NAMA KELOMPOK :
Sampai dengan tahun 1997 kelompok bank swasta nasional masih memimpin dalam
jumlah dan pangsa pasar yang disalurkan, baru tahun 1998 posisi ini bergeser dimana
kelompok bank pemerintah merupakan kelompok bank yang paling banyak menyalurkan
kredit dengan pangsa pasar kredit sebesar 45%, yang berarti lebih tinggi 5.6% dari pangsa
pasar kelompok bank swasta nasional yang sebesar 40%. Pergeseran ini merupakan akibat
dari adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap kelompok bank swasta nasional
menyusul dikeluarkannya kebijakan pemerintah pada bu7lan November 1997 yang
melikuidasi 16 bank swasta nasional.
Tabel 1.2
Memasuki tahun 1999 volume kredit yang disalurkan perbankan nasional secara
keseluruhan mengalami penurunan drastic menjadi Rp225.1 triliun dari tahun sebelumnya
sebesar Rp487.4 triliun. Hal ini berarti penyaluran kredit oleh perbankan nasional mengalami
pertumbuhan negative 53.81%. Keadaan ini merupakan akibat dari kebijakan penyaluran
kredit oleh sector perbankan yang menjadi sangat selektif karena trauma terhadap kredit
macet yang menjadi salah satu sumber kerugian terbesar bagi bank selama krisis ekonomi.
Ini juga dapat ditafsirkan bahwa sector riil masih mengalami krismon yang berdampak pada
lesunya penyaluran kredit oleh perbankan.
Pertama, masih lemahnya posisi keuangan perbankan dan tingginya masalah kredit
macet. Sampai dengan November 1995 lalu, jumlah total kredit macet masih sekitar Rp10.5
triliun. Angka total kredit macet disbanding total kredit perbankan yang disalurkan mencapai
4 persen. Uniknya, sekitar 75 persen kredit macet bertada dikelompok bank pemerintah.
Pada April 1997 tidak banyak berubah, persentase total kredit macet terhadap total kredit
meningkat menjadi 8.8%, kendati jumlah kredit macet di bank pemerintah tinggal 66%.
Angka terakhir diperkirakan kredit macet di 4 bank pemerintah yang hendak demerger
(BBD, BDN, Bapindo, Exim) masih sekitar 60% dari total kredit yang mengakibatkan modal
keempat bank tersebut minus Rp130 triliun (Tempo, 15/10/98).
Kredit bermasalah nampaknya sudah menjadi hal yang biasa di Indonesia. Aturan
kerahasiaan bank yang diberlakukan di Indonesia mengakibatkan sangat sulitnya
menentukan besarnya masalah yang sebenarnya dihadapi akibat kredit bermasalah ini.
Sangat sulit untuk mengetahui siapa saja yang sedang dalam masalah dan bank yang mana
saja yang bersalah atau melanggar ketentuan kehati-hatian dengan menyalurkan kredit
kepada perusahaan yang masih dalam grup bisnisnya. Bank Indonesia beranggapan bahwa
kredit bermasalah dapat dihapus bukukan (written off) untuk menjaga kelangsungan industry
secara keseluruhan.
Secara teoritis, hal tersebut merupakan tindakan yang baik, akan tetapi akan sulit
diterapkan dalam praktek. Pada tahun 1999 total kredit macet mencapai Rp28.5 triliun atau
setara dengan 3,9% dari keseluruhan kredit perbankan. Pangsa kredit dengan status dalam
kategori diragukan, sehingga hanya 83,8% atau Rp607,2 triliun yang termasuk ke dalam
kredit lancar.
Ketiga, masih banyak bank yang melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking
management) dan self-regulatory banking. Ini terbukti dari banyaknya bank yang termasuk
kategori B dalam Program Rekapitulasi Perbankan, yaitu bank dengan CAR (Capital
Adequacy Ratio) sebagai indicator rasi kecukupan modal antara 4% hingga 25%. Ironisnya
sebagain besar BUSN (Bank Umum Swasta Nasional) berada dalam kategori B.
Sebagaimana diketahui Kategori A mencakup bank dengan CAR 4% ke atas, dan C dengan
CAR dibawah minus 25%. Bank pemerintah pun juga tidak berada dalam kondisi yang
menggembirakan.
Keempat, berlanjutnya beleid suku Bungan tinggi menyebabkan dua hal Pertama,
bank mengandalkan para negative spread (kerugian dari pendapatan bunga karena bunga
tabungan/deposito lebih tinggi disbanding bunga kredit) yang berakibat memperburuk posisi
modal dan CAR perbankan. Perbankan hidup dari penempatan aktiva lancar seperti SBI atau
pinjaman antar Bank. Kedua, bank pemerintah mengalami lekebihan likuiditas sehingga
berakibat gampangnya mereka mengobral pinjaman.
BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) berbeda dengan KLBI (Kredit Likuiditas
Bank Indonesia) yang merupakan kredit program yang bunganya disubsidi. KLBI telah lama
dikenal sebagai program pemerintah untuk membantu program prioritas seperti KUT (Kredit
Usaha Tani), KKPA (Kredit Kepada Koperasi Primer Anggotanya), KKOP (Kredit Kepada
Koperasi), KMK (Kredit Modal Kerja), KKPA TR (KKPA untuk anggota Tebu Rakyat) dan
KKPA PIR Trans Kawasan Timur Indonesia. Berbeda dengan KLBI, BLBI merupakan
fasilitas yang tersedia di luar KLBI untuk membantu bank-bank yang mengalami kesulitan
likuiditas akibat penarikan dana oleh nasabahnya secara besar-besaran. BLBI terdiri atas
beberapa macam fasilitas. (Prasentiantono et al., 2000: bab 2):