Ringkasan Pertemuan 16
Al Jawahir Al Adniyyah
Nadzhim berkata :
Dan satu perkara yang karena udzur kemudian tidak dibolehkan maka batalkan kebolehan tersebut
karena hilangnya udzur tersebut
Arti dari kaedah : bahwasanya hukum hukum yang disyariatkan karena suatu udzur udzur tertentu lalu
dia hukum tersebuk berakhir dan hilang seiring dengan berakhirnya udzur tersebut, jadi kalau udzur
hilang maka hukumnya menjadi hilang juga
Dalil Kaidah
Bisa didasari dengan dalil istihab yaitu mempertahankan hukum asal, bila udzur hilang maka dampak
yang ditimbulkan udzur tersebut yaitu hukum jadi hilang dan kemudian mempertahan atau kembali
pada hukum asal
1. Boleh mengusap jabiroh (bidai atau yang semisalnya seperti perban salep dll) dan bertayamum untuk
jabirah selama jabirah di badan maka boleh mengusap jabiroh dan tayamum. Jika udzur berakhir yaitu
ketika dilepas jabiroh tersebut tidak berdampak dhoror maka udzurnya hilang, sehingga wajib dibasuh
ketika wudhu karena harusnya wudhu harus terkena semua . Kalau masih dipakai padahal tidak ada
udzur maka tidak sah wudhunya
2. Dibolehkan mengqashar empat rakaat saat safar thowil yaitu 2 marhalah dan safar mubah, maka jika
safarnya berakhir dan kembali tempat muqimnya semula maka tidak boleh mengambil rukhsah qasar.
Oleh karena itu para fuqaha menganggap masih ada udzur dibolehkan mengambil rukhsah
3. Boleh bagi orang yang sakit yang berat baginya berpuasa untuk tidak berpuasa , maka jika seandainya
dia puasa dan ditengah tengah hari sembuh maka haramnya baginya ifthar karena udzurnya hilang,
kalau dipaksakan puasa kemudian di setengah hari sembuh maka tidak boleh dibatalkan
4. jika seorang yang lumpu atau tidak punya daya mewakilkan orang lain untuk berhaji atas nama
dirinya, maka wajib baginya mengulangi haji bagi dirinya, karena diwakilkan boleh karena ada udzur
Contoh lain : tayamum itu batal karena wujudnya ada air sebelum mulai sholat karena udzur tersebut
hilang yaitu tidak adanya air, contoh lain : orang yang tidak bisa berdiri ketika sholat maka boleh duduk,
jika mampu harus berdiri
Pengecualian : seandainya pelaku yang dikenakan hukuman had sakit yang sakitnya tidak bisa
diharapkan sembuh, hukuman hadnya dengan cara seperti lidi dicambuk dengan 100 ranting langsung
dipukulkan, normalnya satu satu. Adapun kalau sembuh maka cambukan tadi tidak perlu diulangi,
adapun menurut kaedah harusnya diulang,
Tanbih : kaedah ini sebagai qaid pembatas dari kaedah ad dhorotu tubihul mahdzurot darurat
membolehkan yang dilarang, karena kaidah ini menjelaskan rentang waktu dibolehkan perbuatan yang
dilarang selama daruratnya masih ada, kalau sudah hilang maka kembali lagi ke asal, sehingga kaidah ini
mirip dengan kaidah ad dhorurotu tuqaddaru biqadriha darurat itu yaitu di gunakan sesuai dengan
kadarnya
Bahwasanya kaedah darurat membolehkan sesuatu yang dilarang dan menunjukkan adanya toleransi ,
mudahnya dan luwesnya hukum islam sebagaimana dalam Qs Al maidah ayat 5 barang siapa terpaksa
kelaparan yang tidak sengaja berbuat dosa maka Allah maha pengampun
Makna Kaidah
Al ijtihadu = mashdar dari ijtahada , yaitu ketika seorang mengerahkan segala upaya kemampuannya
untuk mendapatkan suatu perkara tertentu, menurut ulama ushul fiqh = mengerahkan kemampuannya
untuk mendapatkan hasil dzhan dengan hukum
Naqd bahasa = mashdar dari naqqadu dan lawan dari ibram pengesahan
Arti kaedah : bahwasanya seorang ahli fiqih jika telah mengerahkan kemampuannya untuk
mendapatkan suatu hukum fiqih atau syar’I dengan istinbath dan ijtihadnya telah terlaksana maka
ijtihadnya tidak bisa batal dengan ijtihad setelahnya. Al Hafidz Suyuti : arti dari perkataan kaedah ini
yaitu untuk waktu yang telah lewat tpi bisa mengubah hukum untuk keadaan yang akan datang karena
tidak adanya tarjih pada saat itu, oleh karena itu diamalkan suatu hukum berdasarkan ijtihad kedua
dalam masalah menentukan arah kiblat dan tidak batal apa yang dilakukan sebelumnya
Dalil kaidah
Dalilnya ijma kesepakatan para sahabat dan dinukil dari ibnu Shobagh
Contohnya abu bakar menghukumi suatu masalah, lalu diselisihi umar bin khatab maka hukum abu
bakar tidak batal, adapula umar menetapkan hukum musytarikah di bab waris dan menetapkan yang
berbeda, yang dulu dulu (yaitu tanpa musytarikah) dan yang sekarang sekarang, beda hukum tidak apa
apa karena yang sekarang tidak bisa menghapus yang dulu
Diantara penerapannya
1. Seandainya seorang tersamarkan antara 2 air dalam bejana yang satu suci mensucikan dan satunya
yang najis, kemudian dia berijtihad yang suci yang ini, kemudian ia wudhu dengan air tersebut,
kemudian karena mau wudhu lagi ijtihadnya berubah, maka tidak mengamalkan ijtihad yang kedua agar
tidak batal satu ijtihad dengan ijtihad yang lain akan tetapi dia bertayamum
2. seandainya seorang sholat setelah dia berijtihad penentuan arah kiblat kemudian ijtihadnya berubah
sama saja berubahnya saat sholat atau setelah sholat, sehingga berubah dan sholat ke arah lain, maka
tidak mengqadha apa yang ia kerjakan berdasarkan ijtihad yang pertama , sampaipun kalau dia sholat
dengan 4 arah karena ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad. Demikian pula ketika selesai sholat
berijtihad maka gak perlu diqadha karena kedua ijtihad. Kalau setelah sholat awalnya utara namun yakin
kalau kebarat maka perlu diulang sholatnya
3. seandainya seorang qadhi menghukumi tidak ditetapkannya hukuman had meminum nabdz atau
sebaliknya ditetapkan had meminum nabdz, maka hukumnya tidak batal karena ijtihad tidak batal
dengan yang semisal, nabdz sedikit dan tidak memabukkan, kalau jumhur hukuman had, kalau hanafiyah
tidak . Misal awal diadili hakim hanafiyyah kemudian diadili lagi qadhi syafii sehingga tidak bisa
membatalkan dan tidak memberikan hukuman had
4. Jika seorang fasiq bersasik dihadapan qadhi maka persaksiannya ditolak sehingga hukumnya berlaku
dari qadhi, kemudian si fasiq taubat kemudian mengulangi persaksian maka tidak diterima
persaksiannya dalam masalah yang sama Karena kalau menghukumi menetapkan hukum berdasarkan
persaksian yang kedua nanti ijtihad pertama batal sehingga tidak diterima karena ijtihad kedua
membatalkan ijtihad pertama
Hukum qadhi bisa dibatalkan jika menyelishi ayat yang qath’I yang jelas penunjukannya dan bukan
dzhonni atau kevalidan hadist sudah qathi dan penunjukan demikian atau menyelisihi ijma atau qiyas
yang jaliy maka ini bisa dibatalkan. Sebagian ulama malikiyah menadzhomkannya :
Jika seorang menetapkan sesuatu pada suatu saat, maka hukumnya bisa batal dengan empat hal :
menyelisihi nash, menyelisihi ijma, menyelisihi kaidah kulliyah dan menyelisihi qiyas jaliy tanpa adanya
kesamaran dan jika tidak ada dalilnya
Nadzhim berkata
Jika engkau tashorruf melakukan sesuatu dipindahkan untuk orang lain maka kaitkanlah dengan yang
paling bermanfaat
Berikut penyebutan sebagian pada suatu perkara yang saling berkaitan satu sama lain tidak bisa
dipecah pecah dan sama dengan penyebutan semuanya
Suatu Tindakan untuk orang lain dikaitkan dengan kemasalahatan orang lain tersebut
Makna kaidah :
Bahwasanya jika seseorang melakukan suatu Tindakan atau pengaturan untuk orang lain bisa berupa
niyabah perwakilan wasiat perwalian maka harus wajib memeperhatikan kemaslahatan orang yang
diwakili dan tidak melakukan sesuatu yang merugikan untuk orang tersebut
Dalil kaidah
Janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik
Pendalilan : Allah melarang penggunaan harta anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik dan
paling bermanfaat untuk si anak yatim tersebut dan contoh semisal ialah semua tindakan yang
mentashorufkan harta atau orang lain misal jadi wakil harus melakukan sesuatu yang paling bermanfaat
bagi yang diwakilkan. Ini juga kaedah untuk pemimpin yaitu memimpin berdasarkan kemaslahatan yang
dipimpin
Catatan untuk kaidah al khuruju minal khilaf mustahab = diantara syaratnya yaitu keluar dari khilaf tidak
menyelisihi atau merusak ijma