Anda di halaman 1dari 19

PROFESI KONSELOR

Sejarah Profesi Konselor dan Profesi dalam Konteks Human Services


Makalah ini disusun sebagai pemenuhan mata kuliah Profesi Konselor yang diampu oleh
Dr. Happy Karlina Marjo, M.Pd., Kons.

Disusun oleh:
Kelompok 1
Arlyn Fortuna Bayyin Alaqo 1106620019
Devina Putri 1106620062
Riza Adzkia 1106620096

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagai
syarat melengkapi tugas pada Mata Kuliah Profesi Konselor di Program Studi Bimbingan dan
Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Shalawat dan salam pada
junjungan alam Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari alam
kebodohan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Dalam proses penyusunan makalah ini hingga selesai, penulis sangat banyak
mendapat bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Dr. Happy Karlina Marjo, M.Pd., Kons. selaku dosen
pengampu pada Mata Kuliah Profesi Konselor yang telah banyak membantu meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing penulis sehingga tersusun makalah ini
sebagaimana yang diharapkan, serta seluruh rekan-rekan yang telah turut menyumbangkan
pendapat, memberi motivasi, dan bantuan lainnya semasa penulis menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan
dan banyak terdapat kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan wawasan
yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang
membangun demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 22 Januari 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................2

C. Tujuan....................................................................................................................2

D. Manfaat Penulisan.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3

A. Sejarah Profesi Konselor………………………………………………...............3

1. Sejarah Profesi Konselor di Amerika.................................................................3

2. Sejarah Profesi Konselor di Indonesia...............................................................6

B. Profesi dalam Konteks Human Services………………………………………..…...12

BAB III PENUTUP......................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Profesi berasal dari bahasa Latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian
yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas
menjadi kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang
dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti
kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut
daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik (Tarmizi, 2018). Istilah
profesi selalu menyangkut profesi, namun tidak semua pekerjaan dapat dikatakan
profesi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa profesi adalah
bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan dan
sebagainya).
Konseling merupakan profesi yang didedikasikan terhadap pencegahan,
perkembangan, eksplorasi, pemberdayaan, perubahan dan remediasi di dunia yang
semakin kompleks ini. Di masa yang lalu, konseling menekankan pada pembimbingan
dengan membantu orang-orang mengambil pilihan yang bijaksana. Saat ini
pembimbingan hanya merupakan sebagian dari profesi konseling. Keberadaan
pelayanan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani melalui suatu
proses panjang sejak kurang lebih empat puluh tiga tahun yang lalu. Pada saat itu
keberadaan pelayanan konseling dalam setting pendidikan, khususnya persekolahan
telah memiliki legalitas yang kuat dan menjadi bagian terpadu dari sistem pendidikan
nasional (Tarmizi, 2018)
Perkembangan adanya profesi yang berkecimpung dalam dunia konseling
sudah dimulai dari awal abad ke-19 di negara Amerika. Di Indonesia, profesi
konseling juga sudah bmasuk dan berkembang pada pertengahan abad ke-19. Sebagai
upaya untuk memahami lebih dalam mengenai profesi yang bergerak dalam
memberikan pelayanan untuk manusia, maka perlu diadakan pembahasan lebih lanjut
yang akan dituangkan dalam pembuatan makalah ini.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa


masalah yang akan menjadi topik pembahasan pada penyusunan kali ini, yaitu sebagai
berikut.
1. Bagaimana sejarah adanya profesi konselor di Amerika dan di Indonesia?
2. Apa yang dimaksud dengan profesi dalam konteks human services?

C. Tujuan

Adapun tujuan yang kami harapkan adalah sebagai berikut.


1. Mengetahui sejarah profesi konselor di Amerika dan Indonesia
2. Memahami profesi dalam konteks human services

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari adanya penyusunan makalah ini dapat kita lihat dari
poin-poin berikut.
1. Manfaat Teoritis
Dapat dijadikan sebagai sumber referensi yang berkontribusi untuk
meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat akademis dan umum
berkaitan dengan sejarah profesi konselor dan pembahasan profesi dalam konteks
human services.

2. Manfaat Praktis

Bagi penulis, makalah ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan


pemahaman dan menambah wawasan mengenai sejarah dari adanya profesi
konselor serta profesi dalam konteks human services.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Profesi Konselor

1. Sejarah Profesi Konselor di Amerika

Profesi konseling muncul diawali dari munculnya gerakan bimbingan di


Amerika Serikat. Para pionir gerakan bimbingan melihat adanya kebutuhan di
masyarakat dan mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada
awalnya tiga pionir ini terlibat di bidang pendidikan atau bimbingan vokasional,
studi tentang anak, reformasi hukum dan psikometri. Pada saat itu konseling
belum terdapat di dalam literatur sampai pada tahun 1931 (Aubrey, 1983 dalam
Gladding, 1992, p. 9). Evolusi profesi konseling dapat terlihat pada perjalanan
profesi ini yang disusun secara kronologis.
a. Era Tahun 1900-1909

Tiga tokoh utama pada periode ini adalah Jesse B. Davis, Frank
Parsons, dan Clifford Beers. Davis adalah orang pertama yang
mengembangkan program bimbingan yang sistematis di sekolah-sekolah. Pada
tahun 1907, sebagai pejabat yang bertanggung jawab pada the Grand Rapids
(Michigan) school system, ia menyarankan agar guru kelas yang mengajar
English Composition untuk mengajar bimbingan satu kali seminggu yang
bertujuan untuk mengembangkan karakter dan mencegah terjadinya masalah
(Gladding, 1992, p. 9). Sementara itu, Frank Parsons di Boston melakukan hal
yang hampir sama dengan Davis. Ia menfokuskan pada program
pengembangan dan pencegahan. Parsons sering disebut juga sebagai Bapak
Bimbingan atau Father of Guidance. Ia dikenal karena mendirikan Boston's
Vocational Bureu pada tahun 1908. Berdirinya biro ini merepresentasikan
langkah maju diinstitusionalisasikannya bimbingan karir (vocational
guidance) (Gladding, 1992, p. 10). Pada lembaga itu Parsons membantu
orang-orang muda dalam membuat keputusan karir. Menurut Parsons, dalam
membuat keputusan karir terkait dengan tiga faktor, yaitu: pengetahuan

3
tentang karir, pengetahuan tentang diri, dan kesesuaian antara keduanya
(Crites, 1981 dalam Gladding, 1992, p. 10).

Pada tahun 1909 Parsons menulis buku yang berjudul Choosing a


Vocation yang baru dipublikasikan satu tahun setelah wafatnya. Buku ini
banyak memberikan pengaruh pada munculnya kebutuhan terhadap konselor
karir di Sekolah Dasar dan Menengah terutama di Boston. Kebutuhan ini
diaktualisasikan dengan diselenggarakannya pelatihan untuk 117 guru untuk
menjadi konselor karir. Kemudian, program ini menyebar luas ke kota-kota
lain yang mengakui adanya kebutuhan akan adanya personil sekolah yang
membantu perencanaan karir pada siswa sekolah dasar dan menengah
(Gladding, 1992, p. 10).

b. Era Tahun 1910-1970

Pada era ini konseling mulai diinstutisionalisasikan dengan


didirikannya the National Vocational Guidance Association (NVGA) pada
tahun 1913. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat mulai memanfaatkan
pelayanan bimbingan untuk membantu veteran perang. Pada masa ini,
ditetapkan pula standarisasi untuk persiapan dan evaluasi bahan ajar karir
(vocational materials) (Gladding, 1992, p. 10). Pada dekade 1930-an,
konseling mulai meluaskan area studinya di luar bidang karir. Selain itu,
bimbingan dan konseling mulai dimasukkan di dalam kurikulum sekolah. Pada
dekade 1940-an ditandai munculnya teori konseling Non-Directive yang
dipelopori oleh Carl Rogers. Ia mempublikasikan buku yang berjudul
Counseling and Psychotherapy pada tahun 1942. Ide Rogers memberikan
pengaruh yang besar pada perkembangan konseling dan psikologi. Pada tahun
1950-an muncul pula berbagai organisasi konseling yaitu the American
Personnel and Guidance Association (APGA) dan Divisi 17 dari the American
Psychological Association (APA). Selanjutnya, disahkannya the National
Defense Education Act (NDEA) pada tahun 1958. Undang-Undang ini
memberikan dana bagi sekolah untuk meningkatkan program konseling
sekolah (Gladding, 1992, p. 13-15). Konseling mulai melakukan diversifikasi
ke area yang lebih luas diawali pada tahun 1970. Konseling mulai berkembang
di luar sekolah seperti di lembaga-lembaga komunitas dan pusat-pusat
4
kesehatan mental. Pada dekade ini mulai diwacanakan lisensi profesi
konseling. Negara bagian Virginia yang mengadopsi Undang-Undang Lisensi
Konseling pada tahun 1976 (Gladding, 1992, p. 16-17).

c. Era Tahun 1980-an

Dekade ini profesi konseling sudah lebih berkembang dengan


munculnya standarisasi training dan sertifikasi. Pada tahun 1981, dibentuk the
Council for Accreditation of Counseling and Related Educational Program
(CACREP) sebagai organisasi afiliasi dari APGA. CACREP berfungsi untuk
melakukan standarisasi pada program pendidikan konseling di tingkat master
dan doktor pada bidang konseling sekolah, konseling komunitas, konseling
kesehatan mental, konseling perkawinan dan keluarga, dan konseling di
Perguruan Tinggi (Gladding, 1992, p. 18). Pada dekade ini, dimensi lintas
budaya (cross culture) mulai ramai didiskusikan. Kemudian didirikanlah the
Association for Multicultural Counseling and Development (AMCD) yang
menfokuskan diri pada isu multikultural terutama isu rasialisme yang menguat
pada era 1980-an.

d. Era Tahun 1990-an

Pada akhir ke-19, spesialis psikiatri telah mendapat tempat


berdampingan dengan spesialis pengobatan lain. Terdapat banyak perdebatan
dan kritik terhadap berbagai praktik penanganan individu yang mengalami
gangguan psikologi mulai dari kecaman keras terhadap kekasaran dalam
penanganan pasien dan skeptisime terhadap efektivitas pendekatan medis.
Beberapa kritik menyatakan bahwa perawatan dalam komunitas lebih baik
daripada penginstitusian orang tersebut (McLeod, 2006, p. 26-27). Dengan
makin stabilnya posisi psikiatri dalam penanganan gangguan psikologis atau
yang lebih dikenal dengan "sakit mental", muncullah psikiatri sebagai
spesialisasi baru. Spesialisasi baru ini dipelopori oleh Van Ellenberger
Renterghem dan Van Eeden. Van Eeden mendefinisikan psikoterapi sebagai
"penyembuhan tubuh oleh pikiran yang dibantu oleh impuls dari satu pikiran
ke pikiran lain" (Ellenberger, 1970 dalam McLeod, 2006, p. 28). Pada era ini
hipnotis merupakan teknik yang secara umum digunakan untuk menangani

5
pasien. Hipnotis ditemukan oleh perintis teori "magnetisme bintang", Johan
Joseph Gassner (1727-1779) dan Franz Mesmer (1734-1815) (McLeod, 2006,
p. 28).

Peran yang dimainkan hipnotis dalam kemunculan psikoterapi amat


signifikan. Bourguignon (1979), Prince (1980), dan lainnya telah mengamati
ritual penyembuhan suku primitif yang bergantung pada keadaan trance atau
setengah sadar atau kondisi kesadaran yang berubah (altered states of
conciousness). Kemunculan mesmerisme dan hipnotis pada abad ke 18 dan 19
di Eropa, dan transformasi mereka kepada psikoterapi dapat dilihat sebagai
asimilasi bentuk kultur tradisional dengan ilmu kedokteran modern.
Berkenaan dengan tingginya popularitas mesmerisme di Amerika di abad ke-
18, Cushman (1995) menulis, "hingga tingkat tertentu, mesmerisme
merupakan psikoterapi sekuler pertama di Amerika, sebuah cara untuk
memberikan pelayanan psikologi kepada penduduk Amerika yang tidak
berada di bawah gereja (p. 199 dalam McLeod, 2006, p. 28). Figur kunci
dalam transformasi dari hipnosis ke psikoterapi adalah Sigmund Freud.
Setelah menghabiskan empat bulan bersama Charcot di Paris, Sigmund
kembali ke Vienna untuk mendirikan praktik psikiatri pribadi. Dia
meninggalkan teknik hipnosis dan memilih untuk mengembangkan teknik
psikoanalisisnya sendiri yang didasarkan pada asosiasi bebas (free
association) dan interpretasi mimpi (dream interpretation).

2. Sejarah Profesi Konselor di Indonesia

Sejak awal tahun 1960 an sampai dewasa ini terdapat beberapa peristiwa
penting yang menjadi tonggak-tonggak sejarah perkembangan bimbingan dan
konseling di Indonesia, yaitu:

a. 1960 sampai 1970

Diawalinya wacana tentang bimbingan dan penyuluhan di tanah air.


Bimbingan dan pendidikan dikehendaki dimasukkan ke dalam kegiatan
sekolah untuk menunjang misi sekolah mencapai tujuan pendidikannya. Untuk
itu jurusan bimbingan dan penyuluhan didirikan guna menghasilkan tenaga
pembimbing dan penyuluh pendidikan yang akan bekerja di sekolah.
6
b. Tahun 1971

Berdirinya Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada


delapan IKIP, yaitu IKIP Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang,
Malang, Surabaya, dan IKIP Manado. Melalui proyek ini pelayanan
bimbingan dan penyuluhan ikut dikembangkan. Setelah beberapa kali loka
karya yang dihadiri oleh beberapa pakar pada waktu itu, berhasil disusun buku
Pola Dasar Rencana Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan. Selanjutnya
buku ini dimodifikasi menjadi buku Pedoman Operasional Pelayanan
Bimbingan pada Proyek-Proyek Perintis Sekolah Pembangunan.

c. Tahun 1975
1) Lahir dan berlakunya Kurikulum Sekolah Menengah Umum yang disebut
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum sebelumnya (kurikulum
1968). kurikulum 1975 memuat beberapa pedoman pelaksanaan kurikulum
tersebut, yang salah satunya adalah Buku Pedoman Bimbingan dan
Penyuluhan.
2) Diadakannya Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang yang berhasil
melahirkan beberapa keputusan penting, yaitu:
a) Terbentuknya organisasi profesi bimbingan dengan nama Ikatan
Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI),
b) Tersusunnya AD/ART IPBI, kode etik jabatan konselor dan program
kerja IPBI periode 1976 – 1978.
c) Konvensi itu diikuti oleh beberapa kali konvensi dan kongres yang
diadakan secara berturut-turut di Salatiga, Semarang, Bandung,
Yogyakarta, Denpasar, Padang, Surabaya dan Lampung.
d. Tahun 1978

Diselenggarakannya program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan


penyuluhan di IKIP. Tujuannya untuk menghasilkan tenaga pembimbing dan
penyuluh pendidikan yang berkualifikasi setaraf diploma (D2 dan D3) yang
dapat secara resmi diangkat oleh pemerintah bekerja di sekolah. Hal ini untuk
mengatasi sulitnya pengangkatan tamatan jurusan BP (setingkat sarjana) yang
telah dihasilkan oleh IKIP yang sampai saat itu belum ada jatah
pengangkatannya, padahal kekosongan jabatan guru bimbingan di sekolah

7
perlu diisi. Demikian pula tamatan program-program setingkat diploma itulah
yang pertama kali diangkat sebagai guru bimbingan di sekolah.

e. Tahun 1989
1) Lahirnya Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam
lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi keputusan ini
ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling di sekolah, disamping itu adanya kenaikan pangkat jabatan guru
pembimbing.
2) Lahirnya undang-undang Republik Indonesia No 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan/atau latihan bagi perannya masa yang akan datang. Dalam hal ini kata
bimbingan diwujudkan dalam bentuk pelayanan bimbingan dan konseling
di sekolah untuk mengembangkan kepribadian peserta didik dalam upaya
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya lahirnya Peraturan Pemerintah
No 28 dan 29 Tahun 1990 yang secara tegas mencantumkan adanya
pelayanan bimbingan pada satuan-satuan pendidikan (masing-masing pada
Bab X pasal 25 dan 27).
f. Tahun 1991 – 1993.

Dibentuk devisi-devisi dalam IPBI yaitu: Ikatan Pendidikan Konselor


Indonesia (IPKON), Ikatan Guru Pembimbing Indonesia (IGPI), Ikatan
Sarjana Konseling Indonesia (ISKIN). Diperjuangkan oleh IPBI jabatan
fungsional tersendiri dan terwujud, supaya profesionalisasi pelayanan
bimbingan dan konseling di sekolah akan lebih terjamin keterlaksanaannya
dengan berhasil.

g. Tahun 1993 – 1996.


1) Perjuangan IPBI di atas membuahkan hasil dengan diberlakukannya: SK
Menpan No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya. Dalam SK ini bimbingan dan penyuluhan secara resmi diganti
dengan Bimbingan dan Konseling (disingkat BK). Pelaksana BK di

8
sekolah adalah Guru Pembimbing yang secara eksplisit dibedakan dari
jenis guru lainnya. Dengan demikian guru pembimbing merupakan jabatan
fungsional tersendiri di antara jabatan-jabatan fungsional guru lainnya.
2) Sejak tahun 1993 diselenggarakan penataran guru-guru pembimbing SLTP
dan SLTA seluruh Indonesia di PPPG Keguruan.
3) Sarjana (S1) bimbingan dan konseling lulusan jurusan PPB/BK mulai
diangkat menjadi guru pembimbing di sekolah.
4) Digalangnya kerjasama antara IPBI, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah dan IKIP Malang dalam penyelenggaraan Sertifikasi
Kewenangan Testing bagi profesional bimbingan dan konseling.
Kerjasama ini masih berlaku sampai sekarang (sejak 1995). Para tamatan
program ini memiliki kewenangan menyelenggarakan tes intelegensi dan
bakat untuk keperluan pelayanan bimbingan dan konseling.
5) Dibentuknya divisi baru dalam lingkungan IPBI:
a) Ikatan Dosen Pembimbing Indonesia (IDPI)
b) Ikatan Instrumentasi Bimbingan dan Konseling (IIBKIN)
h. Tahun 1996 – 2000.
1) Diterbitkan dan diberlakukannya Pedoman Musyawarah Guru
Pembimbing (MGP). MGP adalah himpunan guru pembimbing yang
secara berkala mengadakan pertemuan untuk mengembangkan program
dan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah.
2) Disusun sejumlah panduan untuk digunakan dalam pelaksanaan bimbingan
dan konseling di sekolah. Panduan ini disusun oleh IPBI berdasarkan hasil
seminar dan lokakarya yang khusus diadakan untuk itu. Panduan itu
meliputi:
a) Panduan penyusunan program bimbingan dan konseling di sekolah.
b) Panduan penjurusan siswa SLTP dan SLTA.
c) Panduan bimbingan teman sebaya.
d) Panduan bimbingan kegiatan kelompok belajar.
e) Panduan penilaian hasil layanan bimbingan dan konseling.
f) Panduan manajemen bimbingan dan konseling di sekolah.
3) Disusun dan diterbitkannya buku seri pemandu pelaksanaan bimbingan
dan konseling di sekolah (SPP-BKS)
a) Buku 1 : Bimbingan dan konseling di SD
9
b) Buku 2 : Bimbingan dan konseling di SLTP
c) Buku 3 : Bimbingan dan konseling di SMA
d) Buku 4 : Bimbingan dan konseling di SMK
4) Perubahan 10 IKIP Negeri menjadi Universitas Negeri dan dua STKIP
Negeri menjadi IKIP negeri dengan arah wider mandate (perluasan
mandat). IKIP yang semula hanya menyeleggarakan juga program non
kependidikan. Dalam suasana wider mandate itu universitas mantan IKIP
berupaya mengembangkan fakultas dan program program studinya.
Program yang memangku bidang bimbingan dan konseling berupaya lebih
menegaskan nama dan keberadaan bimbingan dan konseling, banyak di
antara jurusan yang semula bernama PPB diubah menjadi Bimbingan dan
konseling.
5) Salah satu bentuk nyata wider mandate dalam bidang bimbingan dan
konseling adalah diselenggarakannya rintisan program Pendidikan Profesi
Konselor (PPK) untuk menyiapkan/calon penyandang gelar profesi
bimbingan dan konseling, yaitu konselor. Rintisan PPK ini
diselenggarakan sejak tahun 1999 pada Jurusan Bimbingan dan Konseling
Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Padang (UNP).
i. Tahun 2001 – 2002
1) Diselenggarakannya Kongres IX IPBI di Lampung.

Salah satu keputusan kongres IPBI ke IX yang berlangsung di


Lampung pada tanggal 15 – 17 Maret 2001 ialah mengubah nama
organisasi IPBI yang dibentuk tanggal 17 Desember1975 di Malang
menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
pemunculan nama ini dilandasi oleh pikiran bahwa organisasi bimbingan
dan konseling harus tampil sebagai organisasi profesi dengan nama yang
jelas, eksplisit serta mendapat pengakuan dan kepercayaan publik. Secara
keorganisasian perubahan nama ini membawa implikasi kepada keharusan
melakukan konsolidasi dan penataan organisasi sebagai suatu organisasi
profesi. Keutuhan organisasi harus dipertahankan dengan menggunakan
perekat profesi dan bukan perekat person. Secara keilmuan, teknologi, seni
dan profesi, perubahan nama membawa implikasi bagi upaya-upaya

10
pengokohan identitas profesi, penegasan lingkup layanan, keterkaitan
dengan profesi lain yang sejenis dan setting layanan.

2) Dimulainya langkah profesionalisasi tenaga kependidikan oleh Derektorat


Jenderal Pendidikan Tinggi, dalam hal ini Derektorat Pembinaan
Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.
Derektorat ini membentuk tim yang terdiri dari: Prof. Prayitno, Prof.
Sunaryo Kartadinata, Dr. Mungin Eddy Wibowo, Dr. Ahman, Drs.
Samsuddin. Untuk menyusun konsep tentang standar profesionalisasi
profesi konseling yang didalamnya tercakup; pengertian, tujuan, visi, misi,
standar profesi, kode etik, sertifikasi, lisensi dan akriditasi tenaga dan
lembaga pendidikan bimbingan dan konseling.
3) Disusunnya kompetensi guru pembimbing oleh Derektorat SLTP, Ditjen
Dikdasmen. Derektorat ini membentuk tim yang terdiri dari; Prof.
Prayitno, Prof. Sunaryo Kartadinata, Dr. Mungin Eddy Wibowo, Dr.
Ahman dan Drs. Agus Mulyadi, M. Pd, yang secara khusus diserahi tugas
menyusun kompetensi guru pembimbing beserta bahan-bahan
penunjangnya. Bahan-bahan ini selanjutnya akan dijadikan materi
pelatihan guru pembimbing di seluruh Indonesia.
4) Dilanjutkan program rintisan pendidikan profesi konselor (PPK) di
Universitas Negeri Padang: Program rintisan itu telah menghasilkan lima
orang konselor (diwisuda tahun 2001) yang semuanya adalah dosen pada
jurusan Bimbingan dan Konseling FIP UNP. Oleh karena program yang
semula merupakan rintisan itu sekarang telah memiliki dosen yang
bergelar konselor, maka program tersebut telah dapat menerima
mahasiswa secara reguler. Oleh Dirjen Dikti program ini diharapkan dapat
membina konselor yang memenuhi kriteria profesi Internasional.
Sementara itu untuk lulusan PPK diupayakan diperolehnya izin praktik
pribadi melalui pengurus besar ABKIN.
5) Dilanjutkannya penerbitan suara pembimbing dengan nama baru yaitu
jurnal bimbingan dan konseling sebagai terbitan resmi ABKIN. Penerbitan
itu dikelola oleh pengurus besar ABKIN.
6) Diterbitkannya jurnal KONSELOR sebagai wadah penerbitan yang
memuat wacana serta kajian yang mendalam dan hasil-hasil penelitian

11
tentang bimbingan dan konseling. Jurnal ini dikelola oleh jurusan
bimbingan dan konseling FIP UNP bekerja sama dengan program studi
bimbingan dan konseling Program Pascasarjana UNP.
j. Tahun 2003 – 2005.

Pada masa ini lahirnya Undang-undang sistem pendidikan Nasional No


20 tahun 2003, BAB I pasal 6 menetapkan bahwa pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyasuara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. Dengan lahirnya undang-undang sistem pendidikan nasional ini,
maka sebutan untuk guru pembimbing di sekolah tidak ada lagi, yang ada
adalah konselor. Demikian pula penempatan guru menjadi petugas bimbingan
dan konseling tidak tepat, karena konselor berlatar belakang pendidikan
bimbingan dan konseling.

k. Tahun 2008.

Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional


mengkualifukasikan bahwa konselor adalah pendidik, maka Permendiknas No
27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Konselor (SKAKK) memberikan batasan kepada pemegang profesi konselor,
yaitu sarjana bimbingan dan konseling (S-1 bimbingan dan konseling) yang
telah menamatkan program pendidikan profesi konselor (PPK). Dalam
permendiknas tersebut dikemukakan empat kompetensi (pedagogik,
kepribadian, sosial, profesional) yang terdiri dari 17 butir kompetensi inti dan
lebih jauh dirinci menjadi 76 kompetensi (lihat peraturan menteri pendidikan
nasional nomor 27 Tahun 2008). Memperhatikan hal-hal tersebut di atas,
tampak bahwa bidang pelayanan bimbingan dan konseling secara terus
menerus dan konsisten membina diri menjadi suatu pelayanan profesi yang
semakin mantap, tidak hanya untuk para pengguna pelayanan bimbingan dan
konseling yang berstatus peserta didik di sekolah, juga untuk warga
masyarakat luas di luar sekolah.

12
B. Profesi dalam Konteks Human Services

Profesi human services adalah sebuah profesi yang berada dalam bidang
pelayanan terhadap manusia. Sejumlah ahli seperti (Mc Cully, Tolbert dan Nugent
dalam Prayitno, 2002) telah merumuskan syarat syarat atau ciri-ciri utama dari suaru
profesi sebagai berikut: Suatu profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang
memiliki fungsi dan kebermaknaan sosial yang sangat menentukan. Syarat ini nyata
dipenuhi, karena klien yang menerima layanan adalah anggota masyarakat, mereka
berasal dari anak-anak sekolah dan mahasiswa; anggota keluarga atau kelompok atau
perkumpulan dalam masyarakat; pejabat, pegawai atau karyawan instansi atau
lembaga kerja dari pemerintah atau swasta; para penyandang cacat atau ketunaan,
termasuk narapidana; serta individu-individu warga masyarakat yang berada dalam
kondisi tertentu sehingga memerlukan pelayanan konseling. Pelayanan konseling
bukan untuk konseling itu sendiri melainkan untuk memajukan kehidupan warga
masyarakat, untuk kebahagiaan dan kesejahteraan serta kemaslahatan hidup individu
dalam bermasyarakat.
Dalam mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan pelayanan sosial yang
dilaksanakan sebaik dan setulus mungkin (Wibowo, 2018). Tiga kata kunci yaitu
pelayanan, baik atau berkualitas, dan tulus.
Pelayanan merupakan bantuan bagi orang yang memerlukan, dengan demikian
pengertian dari pelayanan adalah suatu kegiatan yang sifat dan arahnya menuju
kondisi yang lebih baik dan membahagiakan bagi orang yang dilayani. Orang yang
memerlukan itu adalah orang-orang yang sedang berada dalam suatu kondisi kritis
dan terancam mengalami hambatan dan kerugian tertentu, apabila kondisi seperti ini
tidak diatasi, maka kondisi kritis tersebut akan berlanjut atau bahkan semakin parah
yang akan mengakibatkan semakin besarnya hambatan dan kerugian yang diderita.
Untuk itulah diperlukan mengatasi kondisi yang dialami individu mendapat bantuan
berupa pelayanan yang dimaksudkan itu. Orang yang mengalami masalah dalam
konseling adalah orang-orang yang normal yang dimaksud dengan masalah dalam
bimbingan dan konseling adalah sesuatu yang mengganggu aktivitas individu sehari-
hari, dengan ciri-cirinya: sesuatu yang tidak disukai adanya, sesuatu yang ingin
ditiadakan keberadaannya dan sesuatu yang menimbulkan kesulitan dan kerugian bagi
orang yang mengalami masalah tersebut.

13
Baik berkenaan dengan kualitas pelayanan itu sendiri. Profesi bukanlah
sembarang pelayanan, melainkan pelayanan yang berkualitas tinggi. Pelayanan yang
menggunakan teori dan metode ilmiah, jelas, eksplisit dan sistematik. Dengan
pelayanan yang berkualitas tinggi itu upaya mengatasi kondisi kritis serta mengurangi
hambatan dan kerugian yang akan ditimbulkan menjadi efektif dan efisien. Pelayanan
profesi bukanlah pekerjaan coba-coba ataupun asal-asalan, asal jadi, atau yang
penting selesai dan tujuan tercapai tanpa mempedulikan cara dan metode, yang
penting ada usaha dan ada hasil, melainkan pelayanan yang cermat, cekatan dan
cerdas sehingga hasilnya maksimal.
Ketulusan dari si pemberi layanan (konselor). Dengan ketulusan itu dapat
dipahami bahwa pelayanan diberikan dengan sukarela atau setidak-tidaknya tanpa
rasa terpaksa, pelayanan diberikan tanpa pamrih atau setidak-tidaknya tanpa tujuan
yang bersangkut paut dengan kepentingan pribadi si pemberi layanan itu, satu-satunya
pamrih yang amat ditonjolkan adalah kehendak agar orang yang dilayani itu
memperoleh bantuan dengan kemanfaatan yang sebesar-besarnya sehingga kondisi
kritis yang dialami dapat dientaskan, hambatan dapat teratasi dan kerugian dapat
tercegah. Pelayanan yang tulus tercermin dari kesediaan berkorban dari pihak si
pemberi layanan, korban waktu, pikiran, tenaga dan boleh jadi urusan keluarga dan
harta benda. Dalam ketulusan pelayanan itu, orang yang memerlukan bantuan tidak
akan diabaikan, apalagi disia-siakan, kepentingan mereka dinomorsatukan,
mengalahkan kepentingan pribadi si pemberi layanan tidak menghitung untung rugi
terhadap dirinya sendiri yang diperhitungkan justru keuntungan bagi si penerima
(konseli) layanan.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Profesi konseling muncul diawali dari munculnya gerakan bimbingan di


Amerika Serikat. Para pionir gerakan bimbingan melihat adanya kebutuhan di
masyarakat dan mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Banyak
peristiwa sejarah, seperti revolusi industri di Amerika Serikat, menyebabkan munculnya
profesi untuk membantu orang dengan masalah sosial, pribadi dan kejuruan. Profesi konseling
berkembang dari tradisi dan praktik untuk membantu orang secara resmi menilai kebutuhan
mereka, intervensi desain, dan menyediakan layanan untuk membantu orang dalam
mengidentifikasi masalah, mengembangkan kesadaran diri, membuat keputusan yang
mengubah hidup, pemecahan masalah, serta membangun hubungan pribadi dan sosial yang
sehat. Dengan demikian, konselor profesional dalam berbagai latar kerja menyediakan
berbagai layanan untuk membantu klien memaksimalkan pengembangan potensi manusia,
memeriksa cara untuk mencegah hambatan dalam perkembangan dan mengubah perilaku atau
situasi kehidupan yang menyebabkan masalah mereka.
Profesi konselor juga dikatakan sebagai human services karena pelayanan konseling
bukan untuk konseling itu sendiri melainkan untuk memajukan kehidupan warga
masyarakat, untuk kebahagiaan dan kesejahteraan serta kemaslahatan hidup individu
dalam bermasyarakat. Dalam mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan pelayanan
sosial yang dilaksanakan sebaik dan setulus mungkin (Wibowo, 2018). Tiga kata
kunci yaitu pelayanan, baik atau berkualitas, dan tulus.

B. Saran

Makalah ini masih banyak terdapat kekurangan sehingga ke depannya


diharapkan dapat menyajikan makalah yang lebih komprehensif dalam membahas
sejarah profesi konselor dan profesi dalam konteks human services.

15
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, H. (2019). Faktor-Faktor Kesulitan Belajar Siswa Min Janti. JDPP Jurnal Dimensi
Pendidikan dan Pembelajaran, 7(1), 1-4.

Fadilah, S. N. (2019). Layanan Bimbingan Kelompok dalam Membentuk Sikap Jujur Melalui
Pembiasaan. Islamic Counseling, 3(2), 167-178.

Gladding, S. T. (1992). Counseling a comprehensif profession, 2nd ed. New York: Maxwel
MacMillan International.

Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Padang: Ghalia Indonesia.

Prayitno. (2000). Dasar-dasar Bimbingan Konseling, Proses Belajar Mengajar. Jakarta:


Rineka Cipta.

Prayitno, dkk. (2002) Profesi dan Organisasi Profesi Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar & Menengah
Direktorat SLTP.

Prayitno. (2004). Buku Seri Bimbingan dan Konseling Layanan Bimbingan dan Konseling
Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tarmizi. (2018). Profesionalisasi Profesi Konselor Berwawasan Islami. Jakarta: Perdana


Publishing.

Wibowo, M. E. (2018). Profesi Konselor Abad 21. Semarang: UNNES Press.

16

Anda mungkin juga menyukai