Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

WASIAT
Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Tafsir Maudhu’i Ibadah


Dosen Pengampu: Ansor Bahary, MA

Disusun oleh:
Muhammad Hafiz Jihadillah

Muhamad Hasin Tuba

Muhammad Zulkarnain

Raihan Mubarak

Rangga Saputra

Rangga Suhendi Putra

KELAS 5B
FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU AL-QU’RAN DAN TAFSIR
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QU’RAN JAKARTA
TAHUN AJARAN 2021-2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir Maudhu’i Ibadah yang diampu oleh Bapak Ansor Bahary, MA. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis sendiri.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu khususnya yang telah
memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan pada bidang
yang kami tekuni.

Dan tentunya kami sadar apabila dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan, baik dari segi materi maupun penulisan. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan sangat membantu untuk perbaikan makalah ini dan dalam
tugas-tugas selanjutnya.

Jakarta, 28 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTARError! Bookmark not defined. ...................................................................... ii


DAFTAR ISI..................................................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 1


B. Rumusan ................................................................................................................................ 2
C. Tujuan ................................................................................................................................... 2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wasiat ................................................................................................................. 3
B. Ayat-Ayat Yang Berkaitan Dengan Wasiat ........................................................................ 4
C. Makna Mufrodat ................................................................................................................... 6
D. Tafsir Ayat ............................................................................................................................. 7
E. Hikmah Ayat Tentang Wasiat .............................................................................................. 13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai makhluk Allah kita pasti menemui maut atau kematian. Dan hal yang selalu
berhubungan dengan peristiwa kematian adalah harta peninggalan si mayat (orang yang
meninggal) baik dari sisi pembagian ataupun siapa saja yang berhak menerima. Hal ini tidak
jarang menimbulkan perselisihan antara orang-orang yang ditinggalkan (ahli waris). Banyak
fenomena pembagian harta waris diwarnai dengan perbedaan pendapat. Seperti ada ahli waris
yang berpendapat bahwa harta harus dibagikan kepada orang-orang sesuai permintaan si
mayat sebelum meningalnya, dan ada juga yang berpendapat harus meniti hukum islam yaitu
dalam hal ini faraidh (hukum waris), sehingga pembagian harta waris tersebut berujung
dengan perselisihan yang memanjang.
Ditengah-tengah permasalahan ini hadir sebuah ketetapan hukum yang ini sebagai
salah-satu solusi atas permasalahan diatas yaitu hukum wasiat. Yang mana wasiat ini harus
dilaksanakan sebelum harta waris dibagikan kepada ahli waris dengan ketetapan maksimal
1/3 dari harta yang ditinggalkan oleh si mayat. Wasiat memperbolehkan setiap orang untuk
memiliki permintaan atas harta yang ditinggalkan, dalam artian kepada siapa pemberian harta
diutamakan. Akan tetapi wasiat juga tidak meniadakan bagian bagi ahli waris yang tidak
menerima wasiat. Hal ini dikarenakan ketetapan harta yang boleh diwasiasiatkan sudahah
ditetapkan oleh hukum agama.
Kehadiran sistem wasiat dalam hukum Islam sangat penting artinya sebagai
penangkal kericuhan dalam keluarga. Karena ada di antara anggota keluarga yang tidak
berhak menerima harta peninggalan dengan jalan warisan. Dengan demikian wasiat dapat
diartikan sebagai hal yang meminimalisir atau bahkan penghapus fenomena yang sering
terjadi dikalangan masyarakat khusunya kaum muslim. Oleh karena itu, makalah ini akan
membahas mengenai wasiat yang terdapat dalam al-Qur’an serta makna yang terkandung di
dalamnya.

1
B. Rumusan
1. Apa pengertian wasiat?
2. Apa saja ayat-ayat yang berkaitan dengan wasiat?
3. Apa makna beberapa kosa kata di dalam ayat tersebut?
4. Bagaimana penafsiran beberapa ulama dalam menafsirkan ayat tersebut?
5. Apa hikmah yang dapat diambil dari penafsiran ayat-ayat tersebut?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian wasiat.
2. Mengetahui ayat-ayat yang berkaitan dengan wasiat.
3. Mengetahui makna-makna dari kosa kata ayat tersebut.
4. Memahami penafsiran beberapa ulama mengenai ayat-ayat tersebut.
5. Mengambil hikmah dari turunnya ayat tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang
meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau memberi
pesan atau pengampuan. Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang diberikan oleh
pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi meninggal dunia.1
Wasiat juga dapat diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata washa
merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta, sedang iishaa’,
wishayaa dan washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan kepemilikkan yang disandarkan
kepada keadaan atau masa setelah kematian seseorang dengan cara tabbaru’ atau hibah, baik
sesuatu yang akan dimiliki tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna
barang.2
Wasiat berbeda dengan hibah yang merupakan tabbaru’ atau pemberian kepemilikkan
tanpa ganti, karena wasiat dilaksanakan setelah kematian sedang hibah dilaksanakan semasa
hidup. Definisi ini juga mencakup pembebasan hutang karena pembebasan hutang adalah
memberikan kepemilikkan piutang kepada orang yang berhutang.3
Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah memberikan hak secara suka
rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata atau
bukan. Sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut: wasiat itu adalah
pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat mati.4
Menurut Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan dengan: penyerahan
harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya.5
Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang
dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa
barang, piutang atau manfaat. Menurut Madzhab Syafi’i, wasiat adalah pemberian suatu hak

1
Wahbah Az-Zuhaili, opcit, h. 154
2
Ibid
3
Ibid, h. 155
4
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Pen: Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 jilid 5, h 588
5
Shalih Bin Ghanim As-Sadlan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Intisari Fiqih Islam, lengkap dengan
jawaban praktis atas permasalahan Fiqih sehari-hari, cet. 2 ; Surabaya; pustaka La Raiba Bima Amanta 2009, h.
173-174

3
yang berkuatkuasa selepas berlakunya kematian orang yang membuat wasiat sama ada
dengan menggunakan perkataan atau sebaliknya.6
Menurut Madzhab Hanbali, wasiat adalah pemberian harta yang terjadi setelah
berlakunya kematian sama ada dalam bentuk harta (‘ain) atau manfaat.7
Menurut madzhab Hanafi, wasiat adalah pemilikan yang berlaku setelah kematian
dengan cara sumbangan.8
Menurut madzhab Maliki, wasiat adalah suatu akad yang menetapkan kadar 1/3
sahaja bagi tujuan wasiat dan wasiat tersebut akan terlaksana setelah berlakunya kematian
pewasiat.9

Menurut Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, kata wasiat diambil dari kata,
‫وصيت الشيء أوصيه‬
“Aku menyampaikan sesuatu yang dipesankan kepadaku”
Maka, setelah orang yang berwasiat wafat, ia telah menyampaikan apa yang dulu akan
disampaikan semasa hidupnya. Adapun secara syara’ wasiat berarti penyerahan barang,
hutang, atau kemanfaatan kepada orang lain agar diberikan kepada orang yang diwasiati
setelah orang yang berwasiat meninggal.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa wasiat ialah pemberian
harta, hak atau manfaat oleh seseorang kepada seseorang yang lain semasa hayatnya tanpa
apa-apa balasan dan berkuatkuasa selepas kematiannya. Harta yang hendak diwasiatkan
mestilah tidak melebihi 1/3 dari keseluruhan harta si mayit.10

B. Ayat-Ayat Yang Berkaitan Dengan Wasiat


QS. Al-Baqarah ayat 180-181

َ‫علَى ْال ُمتقِين‬ ِ ‫صيةُ ِل ْل َوا ِلدَي ِْن َو ْاْل َ ْق َر ِبينَ ِب ْال َم ْع ُر‬
َ ‫وف َحقًّا‬ ِ ‫ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ ِإ ْن ت ََركَ َخي ًْرا ْال َو‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم ِإذَا َح‬ َ ِ‫ُكت‬
َ ‫ب‬
)١٨٠(

(١٨١( ‫ع ِلي ٌم‬


َ ‫س ِمي ٌع‬ َ ُ‫س ِم َعهُ فَإِن َما ِإثْ ُمه‬
َ َ‫علَى الذِينَ يُ َب ِدِّلُونَهُ ِإن َللا‬ َ ‫فَ َم ْن َبدلَهُ َب ْعدَ َما‬

6
Al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Musthafa al-Babi al-Halbi wa aula’duhu, Kairo, 1958 h. 52
7
Ibn Qudamah, Al-Mughni, juz 6, Maktabah Al-Qahiriyah, Kairo, 1970, h. 444
8
Muhammad Ja’far Shams al-Din, al-Wasiyyah wa Ahkamuhu, h. 23
9
Abdul al-Rahman bin Muhammad ‘Awad al-Jazari, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib, Juz 2, h. 250
10
Mustafa al-Khin, al-fiqh al-manhaji, juz 2, h. 255.

4
Artinya: 180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

181. Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka
Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

QS. Al-Maidah ayat 106-108

‫ان ِم ْن‬ ِ ‫ع ْد ٍل ِ ِّمن ُك ْم أ َ ْو آخ ََر‬ ِ ‫صي ِة اثْن‬


َ ‫َان ذَ َوا‬ ِ ‫ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ ِحينَ ا ْل َو‬ َ ْ‫يَا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنُوا‬
َ ‫ش َهادَة ُ بَ ْينِ ُك ْم ِإذَا َح‬
ِ ‫سونَ ُه َما ِمن بَ ْع ِد الصالَةِ فَيُ ْق ِس َم‬
‫ان ِبا ِّّللِ ِإ ِن‬ ِ ‫صيبَةُ ْال َم ْو‬
ُ ‫ت ت َحْ ِب‬ ِ ‫صابَتْ ُكم ُّم‬ َ َ ‫ض فَأ‬
ِ ‫ض َر ْبت ُ ْم فِي اْل َ ْر‬ َ ‫غي ِْر ُك ْم ِإ ْن أَنت ُ ْم‬
َ
١٠٦ َ‫َللاِ ِإنا ِإذًا ل ِمنَ اآلثِ ِمين‬ َ ‫ارت َ ْبت ُ ْم الَ نَ ْشت َِري ِب ِه ث َ َمنًا َولَ ْو َكانَ ذَا قُ ْربَى َوالَ نَ ْكت ُ ُم‬
ِّ َ ‫ش َهادَة‬ ْ
ِ‫اّلل‬
ِّ ِ‫ان ب‬ ِ َ‫ع َل ْي ِه ُم اْل َ ْولَي‬
ِ ‫ان فَيُ ْق ِس َم‬ َ ‫ان َمقَا َم ُه َما ِمنَ الذِينَ ا ْست َ َحق‬ُ ‫ان ِيقُو َم‬ِ ‫علَى أَن ُه َما ا ْست َ َحقا ِإثْ ًما فَآخ ََر‬ َ ‫عثِ َر‬ُ ‫فَإ ِ ْن‬
١٠٧ َ‫ش َهادَتِ ِه َما َو َما ا ْعتَدَ ْينَا ِإنا ِإذًا ل ِمنَ الظا ِل ِمين‬ َ ‫ش َهادَتُنَا أ َ َح ُّق ِمن‬ َ ‫َل‬
ِّ ‫ان َب ْعدَ أ َ ْي َمانِ ِه ْم َواتقُوا‬
ِّ ‫َللاَ َوا ْس َمعُواْ َو‬
َ‫َللاُ ال‬ َ ‫ذَلِكَ أَ ْدنَى أَن َيأْتُواْ ِبالش َهادَ ِة‬
ٌ ‫علَى َوجْ ِه َها أ َ ْو َيخَافُواْ أَن ت ُ َرد أ َ ْي َم‬
١٠٨ َ‫َي ْهدِي ْالقَ ْو َم ْال َفا ِسقِين‬
Artinya: 106. Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua
orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika
kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan
kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah
dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah
ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat,
dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau
demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".
107. Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di
antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan
tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah:
"Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu,
dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk
orang-orang yang menganiaya diri sendiri".

5
108. Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut
apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan
dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan bertakwalah
kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang fasik.

C. Makna Mufrodat

QS. Al-Baqarah ayat 180-181


Dalam surat al-Baqarah ayat 180-181 terdapat beberapa kata yang menjadi kata kunci dalam
penafsiran dan memahami kandungan ayat tentang wasiat ini, yaitu:

َ ‫ُك ِت‬
‫ب‬ diwajibkan.

‫ض َر‬
َ ‫َح‬ telah datang tanda-tanda maut (kematian).

‫َخي ًْرا‬ harta.

ِ ‫بِ ْال َم ْع ُر‬


‫وف‬ dengan adil, yaitu tidak boleh lebih dari
sepertiga.
ُ‫َبدلَه‬ mengubah wasiat itu.

QS. Al-Maidah ayat 106-108


Dalam surat al-Maidah ayat 106-108 terdapat beberapa kata yang menjadi kata kunci dalam
penafsiran dan memahami kandungan ayat tentang wasiat ini, yaitu:
‫ش َهادَة ُ َب ْي ِن ُك ْم‬
َ kalimat berita yang bermakna perintah yang
artiya hendaklah disaksikan.
Mengidzofahkan lafadz syahadah kepada
lafadz baina menunjukkan makna keluasan
memilih.
ُ‫ْال َم ْوت‬ tanda-tanda kematian.
ُ ‫ص ية‬ِ ‫ْال َو‬ berwasiat menunjukkan hukum wajib jika ia
syartiyah
‫غي ِْر ُك ْم‬ ِ ‫ع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم أ َ ْو آَخ ََر‬
َ ‫ان ِم ْن‬ ِ ‫اثْن‬
َ ‫َان ذَ َوا‬ oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau
dua orang selain kamu, dipahami dalam arti
bahwa kamu hai kaum beriman. Pemahaman

6
ini berawal dari redaksi yang berawal dengan
ajakan kepada orang-orang beriman. Ada
juga yang memahami dalam arti “dua orang
diantara suku atau kabilah kamu, dan jika
tidak ditemukan maka dua orang selain suku
dan kabilah kamu”.
‫ارت َ ْبت ُ ْم‬
ْ ‫ِإ ِن‬ kalau kamu ragu terhadap kebenaran
keduanya pada apa yang mereka tetapkan.

D. Tafsir Ayat
1. QS. Al-Baqarah ayat 180-181:

Penggalan ayat (Kutiba Alaikum) menunjukkan arti wajib atas apa yang diterangkannya,
sedangkan (idza hadhara ahadukum al mauta) bukan diartikan dengan waktu kematian,
karena pada waktu itu orang yang berwasiat dalam keadaan tidak mampu untuk berwasiat,
adapun yang dimaksud dengan (idza hadhara ahadukum al mauta) itu terdapat dua pendapat,
pertama yaitu yang banyak dipilih bahwa maksud dari ayat itu adalah datangnya tanda-tanda
kematian yaitu sakit yang menakutkan (berbahaya). Kedua yaitu pendapat Ashim bahwa
maksud dari ayat tersebut adalah wasiat itu diwajibkan bagi kalian dalam keadan sehat, dalam
keadaan sehat itu kalian berwasiat “jika kita meninggal, maka lakukanlah begini”, Al qodhi
berkata bahwa pendapat yang pertama lebih utama.11
Adapun maksud dari (intaraka khairan) tidak ada perbedaan pendapat di antara para
ulama, mereka sepakat bahwa yang dimaksud dengan khairan adalah harta seperti yang
banyak disebutkan dalam al quran (wa ma tunfiqu min khairin) (al-baqoroh 272), (wa innahu
lihubbi al khairi) (al-adiyat 8). Sedangkan harta yang diwasiatkan itu sendiri mempunyai dua
pendapat, pendapat yang pertama mengatakan bahwa tidak membedakan antara harta baik
sedikit atau banyak, dan ini adalah pendapat Az Zuhri, maka wasiat diwajibkan untuk semua
harta.12 Adapun yang dijadikan dalil adalah pertama bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan
wasiat dalam sesuatu jika yang ditinggalkan itu baik, sedangkan harta sedikit itu baik, adapun
yang dijadikan dasar adalah Al-Qur’an dan sesuatu yang diterima akal. Adapun dalil al-
Quran yaitu surat al zalzalah 7-8:
11
Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan ibnu Ali At Tamimi Al bakri Ar Rozi As Safi’I,
Tafsir Kabir Au Mafatih Al Ghoib jilid 3 (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, tt), hlm.51.
12
Ibid., hlm.51.

7
(٨( ُ‫) َو َم ْن يَ ْع َم ْل ِمثْقَا َل ذَرةٍ ش ًَّرا يَ َره‬٧( ُ‫فَ َم ْن يَ ْع َم ْل ِمثْقَا َل ذَرةٍ َخي ًْرا يَ َره‬
7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat
(balasan)nya. 8. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya
Dia akan melihat (balasan)nya pula.
Dan surat Al Qoshosh 24:
(٢٤) ‫ب ِإ ِنِّي ِل َما أ َ ْنزَ ْلتَ ِإلَي ِم ْن َخي ٍْر فَ ِقي ٌر‬ ِّ ِ ‫سقَى لَ ُه َما ثُم ت ََولى ِإلَى‬
ِ ِّ ‫الظ ِِّل فَقَا َل َر‬ َ َ‫ف‬
24. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, ke- mudian
Dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku".
Dalil yang kedua adalah bahwa Allah telah menetapkan beberapa hukum tentang
kewarisan bagi harta baik sedikit maupun banyak, seperti firman Allah surat An Nisa’ 7:

ِ َ‫صيبٌ ِمما ت ََركَ ْال َوا ِلد‬


‫ان َو ْاْل َ ْق َربُونَ ِمما قَل ِم ْنهُ أ َ ْو‬ ِ َ‫اء ن‬
ِ ‫س‬ ِ َ‫َصيبٌ ِمما ت ََركَ ْال َوا ِلد‬
َ ِِّ‫ان َو ْاْل َ ْق َربُونَ َو ِللن‬ ِ ‫لر َجا ِل ن‬
ِّ ِ ‫ِل‬
(٧) ‫ضا‬ ِ ‫َكث ُ َر ن‬
ً ‫َصيبًا َم ْف ُرو‬
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Maka wasiat pun diwajibkan sebagaimana diwajibkannya warisan dalam ayat
tersebut.13
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al khair dalam ayat
ini adalah khusus untuk harta yang banyak, dengan dalil bahwa jika seseorang meninggalkan
satu dirham, maka tidak dikatakan bahwa ia meninggalkan kebaikan.14 Jadi kalau harta itu
sedikit, wasiat tidak pantas dan tidak wajar dikeluarkan.15
Adapun batasan harta yang wajib untuk diwasiatkan adalah 800 dirham menurut
pendapat Ibnu Abbas, 1000 dirham menurut pendapat Qotadah, 1500 dirham menurut
pendapat An-Nakh’i.16
Sebelum diturunkannya ayat waris yang menjadi nasikh bagi ayat wasiat ini, Allah
telah menjelaskan bahwa wasiat itu wajib, adapun wasiat itu wajib diberikan kepada orang
yang disebut dalam ayat ini dengan (lil walidaini wal aqrobina), yaitu mewajibkan berwasiat

13
Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan ibnu Ali At Tamimi Al bakri Ar Rozi As Safi’I
, Op.Cit., hlm.51.
14
Ibid., hlm.51.
15
Perpustakaan Nasional RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hlm.267.
16
Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan ibnu Ali At Tamimi Al bakri Ar Rozi As Safi’I ,
Op.Cit., hlm.51.

8
untuk kedua orang tua dan kerabat dekat, akan tetapi setelah turunya ayat tentang waris, maka
ayat ini termansukh.
Dengan ditetapkannya orang tua sebagai ahli waris yang dalam setiap keadaan dalam
bab waris mendapatkan bagian warisan, maka mereka tidak boleh menerima wasiat.
Sedangkan terhadap para kerabat, maka ditetapkan dengan jalan kias. Maksudnya adalah sisa
atas nas ini tetap berlaku keumumannya bagi mereka yakni barang siapa yang tidak mewarisi
(bukan temasuk ahli waris) maka berlakulah nas wasiat ini untuk dirinya. Dan inilah pendapat
sebagian sahabat nabi Saw, dan tabi’in.17
Maksud dari (bil ma’ruf) adalah wasiat itu dilakukan dengan cara yang tidak
menyusahkan ahli waris, yakni tidak berlebihan dan tidak pula terlalu pelit. 18 Pemberian
wasiat itu harus adil dan tidak boleh melebihi sepertiga bagian dan juga tidak boleh berwasiat
kepada orang kaya sedangkan meninggalkan orang yang faqir.19
Saad bin Abi Waqos ra berkata, “ya Rasulullah, saya punya harta tetapi saya tidak
punya ahli waris kecuali seorang putri, bolehkah aku berwasiat dua pertiga dari hartaku?
jawab Nabi Saw, “tidak boleh” Saad berkata, “jika tidak boleh, maka bagaimana jika
setengah dari hartaku? jawab Nabi, “tidak boleh”, Saad berkata; “jika tidak boleh, maka
bagaimana jika sepertiga?” jawab Nabi Saw, “sepertiga itu sudah banyak, sesungguhnya jika
anda meninggalkan ahli warismu kaya itu lebih baik dari pada anda meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin, sehingga terpaksa minta kepada orang lain.”(HR. Bukhari-Muslim)
Sedangkan maksud dari (haqqon) adalah sebagai penekan atas diwajibkannya wasiat
itu, sedangkan maksud lafadz (alal muttaqin) adalah dikatakan jika dilihat dari dzahirnya
lafadz itu menandakan bahwa perintah ini dikhususkan bagi orang yang brtakwa dan tidak
untuk yang lainnya.20 Sebab jika engkau diberi Allah rezeki, janganlah sampai seketika
engkau menutup mata meninggalkan kekacauan dalam kalangan keluarga, masih juga
hendaknya engkau meninggalkan kenang-kenangan yang baik bagi mereka, yang akan
mereka ingat-ingat setelah engkau tak ada lagi. Dan amat baik tatkala wasiat itu dituliskan,
dan ada baiknya juga jika dibawa ke muka notaris.21
‫ع ِلي ٌم‬
َ ‫س ِمي ٌع‬ َ ُ‫س ِم َعهُ فَإِن َما ِإثْ ُمه‬
َ َ‫علَى الذِينَ يُ َب ِدِّلُونَهُ ِإن َللا‬ َ ‫فَ َم ْن َبدلَهُ َب ْعدَ َما‬

17
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1 (Jakarta: Gema Insani, 2000), hlm.179.
18
H. Salim Bahreisy, H. Said Bahreisy, Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2002),
hlm.337.
19
Ismail Haqqi al-Burusawa, Op.Cit., hlm.329.
20
Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan ibnu Ali At Tamimi Al bakri Ar Rozi As
Safi’I, Op.Cit., hlm.53.
21
Prof. Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 2, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2002), hlm.113.

9
Maksud dari ayat diatas adalah barang siapa yang mengubah wasiat, menambah,
mengurangi, atau menyembunyikannya, maka dosanya hanya ditanggung oleh orang yang
merubahnya sedangkan pahalanya orang yang berwasiat tetap tidak akan berkurang. Sungguh
Allah mendengar apa yang diwasiatkan oleh orang yang mati dan mengetahui perubahan atas
yang diwasiatkan.22

2. QS. Al- Maidah ayat 106-108

Ayat ini menyeru kaum beriman: Hai orang-orang yang mengaku beriman, persaksikan di
antara kamu apabila tanda-tanda dekatnya kematian telah hadir kepada salah seorang kamu
sedang dia akan berwasiat, adalah bahwa persaksian wasiat itu oleh dua orang beriman yang
adil di antara kamu, wahai kaum beriman, atau dua orang selain kamu yakni yang berlainan
agama dengan kamu jika kamu tidak menemukan yang wajar menjadi saksi dari umat yang
seagama dengan kamu, misalnya, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu
ditimpa musibah dengan hadirnya tanda-tanda kematian.23

Kata kamu dalam firman-Nya: oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang
selain kamu, dipahami dalam arti kamu hai kaum beriman. Namun ada juga yang
memahaminya dalam arti: “Dua orang adil di antara suku atau kabilah kamu, dan bila tidak
ditemukan maka dua orang selain dari suku atau kabilah kamu. Mereka yang menganut
pendapat kedua ini, agaknya enggan menerima kesaksian non-muslim terhadap orang-orang
Islam.

Ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya non-muslim menjadi saksi atas muslim
yang menolak kesaksian non-muslim menilai bahwa penggalan ayat di atas, yang
membolehkan kesaksian dimaksud telah dibatalkan hukumnya oleh ayat lain yang
memerintahkan untuk mempersaksikan saksi yang diridhai oleh kaum muslimin (al-Baqarah:
282). Ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i.

Pendapat ini tidak disetujui banyak ulama, apalagi surah al-Maidah termasuk surah
terakhir yang diterima oleh Rasul Saw. Atas dasar itu banyak ulama yang berpendapat bahwa

22
H. Salim Bahreisy, H. Said Bahreisy, Op.Cit., hlm.338.
23
M. Quraish Shihab, Op.Cit., hlm.228-229.

10
kesaksian non-muslim terhadap muslim dapat dibenarkan apalagi dalam keadaan darurat,
atau dalam perjalanan seperti bunyi ayat di atas.24

Jika kamu para ahli waris ragu tentang kesaksian mereka, maka laporkanlah kepada
penguasa (hakim). Selanjutnya ayat ini mengarahkan perintahnya kepada penguasa (hakim)
dengan menyatakan: “Hendaklah, kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat agar mereka
bersumpah.

Firman-Nya (tahbisuunahumaa/kamu tahan kedua saksi itu), maksudnya bukan dalam arti
dipenjarakan, tetapi diminta untuk tidak kemana-mana sebelum bersumpah.25

Yang dimaksud dengan shalat di sini adalah shalat Ashar, karena Nabi Saw menyumpah
‘Adi dan Tamim sesudah shalat itu, karena merupakan kebiasaan yang telah berlaku, dan
karena waktu itulah yang biasa dipergunakan para hakim untuk memutuskan berbagai
persengketaan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, jika kedua saksi itu bukan muslim, maka yang
dimaksud dengan shalat ini adalah upacara peribadatan yang berlaku dalam agama mereka.26
Selain itu waktu sesudah shalat Ashar adalah waktu beribadah bagi orang yang bukan Islam
dan satu waktu yang lebih mengingatkan orang kepada Allah. Apalagi pada waktu itu
disebutkan “shalat al-wustha”. Oleh karena dasar-dasar itulah pemeriksaan ditentukan
sesudah shalat Ashar. Di dalam hadis sahih Allah sangat murka kepada orang yang berani
berdusta dan memberikan keterangan palsu pada waktu itu.27

Dari penjelasan ayat di atas terlihat bahwa firman-Nya Kamu tahan kedua saksi itu
sesudah shalat, tidak berkaitan dengan sebelumnya, tetapi perintah kepada penguasa (hakim)
untuk menahan kedua saksi bila diragukan kesaksiannya guna diminta untuk bersumpah. Jika
demikian, maka tidak perlu adanya sumpah itu bila tidak ada keraguan terhadap mereka.

Jika diketahui bahwa keduanya melakukan dosa yang berupa kesaksian palsu dan sumpah
palsu serta mengkhianati amanat, maka hendaklah ada dua orang yang paling dekat kepada
ahli waris menyangkal kesaksian orang yang melakukan dosa saksi palsu ini. Caranya dengan
bersumpah dengan nama Allah bahwa kesaksian mereka berdua lebih benar daripada
kesaksian kedua orang terdahulu itu, dan bahwa mereka (kedua orang ahli waris) dengan
pengakuannya itu tidak melanggar kebenaran dan keadaan yang sebenarnya. Dengan

24
Ibid., hlm.230-231.
25
Ibid., hlm.231.
26
Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Op.Cit., hlm.80.
27
Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.407.

11
demikian, batallah kesaksian dua orang saksi yang pertama itu, dan berlakulah kesaksian
yang kedua.28

Yang dimaksud (asy-syahadah) adalah sumpah, sebagaimana diungkapkan dalam firman-


Nya:

َ ‫ش َهادَة ُ أَ َح ِد ِه ْم أَ ْربَ ُع‬


ٍ ‫ش َهادَا‬
ِ‫ت بِالل‬ َ َ‫ف‬

“Maka persaksikanlah orang itu empat kali bersumpah dengan nama Allah.” (an-Nur:6).

َ‫ِإنا ِإذَا لَ ِمنَ الظا ِل ِميْن‬

Dan hendaknya di dalam sumpahnya itu dikatakan pula, “Sesungguhnya kami tidak
melanggar yang hak, lalu kami bersumpah secra bathil dan dusta. Jika demikian,
sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang dzalim terhadap diri sendiri, dengan
membiarkannya menerima kemurkaan dan balasan dari Allah.”29

Kemudian Allah menjelaskan hikmah dari disyariatkannya menegakkan kesaksian


dan sumpah ini. Allah berfirman:

ٌ ‫ذَلِكَ أَدْنَى أَن يَأْتُواْ بِالش َهادَةِ َعلَى َوجْ ِه َها أَ ْو يَخَافُواْ أَن ت ُ َرد أَ ْي َم‬
‫ان بَ ْعدَ أَ ْي َمانِ ِه ْم‬

Syariat kami mengenai diwajibkannya orang yang dipercayai atas wasiat supaya
diketahui umum oleh orang-orang banyak, mengambil kesaksian setelah shalat dan
bersumpah dengan sumpah-sumpah yang berat itu, adalah cara terbaik dan terdekat, agar para
saksi menjalankan kesaksiannya secara sempurna, tanpa mengganti atau mengubahnya. Hal
ini dilakukan demi mengagungkan Allah, takut kepada adzab-Nya dan senang akan pahala-
Nya, atau takut bila aibnya terbuka. Sebab karena kelemahan jiwa keagamaannya,
kadangkala tidak merasa terhalangi untuk berdusta oleh ketakutan kepada Allah. Tetapi, dia
merasa terhalangi oleh ketakutan akan mendapat kehinaan dan terbuka aibnya di mata
manusia.30

َ‫َللاُ الَ َي ْهدِي ْالقَ ْو َم ْالفَا ِسقِين‬


ِّ ‫َللاَ َوا ْس َمعُواْ َو‬
ِّ ‫َواتقُوا‬

Akhirnya diserukanlah kepada semunya supaya bertakwa kepada Allah, supaya merasa
selalu diawasi-Nya, supaya takut kepada-Nya. Karena Allah tidak akan memberi petunjuk

28
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm.347.
29
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Op.Cit., hlm.83.
30
Ibid., hlm.83.

12
kepada orang-orang yang menyimpang dari jalan-Nya. Dia tidak akan membimbingnya
kepada kebaikan dan petunjuk.31

E. Hikmah Ayat Tentang Wasiat


1. Untuk melindungi hak ahli waris serta orang yang mendapat wasiat, maka harus
dilakukan dengan kehati-hatian, dan salah satu caranya dengan mengambil dua saksi
yang adil untuk melakukan wasiat.
2. Sumpah palsu atau bohong juga merupakan sejenis pelanggaran dan terhadap hak-
hak manusia, sekalipun yang disaksikan itu dalam perkara harta atau kekayaan.
3. Mengenai pernyataan dan sumpah orang lain, selama tidak bertentangan dengan
dalil-dalil yang ada, maka harus diterima dan dilaksanakan, tidak perlu lagi diadakan
penyelidikan.
4. Cinta dunia dan keluarga sangat berpotensi besar menyelewengkan manusia dari
melindungi hak orang lain. Cinta dunia dan keluarga dapat membuat manusia
melupakan Allah.

31
Sayyid Quthb, Op.Cit., hlm.347.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Wasiat adalah pesan - baik yang disampaikan kepada orang lain untuk dikerjakan,
baik saat hidup atau setelah kematian yang berpesan. Tetapi kata ini biasa digunakan
untuk pesan-pesan yang disampaikan untuk dilaksanakan setelah kematian yang
memberi wasiat.
2. Wasiat dihukumi wajib dilakukan, sebelum turunnya ayat tentang pembagian waris.
Tetapi sesudah turunnya ayat yang menjelaskan pembagian waris, maka kewajiban ini
mansukh, dan tetap sebagai perbuatan sunnah dan dilakukan hanya boleh dilakukan
terhadap orang yang bukan ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya oleh Allah.
3. Wasiat hendaknya dipersaksikan oleh dua orang mukmin yang adil. Disyaratkan
jumlah harta yang diwasiatkan tidak lebih dari 1/3 harta mayyit. Penerima wasiat
bukanlah seorang ahli waris. Dan tidak boleh merubah isi dari wasiat, baik itu
dilakukan oleh saksi atau orang yang menerima wasiat.

14
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah., Tafsir Al-Munir. Jil I. Juz I-II. Ed VIII Daarul Fikri. 2005
Sabiq Sayid, Fiqh Sunnah, Pen: Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala
Publishing, 2009 jilid 5
As-Sadlan, Shalih Bin Ghanim. Shalih Al-Munajjid, Syaikh Muhammad. Intisari
Fiqih Islam, lengkap dengan jawaban praktis atas permasalahan Fiqih sehari-hari, cet. 2;
Surabaya; pustaka La Raiba Bima Amanta 2009
Al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Musthafa al-Babi al-Halbi wa aula’duhu, Kairo,
1958
Ibn Qudamah, Al-Mughni, juz 6, Maktabah Al-Qahiriyah, Kairo, 1970
‘Awad al-Jazari, Abdul al-Rahman bin Muhammad, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib,
Juz 2,
Mustafa al-Khin, al-fiqh al-manhaji, juz 2,
Perpustakaan Nasional RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011)
Ismail Haqqi al-Burusawa, Op.Cit.
Hasan Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006)
Haqiy Al-Burusawa, Ismail. 2006. Tafsir Ruhul Bayan Juz 1. Lebanon: Dar al Fiqr.
Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1984. Tafsir Al Maraghi Juz 2. Semarang: Toha
Putra.
Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1987. Tafsir Al Maraghi Juz 7. Semarang: Toha
Putra.
Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan Ibnu Ali At-Tamimi
Al bakri Ar Rozi As-Safi’I. TT. Tafsir Kabir Au Mafatih Al Ghoib Jilid 3. Beirut: Dar Al
Kutub Al Ilmiyah.
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1. Jakarta: Gema Insani.
Quthb, Sayyid. 2002. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 3. Jakarta: Gema Insani.
Prof. Hamka. 2002. Tafsir Al-Azhar Juz 2. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Al-Misbah Volume 1. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Volume 3. Jakarta: Lentera Hati.
Halim Hasan, Abdul. 2006. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta: Kencana.
Bahreisy, Salim dan H. Said Bahreisy. 2002. Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Jilid
1. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2009. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewarisan, dan Perwakafan. Bandung: Nuansa Aulia.

15

Anda mungkin juga menyukai