Anda di halaman 1dari 3

PENGEMBANGAN PRIBADI KONSELOR

Dosen Pengampu:
Dra. Michiko Mamesah, M.Psi
Nama NIM Kelas
Devina Putri 1106620062 BK A 2020

Kaji dan analisa bagaimana pandangan dari para ahli yang menganut pendekatan teori konseling
aliran Psikoanalisa (Freud), Behavioristik (Skinner), dan Humanistik (Rogers) terkait pandangan
mereka tentang manusia (hakikat manusia). Lalu refleksikan ke diri sendiri lebih mendekati ke
pandangan yang mana?
PSIKOANALISA
Aliran Freudian memandang manusia sebagai makhluk yang
deterministik. Menurut Freud, tingkah laku manusia ditentukan oleh kekuatan
irasional, motivasi bawah sadar (unconsciousness motivation), dorongan (drive),
biologis dan insting, serta kejadian psikoseksual selama enam tahun kehidupan
(Komalasari, Wahyuni, & Karsih, 2011).
BEHAVIORAL
Pendekatan Behavioral berpandangan bahwa setiap tingkah laku manusia
dapat dipelajari. Proses belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan
belajar. Selanjutnya, tingkah laku lama dapat diganti dengan tingkah laku baru.
Hakikat Manusia dipandang memiliki potensi untuk berperilaku baik atau buruk, tepat
Manusia atau salah. Manusia mampu melakukan refleksi atas tingkah lakunya sendiri,
dapat mengatur serta mengontrol perilakunya dan dapat belajar tingkah laku
baru atau dapat mempengaruhi orang lain (Komalasari, Wahyuni, & Karsih,
2011).
HUMANISTIK (Person-Centered Therapy)
Pendekatan person-centered memiliki keyakinan bahwa individu pada
dasarnya baik. Hal ini dideskripsikan lagi bahwa manusia memiliki tendensi
untuk berkembang secara positif dan konstruktif realistis, dan dapat dipercaya.
Selanjutnya, setiap manusia memiliki dorongan dari dalam (inner directed)
untuk mengembangkan strategi yang berfungsi penuh. Carl Rogers memandang
manusia sebagai insan rasional, makhluk sosial, realistis dan berkembang.
Manusia yang memiliki perasaan negatif dan emosi anti-sosial merupakan hasil
dari kefrustasian atas tidak terpenuhinya impuls-impuls dasar, ide yang
berhubungan dengan hirarki kebutuhan Maslow. Selanjutnya, pendekatan ini
memandang bahwa manusia memiliki kemampuan untuk merasakan
pengalaman, yaitu mengekspresikan daripada menekan pikiran-pikiran yang
tidak sesuai dalam kehidupan ke arah yang lebih sesuai (Komasari, Wahyuni, &
Karsih, 2011).
Dari ketiga mahzab pendekatan konseling mengenai hakikat manusia, saya
merefleksikan dengan diri saya sendiri bahwa hakikat manusia yang sesuai
adalah pendapat dari pendekatan Behavior. Pendekatan behavior memandang
tingkah laku manusia sebagai hasil dari belajar, menurut saya “belajar” diartikan
sebagai proses manusia itu berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup dan
tumbuh. Lingkungan yang sangat berpengaruh dengan pembentukan
kepribadian manusia ialah keluarga dan masyarakat sekitarnya. Manusia belajar
dari lingkungan tersebut karena manusia bersifat sangat elastis, bisa dibentuk
menjadi apa dan siapa, atau berperilaku apa saja sesuai dengan lingkungan yang
dialami atau yang dipersiapkan untuknya, misalnya dengan pola asuh orang tua
yang diberikan kepada anaknya. Bagaimana cara orangtua memberikan disiplin,
Refleksi Diri hadiah, hukum, pemberian, perhatian dan tanggapan-tanggapan lain
berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Hal tersebut karena orangtua
merupakan model awal bagi anak dalam berhubungan dengan orang lain.
Selain itu, manusia dipandang dapat berpotensi berperilaku baik atau
buruk karena adanya pengaruh oleh hasil belajar dari lingkungannya serta setiap
manusia memiliki argumen tersendiri terhadap hal yang akan dilakukannya.
Bisa jadi menurut orang lain itu baik tapi belum tentu sama dengan pandangan
orang lain. Kemudian, manusia dipandang sebagai individu yang mampu
melakukan refleksi tingkah lakunya sendiri, seperti saya setiap melakukan
sesuatu sebelum dan setelahnya selalu berpikir “apa yang saya lakukan ini baik
atau engga, ya”, “sesuai atau tidak, ya?”, pertanyaan-pertanyaan tersebut
merupakan bentuk refleksi atau evaluasi seseorang ketika melakukan suatu hal.
Analisis kesenjangan antara kebahagian dengan masalah yang menghambat kebahagiaan dan cara
mengatasinya!
Saya mendefinisikan diri saya bahagia jika saya bisa quality time bersama
keluarga. Bercengkrama satu sama lain dengan anggota keluarga, saling
Kebahagiaan
support, dan menunjukkan bahwa sesama anggota keluarga memiliki
keterikatan yang kuat.
Beberapa tahun ke belakang saya cenderung lebih susah bersosialisasi,
bahkan dengan keluarga sendiri. Hal tersebut merupakan salah satu dampak
yang ditimbulkan dari adanya tindakan bullying yang pernah saya dapati kurang
lebih selama empat tahun ketika mengikuti sebuah organisasi, saya menyebut
jangka waktu empat tahun tersebut sebagai “masa kelam” dalam hidup saya.
Penghambat Lama-kelamaan dampak lainnya yang muncul adalah saya lebih nyaman ketika
Kebahagiaan sendiri, tidak ada orang lain.
Selain itu, kurang harmonisnya keluarga yang saya miliki juga menjadi
faktor penghambat untuk diri saya mencapai sebuah kebahagiaan. Ibu dan kakak
saya sangat temperamental dan selalu membuat masalah kecil menjadi besar.
Hal tersebut membuat saya tidak nyaman dan merasa lebih baik untuk
mengurangi interaksi dengan ibu dan kakak saya tersebut.
Dengan adanya kesenjangan antara kebahagiaan dan faktor yang
menghambat kebahagiaan diri saya, maka diri saya harus melakukan upaya agar
dapat mencapai kebahagiaan yang saya inginkan. Upaya tersebut adalah:
1. Saya harus dapat kembali membuka diri agar dapat berinteraksi dengan baik
lagi kepada sekitar, khususnya dengan keluarga. Meyakinkan diri bahwa
Cara “masa kelam” yang pernah saya alami sudah berakhir.
Mengatasi 2. Mencoba memahami faktor pemicu apa yang daapat membuat ibu serta
kakak bersikap temperamental.
3. Berusaha menciptakan suasana yang harmonis dan menyadarkan bahwa
saya, ibu, dan kakak adalah sebuah keluarga yang pastinya saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya.
4. Mencoba melakukan diskusi jika ada hal mengganjal terjadi di antara kami.

Anda mungkin juga menyukai