Disusun Oleh :
Sindy Lidya
Nim : 2114901044
A. Konsep Dasar
a. Defenisi fraktur scapula dextra
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2017). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur
terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2018).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat
& Jong, 2015). fraktur scapula adalah fraktur terputusnya kontinuitas tulang
bahu,tulang belikat atau tulang sayap tulang yang menghubungkan humerus
(tulang lengan atas) dengan klavikula (tulang selangka).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung
(Sjamsuhidajat & Jong, 2019).
c. Etiologi
1. trauma lansung Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut
mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah
tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma adalah Misalnya penderita jatuh
dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan
tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu
sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini
disebut dengan fraktur patologis.
4. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
d. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris
dst).
g. Pemeriksaan Radiologi
2. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat
trauma.
c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
3. Pemeriksaan Laboratorium
4. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
h. Kompliksi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang
tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan
sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya
menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa
sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan
dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi
ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta
(radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal.
Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum
tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan
melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh –
pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari
sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental
(gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit
ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosi
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat
terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai
fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar
atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular
mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin
tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena
itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh
pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang
menetap pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur.
g. Osteomyeliti
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang
dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous
(infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka
fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang
panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma
dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki
risiko osteomyelitis yang lebih besar
d. WOC
e. Data penunjang
Hasan, Abdul. (2018)
1. Hitung darah lengkap
2. Leukosit& Eritrosit
3. Gula darah sewaktu
4. Masa pembekuan darah
5. Elektrolit Serum
6. Natrium Urine
7. Alkali Fosfat
8. Glukosa serum
9. Albumin Serum
10. BUN dan Kreatinin
11. Loop aliran Volume
12. EKG
f. Penatalaksanaan
Post Debridement :
1. Pemberian obatobatan
2. Terapi hiperventilasi
3. Pengobatan anti edema dan antibiotik
4. Resusitasi nutrisi dan cairan
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
I : Dada tampak simetris, gerkan sama kiri dan kanan, tidak ada
tampak luka atau lesi, tampak terpasang elektroda kardiogram.
Jantung
13) Persyarafan
Nervus I (Olfaktorius) :
Suruh klien menutup mata dan menutuo salah satu lubang
hidung, mengidentifikasi dengan benar bau yang berbeda
(misalnya jeruk nipis dan kapas alkohol)
Nervus II (Optikus) :
Persepsi terhadap cahaya dan warna, periksa diskus optikus,
penglihatan perifer.
Nervus III (Okulomotorius) :
Kelopak mata terhadap posisi jika terbuka, suruh klien
mengikuti cahaya
Nervus IV (Troklearis) :
Suruh klien menggerakan mata kearah bawah dan kearah
dalam.
Nervus V (Trigeminus) :
Lakukan palpasi pada pelipis dan rahang ketika klien
merapatkan giginya dengan kuat, kaji terhadap kesimetrisan
dan kekuatan, tentukan apakan klien dapat merasakan
sentuhan diatas pipi (bayi muda menoleh bila area dekat pipi
disentuh) dekati dari samping, sentuh bagiang mata yang
berwarna dengan lembut dengan sepotong kapas untuk
menguji refleks berkedip dan refleks kornea.
Nervus VI (Abdusen) :
Kaji kemampuan klien untuk menggerakan mata secara lateral.
Nervus VII (Fasialis) :
Uji kemampuan klien untuk mengidentifikasi larutan manis
(gula), asam (lemon). Kaji fungsi motorik dengan cara
tersenyumdan menglihatkan giginya.
Nervus VIII
(Vestibulocochlearis) : Uji
pendengaran.
Nervus IX (Glosofaringeus) :
Uji kemampuan klien untuk mengidentifikasi rasa pada lidah.
Nervus X (Vagus) :
Kaji klien refleks menelan, sentuhkan tong spatel pada lidah
ke posterior faring untuk menentukan refleks muntah, jangan
menstimulasi jika ada kecurigaan epiglotitis.
Nervus XI (Asesorius) :
Suruh klien memutar kepala kesamping dengan melawan
tahanan, minta klien untuk mengangkat bahunya kemudian
kita tahan apakah klien mampu untuk melawannya.
Nervus XII (Hipoglasus) :
Minta klien untuk mengeluarkan lidahnya,periksa deviasi
garis tengah, dengarkan kemampuan anak untuk
mengucapkan ‘R’.
e. Pemeriksaan diagnostik
b) Nyeri akut b/d terputusnya kontinuitas jaringan tulang.
c) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
pengangkut O2.
d) Intoleransi Akatifitas berhubungan dengan ketidakseimbagan suplai &
kebutuhan O2.
e) Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
f) Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
No Dx Keperawatan Implementasi Evaluasi
1. Nyeri akut b.d LIKI SIKI
terputusnya
Setelah dilakukan Manajemen nyeri
kontinuitas jaringan
tulang asuhan keperawatan Observasi
- Identifikasi lokasi,
selama 1 x 24 jam karakteristik, durasi,
diharapkan nyeri pada frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
pasien berkurang - Identifikasi skala nyeri
dengan kriteria hasil : - Identifikasi respon
nyeri nonverbal
Tingkat Nyeri - Identifikasi factor yang
1. Nyeri berkurang memperingan
dengan skala 2 - dan memperberat nyeri
2. Pasien tidak - Identifikasi
mengeluh nyeri pengetahuan dan
3. Pasien tampak keyakinan
tenang - tentang nyeri
Kontrol Nyeri - kualitas hidup pasien
1. Melaporkan bahwa - Monitor efek samping
nyeri berkurang penggunaan
- Terapeutik
dengan menggunakan - Fasilitasi istirahat tidur
manajemen nyeri - Kontrol lingkungan
Mampu mengenali yang memperberat
nyeri (skala, - nyeri
intensitas, frekuensi ( missal:
dan tanda nyeri) suhu
Status Kenyamanan ruangan,
1. Menyatakan rasa pencahaya
nyaman setelah nyeri an dan
berkurang kebisingan
).
- Beri teknik non
farmakologis untuk
meredakan nyeri
(aromaterapi, terapi
pijat, hypnosis,
biofeedback, teknik
imajinasi
terbimbimbing, teknik
tarik napas dalam dan
kompres hangat/
dingin)
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan
menggunakan
analgetik secaraTepat
- Anjurkan monitor
nyeri secara mandiri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
Terapi Aktivitas
Observasi
- Identifikasi deficit
tingkat aktivitas
- Identifikasi kemampuan
berpartisipasi dalam
aktivotas tertentu
- Identifikasi sumber
daya untuk aktivitas
yang diinginkan
- Identifikasi strategi
meningkatkan
partisipasi dalam
aktivitas
- Identifikasi makna
aktivitas rutin (mis.
bekerja) dan waktu
luang
- Monitor respon
emosional, fisik, social,
dan spiritual terhadap
aktivitas
Terapeutik
- Fasilitasi focus pada
kemampuan, bukan
deficit yang dialami
- Sepakati komitmen
untuk meningkatkan
frekuensi danrentang
aktivitas
- Fasilitasi memilih
aktivitas dan tetapkan
tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai
kemampuan fisik,
psikologis, dan social
- Koordinasikan
pemilihan aktivitas
sesuai usia
- Fasilitasi makna
aktivitas yang dipilih
- Fasilitasi transportasi
untuk menghadiri
aktivitas, jika sesuai
- Fasilitasi pasien dan
keluarga dalam
menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasikan
aktivitas yang dipilih
- Fasilitasi aktivitas fisik
rutin (mis. ambulansi,
mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai
kebutuhan
- Fasilitasi aktivitas
pengganti saat
mengalami keterbatasan
waktu, energy, atau
gerak
- Fasilitasi akvitas
motorik kasar untuk
pasien hiperaktif
- Tingkatkan aktivitas
fisik untuk memelihara
berat badan, jika sesuai
- Fasilitasi aktivitas
motorik untuk
merelaksasi otot
- Fasilitasi aktivitas
dengan komponen
memori implicit dan
emosional (mis. kegitan
keagamaan khusu)
untuk pasien dimensia,
jika sesaui
- Libatkan dalam
permaianan kelompok
yang tidak kompetitif,
terstruktur, dan aktif
- Tingkatkan keterlibatan
dalam aktivotasrekreasi
dan diversifikasi untuk
menurunkan kecemasan
( mis. vocal group, bola
voli, tenis meja,
jogging, berenang, tugas
sederhana, permaianan
sederhana, tugas rutin,
tugas rumah tangga,
perawatan diri, dan
teka-teki dan kart)
- Libatkan kelarga dalam
aktivitas, jika perlu
- Fasilitasi
mengembankan
motivasi dan penguatan
diri
- Fasilitasi pasien dan
keluarga memantau
kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
- Jadwalkan aktivitas
dalam rutinitas sehari-
hari
- Berikan penguatan
positfi atas partisipasi
dalam aktivitas
Edukasi
- Jelaskan metode
aktivitas fisik sehari-
hari, jika perlu
- Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
- Anjurkan melakukan
aktivitas fisik, social,
spiritual, dan kognitif,
dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
- Anjurka terlibat dalam
aktivitas kelompok atau
terapi, jika sesuai
- Anjurkan keluarga
untuk member
penguatan positif atas
partisipasi dalam
aktivitas
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan
terapi okupasi dalam
merencanakan dan
memonitor program
aktivitas, jika sesuai
Rujuk pada pusat atau
program aktivitas komunitas,
jika perlu
5. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Utama
fisik tindakan selama 1 x 24 Dukungan mobilisasi
jam di harapkan Pendukung
Utama : Dukungan kepatuhan
mobilitas fisik Dukungan perawatan diri
tambahan : Dukungan perawatn diri
berat badan BAK/BAB
fungsi sensori Dukungan perawatan diri :
keseimbangan Berpakaian
konservasi energi dukungan perawatan diri :
koordinasi mandi
pergerakkan dukungan perawatan diri :
motivasi makan /minum
pergerakkan sendi edukasi latihan fisik
status nutrisi edukasi teknik ambulasi
toleransi aktivitas menejemnt nyeri
menejement energy
menejement lingkungan
menejemnt nutrisi
terapi aktifitas
terapi relaksasi oto
progresif
menejement program
latihan
pemberian obat
pemberian obat intravena
pencegahan jatuh
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth , 2018. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta :
EGC
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong , Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta. 2012.
Handayani Wiwik dan Andi Sulistyo. (2018). Asuhan Keperawatan pada Klien
EGC
Hasan, Abdul. (2018). Study Kasus Gangguan Perfusi Jaringan Serebral dengan
FORMAT BIMBINGAN
NO Hari/Tanggal Kegiatan TTD