Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KELOMPOK

PERBANKAN INDONESIA DI MASA KRISIS

NAMA KELOMPOK :

1. KADEK DWIK INDAH SARI ( 20 )


2. NI KADEK RISMA ASTUTI ( 22 )
3. NI LUH PUTU VERGILIA ( 23 )

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
MANAJEMEN KEUANGAN A
TAHUN 2020
1. STRUKTUR PERBANKAN INDONESIA
Pada periode 1982-1988 sistem finansial didominasi perbankan, terutama bank
komersial milik pemerintah. Peran penting bank swasta nasional melonjak pada putaran
kedua reformasi keuangan (1988-1991) yang memfokuskan pada upaya penurunan hambatan
memasuki pasar dan berbagai fasilitas yang dinikmati bank pemerintah. Akibatnya, 40 bank
swasta baru dan 15 bank patungan telah dibentuk, sementara tidak ada satu pun tambahan
bank pemerintah. Bank juga getol membuka cabang hingga ke pelosok, sehingga
menjamurlah berbagai cabang bank dari 1.640 pada April 1982 menjadi 2.842 pada Maret
1990, bahkan melonjak drastic menjadi 6.345 kantor bank pada 1997/1998. Jumlah kantor
cabang pada Januari 1998 berkurang gara-gara krisis menjadi 6.295, namun jumlah bank
masih sekitar 222. Inilah yang disebut fenomena overbanking, yang tentunya mempersulit
pengawasan BI.
Fenomena mencolok sejak pertengahan dasawarsa 1990-an, kendati system finansial
Indonesia masih sangat didominasi oleh sector perbankan, deregulasi perbankan telah
mengurangi pangsa pasar bank-bank pemerintah disatu sisi, dan naik daunnya bank-bank
swasta dari sisi akumulasi kekayaan, penyaluran kredit dan penghimpunan dana disisi lain.
Seperti terlihay pada table 1.1, sampai dengan akhir tahun 1999 penghimpunan dana oleh
sector perbankan mencapai Rp651,4 triliun jauh lebih besar dari pada tahun 1995 yang hanya
sebesar Rp214,8 triliun. Sampai dengan tahun 1997, kelompok bank swasta mendominasi
pangsa pasar dana (50%), kemudian baru diikuti oleh kelompok bank pemerintah (37.2%),
kelompok bank asing dan campuran (10,8%), dan kelompok BPD (2.5%).
Komposisi penguasaan pangsa pasar ini berubah begitu memasuki tahun 1998
menyusul dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta nasional
pada bulan November 1997 akibat krisis moneter. Setelah dilakukan likuidasi terhadap bank-
bank swasta nasional tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap bank swasta nasional
menurun drastic. Ini ditandai dengan penarikan dana masyarakat secara besar-besaran (bank
rush) dari bank swasta nasional. Sebagian besar masyarakat, kemudian memindahkan
dananya ke bank pemerintah dan bank asing yang dirasakan lebih mampu memberikan
jaminan keamanan terhadap dana yang disimpan. Akibat dari pemindahan dana secara besar-
besaran tersebut maka pada tahun 1998 dan 1999 pangsa pasar bank swasta nasional
mengalami penurunan masing-masing menjadi sekitar 41% dan 39%. Dalam periode yang
sama, sebaliknya bank pemerintah mengalami kenaikan menjadi 47% dan 48% yang
sekaligus kenaikan berturut-turut menjadi 47% dan 48%, sekaligus memimpin dalan hal
penguasaan pangsa pasar dana. Bank asing/campuran serta bank pembangunan daerah juga
mengalami kenaikan pangsa pasar yang subtansial.
Dalam hal kredit yang disalurkan, sector perbankan di Indonesia menunjukkan
ekspansi kredit yang semakin agresif. Pada tahun 1995 tercatat perbankan nasional telah
menyalurkan kredit sebesar Rp234.6 triliun dan berkembang menjadi Rp487,4 triliun pada
akhir tahun 1998. Pada tahun 1995 bank swasta nasional merupakan kelompok bank dengan
pangsa pasar kredit yang paling besar, yaitu sebesar 48% dari total kredit perbankan. Rekor
ini berturut-turut diikuti oleh kelompok bank pemerintah dengan pangsa pasar sebesar
39,84%, bank asing dan campuran sebesar 10,33%, dan BPD sebesar 2.23%
Table 1.1
Perkembangan Dana Perbankan per Kelompok Bank:
Indonesia, 1995-1999 (miliar rupiah)

KELOMPOK BANK 1995 1996 1997 1998 1999


BANK PEMERINTAH
Posisi 75.920 90.434 133.042 271.554 312.179
Pangsa Pasar (%) 35.35 32.10 37.20 47.35 47.93
Pertumbuhan (%) 18.01 19.12 47.12 104.11 14.96
BANK SWASTA NASIONAL
Posisi 117.451 164.979 177.193 235.605 252.880
Pangsa Pasar (%) 54.69 58.56 49.55 41.08 38.82
Pertumbuhan (%) 32.08 40.47 7.40 32.97 7.33
BANK PEMBANGUNAN
DAERAH
Posisi 7.812 8.522 8.798 10.932 14.017

Pangsa Pasar (%) 3.64 3.03 2.46 1.91 2.15

Pertumbuhan (%) 26.35 9.09 3.22 24.28 28.22

BANK ASING & CAMPURAN


Posisi 13.581 17.783 38.582 55.433 72.294
Pangsa Pasar (%) 6.32 6.31 10.79 9.67 11.10
Pertumbuhan (%) 23.30 30.94 116.96 43.68 30.42
TOTAL
Posisi 214.764 281.718 357.613 573.524 651.370
Pertumbuhan (%) 26.03 31.18 26.94 60.38 13.57
(Sumber: diolah dari Laporan Tahunan Bank Indonesia berbagai edisi)

Sampai dengan tahun 1997 kelompok bank swasta nasional masih memimpin dalam
jumlah dan pangsa pasar yang disalurkan, baru tahun 1998 posisi ini bergeser dimana
kelompok bank pemerintah merupakan kelompok bank yang paling banyak menyalurkan
kredit dengan pangsa pasar kredit sebesar 45%, yang berarti lebih tinggi 5.6% dari pangsa
pasar kelompok bank swasta nasional yang sebesar 40%. Pergeseran ini merupakan akibat
dari adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap kelompok bank swasta nasional
menyusul dikeluarkannya kebijakan pemerintah pada bu7lan November 1997 yang
melikuidasi 16 bank swasta nasional.

Tabel 1.2

Perkembangan Kredit Perbankan per Kelompok Bank:

Indonesia, 1995-1999 (Miliar Rupiah)

KELOMPOK BANK 1995 1996 1997 1998 1999


BANK PEMERINTAH
Posisi 93.480 108.925 153.266 220.747 112.288
Pangsa Pasar (%) 39.84 37.19 40.53 45.29 49.88
Pertumbuhan (%) 16.84 16.52 40.71 44.03 -49.13
BANK SWASTA NASIONAL
Posisi 111.644 149.955 168.723 193.361 56.012
Pangsa Pasar (%) 47.59 51.19 44.62 39.67 24.88
Pertumbuhan (%) 29.36 34.32 12.52 14.60 -73.03
BANK PEMBANGUNAN
DAERAH
Posisi 5.242 6.457 7.539 6.570 6.793

Pangsa Pasar (%) 2.23 2.20 1.99 1.35 3.02

Pertumbuhan (%) 24.78 23.18 16.76 -12.85 3.39

BANK ASING & CAMPURAN


Posisi 24.245 27.584 48.606 66.748 50.040
Pangsa Pasar (%) 10.33 9.24 12.85 13.69 22.23
Pertumbuhan (%) 32.01 13.77 76.21 37.32 -25.03
TOTAL
Posisi 234.611 292.921 378.134 487.426 225.133
Pertumbuhan (%) 24.21 24.85 29.09 28.90 -53.81
(Sumber: diolah dari Laporan Tahunan Bank Indonesia berbagai edisi)

Memasuki tahun 1999 volume kredit yang disalurkan perbankan nasional secara
keseluruhan mengalami penurunan drastic menjadi Rp225.1 triliun dari tahun sebelumnya
sebesar Rp487.4 triliun. Hal ini berarti penyaluran kredit oleh perbankan nasional mengalami
pertumbuhan negative 53.81%. Keadaan ini merupakan akibat dari kebijakan penyaluran
kredit oleh sector perbankan yang menjadi sangat selektif karena trauma terhadap kredit
macet yang menjadi salah satu sumber kerugian terbesar bagi bank selama krisis ekonomi.
Ini juga dapat ditafsirkan bahwa sector riil masih mengalami krismon yang berdampak pada
lesunya penyaluran kredit oleh perbankan.

2. MASALAH YANG DIHADAPI OLEH PERBANKAN INDONESIA

Pertama, masih lemahnya posisi keuangan perbankan dan tingginya masalah kredit
macet. Sampai dengan November 1995 lalu, jumlah total kredit macet masih sekitar Rp10.5
triliun. Angka total kredit macet disbanding total kredit perbankan yang disalurkan mencapai
4 persen. Uniknya, sekitar 75 persen kredit macet bertada dikelompok bank pemerintah.
Pada April 1997 tidak banyak berubah, persentase total kredit macet terhadap total kredit
meningkat menjadi 8.8%, kendati jumlah kredit macet di bank pemerintah tinggal 66%.
Angka terakhir diperkirakan kredit macet di 4 bank pemerintah yang hendak demerger
(BBD, BDN, Bapindo, Exim) masih sekitar 60% dari total kredit yang mengakibatkan modal
keempat bank tersebut minus Rp130 triliun (Tempo, 15/10/98).

Kredit bermasalah nampaknya sudah menjadi hal yang biasa di Indonesia. Aturan
kerahasiaan bank yang diberlakukan di Indonesia mengakibatkan sangat sulitnya
menentukan besarnya masalah yang sebenarnya dihadapi akibat kredit bermasalah ini.
Sangat sulit untuk mengetahui siapa saja yang sedang dalam masalah dan bank yang mana
saja yang bersalah atau melanggar ketentuan kehati-hatian dengan menyalurkan kredit
kepada perusahaan yang masih dalam grup bisnisnya. Bank Indonesia beranggapan bahwa
kredit bermasalah dapat dihapus bukukan (written off) untuk menjaga kelangsungan industry
secara keseluruhan.

Secara teoritis, hal tersebut merupakan tindakan yang baik, akan tetapi akan sulit
diterapkan dalam praktek. Pada tahun 1999 total kredit macet mencapai Rp28.5 triliun atau
setara dengan 3,9% dari keseluruhan kredit perbankan. Pangsa kredit dengan status dalam
kategori diragukan, sehingga hanya 83,8% atau Rp607,2 triliun yang termasuk ke dalam
kredit lancar.

Kedua, terkonsentrasinya kredit yang diberikan kepada beberapa perusahaan besar


dan konglomerat tertentu, sehingga kesehatan system perbankan sangat tergantung pada
kemampuan dan kemauan perusahaan-perusahaan besar dan konglomerat tersebut untuk
membayar kembali utang-utangnya kepada bank. Masalah kredit macet tersebut timbul
akibat adanya praktek korupsi, penipuan, longgarnya seleksi kepada debitur, dan
ketidakmampuan bank dalam hal pengawasan dan penagihan kembali kredit yang sudah
jatuh tempo. Ironisnya, porsi KUK (Kredit Usaha Kecil) perbankan nasional terhadap jumlah
kredit yang diluncurkan tidak pernah mencapai angka 20 persen dan penyaluran KUK masih
terpusat di Pulau Jawa (Kompas, 13 Nopember 1995). Ini terbukti dari angka penyaluran
KUK yakni 66,88 persen pada tahun 1995 berada di pulau jawa, dimana 26,267 persennya
diserap oleh DKI Jakarta. Bisa dipahami apabila para pengusaha kecil menuduh bank hanya
melayani si besar dan cenderung menghindari usaha kecil. Studi Pusat Konsultasi Pengusaha
Kecil UGM (1996) juga menunjukkan bahwa memang bagi pengusaha kecil masalah yang
dikeluhkan apabila berhubungan dengan perbankan adalah masalah agunan dan prosedur
yang dinilai berbelit.

Ketiga, masih banyak bank yang melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking
management) dan self-regulatory banking. Ini terbukti dari banyaknya bank yang termasuk
kategori B dalam Program Rekapitulasi Perbankan, yaitu bank dengan CAR (Capital
Adequacy Ratio) sebagai indicator rasi kecukupan modal antara 4% hingga 25%. Ironisnya
sebagain besar BUSN (Bank Umum Swasta Nasional) berada dalam kategori B.
Sebagaimana diketahui Kategori A mencakup bank dengan CAR 4% ke atas, dan C dengan
CAR dibawah minus 25%. Bank pemerintah pun juga tidak berada dalam kondisi yang
menggembirakan.
Keempat, berlanjutnya beleid suku Bungan tinggi menyebabkan dua hal Pertama,
bank mengandalkan para negative spread (kerugian dari pendapatan bunga karena bunga
tabungan/deposito lebih tinggi disbanding bunga kredit) yang berakibat memperburuk posisi
modal dan CAR perbankan. Perbankan hidup dari penempatan aktiva lancar seperti SBI atau
pinjaman antar Bank. Kedua, bank pemerintah mengalami lekebihan likuiditas sehingga
berakibat gampangnya mereka mengobral pinjaman.

BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) berbeda dengan KLBI (Kredit Likuiditas
Bank Indonesia) yang merupakan kredit program yang bunganya disubsidi. KLBI telah lama
dikenal sebagai program pemerintah untuk membantu program prioritas seperti KUT (Kredit
Usaha Tani), KKPA (Kredit Kepada Koperasi Primer Anggotanya), KKOP (Kredit Kepada
Koperasi), KMK (Kredit Modal Kerja), KKPA TR (KKPA untuk anggota Tebu Rakyat) dan
KKPA PIR Trans Kawasan Timur Indonesia. Berbeda dengan KLBI, BLBI merupakan
fasilitas yang tersedia di luar KLBI untuk membantu bank-bank yang mengalami kesulitan
likuiditas akibat penarikan dana oleh nasabahnya secara besar-besaran. BLBI terdiri atas
beberapa macam fasilitas. (Prasentiantono et al., 2000: bab 2):

 Fasilitas Diskonto I, yaitu fasilitas berjangka waktu 2 hari untuk


mempertahankan stabilitas system pembayaran bila terjadi ketidaksesuaian
(mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana dalam jangka pendek.
 Fasilitas Diskonto II, yaitu fasilitas berjangka waktu 90 hari untuk
mempertahankan stabilitas stabilitas system pembayaran bila terjadi
ketidaksesuaian (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana dalam
jangka panjang.
 Fasilitas Diskonto I Repo, yaitu fasilitas berjangka waktu 7 hari dan tingkat
diskonto 28% untuk membantu bank sehat yang kesulitan likuiditas dan tidak
mempunyai SBI.
 Kredit Likuiditas Darurat (KLD) dan Kredit Subordinasi (SOL) = Sub
Ordinated Loan), yaitu fasilitas dalam rangka penyehatan bank.
 SBPU Lelang, yaitu fasilitas pelonggaran likuiditas dalam rangka program
moneter, yang berjangka waktu 3 bulan dan suku bunga diskonto 2% diatas
SBI bilateral.
 SBPU Bilateral, yaitu fasilitas untuk memenuhi kebutuhan likuiditas harian
sesuai program moneter yang berjangka waktu 2 minggu hingga 3 bulan
dengan suku bunga rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang berakhir.
 Saldo giro negative/saldo debit, yaitu fasilitas untuk mempertahankan
stabilitas system perbankan dan pembayaran akibat adanya penarikan dana
besar-besaran (rush).
3. KRISIS: DARI KRISMON HINGGA KRISTAL
a. Negara-negara Asia Timur dalam Krisis, 1997-1998
Berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan pada beberapa negara Asia
Timur seperti Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Thailand,
banyak pengamat yang memperkirakan akan muncul macan baru dalamperekonomian
dunia. Namun dibalik itu ternyata terdapat indikasi munculnya masalah yang mengancam
yang bersumber dari tingkat pertumbuhan ekspor dan deficit neraca pembayaran pada
tahun 1996 dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Perlambatan pertumbuhab ekspor pada tahun 1996 seharusnya menjadi perhatian khusus
untuk negara Korea Selatan, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Volume ekspor yang
menurun terjadi pada negara Thailand. Posisi neraca pembayaran untuk Indonesia dan
Korea Selatan menjadi semakin memburuk. Deficit neraca pembayaran Thailand pada
tahun 1996 menunjukkan nilai yang sangat besar. Taiwan dan Singapura mampu
mempertahankan neraca pembayaran hingga tidak menjadi deficit walaupun
pertumbuhan ekspornya menurun.
Berdasarkan pada posisi neraca pembayaran dan pertumbuhan ekspornya yang menurun
secara terus-menerus, maka banyak kalangan yang memperkirakan dan mengharapkan
mata uang Indonesia, Korea Selatan, dan Malaysia akan mengalami depresiasi yang
subtansial. Bath Thailand terdepresiasi relative lebih tinggi daripada mata uang negara
lain, sedangkan mata uang Taiwan dan Singapura malah mengalami apresiasi. Kenyataan
selanjutnya bath semakin terdepresiasi ketika bath dilambangkan pada tanggan 2 Juli
1999, sehingga membawa konsekuensi jatuhnya mata uang tersebut.
b. Kejatuhan Mata Uang Lain
Para pedagang valas akan selalu mengingat bulan Juli 1997 sebagai awal kejatuhan mata
uang regional. Nilai Won Korea mulai jatuh. Dari tanggal 14 Juli, Ringgit Malaysia juga
terpengaruh oleh kekuataan pasar. Sebulan kemudian, pada tanggal 14 Agustus rupiah
diambangkan. Sedangkan Singapura dan Taiwan membiarkan mata uang mereka
terdepresiasi. Hongkong berusaha mematok mata uang mereka melalui intervensi pasar
dengan cadangan devisa dan dengan meningkatkan biaya dana jangka pendeknya.
c. Dinamika Krisis
Pelarian modal asing mengakibatkan depresiasi mata uang yang diikuti oleh peningkatan
dalam jumlah besar atas biaya domestic utang luar negeri untuk bank dan sector korporat
dalam negeri. Peningkatan premi risiko dan kontraksi moneter yang terjadi untuk
menopang nilai kurs membawa akibat tingkat suku bunga yang lebih tinggi dan
memberatkan masalah pembayaran kembali utang sector korporat, yang selanjutnya
menekan pasar property dan pasar modal.
Permintaan terhadap dolar Amerika meningkat karena hedging yang terjadi secara
mendadak terhadap utang dalam bentuk dolar oleh sector korporat, kecenderungan
eksporter untuk menyimpan dolar Amerika, dan permintaan dolar Amerika oleh para
importir. Lebih jauh, permintaan akan dolar Amerika ini semakin menekan mata uang
domestic sehingga terdepresiasi semakin dalam. Penduduk dalam negeri juga mulai
kehilangan kepercayaan sehingga mengakibatkan pelarian modal dalam negeri dan
mengganti mata uang yang dipegang dari mata uang domestic menjadi mata uang asing.
d. Penyebab Krisis: Beberapa Catatan Studi
Sebuah penjelasan berdasarkan atas adanya inkonsistensi antara hasrat pemerintah untuk
mempertahankan system dengan kebijakan makroekonominya. Akibatnya dalam
menghadapi pertumbuhan kredit domestic yang cepat dan deficit anggaran pemerintah
yang besar, jika pemerintah tetap bertahan dengan kurs tertentu dan mempertahankan
tingkat kurs dengan dana yang bersumber dari cadangan devisa, hal ini dapat
mengakibatkan kegagalan kurs tetap maupun mengambang terkendali. Jika diketahui
bahwa cadangan devisa suatu negara sudah terkuras untuk mempertahankan kurs
tetapnya, maka para spekulan akan menyerang mata uang negara yang bersangkutan dan
dapat dipastikan akan mengakibatkan nilai tukar mata uang yang bersangkutan tidak
akan bertahan. Factor utama yang mempengaruhi adalah persepsi pasar mengenai
kekuatan cadangan devisa dan kemampuan pemerintah untuk mempertahankan pagu
nilai tukar mata uangnya. Walaupun anggaran negara tidak deficit, jika ekspansi kredit
yang mengakibatkan kredit yang telah melebihi waktu jatuh tempo (macet)
dikombinasikan dengan persepsi yang tidak baik mengenai kekuatan cadangan devisa,
maka serangan terhadap mata uang suatu negara sangat mungkin terjadi.
Akar masalah penyebab krisis ekonomi adalah over-borrowing (utang yang terlalu
banyak) dan akumulasi utang luar negeri yang sangat cepat, khususnya di Thailand dan
Indonesia. Selain over-borrowing terhadap pihak luar negeri, Thailand dan Malaysia
menghadapi masalah over-borrowing oleh sector korporat yang mengakibatkan
akumulasi utang domestic yang sangat cepat..
Over-investment menyebabkan peningkatan biaya dalam suatu perekonomian dan
menyebabkan penurunan efisiensi capital. Kredit perbankan yang berlebihan selama
periode pertumbuhan pasar keuangan khususnya kredit dari bank luar negeri dan
liberalisasi pasar modal, merupakan factor kunci penyebab krisis ekonomi di Asia.
e. Tujuh Negara Asia dan Enam Dimensi Krisis
Sector keuangan yang lemah, kesalahan kebijakan, factor eksternal yang tidak
menguntungkan, factor globalisasi, dan pecahnya gelembung aset menjadi penyebab
krisis kepercayaan sebelum terjadi serangan atas mata uang yang menyebabkan krisis
mata uang. Krisis kepercayaan secara langsung juga dapat disebabkan oleh persepsi
pasar terhadap utang jangka pendek yang bermasalah. Dalam prakteknya setiap
pengamat krisis (missal: Radelet dan Sachs, 1998) menyatakan bahwa hal yang menjadi
pemicu krisis adalah penarikan secara tiba-tiba dana para investor. Kenapa terjadi
penarikan dengan tiba-tiba dana investor? Jika penyebabnya karena panic, apa yang
menyebabkan panic? Akar permasalahannya adalah pada krisis kepercayaan yang
mengakibatkan penarikan dana para investor. Kurang mencukupinya pertumbuhan
ekspor, pecahnya gelembung aset perbankan, pengumuman yang mendadak akan adanya
pertumbuhan utang jangka pendek telah menghancurkan kepercayaan terhadap
perekonomian sehingga para investor dan depositor meninggalkan suatu negara untuk
mencari negara lain yang lebih menjanjikan.
Krisis kepercayaan ini kemudian mengakibatkan penarikan dana dan serangan terhadap
mata uang. Krisis mata uang ini jika tidak segera diatasi bisa mengakibatkan krisis
keuangan. Jika tetap tidak ada tindakan untuk mencegah krisis keuangan, maka akan
diikuti dengan krisis ekonomi dan kemudian akan sangat sulitn untuk mencegah
terjadinya krisis social politk.
Disisi lain, jika krisis mata uang ini mengakibatkan krisis keuangan, maka akan dianggap
tepat untuk mendekati IMF dan mencari pertolongan. Walaupun terkadang menelan pil
pahit, tetapi demi pemulihan ekonomi dan agar terhindar dari krisis ekonomi, social dan
politik terkadang obat tersebut harus tetap ditelan. Korea Selatan dan Thailand mengikuti
strategi tersebut sedangkan Malaysia melakukan control aliran modal maupun devisa.
Sedangkan Indonesia tetap mengalami semua krisis tersebut walaupun telah
mendapatkan pertolongan dari IMF. Akibatnya Indonesia sering disebut mengalami
krisis total (krisis total).
f. Perubahan politik dan Reformasi Ekonomi
Perubahan politik seringkali menjadi satu paket dalam program reformasi. Terkadang
perubahan dating ditengah-tengah kesulitan ekonomi dan rezim yang baru menerima
paket likuidasi dan reformasi yang diajukan oleh IMF. Pada saat yang lain, perubahan
politik dating setelah sebelumnya terjadi perubahan social.
Dalam kasus Thailand, pada tahun 1997 ketika harga bahan bakar naik sebesar 1 Bath
karena persetujuan dengan IMF, terjadi protes oleh banyak kalangan sehingga kebijakan
tersebut dicabut kembali. Perdana menteri didesak untuk mundur dan memberikan jalan
kepada koalisi oposisi untuk mengambil alih program restrukturisasi ekonomi. Rezim
berganti di Thailand untuk mencegah krisis politik yang lebih dalam dan menjalankan
consensus program reformasi dengan IMF. Perlahan-lahan kondisi perekonomian
Thailand membaik.
4. MASA PEMULIHAN
Usaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor merupakan bagian penting
dalam rangka pemulihan ekonomi. Dengan kembalinya modal asing dan domestic, nilai
kurs akan stabil dan secara bertahap akan terapresiasi dan pasar modal akan pulih
kembali. Hal tersebut akan memudahkan bank sentral dalam menetapkan tingkat suku
bunga dalam negeri yang kemudian diharapkan menyebabkan stabilisasi pasar property.
Perkembangan seperti itu akan sangat membantu sector perbankan dan sector korporat
dalam mengatasi masalah utang luar negeri dan dalam negeri serta memperbaiki neraca
mereka yang kacau selama terjadi krisis.untuk mencapai pemulihan, dibutuhkan
penurunan deficit neraca pembayaran melalui peningkatan ekspor dan penurunan impor.
Program rekapitalisasi perbankan mempeunyai 2 tujuan ganda. Pertama secara
makro, untuk menyehatkan perbankan Indonesia dan mengembalikan fungsi dasar
perbankan sebagai lembaga intermediasi yang sehta. Kedua, memperbaiki tingkat
kesehatan bank secara mikro (individual). Secara mikro, ini berarti upaya peningkatan
kecukupan modal suatu bank dalam batas-batas yang ditentukan oleh otoritas moneter.
Otoritas moneter menggolongkan sector perbankan untuk membedakan bank yang
berhak mengikuti program rekapitalisasi ini sebagai berikut:
a. Kategori A (sound)
Bank dengan CAR lebih dari 4% tidak ikut dalam program rekapitulasi karena
dianggap sehat. CAR dihitung dengan membandingkan antara Modal dengan Aktiva
Menurut Risiko (ATMR). Terdapat 74 bank dalam kelompok ini, namun
sepertiganya memiliki manajemen yang dianggap tidak sehat dan dianjurkan untuk
merger dengan bank yang sehat.
b. Kategori B (viable)
Bank dengan CAR antara-25 sampai dengan 4% ikut dalam program rekapitalisasi.
Mulanya ada 9 bank yang masuk dalam ketgori ini dan langsung masuk dalam
program rekapitalisasi.
c. Kategori C (unsound)
Diberikan waktu yang terbatas untuk menaikkan kualitas asset atau menyuntukkan
modal baru agar dapat mengikuti program rekapitalisasi. Jika bank tidak bisa
memenuhi persyaratan yang ditetapkan maka akan mendapatkan tindakan dari BPPN.
Ada 24 bank yang memiliki CAR dibawah 25%, 21 bank lain tadinya masuk kategori
B namun tidak dapat diselamatkan dan terpaksa ditutup dan para deposannya
ditanggung oleh BI.
Program rekapitalisasi perbankan di Indonesia dilakukan dalam 2 tahap
(Joyosumarto, 1999) yaitu pertama tahap pemulihan kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan. Dalam tahap ini antara lain dilakukan pemberian jaminan penuh
kepada deposan dan kreditur dalam dan luar negeri, serta secara formal pemerintah
melakukan upaya penyehatan perbankan dengan menirikan BPPN. Hasil yang
dicapai pada langkah ini ternyata tidak terlalu menggembirakan, karena dengan
memburukmya perekonomian dan situasi politik yang kurang kondusif menyebabkan
krisis ekonomi yang berkepanjangan dan peningkatan BLBI. Kedua, tahap
menyelesaikan masalah solvabilitas bank. Tahap ini merupakan tahap penentu dari
program restrukturisasi perbankan. Penyelesaian masalah solvabilitas ini dilakukan
dengan menggunakan dua pendekatan. Di sisi asset dilakukan penyehatan kualitas
asset melalui restrukturisasi kredit dan penyerahan bad asstes kepada Assets
Management Unit (AMU) BPPN. Di sisi aktiva dilakukan restrukturisasi kepemilikan
modal melalu program rekapitalisasi.

Anda mungkin juga menyukai