi, ‘Iyal Allah (Tunis: Saras li-l-Nasyr, 1992), hlm. 142-144.

37Lihat, Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nashsh, al-Sulthah, al-Íaqiqah (Beirut: al-Markaz al-

Tsaqafi al-‘Arabi, 1995), hlm. 116.

38 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika, hlm. 75.

39 Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum

dalam al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2003).

40 Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam: Analisis Linguistik-Historis Pemaknaan

Islam dalam al-Qur’an Menuju Titik Temu Agama-agama Semitik (Yogyakarta: AK Group

Yogya 2004). Konteks,41 Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial

Kontemporer,42 Hidup Bersama Al-Qur’an: Jawaban Al-Qur’an Terhadap

Problematika Sosial,43 Tafsir Tematik Al-Qur’an dan Masyarakat:

Membangun Demokrasi dalam Peradaban Nusantara,44 Metode Ayat-ayat


Sains dan Sosial,45 Tafsir Tarbawi: Kajian Analisis dan Penerapan Ayatayat

Pendidikan,46 Menyingkap Rahasia Al-Qur’an: Merayakan Tafsir

Kontekstual,47 Tafsir Kebahagiaan,48 dan Tipologi Manusia dalam Al-

Qur’an.49

Ciri dari tipologi ini adalah produk penafsirannya yang bernuansakan

sosial kemsyarakatan. Artinya bahwa, produk penafsirannya berorientasi

pada kontektualitas ayat dengan tanpa mengabaikan makna asal ayat dan

makna historisitas ayat. Misalnya Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas

Masalah Sosial Kontemporer karya Nashruddin Baidan. Hal tersebut terlihat

dalam karyanya, misalnya ketika ia membahas tema tentang ”Etik

Berpolotik”.50

Selain itu, karya Waryono Abdul Ghafur sangat memperlihatkan

kontektualitas ayat yang begitu memikat: Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks

dengan Konteks dan Hidup Bersama Al-Qur’an: Jawaban Al-Qur’an

Terhadap Problematika Sosial dan Menyingkap Rahasia Al-Qur’an:

Merayakan Tafsir Kontekstual. Juga Pribumisasi al-Qur’an: Tafsir

Berwawasan Keindonesiaan dan Tafsir Mazhab Indonesia karya M. Nur

41 Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks

(Yogyakarta: eLSAQ 2005).

42 Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial

Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001).

43Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama Al-Qur’an: Jawaban Al-Qur’an Terhadap

Problematika Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah 2007)

44Hasyim Muhammad, Tafsir Tematik Al-Qur’an dan Masyarakat: Membangun


Demokrasi dalam Peradaban Nusantara (Yogyakarta: TERAS, 2007).

45Andi Rosadisastra, Metode Ayat-ayat Sains dan Sosial (Jakarta: Amzah,2007)

46Rohimin, Tafsir Tarbawi: Kajian Analisis dan Penerapan Ayat-ayat Pendidikan

(Yogyakarta: Nusa Media dan STAIN Bengkulu Press 2008)

47Waryono Abdul Ghafur, Menyingkap Rahasia Al-Qur’an: Merayakan Tafsir

Kontekstual, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2009).

48Jalaluddin Rahmat, Tafsir Kebahagiaan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010).

49Yunahar Ilyas, Tipologi Manusia dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: LABDA Press

2007).

50 Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu’i: Solusi, hlm. 195-210. Kholis Setiawan.51 Karya
tafsir ini memperlihatkan bagaimana pentingnya

nilai-nilai Al-Qur’an dapat tersosialisasikan di tengah-tengah kehidupan

sosial masyarakat luas. Tema-tema yang diusung dalam tafsir tipologi ini

adalah isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat. Sehingga tafsir ini

terasa lebih membumi dan menyentuh realitas.

C. Respon Tafsir Indonesia Terhadap Isu-Isu Aktual Budaya Lokal

Keindonesiaan

Di Indonesia sendiri kegiatan penafsiran al-Qur’an sebenarnya sudah

terjadi sejak abad ke-16. Kita mengenal beberapa kitab tafsir mulai dari

klasik hingga kontemporer, misalnya dari tafsir klasik yang ditulis dengan

memanfaatkan sumber riwayah (bi al-Ma’tsur) contohnya adalah dari mulai

ditemukannya naskah tafsir Surah all-Kahfi [18]: 9.52 Kitab tafsir ini ditulis

dalam bentuk yang sangat sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir,

sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan sepasi

rangkap.53 Leteratur tafsir ini menafsirkan dua ayat dari surat an-Nisa, yaitu
ayat 11 dan 12 yang berbicara mengenai warisan. Selain Kitab Fars’idul

Qur’an, pada abad ke-19 ini pun muncul sebuah literatur tafsir utuh yang

berjudul Tafsir Munir li Ma’alim al-Tanzil yang ditulis oleh seorang ulama

asli Indonesia bernama Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-1879

M).54 Sejak saat itu literatur-literatur karya tafsir di Indonesia semakin

berkembang.55

51 M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Keindonesiaan

(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012); M. Nur Kholis Setiawan, Tafsir Mazhab Indonesia

(Yogyakarta: Nawesea Press, 2007).

52Naskah ini tidak diketahui siapa penulisnya, namun dapat diperkirakan naskah ini

ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).Mengenai riwayat

hidup Sultan Iskandar Muda. Lihat, Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar

Muda (1607-1636) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 106-107, 232-236.

53 Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hlm. 54-55.

54 Lihat, M. Nurdin Zuhdi, “Tipologi Tafsir al-Qur’an Mazhab Indonesia” PPs UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011, hlm. 30.

55 Lihat, M. Yunan Yusuf, “Perkembangan Metode Tafsir Indonesia,” Pesantren, Vol.

8, No. 1, 1991 dan M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad

Keduapuluh,” Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 3, No. 4, 1992, hlm. 53. hlm. 50. Lihat dinamika

sejarah tafsir di Indonesia sejak abad 16 hingga tahun 2000-an dalam, M. Nurdin Zudi,

“Tipologi Tafsir al-Qur’an Mazhab Indonesia”, PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011,

Di Indonesia sendiri pendekatan kontekstual menjadi arah baru yang

mulai dibangun dalam tradsisi karya tafsir al-Qur’an hingga saat ini.56 Tidak

kurang dalam kurun waktu tersebut telah banyak para mufsir Indonesia yang
melahirkan banyak karya dalam studi al-Qur’an telah bermunculan dengan

mengusung beberapa isu-isu aktual budaya lokal keindonesiaan. Misalnya

beberapa tema tentang pembaharuan metodologi keislaman,57 isu-isu budaya

dan adat istiadat masyarakat Indonesia,58 keragaman budaya dalam konteks

keindonesiaan,59 korupsi,60 banjir dan perilaku manusia,61 isu teologi dan

lingkungan hidup,62 perjudian dan prostitusi,63 isu kesetaraan gender,64

poligami,65 pluralisme,66 demokrasi, 67 hukum,68 dan tema-tema yang lainnya

56Lihat, M. Nurdin Zuhdi, “Wacana Tafsir al-Qur’an di Indonesia: Menuju Arah Baru

Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia Tahun 2000-2008,” Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-

Qur’an dan Hadis, Vol. 11, No. 2, Juli, 2009, hlm. 249-266.

57Lihat, M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan

Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006); M. Amin Abdullah,


Rekonstruksi

Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003); Yudian Wahyudi,

“Maqahashid Syariah Sebagai Doktrin dan Metode,” dalam M. Amin Abdullah dkk,
Restrukturisasi

Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta (Yogyakarta: SUKA Press,

2007); M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural

(Yogyakarta: Panitia Dies IAIN Sunan Kalijaga, 2002); Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika

dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009).

58 Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi al-Qur’an: Tafsir Berwawasan

Keindonesiaan (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), hlm. 121-134.

59 Ibid.

60 Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama al-Qur’an, hlm. 223-229; lihat juga, M. Nur

Kholis Setiawan, Pribumisasi al-Qur’an, hlm. 151-166.


61 Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama al-Qur’an, hlm. 267-276.

62 Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi al-Qur’an,hlm. 181-192.

63 Ibid, hlm. 209-213.

64Lihat, Waryonodan Muh. Isnanto (ed.), Gender dan Islam Teks dan Konteks

(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2009); Hamim Ilyas, “Jender dalam Islam: Masalah

Penafsiran,” Jurnal asy-Syir’ah, Vol. 35, No. II, 2001, hlm. 22-33; Hamim Ilyas, “Kodrat

Perempuan Kurang Akal dan Kurang Agama,” dalam Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas:

Kajian Hadis-hadis Misoginis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008); M. Amin Abdullah,

“Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Islam dan Gender,” dalamTim Pusat Studi Wanita,

Hak-Hak dalam Keluarga (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2009); Abdul Mustaqim,

Paradigma Tafsir Feminis: Membaca al-Qur’an dengan Optik Perempuan Studi Pemikiran

Riffat Hasan Tentang Isu Gender dalam Islam (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008); Abdul

Mustaqim, “Konsep Mahram dalam al-Qur’an: Implikasinya Bagi Mobilitas Kaum

Perempuan di Ranah Publik,” Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 9, No. 1, Januari,

2010, hlm. 1-18.

65Lihat, Abdul Mustaqim, “Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur,” Jurnal

Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 8, No. 1, Januari, 2007; Hamim Ilyas, “Poligami
yang tentunya sangat erat kaitannya dengan isu-isu aktual serta nuansa

budaya lokal keindonesiaan. Selain beberapa isu-isu yang ditafsirkan di atas,

setidaknya ada bebapa isu-isu aktual yang belum diangkat dan mesti di

perhatikan oleh seorang penafsir di era modern-kontemporer ini. Diataranya

adalah mengenai isu pemanasan global, kelestarian lingkungan hidup,

sumber daya alam, juga beberapa isu-isu terkait dengan kerukunan umat

beragama.

Tema-tema penafsiran bernuansa isu-isu aktual di atas, merupakan


bentuk respon agama terhadap problematika yang muncul dan berkembang

di masyarakat. Agama, melalui para pelakunya hendaknya peka terhadap

isu-isu aktual atau problematika yang berkembang di masyarakat. Isu-isu

dan problematika kontemporer yang berkembang di masyarakat

membutuhkan penyelesaian yang segera. Karena jika tidak ada penyelesaian,

banyak problem di Indonesia yang mengakibatkan perpecahan umat Islam

sendiri, terutama mengenai isu-isu keagamaan, seperti terorisme dan

pluralisme.

Dari macam-macam tipologi tafsir di atas, tampaknya tipologi quasiobyektivis

modernis yang mampu menjawab tantangan zaman. Karena

tipologi ini memiliki gerak metodologi yang berimbang antara pengarang

(author), teks (text), dan pembaca (reader). Pemahaman teks memang

seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang

(author), teks (text), dan pembaca (reader).

Di bawah ini adalah gambar skema tipologi tafsir di atas. Skema ini

berusaha menggambarkan sebuah tipologi tafsir yang mudah untuk dipahami

dan dipraktekkan dalam penafsiran. Dari gambar skema ini akan terlihat

jelas kira-kira manakah tipologi yang lebih mudah diterapkan dalam

menafsirkan suatu teks dalam rangka mencari solusi dalam memecahkan

dalam Tradisi dan Ajaran Islam,” dalam Inayah Rahmaniyah dan Moh. Sodik (ed.), Menyoal

Keadilan dalam Poligami (Yogyakarta: PSW, 2009).

66Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkanl, hlm. 10-15.

67Lihat, Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks

(Yogyakarta: eLSAQ, 2005); Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama al-Qur’an: Jawaban
Al-Qur’an Terhadap Problematika Sosial (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2007).

68Lihat, Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari

Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007).

problem kekinian di era modern-kontemporer ini serta mudah untuk diterima

di tengah-tengah masyarakat.

1. Tipologi Obyektivis Tradisionalis

2. Tipologi Obyektivis Tradisionalis Revivalis

3. Tipologi Subyektivis

4. Tipologi Quasi-Obyektivis Modernis

D. Simpulan

Dari semua uraian di atas, kajian ini semata-mata bukan hanya ingin

menunjukkan proses dinamis, valoiditas dan tipologi suatu karya yang

selama ini telah terjadi dalam tradsisi penulisan tafsir, terutama di Indonesia.

Lebih dari itu, kajian terhadap karya-karya tafsir ini juga ingin menegaskan

bahwa sebuah karya, tidak terkecuali karya tafsir, bukanlah suatu karya suci

yang kedap kritik. Analisis wacana kritis yang dipakai dalam kajian ini,

menunjukkan dengan tegas bahwa suatu karya tafsir, dengan beragam

metode dan coraknya, telah mengusung berbagai kepentingan. Selain itu,

dari tema yang diusung di atas menunjukkan bahwa studi tarhadap tafsir al-Qur’an ini terus
mengalami perkembangan yang signifikan. Selain itu,

wacana-wacana semacam ini telah menunjukkan adanya sensitivitas atau

kepedulian umat Islam terhadap wacana pemikiran keislaman yang sedang

berkembang saat-saat ini, terutama di Indonesia. Kemudin, dilihat dari segi

tipologi tafsir al-Qur’an terbagi kepada empat tipologi: tipologi obyektivis

tradisionalis, tipologi obyektivis tradisionalis revivalis, tipologi subyektivis


dan tipologi quasi-obyektivis modernis. Dan diantar empat tipologi tafsir di

atas, tipologi quasi-obyektivis modernislah yang dianggap mampu

menghadapi tantangan zaman. Tipologi ini menggunakan gerak metodologi

yang berimbang antara pengarang (author), teks (text), dan pembaca

(reader). Karena pemahaman terhdap teks memang seharusnya merupakan

produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text), dan

pembaca (reader).

Untuk memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dan pedoman

hidup, tidaklah cukup jika al-Qur’an hanya dibaca sebagai rutinitas seharihari

dalam kehidupan. Perlu adanya penggalian makna-makna yang

tersimpan di dalamnya, maka dalam hal ini tafsir dengan pendekatan

hermeneutik cukup diperlukan. Namun setiap karya tafsir dalam khazanah

intelektual Islam tidak akan pernah bisa untuk dilepaskan dari realitas,

tujuan, kepentingan, dan tendensi tertentu. Setiap teks perlu untuk

”dicurigai”, ada kepentingan atau idiologi apa di balik penafsiran teks

tersebut. Maka dalam konteks seperti inilah para pembaca tafsir dituntut agar

dapat kritis membaca dan bahkan dituntut pula untuk mampu membongkar

sesuatu yang ada dan tersimpan di balik sebuah teks karya tafsir tersebut.

Semua itu menuntut kita untuk selalu sadar menempatkan sebuah karya

tafsir secara kritis, bukan malah ”mensakralkan” teks tafsir. Meskipun perlu

dicatat tidak semua ideologi itu buruk. Karena—sebagaimana ungkapan Ali

Harb—tidak ada kebenaran yang dapat ditangkap secara universal dan jelas.

Kebenaran lahir sepanjang wacana periwayatan, otoritas, asumsi dan segala

yang mungkin menyumbangkan kontribusi dalam menciptakan realitas atau


melahirkan beragam objek dan pengaruh.

KAJIAN FILOSOFIS TERHADAP MULTIKULTURALISME INDONESIA

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang, Teori, dan Pustaka

Berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya), multi-kulturalisme
mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik
keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun
keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap
sejarah kehidupan masyarakat.

Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat Indonesia. Ini
tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan
masyarakat Indonesia terlihat dari beberapa fakta berikut: tersebar dalam kepulauan yang
terdiri atas 13.667 pulau (meskipun tidak seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358
suku bangsa dan 200 subsuku bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan yang
menurut statistik: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang
lain 1% (dengan catatan ada pula penduduk yang menganut keyakinan yang tidak termasuk
agama resmi pemerintah, namun di kartu tanda penduduk menyebut diri sebagai pemeluk
agama resmi pemerintah), dan riwayat kultural percampuran berbagai macam pengaruh
budaya, mulai dari kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen, dan juga Barat modern.

Yang umumnya dikenal oleh masyarakat awam adalah multikultural-isme dalam bentuk
deskriptif, yakni menggambarkan realitas multikultural di tengah masyarakat (Heywood,
2007).

Parekh (1997) membedakan lima model multikulturalisme:

1. Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya


menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain.

2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang


membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum
minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan
ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum
minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun
sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini
diterapkan di beberapa negara Eropa.

3. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok-kelompok kultural


utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan meng-
inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima.
Perhatian pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang
memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan
dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai
mitra sejajar.

4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok-kelompok


kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih
membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif
khas mereka.

5. Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-


batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak
lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan-
percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing
(Azra, 2007).

Selain multikulturalisme deskriptif, sebetulnya ada lagi multikulturalisme normatif, yakni


suatu sokongan positif, bahkan perayaan atas keragaman komunal, yang secara tipikal
didasarkan entah atas hak dari kelompok-kelompok yang berbeda untuk dihargai dan diakui,
atau atas keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh lewat tatanan masyarakat yang lebih
luas keragaman moral dan kulturalnya (Heywood, 2007: 313). Multikulturalisme normatif
melibatkan kebijakan sadar, terarah, dan terencana dari pemerintah dan elemen masyarakat
untuk mewujudkan multikulturalisme.

Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni kebudayaan, pluralitas
kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Multikulturalisme bukanlah
doktrin politik pragmatik, melainkan cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua
negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya
—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka
multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik
pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.

Setidaknya ada tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi realitas
pluralitas kebudayaan. Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas
adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa,
agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini
setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model
ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan
negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini
dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk
menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.

Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang
landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional
(founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini
dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut
hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang
asing.

Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara
kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan
diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang
muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi
juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks
lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus
menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah
karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi
pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-konflik internal berkepanjangan yang
pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

Sampai saat ini pemerintah dan masyarakat Indonesia belum menentukan secara normatif
model multikulturalisme macam apa yang harus diterapkan di negeri ini. Selain
membutuhkan kajian-kajian antropologis yang lebih mendalam, tampaknya juga diperlukan
kajian filosofis terhadap multikulturalisme itu sendiri sebagai sebuah ideologi. Berbeda dari
yang dipahami orang awam, ternyata multikulturalisme mengandung asumsi-asumsi
problematis yang harus sebaiknya dikenali, diakui sepenuhnya atau direvisi sesuai realitas
khas setiap negeri, sebelum pemerintah dan masyarakat dapat memutuskan apakah akan
memeluk ideologi multikulturalisme dan selanjutnya menormatifkannya. Dalam makalah ini,
penulis akan berusaha menguraikan asumsi-asumsi dasar dari multikulturalisme dan
konsekuensinya secara konseptual, lalu menyajikan beberapa tinjauan kritis terhadap
multikulturalisme tersebut, sebelum akhirnya mencoba untuk mengaitkan pertimbangan atas
bangunan konsep multikulturalisme itu secara keseluruhan dengan realitas masyarakat
Indonesia yang majemuk.

2. Tujuan Penulisan

Tulisan ini hendak menguraikan asumsi-asumsi dasar multikulturalisme dan konsekuensinya


secara konseptual, lalu menyajikan beberapa tinjauan kritis terhadap multikulturalisme
tersebut, sebelum akhirnya mencoba untuk mengaitkan pertimbangan atas bangunan konsep
multikulturalisme itu secara keseluruhan dengan realitas masyarakat Indonesia yang
majemuk.

B. METODE PENULISAN

Objek material dari kajian ini adalah multikulturalisme sebagai sebuah bangunan konsep,
sementara objek formalnya adalah ontologi. Dengan demikian multikulturalisme tidak akan
diteliti menurut metode antropologis, melainkan disoroti secara filosofis, yaitu ditinjau dalam
cahaya dasar-dasar kenyataan tentang manusia dan dunia, hakikat keberadaan.

Ada tiga langkah metodis yang akan disajikan dalam penulisan ini. Pertama, mengidentifikasi
filsafat tersembunyi, yaitu menyelidiki konsep filosofis (pandangan hidup) yang secara
faktual tersembunyi di dalam peristiwa, atau keadaan dan situasi, atau fenomena yang
merupakan masalah itu. Terutama diperhatikan sikap, pilihan, dan penilaian orang, sejauh
diungkapkan atau diperlihatkan dalam tingkah lakunya (pendapat umum). Filsafat
tersembunyi itu dirumuskan dan dijelaskan tanpa memberikan komentar lebih lanjut.

Kedua, evaluasi kritis. Filsafat tersembunyi itu dievaluasi secara kritis dengan
memperlihatkan kekuatan dan kelemahannya. Untuk itu, konsepsi itu dikonfrontasi dengan
data-data masalah atau situasi yang lengkap; atau dibandingkan dengan pengalaman orang
umum; atau diteliti koherensi interen pada filsafat tersembunyi itu.
Ketiga, konsepsi filosofis yang lebih utuh. Konsepsi itu mungkin dapat memecahkan masalah
yang bersangkutan dengan lebih baik dan lengkap. Pemahamannya dapat menjelaskan
kedudukan peristiwa atau fenomena aktual. Mungkin juga pemahaman itu dapat memberikan
pengarahan fundamental untuk mengambil sikap yang lebih tepat (etis) dalam situasi itu (lihat
Bakker dan Zubair, 1990: 107-108).

C. PRINSIP-PRINSIP ASUMTIF DALAM MULTIKULTURALISME

Istilah multikulturalisme marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Istilah ini diderivasi
dari kata multicultural yang dipopulerkan surat kabar-surat kabar di Kanada, yang
menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural dan multilingual.
Pengertian tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama: pertama, kebutuhan terhadap
pengakuan (the need of recognition), kedua, legitimasi keanekaragaman budaya atau
pluralisme budaya. Parsudi Suparlan menuliskan, ―Konsep multikulturalisme tidaklah dapat
disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku-bangsa atau kebudayaan suku-
bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multi-kulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan
harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi
ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan
berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral, dan tingkat serta mutu produktivitas (Suparlan, 2002).‖ Multikulturalisme lahir dari
benih-benih konsep yang sama dengan demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, dan
prinsip-prinsip etika dan moral egaliter sosial-politik (Fay, 1996; Rex, 1985 dalam Suparlan,
2002).

Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang beragam itu tampak dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Ungkapan itu sendiri
mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui perbedaan tapi sekaligus
memelihara kesatuan atas dasar pemeliharaan keragaman, bukan dengan menghapuskannya
atau mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan, hal ini
adalah asumsi dasar yang juga melandasi paham multikulturalisme.

Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan (the need of
recognition) terhadap kemajemukan budaya, yang menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa,
termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai
suatu ideologi, menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan
semua manusia dan kemanusiaannya yang secara operasional mewujud melalui pranata-
pranata sosialnya, yakni budaya sebagai pemandu kehidupan sekelompok manusia sehari-
hari. Dalam konteks ini, multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi keanekaragaman
budaya. Kita melihat kuatnya prinsip kesetaraan (egality) dan prinsip pengakuan
(recognition) pada berbagai definisi multikulturalisme:

―Multikulturalisme‖ pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat


diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap
realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan
dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).

Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai
dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (Parekh,
1997 yang dikutip dari Azra, 2007).

Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya


seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain
(Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174), sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara
kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).

Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan,


oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya,
namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan
mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap,
2007, mengutip M. Atho‘ Muzhar).

Konsekuensi dari multikulturalisme adalah sikap menentang dan anti terhadap, atau
setidaknya bermasalah dengan, monokulturalisme dan asimilasi yang merupakan norma-
norma wajar dari sebuah negara bangsa sejak abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki
adanya kesatuan budaya secara normatif, sebab yang dituju oleh monokulturalisme adalah
homogenitas, sekalipun homogenitas itu masih pada tahap harapan atau wacana dan belum
terwujud (pre-existing). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan bersatu antara
dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan
untuk mewujud menjadi satu kebudayaan baru. Pertentangan antara multikulturalisme dan
monokulturalisme tampak nyata sekali dari asumsi dasar yang saling berseberangan, yang
satu melegitimasi perbedaan sementara yang lain meminimalisir perbedaan.

D. KRITIK TERHADAP MULTIKULTURALISME

Secara awam, kita menyadari kebutuhan untuk mengakui berbagai ragam budaya sebagai
sederajat demi kesatuan bangsa Indonesia. Namun secara filosofis, ternyata multikulturalisme
mengandung persoalan yang cukup mendasar tentang konsep kesetaraan budaya itu sendiri.
Beberapa kritikus multikulturalisme telah bicara tentang kelemahan multikulturalisme. Kritik
terhadap multikulturalisme biasanya berangkat dari dua titik tolak.

Pertama, kesadaran tentang ketegangan filosofis antara kesatuan dan perbedaan (one and
many). David Miller (1995) menulis bahwa multikulturalisme radikal menekankan
perbedaan-perbedaan antarkelompok budaya dengan mengorbankan berbagai persamaan
yang mereka miliki dan dengan demikian multikulturalisme akan melemahkan ikatan-ikatan
solidaritas yang berfungsi mendorong para warga negara untuk mendukung kebijakan-
kebijakan redistributif dari negara kesejahteraan. Hal ini, komentar Anne Phillips (2007:13),
akan menghancurkan kohesi sosial, melemahkan identitas nasional, mengosongkan sebagian
besar dari isi konsep ―kewarganegaraan‖. Jika telah sampai pada titik yang berbahaya,
multikulturalisme radikal akan membangkitkan semangat untuk memisahkan diri atau
separatisme dalam psike kelompok-kelompok kultural.

Kedua, kenyataan bahwa dapat terjadi benturan prinsip kesetaraan antara elemen minoritas
dalam kelompok sosial. Peneliti feminis Susan Moller Okin (lihat Okin, 1998, 1999, dan
2002), misalnya, menilai bahwa agenda multikulturalisme tidak dapat berbuat banyak, atau
justru makin melemahkan posisi perempuan dalam tatanan masyarakat lokalnya. Praktik-
praktik seperti poligami, penyunatan alat kelamin perempuan, pernikahan paksa terhadap
anak-anak perempuan termasuk anak-anak perempuan berusia dini, dan lain sebagainya
praktik yang bias gender, justru dilegitimasi oleh multikulturalisme yang memberikan hak
otonom bagi setiap kelompok kultural untuk melanggengkan tatanan sosial masing-masing.
Jika tatanan sosial dari kelompok kultural tersebut didasarkan atas sistem patriarki, kata Okin,
posisi perempuan dalam masyarakat itu sangat lemah.

Anne Phillips menganalisis situasi ini sebagai benturan antarprinsip kesetaraan. Terjadi
konflik antara dua klaim kesetaraan. Multikulturalisme ingin menghapuskan ketidaksetaraan
yang dialami oleh kelompok-kelompok kultural minoritas, sementara feminisme ingin
menghapuskan ketidaksetaraan yang dialami oleh kaum perempuan. Kedua proyek ini,
multikulturalisme dan feminisme, sebetulnya berangkat dari komitmen yang sama terhadap
prinsip kesetaraan dan keduanya berhadap-hadapan sebagai dua aspek yang harus
diseimbangkan. Karena keduanya sama-sama mengurusi isyu ketidaksetaraan yang nyata,
sangat tidak tepat untuk memutuskan yang satu lebih fundamental daripada yang lain
(Phillips, 2007:3).

Ada risiko konseptual dalam multikulturalisme bahwa perbedaan budaya akan terlalu
disakralkan sehingga kebenaran universal tentang praktik sosial-politik yang ideal tidak lagi
dicari dan kritik normatif atas praktik budaya tertentu ditabukan. Para feminis sudah lama
mengkritik multikulturalisme sebagai ideologi yang merugikan perempuan karena
melegitimasi sistem sosial patriarkis dalam budaya-budaya lokal. Sekalipun prinsip
kesetaraan (principle of equality) bersifat mendasar bagi demokrasi dan kehidupan
kebangsaan modern, namun kesetaraan bukanlah satu-satunya prinsip yang berlaku.
Demokrasi juga mengandung penghargaan terhadap hak asasi manusia dan memberikan
ruang luas bagi individu dalam kelompok untuk mengekspresikan diri secara unik. Isyu
ketegangan antara penghargaan terhadap keberbedaan dan hak untuk menjadi berbeda dengan
konsep universal tentang martabat individu sesungguhnya inilah perlu diteliti lebih lanjut
agar ditemukan solusi yang tepat.

Sampai di titik ini, kita bisa memandang proyek multikulturalisme dengan lebih menyeluruh,
bukan semata-mata sebagai jargon politik untuk mencitrakan ideologi atau organisasi yang
pro kemanusiaan, melainkan sebagai sebuah konsep filosofis dengan asumsi-asumsi yang
ternyata problematis. Salah satu ironi dari proyek multikultural, lanjut Anne Phillips
(2007:25), adalah bahwa atas nama kesetaraan dan respek mutual antarelemen masyarakat, ia
juga mendorong kita untuk memandang kelompok-kelompok dan tatanan-tatanan budaya
secara sistematis lebih berbeda daripada kenyataan sesungguhnya dan dalam proses tersebut,
multikulturalisme berkontribusi menciptakan stereotipisasi wujud-wujud kultural yang ada.

E. MULTIKULTURALISME INDONESIA DI MASA DEPAN

Saat ini term multikulturalisme sedang laris dalam arti positif di kalangan birokrat,
akademisi, maupun masyarakat umum. Visi indah tentang kelompok-kelompok budaya
berbeda yang berinteraksi dalam kedamaian dan ko-eksistensi konstruktif ada di benak kita
semua. Pidato-pidato dan esai-esai yang mendorong dijunjung tingginya multikulturalisme
ada di mana-mana, meminta dan menuntut adanya sikap menghargai setiap wujud
kebudayaan, daerah atau sub-kelompok, yang ada di Indonesia.
Namun, konflik inheren dalam konsep multikulturalisme belum dicarikan solusi fundamental,
sehingga kita melihat dalam praktiknya terjadi benturan-benturan antara konsep yang satu
dan yang banyak (one and many). Aksi terorisme, misalnya, menunjukkan adanya identitas
kelompok kultural yang kuat namun memberontak terhadap identitas bersama dan
kepentingan rakyat banyak sebagai sesama warga Indonesia. Para teroris mengorbankan
kepentingan dan keselamatan sesama warga negara Indonesia untuk memperjuangkan tujuan
kelompok kulturalnya sendiri. Kita bisa menilai hal yang sama terjadi pada gerakan-gerakan
separatisme di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Menguatkan identitas kelompok kultural
ternyata bisa menabrak kepentingan agenda nasional yang lebih besar, sila ketiga dari
Pancasila, yakni persatuan Indonesia.

Problem benturan antarklaim kesetaraan juga perlu diselesaikan. Jika esensi dari
multikulturalisme adalah pengakuan bahwa kaum minoritas perlu diperlakukan setara seperti
kelompok mayoritas, kita akan berhadapan dengan persoalan: bagaimana dengan kaum
minoritas di tengah kaum minoritas itu (minorities within minorities)? Bahkan kaum
minoritas pun dapat berlaku menindas terhadap kaum minoritasnya sendiri, itu kita temui
dalam realitas masyarakat. Perlakuan terhadap kaum perempuan di tengah sub-kelompok
kultural yang patriarkis adalah satu contoh. Di Indonesia juga kita temukan kasus-kasus
seperti sekte-sekte keagamaan minoritas yang tidak memperoleh pengakuan kesetaraan dari
kelompok keagamaan mayoritas tempat mereka berafiliasi, juga sub-sub kultur lain yang
masih bergerak di bawah tanah, eksis tapi tidak berani menampilkan diri karena takut pada
konsekuensi sosial dari kelompok kultural mayoritas, misalnya kaum gay dan lesbian,
kelompok ateis, dan seterusnya. Multikulturalisme macam apa yang bisa memperlakukan
mereka secara sepantasnya? Jika kesetaraan dan penghargaan atas perbedaan dijunjung
tinggi, adakah batas-batasnya? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dibahas lebih lanjut dalam
penelitian-penelitian selanjutnya.
Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban

Pendahuluan
Sejauh ini, sudah terlanjur mapan pandangan yang menempatkan masyarakat warga
atau masyarakat sipil sebagai kekuatan yang lahir untuk mengimbangi dan mengontrol
kekuasaan negara. Kecenderungan negara yang despotik dan sewenang-wenang dipahami
sebagai syarat ontologis bagi munculnya fenomena masyarakat warga. Problem utama
masyarakat warga dengan demikian adalah negara yang otoriter, anti-demokrasi atau anti-
kebebasan. Namun persoalan menjadi berbeda dengan munculnya kasus seperti penyerangan
Front Pembela Islam (FPI) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (AKKBP) di Monumen Nasional Jakarta awal Juni 2008. Kasus kekerasan ini
jelas merupakan fakta masyarakat warga yang menggambarkan bagaimana kelompok-
kelompok dalam masyarakat pluralistik berinteraksi satu sama lain, bagaimana perbedaan dan
keragaman diperlakukan, serta bagaimana peran negara pada aras itu.
Pada kasus kekerasan FPI terhadap AKKBP, jelas pula problem masyarakat warga
bukan tendensi negara yang otoriter dan despotik. Tak ada sosok negara yang kuat dan
otoritatif pada kasus ini. Yang ada adalah peragaan telanjang state of nature, naluri instingtif-
alamiah manusia, perilaku tidak beradab kelompok masyarakat terhadap kelompok
masyarakat yang lain. Pada kasus ini, masyarakat warga dihadapkan pada kondisi tidak
adanya tatanan untuk ‘kebersaman dalam keberagaman’, yang mampu menjamin keselamatan
dan kenyamanan warga masyarakat untuk menjalankan aktivitas di ruang publik, entah dalam
bentuk undang-undang, hukum, etika publik, solidaritas sosial dan seterusnya.
Kekerasan FPI terhadap AKKBP, sebagaimana kasus kekerasan dan
ketidakberadaban tindakan-tindakan dalam relasi antarwarga masyarakat yang msih kerap
terjadi di negeri ini hingga kini, menjadi titik-tolak untuk merenungkan kembali, apakah
sesungguhnya fenomena masyarakat warga? Bagaimana genealogi lahirnya masyarakat
warga? Apa saja problem-problemnya? Bagaimana duduk-perkara hingga akhirnya muncul
pemahaman tentang masyarakat warga sebagai antinomi dari negara? Tulisan ini memberikan
tinjauan atas perkembangan teori tentang masyarakat warga tersebut.
Pada bagian pertama, akan dijelaskan versi awal masyarakat warga sebagai
pengertian yang diberikan kepada adanya masyarakat dengan suatu tatatan vis a vis
masyarakat yang tanpa tatanan dan hidup dalam situasi barbar, perang semua melawan
semua. Masyarakat warga perlu dibentuk karena tidak mungkin lagi manusia hidup dengan
insting alamiah dan kebebasannya yang tanpa batas. Bagian kedua menjelaskan konteks
sejarah ‘perpecahan’ antara masyarakat warga dengan negara. Mengapa kekuatan negara
harus dikontrol? Dan masyarakat seperti apakah yang dapat melakukannya? Bagian ketiga
menjelaskan kemunculan masyarakatwarga dalam kaitannya dengan fenomena perdagangan
dan komersialisasi. Persoalannya, apakah perdagangan menjadi faktor pendorong
perkembangan lebih advance dari masyarakat warga, atau sebaliknya perdagangan justru
merusak sendi-sendi kebersamaan, solidaritas, empati sosial, nilai-nilai kewargaan sebagai
sendi-sendi penopang masyarakat warga. Bagian keempat menampilkan pandangan-
pandangan kritis tentang fenomena masyarakat warga.
Ketidakberadaban: Problem Asali Masyarakat Warga
Fenomena masyarakat warga dapat dilacak dari karya klasik Aristoteles berjudul
Politics. Dalam buku ini, Aristoteles membahas tentang koinonia politike sebagai konsep
awal dari masyarakat warga. Koinonia politike dalam perjalanannya diterjemahkan sebagai
politica communicatio, communitas politica, Civilis communitas, societas civilis hingga
akhirnya menjadi Civil society. Merujuk pada hasil terjemahan tokoh Renaissance Italia,
Leonardo Bruni, atas karya Aristoteles tersebut, koinonia politike merujuk pada pengertian
tentang: pemerintahan negara republik, komunitas hidup bersama, tatanan sosial, komunitas
beradab, tata hidup beradab, atau nilai-nilai keadaban. Keberagaman makna inilah yang
membentuk perkembangan makna masyarakat warga dalam sejarah selanjutnya.
Dalam konteks Aristotelian, masyarakat warga adalah ‘kondisi tatanan sosial’ sebagai
kebalikan dari ‘kondisi hukum rimba’, keberadaban versus barbarisme. Keberadaban
dimungkinkan oleh kapasitas manusia untuk berpikir secara moral hingga menghasilkan
produk hukum, undang-undang, dan konstitusi. Sedangkan masyarakat barbar merujuk pada
kehidupan yang melulu disandarkan pada hukum rimba, pada naluri-naluri alami manusia
yang saling beradu satu sama lain. (Politics, buku I, bab 2).1
1 B Herry Priyono, Sketsa Evolusi Istilah Civil Society, manuskrip pengantar kuliah “Membaca Ulang Civil Society”,
2008, hlm. 2.Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 1, Juli 2010 26

Aristoteles tidak sendirian di sini. Pandangan aristotelian tentang masyarakat warga itu juga
dapat ditemukan dalam pemikiran beberapa pemikir pada jaman yang berbeda. Dalam
buku Of the Law of Ecclesiastical Polity, Richard Hooker (1554-1600) mengasalkan
terbentuknya masyarakat warga dari kecenderungan-kecenderungan alamiah (natural
inclination) yang mendorong manusia untuk membentuk kehidupan sosial dan ikatan
persahabatan. Sebelum terbentuknya masyarakat warga, manusia digambarkan hidup
dalam lingkaran ketakutan, ancaman dan bahaya karena manusia berhadap-hadapan satu
sama lain dengan kepentingan dan naluri masing-masing. Maka masyarakat warga
sesungguhnya terbentuk melalui logika negatif, dengan mekanisme leisure of evil: hukum
dan aturan diciptakan justru untuk membatasi dan memblokir insting-insting gelap
manusia. Untuk mengatasi situasi saling melanggar, menyakiti dan menyengsarakan
antarindividu, tak ada cara lain kecuali mengembangkan kesepakatan dan peraturan di
antara mereka, dengan membentuk pemerintahan (government public). Kepada
pemerintahan ini diatribusikan otoritas untuk mengatur dan memerintah kehidupan
bersama guna menciptakan perdamaian, kesetaraan dan kebahagiaan bersama.
Muncul kesadaran bahwa tidaklah mungkin manusia secara rasional bertindak hanya
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya sendiri. Jika setiap orang secara partikular
hanya mengurusi dirinya sendiri dan orang-orang yang berada dalam kekuasaannya, maka
yang tercipta adalah situasi pertengkaran dan konflik yang tak ada akhirnya.2
2 Richard Hooker “Civil society as political society”, dalam John A. Hall and Frank Trentmann (ed.), Civil Society, A Reader in
History, Theory and Global Politics, Palgrave Macmillan, 2005, hlm. 2: Inasmuch as every man is towards himself, and them
whom he greatly affecteth, partial; and therefore that strifes and troubles would be endless; except they gave their
common consent all to be ordered by some whom they should agree upon: without which consent, there were no reason
that one man should take upon him to be lord or judge over another; because althougth there be according the the opinion
of some very great and judicious men, a kind of natural right in the noble, wise, and virtuous, to govern them which are of
servile disposition; nevertheless for manifestation of this their right, and men’s more peacable contentment on both sides,
the assent of them who are to be governed seemeth necessary.

Situasi ini hanya akan berakhir jika muncul kesadaran bersama (common consent)
tentang perlunya pemerintahan untuk mengatur kehidupan antar individu dan antarkelompok.
Dengan demikian, masyarakat warga ditandai dengan adanya tiga unsur: komunitas politik,
pemerintahan dan hukum. Isi dari masyarakat warga adalah ketaatan pada hukum,
persetujuan hidup bersama, kesetaraan dan penyelenggaraan pemerintahan. Lawan
masyarakat warga dengan demikian adalah kondisi-kondisi tidak adanya hukum,
pemerintahan, dan komunitas politik. Meskipun masyarakat warga tidak pernah terbentuk
secara sempurna, adanya masyarakat warga tetap lebih baik daripada ketika

kehidupan manusia dihadapkan pada benturan-benturan state of nature.3


3 Hooker, ibid., hlm. 28: Nature furnished man with wit and valour, and as it were with armour, which may be used as
well unto extreme evil as good? Yea, were they not used by the rest of the world unto evil; unto the contrary only by
Seth, Enoch, and those few the rest in that line? We all make complaint of the iniquity of our times, not unjustly, for the
days are evil. But compare with those times wherein there was as yet no manner of public regiment established, with
those times wherein there were not above eight righteous persons living upon the face of the earth; and we have surely
good cause to think that God hath blessed us exceedingly, and hath made us behold most happy days.
Pada konteks yang sama, Filsuf Inggris dan kritikus Thomas Hobbes yang tersohor, John
Locke (1632-1704) melihat masyarakat warga sebagai tatanan sosial yang terbentuk karena
benturan keadaan alamiah, state of nature manusia. Masyarakat warga diperlawankan dengan
chaos ketika manusia saling berhadap-hadapan dengan state of nature masing-masing.
Manusia dilahirkan dengan kebebasan yang sempurna dan perwujudan yang tak terkontrol
atas hak-hak dan privilese masing-masing. Manusia menggunakan state of nature untuk
melindungi hak milik dari berbagai pelanggaran atau penyerobotan pihak lain serta untuk
menjatuhkan hukuman bagi siapa saja yang melanggar state of nature tersebut. Masyarakat
politik adalah sebuah tatanan sosial yang diciptakan untuk mengatasi state of nature yang
menjadi problematis ketika relasi antar manusia semakin kompleks.
Problem utama masyarakat warga adalah state of nature dan individualitas, bukan
negara atau kekuasaan-kekuasaan yang terlembaga. Masyarakat warga pertama-tama adalah
keluarga, lalu menjadi komunitas warga, meningkat menjadi masyarakat politik dan berujung
pada terbentuknya institusi formal negara. Masyarakat warga atau political society dibentuk
dengan tujuan yang spesifik: menjamin hak milik pribadi dan melakukan penertiban sosial
dengan menjatuhkan sanksi bagi para pelanggar peraturan.4
Locke membedakan antara orang yang bermasyarakat dengan orang yang tidak
bermasyarakat. Yang pertama bersatu dalam satu tubuh komunitas, mempunyai hukum
bersama yang mapan dan otoritatif untuk memutuskan sengketa dan menjatuhkan sanksi,
mempunyai mekanisme peradilan yang terbuka bagi kemungkinan mengoreksi hukum. Yang
kedua tidak disatukan oleh sistem hukum yang sama, di mana setiap orang bisa menjadi
hakim dan eksekutor bagi dirinya sendiri, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar
sepenuhnya insting-insting alamiah.5
4 John Locke, “Masyarakat warga vs the state of nature”, dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society..., op.cit.,
hlm. 31: But because no political society can be nor subsist without having in itself the power to preserve the property, and
in order thereunto, punish the offences of all those of that society, there, and there natural power, resigned it up into the
hands of the community in all cases that exclude him not from appealing for protection to the law established by it; and thus
all private judgement of every particular member being excluded, the community comes to be umpire; and by understanding
indifferent rules and men authorised by the community for their execution, decided all the difference that may happen
between any members of that society concerning any matter of right, punishes thoses offences which any member hath
commited againt the society....

5 Locke, ibid., hlm. 31: whereby it is easy to discern who are and are not in political society together. Those who are united
into one body, and have a common established law and judicature ta appeal to, with authority to decide controversies
between them and punish offenders, are in masyarakat warga one with another; but those who have no such common appeal
– I mean on earth—are still in the state of nature, each being, where there is no other, judge for himself and executioner,
which is, as I have before shown it, the prefect state of nature. (hlm. 31)
Gambaran tentang state of nature sebagai pendorong terbentuknya masyarakat warga
lebih dramatis lagi di tangan Thomas Hobbes. Hobbes menegaskan, seluruh kelakuan
manusia dapat dikembalikan pada satu hal saja: perasaan takut terhadap maut dan naluri
untuk menyelamatkan diri darinya. Jika keadaan alamiah sebagai titik tolak tindakan
manusia, ini berarti semua orang bebas bertindak, karena tidak ada lembaga atau otoritas
yang berwenang mengatur individu dan masyarakat. Semua orang sama kedudukannya,
sama-sama memiliki hak-hak alamiah, terutama hak untuk membela diri. Semua orang hidup
sendiri-sendiri, sesuai dengan kebutuhan individual masing-masing.
Keadaan inilah yang akhirnya menyadarkan individu-individu untuk memikirkan
tindakan bersama. Mereka lalu mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri untuk
mendirikan lembaga yang berwenang mutlak untuk menata semua orang dan menuntut
ketaatannya terhadap undang-undang. Mereka menyerahkan semua hak alamiah mereka
kepada lembaga itu, kecuali hak untuk melindungi diri. Dari perjanjian bersama ini lahirlah
negara. State of nature ditempatkan Hobbes sebagai ikhwal lahirnya negara. Namun yang
kurang menonjol dari Hobbes adalah penjelasan tentang masyarakat warga. Hobbes tidak
menjelaskan bahwa sebelum atau di samping fenomena negara, ada fenomena masyarakat
warga.
Jika Hooker bicara tentang natural inclination, dan Locke dan Hobbes bicara tentang state of
nature, maka filosof besar Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) berbicara tentang
antagonisme sosial sebagai dasar ontologis kelahiran masyarakat warga. Masyarakat
warga tak terelakkan karena antagonisme yang inheren pada manusia, dan juga pada
lembaga-lembaga ciptaannya tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Antagonisme ini
bersumber dari keinginan setiap orang untuk menikmati kebebasan yang sebesar-besarnya.
Jika setiap orang menghendaki demikian, maka manusia akan saling menghancurkan satu
sama lain. Oleh karena itu, secara alamiah manusia kemudian terdorong untuk
menghindari situasi chaos, lalu terkondisikan untuk membutuhkan atau menerima adanya
hukum yang mengatur kehidupan bersama. Manusia tidak dapat hidup satu sama lain
dalam kebebasan liar yang tanpa batas. Di sini Kant merumuskan masalah alami terbesar
kehidupan manusia: bagaimana menyeimbangkan antara kebebasan yang diatur oleh
hukum-hukum eksternal dalam derajatnya paling besar, dengan otoritas formal atau
konstitusi yang adil, legitimate dan harus dipatuhi bersama.6
Dalam konteks Kantian ini, hukum adalah instrumen untuk mengatur agar kebebasan
setiap orang tidak sampai menghambat kebebasan orang lain. Hukum berfungsi
mendisiplinkan naluri-naluri kebebasan manusia yang cenderung tanpa batas. Namun yang
dilakukan hukum bukan menghapuskan antagonisme sosial, namun mempertahankannya
dalam equilibrium. Di satu sisi manusia mempunyai kebebasannya, tetapi di sisi lain manusia
harus siap untuk terbatasi kebebasannya. Kebebasan individu berada dalam koridor
kebebasan orang lain. Menurut Kant, tujuan tertinggi alam, yakni pengembangan semua
kapasitas manusia hanya dapat dicapai dalam masyarakat yang memungkinkan kebebasan
terbesar (the greatest freedom), namun dapat mempertahankan antagonisme anggota-
anggotanya, dapat pula menerapkan pembatasan kebebasan yang paling pasti.7

Antagonisme bukan sesuatu yang harus disingkirkan. Peradaban manusia maju dan
berkembang berkat antagonisme. ”Semua kebudayaan dan seni yang memuliakan
kemanusiaan, dan tatanan sosial yang paling baik, adalah buah dari ketidaksosialan, yang
mengharuskan manusia mendisisplinkan diri, dan memaksanya untuk mengembangkan
potensi-potensi alaminya secara sempurna,” tulis Kant.8

Sudut pandang yang sama juga digunakan Kant untuk menjelaskan konstitusi sipil
universal. Sebelum adanya konstitusi sipil universal, bangsa-bangsa senantiasa berada dalam
ketegangan mengantisipasi serangan atau ancaman bangsa lain. Kebutuhan untuk keluar dari
situasi serba tidak pasti dan tidak nyaman ini, secara alamiah mendorong bangsa-bangsa
untuk untuk mengikat diri dalam kesatuan sipil universal yang diatur oleh hukum antar
negara. Maka terbentuklah Liga Bangsa Bangsa. Di sini menurut Kant, alam kembali
menggunakan ketidaksosialan umat manusia, dan bahkan ketidaksosialan masyarakat dan
lembaga-lembaga ciptaan manusia, sebagai sarana untuk menghasilkan kondisi damai dan
aman. Dialektika antagonisme (mutual antagonism) tidak berujung pada kekacauan, tetapi
kepada saling pemahaman dan tatanan. “Alam bekerja melalui perang dan ketegangan terus-
menerus menghadapi kemungkinan perang, untuk memaksa manusia memulai usaha-usaha
melaksanakan tujuan alam. Dan akhirnya, setelah melalui kehancuran, penggulingan
kekuasaan dan bahkan kelelahan dahsyat, bangsa-bangsa didorong untuk menciptakan sebuah
tatanan sipil universal.”9

6 Immanuel Kant, “Civil Society, nation, cosmopolitanism”, dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society… op.cit., hlm.
93.
7 Kant, ibid., hlm. 93.
8 Kant, ibid., hlm. 94.
9 Kant, ibid., hlm. 94.
Dari penelusuran pemikiran Aristoteles, Hooker, Rousseau, Hobbes dan Kant, tampak
bahwa oposisi masyarakat warga versus negara bukan bagian hakiki dari konsep awal
masyarakat warga. Bahkan negara atau pemerintahan sesungguhnya merupakan bagian dari
masyarakat warga dalam artian political community. Negara adalah masyarakat warga itu
sendiri. Negara adalah civitas, dan civitas adalah societas civilis. Jika masyarakat warga
identik dengan suatu tatanan, maka negara sesungguhnya adalah perkembangan lebih lanjut
dari masyarakat warga. Negara adalah komplikasi lebih lanjut dari sistemisasi dan penataan
masyarakat. Negara dan masyarakat sipil terbentuk oleh alasan yang sama: dibutuhkannya
tatanan dan hukum bagi kehidupan bersama.

Negara Sebagai Problem Masyarakat Warga


Selain konteks aristotelian masyarakat warga di atas, kita juga dapat menemukan
pengertian masyarakat warga dalam konteks alam
pikir humanisme Renaissance. Dengan latar-belakang upaya membebaskan masyarakat dari
alam pikir teologis abad Pertengahan, Humanisme Renaissance melahirkan konsep
masyarakat warga sebagai ‘tatanan sosial manusiawi/duniawi’ (de civitate mundi)
diperlawankan dengan ‘tatanan Ilahiah/surgawi’ (de civitate dehi).
Pada abad ke-17 dan ke-18, peradaban Barat dihadapkan pada kecenderungan
semakin sulitnya mengontrol kekuasaan negara. Perluasan kekuasaan negara di antaranya
karena konflik agama antara Katolik dan Protestan. Para raja dan bangsawan sebagai
pemegang kekuasaan menyita kekayaan gereja dan pemuka agama sehingga menghasilkan
pemusatan sumber daya ekonomi dan politik yang sangat besar. Dari sini tumbuh benih-benih
kekuasaan yang absolut dan despotik. Dari sini pula bermula narasi sejarah yang
menempatkan masyarakat warga sebagai kekuatan untuk mengimbangi dan mengontrol
negara guna menghindari kesewenang-wenangan dan penindasan. Narasi masyarakat warga
bertransformasi dari antinomi ‘keberadaban versus barbarisme’ menuju antinomi ‘tatanan
oleh hukum versus tatanan oleh koersi’.
Narasi itu antara lain dimunculkan Thomas Paine (1737-1809) seorang transatlantik
radikal, pendukung revolusi Amerika dan Perancis. Bertolak dari pengalaman rezim-rezim
despotik Eropa, Thomas Paine mendobrak kemapanan narasi aristotelian masyarakat warga
dengan memetakan masyarakat warga sebagai kekuatan untuk melawan kecenderungan
otoriter-represif negara. Negara yang despotik, yang tak memberi peluang bagi
pengembangan kecenderungan fundamental manusia untuk berkomunikasi, menjalin
solidaritas sekaligus berkompetisi antarsesamanya. Masyarakat warga hadir untuk mengisi
kekosongan itu.
Paine menyoroti negara-negara Eropa yang sedang dalam ‘krisis legitimasi’. Negara
yang merumuskan kepentingannya sendiri berbeda dengan kepentingan rakyat, memerintah
tidak berbasis pada kepercayaan dan kebutuhan warga dan secara sewenang-wenang
memaksakan kehendak kepada yang diperintah. Dalam pandangan Paine, dalam rezim
otoriter-despotik, kehidupan sosial ditindas negara. Negara menjadi penyebab kekacauan
yang seharusnya justru dicegahnya. Negara menganggap diri terpisah dari masyarakat dan
terus merusak ikatan-ikatan alamiah masyarakat. 10
10 Thomas Paine, “Rights of Man,” dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society..., op.cit.,, hlm. 100.

Untuk mengatasi problematik ini, Paine mengajukan setidaknya dua gagasan.


Pertama, negara yang terbatas lingkup kekuasaannya dan legitimate. Bertolak dari prinsip-
prinsip kontrak sosial, serta untuk mereduksi potensi kesewenang-wenangan negara terhadap
warganya, Paine menegaskan perlunya pembatasan kekuasaan negara. Negara hanya perlu
mengurusi hal-hal yang benar-benar tidak bisa diurusi sendiri oleh masyarakat. 11 Negara juga
harus legitimate dalam melindungi hak alamiah warganya, memperhatikan persetujuan aktif
dan hak warga untuk menarik mandat dari pelaksana pemerintahan kapanpun mereka mau.
Pemerintahan yang beradab adalah pemerintahan konstitusional yang sungguh-sungguh
didasarkan kepada persetujuan aktif dari yang diperintah. Bagi pemerintah yang legitimate
dan beradab, yang dikedepankan bukan hak, melainkan kewajiban untuk melayani
kebutuhan-kebutuhan warga.
Kedua, pemerintahan oleh warga masyarakat sendiri. Masyarakat yang harmonis dan
beradab tidak mengandaikan pemerintah. Semakin sempurna peradaban, semakin tidak
diperlukan pemerintah. Masyarakat bisa mengurus dan memerintah dirinya sendiri.
Ketertiban dan keamanan dengan sendirinya ada pada masyarakat beradab. Pemerintah tidak
harus mengurusi pertahanan karena manusia telah memiliki mekanisme alamiah untuk
meredam potensi gangguan keamanan, yang ditandai dengan munculnya perhimpunan
bersama untuk menciptakan keamanan bersama.12
Dalam konteks yang sama, kita menemukan pemikiran Vaclav Havel sastrawan
sekaligus Presiden Republik Czech hingga 2003. Pemikiran Havel lahir dalam rangka
berkonfrontasi dengan sistem totalitarian: Marxisme dan Komunisme. Menurut Havel, ada
yang hilang dalam sistem totaliter, yakni kehidupan masyarakat yang independen, individu-
individu yang bebas dan mampu mengemansipasi diri. Maka Havel menawarkan konsep
masyarakat yang hidup dalam kebenaran (living within the truth). Bukan dalam arti hidup
dengan penyangkalan atas kedustaan dan kepura-puraan, melainkan hidup merdeka dengan
tingkat emansipasi diri yang tinggi. ‘Hidup dalam kebenaran’ mencakup spektrum yang
cukup luas: pendidikan oleh diri sendiri (self education), berpikir tentang dunia, aktivitas
bebas kreatif, komunikasi dengan orang lain, hingga pengorganisasian masyarakat secara
mandiri. Perlu digarisbawahi bahwa hidup yang independen ini sering berkelindan dalam
tubuh manusia yang sama dengan dimensi-dimensi hidup yang dependen.13
Bersamaan dengan momen living the truth itu, kita juga membutuhkan apa yang
disebut struktur paralel (parallel structure). Seperti dalam konteks perlawanan terhadap
sistem totaliter di Czechoslovakia, struktur paralel merujuk pada sekelompok masyarakat
yang kurang-lebih sadar politik, mendefinisikan dirinya secara politik, bertindak dan
berkonfrontasi satu sama lain. Struktur paralel adalah kehidupan yang mampu menghidupi
keberagaman dan perbedaan, dan yang dapat mengubah strukturnya sendiri sesuai dengan
tujuan yang mau dicapai. Struktur paralel juga mencakup upaya-upaya masyarakat untuk
menolak menjadi bagian dari totalitarianisme atau re-totalitarianisme. Struktur paralel dengan
demikian berhubungan dengan penegasan individu yang aktual. Akan tetapi struktur paralel
bukan berarti manusia harus mengisolasi diri dan berpikir maupun bertindak partikular.
Tindakan manusia tetap harus berdampak (positif) terhadap lingkungan sekitarnya.14
Havel tidak hanya berkonfrontasi dengan sistem totaliter, namun juga dengan sistem
pasca totalitarian. Havel mengidentifikasi dampak negatif demokrasi terhadap keberadaban
masyarakat, terhadap masyarakat warga. Demokrasi parlementer yang semula diandaikan
mampu menopang pengembangan masyarakat yang bebas dan otonom, ternyata gagal dalam
mengemban fungsi ini. Problem demokrasi parlementer berbeda dengan problem
pemerintahan totaliter, namun sama-sama berdampak merusak terhadap masyarakat.
Demokrasi parlementer konvensional tidak mampu mengatasi dampak otomatisme peradaban
teknologis dan masyarakat konsumtif industrial. Demokrasi parlementer bahkan begitu
mudah takluk dalam determinasi sistem industrial. Demokrasi parlementer tidak dapat
berbuat banyak, bahkan turut berperan ketika masyarakat dimanipulasi dengan cara-cara yang
lebih halus dan canggih, bukan cara-cara brutal sebagaimana pada rezim totaliter, untuk
menjadi masyarakat yang dependen, terotomatisasi dan teratomisasi satu sama lain.15
11 Paine ibid., hlm. 100: Government is no farther necessary than to supply the few cases to which society and
Civilization are not conveniently competent….
12 Paine. Ibid., hlm. 101: The more prefect civilization is, the less occasion has it for government, because the more it does
regulate its own affairs, and govern itself.
13 Vaclav Havel, “The Power of The Powerless”, dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society..., op.cit.,, hlm. 200.
14 Havel, ibid., hlm. 201.
15 Havel ibid., hlm. 202 : …the traditional parliamentary democracies can offer no fundamental opposition to the
automatism of technological civilization and the industrial-consumer society…People are manipulated in ways that are
infinitely more subtle and refined than the brutal methods used in the post-totalitarian societies. But this static complex of
rigid, conceptually sloppy and politically pragmatic mass political parties run by professional apparatuses and releasing the
complex focuses of capital accumulation engaged in secret manipulations and expansion…Bandingkan Wildan Pramudya,
Konfrontasi “Kekuasaan Kaum Nirkuasa” (Masyarakat Sipil) dengan Totalitarianisme, (paper kuliah), 2008, hlm. 5.

Pada momentum inilah, masyarakat warga mengalami krisis serius. Atau sebaliknya,
masyarakat warga menjadi solusi untuk melawan gejala otomatisasi dan atomisasi
masyarakat itu. Pada momentum inilah, masyarakat warga mengalami krisis serius. Atau
sebaliknya, masyarakat warga menjadi solusi untuk melawan gejala otomatisasi dan
atomisasi masyarakat itu.
Pada titik ini, Havel tidak hanya mengidentifikasi problem masyarakat warga pada
negara, tetapi juga pada industrialisasi dan determinasi teknologi. Havel mengritik kondisi-
kondisi demokrasi parlementer: pengelompokan statis dan kaku partai-partai politik massa,
kehidupan politik yang secara konseptual kacau, dikelola oleh aparat-aparat profesional.
Namun Havel juga mengritik kediktatoran kegiatan produksi, periklanan, dunia finansial serta
budaya konsumen. Sebuah pengantar menuju diskursus masyarakat sipil dalam relasinya
dengan komersialisasi dan perdagangan.

Perdagangan Sebagai Problem Masyarakat Warga


Apakah perdagangan cenderung melemahkan sumber-sumber kultur keutamaan
warga? Ataukah justru melahirkan sumber-sumber baru solidaritas sosial dan kekuatan
politik?16 Pertanyaan ini muncul ketika pada abad ke-17 dan ke-18, terjadi percepatan
ekspansi dan dominasi masyarakat perdagangan (commercial society) di Eropa. Sebuah
transformasi besar pada tradisi Kristiani ilmu politik di Barat yang sebelumnya telah
memandang negatif aktivitas perdagangan (money-making) dengan melihatnya sebagai
sebentuk pelupaan atas segi-segi kejiwaan manusia. Perdagangan juga menghadirkan
tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap tradisi republikanisme yang lebih
menonjolkan keutamaan dan nilai-nilai kewargaan sebagai sumber vital pembentukan
kehidupan berbasis publik dan komunitas. Dalam konteks ini, teoritkus politik Baron
Montesquieu (1689-1755) berpendapat bahwa perdagangan dengan dampak moral dan
sivilisasinya telah mengubah relasi sosial dan relasi antarbangsa.17
16 John A. Hall and Frank Trentmann “Contests Over Civil Society: Introduction Perspectives”, pengantar dalam
Hall and Trentmann (ed.), Civil Society..., op.cit.., hlm. 7-9.
17 Hall dan Trentmann, Ibid., hlm. 7.
Perdagangan membuka jalan bagi Eropa untuk lepas dari barbarisme. Perdagangan
dianggap obat mujarab untuk syakwasangka-syakwasangka yang paling merusak dalam
masyarakat barbar, dengan menciptakan adat bersama (agreeable manner) dalam komunitas-
komunitas, serta mendorong perdamaian di antara mereka. Perdagangan mendorong saling
ketergantungan antarmanusia dan memfasilitasi munculnya kesadaran akan pentingnya
budaya perbedaan. Hanya dalam negara bebas (free states), di mana pemerintahan republik
memiliki apresiasi memadai terhadap keutamaan publik, perdagangan mendapatkan tempat.
Dengan latar belakang perang dan pertikaian antara negara, di sini bangsa-bangsa mempunyai
pilihan: merdeka dalam bentuk monarkhi otokratik teritorial, namun dengan masyarakat yang
lebih terbuka dan komersial. Montesquieu mencontohkan Inggris sebagai masyarakat yang
dapat mencapai dan menikmati 3 hal besar bersamaan: agama, perdagangan, kebebasan.
Berbeda dengan Montesquieu, teoritikus politik lainnya, Jean Jacques Rousseau
(1712-1778) mempunyai pandangan pesimis terhadap perdagangan dan masyarakat warga.
Perhatian Rousseau adalah pada hilangnya solidaritas sosial dan tradisi keutamaan publik
dengan munculnya masyarakat warga bercorak borjuis sebagaimana digambarkan
Montesquieu. Rousseau mempertanyakan klaim kemajuan dari masyarakat barbarik
bersandar pada state nature yang buruk menuju masyarakat warga. Jauh dari gambaran
tentang kehidupan masyarakat yang anarkistis, di mana orang-orang saling memangsa satu
sama lain, state of nature digambarkan Rousseau sebagai kondisi di mana kesetaraan justru
tercipta di antara orang-orang yang belum terkontaminasi hasrat kemewahan, kekuasaan dan
perbudakan. Justru pada masyarakat warga, dengan adanya kepemilikan privat dan
peningkatan kompetisi untuk mengejar keuntungan pribadi, berkembang-biak motif-motif
dominasi dan keserakahan terhadap hak-hak milik atas tanah, kekayaan dan lain-lain.18
Sebelum lahirnya masyarakat warga, orang dapat bahagia dengan dirinya sendiri.
Dalam masyarakat warga, masyarakat menjadi budak dari konvensi bersama tentang selera
dan kebiasaan massal. Kebahagiaan individu tergantung pada pengakuan dari yang lain. Ini
justru mencerminkan kehidupan primitif di mana masyarakat hidup di luar dirinya sendiri,
dan hanya tahu bagaimana hidup bersandarkan opini orang lain. 19 Dengan kata lain, Rousseau
melihat visi kebebasan dalam masyarakat warga justru jauh dari makna kebebasan itu sendiri,
karena kehidupan masyarakat diintegrasikan dalam domain perebutan kekuasaan, sehingga
tak ada lagi kesadaran independen. Bertolak dari pandangan Rousseau, perdagangan menjadi
identik dengan patologi sosial.
18 B Jean Jacques Rousseau, “The burden of Civilization” dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society..., op.cit.,
hlm. 77: The first man who, having enclosed a piece ground, bethought of himself of saying This is mine, and found
people enough to believe him, was the real founder of masyarakat warga. From how many crimes, wars and murders,
from how many horrors and misfortunes might not any one have saved mankind, by pulling up the stakes….and crying
to his fellows,”Beware of listening to this impostor; you are undone if you once forget that fruits of the earth belong to us
all, and the earth itself to nobody.”
19 Rousseau, ibid., hlm. 79: In reality, the source of all the difference is, that the savage lives within himself, while social
man lives constantly outside himself, and only knows how to live in the opinion of others, so that he seems to receive the
consciousness of his own existence merely from the judgment of others concerning him.

Dalam konteks yang sama, Adam Smith (1723-1790) meragukan budaya baru yang
dibentuk aktivitas perdagangan. Yang terjadi adalah, masyarakat menjadi terinspirasi
mengejar hal-hal yang kurang lebih remeh-temeh dan parsial. Budaya konsumsi membentuk
masyarakat yang benar-benar baru, dengan kebiasaan, penampilan, identitas dan pola
interaksi baru. Orang-orang tidak pernah bisa leluasa menyimpan hartanya, dan hanya
berpikir bagaimana mengejar kekayaan sebanyak-banyaknya. Jika mungkin ”mereka bahkan
menyelipkan dompet secara tidak diketahui pada saku orang lain, guna mendapatkan lebih
banyak uang.”20 Yang miskin bermimpi menjadi kaya. Masyarakat warga seperti roda putar
hamster (hamster wheel) di mana individu terlibat dalam sirkuit tak berujung mengejar
kekayaan dan penghargaan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Pada akhirnya, individu-
individu kecewa karena mengetahui kemakmuran yang mereka kejar ternyata tak lebih dari
sekedar hal-hal yang tak berguna dan remeh-temeh.21
Smith melihat paradoks yang lebih halus namun jelas dalam masyarakat warga.
Individu terkunci dalam sirkuit pencarian status tidak berdasarkan pada kehendak bebasnya
sendiri, tetapi berdasarkan apa kata the spectator. Namun dari perspektif pendukung
masyarakat warga, penyimpangan ini ternyata dianggap ada gunanya. Penyimpangan ini
adalah sebentuk mekanisme yang menjaga gerak kontinyu perdagangan menuju penemuan
teknologi baru, makanan yang lebih berkualitas dan melimpah, dan proses komunikasi
antarmanusia. Kompetisi untuk mendapatkan status dan pengejaran kemakmuran yang lebih
besar juga membawa mekanisme built-in dalam harmoni sosial. Dengan kemampuan
membayangkan menjadi kaya, orang miskin menerima fakta ketidaksetaraan sosial, dan
melupakan opsi untuk melawannya secara anarkistis. Perdagangan menstabilkan masyarakat
warga dengan cara ini. Kesenjangan tidak lagi dilihat sebagai masalah, tetapi diam-diam
diterima sebagai kenyataan.
20 Bandingkan Adam Smith, “The social benefits of deception”, dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society...,
op.cit., hlm. 80: How many people ruin themselves by laying out money on trinkets of frivolous utility? What pleases
these lovers is not so much the utility, as the aptness of the machines which are fitted to promote it. All their pockets are
stuffed with little inconveniencies. They contrive new pockets, unknown in the clothes of other people, in order to carry a
greater number…..
21 Smith, ibid., hlm. 80: The poor man’s son, whom heaven in its anger has visited with ambition, when he

begins to look around him, admires the condition of the rich. He finds the cottage of his father too small for his

accommodation, and fancies he should be lodged more at his ease in a palace…..

Ekonomi borjuasi disempurnakan dengan kreasi politik kewargaan dalam revolusi


Perancis. Revolusi Perancis menghancurkan tatanan masyarakat lama, dan menjanjikan
kebebasan yang ternyata semu. Manusia mendapatkan hak milik dan kebebasan untuk
berdagang, namun tidak pernah bebas dari properti dan materialisme itu sendiri. Kedirian
orang menjadi terpecah: kewarganegaraan universal abstrak dalam politik dan individu
materialistik dalam masyarakat warga.

Masyarakat Warga dan Partikularitas

Pandangan kritis atas hubungan antara masyarakat warga dengan aktivitas


perdagangan juga disampaikan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Hegel
membahas masyarakat warga dalam domain kritiknya terhadap gejala-gejala masyarakat
industrial. Hegel menggambarkan masyarakat warga sebagai momentum ‘kerajaan
kebebasan’ bagi individu-individu menanggalkan domain keluarga, terpisah satu sama lain
dan menjadi individu yang cukup diri (self-subsistent persons), lalu bertemu satu sama lain
berdasarkan dorongan kepentingan subyektif masing-masing. Masyarakat warga adalah
pengakuan atas manusia-manusia konkret dengan segala kebutuhan, nafsu-nafsu egois,
perasaan dan kehendak yang harus dipenuhi. Manusia konkret yang bebas dan menjadikan
dirinya sebagai tujuan partikularnya. Dengan demikian, masyarakat warga harus dipahami
sebagai arena di mana manusia-manusia konkret seperti ini bekerja dan berusaha memuaskan
kebutuhannya sendiri.22
Namun sebagaimana Rousseau, Hegel melihat masyarakat warga sebagai masyarakat
yang bercorak borjuis, di mana kepentingan subyektif yang dimaksud adalah kepentingan
dalam arti ekonomi. Jika Rousseau melihat masyarakat warga sebagai momentum ketika
individu kehilangan otentisitasnya, Hegel melihat masyarakat warga sebagai momentum
ketika kebersamaan lengser, digantikan oleh kepentingan partikular subjektif individu-
individu. Orang melakukan aktivitas perdagangan bukan untuk memenuhi kebutuhan orang
lain, melainkan untuk memenuhi kebutuhan subjektifnya sendiri. Masyarakat warga adalah
arena kegila-gilaan pemenuhan kebutuhan diri.23
22 Georg Wilhelm Friedrich Hegel “Burgerliche Gesellchaft”, dalam Hall and Trentmann (ed.), Civil Society...,
op.cit., hlm. 131: “The concrete person, who is himself the object of his particular aims, is, as a totality of wants and a
mixtiure of caprice and physical necessity, one principle of civil society……But civil society tears the individual from
his family ties, estranges the members of the family from one another, and recognizes them as self-subsistent persons.
23 Hegel, ibid., hlm. 130-131: In these contrasts and their complexity, civil society affords a spectatle of extravagance and
want as well as of the physical and ethical degeneration common to them both.

Masyarakat warga digambarkan Hegel sebagai masyarakat borjuis di mana


partikularitas dan individualitas jauh lebih menonjol daripada nilai-nilai kebersamaan dan
solidaritas. Dalam masyarakat warga, setiap orang menjadikan dirinya sebagai tujuan. Maka
aktivitas perdagangan menciptakan sebuah sistem interdependensi yang sempurna Dengan
mengejar kepentingan pribadi, kita otomatis akan melayani kepentingan orang lain. Hegel
secara spesifik menyebut momentum ketika masing-masing individu terdiferensiasi satu sama
lain berdasarkan kepentingan subjektif partikularnya sebagai momentum partikularitas.
Persoalannya kemudian, tatanan masyarakat tidak dapat dibayangkan jika setiap orang
hanya mengejar kepentingan subjektifnya dan selalu bersikap instrumentalistik terhadap
orang lain. Partikularitas dan egoisme subjektif jelas tidak memadai sebagai dasar tatanan
sosial. Di sini, muncul kesadaran bahwa pemenuhan kebutuhan partikular hanya dapat
dilakukan dengan pemenuhan kebutuhan universal, membuat partikularitas kehilangan
eksklusivitasnya. Kita harus memperhatikan atau memenuhi kepentingan universal, karena
hanya dengan demikian kita dapat memenuhi kepentingan partikular.24
Pada titik inilah masyarakat lahir, sebagai sintesis antara partikularitas dan
unversalitas.25 Pada titik ini pula benih negara bersemi, sebagai sintesis dialektis antara unsur-
unsur positif pada keluarga dan masyarakat warga. Unsur positif keluarga adalah kesatuan
organis yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, sementara
unsur negatifnya adalah tidak memberikan tempat pada subyektivitas dan individualitas.
Unsur positif dalam masyarakat warga adalah adanya pengakuan terhadap individualitas-
subyektivitas, adanya prinsip-prinsip pengaturan kehidupan bersama, sedangkan unsur
negatifnya adalah liberalisme individu yang cenderung anarkistis.
Negara yang dimaksud Hegel disebut sebagai ”negara eksternal” (external state)
Negara yang terbentuk berdasarkan murni pertimbangan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
warganya. Dalam pandangan Hegel, masyarakat warga adalah sebuah momen dialektis, dan
karena itu bagian integral dari negara eksternal ini. Masyarakat warga yang juga dilihat
sebagai ‘sistem-sistem kebutuhan’. Masyarakat yang terbentuk karena kesadaran bahwa
pemuasan kebutuhan-kebutuhan individu tidak mungkin berlangsung dalam isolasi. Kita
hanya dapat memenuhi kebutuhan kita melalui orang lain, yang juga hendak memenuhi
kebutuhannya melalui kita.26
24 Hegel, ibid., hlm. 129: But the particular person is essentially so related to other particular persons that each
established himself and finds saticfaction by means of the others, and at the same time purely and simply by
means of the form of universality, the second principle here. .
25 Hegel, ibid., hlm. 131 : In administration of justice, however, Civil society return to its concept, to the unity of the
implicit universal with the subjective particular, although here the later is only that present in single cases and the
universality in question is that of abstract right.

Ketika masyarakat warga sebagai sistem kebutuhan-kebutuhan, selanjutnya kita


dihadapkan pada fenomena multiplikasi kebutuhan yang tanpa batas, atau yang melampaui
kewajaran yang kemewahan (luxury). Dinamika dalam masyarakat warga di sini melahirkan
kondisi-kondisi tertentu yang pemecahannya membutuhkan campur tangan Negara. Kondisi
yang dimaksud adalah kelebihan produksi, kemiskinan, keterasingan dan polarisasi sosial.
Kelebihan produksi hanya dapat diatasi negara dengan cara mencari koloni-koloni baru
sebagai tempat pemasaran komoditi. Dialektika internal masyarakat warga dengan demikian
mendorongnya untuk melampaui batasnya sendiri dan berusaha mencari pasar. 27 Masyarakat
warga dengan demikian juga menjadi jalan bagi lahirnya kolonialisme-imperialisme.
26 Hegel, ibid., hlm. 129 : In the course of the actual attainment of selfish ends – an attainment conditioned in this
way by universality – there is formed a system of complete interdependence: wherein the livelihood,
happiness and legal status of one man is interwoven with the livelihood, happiness and right of all. On this
system, individual happiness, depend and only in this connected syste are they actualized and secured. This
system may be prima facie regarded as the external state, the state based on need, the state as the understanding
envisages it.
27 Hegel sebagaimana dikutip dalam Sitorus, op.cit., hlm. 6

Anda mungkin juga menyukai