Anda di halaman 1dari 26

SARI PUSTAKA

PEMERIKSAAN PENUNJANG MATA PADA


UVEITIS

Oleh:
KRISTINA YUNIASIH
198070600011004
PESERTA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN MATA

PS PDS ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

SARI PUSTAKA

PEMERIKSAAN PENUNJANG MATA PADA UVEITIS

Oleh:
KRISTINA YUNIASIH
198070600011004

Dibacakan pada tanggal:

9 April 2020

dr. Anny Sulistyowati. SpM (K) dr. Ovi Sofia. SpM (K)
NIP. 19601103 198709 2 001 NIP. 19790624 201410 2 001
Ketua Program Studi Pembimbing

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………… ii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. iii

BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………… 1

BAB II. SARI PUSTAKA …………………………………………………….. 3

2.1. Uveitis……………………………………………………………. 3

2.1.1. Definisi……………………………………………………. 3

2.1.2. Epidemiologi……………………………………………... 3

2.1.3. Klasifikasi………………………………………………… 4

2.1.4. Manifestasi klinis………………………………………… 5

2.1.4.1. Gejala Klinis……………………………………. 5

2.1.4.1. Temuan Klinis………………………………….. 5

2.2. Pemeriksaan Penunjang……………………………………….. 6

2.2.1 Ultrasonografi…………………………………………….. 7

2.2.2 Color Fundus Photography……………………………… 8

2.2.3. Fluorescein Fundus Angiography……………………... 9

2.2.4. Indocyanine green angiography……………………….. 13

2.2.5. Optical Coherence Tomography……………………..… 16

2.2.6. Optical Coherence Tomography Angiography……….. 17

2.2.7. Fundus Autofluorescence………………………………. 18

BAB III. RINGKASAN…………………………………………………………. 21

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 22

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ultrasonografi………………………………………………….. 8
Gambar 2. Color Fundus Photography…………………………………… 9
Gambar 3. Prinsip kerja Fluorescein angiography………………………. 10
Gambar 4. Fluorescein Angiography normal…………………………….. 12
Gambar 5. Pemeriksaan FFA pada uveitis…………………………….… 13
Gambar 6. Prinsip kerja ICGA……………………………………………... 14
Gambar 7. Tahapan ICGA ………………………………………………… 15
Gambar 8. Gambaran ICGA pada uveitis………………………………… 16
Gambar 9. Optical Coherence Tomography……………………………… 17
Gambar 10. Fundus Autofluorescence………………………………..……. 19

4
BAB I

PENDAHULUAN

Uveitis adalah inflamasi yang terjadi pada iris, badan silier dan koroid yang
dapat disebabkan oleh beragam penyebab. Berdasarkan anatomi uveitis terbagi
menjadi empat bagian yaitu uveitis anterior, uveitis intermedia, uveitis posterior dan
panuveitis. Uveitis anterior adalah peradangan yang melibatkan iris dan badan siliar
bagian anterior (pars plicata). Pada uveitis intermedia peradangan terjadi di rongga
vitreus, badan silier (pars plana) dan atau retina perifer. Uveitis posterior merupakan
peradangan yang melibatkan koroid, retina, pembuluh darah retina dan saraf optik.
Panuveitis melibatkan struktur jaringan tersebut diatas.1,2

Berdasarkan penyebabnya, uveitis dapat dibagi menjadi dua, yaitu infeksius


dan non infeksius. Penyebab infeksius berupa virus seperti Herpes Simplex Virus,
Variccella-Zooster, Cytomegalovirus dan Eipstein-Barr Virus. Uveitis juga bisa
disebabkan karena infeksi bakteri seperti M. Tuberculosis dan T. pallidum. Parasite
seperti Toxoplasma juga seringkali menyebabkan terjadinya uveitis. Uveitis yang
disebabkan bukan karena infeksi biasanya berasal dari penyakit sistemik seperti
sarcoidosis, seronegative spondyloarthropathies, juvenile idiopathic arthritis, Behcet’s
disease, multiple sclerosis (MS), systemic lupus erythematous (SLE) dan Wegener
granulomatosis. 1,3,4

Uveitis merupakan penyakit inflamasi yang dapat terjadi di seluruh dunia dan
dapat diderita oleh semua umur. Angka kebutaan karena uveitis mencapai 25% di
seluruh dunia. Untuk menegakan diagnosis uveitis diperlukan anamnesis yang
menyeluruh sampai dengan pertanyaan mengenai sistem tubuh. Selain itu diperlukan
pemeriksaan mata secara menyeluruh mulai dari tajam pengelihatan, tekanan bola
mata, pemeriksaan alat secara mikroskopis dan pemeriksaan segmen posterior
mengingat uveitis dapat menyebabkan gangguan di semua segmen bola mata. Untuk
itu diperlukan pemeriksaan penunjang khusus untuk melakukan pemeriksaan pada
kasus uveitis.3

5
Pada sari pustaka ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pemeriksaan
penunjang mata untuk membantu menegakan diagnosis dan menilai aktifitas
pekembangan penyakit yang disebabkan oleh uveitis khususnya pada segmen
posterior.

6
BAB II

SARI PUSTAKA

2.1. Uveitis

2.1.1. Definisi

Uveitis adalah inflamasi yang terjadi pada iris, badan silier dan koroid yang
dapat disebabkan oleh beragam penyebab. Dalam pengertian bahasa, uveitis terbagi
atas dua kata yaitu uvea (berasal dari bahasa latin uva , yang berarti anggur) dan ie,
-itis yang memiliki arti inflamasi. Uveitis dapat diinisiasi oleh proses imunitas dan juga
oleh infeksi. 1

2.1.2. Epidemiologi

Uveitis merupakan penyakit inflamasi yang dapat terjadi di seluruh dunia dan
dapat diderita oleh semua umur. Di Benua Amerika dan Eropa sekitar 10% kebutaan
disebabkan oleh uveitis, sedangkan diseluruh dunia angka kebutaan karena uveitis
mencapai 25%. Prevalensi uveitis di dunia diperkirakan sekitar 115–204/100.000
penduduk dan angka insidennya mencapai 17–25/100.000 penduduk per tahun. Usia
rata-rata penderita uveitis adalah 40 tahun. Wanita memiliki angka kejadian yang lebih
besar. Penderita uveitis lebih banyak di negara berkembang bila dibandingkan
dengan negara maju. Uvetis anterior merupakan kasus terbanyak yaitu sekitar 70%-
80% dari total penderita uveitis. Penyebab terbanyak uveitis anterior adalah idiopatik
(38%-56%), seronegative spondyloarthropaties (21%-23%), juvenile arthritis (9%-
11%), dan herpetic keratouveitis (6%-10%). Toxoplasmosis merupakan penyebab
tersering uveitis posterior. Sedangkan 22%-45% penyebab panuveitis adalah idiopatik
dan 14% - 28% disebabkan sarcoidosis. 1,3,4

7
2.1.3. Klasifikasi

Di tahun 2005, Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN) menggolongkan


uveitis berdasarkan letak anatomi, penyebab, dan durasi. Berdasarkan anatomi
uveitis terbagi menjadi empat bagian yaitu uveitis anterior, uveitis intermedia, uveitis
posterior dan panuveitis. Uveitis anterior adalah peradangan yang melibatkan iris dan
badan siliar bagian anterior (pars plicata), merupakan bentuk uveitis yang paling
umum ditemukan. Iritis mengacu peradangan pada iris, sedangkan disebut iridosiklitis
bila peradangan meliputi kedua iris dan badan silier bagian anterior. Apabila
peradangan melibatkan sklera dan uvea maka disebut sclerouveitis. Pada uveitis
intermedia peradangan terjadi di rongga vitreus, badan silier (pars plana) dan atau
retina perifer. Uveitis posterior merupakan peradangan yang melibatkan koroid, retina,
pembuluh darah retina dan saraf optik. Panuveitis melibatkan struktur jaringan
1,2
tersebut diatas.

Berdasarkan waktu terjadinya, uveitis diklasifikasikan menjadi uveitis akut


apabila terjadi tiba – tiba dan sembuh sebelum 3 bulan. Uveitis kronik apabila uveitis
terjadi kurang dari 3 bulan setelah penghentian obat. Recurrent uveitis apabila uveitis
kembali terjadi setelah 3 bulan atau lebih setelah penghentian obat. Klasifikasi
granulomatosa dan nongranulomatosa masih digunakan walaupun pembagiannya
bukan berdasarkan deskripsi histologi.1,3

Penyebab terbanyak uveitis anterior adalah idiopatik. HLA-B27 merupakan


penyebab idiopatik uveitis anterior dan berhubungan dengan penyakit sistemik
seronegative spondyloarthropathies. Sekitar 55% pasien dengan uveitis anterior akut
berhubungan dengan gen HLA-B27. Selain itu dapat juga disebabkan oleh trauma
seperti kontusio, perlukaan intraocular dan operasi. Uveitis anterior kronik
berhubungan dengan juvenile idiopathic arthritis. Uveitis intermedia berhubungan
dengan kelainan sistemis seperti multiple sclerosis, sifilis, tuberculosis, Sjogren
sindrom dan infeksi Human T-cell Lymphotropic Virus type 1 (HTLV-1). Uveitis
posterior memiliki penyebab yang beragam dan belum jelas (reaksi yang dimediasi
sel T terhadap antigen uvea), penyebab infeksi terbanyak oleh toxoplasmosis.
Panuveitis dapat disebabkan oleh infeksi toxoplasmosis dan borreliosis, atau menjadi

8
bagian dari penyakit autoimun berat seperti sindrom Behcet, Vogt-Koyanagi-Harada,
sistemik lupus erimatous, polyarteritis nodosa dan Wegener’s granulomatosis.1,3

2.1.4. Manifestasi klinis

2.1.4.1. Gejala Klinis

Uveitis anterior akut memiliki karakteristik nyeri dengan onset mendadak dan
mata merah tanpa sekret, dapat disertai dengan menurunnya tajam pengelihatan.
Bentuk nyeri biasanya tumpul, bertambah dengan penekanan kelopak mata dan dapat
menjalar ke daerah pelipis. Timbulnya rasa nyeri disebabkan karena inflamasi pada
badan silier yang dapat menjalar sepanjang nervus trigeminal. Uveitis kronik memiliki
progresitivitas lambat tanpa keluhan nyeri, sehingga keluhan utamanya adalah
pandangan kabur yang disebabkan karena adanya keratic presipitat. Apabila kondisi
kronik ini dibiarkan dapat terjadi komplikasi seperti band keratopathy, katarak
sekunder, glaucoma sekunder dan edema makula.1,3

Keluhan utama uveitis intermedia adalah penurunan tajam pengelihatan tanpa


rasa nyeri dan floaters. Floaters disebabkan karena adanya bayangan yang dibentuk
oleh vitreus pada retina, pandangan kabur terjadi karena kekeruhan vitreus dan
edema makula.1,3

Uveitis posterior ditandai dengan penurunan tajam pengelihatan tanpa rasa


nyeri, floaters, fotopsia, scotoma, metamorphosia, nyctalopia atau kombinasi
beberapa keluhan ini.1,3

2.1.4.2. Temuan Klinis

Respon inflamasi pada uveitis anterior dapat menimbulkan berbagai tanda.


Penurunan tajam pengelihatan, injeksi siliar dan injeksi konjungtiva dapat dilihat pada
uveitis anterior akut. Pupil menjadi miosis karena spasme otot spingter iris yang dapat
beresiko sinekia. Terdapat cell dan flare pada bilik mata depan. Pada keadaan yang
berat dapat ditemukan adanya hipopion, hipopion biasanya berhubungan dengan
HLA-B27. Pada lapisan endotel kornea didapatkan adanya keratik presipitat yang

9
merupakan tumpukan sel inflamasi seperti limfosit, makrofag dan sel plasma. Nodul
pada iris yang disebabkan karena akumulasi sel-sel inflamasi pada iris dapat
ditemukan pada uveitis granulomatosa dan nongranulomatosa, nodul Koeppe
terdapat pada tepi pupil, nodul Busacca pada stroma iris dan nodul Berlin pada sudut
iris. Tekanan bola mata pada uveitis dapat turun karena peradangan pada badan silier
yang menyebabkan turunnya produksi aquos humor. Tekanan bola mata juga dapat
meningkat karena tersumbatnya trabecular meshwork oleh sel-sel radang, proses
inflamasi pada trabekula dan iris bombe yang menyebabkan glaukoma sekunder.
Pada iris dapat ditemukan adanya atrofi dan adanya pertumbuhan pembuluh darah
baru pada iris yang disebut rubeosis iris. 1,2

Kekeruhan pada vitreus dapat ditemukan pada uveitis intermedia. Pada vitreus
terdapat banyak sel dan tanda-tanda peradangan bilik mata depan. Di bagian tepi
bawah vitreus dapat ditemukan akumulasi sel radang berwarna putih berbentuk mulai
dari seperti kapas hingga berbatas tegas (snowballs). Pada pars plana dapat
ditemukan adanya eksudat berwarna putih padat yang disebut snowbanks. 1,3,4

Tanda-tanda yang ditemukan pada uveitis posterior antara lain berupa infiltrat
peradangan pada retina dan koroid. Terdapatnya selubung (sheathing) pada
pembuluh darah, ablasio retina, hipertrofi atau atrofi pada lapisan pigmen retina.
Gangguan juga terdapat pada koroid, retina dan nervus optikus yang dapat
mengalami edema atau atrofi. Pembentukan pembuluh darah baru pada retina dan
koroid karena adanya atrofi. 1,4

2.2. Pemeriksaan Penunjang

Pendekatan klinis pada uveitis haruslah dilakukan secara komprehensif mulai


dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis yang baik akan meliputi
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga,
sosial ekonomi dan review of systems. Uveitis sering dikaitkan dengan penyakit
sistemik, sehingga ada beberapa pemeriksaan dasar yang perlu diperiksa pada
pasien uveitis, pemeriksaan laboratorium dasar diantaranya, pemeriksaan darah
lengkap, laju endap darah, tes Mantoux, serum angiotensin- converting enzyme
(ACE), pemeriksaan serologi sifilis, serologi toxoplasma, antinuclear antibody dan

10
lain-lain. Indikasi pemeriksaan laboratorium dilakukan pada kasus uveitis anterior
kronik, persisten atau rekuren, uveitis anterior bilateral, uveitis anterior dengan
hipopion, uveitis anterior granulomatosa, uveitis intermedia, uveitis posterior dan
panuveitis. Selain pemeriksaan laboratorium juga perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang umum seperti rontgen dada, Computed Tomography, Magnetic
Resonance Imaging, dan pemeriksaan penunjang khusus pada mata seperti fundus
photography, fluorescein fundus angiography, indocyanine green angiography,
ultrasonography, optical coherence tomography dan fundus autofluorescence. Berikut
1, 4, 5
ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pemeriksaan penunjang.

2.2.1 Ultrasonografi

USG segmen anterior dapat digunakan untuk mendiagnosis kelainan badan


silier, iris dan sudut iridocorneal pada uveitis. USG segmen posterior dapat digunakan
untuk melihat kekeruhan pada vitreus, penebalan koroid, ablasio retina dan cyclitic
membrane formation. Selain untuk membantu menegakan diagnosis, USG juga dapat
digunakan untuk memantau perkembangan penyakit.6,7

USG memancarkan gelombang suara yang memiliki frekuensi lebih besar dari
20.000Hz sehingga tidak dapat didengar oleh manusia. Untuk memeriksa mata
digunakan probe berukuran 10MHz dengan resolusi 940 μm dengan kedalaman
tembus mencapai 4cm. Probe berukuran 10Mhz biasanya digunakan untuk
memeriksa vitreus, sedangkan probe 20MHz dapat digunakan untuk melihat segmen
posterior.6,7

Pada Okular USG terdapat dua jeis pemeriksaan, yaitu A-Scan dan B-Scan.
A-Scan atau amplitude scan memberikan gambaran berupa spikes hasil dari pantulan
suara. Besar kecilnya spikes tergantung pada hasil pantulan suara dari apa yang
diperiksa. B-Scan atau brightness scan memberikan gambaran dua dimensi,
memberikan gambaran topografi. Gambar yang dihasilkan B-Scan berupa potongan
melintang bola mata, dengan mengarahkan probe ke berbagai posisi pemeriksa akan
mendapatkan gambaran tiga dimensi. 6,7

11
Bola mata yang normal, pada pemeriksaan A-Scan akan menunjukan
gambaran spikes menengah ke tinggi pada lensa dan retina, spikes rendah ke
menengah dapat dilihat diantara bagian posterior lensa dan retina. Bila terdapat
gangguan seperti ablasio retina, kekeruhan pada vitreus akan menunjukan spikes
menengah ke tinggi.8,9

Gambar 1. Ultrasonografi. (A) axial scan horizontal dengan gambaran normal pada A-Scan
dan B-Scan. (B) ablasio retina, gambaran opaque pada B-Scan seperti yang ditunjuk dengan
panah menandakan bagian retina yang lepas dan terdapat peningkatan amplitude pada A-
Scan. 9

Pada pemeriksaan normal B-Scan, kornea tampak sangat tipis sehingga sulit
diidentifikasi, bilik kamar depan terlihat sebagai gambaran echoic diantara kornea dan
iris. Lensa terlihat anechoic yang dilapisi oleh kapsul echogenic dan badan silier
tampak hipoekoik. Vitreus terlihat anekoik dibelakang lensa. Dinding posterior bola
mata tampak sebagai gambaran hipoekoik. 9

2.2.2. Color Fundus Photography

Fundus fotografi masih memiliki peran penting dalam diagnosis dan


penatalaksanaan peradangan pada bagian posterior bola mata. Fundus fotografi
memungkinkan para klinisi untuk menyimpan temuan klinis serta mengamati
perubahannya. Fundus fotografi dapat menggunakan filter untuk menonjolkan aspek
tertentu, sebagai contoh digunakan filter red-free untuk membantu melihat pembuluh
darah, perdarahan, drusen dan eksudat. 10

12
Gambar 2. Color Fundus Photography. Wanita dengan Non Hodgkins Lymphoma on
chemotherapy mengeluh melihat bayangan hitam seperti telur satu minggu setelah dilakukan
biopsi sumsum tulang. (a) tidak ditemukan kelainan yang jelas pada foto fundus. (b) foto
dengan red-free filter memperlihatkan lesi seperti baji pada daerah superonasal dari fovea 11

Bagian perifer dari retina yang tidak dapat ditangkap dengan foto fundus biasa
dapat menggunakan ultra-widefield imaging. Ultra-widefield imaging memudahkan
pemeriksaan segmen posterior terutama pada pasien dengan pupil kecil atau pada
pasien yang kurang kooperatif. Foto fundus biasa hanya dapat menangkap retina
sebesar 30° sampai 60° sedangkan Optos ultra-widefield imaging dapat menangkap
gambaran retina sampai dengan 200°. Optos dirancang untuk menggambarkan retina
perifer pada pasien yang matanya tidak dilebarkan dengan menghasilkan gambar
yang dapat mengevaluasi infeksi pada beberapa kasus. Sebagai contoh, optos
pseudocolor imaging yang menghasilkan pseudocolor (merah dan hijau) dapat
mendeteksi lesi yang terlewatkan dengan foto fundus biasa pada pasien retinitis
Cytomegalovirus. Foto fundus dapat digunakan bersama dengan autofluorescence
imaging, indocyanine gree angiography dan fluorescein angiography. Kekurangan
foto dengan ultra-widefield imaging adalah resolusi gambar yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan foto fundus biasa. 10,11

2.2.3. Fluorescein Fundus Angiography

Fluorescein Fundus Angiography (FFA) merupakan pemeriksaan yang dapat


digunakan untuk menunjang diagnosis uveitis, baik uveitis intermedia, uveitis posterior

13
ataupun panuveitis. FFA merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk menilai luasnya
peradangan pada retinochoroidal dan peradangan pada pembuluh darah, FFA juga
dapat mengamati respon terhadap terapi dan perubahan struktur abnormal yang
berhubungan dengan gangguan pengelihatan.10,11

FFA menggunakan kontras berupa sodium fluorescein (C20H10Na2O5),


sebuah cairan hidrokarbon kirstalin berwarna jingga-merah, dengan berat molekul 376
dalton, 80% kontras ini dapat berikatan dengan albumin. 20% sisanya bersirkulasi
dalam pembuluh darah dan mudah berdifusi dengan sebagian besar cairan tubuh
termasuk jaringan retina dan koroid. Fluorescein dieksitasi oleh cahaya berwarna biru
yang memiliki panjang gelombang 465–490 nm dan akan memancarkan cahaya
berwarna hijau-kuning dengan panjang gelombang 520–530 nm. 2,10,11

Gambar 3 : Prinsip kerja Fluorescein angiography. Fluorescein dieksitasi oleh cahaya


berwarna biru (panjang gelombang 465–490nm) dan akan memancarkan cahaya berwarna
hijau-kuning (panjang gelombang 520–530nm).2

Dosis yang digunakan untuk FFA adalah 5ml larutan fluorescein dengan
konsentrasi 10%-20%, setara dengan 15mg/kgBB disuntikan dalam waktu 5-10 detik.
Bila pasien tidak dapat diberikan fluorescein intravena, maka dapat diberikan per-oral
dengan dosis 30mg/kg, pengambilan gambar baru bisa dilakukan 20 – 60 menit
setelah kontras diminum. Kulit akan berubah warna menjadi kuning 4-6jam setelah
kontras diberikan. Fluorescein akan dimetabolisme di hati dan dikeluarkan melalui urin
dalam 24 – 36 jam. 2

14
Fluorescein pada umumnya tidak bisa menembus pembuluh darah retina
karena adanya tight junction sel endotel vascular, namun fluorescein dapat
menembus pembuluh darah kapiler di jaringan lain. Fluorescein juga dapat melewati
koriokapiler dan masuk ke lapisan subretina dan intertisium retina bila terjadi
gangguan pada retinal pigment epithelium (RPE) atau intracellular junction seperti
pada serpiginous choroiditis.10,11

Fluorescein Fundus Angiography dapat memberikan informasi mengenai


anatomi dan fungsi sirkulasi pembuluh darah retina, struktur retina superfisial, serta
proses penyakit seperti gangguan pada RPE, koriokapilaris, subretina dan koroid.
Pada pemeriksaan FFA terdapat beberapa fase, yaitu :7

1. Fase koroid (prearterial) : setelah 10– 5 detik fluorescein diberikan maka


fluorescein akan terlihat di sirkulasi koroid tepat 1 detik sebelum retina.
Pada kebanyakan angiogram koriocapilaris tidak dapat dilihat dengan jelas
dan hanya terlihat sebagai coroidal flush.7,11
2. Fase arterial : fase ini terjadi ketika fluorescein memasuki arteri retina,
arteri retina mulai terisi sekitar 1-3 detik setelah fase koroid.7,11
3. Fase ariovena : fase ini dimulai saat arteri dan kapiler retina sepenuhnya
terisi serta vena retina menunjukan laminar filling, yaitu saat fluorescein
terlihat melewati dinding lateral vena. Fenomena ini mencerminkan
drainase awal dari kapiler posterior yang mengisi tepi vena serta
kecepatan pembuluh darah kecil dengan aliran plasma (20-30detik).7,11
4. Fase vena : fase ini dimulai sejak fluorescein keluar dari arteri dan
memenuhi vena, fase ini paling lambar terjadi 30 detik setelah fluorescein
diberikan.7
5. Fase transit : fase ini merupakan fase dimana fluorescein terdapat dalam
pembuluh darah retina dan coroid secara menyeluruh. Diakhir fase ini,
frourescein akan tetapi berada di koroid dan sklera bila terdapat kebocoran
pada pembuluh koriokapilaris. Fluorescein akan tetap terlihat pada nervus
optikus dan pembuluh darah retina walaupun tidak ada kebocoran.7
6. Fase resirkulasi : terjadi penurunan jumlah fluorescein pada pembuluh
darah retina seiring dengan distribusi fluorescein melalui sirkulasi

15
sistemik.fluorescein akan hilang dari pembuluh darah retina setelah 10
menit. 2,7

Gambar 4: Fluorescein Angiography normal. (a). fase koroid : pengisian koroid yang merata
serta pengisian arteri cilioretinal. (b). fase arteri : pengisian arteri koroid dan retina. (c). Fase
arterivena : pengisian arteri lengkap dan vena laminar awal. (d) fase vena awal : aliran vena
laminar. (e). fase tenang vena : pengisian vena hamper lengkap. (f). fase resirkulasi : yang
lebih lemah dari pewarnaan diskus optikus. 2

Area yang terang disebut dengan hiperfluorecent disebabkan karena


peningkatan visualisasi kepadatan fluorescein normal atau peningkatan kandungan
jaringan. Window defect disebabkan oleh atrofi atau tidak adanya RPE karena
degenerasi makula, robekan RPE dan beberapa drusen. Pooling terjadi karena
kerusakan retinal barrier di ruang subretinal. Leakage terjadi sebagai akibat
kerusakan sawar darah retina bagian dalam karena disfungsi endotel vaskuler, okluasi
vena retina, edema makula dan papil edema. Staining adalah retensi pewarna yang
lama seperti pada drusen, jaringan fibrosa, sklera yang terbuka dan diskus optic
normal. Area yang gelap disebut dengan hipofluorecent disebabkan karena obstruksi
optik atau perfusi jaringan yang tidak adekuat. Filling defect dapat disebabkan karena
okluasi pembuluh darah. 2,11

16
Pada pasien uveitis, dapat ditemukan adanya inflamasi aktif pada papil nervus
optikus yang tidak spesifik berupa papil yang berwarna merah dan batas papil yang
tidak jelas, pada pemeriksaan FFA kelainan ini menunjukan adanya leakage disekitar
papil nervus optikus, tanda ini menunjukan bahwa terdapat inflamasi aktif. Edema
makula yang disebabkan karena uveitis dapat dideteksi dengan adanya leakage
dengan pola petaloid (seperti mahkota bunga) yang disertai leakage pada nervus
optikus pada pemeriksaan FFA. FFA merupakan pemeriksaan yang baik untuk
mengidentifikasi dan memantau perkembangan komplikasi uveitis yang berkaitan
dengan pembuluh darah seperti oklusi pembuluh darah, neovaskularisasi,
microaneurisma, macroaneurisma, teleangiektasis dan anastomosis arteri-vena.
Gambaran fern pattern dapat ditemukan pada pasien dengan phlebitis pembuluh
darah retina. 11, 12

Gambar 5. Pemeriksaan FFA pada uveitis. (A). Menunjukan adanya edema makula kistoid:
leakage dengan pola seperti petaloid di makula. (B). Gambaran fern pattern pada phlebitis
pembuluh darah retina.11

Pemeriksaan FFA tidak dapat dilakukan pada pasien yang alergi terhadap
fluorescein, pasien dengan gagal ginjal, asma sedang-berat, memiliki penyakit jantung
dan wanita hamil. 2

2.2.4. Indocyanine Green Angiography

Indocyanine green angiography (ICGA) adalah salah satu jenis pemeriksaan


yang bertujuan untuk membantu menegakan diagnosis pasien dengan kelainan pada
koroid, memantau perkembangan keberhasilan terapi imunomudulator, mengevaluasi

17
atrofi korioretina dan dapat memberikan gambaran neovaskularisasi pembuluh darah
koroid yang merupakan komplikasi dari uveitis posterior. Pemeriksaan ICGA sangat
bermanfaat untuk menunjang diagnosis chorioretinopathy dengan sebab yang tidak
diketahui (sindrom white dot), sindrom Vogt-Koyanagi-Harada dan sarcoidosis.7

ICGA pertama kali ditemukan di awal tahun. Prinsip kerja ICGA hampir mirip
dengan FFA, menggunakan kontras yang dapat menyerap foton dengan panjang
gelombang tertentu. Kontras pada ICGA memiliki panjang gelombang yang mirip
dengan cahaya infra merah, yaitu 845nm ketika tereksitasi dengan cahaya iluminasi
panjang gelombang 750-800nm. Hemoglobin dan air merupakan komposisi utama
jaringan tubuh manusia, air dapat menyerap cahaya dengan panjang gelombang
diatas 900nm sedangkan hemoglobin hanya dapat menyerap cahaya dengan panjang
gelombang dibawah 650nm. Panjang gelombang 650-900nm disebut dengan optical
window.7

ICGA hanya dapat dilihat dengan infrared fundus camera yang mengeluarkan
cahaya dengan panjang gelombang 850nm. Karena alat ini memiliki panjang
gelombang yang tinggi sehingga dapat menembus pigmen, lemak, cairan dan darah
lebih baik dari fluorescein.7

Gambar 6 : Prinsip kerja ICGA. ICG menyerap cahaya berwarna hijau dengan panjang
gelombang 805nm dan memantulkan cahaya kembali dengan panjang gelombang 835nm. 2,7

Kontras pada ICGA adalah tricarbocyanine, molekul seberat 775g/mol.


Indocyanine green (ICG) dimetabolisme di hati dan diekresikan melalui empedu.
Spektrum ini membuat RPE tidak terlihat dan menonjolkan visualisasi koroid melalui

18
deposit retina pigmen atau darah. Dosis ICG yang diberikan adalah 25mg dalam 5ml
diikuti dengan 5ml larutan saline flush. Pada ICGA dibagi menjadi empat fase, yaitu :7

1. Fase awal : arteri koroid terisi selama fase awal. Fase ini berlangsung
sekitar 0-1 menit.
2. Mid fase awal : kontras sampai di pembuluh darah koroid dan retina (1-
3menit).
3. Mid fase akhir : kontras mulai menghilang dari pembuluh darah koroid
tetapi kontras masih terlihat di pembuluh darah retina (3-15menit).
4. Fase akhir : pembuluh darah koroid menunjukan hiposianesent dan mulai
menghilang.

Gambar 7. Tahapan ICGA. (a).fase awal : pengisian arteri koroid, (b). mid fase awal: kontras
di koroid dan retina, (c). mid fase akhir: kontras hilang dari koroid. (d). fase akhir:kontras mulai
menghilang. 11

Lesi yang berwarna gelap disebut dengan hiposianesent merupakan lesi yang
paling banyak ditemukan pada kasus uveitis, choriocapillaris hypoperfusion atau
choroidal granuloma. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) adalah suatu penyakit
autoimun dengan kelainan berupa bilateral granulomatosa panuveitis, gangguan pada
kulit, pendengaran dan saraf. Pada pemeriksaan ICGA dapat ditemukan adanya
gambaran kecil lesi hiposianesent yang menunjukan adanya granuloma pada koroid.
gambaran serupa dapat dilihat pada kasus Sympathetic ophthalmia, Multiple
Evanescent White Dot Syndrome dimana menunjukan adanya lesi hiposianesent
yang tampak dalam berbagai ukuran. 7,11

19
Gambar 8: Gambaran ICGA uveitis. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (kiri) dan Multiple
Evanescent White Dot Syndrome (kanan) menunjukan adanya lesi hiposianesent. 11

2.2.5. Optical Coherence Tomography

Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan alat pemeriksaan standar


untuk membantu menegakan diagnosis uveitic makular edema, penebalan retina,
serous retinal detachment dan dapat mendeteksi adanya cairan pada subretina
ataupun intraretinal yang berhubungan dengan neovaskularisasi pada koroid. OCT
juga berguna dalam memantau lapisan serat saraf pada pasien uveitic glaucoma.
Pada segmen anterior, OCT dapat menilai flare dan cell dalam aquos humor, akan
tetapi jumlah flare dan cell akan meningkat secara signifikan saat dinilai dengan OCT
bila dibandingkan dengan slitlamp. Sebagai contoh grade 0-2+ saat dinilai dengan
slitlamp dapat menjadi 3+-4+ saat dinilai dengan OCT. OCT juga dapat
mendokumentasikan sinekia anterior perifer dan sinekia posterior, selain itu dapat
juga digunakan untuk mengukur kekeruhan pada vitreus. 1,3,13,14,15

Optical Coherence Tomography adalah suatu alat pencintraan non-invasif dan


non kontak beresolusi tinggi yang menggunakan cahaya infra merah dekat dan serat
optik untuk mendapatkan gambar dan karakteristik jaringan mata dalam potongan
melintang. Sebuah gambar dua dimensi yang dihasilkan berasal dari hamburan
cahaya yang dipantulkan sehingga menghasilkan gambar yang mirip dengan
histologinya. Cahaya infra merah dekat dengan panjang gelombang 1,3 μm tidak
terlihat oleh mata manusia. OCT menggunakan interferometri rendah dengan
mengukur waktu tunda gema dan intensitas cahaya yang dipantulkan dari struktur
internal dalam jaringan yang diperiksa. OCT membagi inferometer menjadi dua

20
bagian, yaitu lengan sampel dan lengan referensi. Cahaya dari lengan sampel akan
diteruskan ke jaringan sampel kemudian dipantulkan, dibiaskan atau diserap oleh
jaringan dan kembali ke inferometer. Lengan referensi diarahkan ke cermin kemudian
dipantulkan kembali ke interferometer. Gambar yang dihasilkan pada OCT berasal
dari penggabungan dua cahaya ini.6,11,13,14,16

Gambar 9 : Optical Cohorence Tomography . Uveitic makular edema pada pasien dengan
Juvenile idiopathic arthritis.1

Gambar yang dihasilkan pada OCT terbagi atas hiperreflektif dan hiporeflektif.
Hiperreflektif terjadi karena hamburan cahaya yang diterima cukup tinggi sehingga
menghasilkan intensitas piksel yang lebih cerah sedangkan pada hiporeflektif terjadi
penurunan hamburan cahaya sehingga intensitas pixel lebih gelap. Pada segmen
posterior sebagai contoh, lapisan RPE biasanya hiperreflektif, sedangkan cairan dan
vitreus bersifat hiporeflektif. B-Scan retina normal memiliki lapisan hiper dan
hiporeflektif bergantian. Lapisan serat saraf dan RPE sangat hiperreflektif. Sel
ganglion dan lapisan pleksiform hiperreflektif tetapi kurang kuat bila dibandingkan
dengan lapisan serat saraf dan lapisan inti terlihat hiporeflektif.15

2.2.6. Optical Coherence Tomography Angiography

Optical Coherence Tomography Angiography (OCTA) adalah pemeriksaan


non-invasif yang memperlihatkan pembuluh darah retina tanpa menyuntikan kontras
sehingga lebih aman untuk dilakukan. Pemeriksaan menggunakan kontras seperti

21
pada FFA dan ICGA dapat menyebabkan reaksi alergi dan tidak bisa digunakan pada
pasien hamil atau memiliki gangguan ginjal. OCTA tidak dapat mendeteksi leakage
seperti pada FFA dan ICGA, akan tetapi dapat menggambarkan perubahan pembuluh
darah dan dapat mengukur efek inflamasi intraokular secara kuantitatif. OCT dapat
menggambarkan morfologi mikrovaskuler dan memberikan informasi tentang perfusi
pembuluh darah superficial dan yang lebih dalam. OCTA menunjukan bahwa uveitic
makular edema berhubungan dengan perubahan densitas dan morfologi dari pleksus
pembuluh darah bagian dalam. Oleh karena itu OCTA dapat digunakan untuk
membantu menegakan diagnosis dan mengamati pekembangan penyakit pada
uveitis. 1

OCTA bekerja dengan cara mengukur perubahan amplitudo pada pembuluh


darah dan perubahan gelombang cahaya yang dipantulkan dari waktu ke waktu.
Jaringan yang tidak bergerak tidak akan menunjukan perubahan, akan tetapi benda
yang bergerak seperti darah akan menghasilkan gambar yang bervariasi. OCT
menghasilkan gambar tiga dimensi dari pembuluh darah dengan tingkat kedalaman
yang berbeda dari membran limitan interna sampai dengan koroid. sedangkan,
gambar yang dihasilkan dari pemeriksaan FFA dan IGCA merupakan gambar dua
dimensi sehingga menimbulkan kesulitan dalam melokalisasi kedalaman dan luasnya
lesi. 7,17

2.2.7. Fundus Autofluorescence

Fundus Autofluorescence (FAF) adalah pemeriksaan non-invasif, non-kontak


dan cepat untuk mengevaluasi fungsi RPE tanpa menggunakan kontras. Untuk
mengetahui inflamasi yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam seperti
choriocapillaris dan pembuluh darah koroid lainnya akan lebih baik jika dilakukan
pemeriksaan dengan FAF dan atau ICGA. Saat ini FAF menjadi salah satu
pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk membantu menegakan diagnosis
uveitis, baik karena infeksi ataupun non-infeksi. 11

Autofluoresensi adalah flouresensi intrinsik yang dipancarkan oleh suatu zat


setelah dirangsang oleh energi eksitasi. Struktur mata yang autoflouresensi adalah
epitel kornea, endotel, lensa, makula dan pigmen RPE. 18,19

22
Salah satu fluorofor utama yang terjadi di lapisan luar mata adalah lipofuscin.
dapat r karena aktivitas metabolism RPE. Bila terjadi gangguan yang menyebabkan
peningkatan metabolisme RPE dapat menyebabkan peningkatan akumulasi lipofusin
sehingga memperlihatkan hiperautofluoresensi pada pemeriksaan FAF seperti pada
serpiginous choroiditis, multiple evanescent white dot syndrome. 10,11

Hipofluoresensi dapat terjadi karena penyumbatan eksitasi karena cairan


diatasnya, kurangnya sinyal autofluoresensi terjadi karena atrofi RPE. Fovea dan
daerah juxtafoveal biasanya hipoautofluorescent karena penyumbatan sinyal dari
pigmen luteal seperti lutein dan zeaxanthin. Diskus optikus dan pembuluh darah retina
biasanya tidak memiliki sinyal autofluoresen sehingga dapat digunakan sebagai
pembanding tingkat “hitam”. Hipofluoresensi pada FAF dapat kita temukan pada
birdshot chorioretinopathy.10,11,18

Gambar 10. Fundus Autofluorescence. (a) AF normal, tampak diskus optikus dan makula
yang tampak gelap. (b). tampak lesi hipoautofluorescent (c). tampak lesi hiperautofluorescent
disekitar makula 11

Seperti diperlihatkan pada gambar diatas, saraf optik dan pembuluh darah
memperlihatkan warna hitam atau hipoautofluorescent karena kurangnya lipofusin.
Pencitraan FAF pada peradangan menunjukan area autofluoresensi yang abnormal.
Kelainan yang diperlihatkan pada FAF seringkali terlihat lebih banyak bila
dibandingkan dengan foto fundus. Kelainan yang dapat menunjukan gambaran
hipoautofluorescent adalah atrofi RPE, cairan intraretinal, fibrosis atau adanya pigmen
luteal. Hiperautofluorescent dapat terjadi karena endapan subretinal seperti drusen,
lesi vitelliform atau akumulasi dalam sel RPE yang berlebihan, degenerasi makula

23
atau inflamasi korioretinal aktif. Kualitas gambar yang dihasilkan juga dipengaruhi dari
kejernihan vitreus, lensa, kornea atau bilik kamar depan.10,11

FAF dapat menunjukan perbedaan stadium penyakit pada serpiginous like


choroiditis. Lesi hiperautofluorescent menunjukan adanya lesi aktif, pada proses
penyembuhan warna lesi tampak berada diantara hyperautofluorescent dan
hypoautofluorescent, sedangkan hypoautofluorescent yang seragam menunjukan lesi
yang sembuh total.11

Alat pemeriksaan ini memiliki kelemahan tersendiri, FAF harus digunakan


bersama dengan alat pencitraan lain sehingga informasi yang komprehensif tentang
patologi penyakit dapat dinilai. Hasil FAF juga bergantung pada ada atau tidak adanya
edema yang diobservasi oleh pemeriksaan OCT.11

24
BAB III

RANGKUMAN

Uveitis adalah peradangan pada iris, badan silier dan koroid yang dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Untuk dapat menegakan diagnosis
uveitis diperlukan anamnesis secara menyeluruh, laboratorium dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan laboratorim diperlukan pada beberapa kasus karena uveitis
sering dikaitkan dengan penyakit sistemik. Untuk membantu menegakan diagnosis,
terutama pada uveitis posterior diperlukan pemeriksaan penunjang mata antara lain
fundus photography, fluorescein fundus angiography, indocyanine green
angiography, ultrasonography, optical coherence tomography dan fundus
autofluorescence. Pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan pada kondisi klinis
dengan kecurigaan penyebab yang mendasarinya. Selain untuk membantu
menegakan diagnosis, pemeriksaan ini dapat juga digunakan untuk memantau
perkembangan penyakit dan respon terhadap terapi.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology Staff. Uveitis and Ocular Inflamation. San


Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2019. p. 77 – 100.
2. Salmon JF. Kanski’s Clinical Ophthalmology a Systematic Approach Ninth Edition.
Edinburgh : Elsevier ; 2020.
3. Yanoff M dan Duker JS. Ophthalmology fifth edition. Edinburgh : Elsevier ; 2019.
4. Papaliodis George. Uveitis a Practical Guide to the Diagnosis and Treatment of
Intraocular Inflamation. USA : Springer; 2017.
5. American Academy of Ophthalmology Staff. Practicing Ophthalmologists
Curriculum Uveitis. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2014
6. American Academy of Ophthalmology Staff. Practical Ophthalmology : a Manual
for Beginning Residents. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology;
2015.
7. Khochtali S, Khairallah-Ksiaa I, Ben Yahia S. Normal Fundus Fluorescein
Angiography. The Uveitis Atlas. 2020:11-6.
8. Polo MD, Lluís AT, Segura OP, Bosque AA, Appiani CE, Mitjana JM. Ocular
ultrasonography focused on the posterior eye segment: what radiologists should
know. Insights into imaging. 2016 Jun;7(3):351-64.
9. Arora A, Agarwal A, Gupta V. Normal Indocyanine Green Angiography. The Uveitis
Atlas. 2020:17-20.
10. Rao Narsing A et al. Posterior Uveitis Advance in Imaging and Treatment. USA :
Springer ; 2019.
11. Sen Hida et al. Multimodal Imaging in Uveitis. USA : Springer ; 2018
12. Tranos P, Karasavvidou EM, Gkorou O, Pavesio C. Optical coherence tomography
angiography in uveitis. Journal of Ophthalmic Inflammation and Infection. 2019.
13. Pichi F, Invernizzi A, Tucker WR, Munk MR. Optical coherence tomography
diagnostic signs in posterior uveitis. Progress in retinal and eye research. 2019
Sep 9:100797.
14. Pichi F, Sarraf D, Arepalli S, Lowder CY, Cunningham Jr ET, Neri P, Albini TA,
Gupta V, Baynes K, Srivastava SK. The application of optical coherence
tomography angiography in uveitis and inflammatory eye diseases. Progress in
retinal and eye research. 2017 Jul 1;59:178-201.
15. Bandello F dan Corcostegui B. Optical Coherence Tomography. Switzerland :
Karger ; 2014.
16. Hagag AM, Gao SS, Jia Y, Huang D. Optical coherence tomography angiography:
technical principles and clinical applications in ophthalmology. Taiwan journal of
ophthalmology. 2017 Jul;7(3):115.
17. Chow D dan Ricardo P. OCT Angiography. New York: Thieme; 2018
18. American Academy of Ophthalmology Staff. Retina and Vitreus. San Fransisco:
American Academy of Ophthalmology; 2018.
19. Bandello F dan Corcostegui B. Imaging Techniques. Switzerland : Karger ; 2018.

26

Anda mungkin juga menyukai