Anda di halaman 1dari 37

STANDAR ANTROPOMETRI

PENILAIAN STATUS GIZI DEWASA


DAN LANSIA

Jakarta, 30 November 2016


PENDAHULUAN
Latar Belakang
• Pembangunan Sumber Daya manusia (SDM) merupakan
salah satu prioritas pembangunan nasional

• PENDUDUK :
2010 : 238, 5 Jt
2035 : 305,6 Jt  67,9% dewasa, 15,8% Lansia

• Kesejahteraan meningkat  Penyakit Menular (CD’s)


menurun tetapi Penyakit Tidak Menular (NCD’s) meningkat
 Perubahan Pola Konsumsi dan Aktifitas Fisik
Berat Badan Berlebih
Perubahan Prevalensi Gemuk di
Indonesia (Riskesdas 2007 – 2013)
30
26.3
25
21.8
20 19.1

15

10

0
1 2 3
2007 2010 2013
Sumber : Riskesdas 2007-2013, Badan Litbangkes
• Selain adanya peningkatan prevalensi gemuk pada orang
dewasa, data riskesdas 2013 juga menunjukkan masalah gizi
lainnya yaitu gizi kurang/kurus berdasarkan IMT pada orang
dewasa dengan prevalensi 11,1%.

• Penlitian multisenter oleh Setiati dkk yang melibatkan 702 pasien


rawat jalan poliklinik geriatri dari 10 rumah sakit rujukan di
Indonesia, menunjukkan :

60.0% 56.7%

50.0%
40.0%
30.0%
20.0%
10.0%
2.4%
0.0%
Risiko Malnutrisi Malnutrisi (Setiati S, 2010)
• Setiati dkk juga melaporkan sebanyak 9,86% dari total 487
Lansia berusia 60 tahun ke atas yang tinggal di komunitas
berisiko mengalami status gizi kurang.

(Setiati, 2011)

• Hasil penelitian Verawati dari 52 subjek di 2 panti werdha


di Jakarta menunjukkan :

50.00%
42.30%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00% 3.84%
0.00%
Risiko Malnutrisi Malnutrisi (Verawati, 2016)
• Dewasa ketidak-seimbangan konsumsi
makanan dan pola aktivitas  BB berlebih

• Lansia penurunan asupan makanan dan


kondisi sakit.

• Nafsu makan yang rendah kekurangan energi


dan protein pada Lansia.
(Van der Pols-Vijlbrief R, 2014)

• Kurang Gizi pada Lansia disebabkan a.l.


gangguan status
fungsional, demensia, gangguan
menelan, asupan makan yang rendah, dan usia
yang semakin lanjut.
(Tamura, 2013)
PERUBAHAN PENYEBAB KEMATIAN DI
INDONESIA
P 1990 P 2010 P 2015
1 ISPA 1 STROKE 1 STROKE
2 TBC 2 TBC 2 LAKA LALIN
3 DIARE 3 LAKA LALIN 3 PJK ISKEMIK
4 STROKE 4 DIARE 4 KANKER
5 LAKA LALIN 5 PJ ISKEMIK 5 DM
6 KOMPL LAHIR 6 DM 6 TBC
7 ANEMIA GIZI 7 LBP 7 ISPA
BESI
8 MALARIA 9 ISPA 8 DEPRESI
13 PJ ISKEMIK 12 KOMPL 9 ASFIKSIA & TRAUMA
LAHIR LAHIR
14 DM 26 MALARIA 10 PENY. PARU OBSTRUKSI
IDENTIFIKASI MASALAH
Kementerian Kesehatan telah memiliki kebijakan
dan program kesehatan usia dewasa dan Lansia
dengan kegiatan promotif-preventif.

Acuan standar pelaksanaan program perlu


penyempurnaan disesuaikan dengan
permasalahan dan perkembangan ilmu
pengetahuan.

Diperlukan upaya penyatuan acuan dan standar


penilaian-penapisan keadaan gizi dan pelayanan
yang dapat digunakan secara nasional
Tujuan
Tujuan umum
• Mengkaji dan merumuskan standar antropometri dan
instrumen kuesioner penapisan status gizi dewasa dan
lanjut usia di komunitas.
Tujuan Khusus
a. Identifikasi masalah terkait penentuan status gizi;
b. Tetapkan instrumen kuesioner penapisan status gizi;
c. Tetapkan jenis, alat ukur dan batas ambang penilaian
keadaan gizi dengan antropometri;
d. Tingkatkan pengetahuan tenaga kesehatan dan
masyarakat dalam mengenali keadaan gizi
SASARAN
Sasaran Langsung:

a. Dewasa (19-44 th)


b. Pra Lanjut Usia (45-59 th)
c. Lanjut Usia (60-69 th)
d. Lanjut Usia Risiko Tinggi (> 70 th atau
>60 th dgn masalah kesehatan)

(WHO, 1998 dan WHO, 2013)


(UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia)
Sasaran Tidak Langsung:

a. Tenaga Kesehatan
b. Masyarakat
c. Keluarga
d. Individu
LANDASAN HUKUM
• Undang-undang Dasar Tahun 1945, pasal 28 A pasal 28 H
• Undang-undang no. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut
• Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 1 ayat
1, ayat 2
• Undang-undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1, Pasal
3.a
• Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang
• Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 60 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pembentukan Komisi Daerah Lanjut Usia dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Penanganan Lanjut Usia di Daerah;
• Peraturan Menteri Kesehatan No. 79 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Geriatri di Rumah Sakit;
• Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Lanjut Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat
• Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 2015 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat;
• Peraturan Menteri Kesehatan No. 25 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Nasional
Kesehatan Lanjut Usia Tahun 2016 – 2019.
PENGUKURAN dan PENAPISAN
STATUS GIZI DEWASA DAN
LANSIA
• Berat badan (BB) diukur dengan timbangan digital
(sesuai standar internasional). Hasil pengukuran
dibaca pada timbangan dengan ketelitian 0,1 kg.

• Untuk individu yang cedera dan tidak mampu berdiri


dapat diperkirakan dengan pengukuran lingkar betis
(LB), tinggi lutut (TL), lingkar lengan atas (LiLA), dan
tebal lemak subskapular (TLS) lalu dikonversikan:

Berat (L) = (0,98 x LB+(1,16 x TL)+(1,73 x LiLA)+(0,37 x TLS) – 81,69


Berat (P) = (1,27 x LB)+(0,87 x TL)+(0,98 x LiLA)+(0,4 x TLS) – 62,35

Source : WHO Technical Support, 1995


Subjek mengalami amputasi anggota badan, perkiraan BB harus
memperhitungkan proporsi anggota badan yang diamputasi kemudian
dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Perkiraan BB = BB saat ini : (1- proporsi anggota badan yg diamputasi)

Proporsi Anggota Badan yang diamputasi, sbb :


Bagian Tubuh Kontribusi (%)
Badan tanpa anggota badan 50
Tangan 0,7
Lengan bawah dengan tangan 2,3
Lengan bawah tanpa tangan 1,6
Lengan atas 2,7
Seluruh lengan 5
Kaki 1,5
Tungkai bawah dengan kaki 5,9
Tungkai bawah tanpa kaki 4,4
Paha 10,1
Seluruh tungkai 16

Source : mna guide english, 2009


Alat yang digunakan untuk mengukur tinggi badan antara lain :
microtoise, stadiometer, shorrboard.

Microtoise

Stadiometer Shoorboard

• Alternatif (jika tidak tersedia alat microtoise)  perkiraan tinggi badan berdasarkan
pengukuran rentang satu lengan dengan pita ukur.

Pita Ukur

• Pembacaan skala dilakukan pada alat dengan ketelitian 0,1 cm.


• Tinggi badan sama dengan dua kali jarak rentang satu lengan tersebut.
Source : mna guide english, 2009
• Pengukuran tinggi badan lansia dengan kifosis atau masalah postural lainnya
biasanya diperkirakan dari pengukuran tinggi lutut dan dikonversikan dengan rumus
prediksi TB.
(WHO, 1995)
Tinggi lutut (Knee Height)
Tinggi lutut dapat diukur dalam posisi duduk dan berbaring dengan alat ukur tinggi
lutut.

Knee Height Caliper

Prediksi TB dapat dihitung dengan rumus :


• Prediksi TB wanita = (2,225 x tinggi lutut) + 50,25
• Prediksi TB pria = (1,924 x tinggi lutut) + 69,38

(Shahar, 2003)
• Batas ambang klasifikasi IMT diberbagai negara merujuk
FAO/WHO 2000, negara di kawasan Asia Pasifik WPRO 2000
Klasifikasi WHO 2000 WPRO 2000
Underweight <18,50
Severe thinness <16,00
Moderate thinness 16,00 – 16,99
<18,5
Mild thinness 17,00 – 18,49
18,50 – 22,99
Normal range
23,00 – 24,99
18,5 – 22,9
Overweight ≥25,00

Pre - obese
25,00 – 27,49 23 – 24,9
27,50 – 29,99

Obese ≥30,00

30,00 – 32,49
Obese class I
32,50 – 34,99
25 – 29,9
35,00 – 37,49
Obese class II
37,50 – 39,99
≥30
Obese class III ≥40,00
WHO expert Consultation
THE LANCET • Vol 363 • January 10, 2004 •
• Penelitian di Asia  terdapat peningkatan prevalensi
DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskular, meskipun rerata
IMT termasuk kategori normal (IMT <25 kg/m2).

• Persentase lemak tubuh pada beberapa populasi negara


Asia lebih tinggi dibandingkan populasi kulit putih
Eropa, meskipun memiliki nilai IMT yang sama.
• Hal tersebut mendasari pemikiran bahwa ambang batas
IMT yang ditetapkan oleh WHO bisa menimbulkan
rendahnya kewaspadaan terhadap risiko terkait
obesitas pada populasi Asia. (WHO Consultation, 2004)

Penurunan batas ambang klasifikasi IMT penting untuk


mencegah peningkatan prevalensi PTM
• Lingkar pinggang digunakan untuk memperkirakan
lemak tubuh, khususnya lemak abdomen atau viseral,.
• Asia, lingkar pinggang dapat tinggi, meskipun IMT
belum masuk dalam kategori obese. Hal ini dikarenakan
adanya kecenderungan akumulasi lemak di abdomen.
(WHO expert consultation, 2008)

• Meta analisis dari 9 studi kohort yang mencakup 82.864


partisipan berkebangsaan Inggris menunjukkan lingkar
pinggang dan rasio pinggang pinggul merupakan
prediktor mortalitas yang lebih baik daripada IMT
berkaitan dengan kardio vaskular pada populasi sehat.

(Czernichow, 2011)
Lingkar Pinggang diukur pada titik tengah perut, ketelitian 0,1 cm.

Ambang Batas Lingkar Pinggang yang berisiko terhadap terjadinya


komplikasi metabolik direkomendasikan sesuai acuan untuk Asia

Souce : WHO expert consultation. Waist circumference and waist-hip ratio. 2008
Lingkar Pinggul
Diukur pada titik terbesar lingkar di sekitar pinggul &
panggul dengan tingkat ketelitian 0,1 cm.
Rasio Lingkar Perut dan Pinggul (Waist-Hip Ratio/WHR)
Adalah rasio atau hasil perbandingan hasil pengukuran lingkar
perut dan lingkar pinggul.

Ambang batas WHR, WHO-2008 L ≥ 0,9 dan P ≥ 0,85

WHO lebih merekomendasikan pengukuran lingkar


pinggang dibandingkan WHR untuk mengevaluasi
obesitas sentral
Source: WHO expert consultation, Waist circumference and Waist-Hip Ratio, 2008.
• Berdasarkan uraian di atas, batas ambang ukuran
lingkar pinggang yang berisiko terhadap terjadinya
komplikasi metabolik di Indonesia direkomendasikan
sesuai dengan acuan yang banyak digunakan untuk
negara di Asia, yaitu

• L >90 cm
• P >80 cm
• Malnutrition Screening Tools (MST) mendeteksi keadaan gizi
pasien dewasa secara sederhana - cepat, sahih dan andal.
• MST terdiri atas 2 butir penilaian,

1. apakah ada penurunan BB yang tidak diinginkan dan


2. apakah asupan makanan menurun  nafsu makan berkurang.
Skor ≥2 mengindikasikan pasien berisiko gizi kurang.
(Rasmussen, 2012)

Tingkat keandalan interrater MST tinggi (93-97%, Kappa 0,84-0,93).


(Kruizena, 2005)

Mempertimbangkan aspek kemudahan, validitas


kemampulaksanaan untuk diterapkan di
Indonesia, MST  menapis keadaan gizi dewasa di
komunitas.
• Secara spesifik mengevaluasi status gizi lansia dalam
rangka melengkapi pengkajian paripurna pasien geriatri
(comprehensive geriatric assessment/ CGA)

• MNA-Short Form (MNA-SF) terdiri dari 6 pertanyaan


untuk mengidentifikasi status gizi lansia yang
kekurangan gizi atau berisiko kekurangan gizi.

• Status gizi normal bila skor pengkajian status gizi 12-14


poin, skor 8-11 poin dianggap berisiko malnutrisi dan
skor 0-7 poin dianggap malnutrisi.
• Instrumen MNA-SF sahih dan handalan untuk menilai keadaan
gizi Lansia di komunitas dan di Rumah Sakit. MNA-SF punya
sensitivitas tinggi (93,2 – 97,9%) & akurasi diagnostik r 98,7%.
(Shahar,2007) (Messeguer, 2013)(Malek, 2015)

• MNA-SF merupakan instrumen penapisan keadaan gizi yang


paling tepat bagi Lansia di komunitas.
(Phillips, 2010)

Mempertimbangkan aspek kemudahan, validitas


kemampulaksanaan untuk diterapkan di
Indonesia, instrumen Mini Nutritional Assessment- Short
Form (MNA-SF) direkomendasikan
untuk menilai status gizi Lansia
ALGORITMA PENAPISAN STATUS GIZI
DENGAN MNA-SF
REKOMENDASI
KELOMPOK DEWASA

1. Klasifikasi IMT berdasarkan kategori


WPRO 2000
2. Lingkar Pinggang dengan titik batas:
a. Laki-laki >90 cm
b. Perempuan >80 cm
3. Instrumen ‘Malnutrition Screening
Tools’ (MST) digunakan untuk menapis
keadaan gizi di masyarakat
KELOMPOK LANJUT USIA (LANSIA)

1. Klasifikasi IMT berdasarkan kategori WPRO


2000
2. Lingkar Pinggang dengan titik batas:
a. Laki-laki >90 cm
b. Perempuan >80 cm
3. Instrumen Mini Nutritional Assessment-Short
Form (MNA-SF) digunakan untuk menilai
keadaan gizi Lansia di komunitas
4. Pengukuran tinggi lutut (TL) untuk prediksi
tinggi badan:
Prediksi TB-P = (2,225*TL) + 50,25
Prediksi TB-L = (1,924*TL) + 69,38
Klasifikasi IMT berdasarkan kategori WPRO 2000

Klasifikasi Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan <18,5

Normal Normal 18,5 – 22,9


Gemuk Kelebihan berat badan
23,0 – 24,9
(overweight) tingkat ringan
Kelebihan berat badan
Obese kelas I 25,0 – 29,9
tingkat berat
Kelebihan berat badan
Obese kelas II ≥ 30
tingkat sangat berat
Tabel IMT berdasarkan WPRO 2000
ALGORITMA PENAPISAN
STATUS GIZI DEWASA
ALGORITMA PENAPISAN
STATUS GIZI LANSIA
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai