Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ihza Bela Silmana Alfatich (2105177)

Materi : 第 7 章 – 教室で何ができるのか (Halaman 114 – 122)

● Saat recast dan prompt berfungsi secara efektif


Memang tidak terlihat kesamaan pendapat di antara peneliti sekarang ini terhadap hal ini,
namun yang patut diperhatikan adalah bagaimana menggunakan kedua metode ini secara
tepat. Misalnya, terhadap siswa yang sebelumnya sudah mengetahui suatu jenis materi
namun tidak dapat menggunakannya, penting bagi guru meningkatkan otomatisasi
pengetahuan siswa dengan mengoreksi output siswa melalui prompt, kebalikannya,
penggunaan recast lebih baik jika siswa melakukan kesalahan yang melebihi kemampuan
yang dimilikinya di saat itu. Kemudian, karena ada kemungkinan di mana bahasa antara tidak
bisa dikoreksi lagi jika hanya menyinggung input pada kesalahan yang sudah cukup
menstabil (fiksasi), maka jika recast tidak begitu efektif, penting untuk mengoreksi dengan
cara prompt. Patut diperhatikan bahwa recast mudah disadari terhadap penggunaan kosakata
dan bunyi. Hal ini akan membantu Anda memutuskan mana yang akan digunakan.
Kemudian, bukan berarti guru harus memberi feedback dan mengoreksi semua kesalahan
dengan menggunakan prompt, karenanya penting untuk menggabungkan penggunaannya
bersama dengan recast. Terutama seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, karena recast
semakin mudah disadari bila seluruh pelajaran awalnya terfokus pada format linguistik, maka
recast akan menjadi lebih mudah digunakan apabila bentuk pelajaran berupa penggabungan
unsur komunikasi dalam silabus ketatabahasaan seperti pendidikan bahasa Jepang yang
banyak dilakukan pada saat ini. Tapi dalam melakukan recast, penting untuk
memperingatkan siswa pada kesalahan yang “singkat” dan “poin koreksi hanya di satu
tempat” saja agar lebih mudah diperhatikan. Selain itu, penting juga untuk mendorong
perhatian siswa pada intonasi suara atau ekspresi wajah.

● Penggunaan feedback secara efektif


Kesimpulannya,
1. Recast sulit disadari dalam feedback koreksi terhadap format bahasa, dan siswa
banyak yang tidak mengerti di bagian manakah yang dikoreksi.
2. Tapi, recast mudah disadari karena singkat dan koreksi hanya dilakukan pada satu
bagian saja. Penting juga untuk menonjolkan penggunaan recast dalam mengubah
intonasi, dll.
3. Recast mudah diperhatikan dalam pelajaran yang awalnya berfokus pada format
bahasa.
4. Lebih efektif mengoreksi dengan menggunakan prompt untuk memberi feedback
terhadap jenis materi yang tidak dapat digunakan siswa meski sudah diketahui
sebelumnya.
5. Lebih baik recast digunakan pada kesalahan yang melebihi tingkat kemampuan
berbahasa siswa pada saat itu.

3. 5 Feedback sebaiknya digunakan dalam kesalahan seperti apa?


Meskipun sudah mengetahui bagaimana standar feedback yang efektif, tetap tidak
mungkin dapat memberi feedback pada semua kesalahan siswa. Berdasarkan hasil survey,
kebanyakan siswa memang menjawab “ingin dikoreksi kesalahannya”, tapi mereka akan bosan
kalau dikoreksi tiap kali berbicara. Penulis pun berpikir saya akan menjadi tidak suka berbicara
dalam bahasa Inggris kalau diingatkan satu-satu tiap kali menggunakan “s” dalam kata tunjuk
orang ketiga. Selain itu, jika menunjukkan kesalahan di depan orang lain, akan menjadi tekanan
tersendiri bagi siswa, dan bagaimana cara merasakan tekanan tersebut akan berbeda tiap
individu. Lalu, jika mengoreksi semua kesalahan murid, pembelajaran tidak bisa berlanjut, dan
jalannya komunikasi juga akan terhenti. Kita sebagai guru harus memutuskan dalam saat itu juga
apakah perlu memberi feedback atau tidak, dan kalau perlu, feedback seperti apa yang diberikan.
Dalam hal itu, guru harus memikirkan bermacam-macam hal, contohnya kesalahan
seperti apa, apa yang sedang dipelajari dalam pelajaran tersebut, kesalahan muncul dalam
kegiatan yang bertujuan untuk apa, jumlah siswa di kelas, apakah kesalahan yang sama
ditemukan dalam banyak siswa, dan bagaimana sifat siswa. Keputusan seperti ini memang dapat
berkembang seiring dengan bertambahnya pengalaman di lapangan, namun hasil penelitian
tentang feedback juga penting sebagai salah satu patokan keputusan.
Kesalahan seperti apa yang terjadi memberi pengaruh besar dalam menentukan perlu atau
tidak memberi feedback. Hal ini juga adalah tingkatan tahapan yang belum dapat dikatakan
dengan pasti, tapi feedback yang disebut efektif adalah yang sesuai dengan tingkat
perkembangan siswa. Dari poin ini, recast diyakini bisa digunakan untuk kesalahan yang
melebihi kemampuan siswa sekarang.
Lalu, terhadap local error yang tidak berhubungan dengan makna dan global error yang
berhubungan dengan makna seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 1, manakah yang penting
untuk diberikan feedback? Mungkin seperti kebanyakan orang, penulis juga berpikiran bahwa
seringnya adalah memberikan feedback terhadap global error daripada mengoreksi local error
kecil satu persatu. Pada global error, feedback mudah dilakukan karena terjadi negosiasi makna
secara alami yang disebabkan pembicaraan tidak dapat dipahami, namun guru juga akan ragu
untuk menginterverensi satu persatu local error yang masih dapat dipahami.
Meskipun begitu, jika dipertimbangkan dari sisi pembelajaran, global error yang tidak
dapat dipahami seperti tertulis dalam Bab 5, negosiasi makna dapat terjadi baik dalam kegiatan
dalam kelas maupun luar kelas, sehingga mudah mendapatkan kesempatan untuk menyadari
kesalahan. Tapi, kesempatan untuk menyadari local error yang masih bisa dipahami sulit
didapatkan di luar kelas. Jika kita sebagai guru tidak memberi feedback, maka dikhawatirkan
siswa akan tetap seperti itu. Oleh karena itu, penting untuk juga memberi feedback terhadap
local error di dalam kelas.
Inilah dilema guru bahasa. Untuk siswa yang mengulangi local error seperti
memasukkan の dalam 「 大 き い の 本 」 , penggunaan に dan で untuk
menyebutkan tempat, meskipun penulis sendiri sudah mengingatkan
serta memberi input secara individual setelah pelajaran selesai
sambil melakukan beberapa recast di dalam kelas, penulis merasa tetap harus terus
menerus memikirkan metode apa yang tepat digunakan.
Selanjutnya, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa local error tidak perlu
dikoreksi karena tetap dapat dipahami. Namun, hal ini adalah permasalahan yang berbeda. Tentu
saja bukan berarti harus mencapai bahasa asing sempurna tanpa kesalahan sama sekali, tapi dari
sisi siswa sendirilah yang menentukan bahasa Jepang seperti apa yang mereka butuhkan dan
ingin menjadi penutur bahasa Jepang yang bagaimana. Dari prinsip dan tuntutan seorang guru,
kita sebagai guru tidak punya hak untuk memutuskan “karena dapat dipahami, maka tingkat
bahasa Jepang seperti ini pun sudah baik”. Kita juga tidak bisa menyangkal bahwa ada banyak
siswa yang ingin mencapai bahasa Jepang tanpa kesalahan.
Terlebih lagi, yang tidak boleh dilupakan adalah pada masa audio-lingual seperti
sekarang ini, feedback bukan diberikan untuk “menghapus kesalahan”, melainkan feedback
diberikan untuk meningkatkan perkembangan bahasa internal siswa. Feedback bukanlah untuk
menyangkal bahasa siswa, tapi untuk membantu perkembangan bahasa mereka.
Memang masih ada hal yang belum jelas berkaitan dengan feedback ini, tapi juga ada
beberapa hal yang perlahan dapat kita pahami. Berdasarkan hasil penelitan tentang pemerolehan
dan pengalaman yang diperoleh masing-masing guru di lapangan, penting untuk memanfaatkan
penggunaan keduanya dalam memberikan feedback di dalam kelas,

4. Mengulang kembali tentang urutan mengajar


Pada Bab 4 sudah dijelaskan tentang urutan mengajar dan dituliskan “ada pilihan untuk
mengajarkan hal yang sulit terlebih dahulu” di akhir bab. Teori yang tampak tidak konsisten
dengan mengajar sesuai dengan tahapan perkembangan ini diajukan dalam bidang penelitian
pemerolehan bahasa kedua. Tapi hal seperti apakah yang dimaksud? Dan bagaimana sebaiknya
kita mempertimbangkannya?
Pertama, mari melihat seperti apakah teori ini. Teori ini disebut “Tosha moderu
(projection model)”. Teori ini menyebutkan bahwa ketika mengajar suatu jenis materi, jika
mengajarkan hal yang sulit dalam materi tersebut, asalkan ada input juga pada hal yang mudah,
kedua hal tersebut dapat dipelajari bersamaan. Contohnya, kata penghubung anak kalimat
(klausa relatif) dalam bahasa Inggris, klausa relatif pengganti subjek “the man who came here
yesterday” lebih mudah daripada “the man with whom I went to Tokyo”. Jika dipikirkan seperti
biasa, kelihatannya lebih baik mengajarkan dari yang mudah dulu secara berurutan. Tapi dalam
projection model, jika mengajarkan klausa relatif yang digunakan seperti with whom, by which di
awal, maka klausa relatif subjek akan bisa dipelajari bersamaan. Kenyataannya, dalam banyak
penelitian, dengan melakukan latihan klausa relatif seperti with whom, hasilnya menyebutkan
bahwa cara seperti ini juga efektif hingga materi klausa relatif subjek. Sayangnya, masih sedikit
jenis materi yang sudah diverifikasi oleh model seperti ini, yaitu selain dalam klausa relatif,
hanya ada dalam materi kata ganti orang dalam bahasa Inggris.
Memang tidak muncul jawaban yang jelas sebagai hasil penelitian, tapi yang penting di
sini adalah sebagai lawan dari pemikiran “mengajar dari hal yang mudah” yang sudah sangat
umum, ada juga kemungkinan pendapat “mungkin akan lebih baik jika mengajar dari hal yang
susah”.
Mari kita coba lihat salah satu contoh dalam bahasa Jepang.
Dalam bahasa Jepang, て い る yang menunjukkan proses progresif
seperti 「 本 を 読 ん で い る 」 (sedang membaca buku) dan て い る yang
menunjukkan keadaan hasil seperti 「窓が開いている」(jendela terbuka),
hasil yang banyak muncul dalam penelitian adalah て い る yang
menunjukkan proses progresif lebih cepat dipelajari daripada yang
menunjukkan keadaan hasil, sehingga dapat pula dibilang lebih mudah
dipelajari. Kenyataannya, materi て い る yang menunjukkan proses
progresif menjadi diajarkan di awal dalam kebanyakan buku pelajaran
tingkat pemula. Lalu, bagaimana jika coba mengajar dengan urutan
yang terbalik?
Dalam buku pelajaran “Situational Functional Japanese” yang
digunakan dalam institusi pendidikan tempat penulis mengajar, ている
keadaan hasil muncul dalam tingkat yang cukup lebih cepat, kemudian
setelah beberapa saat, baru diajarkan て い る proses progresif. Jika
ditulis secara detail, dari total 24 bab, bab 8 mempelajari materi
keadaan hasil seperti 「 窓 が 開 い て い ま す 」 (jendela terbuka) dengan
menggunakan beberapa kata kerja. Bab ini juga mempelajari ungkapan
yang frekuensi penggunaannya tinggi, seperti 「 待 っ て い る 」
(menunggu), 「住んでいる 」(tinggal), 「 結婚している」 (sudah menikah).
Kemudian, bab 11 mempelajari kata kerja intransitif dan transitif,
dan て い る keadaan hasil juga dilatih dengan menggunakan lebih
banyak kata kerja seperti 「 止 ま っ て い る 」 (berhenti), 「 壊 れ て い る 」
(rusak), setelah itu baru muncul ている proses progresif. Dengan kata
lain, pada awalnya siswa mulai menggunakan ている sebagai pola untuk
menunjukkan keadaan, kemudian belajar bahwa pola ini juga bisa
digunakan dalam proses progresif. Ini memang hanya pengalaman
pribadi penulis bukan telah diteliti dengan rinci, tapi kalau mengajar
dengan menggunakan tahapan seperti ini, penulis merasa pemantapan
ている keadaan hasil sangat baik, contohnya seperti yang dipelajari di
dalam kelas seperti 「あいている」(terbuka), 「ついている」(menyala), dan
lainnya. Lebih lanjut, saat mengajarkan て い る proses progresif,
meskipun ada “perbedaan makna” terhadap pola yang sama, mayoritas
siswa mampu menerima tanpa perlawanan dan tidak membutuhkan
waktu yang terlalu lama untuk latihan.
Jika diperhatikan, memang ini adalah fenomena yang
meyakinkan. Proses progresif て い る dalam bahasa Inggris
diterjemahkan dengan pola progresif seperti “be eating”. Siswa akan
berpikir “oh, bahasa Jepang て い る adalah be-ing”, dan kalau mereka
lanjut berpikir 「 読 んでいる」 adalah “be reading”, 「見ている」 adalah “be
watching”, kelihatannya pola ini akan dianggap tidak sesulit itu. Siswa
yang memiliki bahasa ibu selain bahasa Inggris pun, jika dalam bahasa
ibu juga ada pola progresif, mereka akan menerapkan dan
memahaminya. Di sisi lain, keadaan hasil seperti 「開いている」 dalam
bahasa Inggris adalah “be open”, 「(電気)がついている」 adalah “be on” dan lain
sebagainya, tidak menunjukkan pola yang sama dengan pola progresif. Dalam kebanyakan
bahasa, disebutkan bahwa pola progresif dan bentuk keadaan hasil tidak ditunjukkan dengan pola
yang sama.
Maka, masalahnya adalah jika mengajarkan て い る proses
progresif lebih dulu, mungkin akan terbentuk hubungan kuat bahwa て
い る adalah proses progresif, dan jika begitu, mungkin akan menjadi
lebih susah bagi siswa untuk menghubungkan dengan bentuk selain itu.
Apalagi, bagi penutur dengan bahasa ibu yang terdapat bentuk proses
progresif, hubungan ている sama denga pola progresif tentu akan jelas
dan mudah dipahami sehingga akan lebih susah untuk melepaskan diri
dari sana.
Berkaitan dengan menghubungkan antara pola dengan makna,
disebutkan bahwa mulanya siswa akan menguhubungkan satu-satu.
Kemudian, perlahan-lahan berpindah pada hubungan satu-ke-banyak.
Namun, karena hubungan paling awal adalah yang paling mudah
dipahami dan digunakan, maka jika digunakan berulang kali, hubungan
tersebut akan menjadi lebih kuat, dan dari sana mungkin menjadi
lebih sulit untuk menghubungkan dengan hal lain. Terlebih lagi,
karena て い る keadaan hasil sering kali berarti sesuatu yang tidak
ditunjukkan dalam pola progresif dalam bahasa sendiri, jika
mengajarkan て い る keadaan hasil setelah mengajarkan て い る proses
progresif, maka seakan-akan menambahkan makna yang jauh berbeda
ke dalam て い る yang awalnya dianggap hanya menunjukkan
keberlangsungan.
Lalu, bagaimana jika mengajar dengan urutan kebalikannya? Jika
siswa mempelajari ている keadaan hasil dan sulit menemukan manakah
yang sesuai dengan pola kalimat dalam bahasa ibu, meski memang
tetap sedikit sulit, tetapi nantinya akan terbuat hubungan bahwa てい
る adalah pola yang menunjukkan keadaan. Sebenarnya, karena pola
progresif yang menunjukkan aktivitas berkelanjutan pun termasuk
dalam salah satu bagian keadaan, maka setelah di awal membuat
hubungan bahwa て い る sama dengan menunjukkan keadaan, dan
kemudian maknanya diperluas ke dalam pola progresif, siswa pun
mungkin tidak akan sesulit itu dalam memahaminya.
Ketika ada satu pola yang memiliki 2 arti atau lebih, seringnya memang berpikir bahwa
lebih baik diajarkan dari yang ringan dan mudah dipahami. Namun sebenarnya, penting untuk
diingat bahwa dikarenakan mengajarkan hal yang mudah lebih dulu, ada kemungkinan akan
memperlambat pembelajaran hal yang diajarkan setelahnya. Meskipun begitu, belum diketahui
apakah memang lebih baik hal yang susah diajarkan lebih dulu seperti ini atau tidak pada semua
pola. Penting untuk diadakan penelitian yang melihat satu persatu manakah urutan yang efektif
dalam praktiknya, dan kita sebagai guru pun dapat mencobanya sendiri di dalam kelas. Hal yang
penting adalah ingatlah bahwa ada pilihan untuk mengajarkan hal yang susah lebih dulu ketika
memikirkan bagaimana acara mengajar dan manakah yang sebaiknya didahulukan.
Pemikiran tentang tahap perkembangan dan mendahulukan materi yang susah bukanlah
hal yang bertentangan. Mendahulukan materi yang susah adalah membicarakan tentang “hal
yang mudah dan susah dalam suatu jenis materi”, bukan membicarakan tentang mengajarkan
kalimat majemuk lebih dulu ketimbang kalimat tunggal. Oleh karena itu, seperti yang sudah
dijabarkan pada bab 4.7, merupakan ide yang bagus untuk menganggap tahap perkembangan
sebagai kerangka kerja besar, dan ketika akan mengajarkan suatu pola, pikirkanlah lagi
pandangan yang lain.
Rangkuman
1. Dalam proses pemahaman makna pada bahasa kedua, setelah mendengar kata konten dan
melakukan proses semantik, kata fungsi tidak diproses. Dengan kata lain, sering terjadi
proses memahami makna tanpa proses gramatikal.
2. Dalam instruction processing, pertama-tama lakukan tugas untuk memahami input
setelah memperkenalkan materi baru, kemudian setelah membuat hubungan antara
bentuk dan makna berdasarkan input tersebut, lanjutkan ke kegiatan output.
3. Mengenai bimbingan kelas, “focus on form” dianggap penting untuk “mengarahkan
perhatian siswa ke format bahasa yang ada dalam suatu konteks yang bermakna”.
4. Bimbingan secara eksplisit sepertinya lebih efektif dalam mengembangkan kemampuan
tata bahasa eksplisit dibandingkan bimbingan secara implisit. Tapi, sampai sekarang
belum diketahui apakah efektif juga dalam memperoleh kemampuan yang bisa digunakan
saat berkomunikasi. Bagaimanapun, pengetahuan yang didapat dari bimbingan yang
berfokus pada format linguistik adalah pengetahuan eksplisit, dan masuk akal untuk
berpikir bahwa pengetahuan tersebut memfasilitasi pembelajaran dengan cara membantu
belajar dari input.
5. Recast sebagai feedback implisit adalah feedback yang sulit disadari untuk koreksi
terhadap format bahasa, dan siswa sering tidak paham pada bagian manakah mereka
dikoreksi. Tapi, hasil penelitian menyiratkan bahwa asalkan siswa sadar, tanpa siswa
memperbaiki pun, ada kemungkinan sama efektifnya seperti cara prompt yang
mendorong perbaikan.
6. Penting untuk melakukan recast dan prompt dengan benar.
7. Dengan mengajarkan hal yang mudah lebih dulu, ada kemungkinan pembelajaran hal
yang diajarkan setelahnya menjadi lambat. Ketika mempertimbangkan bagaimana cara
mengajar dan apa yang akan diajarkan lebih dulu, penting untuk diingat bahwa kita
mempunyai pilihan untuk mengajarkan hal yang susah lebih dulu.

Anda mungkin juga menyukai