Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST DEBRIDMENT ATAS


INDIKASI FRAKTUR SCAPULA DEXTRA

DI RUANGAN TULIP (RAWAT INAP)

RSUP DR M DJAMIL PADANG

Disusun Oleh :

Sindy Lidya

Nim : 2114901044

Preceptor Akademik Preceptor Klinik

(Ns. Revi Neini Ikbal, S. Kep, M. Kep) (Ns. Hendra, S.Kep)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
TAHUN AJARAN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar
a. Defenisi fraktur scapula dextra
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2017). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur
terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2018). 
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat
& Jong, 2015). fraktur scapula adalah fraktur terputusnya kontinuitas tulang
bahu,tulang belikat atau tulang sayap tulang yang menghubungkan humerus
(tulang lengan atas) dengan klavikula (tulang selangka).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung
(Sjamsuhidajat & Jong, 2019).

b. Anatomi fraktur scapula dextra


(Sjamsuhidajat & Jong, 2015).

c. Etiologi
1. trauma lansung Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut
mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah
tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma adalah Misalnya penderita jatuh
dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan
tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu
sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini
disebut dengan fraktur patologis.
4. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
d. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur secara umum :

1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris
dst).

2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:


a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).

3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :


a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.

4. Berdasarkan posisi fragmen :


a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen

5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen


tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara


hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.

Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :


1. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif.

6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma:


a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.

7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :


a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
- At axim : membentuk sudut.
- At lotus : fragmen tulang berjauhan.
- At longitudinal : berjauhan memanjang.
- At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.

8. Berdasarkan posisi frakur


Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal

9. Fraktur Kelelahan: Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

10. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis


tulang.
e. Tanda Dan Gejala
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
Gejala umum fraktur menurut Corwin. (2019) adalah rasa sakit, pembengkakan,
dan kelainan bentuk.
Tanda dan gejala yang umum ditemukan antara lain :

a) Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang


diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antarfragmen tulang.
b) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melengketnya otot.
c) Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
d) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat.
e) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
f. WOC

g. Pemeriksaan Radiologi

1. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”


menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-
ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya
dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a. Bayangan jaringan lunak.
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. ela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

2. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat
trauma.
c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan


tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH- 5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.

4. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

h. Kompliksi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang
tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan
sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya
menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa
sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan
dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi
ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta
(radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal.
Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum
tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan
melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh –
pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari
sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental
(gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit
ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosi
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat
terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai
fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar
atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular
mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin
tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena
itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh
pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang
menetap pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur.
g. Osteomyeliti
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang
dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous
(infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka
fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang
panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma
dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki
risiko osteomyelitis yang lebih besar

2. Komplikasi Dalam Waktu Lama


a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang
dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya.
imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari
fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis..
c. Malunion
Kelainanpenyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
i. penatalaksanaan
(J.Morison,2014)
1. ketika mengalami patah tulang karena kecelakaan, perhatikan posisi
kecelakaan dan sejajarkan seperti bentuk seharusnya.
2. berikan obat untuk meringankan nyeri, jika ada nyeri
3. pertahankan grekan seminialkan
4. pebedahan
j. Komplikasi
1. Komplikasi akut:
 Cedera pembuluh darah
 Pneumouthorax
 Haemothorax
2. Komplikasi lambat :
 Mal union: proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi
dalam waktu semestinya, namun tidak dengan bentuk aslinya atau
abnormal.
 Non union: kegagalan penyambungan tulang setelah 4 sampai 6
bulan
B. Konsep Dasar Post Debridement
a. pengertian Post Debridement
post debridement adalah Debridement adalah menghilangkan jaringan
mati juga membersihkan luka dari kotoran yang berasal dari luar yang
termasuk benda asing bagi tubuh. Caranya yaitu dengan mengompres luka
menggunakan cairan atau beberapa material perwatan luka yang fungsinya
utuk menyerap dan mengangkat bagian-bagian luka yang nekrotik. (Brunner
& Suddarth, 2018).
Setelah dilakukan debridement, luka harus dilakukan irigasi larutan garam
fisiolofis atau larutan lain dan dilakukan dressing atau juga disebut dengan
kompres dan dibalut sampai luka tertutup untuk mencegah resiko infeksi
setelah pembedahan. (Sjamsuhidajat, 2015). Post debridement merupakan
tindakan atau tahapan setelah dilakukan pembedahan yaitu proses
pemulihan.
b. Etiologi
penyebab debridement dilakukan adalah ketika D ulkus, jaringan nekrotik,
yang dapat menghambat proses pemyembuhan luka sehingga akan
menyebabkan perkembangan infeksi (Mutaqqin, 2019).
c. Tanda Dan Gejala
tanda dan gejala yang sering terjadi pada pasien post debridement yaitu
(Handayani dkk, 2018) :
1. Nyeri pada kaki akibat insisi pembedahan
2. Perdarahan kecil akibat pembedahan
3. Kelemahan
4. Konstipasi

d. WOC

(Muda, Ahmad. 2015)

e. Data penunjang
Hasan, Abdul. (2018)
1. Hitung darah lengkap
2. Leukosit& Eritrosit
3. Gula darah sewaktu
4. Masa pembekuan darah
5. Elektrolit Serum
6. Natrium Urine
7. Alkali Fosfat
8. Glukosa serum
9. Albumin Serum
10. BUN dan Kreatinin
11. Loop aliran Volume
12. EKG

f. Penatalaksanaan
Post Debridement :
1. Pemberian obatobatan
2. Terapi hiperventilasi
3. Pengobatan anti edema dan antibiotik
4. Resusitasi nutrisi dan cairan
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan

Berdasarkan pendapat dari para ahli tentang tahapan dalam proses


keperawatan, tahap dimulai dengan: tahap pengkajian, tahap diagnosa
keperawatan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan serta tahap evaluasi.
(Budiono, 2016).

1. Pengkajian Primary Survey


Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.
(Budiono, 2016). Pengkajian pada klien dengan hernioraphy:
a. Identitas Klien
Nama, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan, suku / bangsa, tanggal masuk RS, tanggal
pengkajian, tanggal operasi, no medrec, diagnosa medis dan alamat.
b. Pengkajian Primary
1) Airway
Pasien dengan post op craniotomy akan terpasang ventilator sebagai
penunjang alat pernafasan serta juga terpasang ETT, OPA. Pada jalan
akan tertumpuk secret karena terjadi penurunan kesadaran.
2) Breathing
Terpasang ventilator. Suara nafas ronchi. Pernafasan pada pasien dengan
post op craniotomy tidak teratur dan kedalamannya juga tidak teratur.
3) Circulation
Pasien dengan post op craniotomy tekanan darahnya tidak menentu.
Akralnya dingin, warna kulitnya pucat karena ketika operasi banyak
menghabiskan darah dan menyebabkan Hb nya menjadi renda
4) Disability
Kesadaran akan menurun karena telah di lakukan pembedahan pada otak.
Besar pupil normal (±2 mm). Reflek terhadap cahaya ada. Semua
aktifitas di bantu karena mengalami penurunan kesadaran serta harus
bedrest total.
5) Exsposure
Pengkajian meliputi untuk mengetahui adanya kemungkinan cidera yang
lain, dengan cara memeriksa semua tubuh pasien harus tetap dijaga
dalam kondisi hangat supaya untuk mencegah terjadinya hipotermi.
6) Foley Chateter
Pengkajian meliputi adanya komplikasi kecurigaan ruptur uretra jika ada
tidak dianjurkan untuk pemasangan kateter, kateter dipasang untuk
memantau produksi urin yang keluar.
7) Gastric tube
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi resiko muntah.
8) Monitor EKG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat kondisi irama dan denyut
jantung.
2. Pengkajian Secondary
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien dengan post op debritdement mengalami penurunan
kesadaran atau masih d bawah pengaruh obat (GCS 7), gelisah, kacau,
siklus tidur terganggu dan tampak gaduh,terdapat luka di daerah kepala,
dan terdapat secret pada saluran pernafasan kadang juga kejang
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat kesehatan dahulu harus diketahui baik berhubungan dengan
sistem persarafan maupun riwayat penyakit sistemik lainnya. Biasanya
pasien mempunyai riwayat penyakit seperti kepala terbentur atau jatuh,
riwayat hipertensi, riwayat stroke.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien dengan post debridetment tidak ada mempunyai riwayat keturunan
seperti penyakit hipertensi dan stroke dll.
d. Pengkajian fisik
Kesadaran :
Composmentis

GCS : 7 ( E:3 V:2 M:2)

TTV : TD :Biasanya menurun


N :Biasana meningkat
P :Biasanya cepat
S :Biasanya meningkat
Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Pasien dengan post op craniotomy tampak luka bekas operasi
pada kepala klien dan terpasang drain, tidak terdapat
pembengkakan pada kepala.
2) Mata
Pasien dengan post op craniotomy akan terjadi pengeluaran darah
yang berlebih jadi conjuntiva pucat, ukuran pupil (2 mm). Reaksi
terhadap cahaya ada, tidak ada edema pada palpebra, palpebra
tertutup, sklera tidak ikterik
3) Telinga
Kesimetrisan telinga, fungsi pendengaran, kebersihan telinga.
4) Hidung
Pasien akan terpasang NGT untuk pemenuhan nutrisi, hidung
bersih, tidak ada perdahan pada hidung. Tidak ada
pembengkakan pada daerah hidung
5) Mulut
Keadaan mukosa mulut, kebersihan mulut, keadaan gigi,
kebersihan gigi, stomatitis (sariawan lidah dan mulut) Mukosa
bibir tampak kering, pasien akan terpasang ETT dan OPA, mulut.
Tidak ada pembengkakan di sekitar mulut
6) Leher
Kesimetrisan, adanya pembesaran kelenjar tyroid / tidak, adanya
pembesaran kelenjar getah bening. Pasien dengan post op
craniotomy tidak mengalami kelainan pada leher.
7) Thorax
Paru-paru :

I : Dada tampak simetris, gerkan sama kiri dan kanan, tidak ada
tampak luka atau lesi, tampak terpasang elektroda kardiogram.

P : Tidak ada pembengkakan

P : Sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi : Suara nafas ronchi karena penumpukan secret pada


jalan nafas, irama tidak teratur

Jantung

I : Arteri carotis normal , tidak terdapat ditensi vena jungularis,


ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba di SIC V 2 cm medial lateral mid clavicula
sinistra
P : Letak jantung normal yaitu batas atas jantung : ICS II
parasternal sinistra, batas kanan jantung : linea parasternal dextra,
batas kiri jantung : midclavicula sinistra
A : tidak mengalami kelainan pada suara jantung : S1 dan S2
normal reguler, tidak ada suara jantung tambahan seperti gallop
kecuali pasien mengalami riwayat penyakit jantung.
8) Abdomen
Inspeksi : Perut datar, tidak ada lesi pada abdomen Auskultasi :
Bising usus normal 12 x/i
Palpasi : Tidak ada pembengkakan pada abdomen Perkusi :
Timpani
9) Genitalia
Normal / abnormal Terdapat penggunaan kateter karena telah
dilakukan operasi dan klien harus bedrest total
10) Integumen
Mukosa pucat,kering dan Kulit kering
11) Ekstermitas
Pucat pada kulit, dasar kuku, dan membrane mukosa, Kuku
mudah patah dan berbentuk seperti sendok, kelemahan dalam
melakukan aktifitas. Tidak terdapat edema pada ekstremitas.
Klien bedrest total. Akral dingin.
12) Punggung
Kesimetrisan punggung,warna kulit, dan keberishan.

13) Persyarafan
 Nervus I (Olfaktorius) :
Suruh klien menutup mata dan menutuo salah satu lubang
hidung, mengidentifikasi dengan benar bau yang berbeda
(misalnya jeruk nipis dan kapas alkohol)
 Nervus II (Optikus) :
Persepsi terhadap cahaya dan warna, periksa diskus optikus,
penglihatan perifer.
 Nervus III (Okulomotorius) :
Kelopak mata terhadap posisi jika terbuka, suruh klien
mengikuti cahaya
 Nervus IV (Troklearis) :
Suruh klien menggerakan mata kearah bawah dan kearah
dalam.
 Nervus V (Trigeminus) :
Lakukan palpasi pada pelipis dan rahang ketika klien
merapatkan giginya dengan kuat, kaji terhadap kesimetrisan
dan kekuatan, tentukan apakan klien dapat merasakan
sentuhan diatas pipi (bayi muda menoleh bila area dekat pipi
disentuh) dekati dari samping, sentuh bagiang mata yang
berwarna dengan lembut dengan sepotong kapas untuk
menguji refleks berkedip dan refleks kornea.
 Nervus VI (Abdusen) :
Kaji kemampuan klien untuk menggerakan mata secara lateral.
 Nervus VII (Fasialis) :
Uji kemampuan klien untuk mengidentifikasi larutan manis
(gula), asam (lemon). Kaji fungsi motorik dengan cara
tersenyumdan menglihatkan giginya.
 Nervus VIII
(Vestibulocochlearis) : Uji
pendengaran.
 Nervus IX (Glosofaringeus) :
Uji kemampuan klien untuk mengidentifikasi rasa pada lidah.
 Nervus X (Vagus) :
Kaji klien refleks menelan, sentuhkan tong spatel pada lidah
ke posterior faring untuk menentukan refleks muntah, jangan
menstimulasi jika ada kecurigaan epiglotitis.
 Nervus XI (Asesorius) :
Suruh klien memutar kepala kesamping dengan melawan
tahanan, minta klien untuk mengangkat bahunya kemudian
kita tahan apakah klien mampu untuk melawannya.
 Nervus XII (Hipoglasus) :
Minta klien untuk mengeluarkan lidahnya,periksa deviasi
garis tengah, dengarkan kemampuan anak untuk
mengucapkan ‘R’.
e. Pemeriksaan diagnostik
b) Nyeri akut b/d terputusnya kontinuitas jaringan tulang.
c) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
pengangkut O2.
d) Intoleransi Akatifitas berhubungan dengan ketidakseimbagan suplai &
kebutuhan O2.
e) Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
f) Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
No Dx Keperawatan Implementasi Evaluasi
1. Nyeri akut b.d LIKI SIKI
terputusnya
Setelah dilakukan Manajemen nyeri
kontinuitas jaringan
tulang asuhan keperawatan Observasi
- Identifikasi lokasi,
selama 1 x 24 jam karakteristik, durasi,
diharapkan nyeri pada frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
pasien berkurang - Identifikasi skala nyeri
dengan kriteria hasil : - Identifikasi respon
nyeri nonverbal
Tingkat Nyeri - Identifikasi factor yang
1. Nyeri berkurang memperingan
dengan skala 2 - dan memperberat nyeri
2. Pasien tidak - Identifikasi
mengeluh nyeri pengetahuan dan
3. Pasien tampak keyakinan
tenang - tentang nyeri
Kontrol Nyeri - kualitas hidup pasien
1. Melaporkan bahwa - Monitor efek samping
nyeri berkurang penggunaan
- Terapeutik
dengan menggunakan - Fasilitasi istirahat tidur
manajemen nyeri - Kontrol lingkungan
Mampu mengenali yang memperberat
nyeri (skala, - nyeri
intensitas, frekuensi ( missal:
dan tanda nyeri) suhu
Status Kenyamanan ruangan,
1. Menyatakan rasa pencahaya
nyaman setelah nyeri an dan
berkurang kebisingan
).
- Beri teknik non
farmakologis untuk
meredakan nyeri
(aromaterapi, terapi
pijat, hypnosis,
biofeedback, teknik
imajinasi
terbimbimbing, teknik
tarik napas dalam dan
kompres hangat/
dingin)
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan
menggunakan
analgetik secaraTepat
- Anjurkan monitor
nyeri secara mandiri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

2. Risiko infeksi Setelah dilakukan Observasi


asuhan keperawatan - Batasi jumlah
pengunjung
selama 2 x 24 jam
- Cuci tangan sebelum
diharapkan klien dan sesudah kontak
terhindar dari resiko dengan pasien dan
lingkungan pasien
infeksi dengan
- Pertahankan teknik
kriteria aseptic pada pasien
hasil: yang beresiko tinggi
Dengan kriteria hasil: Edukasi
- Kebersihan - Jelakan tanda dan
tangan gejala infeksi
meningkat - Ajarkan
- Kebersian meningkatkan asupan
badan meningkat nutrisi
- Nafsu makan - Anjurkan
meningkat meningkatkan asupan
- Sel darah putih cairan
membaik
- Kadar sel darah
merah membaik
3. Gangguan perfusi SIKI SLKI
jaringan berhubungan Setelah dilakukan
Manajemen sensasi perifer
dengan penurunan
tindakan keperawatan
komponen - Periksa perbedaan panas
pengangkut O2. selama…x…jam tidak
atau dingin
terjadi perfusi jaringan
- Monitor perubahan kulit
perifer tidak efektif
- Hindari pemakaian
dengan kriteria hasil :
benda-benda yang
1. Kekuatan nadi
berlebihan suhuhnya
mengingkat
(terlalu panas/dingin)
2. Tekanan systole dan
- Anjurkan pemakaian
diastole dalam
sepatu lembut dan
rentang yang
bertumit rendah
diharapkan
Kolaborasi pemberian
3. Akral dingin analgetik
menurun
4. Fatigue menurun

4. Intoleransi Aktivitas SIKI SLKI


Setelah dilakukan Manajemen Energi
asuhan keperawatan Observasi
selama 3 x 24 jam - Identifkasi gangguan
diharapkan Toleransi fungsi tubuh yang
Aktivitas meningkat, mengakibatkan
kriteria hasil : kelelahan
1. Kemudahan dalam - Monitor kelelahan fisik
melakukan aktivitas dan emosional
sehari-hari - Monitor pola dan jam
meningkat tidur
2. Kekuatan tubuh atas - Monitor lokasi dan
dan bawah ketidaknyamanan
meningkat selama melakukan
3. Keluhan lelah aktivitas
menurun Terapeutik
4. Dispenea menurun - Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (mis. cahaya,
suara, kunjungan)
- Lakukan rentang gerak
pasif dan/atau aktif
- Berikan aktivitas
distraksi yang
menyenangkan
- Fasilitas duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
- Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
- Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan

Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
Terapi Aktivitas
Observasi
- Identifikasi deficit
tingkat aktivitas
- Identifikasi kemampuan
berpartisipasi dalam
aktivotas tertentu
- Identifikasi sumber
daya untuk aktivitas
yang diinginkan
- Identifikasi strategi
meningkatkan
partisipasi dalam
aktivitas
- Identifikasi makna
aktivitas rutin (mis.
bekerja) dan waktu
luang
- Monitor respon
emosional, fisik, social,
dan spiritual terhadap
aktivitas
Terapeutik
- Fasilitasi focus pada
kemampuan, bukan
deficit yang dialami
- Sepakati komitmen
untuk meningkatkan
frekuensi danrentang
aktivitas
- Fasilitasi memilih
aktivitas dan tetapkan
tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai
kemampuan fisik,
psikologis, dan social
- Koordinasikan
pemilihan aktivitas
sesuai usia
- Fasilitasi makna
aktivitas yang dipilih
- Fasilitasi transportasi
untuk menghadiri
aktivitas, jika sesuai
- Fasilitasi pasien dan
keluarga dalam
menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasikan
aktivitas yang dipilih
- Fasilitasi aktivitas fisik
rutin (mis. ambulansi,
mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai
kebutuhan
- Fasilitasi aktivitas
pengganti saat
mengalami keterbatasan
waktu, energy, atau
gerak
- Fasilitasi akvitas
motorik kasar untuk
pasien hiperaktif
- Tingkatkan aktivitas
fisik untuk memelihara
berat badan, jika sesuai
- Fasilitasi aktivitas
motorik untuk
merelaksasi otot
- Fasilitasi aktivitas
dengan komponen
memori implicit dan
emosional (mis. kegitan
keagamaan khusu)
untuk pasien dimensia,
jika sesaui
- Libatkan dalam
permaianan kelompok
yang tidak kompetitif,
terstruktur, dan aktif
- Tingkatkan keterlibatan
dalam aktivotasrekreasi
dan diversifikasi untuk
menurunkan kecemasan
( mis. vocal group, bola
voli, tenis meja,
jogging, berenang, tugas
sederhana, permaianan
sederhana, tugas rutin,
tugas rumah tangga,
perawatan diri, dan
teka-teki dan kart)
- Libatkan kelarga dalam
aktivitas, jika perlu
- Fasilitasi
mengembankan
motivasi dan penguatan
diri
- Fasilitasi pasien dan
keluarga memantau
kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
- Jadwalkan aktivitas
dalam rutinitas sehari-
hari
- Berikan penguatan
positfi atas partisipasi
dalam aktivitas
Edukasi
- Jelaskan metode
aktivitas fisik sehari-
hari, jika perlu
- Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
- Anjurkan melakukan
aktivitas fisik, social,
spiritual, dan kognitif,
dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
- Anjurka terlibat dalam
aktivitas kelompok atau
terapi, jika sesuai
- Anjurkan keluarga
untuk member
penguatan positif atas
partisipasi dalam
aktivitas
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan
terapi okupasi dalam
merencanakan dan
memonitor program
aktivitas, jika sesuai
Rujuk pada pusat atau
program aktivitas komunitas,
jika perlu
5. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Utama
fisik tindakan selama 1 x 24  Dukungan mobilisasi
jam di harapkan Pendukung
Utama :  Dukungan kepatuhan
 mobilitas fisik  Dukungan perawatan diri
tambahan :  Dukungan perawatn diri
 berat badan BAK/BAB
 fungsi sensori  Dukungan perawatan diri :
 keseimbangan Berpakaian
 konservasi energi  dukungan perawatan diri :
 koordinasi mandi
pergerakkan  dukungan perawatan diri :
 motivasi makan /minum
 pergerakkan sendi  edukasi latihan fisik
 status nutrisi  edukasi teknik ambulasi
 toleransi aktivitas  menejemnt nyeri
 menejement energy
 menejement lingkungan
 menejemnt nutrisi
 terapi aktifitas
 terapi relaksasi oto
progresif
 menejement program
latihan
 pemberian obat
 pemberian obat intravena
 pencegahan jatuh
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth , 2018. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta :
EGC

J.Morison,2014. Manajemen luka Moya. Jakarta : EGC

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong , Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta. 2012.

A.K. Muda, Ahmad. 2015. Kamus Lengkap Kedokteran Edisi Revisi.


Jakarta :Gitamedia Press.

Handayani Wiwik dan Andi Sulistyo. (2018). Asuhan Keperawatan pada Klien

dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medik

(Sjamsuhidajat & Jong, 2015). Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta :


UGM

Corwin. (2019). Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta :

EGC

Hasan, Abdul. (2018). Study Kasus Gangguan Perfusi Jaringan Serebral dengan

Penurunan Kesadaran pada Klien CKB.

FORMAT BIMBINGAN
NO Hari/Tanggal Kegiatan TTD

Anda mungkin juga menyukai