Anda di halaman 1dari 4

PEREKONOMIAN DUNIA BERPOTENSI MELAMBAT

AKIBAT WABAH VIRUS CORONA.

Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok, mendadak terkenal
seantero dunia. Di kota berpenduduk sekitar 9 juta jiwa itu, pertama kali serangan virus
corona (Covid-19) berawal. Virus yang diduga berasal dari hewan itu kemudian
mewabah yang merenggut ribuan korban jiwa. Tak hanya di daratan Tiongkok, virus
corona juga telah menyebar ke 108 negara hingga Maret 2020. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) pun telah mengumumkan status pandemi global pada 11 Maret 2020.
Bukan kali ini saja, virus corona menggemparkan dunia. Pada 2003, virus ini pernah
mewabah dengan nama Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV) yang juga
bermula di Tiongkok. Awal mula penularan diduga dari hewan luwak dan menginfeksi
1.000 orang pertama dalam 130 hari. Rasio kematian akibat virus ini sebesar 5 dari 50
orang terinfeksi.
Kemudian virus corona dengan tipe lain juga pernah muncul di Timur Tengah
pada 2012. Virus itu dikenal dengan Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV)
yang diduga menyebar lewat unta. Sementara itu, wabah Covid-19 telah menimbulkan
kekhawatiran global. Ini disebabkan penyebaran virusnya yang cepat, yakni hanya butuh
48 hari untuk menginfeksi 1.000 orang pertama. Tak pelak sejumlah negara melakukan
sejumlah upaya untuk mengisolasi penyebaran virus. Sejumlah negara mengambil
langkah untuk mencegah masuknya virus yang menyebabkan demam dan penyakit
pneumonia itu. Termasuk Indonesia yang menghentikan penerbangan langsung dan
transit dari dan ke Tiongkok. Tak hanya Tiongkok, pemerintah pun telah membatasi
masuknya penduduk dari Iran, Italia, dan Korea Selatan.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua, merosotnya ekonomi Tiongkok
bakal berdampak terhadap perekonomian global pada 2020. Hal ini terlihat dari proyeksi
yang dilakukan sejumlah lembaga. EIU menurunkan target pertumbuhan ekonomi global
dari 2,3 persen menjadi 2,2 persen. Sementara Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan
ekonomi sebesar 2,4 persen, turun dari perkiraan sebelumnya 2,5 persen.
Lembaga riset Moody’s Analytics dalam laporan “Coronavirus: The Global
Economic Threat” (2020) memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada
kuartal I-2020 (yoy) tergerus hingga 2 persen. Adapun, setiap 1 persen penurunan PDB
negara ini akan mengurangi perekonomian dunia sebesar 0,4 persen. Menurut laporan
tersebut, kawasan Asia yang bakal paling dirugikan. Dampak jangka pendeknya pun
sudah terlihat di sektor pariwisata. Sejumlah negara yang menghentikan sementara
penerbangan serta pelayaran dari dan ke Tiongkok mencatatkan penurunan jumlah
kunjungan wisatawan, seperti Thailand, Jepang, dan Vietnam. Di Makau, mengutip
Bloomberg, jumlahnya bahkan anjlok hingga 83 persen selama libur Imlek. Data China
Outbound Tourism Research Institute menyebutkan sebanyak 173 juta wisatawan
Tiongkok bepergian ke luar negeri pada periode Oktober 2018 sampai September 2019.
World Tourism Organization pun mengatakan mereka yang paling banyak mengeluarkan
uang dalam pelesirannya, dengan total US$ 277 miliar pada 2018.
Sementara dari sektor perdagangan, Tiongkok merupakan negara pengekspor
terbesar. Pada 2018, nilai ekspor Tiongkok mencapai US$ 2,5 triliun. Sementara dari sisi
impor, negara Panda tersebut menjadi pembeli terbesar kedua setelah Amerika Serikat.
Berkurangnya aktivitas ekonomi, berdampak terhadap negara-negara pemasok seperti
Korea Selatan, Jepang, Taiwan, serta negara-negara Asia lain.
Tak hanya di Dunia, virus corona baru merebak sejak awal bulan ini di Tanah Air.
Namun dampaknya telah memukul berbagai sudut ekonomi. Indeks bursa saham rontok,
rupiah terperosok, dan pelaku di sektor riil berteriak susah berusaha. Lembaga keuangan
dunia, ekonom, dan otoritas pemerintah membuat sejumlah prediksi. Ekonomi Indonesia
bisa masuk dalam skenario terburuk jika tidak mengatasi dengan benar pandemi ini. Pada
perdagangan Selasa kemarin (24/3), indeks harga saham gabungan ditutup turun 1,3 % di
level 3.937. Sepanjang pekan ini, IHSG telah menyentuh posisi terendahnya sepanjang
delapan tahun terakhir. IHSG sempat jatuh di level 3.000 yakni pada 24 Juni 2012 di
posisi 3.955,58. Untuk membendung meluasnya dampak Covid-19 di pasar modal,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis beberapa kebijakan. Di antaranya, trading halt atau
pembekuan selama 30 menit jika IHSG turun 5 %. Trading halt pertama kali sepanjang
sejarah pasar modal Indonesia berlangsung pada Kamis (12/3) dan telah terjadi lima kali
sejak itu. Kemudian, OJK meminta PT Bursa Efek Indonesia, PT Kliring Penjaminan
Efek Indonesia, dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia untuk memangkas waktu
operasional. Langkah ini sebagai adaptasi dari kebijakan Bank Indonesia yang
mempersingkat jam operasional BI Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Mulai 30
Maret 2020, waktu perdagangan di bursa efek dibagi menjadi dua sesi. Transaksi
perdagangan pertama mulai pukul 09.00 hingga 11.30 dan sesi kedua dimulai dari pukul
13.30 hingga 15.00. Sedangkan hari kerjanya tetap dari Senin sampai Jumat.
(Baca: Pandemi Corona Dalam Negeri Meluas, IHSG Diramal Kembali Anjlok) Tak
hanya merontokkan pasar modal, virus corona juga menjatuhkan nilai tukar rupiah. Pada
Senin (23/3), harga jual dolar Amerika Serikat di lima bank besar menembus Rp 17 ribu.
Sementara kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate atau JISDOR menempatkan
nilai rupiah di posisi 16.608 per dolar Amerika. Mengutip Bloomberg, pelemahan rupiah
menjadi yang terdalam di Asia. Angka itu juga merupakan yang terendah sejak krisis
pada Juli 1998. Hari berikutnya, rupiah hanya menguat 0,45 % ke level 16.500 per dolar
AS.
Namun dampaknya telah memukul berbagai sudut ekonomi. Indeks bursa saham
rontok, rupiah terperosok, dan pelaku di sektor riil berteriak susah berusaha. Lembaga
keuangan dunia, ekonom, dan otoritas pemerintah membuat sejumlah prediksi. Ekonomi
Indonesia bisa masuk dalam skenario terburuk jika tidak mengatasi dengan benar
pandemi ini. Pada perdagangan Selasa kemarin (24/3), indeks harga saham gabungan
ditutup turun 1,3 % di level 3.937. Sepanjang pekan ini, IHSG telah menyentuh posisi
terendahnya sepanjang delapan tahun terakhir. IHSG sempat jatuh di level 3.000 yakni
pada 24 Juni 2012 di posisi 3.955,58. Untuk membendung meluasnya dampak Covid-
19 di pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis beberapa kebijakan. Di
antaranya, trading halt atau pembekuan selama 30 menit jika IHSG turun 5 %. Trading
halt pertama kali sepanjang sejarah pasar modal Indonesia berlangsung pada Kamis
(12/3) dan telah terjadi lima kali sejak itu. Kemudian, OJK meminta PT Bursa Efek
Indonesia, PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia, dan PT Kustodian Sentral Efek
Indonesia untuk memangkas waktu operasional. Langkah ini sebagai adaptasi dari
kebijakan Bank Indonesia yang mempersingkat jam operasional BI Real Time Gross
Settlement (BI-RTGS). Mulai 30 Maret 2020, waktu perdagangan di bursa efek dibagi
menjadi dua sesi. Transaksi perdagangan pertama mulai pukul 09.00 hingga 11.30 dan
sesi kedua dimulai dari pukul 13.30 hingga 15.00. Sedangkan hari kerjanya tetap dari

Senin sampai Jumat. Tak hanya merontokkan pasar modal, virus corona juga
menjatuhkan nilai tukar rupiah. Pada Senin (23/3), harga jual dolar Amerika Serikat di
lima bank besar menembus Rp 17 ribu. Sementara kurs referensi Jakarta Interbank Spot
Dolar Rate atau JISDOR menempatkan nilai rupiah di posisi 16.608 per dolar Amerika.
Mengutip Bloomberg, pelemahan rupiah menjadi yang terdalam di Asia. Angka itu juga
merupakan yang terendah sejak krisis pada Juli 1998. Hari berikutnya, rupiah hanya
menguat 0,45 % ke level 16.500 per dolar AS.
Bank Indonesia mencatat, aliran modal asing yang keluar dari Indonesia sejak
awal tahun mencapai Rp 125,2 triliun di tengah kekhawatiran pandemi virus corona.
“Bulan ini saja terjadi outflow Rp 104,7 triliun dari total Rp 125,2 triliun,” ujar Gubernur
BI Perry Warjiyo di Jakarta, Selasa (24/3). Kemerosotan ini tampaknya belum akan
berhenti karena wabah Covid-19 di Indonesia semakin luas. Kasus dan korban corona
terus berjatuhan di berbagai daerah.

Anda mungkin juga menyukai