Memang tidak terlihat kesamaan pendapat di antara peneliti sekarang ini terhadap hal ini, namun yang patut diperhatikan adalah bagaimana menggunakan kedua metode ini secara tepat. Misalnya, terhadap siswa yang sebelumnya sudah mengetahui suatu jenis materi namun tidak dapat menggunakannya, penting bagi guru meningkatkan otomatisasi pengetahuan siswa dengan mengoreksi output siswa melalui prompt, kebalikannya, penggunaan recast lebih baik jika siswa melakukan kesalahan yang melebihi kemampuan yang dimilikinya di saat itu. Kemudian, karena ada kemungkinan di mana bahasa antara tidak bisa dikoreksi lagi jika hanya menyinggung input pada kesalahan yang sudah cukup menstabil (fiksasi), maka jika recast tidak begitu efektif, penting untuk mengoreksi dengan cara prompt. Patut diperhatikan bahwa recast mudah disadari terhadap penggunaan kosakata dan bunyi. Hal ini akan membantu Anda memutuskan mana yang akan digunakan. Kemudian, bukan berarti guru harus memberi feedback dan mengoreksi semua kesalahan dengan menggunakan prompt, karenanya penting untuk menggabungkan penggunaannya bersama dengan recast. Terutama seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, karena recast semakin mudah disadari bila seluruh pelajaran awalnya terfokus pada format linguistik, maka recast akan menjadi lebih mudah digunakan apabila bentuk pelajaran berupa penggabungan unsur komunikasi dalam silabus ketatabahasaan seperti pendidikan bahasa Jepang yang banyak dilakukan pada saat ini. Tapi dalam melakukan recast, penting untuk memperingatkan siswa pada kesalahan yang “singkat” dan “poin koreksi hanya di satu tempat” saja agar lebih mudah diperhatikan. Selain itu, penting juga untuk mendorong perhatian siswa pada intonasi suara atau ekspresi wajah.
● Penggunaan feedback secara efektif
Kesimpulannya, 1. Recast sulit disadari dalam feedback koreksi terhadap format bahasa, dan siswa banyak yang tidak mengerti di bagian manakah yang dikoreksi. 2. Tapi, recast mudah disadari karena singkat dan koreksi hanya dilakukan pada satu bagian saja. Penting juga untuk menonjolkan penggunaan recast dalam mengubah intonasi, dll. 3. Recast mudah diperhatikan dalam pelajaran yang awalnya berfokus pada format bahasa. 4. Lebih efektif mengoreksi dengan menggunakan prompt untuk memberi feedback terhadap jenis materi yang tidak dapat digunakan siswa meski sudah diketahui sebelumnya. 5. Lebih baik recast digunakan pada kesalahan yang melebihi tingkat kemampuan berbahasa siswa pada saat itu.
3. 5 Feedback sebaiknya digunakan dalam kesalahan seperti apa?
Meskipun sudah mengetahui bagaimana standar feedback yang efektif, tetap tidak mungkin dapat memberi feedback pada semua kesalahan siswa. Berdasarkan hasil survey, kebanyakan siswa memang menjawab “ingin dikoreksi kesalahannya”, tapi mereka akan bosan kalau dikoreksi tiap kali berbicara. Penulis pun berpikir saya akan menjadi tidak suka berbicara dalam bahasa Inggris kalau diingatkan satu-satu tiap kali menggunakan “s” dalam kata tunjuk orang ketiga. Selain itu, jika menunjukkan kesalahan di depan orang lain, akan menjadi tekanan tersendiri bagi siswa, dan bagaimana cara merasakan tekanan tersebut akan berbeda tiap individu. Lalu, jika mengoreksi semua kesalahan murid, pembelajaran tidak bisa berlanjut, dan jalannya komunikasi juga akan terhenti. Kita sebagai guru harus memutuskan dalam saat itu juga apakah perlu memberi feedback atau tidak, dan kalau perlu, feedback seperti apa yang diberikan. Dalam hal itu, guru harus memikirkan bermacam-macam hal, contohnya kesalahan seperti apa, apa yang sedang dipelajari dalam pelajaran tersebut, kesalahan muncul dalam kegiatan yang bertujuan untuk apa, jumlah siswa di kelas, apakah kesalahan yang sama ditemukan dalam banyak siswa, dan bagaimana sifat siswa. Keputusan seperti ini memang dapat berkembang seiring dengan bertambahnya pengalaman di lapangan, namun hasil penelitian tentang feedback juga penting sebagai salah satu patokan keputusan. Kesalahan seperti apa yang terjadi memberi pengaruh besar dalam menentukan perlu atau tidak memberi feedback. Hal ini juga adalah tingkatan tahapan yang belum dapat dikatakan dengan pasti, tapi feedback yang disebut efektif adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Dari poin ini, recast diyakini bisa digunakan untuk kesalahan yang melebihi kemampuan siswa sekarang. Lalu, terhadap local error yang tidak berhubungan dengan makna dan global error yang berhubungan dengan makna seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 1, manakah yang penting untuk diberikan feedback? Mungkin seperti kebanyakan orang, penulis juga berpikiran bahwa seringnya adalah memberikan feedback terhadap global error daripada mengoreksi local error kecil satu persatu. Pada global error, feedback mudah dilakukan karena terjadi negosiasi makna secara alami yang disebabkan pembicaraan tidak dapat dipahami, namun guru juga akan ragu untuk menginterverensi satu persatu local error yang masih dapat dipahami. Meskipun begitu, jika dipertimbangkan dari sisi pembelajaran, global error yang tidak dapat dipahami seperti tertulis dalam Bab 5, negosiasi makna dapat terjadi baik dalam kegiatan dalam kelas maupun luar kelas, sehingga mudah mendapatkan kesempatan untuk menyadari kesalahan. Tapi, kesempatan untuk menyadari local error yang masih bisa dipahami sulit didapatkan di luar kelas. Jika kita sebagai guru tidak memberi feedback, maka dikhawatirkan siswa akan tetap seperti itu. Oleh karena itu, penting untuk juga memberi feedback terhadap local error di dalam kelas. Inilah dilema guru bahasa. Untuk siswa yang mengulangi local error seperti memasukkan の dalam 「 大 き い の 本 」 , penggunaan に dan で untuk menyebutkan tempat, meskipun penulis sendiri sudah mengingatkan serta memberi input secara individual setelah pelajaran selesai sambil melakukan beberapa recast di dalam kelas, penulis merasa tetap harus terus menerus memikirkan metode apa yang tepat digunakan. Selanjutnya, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa local error tidak perlu dikoreksi karena tetap dapat dipahami. Namun, hal ini adalah permasalahan yang berbeda. Tentu saja bukan berarti harus mencapai bahasa asing sempurna tanpa kesalahan sama sekali, tapi dari sisi siswa sendirilah yang menentukan bahasa Jepang seperti apa yang mereka butuhkan dan ingin menjadi penutur bahasa Jepang yang bagaimana. Dari prinsip dan tuntutan seorang guru, kita sebagai guru tidak punya hak untuk memutuskan “karena dapat dipahami, maka tingkat bahasa Jepang seperti ini pun sudah baik”. Kita juga tidak bisa menyangkal bahwa ada banyak siswa yang ingin mencapai bahasa Jepang tanpa kesalahan. Terlebih lagi, yang tidak boleh dilupakan adalah pada masa audio-lingual seperti sekarang ini, feedback bukan diberikan untuk “menghapus kesalahan”, melainkan feedback diberikan untuk meningkatkan perkembangan bahasa internal siswa. Feedback bukanlah untuk menyangkal bahasa siswa, tapi untuk membantu perkembangan bahasa mereka. Memang masih ada hal yang belum jelas berkaitan dengan feedback ini, tapi juga ada beberapa hal yang perlahan dapat kita pahami. Berdasarkan hasil penelitan tentang pemerolehan dan pengalaman yang diperoleh masing-masing guru di lapangan, penting untuk memanfaatkan penggunaan keduanya dalam memberikan feedback di dalam kelas,
4. Mengulang kembali tentang urutan mengajar
Pada Bab 4 sudah dijelaskan tentang urutan mengajar dan dituliskan “ada pilihan untuk mengajarkan hal yang sulit terlebih dahulu” di akhir bab. Teori yang tampak tidak konsisten dengan mengajar sesuai dengan tahapan perkembangan ini diajukan dalam bidang penelitian pemerolehan bahasa kedua. Tapi hal seperti apakah yang dimaksud? Dan bagaimana sebaiknya kita mempertimbangkannya? Pertama, mari melihat seperti apakah teori ini. Teori ini disebut “Tosha moderu (projection model)”. Teori ini menyebutkan bahwa ketika mengajar suatu jenis materi, jika mengajarkan hal yang sulit dalam materi tersebut, asalkan ada input juga pada hal yang mudah, kedua hal tersebut dapat dipelajari bersamaan. Contohnya, kata penghubung anak kalimat (klausa relatif) dalam bahasa Inggris, klausa relatif pengganti subjek “the man who came here yesterday” lebih mudah daripada “the man with whom I went to Tokyo”. Jika dipikirkan seperti biasa, kelihatannya lebih baik mengajarkan dari yang mudah dulu secara berurutan. Tapi dalam projection model, jika mengajarkan klausa relatif yang digunakan seperti with whom, by which di awal, maka klausa relatif subjek akan bisa dipelajari bersamaan. Kenyataannya, dalam banyak penelitian, dengan melakukan latihan klausa relatif seperti with whom, hasilnya menyebutkan bahwa cara seperti ini juga efektif hingga materi klausa relatif subjek. Sayangnya, masih sedikit jenis materi yang sudah diverifikasi oleh model seperti ini, yaitu selain dalam klausa relatif, hanya ada dalam materi kata ganti orang dalam bahasa Inggris. Memang tidak muncul jawaban yang jelas sebagai hasil penelitian, tapi yang penting di sini adalah sebagai lawan dari pemikiran “mengajar dari hal yang mudah” yang sudah sangat umum, ada juga kemungkinan pendapat “mungkin akan lebih baik jika mengajar dari hal yang susah”. Mari kita coba lihat salah satu contoh dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Jepang, て い る yang menunjukkan proses progresif seperti 「 本 を 読 ん で い る 」 (sedang membaca buku) dan て い る yang menunjukkan keadaan hasil seperti 「窓が開いている」(jendela terbuka), hasil yang banyak muncul dalam penelitian adalah て い る yang menunjukkan proses progresif lebih cepat dipelajari daripada yang menunjukkan keadaan hasil, sehingga dapat pula dibilang lebih mudah dipelajari. Kenyataannya, materi て い る yang menunjukkan proses progresif menjadi diajarkan di awal dalam kebanyakan buku pelajaran tingkat pemula. Lalu, bagaimana jika coba mengajar dengan urutan yang terbalik? Dalam buku pelajaran “Situational Functional Japanese” yang digunakan dalam institusi pendidikan tempat penulis mengajar, ている keadaan hasil muncul dalam tingkat yang cukup lebih cepat, kemudian setelah beberapa saat, baru diajarkan て い る proses progresif. Jika ditulis secara detail, dari total 24 bab, bab 8 mempelajari materi keadaan hasil seperti 「 窓 が 開 い て い ま す 」 (jendela terbuka) dengan menggunakan beberapa kata kerja. Bab ini juga mempelajari ungkapan yang frekuensi penggunaannya tinggi, seperti 「 待 っ て い る 」 (menunggu), 「住んでいる 」(tinggal), 「 結婚している」 (sudah menikah). Kemudian, bab 11 mempelajari kata kerja intransitif dan transitif, dan て い る keadaan hasil juga dilatih dengan menggunakan lebih banyak kata kerja seperti 「 止 ま っ て い る 」 (berhenti), 「 壊 れ て い る 」 (rusak), setelah itu baru muncul ている proses progresif. Dengan kata lain, pada awalnya siswa mulai menggunakan ている sebagai pola untuk menunjukkan keadaan, kemudian belajar bahwa pola ini juga bisa digunakan dalam proses progresif. Ini memang hanya pengalaman pribadi penulis bukan telah diteliti dengan rinci, tapi kalau mengajar dengan menggunakan tahapan seperti ini, penulis merasa pemantapan ている keadaan hasil sangat baik, contohnya seperti yang dipelajari di dalam kelas seperti 「あいている」(terbuka), 「ついている」(menyala), dan lainnya. Lebih lanjut, saat mengajarkan て い る proses progresif, meskipun ada “perbedaan makna” terhadap pola yang sama, mayoritas siswa mampu menerima tanpa perlawanan dan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk latihan. Jika diperhatikan, memang ini adalah fenomena yang meyakinkan. Proses progresif て い る dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan pola progresif seperti “be eating”. Siswa akan berpikir “oh, bahasa Jepang て い る adalah be-ing”, dan kalau mereka lanjut berpikir 「 読 んでいる」 adalah “be reading”, 「見ている」 adalah “be watching”, kelihatannya pola ini akan dianggap tidak sesulit itu. Siswa yang memiliki bahasa ibu selain bahasa Inggris pun, jika dalam bahasa ibu juga ada pola progresif, mereka akan menerapkan dan memahaminya. Di sisi lain, keadaan hasil seperti 「開いている」 dalam bahasa Inggris adalah “be open”, 「(電気)がついている」 adalah “be on” dan lain sebagainya, tidak menunjukkan pola yang sama dengan pola progresif. Dalam kebanyakan bahasa, disebutkan bahwa pola progresif dan bentuk keadaan hasil tidak ditunjukkan dengan pola yang sama. Maka, masalahnya adalah jika mengajarkan て い る proses progresif lebih dulu, mungkin akan terbentuk hubungan kuat bahwa て い る adalah proses progresif, dan jika begitu, mungkin akan menjadi lebih susah bagi siswa untuk menghubungkan dengan bentuk selain itu. Apalagi, bagi penutur dengan bahasa ibu yang terdapat bentuk proses progresif, hubungan ている sama denga pola progresif tentu akan jelas dan mudah dipahami sehingga akan lebih susah untuk melepaskan diri dari sana. Berkaitan dengan menghubungkan antara pola dengan makna, disebutkan bahwa mulanya siswa akan menguhubungkan satu-satu. Kemudian, perlahan-lahan berpindah pada hubungan satu-ke-banyak. Namun, karena hubungan paling awal adalah yang paling mudah dipahami dan digunakan, maka jika digunakan berulang kali, hubungan tersebut akan menjadi lebih kuat, dan dari sana mungkin menjadi lebih sulit untuk menghubungkan dengan hal lain. Terlebih lagi, karena て い る keadaan hasil sering kali berarti sesuatu yang tidak ditunjukkan dalam pola progresif dalam bahasa sendiri, jika mengajarkan て い る keadaan hasil setelah mengajarkan て い る proses progresif, maka seakan-akan menambahkan makna yang jauh berbeda ke dalam て い る yang awalnya dianggap hanya menunjukkan keberlangsungan. Lalu, bagaimana jika mengajar dengan urutan kebalikannya? Jika siswa mempelajari ている keadaan hasil dan sulit menemukan manakah yang sesuai dengan pola kalimat dalam bahasa ibu, meski memang tetap sedikit sulit, tetapi nantinya akan terbuat hubungan bahwa てい る adalah pola yang menunjukkan keadaan. Sebenarnya, karena pola progresif yang menunjukkan aktivitas berkelanjutan pun termasuk dalam salah satu bagian keadaan, maka setelah di awal membuat hubungan bahwa て い る sama dengan menunjukkan keadaan, dan kemudian maknanya diperluas ke dalam pola progresif, siswa pun mungkin tidak akan sesulit itu dalam memahaminya. Ketika ada satu pola yang memiliki 2 arti atau lebih, seringnya memang berpikir bahwa lebih baik diajarkan dari yang ringan dan mudah dipahami. Namun sebenarnya, penting untuk diingat bahwa dikarenakan mengajarkan hal yang mudah lebih dulu, ada kemungkinan akan memperlambat pembelajaran hal yang diajarkan setelahnya. Meskipun begitu, belum diketahui apakah memang lebih baik hal yang susah diajarkan lebih dulu seperti ini atau tidak pada semua pola. Penting untuk diadakan penelitian yang melihat satu persatu manakah urutan yang efektif dalam praktiknya, dan kita sebagai guru pun dapat mencobanya sendiri di dalam kelas. Hal yang penting adalah ingatlah bahwa ada pilihan untuk mengajarkan hal yang susah lebih dulu ketika memikirkan bagaimana acara mengajar dan manakah yang sebaiknya didahulukan. Pemikiran tentang tahap perkembangan dan mendahulukan materi yang susah bukanlah hal yang bertentangan. Mendahulukan materi yang susah adalah membicarakan tentang “hal yang mudah dan susah dalam suatu jenis materi”, bukan membicarakan tentang mengajarkan kalimat majemuk lebih dulu ketimbang kalimat tunggal. Oleh karena itu, seperti yang sudah dijabarkan pada bab 4.7, merupakan ide yang bagus untuk menganggap tahap perkembangan sebagai kerangka kerja besar, dan ketika akan mengajarkan suatu pola, pikirkanlah lagi pandangan yang lain. Rangkuman 1. Dalam proses pemahaman makna pada bahasa kedua, setelah mendengar kata konten dan melakukan proses semantik, kata fungsi tidak diproses. Dengan kata lain, sering terjadi proses memahami makna tanpa proses gramatikal. 2. Dalam instruction processing, pertama-tama lakukan tugas untuk memahami input setelah memperkenalkan materi baru, kemudian setelah membuat hubungan antara bentuk dan makna berdasarkan input tersebut, lanjutkan ke kegiatan output. 3. Mengenai bimbingan kelas, “focus on form” dianggap penting untuk “mengarahkan perhatian siswa ke format bahasa yang ada dalam suatu konteks yang bermakna”. 4. Bimbingan secara eksplisit sepertinya lebih efektif dalam mengembangkan kemampuan tata bahasa eksplisit dibandingkan bimbingan secara implisit. Tapi, sampai sekarang belum diketahui apakah efektif juga dalam memperoleh kemampuan yang bisa digunakan saat berkomunikasi. Bagaimanapun, pengetahuan yang didapat dari bimbingan yang berfokus pada format linguistik adalah pengetahuan eksplisit, dan masuk akal untuk berpikir bahwa pengetahuan tersebut memfasilitasi pembelajaran dengan cara membantu belajar dari input. 5. Recast sebagai feedback implisit adalah feedback yang sulit disadari untuk koreksi terhadap format bahasa, dan siswa sering tidak paham pada bagian manakah mereka dikoreksi. Tapi, hasil penelitian menyiratkan bahwa asalkan siswa sadar, tanpa siswa memperbaiki pun, ada kemungkinan sama efektifnya seperti cara prompt yang mendorong perbaikan. 6. Penting untuk melakukan recast dan prompt dengan benar. 7. Dengan mengajarkan hal yang mudah lebih dulu, ada kemungkinan pembelajaran hal yang diajarkan setelahnya menjadi lambat. Ketika mempertimbangkan bagaimana cara mengajar dan apa yang akan diajarkan lebih dulu, penting untuk diingat bahwa kita mempunyai pilihan untuk mengajarkan hal yang susah lebih dulu.