Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINESIA URIN

Dosen Pengampuh : TASNIM MAHMUD.,S.Kep.Ns.M.M

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
KELOMPOK 5

1.FADILLA CASANDRA
2.IRMA
3.MOH.FADLAN TENGKAH

STIKES HUSADA MANDIRI POSO


PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
Rahmat dan Hidayah – Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ASKEP
INKONTINESIA URIN”.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak sekali menemukan kesulitan dan
hambatan, namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Mudah-mudahan semua bimbingan, petunjuk dan bantuan yang
telah diberikan kepada penulis akan dapat diterima sebagai suatu amal baik dan mendapat
balasan dari Allah SWT.
Penulis sadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan banyak kekurangannya,
walaupun demikian penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
pada umumnya dan pada penulis pada khususnya.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar penulis dapat
menghasilkan makalah yang lebih baik lagi. Permohonan maaf penulis ucapkan jika ada
kesalahan dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi siswa, para guru
dan pembaca lainnya.

Poso,10 April 2020

Kelompok 5
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………………………….

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………

A. Latar Belakang……………………………………………………………………..
B. Tujuan……………………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….

1. Definisi……………………………………………………………………………
2. Klasifikasi…………………………………………………………………………
3. Etiologi……………………………………………………………………………
4. Patofisiologi………………………………………………………………………
5. Manifestasi klinik………………………………………………………………..
6. Patofisiologi……………………………………………………………………...
7. Penatalaksaan……………………………………………………......................
8. Komplikasi……………………………………………………………………...
9. Pencegahan……………………………………………………………………..

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………….

A. Kesimpulan…………………………………………………………………….
B. Saran……………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih
sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan
(nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan
penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-
uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan
vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih bawah
yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara terkordinasi
dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli. Secara fisiologis dalam
setiap proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu
kapasitas buli-buli yang adekuat, pengosongan buli-buli yang sempurna, proses
pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik serta setiap pengisian dan
pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal.
Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami kelainan, maka dapat timbul
gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin.
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di Amerika
Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan ini. Gangguan
ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan
bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%,
sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada
wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan
anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya
urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan
adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini
demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah
membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada
kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati
inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.
Inkontinensia urin seringkali menyebabkan pasien dan atau keluarganya frustasi, bahkan
depresi. Bau yang tidak sedap, perasaan kotor, tidak suci untuk beribadah tentu
menimbulkan masalah sosial dan psikologis. Selain itu, adanya inkontinensia urin juga akan
mengganggu aktivitas fisik, seksual, dan pekerjaan. Secara tidak langsung masalah itu juga
dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minumnya karena
khawatir mengompol. Dekubitus, infeksi saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah
pentingnya adalah biaya perawatan yang tinggi untuk pembelian pampers, kateter adalah
masalah yang juga dapat timbul akibat inkontinensia urin
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari inkontinensia urin.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin.
3. Untuk mengetahui etiologi dari inkontinensia urin.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari inkontinensia urin.
5. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin.
7. Untuk mengetahui komplikasi Inkontinensia urine
8. Untuk mengetahui pencegahan dari Inkontinensia urine.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam
merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia urine adalah
pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga
mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin
meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan
terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).
Inkontinensia urin merupakan urin yang keluar tidak terkendali dan tidak diduga (Mary
Baradero,dkk. 2009).
Inkontinensia urin ialah kehilangan control berkemih yang dapat bersifat sementara atau
menetap (Potter & Perry. 2006).
Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan sebagai
keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol; secara objektif dapat
diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Hal ini memberikan
perasaan tidak nyaman yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial, psikologi,
aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi sosial dan
interpersonal. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten.

B. Klasifikasi
Menurut Hidayat, 2006 berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

1. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence )


Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan
biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic dimana menghilang
jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya dikenal dengan akronim DIAPPERS yaitu :
delirium, infeksi dan inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology, excessive
urin production (produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool impaction
(impaksi feses).

2. Inkontinensia urin kronik ( Persisten )


Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung lama
( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan mendasar yang melatar belakangi
Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih akibat
hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi
otot detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe
(stress, urge, overflow, fungsinal, mixed). Berikut ini adalah penjelasan dari masing-
masing tipe Inkontinensia urin kronik atau persisten :
a. Inkontinensia urin tipe tekanan (stress)
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan
penurunan estrogen. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan,
tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut.
Pengobatan dapat dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan
beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.
b. Inkontinensia urin tipe dorongan (urgensi)
Timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, yang mana otot
ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan ketidak
mampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya
dapat berupa perasaan ingin kencing yang mendadak ( urge ), kencing berulang kali (
frekuensi ) dan kencing di malam hari ( nokturia ).
c. Inkontinensia urin tipe overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu banyak di
dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah.
Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada
sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa
rasa tidak puas setelah kencing ( merasa urin masih tersisa di dalam kandung
kemih ), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe
overflow ini paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita.
d. Inkontinensia tipe fungsional
Terjadi saat seseorang memiliki kekurangan fisik yang menghambatnya untuk segera
sampai di kamar mandi. Hal ini disebabkan oleh sakit punggung, artritits, multiple
sklerosis, penyakit parkinson dan dementia.
e. Inkontinensia tipe campuran (Mixed)
Merupakan kombinasi dari setiap jenis inkontinensia urin di atas. Kombinasi yang
paling umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi atau tipe
stress dan tipe fungsional.

C. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih,
sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Selain itu dapat disebabkan adanya gangguan efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih
bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksanaannya
adalah terapi antibiotika.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai
sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau.
Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi
asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan
harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan
oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila
penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan
tertentu karena penyakit yang dideritanya. Obat-obatan ini bisa sebagai penyebab
mengompol pada orang-orang tua. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau
penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian
obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium
antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga
memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol.
Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung
kemih dan otot dasar panggul.
D. Manifestasi Klinis
Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :
1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal bila di
bandingkan denga pola yang lazim di miliki seseorang atau lebih sering dari normal yang
umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.
2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24 jam.
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
4. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita
belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan
normal sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih dulu.
5. Inkontinensia stress :  Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-
gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stress.
6. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia).
7. Obstruksi (pancaran lemah, menetes)
8. Trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal)
9. Fistula (menetes terus menerus)
10. Penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya
diabetes) dapat menunjukan penyakit yang mendasari.

E. Patofisiologi
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi pengeluaran urin
secara kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot normal diluar kesadaran dan yang
di dalam kesadaran yang dikoordinasi oleh reflex urethrovesica urinaria.
Bila terjadi pengisian kandung kecing, tekanan didalam kandung kemih meningkat. Otot
detrusor (lapisan yang tiga dari dinding kandung kencing) memberikan respon dengan
relaksasi agar memperbesar volume daya tampung. Bila titik daya tampung telah dicapai,
biasanya 150 sampai 200 ml urin daya rentang reseptor  yang  terletak pada dinding kandung
kemih mendapat rangsang. Stimulus ditransmisi lewat serabut reflek eferan ke lengkungan
pusat reflex untuk mikstrurirasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari
lengkungan refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor.
Sfinkter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama membuka
dan urin masuk ke urethra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan otot perincal mengikuti
dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan refleks bisa mengalami interupsi dan
berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitori dari pusat kortek yang
berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfinker eksterna. Bila salah satu bagian dari
fungsi yang komlek ini rusak, bisa terjadi inkontinensia urin.
Cerebral clouding (fungsi otak menurun) pada orang lanjut usia adalah biasa. Pada
banyak kejadian orang lanjut usia inkontinen karena berkurangnya kesadaran kebutuhan
untuk mengosongkan kandung kemih. Bentuk inkontinen ini seringkali tidak ada hubungan
dengan kelainan patologi pada tingkat otak. Cerebral clouding terjadi juga pada orang sakit
akut yang menderita begitu sakit sehingga otak tumpul. Mereka tidak dapat berfikir dan
tidak mempunyai energy untuk mengendalikan di luar kesadaran. Demikian juga seseorang
dalam keadaan koma mengalami inkontinen, karena hilangnya kemampuan diluar kesadaran
pembukaan sfinter eksterna. Bila air kencing sudah masuk ke urethra posterior, kandung
kencing berkontraksi dan air kemih keluar. Hal seperti ini menyebabkan kenapa seseorang
berkemih pada waktu anesthesia.
Infeksi dimana saja pada saluran kemih dapat berdampak inkontinen, karena bakteri pada
saluran kemih menyebabkan iritasi pada lapisan mukosa kandung kemih dan menstimulir
rethrovesica urinaria. Inkontinen terjadi sebagai dampak dari ketidakmampuan untuk
menahan reflek urethro vesica urinaria dengan sempurna oleh pusat-pusat yang lebih tinggi.
Gangguan reflek urethro vesicalis dapat terjadi karena lesi tulang sum-sum belakang atau
rusak saraf perifer dari kandung kemih. Bentuk kontinen ini dapat terlihat pada orang
dengan malforsi sum-sum belakang, cedera, tumor dan pada mereka dengan komprs sum-
sum  akibat patah vertebra, diskus yang hernia, tumor metastase di sum-sum belakang pasca
bedah. Bentuk kesulitan ini dapat berakibat kepada dua jenis respon yang dikenal sebagai
neurogenik vesicalis. Orang yang menderita neurogenic vesikalis tidak mempunyai cara
untuk mengetahui kapan berkemih itu terjadi.
Cedera diatas tingkat S2 dari sum-sum belakang atau gangguan pusat cerebrocortical
tidak merusak reflek berkemih, walupun bisa menghilangkan keteraturan. Lesi bisa merusak
potensi kortek untuk menahan reflek. Dampaknya adalah “motor neuron atas” atau kandung
kencing yang automatis. Kandung kemih menjadi hipertosis dan hanya mempunyai sedikit
kapasitas (kurang dari 150 ml). Peningkatan tonus detrusor dan peningkatan sensitifitas
terhadap jumlah urin yang sedikit di dalam kandung kemih berdampak mendahului reflek
berkemih dan berpotensi terjadi refluks vesicourethral.
Kerusakan saraf cauda equina atau segmen sakrum bisa berdampak pada lengkungan
refleks oleh interupsi aferennya, eferannya oleh komponen sentral. Berakibat terjadi “motor
neuron bawah” atau kandung kemih lemah. Kandung kemih menjadi hipotonis dengan
kapasitas 500 ml atau lebih. Inkontinen luapan, retensi residu urin, dan potensi vesicourethra
refluks merupakan masalah yang didorong oleh kandung kemih yang hipotosis.

F. Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologis
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan
kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi
sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
2. Terapi farmakologis
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada
inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk
meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi,
dan terapi diberikan secara singkat.
3. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita)
4. Kateterisasi
Ada tiga macam kateterisasi pada inkontinensia urine :
a. Kateterisasi luar
Terutama pada pria yang memakai system kateter kondom. Efek samping yang
utama adalah iritasipad kulit dan sering lepas.
b. Katerisasi intermiten
Katerisasi secara intermiten dapat dicoba, terutam pada wanita lanjut usia yang
menderita inkontinensia urine. Frekuensi pemasangan 2-4x sehari dengan sangat
memperhatikan sterilisasi dan tehnik prosedurnya.
c. Kateterisasi secar menetap
Pemasangan kateter secara menetap harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang
tepat. Misalnya untuk ulkus dekubitus yang terganggu penyembuhannya karena
ada inkontinensia urine ini. Komplikasi dari kateterisasi secara terus-menerus ini
disamping infeksi. Juga menyebabkan batu kandung kemih, abses ginjal dan
bahkan proses keganasan dari saluran kemih.

Pengelolaan inkontinensia urine pada penderita usia lanjut, secara garis besar dapat
dikerjakan sebagai berikut :
 Program rehabilitasi
1) Melatih respon kandung kemih agar baik lagi
2) Melatih perilaku berkemih
3) Latihan otot-otot dasar panggul
4) Modifikasi tempat untuk berkemih
5) Kateterisasi baik secara berkala atau menetap
6) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, esterogen
7) Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologi lain.

Menurut Kane dkk, untuk masing-masing tipe dari inkontinensia ada beberapa hal khusus
yang dianjurkan, misalnya :
a. Inkontinensia tipe stress
1. Latihan otot-otot dasar panggul
2. Latihan penyesuaian berkemih
3. Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
4. Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung kemih
b. Inkontinensia tipe urgensi
1. Latihan mengenal berkemih dan menyesuaikan
2. Obat-obatan untuk merelaksasikan kandung kemih dan estrogen
3. Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan patologik
yang menyebabkan iritasi saluran kemih bagian bawah.
c. Inkontinensia tipe fungsional
1. Penyesuaian  sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih
2. Pakaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya.
3. Penyesuaian atau modifikasi lingkungan tempat berkemih.
4. Kalau perlu digunakan obat-obatan yang merelaksasikan kandung kemih

G. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi akibat inkontinensia urine kronis, antara lain :
 Masalah kulit seperti ruam, infeksi kulit dan luka
 Infeksi saluran kemih, inkontinensia urine bisa meningkatkan risiko terjadinya infeksi
saluran kemih berulang.
 Mengganggu kehidupan sosial. Inkontinensia urine merupakan masalah yang memalukan
sehingga bisa memengaruhi hubungan soasial, pekerjaan dan hubungan pribadi.
 Masalah tidur.
H. Pencegahan
Pencegahan inkontinensia urin diantaranya yaitu :
 Menjaga berat badan tetap ideal
 Latihan otot panggul (senam kegel)
 Membatasi mengonsumsi minuman yang bersifat diuretic, seperti teh dan kopi
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan urin yang keluar tidak terkendali dan tidak diduga (Mary
Baradero,dkk. 2009).
Inkontinensia urin ialah kehilangan control berkemih yang dapat bersifat sementara atau
menetap (Potter & Perry. 2006).

Terdapat lima pengklasifikasian inkontinensia urin, yaitu:


1. Inkontinensia urin tipe tekanan (stress)
2. Inkontinensia urin tipe dorongan (urgensi)
3. Inkontinensia urin tipe overflow
4. Inkontinensia tipe fungsional
5. Inkontinensia tipe campuran (Mixed)

Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh cerebral clouding, infeksi, gangguan jalur dari
saraf pusat (lesi korteks), lesi neuron atas, lesi motor neuron bawah, dan kerusakan jaringan.
Inkontinensia urin dapat ditangani dengan beberapa cara, diantaranya adalah:
 Terapi non farmakologis
 Terapi farmakologis
 Terapi pembedahan
 Kateterisasi

B. Saran
Sebagai seorang perawat, sudah menjadi kewajiban untuk memberikan tindakan
perawatan dalam asuhan keperawatan yang diarahkan kepada pembentukan tingkat
kenyamanan pasien, manajemen rasa sakit dan keamanan. Perawat harus mampu mamahami
faktor psikologis dan emosional yang berhubungan dengan diagnosa penyakit, dan perawat
juga harus terus mendukung pasien dan keluarga dalam menjalani proses penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses, dan Praktik.
Jakarta: EGC.
Baradero, Marry, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.2.
Edisi 8. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda,dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.
Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai