Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

NĀSIKH  DAN MANSŪKH

Disusun Oleh: Kelompok 5

NAMA: YUSRIL FAKAUBUN (NIM:200202016)


NAMA: ALFIAN SOFANDRI TUHUTERU (NIM:200202006)

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) AMBON
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaikibentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Bagaimana pengertian  nāsikh dan mansūkh?
B.  Bagaimana macam-macam nāsikh dan mansūkh?
C. Bagaimana dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh?
D. Bagaimana pendapat mengenai ayat yang dimansu>kh  ?
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menurunkan shari’at di dalam Alquran kepada Nabi Muhammad  untuk
memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan muamalah. Tentang bidang ibadah
dan mu’āmalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia
tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu
dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan
kemaslahatan manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-
qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang
mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus
mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian  nāsikh dan mansūkh?
2.  Bagaimana macam-macam nāsikh dan mansūkh?
3. Bagaimana dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh?
4. Bagaimana pendapat mengenai ayat yang dimansu>kh  ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nāsikh dan mansūkh.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh.
3.  Untuk mengetahui bentuk dan jenis nāsikh dan mansūkh.
4.  Untuk mengetahui pendapat mengenai ayat yang dimansūkh.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nāsikh dan Mansūkh
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. Berarti “Iza>latu al shay’I
wa i’da>muhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “ Naqlu
al shay’i” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian),
berarti “Tahwil” (pengalihan). Sedangkan naskh secara istilah adalah:  Mengangkat
(menghapus) hukum syara’ dengan dalil/khith{ab syara’ yang lain.
Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya
pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus
ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum
atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang diangkat atau yang dihapus.

B. Syarat-syarat Naskh
1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’.
2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khit{ab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.

C. Pembagian Naskh
Naskh dibagi menjadi tiga ;
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat
bulan sepuluh hari.
َ L‫صيَّةً َأِل ْز َوا ِج ِه ْم َمتَاعًا ِإلَى ْال َحوْ ِل َغ ْي‬
ٍ ‫ َر‬L‫ر ِإ ْخ‬L
َ ‫ َرجْ نَ فَاَل ُجن‬Lَ‫ِإ ْن خ‬Lَ‫اج ف‬
‫اح‬Lَ ِ ‫ َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا َو‬i
[ ٢٤٠  : ‫]البقرة‬ ‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ٍ ‫َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن ِم ْن َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َوهَّللا ُ ع‬
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 240)
‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا يَتَ َربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا‬
ِ ‫فَِإ َذا بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬ 
[ ٢٣٤ : ‫البقرة‬ ]ٌ‫ُوف َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِير‬
        Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat . (QS.Al-Baqarah [2]: 234)

2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadith mutawatir dan ahad dinasakh oleh


hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadith ahad.
Contoh:
   ‫ت نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزيَا َر ِة ْالقُبُوْ ِر َأالَ فَ ُزوْ رُوْ هَا‬
ُ ‫ ُك ْن‬ 
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah”
ُ‫ب الرَّابِ َع ِة فَا ْقتُلُوْ ه‬
َ ْ‫فَِإ ْن ُشر‬
                        “Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”

Dinasakh oleh hadith:


ُ‫َأنَّهُ ُح ِم َل ِإلَ ْي ِه َم ْن َش ِربَهَا الرَّابِ َعةَ فَلَ ْم يَ ْقتُ ْله‬
                        Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr keempat
kalinya, tetapi rasul tidak membunuhnya. Sabda Rasululah:

‫ضا ِحي َِألجْ ِل ال َّدا فَ ِة فَا َّد ِخرُوْ هَا‬


َ ‫َار ل ُح ُو ِم اَْأل‬ ُ ‫ُك ْن‬
ِ ‫م َع ِن ا َّدخ‬Lْ ‫ت نَهَ ْيتُ ُك‬
                 Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada golongan
yang membutuhkan, maka sekarang simpanlah.

3. Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an


       Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:
‫ْث َما ُك ْنتُ ْم فَ َولُّوا‬ ْ ‫ك َش‬
ُ ‫ط َر ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام َو َحي‬ َ َ‫ضاهَا فَ َولِّ َوجْ ه‬ َ ْ‫ك قِ ْبلَةً تَر‬ َ َّ‫ك فِي ال َّس َما ِء فَلَنُ َولِّيَن‬
َ ‫ب َوجْ ِه‬َ ُّ‫قَ ْد نَ َرى تَقَل‬
: ‫رة‬LL‫ونَ [البق‬LLُ‫َافِل َع َّما يَ ْع َمل‬ ٍ ‫ا هَّللا ُ بِغ‬LL‫ق ِم ْن َربِّ ِه ْم َو َم‬ َ Lَ‫ط َرهُ وَِإ َّن الَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِكت‬
ُّ L‫ونَ َأنَّهُ ْال َح‬LL‫اب لَيَ ْعلَ ُم‬L ْ ‫ُوجُوهَ ُك ْم َش‬
]١٤٤
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan
Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan
Injil)  memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 144)

D. Macam-Macam Nāsikh dalam al-Qur’an
Nāsikh dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak
dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya riwayat Bukha>ri dan
Muslim, yaitu hadits ‘A<isyah ra.

ٍ ‫س َم ْعلُوْ َما‬
َ ‫لم‬LL‫ه وس‬LL‫ فَتُ ُوفِّ َي َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا علي‬.‫ت‬
‫(وه َُّن ِم َّما‬ ِ ‫ت َم ْعلُوْ َما‬
ٍ ‫ت يُ َح ِّر ْمنَ فَنُ ِس ْخنَ بِ َخ ْم‬ َ ‫َكانَ فِ ْي َما ُأ ْن ِز َل َع َش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬
)‫يُ ْق َرُأ ِمنَ ْالقُرْ َأ ِن‬.
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh isapan menyusu
yang diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu)  yang diketahui.  Seteah
Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila
salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka
sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dināsikh menjadi lima isapan.
Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu karena baik bacaannya maupun
hukumnya telah dināsikh.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Misalnya ayat
tentang mendahulukan sedekah:

ْ َ‫ ُر لَ ُك ْم َوا‬L‫ك خَ ْي‬
‫وْ ُر‬LLُ‫ِإ َّن هللاَ َغف‬Lَ‫ِإ ْن لَ ْم تَجِ ُدوْ ا ف‬Lَ‫ ُر ف‬Lَ‫طه‬ َ ِ‫ َدقَةً َذل‬L‫ص‬ َّ ‫يَاَيُّهَا ْال ِذ ْينَ اَ َمنُوْ آ ِإ َذا نَ َج ْيتُ ْم ال َّرسُوْ َل فَثَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َد‬
َ ‫ي نَجْ َو ُك ْم‬
]۱۲: ‫ [المجادلة‬.‫َّر ِح ْي ٌم‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu.  Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu  dan lebih bersih, jika kamu
tidak memperoleh (yang akan disedahkan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi
maha penyayang.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 12)
Ayat  ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:
َ‫وْ ا هللا‬Lُ‫وةَ َواَ ِط ْيع‬L‫وْ ا ال َّز َك‬Lُ‫لَوةَ واَت‬L‫الص‬ َ ‫وْ ا َوت‬Lُ‫ت فَا ِ ْذ لَ ْم تَ ْف َعل‬
َّ ‫اَقِ ْي ُموْ ا‬Lَ‫اب هللاُ َعلَ ْي ُك ْم ف‬Lَ َّ ‫اَ ْن تُقَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َد‬  ‫َأاَ ْشفَ ْقتُ ْم‬
َ ‫ي نَجْ َوا ُك ْم‬
ٍ ‫ص َدقَا‬
َ‫و َرسُوْ لَهُ َوهللاُ خَ بِ ْي ٌر بِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬.
َ
[۱۳: ‫]المجادلة‬
“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada
Allah dan Rasulnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-
Muja>dalah [58]: 13).
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh
ayat rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat al-Qur’an. Ayat yang
dinyatakan mansūkh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:

‫ِإ َذا زَ نَا ال َّش ْي ُخ ال َّشيْخَ ةُ فَارْ ُج ُموْ هَ َما‬


 “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.
Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin
Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada  mengenai ayat yang
dianggap bacaannya mansūkh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan
kami membaca ayat rajam:
‫ضيَا ِمنَ الَّ َّذ ِة‬
َ َ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ فَارْ ُج ُموْ هُ َما البَتَةَ بِ َما ق‬.
 “Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang
mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”[8]

E. Dasar-dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh
Manna>’ Al-Qat}t}an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu
ayat dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar adalah:
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadis yang artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang
berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nāsikh,
dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-Qat}t}an menambahkan
bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir,
karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau
belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
F. Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansūkh
Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang dianggap mansūkh di
antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang dianggap mansūkh berjumlah 100
buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya.
Setelah diteliti ternyata hukumnya tidak berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama
setuju dengan vonis Nahas itu. Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain
berasal dari provinsi Ashut} (karena dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang ayat-ayat yang
telah batal hukumnya itu.  Al Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang
dipandang mansūkh dengan yang dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyut}iy, ada 20 ayat yang
terpaksa dinyatakan mansūkh.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai dengan
tahun 1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin digabungkan ternyata
olehnya bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut Shaukaniy hanya 8 buah.
Contoh :
ْ ُّ‫فََأ ْينَ َما تُ َول‬  ُ‫ق َو ْال َم ْغ ِر ۚب‬
‫ِإ َّن ٱهَّلل َ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬ ِ ۚ ‫وا فَثَ َّم َوجْ هُ ٱهَّلل‬ ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬
] ۱۱۵ :‫[البقرة‬ 
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas,
dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
ْ ‫وا ُوجُوهَ ُك ْم َش‬
] ١٥٠ : ‫[البقرة‬ ....ُ‫ط َره‬ ْ ُّ‫ْث َما ُكنتُ ْم فَ َول‬
ُ ‫ َو َحي‬  ۚ
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya”. 
Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy Al Nisaburiy
dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa Al Mansūkh - demikian: “Setiap kali
Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya menengadah ke langit dan berseru: “Wahai
Jibril, sampai kapankah daku salat menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan
Rasulullah, Jibril hanya mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah
Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.
Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis disebabkan
kerisian Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi mendorong beliau
mengadu kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya. Karena seperti diakui Jibril sendiri,
dia hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150
surat al-Baqarah. Padahal bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan
bahwa perubahan kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan
yang hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan
pengikut Rasulullah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang
lain. Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan
hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang
dibebani hukum atasnya. Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi, yakni Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah
hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih dulu daripada mansūkh, khitab
yang mansūkh  hukumnya tidak terikat dengan waktu. Dalam
cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain Naskh quran dengan
quran, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan quran. Terdapat beberapa
pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat
dan ayat tersebut. al Nahas berpendapat jumlah ayat yang dimansūkh berjumlah 100
ayat. Suyuṭiy berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan Al Shaukaniy berpendapat 8
ayat.
B. Saran
Sebagai mahasiswa kita harus memahami dan menyadari
NĀSIKH  DAN MANSŪKH
Dan menerapkapkan dalam kehidupan sehari-hari Kita sebagai umat islam harus
memahami dan menerapkan serta mengamalkan pengatahuan tentang nasikh mansukh
sehingga kita tidak ragu lagi dan bingung dengan hal-hal tersebut agar tidak ada lagi
persengketaan dan perpecahan di karnakan belum benar-benar memahami mengenai
hal-hal tersebut
Selanjutnya sangat kami sadari bahwa makalah kami buat ini jauh dari kesempurnaan
makah dari itu kami butuh kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qat{t{an, Manna>’ Khali>l. Studi Ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera


AntarNusa, 2014.
Anwar, Rosihon. Ulumu al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Haris, Abdul . “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”. Tajdid, (2014), XIII: 205-206.
Hermawan, Acep.  Ulumul Quran untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011.
i

Anda mungkin juga menyukai