Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Gaya Belajar dan kaitannya dengan Teori Kecerdasan Jamak


(Multiple Intelligences)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran
yang Diampu Oleh Drs. Djunaedi, M.Pd

Disusun oleh:

Adilah Tsabirah Irsa 1106620059


Arlyn Fortuna Bayyin Alaqo 1106620019
Devina Putri 1106620062
Levi Hartha Teguh Nugraha 1106620049
Silvia 1106620006
Shafa Eisya Bunga Aprilla 1106620050
Yolanda Az-Zahra Putri 1106620066

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2021

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
sebagai syarat melengkapi tugas pada Mata Kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran di
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Shalawat dan salam pada
junjungan alam Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari alam
kebodohan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Dalam proses penyusunan makalah ini hingga selesai, penulis sangat banyak
mendapat bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Drs. Djunaedi, M.Pd selaku pengampu pada Mata
Kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran yang telah banyak membantu meluangkan waktu,
tenaga dan pikirannya untuk membimbing penulis sehingga tersusun makalah ini
sebagaimana yang diharapkan, serta seluruh rekan-rekan yang telah turut menyumbangkan
pendapat, memberi motivasi, dan bantuan lainnya semasa penulis menyelesaikan makalah
ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan dan banyak terdapat kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan
dan wawasan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan
yang membangun demi perbaikan dan kesempurnan makalah ini.

Jakarta, 09 September 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I (PENDAHULUAN).................................................................................................
A. Latar Belakang..........................................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................
D. Manfaat Penulisan.....................................................................................................
BAB II (PEMBAHASAN)..................................................................................................
A. Pengertian Gaya Belajar dan Pengaruhnya terhadap Belajar...................................
B. Macam-macam Gaya Belajar....................................................................................
1. Gaya Belajar V-A-K..............................................................................................
2. Gaya Field Independent (FI) & Gaya Field Dependent........................................
a. Gaya Field Independent (FI)..............................................................................
b. Gaya Field Dependent (FD)............................................................................10
3. Kecerdasan Jamak (Multiple Intelligences)........................................................13
a. Kecerdasan Linguistik.....................................................................................15
b. Kecerdasan Logika-Matematika......................................................................15
c. Kecerdasan Spasial-Visual..............................................................................16
d. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani.......................................................................16
e. Kecerdasan Musikal........................................................................................16
f. Kecerdasan Interpersonal................................................................................17
g. Kecerdasan Intrapersonal................................................................................17
h. Kecerdasan Naturalis.......................................................................................18
i. Kecerdasan Eksistensial..................................................................................18
j. Kecerdasan Spiritual........................................................................................18
C. Keterkaitan Gaya Belajar dengan Teori Kecerdasan Jamak...................................19
BAB III (PENUTUP).........................................................................................................22
A. Kesimpulan.............................................................................................................22
B. Saran.......................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................24

ii
BAB I (PENDAHULUAN)

A. Latar Belakang

Peserta didik pada umumnya memiliki gaya belajar yang berbeda–beda, ada
yang gaya belajarnya visual, auditorial, ataupun kinestatik maupun yang lainnya.
Kemampuan peserta didik untuk memahami dan menyerap pelajaran pun memiliki
tingkatan yang berbeda (Riyanto, 2010). Hanya gaya belajar yang sesuai dengan
dirinyalah yang dapat membantu dalam memahami pengetahuan dan menyerap
informasi.

Hingga kini masih banyak peserta didik yang kesulitan untuk menentukan
gaya belajar yang sesuai dengan dirinya sehingga dalam proses pembelajaran
mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, perlulah ada pembahasan
mengenai penjabaran apa itu gaya belajar dan macam-macamnya agar dapat
membantu peserta didik dalam menentukan gaya belajar yang akan ia jadikan
sebagai acuan untuk keefektifan proses belajar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa


masalah yang menjadi topik pada penyusunan makalah kali ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara gaya belajar dan pengaruhnya terhadap belajar?

2. Apakah makna dan pengertian dari macam-macam seperti gaya belajar V-A-K,
Gaya Field Independent (FI) & Field Dependent (FD), dan gaya belajar menurut
multiple intelligences?

3. Bagaimana kaitan antara gaya belajar dengan teori kecerdasan jamak?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini ialah memberikan gambaran terhadap


penjelasan gaya belajar dan kaitannya dengan teori kecerdasan jamak (multiple
intelligences).

D. Manfaat Penulisan

1
Manfaat yang hendak dicapai dari penyusunan makalah ini dapat kita lihat
pada poin-poin berikut.

1. Manfaat Teoritis

Dapat dijadikan sebagai sumber referensi yang berkontribusi untuk


meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat akademis dan umum
berkaitan dengan pembahasan gaya belajar dan kaitannya dengan teori
kecerdasan jamak.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi penulis, menambah wawasan mengenai pembahasan materi gaya belajar


dan kaitannya dengan teori kecerdasan jamak.

b. Bagi profesi dan tenaga kependidikan, dapat dijadikan dasar dalam mengedukasi
peserta didik.

c. Bagi masyarakat, dapat membantu memahami terkait gaya belajar serta


kaitannya dengan teori kecerdasan jamak.

2
BAB II (PEMBAHASAN)

A. Pengertian Gaya Belajar dan Pengaruhnya terhadap Belajar

Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984: 302), gaya berarti


ragam (cara, rupa, bentuk, dan sebagainya). Sedangkan belajar adalah suatu kegiatan
individu yang berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu
pengetahuan dapat berupa pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara
mengolah bahan belajar atau interaksi dengan lingkungan. Jadi gaya belajar adalah
ragam (cara, rupa, bentuk, dan sebagainya) yang digunakan dalam suatu kegiatan
individu yang berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh pengetahuan
dapat berupa pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah belajar
atau interaksi dengan lingkungan.

Menurut Bobbi Deporter dan Mike Hernacki, gaya belajar merupakan suatu
kombinasi dari bagaimana ia menyerap dan kemudian mengatur serta mengolah
informasi. Gaya belajar menurut Keefe yang dikutip oleh Sri Rumini adalah suatu
karakteristik kognitif, afektif dan perilaku psikomotorik, sebagai indikator yang
bertindak relative stabil untuk pembelajar merasa saling berhubungan dan bereaksi
terhadap lingkungan belajar. Definisi lain dikemukakan oleh Kolb yang mengatakan
bahwa gaya belajar merupakan metode yang dimiliki individu untuk mendapatkan
informasi, yang pada prinsipnya gaya belajar merupakan bagian integral dalam
siklus belajar aktif. Menurut Nasution, yang dinamakan gaya belajar adalah cara
yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid dalam menangkap stimulus atau
informasi, cara mengingat, berpikir dan memecahkan masalah. Gaya belajar adalah
variasi cara yang dimiliki seseorang untukmengakumulasi serta mengasimilasi
informasi pada dasarnya gaya belajar adalah metode yang terbaik memungkinkan
dalam mengumpulkan dan menggunakan pengetahuan secara spesifik.

Belajar merupakan suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku
individu sebagai hasil dari pengalaman (Winataputra, 2008). Belajar merupakan
suatu perubahan dalam kemampuan yang bertahan lama dan bukan berasal dari
proses pertumbuhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar yang dilakukan

3
seseorang mengacu pada perubahan perilaku orang tersebut sebagai hasil dari
pengalaman.

Gaya belajar merupakan faktor intern yang mempengaruhi prestasi belajar


peserta didik. Gaya belajar juga merupakan kunci untuk mengembangkan kinerja
dalam pekerjaan, di sekolah, dan dalam situasi-situasi antar pribadi (Hamalik, 2003).
Belajar memerlukan konsentrasi yang tinggi agar dapat memahami konsep yang
dipelajari. Situasi dan kondisi untuk berkonsentrasi sangat berhubungan dengan
gaya belajar. Jika seseorang dapat mengenali gaya belajar sendiri, maka orang
tersebut dapat mengelola pada kondisi apa, di mana, kapan dan bagaimana
seseorang dapat memaksimalkan belajar. Hanya gaya belajar yang sesuai dengan
dirinyalah yang dapat membantu dalam memahami pengetahuan dan menyerap
informasi. Namun tidak sedikit peserta didik yang memiliki kesulitan dalam
menentukan gaya belajar yang efektif. Pola belajar yang buruk dan tidak teratur,
berpotensi menurunkan prestasi belajar sumatifnya. Untuk mengidentifikasi
kecenderungan gaya belajar, telah dikembangkan beberapa model pengukuran di
antaranya Kolb’s Learning Style Inventory atau Kolb’s LSI (1981 dalam Adel et.al.,
2001), Canfield’LSI (1983), dan model Myers Briggs Type Indicators atau MBTI
(Tanta, 2010).

B. Macam-macam Gaya Belajar

Individu dalam belajar memiliki berbagai macam cara, ada yang belajar
dengan cara mendengarkan, ada yang belajar dengan membaca, serta belajar dengan
cara menemukan. Cara belajar peserta didik yang berananeka ragam tersebut disebut
sebagai gaya belajar (learning style) yang dipengaruhi oleh pengalaman, jenis
kelamin, etnis (Philibin, et.al., 1995) dan secara khusus melekat pada setiap
individu. Adapun macam-macam gaya dalam belajar adalah sebagai berikut.

1. Gaya Belajar V-A-K

Berdasarkan preferensi sensori atau kemampuan yang dimiliki otak


dalam menyerap, mengelola dan menyampaikan informasi, maka gaya belajar
individu dapat dibagi dalam tiga kategori. Menurut Bobbi De Porter, ketiga

4
kategori tersebut adalah gaya belajar visual, auditorial dan kinestetik yang
ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu.

Gaya belajar visual (visual learners). Pada gaya belajar visual lebih
menitikberatkan pada ketajaman penglihatan. Peserta didik dengan macam gaya
belajar seperti ini mengandalkan penglihatan untuk melihat buktinya terlebih
dahulu sebelum mereka mempercayainya. Menurut De Porter, seseorang dengan
gaya belajar visual memiliki ciri-ciri sebagai berikut: rapi dan teratur; berbicara
dengan tepat; perencana dan pengatur jangka panjang yang baik; teliti terhadap
detail; mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi;
pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran
mereka; mengingat apa yang dilihat daripada yang didengarkan; mengingat
dengan asosiasi visual; biasanya tidak terganggu oleh keributan; mempunyai
masalah untuk mengingat instruksi verbal, kecuali jika ditulis dan sering kali
meminta bantuan orang untuk mengulanginya; pembaca cepat dan tekun; lebih
suka membaca daripada dibacakan; membutuhkan pandangan dan tujuan yang
menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang
suatu masalah atau proyek; mencorat-coret tanpa arti selama berbicara di telepon
dan dalam rapat; lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain; sering
menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak; lebih suka
melakukan demonstrasi daripada berpidato; dan lebih suka seni daripada musik.

Upaya mempermudah proses belajar peserta didik dengan gaya belajar


visual ini, maka dapat ditempuh beberapa strategi antara lain: menggunakan
materi visual, seperti gambar, diagram, dan peta; menggunakan warna untuk
meng-hilite hal-hal penting; menggunakan multimedia, seperti komputer dan
video; mengajak peserta didik untuk membaca buku-buku berilustrasi; mengajak
peserta didik untuk mengilustrasikan ide-idenya ke dalam gambar.

Gaya belajar auditori (auditory learners). Gaya belajar auditori lebih


mengandalkan pada pendengaran untuk dapat memahami wadan mengingatnya.
Karakteristik model belajar seperti ini benar-benar menempatkan pendengaran
sebagai alat utama menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, peserta didik

5
harus mendengar, baru kemudian dapat mengingat dan memahami informasi itu.
Menurut De Porter, seseorang dengan gaya belajar auditori memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: berbicara pada diri sendiri saat bekerja; mudah terganggu oleh
keributan; menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika
membaca; senang membaca dengan keras dan mendengarkannya; dapat
mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara; merasa
kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita; berbicara dalam irama
yang terpola; biasanya pembicara yang fasih; lebih suka musik daripada seni;
belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada
yang dilihat; suka berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar;
mempunyai masalah dengan pekerjaanpekerjaan yang melibatkan visualisasi,
seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain; lebih pandai
mengeja dengan keras daripada menuliskannya; dan lebih suka gurauan lisan
daripada membaca komik.

Adapun strategi yang dapat ditempuh oleh pendidik/orang tua guna


mempermudah proses belajar peserta didik/anak dengan gaya belajar auditori,
antara lain: mengajak peserta didik/anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi,
baik di dalam kelas maupun di dalam keluarga; mendorong peserta didik/anak
untuk membaca materi pelajaran dengan keras; pada saat belajar, sebaiknya
disertai dengan alunan musik; mendiskusikan ide-ide dengan peserta didik/anak
secara verbal; dan membiarkan peserta didik/anak merekam materi pelajarannya
ke dalam kaset dan mendorongnya untuk mendengarkan rekaman tersebut
sebelum tidur.

Gaya belajar kinestetik (kinesthetic learners). Gaya belajar kinestetik


mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang
memberikan informasi tertentu agar peserta didik dapat mengingatnya. Menurut
Dr Porter, ciri-ciri gaya belajar kinestetik sebagai berikut: berbicara dengan
pelan; menanggapi perhatian fisik; menyentuh orang untuk mendapatkan
perhatian mereka; berdiri dekat ketika berbicara dengan orang; selalu
berorientasi pada fisik dan banyak bergerak; mempunyai perkembangan awal

6
otot-otot yang besar; belajar melalui memanipulasi dan praktik; menghapal
dengan cara berjalan dan melihat; menggunakan jari sebagai alat penunjuk
ketika membaca; banyak menggunakan isyarat tubuh; dan tidak dapat duduk
diam untuk waktu lama.

Adapun beberapa strategi yang dapat ditempuh oleh pendidik dan orang
tua guna mempermudah peserta didik/anak dalam proses belajarnya, antara lain:
tidak boleh terlalu memaksakan peserta didik/anak untuk belajar sampai berjam-
jam; mengajak peserta didik/anak untuk belajar sambil mengeksplorasi
lingkungannya, misalnya menggunakan objek sesungguhnya untuk belajar
konsep baru; memberikan izin kepada peserta didik/anak untuk mengunyah
permen karet pada saat belajar; memberikan izin kepada peserta didik/anak
untuk belajar sambil mendengarkan musik; dan menggunakan warna terang
untuk meng-hilite hal-hal penting dalam bacaan.

2. Gaya Field Independent (FI) & Gaya Field Dependent

Menurut Keefe dalam Sunarni (2016: 39) Gaya kognitif merupakan


bagian dari gaya belajar yang menggambarkan kebiasaan berprilaku yang relatif
tetap dalam diri seseorang dalam menerima, memikirkan, memecahkan masalah
maupun dalam menyimpan informasi. Basey dalam Nugraha dan Awaliyah
(2016) mengungkapkan bahwa gaya kognitif merupakan proses atau gaya
kontrol yang muncul dalam diri peserta didik yang secara situasional dapat
menentukan aktifitas sadar peserta didik dalam mengorganisasikan, mengatur,
menerima, dan menyebarkan informasi dan juga menentukan perilaku peserta
didik tersebut.

Sternberg dalam Tukur (2015) mendefinisikan gaya sebagai perbedaan


individu dalam pendekatan untuk tugas-tugas yang dapat membuat perbedaan
dalam cara orang memandang, belajar atau berpikir, perbedaan ini dalam
pembelajaran ada di antara peserta didik laki-laki dan perempuan. Thomas
dalam Yahya (2013) mengemukakan bahwa gaya kognitif merujuk pada cara

7
seseorang memproses informasi dan menggunakan strategi untuk menanggapi
suatu tugas.

Wolfolk dalam Sunarni (2016: 40) menunjukan bahwa dalam gaya


kognitif terdapat suatu cara yang berbeda untuk melihat, mengenal, dan
mengorganisasikan informasi. Setiap individu akan memilih cara yang disukai
dalam memproses dan mengorganisasikan informasi sebagai respon terhadap
stimulus lingkungnnya. Ada individu yang cepat merespon dan adapula yang
lambat. Cara merespon ini juga berkaitan dengan sikap dan kualitas personal.
Gaya kognitif seseorang dapat memperhatikan variasi individu dalam hal
perhatian, penerimaan informasi, mengingat dan berfikir yang muncul atau
berbeda diantara kognisi kepribadian. Gaya kognitif merujuk pada cara
seseorang memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi untuk
menanggapi suatu tugas atau menanggapi berbagai jenis situasi lingkungannya.
Disebut sebagai gaya dan bukan sebagai kemampuan karena merujuk pada
bagaimana seseorang memproses informasi dan memecahkan masalah dan
bukan merujuk pada bagaimana proses penyelesaian yang terbaik.

Kenth dalam Jena (2011). “Cognitive style is the personal feelings,


emotion, and attitude towards the teaching learning process; however, cognitive
styles and achievement are directly related”. Maksudnya, gaya kognitif adalah
perasaan pribadi, emosi, dan sikap terhadap proses belajar mengajar;
Namun, gaya kognitif dan prestasi berhubungan langsung.

Atas dasar penelitiannya Witkin dalam Yahya, dkk (2005) membedakan


gaya kognitif berdasarkan aspek psikologis itu menjdi dua jenis, yaitu: gaya
field independent dan gaya field dependent.

a. Gaya Field Independent (FI)

Borich dan Tombary (Halimah, 2014 : 24) menguraikan secara


ringkas bahwa ciri-ciri individu independen dalam belajar meliputi: (a)
memfokuskan diri pada uraian; (b) materi kurikulum secara rinci; (c)
memfokuskan diri pada fakta dan prinsip; dan (d) jarang melakukan interaksi

8
dengan pengajar; (e) interaksi formal dengan pengajar hanya dilakukan
untuk mengerjakan tugas, dan cenderung memilih penghargaan non-sosial;
(f) lebih suka bekerja sendiri; (g) lebih suka berkompetisi; (h) mampu
mengorganisasikan informasi.

Menurut Daniels dalam Al-Darmono (2012) bahwa peserta didik


yang memiliki gaya kognitif field independent berkarakteristik: memahami
obyek yang terpisah dari lingkungan, memisahkan dari bagian-bagian yang
tidak relevan, menciptakan struktur meskipun struktur itu tidak inheren di
dalam informasi yang ada, mereorganisasi informasi untuk memeberi
konteks bagi informasi sebelumnya, cenderung lebih efisien dalam
mengingat bagian-bagian informasi lama. Woolfolk dalam Al-Darmono
(2012) membedakan karateristik belajar peserta didik yang memiliki gaya
kognitif field independent sebagai berikut; memerlukan bantuan memahami
ilmu sosial, perlu diajari cara menggunakan konteks dalam memahami
informasi, kurang terpengaruh oleh kritik, mudah mempelajari bahan-bahan
yang tidak terstruktur, cenderung memiliki tujuan dan reinforcement sendiri,
dapat menganalisis suatu situasi dan mampu menyusunnya kembali, dan
lebih mampu memecahkan masalah tanpa dibimbing.

Menurut Witkin (1977) berpendapat bahwa Field Independent


umumnya dominan condong kepada independent, kompetitif, dan percaya
diri. Liu dan Ginter (1999) menyatakan ciri-ciri individu field independent
dalam belajar, yaitu: 1) memfokuskan diri pada materi kurikulum secara
rinci; 2) memfokuskan diri pada fakta dan prinsip; 3) jarang melakukan
interaksi dengan guru; 4) interaksi formal dengan guru hanya dilakukan
untuk mengerjakan tugas, dan cenderung memilih penghargaan secara
individu; 5) lebih suka bekerja sendiri; 6) lebih suka berkompetisi; dan 7)
mampu mengorganisasikan informasi secara mandiri.

9
O‟Brien et al dalam Suryanti (2014: 1394) menunjukkan bahwa
perbedaan diantara subjek field independent adalah sebagai berikut: (1)
Memiliki analisis yang lebih tinggi dalam penerimaan dan pemrosesan
informasi, sehingga sering disebut sebagai “analytical thinkers”. ; (2)
Mereka menunjukkan kecenderungan untuk mengorganisasikan informasi
menjadi unit-unit yang dapat dikelola dan memiliki kapasitas yang lebih
besar untuk penyimpanan informasi. Orang-orang ini suka dan terbiasa
menggunakan teknik pemecahan masalah, organisasi, analisis dan penataan
ketika terlibat dalam situasi belajar dan bekerja.

b. Gaya Field Dependent (FD)

Gaya kognitif FD merupakan suatu karakteristik individu yang


cenderung mengorganisasi dan memproses informasi secara global sehingga
persepsinya mudah terpengaruh oleh perubahan lingkungan. Witkin dalam
Susanto (2008:2-40) menyatakan bahwa individu yang bersifat global adalah
individu yang memfokuskan pada lingkungan secara keseluruhan, didomiasi
atau dipengaruhi lingkungan. Individu tersebut dikatakan termasuk gaya
kognitif Field Dependent (FD).

Keefe dalam Halimah (2014: 26) menjelaskan beberapa implikasi


bagi individu dependen dalam proses pembelajaran antara lain: (1) lebih
tertarik pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora; (2) cenderung mengikuti
tujuan pembelajaran yang sudah ada; (3) mengutamakan motivasi eksternal;
(4) cenderung mengkuti struktur materi yang disajikan, sehingga lebih
memilih materi pelajaran yang diorganisir dengan struktur yang lebih
sistematis; dan (5) cenderung memanfaatkan petunjuk penting yang ada
dalam materi untuk membantu proses belajar.

Shuell dalam Sunarni (2009: 118) menyatakan anak yang field


dependent lebih kuat menerima informasi yang bersifat sosial seperti
percakapan atau interaksi antar pribadi. Dalam hal pelajaran peserta didik
tersebut lebih mudah mempelajari sejarah, kesusasteraan, bahasa dan ilmu

10
pengetahuan sosial. Lain halnya dengan peserta didik yang field independent,
mereka lebih gampang mengurai hal-hal yang kompleks dan lebih mudah
memecahkan persoalan- persoalan. Mempelajari ilmu pengetahuan alam
tidaklah begitu sulit dan biasanya lebih sukses jika bekerja secara individu.

Ciri-ciri individu field dependent dalam belajar, yaitu 1) menerima


konsep dan materi secara umum; 2) agak sulit menghubungkan konsep-
konsep dalam kurikulum dengan pengalaman sendiri atau pengetahuan awal
yang telah mereka miliki; 3) suka mencari bimbingan dan petunjuk guru; 4)
memerlukan hadiah atau penghargaan untuk memperkuat interaksi dengan
guru; 5) suka bekerjasama dengan orang lain dan menghargai pendapat serta
perasaan orang lain; 6) lebih suka bekerjasama daripada bekerja sendiri; 7)
lebih menyukai organisasi materi yang disiapkan oleh guru.

O‟Brien et al dalam Suryanti (2014: 1394) menunjukkan bahwa


perbedaan diantara subjek field dependent adalah sebagai berikut: (1) Peserta
didik dengan field dependent lebih global dan holistik dalam pengolahan
persepsi dan informasi sehingga sering disebut sebagai "global thinkers"; (2)
Mereka cenderung untuk menerima informasi seperti yang disajikan atau
dijumpai dan mengandalkan sebagian besar pada cara menghafal. Mereka
juga mewujudkan kecenderungan yang jelas untuk menggunakan acuan
kerangka sosial untuk menentukan sikap, perasaan dan keyakinan.

Menurut Witkin (1977) Field Dependent memiliki karakteristik


diantaranya: (1) cenderung memiliki pemikiran global; (2)
kecenderungan untuk menerima struktur yang sudah ada, disebabkan kurang
memiliki kemampuan restrukturisasi; (3) memiliki orientasi sosial sehingga
nampak baik, ramah, bijaksana, baik budi dan penuh kasih yang terhadap
yang lain; (4) cenderung memilih profesi yang menekankan pada
keterampilan sosial; (5) cenderung mengikuti tujuan yang sudah ada; (6)
cenderung bekerja dengan mementingkan motivasi eksternal dan lebih
tertarik pada penguatan eksternal seperti pujian, hadiah, atau mativasi
eksternal dari orang lain.

11
Berdasarkan definisi di atas, maka gaya kognitif field dependent
dalam penelitian ini adalah individu atau peserta didik yang mempunyai
karakteristik sangat bergantung dengan lingkungannya, lebih suka bekerja
sama daripada bekerja sendiri, masih memerlukan bimbingan atau petunjuk
lebih lanjut, menerima materi dan konsep secara umum terstruktur dan
menerima informasi dengan menghafal. Dengan kata lain, gaya kognitif
Field Dependent (FD) adalah kecenderungan gaya atau cara berpikir peserta
didik dalam memahami suatu masalah secara keseluruhan.

Berdasarkan definisi di atas, maka gaya kognitif field dependent dalam


penelitian ini adalah individu atau peserta didik yang mempunyai karakteristik
lebih suka bersaing dalam prestasi atau belajar, sangat percaya diri, jarang
melakukan interaksi dengan pengajar, mengembangkan informasi yang
diterimanya sendiri tanpa memerlukan bantuan maupun bimbingan, menerima
materi dan konsep secara rinci dan runtut. Dengan kata lain, gaya kognitif Field
Independent (FI) adalah cara berpikir peserta didik dalam memahami suatu
masalah secara analitis dan sistematis.

Perbedaan kecenderungan tipe gaya kognitif antara field-independent dan


field-dependent secara lebih rinci dijelaskan Witkin (dalam Halimah, 2014: 16)
sebagaimana terlihat pada Tabel berikut:

Tabel 1 Perbedaan Karakteristik Gaya Kognitif


Independent dan Dependent
No Tipe gaya kognitif FD Tipe gaya kognitif FI
Sangat dipengaruhi oleh Kurang dipengaruhi oleh lingkungan
lingkungan banyak dan oleh pendidikan di masa lampau
1 bergantung pada pendidikan
sewaktu kecil.
Dididik untuk selalu Dididik untuk berdiri sendiri dan
2 memperhatikan orang lain mempunyai otonomi atas
tindakannya.
Mengingat hal-hal dalam
Tidak peduli akan norma norma
3 konteks sosial, misalnya
orang lain

12
gadis: mengenakan rok
menurut panjang yang lazim
Bicara lambat agar dapat Berbicara cepat tanpa
4 dipahami orang lain menghiraukan daya tanggap orang
lain
Mempunyai hubungan sosial Kurang mementingkan
yang luas, cocok untuk bekerja hubungan sosial; sesuai untuk jabatan
5 dalam bidang bimbingan, dalam bidang matematika, sains,
konseling, insinyur.
pendidikan, dan sosial.

Karakteristik individu Field Dependent dan Field Independent dapat


dilihat pada tabel 2.2 berikut:

Tabel 2Perbedaan Gaya Kognitif FD dan FI


No Aspek Field Independent Field Dependent
1 Menyelesaikan Lebih baik jika Lebih baik jika
tugas bekerja secara banyak
bebas bimbingan.
2 Pengaruh Tidak mudah Mudah
lingkungan dipengaruhi dipengaruhi
lingkungan. lingkungan.
3 Penyelesaian Dapat Kurang baik
tugas yang menyelesaikan
bersifat analitik dengan baik

13
Sumber: Cahyowati (dalam Suarni, 1990: 28).

Berdasarkan definisi di atas, maka perbedaan gaya kognitif field


dependent dan field independent dalam penelitian ini adalah perbedaan atau ciri
khas yang dimiliki oleh setiap peserta didik dimana peserta didik FD sangat
bergantung dengan lingkungan, mementingkan berhubungan sosial di
masyarakat, lebih baik bekerja dengan bimbingan. Dengan kata lain, gaya
kognitif Field Dependent (FD) adalah kecenderungan gaya atau cara berpikir
peserta didik dalam memahami suatu masalah secara keseluruhan. Sedangkan
peserta didik FI kurang dipengaruhi oleh lingkungan atau mampu bekerja
sendiri, kurang mementingkan hubungan sosial, lebih baik bekerja secara bebas
mandiri. Dengan kata lain, gaya kognitif Field Independent (FI) adalah
kecenderungan gaya atau cara berpikir peserta didik dalam memahami suatu
masalah secara analitis dan sistematis.

3. Kecerdasan Jamak (Multiple Intelligences)

Pengertian kata kecerdasan menurut kamus besar bahasa Indonesia atau


KBBI artinya perihal cerdas perbuatan mencerdaskan kesempurnaan
perkembangan akal budi seperti kepandaian ketajaman pemikiran.

Menurut Suparno kecerdasan atau intelegensi adalah kemampuan untuk


memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang
bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata

Menurut teori Kecerdasan Jamak bahwa definisi tradisional kecerdasan


terlalu sempit. Dengan demikian definisi yang lebih luas yang lebih akurat
mencerminkan cara yang berbeda di mana manusia berpikir dan belajar
(Nikolova, K. dan Taneva-Shopova, S. 2007:105–109). An intelligence as
“biopsychological potential to process information that can be activated in a
cultural setting to solve problems or create products that are of value in a
culture.” (Gardner, Howard. 2000:33-34). Kecerdasan sebagai “potensi
biopsichologi untuk memproses informasi yang dapat diaktifkan dalam

14
pengaturan budaya dalam memecahkan masalah atau menciptakan produk yang
bernilai dalam suatu budaya.

Penemuan Gardner tentang intelegensi seseorang telah mengubah konsep


kecerdasan. Menurut Gardner, kecerdasan seseorang diukur bukan dengan tes
tertulis, tetapi bagaimana seseorang dapat memecahkan problem nyata dalam
kehidupan. Intelegensi seseorang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan
jumlahnya banyak, hal ini berbeda dengan konsep lama yang menyatakan bahwa
inteligensi seseorang tetap mulai sejak lahir sampai kelak dewasa, dan tidak
dapat diubah secara signifikan. Bagi Gardner suatu kemampuan disebut
inteligensi bila menunjukkan suatu kamahiran dan keterampilan seseorang untuk
memecahkan masalah dan kesulitan yang ditemukan dalam hidupnya. Oleh
karena itu, seseorang memiliki kemampuan inteligensi yang tinggi bila ia dapat
menyelesaikan persoalan hidup yang nyata, bukan hanya dalam teori. Semakin
seseorang terampil dan mampu menyelesaikan persoalan kehidupan yang
situasinya bermacam-macam dan kompleks, semakin tinggi inteligensinya.

Kecerdasan secara tradisional, tidak cukup meliputi berbagai


kemampuan manusia. Dalam teori ini siswa tidak hanya mampu
mengembangkan satu kecerdasan saja tapi lebih dari itu. Gardner memilih
delapan kecerdasan yang ia diadakan untuk memenuhi kriteria ini, yaitu musik-
ritmik, spasial-visual, verbal-linguistik, logis-matematis, kinestetik-jasmani,
interpersonal, intrapersonal, dan naturalis (Amstrong, 2002:19-23; Robert
Slavin. 2009:117; McKenzie, W. 2005) yang dimiliki oleh setiap individu
memiliki perpaduan unik dari semua kecerdasan. Akan tetapi pada
perkembangannya menjadi 10 macam kecerdasan (Campbell, et al, 2002:2-3),
yaitu ditambah dengan kecerdasan eksistensialis dan spiritual. Penjelasan
kesepuluh kecerdasan tersebut yaitu:

a. Kecerdasan Linguistik

Kecerdasan linguistik atau disebut juga dengan kecerdasan verbal


adalah kemampuan untuk berpikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan

15
bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks,
misalnya cerdas bahasa secara lisan seperti pendongeng, orator atau politisi,
maupun cerdas bahasa secara tertulis, seperti sastrawan, editor, penulis
drama atau wartawan). Siswa yang mempunyai kecerdasan ini mampu
menggunakan bahasa secara lisan atau tulisan yang memberikan kesan Ia
pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau
membaca. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan
berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya.

b. Kecerdasan Logika-Matematika

Kecerdasan logika-matematika merupakan kemampuan dalam logika,


abstraksi, penalaran, berfikir kritis, menghitung, mengukur (Gardner dan
Hatch,1989:4) dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta
menyelesaikan operasi-operasi matematika. Hal ini juga berkaitan dengan
memiliki kapasitas untuk memahami prinsip-prinsip yang mendasari
beberapa jenis sistem kausal (Carroll, J. B, 1993), misalnya akuntan,
programer komputer, ilmuwan, ahli statistik, dan lain-lain. Siswa dengan
kecerdasan logical-mathematical yang tinggi memperlihatkan minat yang
besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai
fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap
pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang
berhitung.

c. Kecerdasan Spasial-Visual

Kecerdasan ini berkaitan dengan penilaian spasial-visual dan


kemampuan untuk memvisualisasikan dengan pikiran secara akurat (Gardner
dan Hatch,1989:4). (misalnya sebagai pramuka, pemandu, pemburu) dan
mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut (misalnya
dekorator, desainer interior, arsitek, seniman). Kecerdasan ini
memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal dan internal,
melukiskan kembali, merubah, atau memodifikasi bayangan, mengemudikan

16
diri sendiri dan objek melalui ruangan, dan menghasilkan atau menguraikan
informasi grafik. Siswa dengan kecerdasan spasial visual yang tinggi
cenderung berpikir secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal
(internal imagery), sehingga cenderung imaginatif dan kreatif.

d. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani

Adalah keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan


ide dan perasaan, dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan
atau mengubah sesuatu. Karir yang sesuai dengan mereka dengan kecerdasan
ini meliputi pengrajin, pemahat, penjahit, mekanik, atlit, penari, musisi,
aktor, polisi, dan tentara (Gardner, Howard, 1984) dan lain-lain. Siswa
dengan kecerdasan ini yang di atas rata-rata, senang bergerak dan
menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan,
ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi
dunia dengan otot-ototnya.

e. Kecerdasan Musikal

Kecerdesan musikal atau musical intelligence atau menurut Gardner


disebut musical–rhythmic and harmonic adalah kemampuan menangani
bentuk-bentuk musikal dengan cara mempersepsi, membedakan, menggubah
dan mengekspresikan, misalnya penyanyi, komposer, penikmat musik, dan
lain-lain. Siswa dengan kecerdasan musikal yang menonjol mudah mengenali
dan mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentransformasikan kata-kata menjadi
lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan
beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosa kata
musikal dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam
sebuah komposisi musik (Howard Gardner dan Hatch, 1989:4).

f. Kecerdasan Interpersonal

Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan untuk memahami


dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Karir yang sesuai dengan
kecerdasan ini mencakup politisi, manajer, guru, konselor dan pekerja sosial

17
(Gardner, 2002). Orang yang memiliki kecerdasan ini akan mampu
mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, dan motivasi serta
perasaan orang lain. Siswa dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol
memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan
sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat
berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku
dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama dengan orang lain
(Gardner dan Hatch,1989:4; Gardner, H. 1995:25). Pemikiran Gardner
tentang kecerdasan jamak mengenai kecerdasan interpersonal di atas
ditempatkan oleh Salovey dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional
(Goleman, 2001,57-59).

g. Kecerdasan Intrapersonal

Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan untuk membuat


persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan
semacam itu dalam bertindak berdasarkan pemahaman tersebut,
merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang (Campbell, 2005:2-3).
Siswa dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan
perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan
mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa
yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan
sosial. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat
memerlukan.

h. Kecerdasan Naturalis

Kecerdasan naturalis ialah kemampuan untuk mengenali,


membedakan, menggolongkan, dan membuat kategori terhadap apa yang
dijumpai di alam maupun di lingkungan (Gardner dan Hatch,1989:4).
Kecerdasan ini adalah kombinasi sifat-sifat manusia yang mencakup
kecakapan dalam mengenal, mengklasifikasi flora fauna dan benda-benda

18
alam lainnya serta memiliki kepekaan terhadap kondisi lingkungan (Morris,
M. 2004:159).

i. Kecerdasan Eksistensial

Kecerdasan Eksistensial adalah kecerdasan yang mampu menyadari


dan menghayati dengan benar dirinya dan tujuan hidup. Kecerdasan
eksistensial banyak dijumpai pada para filosof. Dengan kecerdasan ini
seseorang mampu untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam atas
eksistensi atau keberadaan manusia. Orang tidak puas hanya menerima
keadaannya, keberadaannya secara otomatis, tetapi mencoba menyadarinya
dan mencari jawaban yang terdalam. Pertanyaan itu antara lain mengapa aku
ada? Mengapa aku mati? Apa makna dari hidup ini? Bagaimana kita sampai
ke tujuan hidup?

j. Kecerdasan Spiritual

Beberapa pendukung teori multiple intelligence diusulkan kecerdasan


spiritual atau agama sebagai tipe tambahan mungkin. Kecerdasan spiritual
adalah kemampuan seseorang dalam berhubungan dengan Tuhannya;
dimensi transenden dalam pengalaman manusia (Saucier, Gerard dan
Katarzyna Skrzypinska, 2006:74). Kecerdasan spiritual banyak dimiliki oleh
para rohaniwan. Kecerdasan ini membantu seseorang untuk mengembangkan
dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan
nilai-nilai positif.

Ada kemungkinan masih terdapat banyak kecerdasan lain yang belum


diteliti. Menurut Gardner dalam diri seseorang terdapat kecerdasan tersebut.
Oleh karena itu, baginya tidak ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada adalah
anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan atau dalam
taraf yang berbeda. Hal itu bukan berarti bahwa inteligensi tersebut
menunjukkan seperti apa orang tersebut, melainkan ia lebih menekankan bahwa
inteligensi merupakan representasi mental, bukan karakteristik yang baik untuk
menentukan orang macam apa mereka.Selain itu kecerdasan ini juga berdiri

19
sendiri, terkadang bercampur dengan kecerdasan yang lain. Ke sepuluh
inteligensi yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan dan ditingkatkan
secara memadai sehingga dapat berfungsi bagi orang tersebut.

C. Keterkaitan Gaya Belajar dengan Teori Kecerdasan Jamak

Proses pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa sehingga menarik


perhatian siswa serta meningkatkan motivasi dan prestasi siswa. Oleh karena itu
pembelajaran dengan menggunakan metode yang efektif sangat diperlukan guna
mendukung pencapaian tujuan tersebut, yaitu dengan menggunakan metode
pembelajaran yang berbasis Multiple Intelligences (kecerdasan jamak). Gardner
tegas menyatakan bahwa teori kecerdasan ganda harus memberdayakan peserta
didik, tidak membatasi mereka untuk satu modalitas belajar (primarily sensory)
(McKenzie, W. 2005), sehingga jika dengan kesemua jenis kecerdasan yang ada
akan memungkinkan sejumlah cara (sesuai dengan jumlah kecerdasan) untuk
mengajar (Gardner dan Hatch, 1989: xxiii). Menurut Linda Campbell menerapkan
kecerdasan jamak dalam pembelajaran di kelas bisa melibatkan team teaching
dengan menggunakan semua atau beberapa kecerdasan, atau meminta pendapat
siswa tentang cara terbaik untuk mengajar dan belajar topik-topik tertentu (Linda
Campbell, 1997:14-19).

Pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan modalitas terbatas pada


kemampuan logika (matematika) dan bahasa yang disampaikan dalam bentuk ceramah
mungkin membosankan siswa. Teori Multiple Intelligences menyarankan beberapa cara
yang memungkinkan materi pelajaran dapat disampaikan dalam proses belajar yang
lebih efektif.

Cara-cara penyampaian materi pelajaran yang dapat digunakan oleh guru


sebagai berikut: (1) Kata-kata (Linguistic Intelligence), (2) Angka atau logika (Logical-
Mathematical Intelligence), (3) Gambar (Spatial-Visual Intelligence), (4) Musik
(Musical Intelligence), (5) Pengalaman fisik (Bodily-Kinesthetic Intelligence), (6)
Pengalaman sosial (Interpersonal Intelligence), (7) Refleksi diri (Intrapersonal
Intelligence), (8) Pengalaman di lapangan (Naturalist Intelligence), (9) Peristiwa
(Existence Intelligence), (10) Refleksi diri dan alam (Spiritual Intelligence).

20
Pembelajaran dengan kecerdasan jamak mendekatkan kecerdasan yang
dimiliki siswa dengan pencapainya maksimal pembelajaran. Hal ini seiring dengan
aktivitas positif yang dilakukan oleh siswa selama proses pembelajaran sebagaimana
terlihat dari gambar di atas. Setiap manusia (siswa) tentu akan memiliki potensi
yang sesuai dengan salah satu dari kecerdasan-kecerdasan yang ada. Dengan
demikian, maka diharapkan salah satu potensi kompetensi dari siswa dapat muncul
dan dapat dikembangkan.

Mengacu kepada cara-cara yang ditempuh oleh negara maju dalam reformasi
pendidikan, kunci keberhasilannya adalah reformasi guru. Dengan demikian, maka
seiring dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui
pembaharuan kurikulum, sudah tentu sangat menuntut guru untuk mengadakan
perubahan-perubahan terutama dalam penyelenggaraan proses pembelajaran melalui
penerapan kecerdasan jamak.

Pembelajaran berbasis kecerdasan jamak dapat diterapkan ke dalam setiap


jenis mata pelajaran, baik bidang studi eksak (ilmu-ilmu pasti) maupun sosial,
termasuk ilmu agama. Apalagi dengan berkembangnya sains modern dan kemajuan
teknologi seperti saat ini, menuntut semua pendidik mampu mensinergikan nilai-
nilai ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap ragam keilmuan yang ada. Sebab
dari perspektif filosofis, tidak ada suatu keilmuan yang berdiri sendiri tanpa
memiliki hubungan yang sinergis dengan ilmu lain. Menurut teori Multiple
Intelligences (kecerdasan jamak) pemanfaatan kecerdasan yang tepat dalam proses
pembelajaran akan sangat meningkatkan kekuatan belajar. Dengan kekuatan belajar
tersebut maka hasil yang didapatkan akan lebih tampak. Dengan pembelajaran yang
disesuaikan dengan kecerdasan yang dimiliki oleh siswa maka mereka akan lebih
termotivasi untuk belajar sehingga aktifitas belajar berjalan, siswa ikut terlibat aktif
dalam proses di dalamnya dan hasil akhir yang diperoleh akan tercapai dengan adanya
peningkatan.

Pembelajaran dengan kecerdasan jamak ini akan mampu menjembatani proses


pembelajaran yang membosankan menjadi suatu pengalaman belajar yang
menyenangkan dan siswa tidak hanya dijejali materi dan teori-teori semata. Akan tetapi,

21
dengan model kecerdasan jamak siswa dihadapkan pada kenyataan bahwa materi dan
teori-teori yang mereka terima memang dapat mereka temui di dalam kehidupan
keseharian mereka, sehingga memberikan kesan yang mendalam dalam kehidupan
mereka.

22
BAB III (PENUTUP)

A. Kesimpulan

Gaya belajar adalah variasi cara yang dimiliki seseorang untuk


mengakumulasi serta mengasimilasi informasi pada dasarnya gaya belajar adalah
metode yang terbaik memungkinkan dalam mengumpulkan dan menggunakan
pengetahuan secara spesifik. Hanya gaya belajar yang sesuai dengan dirinyalah yang
dapat membantu dalam memahami pengetahuan dan menyerap informasi.

Adapun macam-macam gaya dalam belajar yang dikemukakan oleh para


ahli:

1. V-A-K

Menurut Bobbi De Porter, ketiga kategori tersebut adalah gaya belajar


visual, auditorial, dan kinestetik yang ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu.

a. Visual, pada gaya belajar visual lebih menitikberatkan pada ketajaman


penglihatan.

b. Audio, gaya belajar auditori lebih mengandalkan pada pendengaran untuk dapat
memahami dan mengingatnya.

c. Kinestetik, gaya belajar kinestetik mengharuskan individu yang bersangkutan


menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar peserta didik dapat
mengingatnya.

2. Gaya Field Independent (FI) & Gaya Field Dependent

Gaya kognitif field dependent dalam penelitian ini adalah individu atau
peserta didik yang mempunyai karakteristik lebih suka bersaing dalam prestasi
atau belajar, sangat percaya diri, jarang melakukan interaksi dengan pengajar,
mengembangkan informasi yang diterimanya sendiri tanpa memerlukan bantuan
maupun bimbingan, menerima materi dan konsep secara rinci dan runtut.

23
Dengan kata lain, gaya kognitif Field Independent (FI) adalah cara berpikir
peserta didik dalam memahami suatu masalah secara analitis dan sistematis.

3. Kecerdasan Jamak (Multiple Intelligences)

Teori multiple inteligensi atau kecerdasan majemuk ditemukan dan


dikembangkan oleh Howard Gardner, seorang psikolog perkembangan dan
professor pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard Univercity,
Amerika Serikat. Gardner mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk
memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang
bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Agar pembelajaran juga
berjalan efektif maka bisa menggunakan metode Multiple Intelligences. Ada 8
kecerdasan multiple intelegensi yaitu:

1. Kecerdasan verbal Linguistik

2. Kecerdasan visual-spasial

3. Kecerdasan jasmaniah-kinestetik

4. Kecerdasan intrapersonal

5. Kecerdasan logis-matematik

6. Kecerdasan berirama-musik

7. Kecerdasan interpersonal

8. Intelegensi naturalis

B. Saran

Pada penulisan makalah ini masih kurang kaya akan sumber referensi. Agar
pembahasan lebih komprehensif, maka sebaiknya perlu diperbanyak sumber yang
akan digunakan dalam pembuatan makalah. Dengan demikian, penulisan makalah
diharapkan dapat menambah pemahaman dan wawasan bagi para pembaca.

24
DAFTAR PUSTAKA

Gardner, Howard. 1983. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.


New York, USA: Basic Books Inc.

DePorter, B dan Hernacki, M. (2010). Quantum Learning: Membiasakan Belajar


Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

Djamarah, S dan Zain, A. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Riyanto, Y (2010). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Grup

Winataputra, U. S. (2008). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas


Terbuka.

Sardiman. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Hamalik, O. (2003). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Khoeron, R. I., Sumarna, N., & Permana, T. (2014). Pengaruh Gaya Belajar
Terhadap Prestasi Belajar Peserat Didik Pada Mata Pelajaran Produktif.
Journal of Mechanical Engineering Education, 1(2), 291-297.

25

Anda mungkin juga menyukai