Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA WANITA SUBUR SETELAH


MELAHIRKAN
Mata Kuliah :
Keperawatan Maternitas

Dosen pengampu :

Ns.Asri Kusyani , M. Kep

Penyusun :

Maratus sholihah

S1 KEPERAWATAN STIKES BAHRUL ULUM

TAMBAK-BERAS JOMBANG

2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatnya dan
hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjudul ‘Asuhan
Keperawatan pada wanita usia subur setelah melahirkan ’. Dengan segala
keterbatasan yang ada, penulis sebagai penyusun menyadari bahwa makalah ini
banyak kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna.
Demikian penyampaian dari penulis sebagai penyusun makalah ini, semoga Tuhan
Yang Masa Esa selalu meridhoi usaha kami dalam mencapai tujuan dan hasil yang
saya harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pambaca
sekalian.

Jombang, 7 Maret 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................................2

BAB I............................................................................................................................4

1.1.................................................................................................................................L

atar Belakang..........................................................................................................4

1.2.................................................................................................................................R

umusan Masalah.....................................................................................................5

1.3.................................................................................................................................

Tujuan.....................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................6

2.1. Definisi..................................................................................................................6

2.2 Aspek biofisik kehamilan ......................................................................................6

2.3. Aspek psikososial kehamilan ………………………………………………….11

2.4 Asuhan keperawatan biospikososial pada ibu hamil…………………………….14

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………15

3.1. Kesimpulan..........................................................................................................15

3.2. Saran.....................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang v

1.2. Rumusan Masalah

1 . Apa saja masalah yang timbul pada masa post partum ?

2 . Bagaimana asuhan keperawatan pada masalah post partum ?

1.3. Tujuan

Ditujuhkan kepada Perawat dan mahasiswa dapat memahami tentang

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks dan janin turun ke
dalam jalan lahir. (Prawirohardjo, 2001).
Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban di dorong keluar melalui jalan
lahir. (Prawirohardjo, 2001).
Pesalinan dan kelahiran normal (partus spontan) adalah proses lahirnya bayi pada
letak belakang kepala yang dapat hidup dengan tenaga ibu sendiri dan uri, tanpa alat
serta tidak melukai
Masa nifas ( puerperium ) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai
sampai alat – alat kandungan kembali seperti pra-hamil. Lama masa nifas ini yaitu 6 –
8 minggu.(Rustam Mochtar,1998).
Masa nifas adalah periode sekitar 6 minggu sesudah melahirkan anak, ketika alat –
alat reproduksi tengah kembali kepada kondisi normal.( Barbara F. weller 2005 )
Post partum adalah proses lahirnya bayi dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan
alat  – alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari
24 jam.(Abdul Bari Saifuddin, 2002)
Pesalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada
kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang
kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada
janin. (Prawirohardjo, 2001
2.2 Masalah pada masa post partum

2.2.1 Trauma Melahirkan


Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena
trauma kelainan akibat tindakan, cara persalinan / gangguan yangdiakibatkan
oleh kelainan fisiologik persalinan.(Sarwono Prawirohardjo, 2001 :229)

5
Trauma lahir adalah kerusakan dari struktur atau fungsi tubuh neonatus
sebagai akibat komplikasi yang terjadi saat lahir. .(Sarwono Prawirohardjo,
2001 :229)
Trauma lahir adalah kelahiran bayi baru lahir yang terjadi karena trauma lahir
akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan persalinan yang diakibatkan
kelainan fisiologis persalinan. (YPB, maternal neonatal. 2007).

2.2.2 Etiologi

 Pendarahan intracranial

1. Hipoksia

2. Trauma Persalinan

 Kaput suksedanum

1. Partus lama/obstruksi

2. Persalinan dengan ekstraksi vakum

 Chepalohematoma

1. Tekanan jalan lahir terlalu lama pada kepala waktu persalinan.

2. Mullage terlalu keras sehingga selaput tengkorak robek.

3. Partus dengan tindakan.

 Forsep

 Vacum ekstraksi

 Cedera spinal

1. rotasi forceps

2. Vacum ekstraksi

2.2.3 Klasifikasi
1. Pendarahan Intrakranial:
perdarahan dalam rongga kranium dan isinya pada bayi sejak
lahir sampai umur 4 minggu.
2. Kaput suksedanum:

6
Benjolan atau pembengkakan karena adanya timbunana getah bening
dikepala (pada presentasi kepala)yang terjadi pada bayi lahir.
3. Chepalohematoma:
Pembengkakan pada daerah kepala yang disebabkan karena adanya
penumpukan darah akibat perdarahan pada subperiostinum.
4. Cedera Spinalis:
Peregangan berlebihan medulla spinalis dan pendarahan yang
menyertainya dapat timbul setelah traksi berlebihan selama persalinan
sungsang dan bahkan dapat terjadi fraktur atau dilokasi vertebra.

2.2.4 Manifestasi klinis


a. Pendarahan intracranial:
 Gejala neurologi yang timbul akan bervariasi, tergantung pada tempat
dan luasnya kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh perdarahan
tersebut.
 Gangguan kesadaran (apati, somnolen, sopor atau koma),
 Tidak mau minum,
 Menangis lemah,
 Nadi lambat/cepat.
 Kadang-kadang ada hipotermi yang menetap.
b. Kaput suksedanum:
 Edema di kepala
 Terasa lembut dan lunak pada perabaan
 Banjolan berisi serum dan kadang bercampur dengan darah
 Edema melampaui tulang tengkorak
 Batas yang tidak jelas
 Permukaan kulit pada benjolan berwarna ungu atau kemeraha
 Benjolan akan menghilang sekitar 2-3 minggu tanpa pengobatan.

c. Chepalohematoma:
 Kepala tampak bengkak dan berwarna merah
 Tampak benjolan dengan batas yang tegas dan tidak melampui tulang
tengkorak
 Pada perabaan terasa mula-mula keras kemudian menjadi lunak.
 Benjolan tampak jelas +6 sampai 8 jam setelah lahir
 Benjolan membesar pada hari kedua atau ketiga
 Benjolan akan menghilang dalam beberapa minggu

7
d. Cedera Spinalis:
 gangguan pernafasan
 kelumpuhan kedua tungkai dan retensio urin.

2.2.5 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan radiografi
1. Pendarahan Intrakranial:
 USG
menentukan derajat perdarahan intraventrikuler sebagai berikut 1 derajat 0 :
 foto kepala.
 Sinar X spiral
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang.
 Pemeriksaan likuor terutama untuk perdarahan subaraknoid dan
intraventrikuler/periventrikuler
 Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
 Lumbal pungsi:untuk mengetahui keadaan spinalnya
 EKG:grafik yang dibuat oleh sebuah elektrokardiograf,yang merekam
aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu.

2. Kaput suksedanum:

 Sinar X-ray
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang.
3. Cephalohematoma
 Sinar X-ray
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang.
 CT-SCAN
Menentukan tempat luka.
4. Cedera spinalis

 Foto vetebra vertical untuk mengetahui apakah ada fraktur pada


vertebra sertical
 Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur tulang belakang.
 Foto toraks 
gambaran atau pencitraan yang dihasilkan oleh Sinar X yang ditembakkan ke
tubuh pasien.
 MRI

8
berguna untuk membedakan perdarahan subgaleal dari kondisi patologik
kranial lainnya.Untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spiral.
 CT-SCAN
Menentukan tempat luka.
 Sinar X spiral
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang.

2.2.6 Komplikasi
1. Pendarahan Intrakranial:
 hilang kesadaran
 peningkatan tekanan cairan cerebrospinal

2. Kaput suksedanum:
 Kaput hemorargik
 Infeksi
 Ikhterus
 Anemia
3. Chepalohematoma:
 Ikterus
 Anemia
 Infeksi
 Kalasifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun

4. Cedera spinalis:
 Kerusakan medula spinalis dari komorsio
 serabut-serabut ernia nukleus pulposus melalui anulus,dan menekan
radiks saraf spinal.
 saraf mulai membengkak dan hancur
 Daerah lumbal mengalami herniasi nukleus pulposus.

2.2.7 Penata laksanaan


a. Pendarahan intracranial
1. Farmakologi:
 Vitamin K injeksi 12 mg/im untuk bayi aterm dan 1 mg untuk bayi
preterm
 valium/luminal bila ada kejang-kejang.
 kortikosteroid berupa deksametason 0,5–1 mg/kgBB/24 jam yang
mempunyai efek baik terhadap hipoksia dan edema otak

9
 antibiotika dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder,
terutama bila ada manipulasi yang berlebihan.
2. Non farmakologi:
 Hindari manipulasi
 Rujuk ke rumah sakit
 Menjaga jalan napas tetap bebas, apalagi kalau penderita dalam
koma diberikan 02.
 Bayi letak dalam posisi miring untuk mencegah aspirasi serta
penyumbatan larings oleh lidah dan kepala agak ditinggikan untuk
mengurangi tekanan vena serebral.

b. Kaput suksedanum
1. Farmakologi:tidak ada
2. Non farmakologi:
 Perawatan bayi sama dengan perawatan bayi normal
 Pengawasan keadaan umum bayi
 Berikan lingkungan yang baik,adanya ventilasi dan sinar matahari
yang cukup.
 Pemberian ASI yang adekuat,bidan harus mengajarkan pada ibu
teknik menyusui dengan benar
 Pencegahan infeksi hasus dilakukan untuk menghindari adanya
infeksi pada benjolan.
 Berikan konseling pada orang tua,tentang:
o Keadaan trauma yang dialami oleh bayi
o Jelaskan bahwa benjolan akan menghilang dengan
sendirinya setelah 2 sampai 3 minggu tanpa pengobatan
o Perawatan bayi sehari-hari
o Manfaat dan teknik pemberian ASI
c. Chepalohematoma
1. Farmakologi:
Lakukan pemberian vitamin K jika perlu
2. Non farmakologi:
 Perawatan yang dilakukan hampir sama dengan kaput
suksedaneum
 Jika ada luka agar tetap bersih dan kering.
 Apabila dicurigai terjadi fraktur tulang tengkorak,harus dilakukan
pemeriksaan lain seperti foto toraks.

10
 Lakukan pemeriksaan radiologic apabila dicurigai terdapat
gangguan susunan sarafpusat,seperti tampak benjolan yang sangat
luas.

d. Cedera Spinalis
1. Pembedahan:
 Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf.
 Neuroma excision : Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf
dilekatkan kembali
 Nerve grafting: Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak
mungkin dilakukan tarikan
 Intraplexual neurotization
menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal cord
sebagai donor untuk saraf yang avulsi.
2. Pembedahan Sekunder
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena.
Ini tergantung saraf yang terkena.

2.2.8 Konsep asuhan keperawatan


A. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata:Didapatkan pada bayi baru berumur beberapa hari.
b. Keluhan Utama:Adanya benjola di kepala
c. Riwayat Penyakit Sekarang:Oedema pada kepala terasa lembut dan
lunak dengan batas tidak jelas Organ tubuh yang lain relatif seperti
bayi normal
d. Riwayat Penyakit Dahulu:Dalam proses persalinan bayi lahir
dengan bantuan vacuum ekstrasi,Proses persalinan bayi lama
e. ADL (Activity Daily Life)
o Pola Nutrisi:Pemberian ASI yang adekuat
o Pola Aktivitas:Tidak sering diangkat agar benjola tidak meluas
o Pola Istirahat:Biasanya bayi sering tidur
Pola Eliminasi
Jumlah output sesuai dengan intake yang dikeluarkan
Pola Personal Hygiene:Pasien diseka di tempat tidur
o Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum
1)TTV
Nadi : 180 x/mnt, pada menit I, kemudian turun sampai 120-

11
140x/mnt,RR : 80 x/mnt, pada menit(pertama), kemudian
menurun setelah tenang 40x/mnt,Suhu : 36,5oC – 37,4C
o Kesadaran Composmentis
o Pemeriksaan Fisik
Kepala : Terdapat benjolan di kepala berwarna kemerahan, teraba lembut,
lunak
Thorax : Lingkar dada 30 – 38 cm
Genetalia : - Sesuai umur kehamilan,Bila bayi kurang bulan,Pada bayi laki-
laki,testis belum turun, pada bayi wanita labia mayora belum menutupi labia
minora
Ekstrimitas : Aktif
Integumen : Kulit badan dan ekstremitas kemerah-merahan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan cedera psikis,alat traksi
2. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan apnea
3. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah:Mis:hipovolemia
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama.
5. Resiko tinggi cedera janin yang berhubungan dengan tekanan daerah
kepala subperiostal, disporsisi cephalo pelvic.

C. INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan cedera psikis,alat traksi.
Tujuan:setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam nyeri
berkurang.
Kriteria Hasil:
o nyeri berkurang
o skala nyeri 1-10
o posisi senyaman mungkin

Intervensi:
1. Kaji terhadap adanya bantuan pasien mengidentifikasi dan
menghitung nyeri
2. Menayakan pada orang tua bayi,untuk mengidentifikasi factor
pencetus
3. Berikan tindakan kenyamanan pada bayi
Rasional:

12
1. Orang tua bayi melaporkan nyeri di atas tingkat
cedera.Mis:dada,punggung
2. Nyeri terbakar dan spasme otot dicetuskan diperoleh oleh banyak
factor.Mis:ansietas,tegangan
3. Tindakan anternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan
emosional

2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian


aliran darah:Mis:hipovolemia
Tujuan:setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam tingkat
kesadaran biasa,dan fungsi motorik/sensorik
Kriteria Hasil: tanda-tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan
TIK
Intervensi:
1. Tentukan factor-faktor yang menentukan penurunan perfusi
jaringan otak dan potensial peningkatan TIK
2. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan
dengan standar GCS
3. Evaluasi keadaan pupil ukuran kesamaan antara kiri dan kanan
reaksi terhadap cahaya
4. Pantau tanda-tanda vital:nadi,nafas,suhu
5. Pantau intakedan out put turgor kulit dan membrane mukosa.
Rasional:
1. Penurunan tanda dangejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihan setelah serangan awal
2. Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK
3. Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
4. Peningkatan TD sistemik yang di ikuti oleh penurunan TD
diastole(nadi yang membesar)
5. Bermanfaat sebagai indicator dari cairan total tubuh yang
terintegrasi dengan perfusi jaringan .

3. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan takipnea


Tujuan:Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam
pernafasan kembali normal.
Kriteria Hasil:
o Nafas normal
o bebas sianosis

13
o GDA dalam batas norma
Intervensi:
1. Lakukan pengisapan bila perlu,catat jumlah jenis,dan karekteristik
sekresi
2. Kaji fungsi pernafasan dengan menginstruksikan pasien untuk
nafas dalam
3. Auskultasi suara nafas
4. Observasi wana kulit,adanya sianosis,keabu-abuan
5. Berikan oksigen dengan cara yang tepat seperti dengan kanul
oksigen,masker,ingkubasi.
Rasional:
1. Jika batuk tidak efektif,penghisapan dibutuhkan untuk
mengeluarkan secret,meningkatkan secret,meningkatkan distribusi
udara,mengurangi resiko infeksi pernafasan.
2. Trauma pada C1-C2 menyebabkan hilangnya fungsi pernafasan
secara menyeluruh,trauma C4-C5 mengakibatkan hilangnya fungsi
persarafan yang bervariasi tergantung pada tekanan saraf frenikus
dan fungsi diagfragma
3. Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi atau
atelektasi atau pneumonia(komplikasi yang sering terjadi)
4. Menggambarkan akan terjadinya gagal nafas yang memerlukan
evaluasi dan intervensi medis dengan segera
5. Metode yang akan dipilih tergantung dari lokasi trauma
keadaaninsufisiensi pernafasan.
2.3 Inkortinesia urine
2.3.1 Definisi
Inkontinensia urine adalah berkemih diluar kesadaran, pada waktu dan
tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau sosial. Aspek
sosial yang akan dialami oleh lansia antara lain kehilangan harga diri, merasa
terisolasi dan depresi.
Inkontinensia urine adalah sering berkemih/ngompol yang tanpa disadari
merupakan salah satu keluhan orang lanjut usia.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi
yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan
sosial (Kane, dkk, 1989).

2.3.2 Klasifikasi
1) Inkontinensia Stress

14
Akibat adanya tekanan didalam abdomen, seperti bersin, atau
selama latihan, menyebabkan kebocoran urine dari kandung kemih.
Tidak terdapat aktivitas kandung kemih. Tipe inkontinensia urine ini
sering diderita wanita yang mempunyai banyak anak.
2) Inkontinensia Mendesak (urge incontinence)
Berkemih dapat dilakukan, tetapi orang biasanya berkemih
sebelum sampai ke toilet. Mereka tidak merasakan adanya tanda untuk
berkemih. Kondisi ini terjadi karena kandung kemih seseorang
berkontraksi tanpa didahului oleh keinginan untuk berkemih.
Kehilangan sensasi untuk berkemih ini disebabkan oleh adanya
penurunan fungsi persarafan yang mengatur perkemihan.
3) Inkontinensia Overflow
Seseorang yang menderita inkontinensia overflow akan
mengeluh bahwa urinenya mengalir terus menerus. Hal ini disebabkan
karena obstruksi saluran kemih seperti pada pembesaran prostat atau
konstipasi. Untukpembesaran prostat yang menyebabkan inkontinensia
dibutuhkan tindakan pembedahan. Dan untuk konstipasinya relatif
mudah diatasi.
4) Inkontinensia Refleks
Ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu,
seperti demensia. Dalam hal ini, pengosongan kandung kemih
dipengaruhi refleks yang dirangsangoleh pengisian. Kemampuan rasa
ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada. Penatalaksanaannya
dengan permintaan untuk miksi secara teratur setiap jam atau dengan
menggunakan diapers ukuran dewasa.
5) Inkontinensia fungsional
Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urine yang utuh dan
tidak mengalami kerusakan persarafan yang secara langsung mempengaruhi
sistem perkemihan tersebut. Kondisi ini muncul akibat ketidakmampuan lain
yang mengurangi kemampuannya untuk mempertahankan kontinensia
2.3.3 Etiologi
Etiologi inkontinensia urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono,
2001) :
a. Poliuria, noktoria
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia > 50 tahun.

15
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini
disebabkan oleh:
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra
dan efek akibat dilahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-
otot dasar panggul.
2) Perokok, minum alkohol.
3) Obesitas.
4) Infeksi saluran kemih (ISK)
2.3.4 Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan vesika
urinaria (kandung kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal
sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih
diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi
terjadi pada otot detrusor kontrasi dan sfingter internal dan sfingter
ekternal relaksasi, yang yang membuka uretra. Pada orang dewasa
muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia
tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengidentifikasi
adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada proses penuaan
adalah terjadinya kontraksi kandung kemih tanpa disadari. Wanita
lansia, terjadi penurunan produksi estrogen menyebabkan atrofi
jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan
pada otot-otot dasar ( Stanley M & Beare G Patricia, 2006 ).
b. Fungsi otot besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi
kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan
pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih
sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu
menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin .

2.3.5 Tanda gejala

16
a. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan
mencapai kamar mandi karena telah mulai berkemih.
b. Desakan, frekuensi, dan nokturia.
c. Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine
ketika tertawa, bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.
d. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau
lambat dan merasa menunda atau mengejan.
e. Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine
yang adekuat.
f. Higiene atau tanda-tanda infeksi.
g. Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis.

2.3.6 Pemeriksaan penunjang


a. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan
glukosa dalam urine.
b. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur
laju aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung
kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot detrusor, tekanan dan
kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan
panas.
d. Urografi eksretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi
ketidaknormalan kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi
lobus prostat, struktur uretra, dan tahap gangguan uretra prostatik
stenosis (pada pria).
f. Urterografi retrograde, digunakan hampir secara eksklusif pada pria,
membantu diagnosis struktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter
urinarus eksternal.
h. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran
prostat atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertfrofi prostat jinak
atau infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi
yang mungkin dapat mentebabkan inkontinensia.
i. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam
kandung kemih.

17
2.3.7 Penatalaksanaan
a. Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik
diresepkan jika inkontinensia akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh
infeksi bakteri. Obat antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi
kandung kemih dan mengobati spasme kandung kemih jika dicurigai ada
ketidakstabilan pada otot destrusor. Obat antispasmodik diresepkan untuk
hiperrefleksia detrusor aktivitas otot polos kandung kemih. Estrogen baik
dalam bentuk oral, topikal, maupun supositoria, digunakan jika ada
vaginitis atrofik. Inkontinensia stress kadang dapat diterapi dengan obat
antidepresan.
b. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu
berkemih, penyegeraan berkemih, dan latihan otot panggul (latihan kegel).
Pendekatan yang dipilih disesuaikan dengan masalah pasien yang
mendasari. Latihan kebiasaan dan latihan berkemih sangat sesuai untuk
pasien yang mengalami inkontinensia urgensi. Latihan otot panggul sangat
baik digunakan oleh pasien dengan fungsi kognitif yang utuh yang
mengalami inkontinensia stress. Intervensi perilaku umumnya tidak dipilih
untuk pasien yang mengalami inkontinensia sekunder akibat overflow.
Teknik tambahan, seperti umpan biologis dan rangsangan listrik, berfungsi
sebagai tambahan pada terapi perilaku.Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi
pasien yang mengalami demensia atau kerusakan kognitif, mencakup
menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2 sampai 4 jam.
c. Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang mengalami kelainan
anatomi seperti prolaps uterus berat atau relaksasi pelvik. Spiral tersebut
dapat dipakai secara internal, seperti diafragma kontrasepsi, dan
menstabilkan dasar kandung kemih serta uretra, yang mencegah
inkontinensia selama ketegangan fisik.
d. Toileting terjadwal
e. Penggunaan pads
f. Indwelling kateter, jika retensi urine tidak dapat dikoreksi secara
medis/pembedahan dan untuk kenyamanan klien terakhir.

2.3.8 Komplikasi
Infeksi saluran kemih
2.3.9 Konsep asuhan keperawatan
1. Pengkajian

18
Adapun data-data yang akan di kumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan
klien dengan diagnosa medis inkontinensia urine :
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis
b. Keluhan utama
Pada kelayan inkontinensia urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan strategi
c. Riwayat penyakit sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran kemih )
yang berulang, penyakit kronis yang pernah di derita
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit inkontinensia urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, hipertensi
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
1) B1 (breathing)
Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada palo nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi
2) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktifitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih

19
serta disertai keluhan keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah supra pubik lesi pada neatus uretra, banyak kencing dan
nyeri saat berkemih mendadah disurea akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau pelvis, seperti rasa
terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga diluar waktu
kencing.
5) B5 (bowel)
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi
pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang
lain, adakah nyeri pada persendian.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi
untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat
kontraksi kantung kemih.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
yang lama.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras
oleh urine
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang
adekuat

3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi
untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat
kontraksi kandung kemih.

20
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinesia.
Kriteria Hasil :
Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinesia dan rasional penatalaksaan.
Intervensi :
1) Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih
sehari.
Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi
kandung kemih
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya
enurasis
3) Bila masih terjadi inkontinesia kurangi waktu antara berkemih
yang telah direncanakan
Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk
menampung volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4) Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada
kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih
dulu.
Rasional : Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
5) Pantau pemasukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat
masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
Rasional : Dehidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu
ginjal
6) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis/ jadwal pemberian
obat untuk menurunkan frekuensi inkontinensia.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinesia, imobilitas dalam
waktu yang lama.

21
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukan tidak
adanya bakteri.
Intervensi :
1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika
pasien inkontinensia, cuci daerah perineal segera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra .
2) Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x
sehari (Merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu
akan tidur) dan setelah buang air besar.
Rasional : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3) Ikuti kewaspadaan umum (Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan
cairan tubuh atau darah yang terjadi (Memberikan perawatan
perineal, pengosongan kantung drainase urine, penampungan
spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter Indwelling.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang
4) Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan .
Rasional : Untuk mencegah stasis urine.
5) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
a) Tingkatkan masukan sari buah berri .
b) Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
c) R : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman . Karena
jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan

22
memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari
buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran
kemih.

c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras


oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan
integritas kulit teratasi.
Kriteria hasil:
1) Jumlah bakteri <100.000/ml
2) Kulit periostomal penuh
3) Suhu 37c
4) Urine jernih dengan sendimen minimal.
Intervensi
1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam
Rasional : untuk mengindetifikasi kemajuan atau penyimpanan dari hasil
yang diharapkan
2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdefekasi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang
baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dan
diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang
benar-benar menutupi kulit periastomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
Rasional : peningkatan berat urine dapat merusak segel
periostomal,memungkinkan kebocoran urin. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urin dapat menyebabkan kerusakan kulit dan
peningkatan resiko infeksi.

d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang


adekuat

23
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1) Awasi tanda-tanda vital
Rasional : pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume
intravaskular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2) Catat pemasukan dan pengeluaran
Rasional : untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan
dan penurunan resiko kelebihan cairan.
3) Awasi berat jenis urine
Rasional : untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikan
urine
4) Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
Rasional : membantu periode tanpa cairan meminimalkan kebosanan pilihan
yang terbatas dan menurunkan rasa haus
5) Timbang BB setiap hari
Rasional : untuk mengawasi status cairan

4. Implementasi
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan radiasi daripada rencana
tindakan keperawatan yang telah diterapkan. Meliputi tindakan independent,
dependent, dan interpendent. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa
kegiatan, validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana
keperawatan memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data.
(Susan Martin, 1998).

5. Evaluasi

24
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan dilakukan untuk
mengetahui sampai dimana keberhasilan tindakan yang diberikan sehingga
dapat menemukan intervensi yang akan dilanjutkan. (Susan Martin, 1998)
2.4 Fistula genetelia

Fistula adalah suatu ostium abnormal, berliku-liku antara dua organ berongga internal
atau antara organ berongga internal dan dengan tubuh bagian luar. Nama fistula menandakan
kedua area yang berhubungan secara abnormal (Suzanne C. Smeltzer. 2001). Fistula
merupakan saluran yang berasal dari rongga atau tabung normal kepermukaan tubuh  atau ke
rongga lain, fistula ini diberi nama sesuai dengan hubungannya (misalnya : rekto-vaginal,
kolokutaneus) (Sylvia A. Price, 2005). Fistula adalah sambungan abnormal diantara dua
permukaan epitel (Chris Brooker. 2008).

Genitalia ialah organ reproduksi (Kamus Keperawatan Lengkap). Fistula vagina adalah
suatu kondisi medis yang parah di mana suatu fistula (lubang) berkembang antara rektum dan
vagina atau antara kandung kemih dan vagina setelah parah atau gagal melahirkan, saat
perawatan medis yang cukup tidak tersedia. Fistula genitalia adalah terjadinya hubungan
antara traktus genitalia dengan traktus urinarius atau, gastrointestinal.

2.4.1 Etiologi
1. Sebab obstetrik
Terjadinya penekanan jalan lahir oleh kepala bayi dalam waktu lama,
seperti pada partus lama iskemia kemudian nekrosis lambat, atau akibat terjepit oleh alat
pada persalinan buatan. Partus dengan tindakan, seperti pada tindakan SC, kranioklasi,
dekapitasi, ekstraksidengan cunam, seksio-histerektomia.
2. Sebab ginekologik
a. Proses keganasan/carsinoma terutama carsinoma cervix, radiasi/penyinaran, trauma
operasi atau kelainan kongenital.
b. Histerektomi totalis.
c. Lokasi terbanyak pada apeks vagina ukuran 1-2 mm Terjadi akibat terjepit oleh klem
atau terikat oleh jahitan.
3. Sebab trauma
terjadi karena trauma (abortus kriminalis).

25
Fistula biasanya berkembang ketika terjadi penekanan persalinan yang
lama anak yang belum lahir begitu erat di jalan lahir yang dipotong aliran darah ke
jaringan sekitarnya yang necrotise dan akhirnya membusuk. Cedera ini dapat disebabkan
oleh pemotongan kelamin perempuan, aborsi, atau panggul patah tulang. Penyebab
lainnya yang secara langsung potensial untuk pengembangan fistula obstetrik adalah
pelecehan seksual dan perkosaan, terutama dalam konflik/pasca konflik daerah, trauma
bedah lainnya, kanker ginekologi atau radioterapi pengobatan terkait lainnya, dan
mungkin yang paling penting, terbatas atau tidak memiliki akses ke perawatan kandungan
atau layanan darurat.
Penyebab distal yang dapat menyebabkan perkembangan isu-isu
kepedulian fistula obstetri yaitu kemiskinan, kurangnya pendidikan, pernikahan dini dan
melahirkan, peran dan status perempuan di negara berkembang, dan praktek-praktek
tradisional yang berbahaya dan kekerasan seksual. Akses ke perawatan darurat kebidanan
merupakan salah satu tantangan utama dalam mencegah perkembangan fistula obstetri.
Ketersediaan dan akses ke fasilitas kesehatan yang memiliki staf yang terlatih dan
peralatan bedah khusus yang diperlukan untuk kelahiran caesar sangat terbatas di bagian-
bagian tertentu di dunia.
2.4.2 Klasifikasi

1. Fistula enterocutaneous
Adalah bagian dinding GI tract yang terbuka sehingga menyebabkan keluarnya isi perut
dan keluarnya melalui kulit.

2. Fistula enterovesicular (vesikovaginal dan uretrovaginal)


Fistula vesikovaginal adalah ostium antara kandung kemih dan vagina sedangkan fistula
uretrovaginal adalah ostium antara uretra dan vagina. Fistula pada bagian ini dapat
mengakibatkan sering terjadinya infeksi saluran kemih.

3. Fistula rektovaginalis
Adalah suatu ostium antara rectum dan vagina atau merupakan alur granulomatosa
kronis yang berjalan dari anus hingga bagian luar kulit anus, atau dari suatu abses anus
atau daerah perianal.

4. Fistula enterocolic

26
Adalah saluaran yang melibatkan usus besar atau kecil.

5. Fistula multiple
2.4.3 Manifestasi

Gejala tergantung pada kekhususan defek. Pus atau feses dapat bocor secara konstan
dari lubang kutaneus. Gejala ini mungkin pasase flatus atau feses dari vagina atau kandung
kemih,tergantung pada saluran fistula. Fistula yang tidak teratasi dapat menyebabkan
infeksi sistemik disertai gejala yang berhubungan.

2.4.4 Patofisiologi

Salah satu etiologi dari terbentuknya fistel adalah dari pembedahan. Biasanya karena
terjadi kurangnya ke sterilan alat atau kerusakan intervensi bedah yang merusak abdomen.
Maka kuman akan masuk kedalam  peritoneum hingga terjadinya peradangan pada
peritoneum sehingga keluarnya eksudat fibrinosa (abses), terbentuknya abses biasanya
disertai dengan demam dan rasa nyeri pada lokasi abses.

Infeksi biasanya akan meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan
(perlengketan/adesi), karena adanya perlengketan maka akan terjadinya kebocoran pada
permukaan tubuh yang mengalami perlengketan  sehingga akan menjadi sambungan
abnormal diantara 2 permukaan tubuh. Maka dari dalam fistel akan meneluarkan drain atau
feses.

Karena terjadinya kebocoran pada permukaan tubuh yang mengalami perlengketan


maka akan menyumbat usus dan gerakan peristaltik usus akan berkurang sehingga cairan
akan tertahan didalam usus halus dan usus besar (yang bisa menyebabkan edema), jika
tidak di tangani secara cepat maka cairan akan merembes kedalam rongga peritoneum
sehingga terjadinya dehidrasi

2.4.5 Penatalaksanaan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1. Pemeriksaan secara rutin ke perawatan kandungan
2. Dukungan dari profesional perawatan kesehatan terlatih selama kehamilan,
3. Menyediakan akses ke keluarga berencana

27
4. Mempromosikan praktek jarak antar kelahiran
5. Mendukung perempuan dalam bidang pendidikan
6. Menunda pernikahan dini.

1. Medis
Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu dengan cara operasi. Operasi untuk kasus ini
tanpa komplikasi memiliki tingkat keberhasilan 90%. Operasi ini sukses dapat
memungkinkan perempuan untuk hidup normal dan memiliki anak lagi. Perawatan pasca
operasi sangat penting untuk mencegah infeksi. Beberapa wanita yang tidak bersedia untuk
operasi ini, dapat mencari pengobatan alternatif yang disebut urostomy (pengumpulan urin
dipakai setiap hari).

Manfaat terbesar dari perawatan bedah adalah bahwa banyak wanita dapat kembali
bergabung dengan keluarga mereka, masyarakat, dan masyarakat tanpa rasa malu dari
kondisi mereka karena bocor dan bau tidak lagi sekarang.

2. Keperawatan
a. Pra operasi : persiapan fisik, lab, antibiotika profilaksis, persiapan kolon bila perlu
b. Waktu reparasi, tergantung sebab :
- Trauma operasi segera, saat operasi tsb, atau ditunda jika diketahui pasca op.

- Obstetrik 3 bulan pascasalin, kecuali fistula fekalis dilakukan setelah 3-6


bulan.

c. Pasca operasi : drainase urin kateter terpasang.


2.4.6 Pemeriksaan penunjang

1. Darah lengkap
2. CT
3. BT
4. Golongan darah
5. Urium creatiumi
6. Protein
7. Albumin
2.4.7 Komplikasi

28
1. Infeksi
2. Gangguan fungsi reproduksi
3. Gangguan dalam berkemih
4. Gangguan dalam defekasi
5. Ruptur/ perforasi organ yang terkait

2.5 Kegawat daruratan post partum

2.5.1 Definisi
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24
jam setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta.
Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600
cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar,
MPH,1998).
Haemoragic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml
dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Williams, 1998)
HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah
kelahiran(Marylin E Dongoes, 2001).
2.5.2 Klasifikasi

Perdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:


- Early Postpartum : Terjadi 24 jam pertama setelah bayi lahir
- Late Postpartum : Terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir

2.5.3 Etiologi

Penyebab umum perdarahan postpartum adalah:


1. Atonia Uteri
2. Retensi Plasenta
3. Sisa Plasenta dan selaput ketuban
- Pelekatan yang abnormal (plasaenta akreta dan perkreta)
- Tidak ada kelainan perlekatan (plasenta seccenturia)

4. Trauma jalan lahir


a. Episiotomi yang lebar
b. Lacerasi perineum, vagina, serviks, forniks dan rahim
c. Rupture uteri

5. Penyakit darah
Kelainan pembekuan darah misalnya afibrinogenemia /hipofibrinogenemia.

29
Tanda yang sering dijumpai :
- Perdarahan yang banyak.
- Solusio plasenta.
- Kematian janin yang lama dalam kandungan.
- Pre eklampsia dan eklampsia.
- Infeksi, hepatitis dan syok septik.

6. Hematoma
7. Inversi Uterus
8. Subinvolusi Uterus

Hal-hal yang dicurigai akan menimbulkan perdarahan pasca persalinan. Yaitu;


· Riwayat persalinan yang kurang baik, misalnya:
1. Riwayat perdarahan pada persalinan yang terdahulu.
2. Grande multipara (lebih dari empat anak).
3. Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
4. Bekas operasi Caesar.
5. Pernah abortus (keguguran) sebelumnya.
· Hasil pemeriksaan waktu bersalin, misalnya:
1. Persalinan/kala II yang terlalu cepat, sebagai contoh setelah ekstraksi vakum,
forsep.
2. Uterus terlalu teregang, misalnya pada hidramnion, kehamilan kembar, anak besar.
3. Uterus yang kelelahan, persalinan lama.
4. Uterus yang lembek akibat narkosa.
5. Inversi uteri primer dan sekunder.

2.5.4 Manifestasi klinis

Gejala Klinis umum yang terjadic adalah kehilangan darah dalam jumlah yang
banyak (> 500 ml), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus, pusing, gelisah,
letih, dan dapat terjadi syok hipovolemik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin,
mual.
Gejala Klinis berdasarkan penyebab:

a. Atonia Uteri:
Gejala yang selalu ada: Uterus tidak berkontraksi dan lembek dan perdarahan segera
setelah anak lahir (perarahan postpartum primer)
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok (tekanan darah rendah, denyut nadi cepat
dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain)

b. Robekan jalan lahir


Gejala yang selalu ada: perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi
lahir, kontraksi uteru baik, plasenta baik.
Gejala yang kadang-kadang timbul: pucat, lemah, menggigil.

30
c. Retensio plasenta
Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera,
kontraksi uterus baik
Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat putus akibat traksi berlebihan, inversi
uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan

d. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta)


Gejala yang selalu ada : plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah
) tidak lengkap dan perdarahan segera
Gejala yang kadang-kadang timbul: Uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus
tidak berkurang.

e. Inversio uterus
Gejala yang selalu ada: uterus tidak teraba, lumen vagina terisi massa, tampak
tali pusat (jika plasenta belum lahir), perdarahan segera, dan nyeri sedikit atau
berat.
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok neurogenik dan pucat
2.5.5 Patofisiologis

Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk meningkatkan
sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus
menurun sehingga pembuluh darah-pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup
sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti
epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan
perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu; misalnya
afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin untuk
membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan
postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock
hemoragik.

2.5.6 Pemeriksaan penunjang

2.5.7 Konsep asuhan keperawatan

31
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

32
DAFTAR PUSTAKA

Keperawatan ibu-bayi baru lahir www.books.google.id diakses pada tanggal 14


oktober 2019 pada pukul 09.34

Pengertian adaptasi paternal www.artikelkebidanan.co.id diakses pada tanggal 13


oktober 2019 pada pukul 11.25

33

Anda mungkin juga menyukai