Anda di halaman 1dari 4

Pengertian rahn atau gadai syariah dari beberapa sumber buku:

a. Menurut Pasaribu dan Lubis (1996), rahn adalah sesuatu benda yang dapat dijadikan kepercayaan dari
suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya apabila kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari
harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarkannya dari orang yang berpiutang.

b. Menurut Ansori (2006), rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut
pandangan syara sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang
atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.

c. Menurut Basyir (1983), rahn adalah menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara'
sebagai tanggungan hutang; dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian
hutang dapat diterima.

d. Menurut Antonio (2001), rahn adalah menahan salah satu harta salah satu harta milik nasabah (rahin)
sebagai barang jaminan (marhun) atas pinjaman yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutang.

e. Menurut Muhammad dan Hadi (2003), rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta
(nilai ekonomis) sebagai jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil
hutang.

Hukum Al Rahn.

Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Al Qur’an, Sunnah
dan ijma’ kaum muslimin.

Dalil Al Qur’an adalah firman Allah:

‫ق هَّللا َ َربَّهُ َوال تَ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َدةَ َو َم ْن‬ ِ َّ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد الَّ ِذي اْؤ تُ ِمنَ َأ َمانَتَهُ َو ْليَت‬
ُ ‫ضةٌ فَِإ ْن َأ ِمنَ بَ ْع‬
َ ‫َان َم ْقبُو‬
ٌ ‫َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِجدُوا كَاتِبًا فَ ِره‬
‫يَ ْكتُ ْمهَا فَِإنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُهُ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. 2:283).
Dalam ayat ini walaupun ada pernyataan ‘dalam perjalanan’ namun tetap menunjukkan keumumannya,
baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata ‘dalam perjalanan’ dalam ayat hanya
menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.

Hal inipun dipertegas dengan amalan Rasululloh yang melakukan pergadaian sebagaimana dikisahkan
umul mukminin A’isyah dalam pernyataan beliau:

‫ي ِإلَى َأ َج ٍل َو َرهَنَهُ ِدرْ عًا ِم ْن َح ِدي ٍد‬


ٍّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْشت ََرى طَ َعا ًما ِم ْن يَهُو ِد‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

Sesungguhnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan
cara hutang dan menggadaikan baju besinya. (HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).

Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn ini dalam keadaan safar
(perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi
menyatakan: Tidak ada seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid,
Al Dhohak dan Daud (Al Dzohiri).[8] Demikian juga Ibnu Hazm.

Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan Al rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana
diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan: Kami tidak mengetahui
seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid, ia menyatakan: Al Rahn tidak ada kecuali dalam
keadaan safar, karena Allah l berfirman:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya perbuatan Rasululloh SAW
diatas dan sabda beliau:

ُ‫ال َّرهْنُ يُرْ َكبُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َولَبَنُ ال َّدرِّ يُ ْش َربُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ النَّفَقَة‬

Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui
diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya
nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Wallahu A’lam.[9] Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz
Ibnu Hajar[10] dan Muhammad Al Amien Al Singqithi[11]

Setelah jelas pensyariatan Al Rahn dalam keadaan safar (perjalanan), apakah hukumnya wajib dalam
safar dan mukim atau tidak wajib pada keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja? Para
ulama berselisih dalam dua pendapat.

1. Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).

Berkata Ibnu Qudamah: Al Rahn tidak wajib, kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena
ia adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban)
[12].

Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Al rahn dalam keadaan mukim diatas
yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajibnya.

Demikian juga karena Al rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti Al Dhimaan (Jaminan
oertanggungjawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang) dan juga karena ini ada ketika sulit
melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.

2. Wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini
berdalil dengan firman Allah:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

Mereka menyatakan bahawa kalimat (maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang)) adalah berita bermakna perintah. Juga dengan sabda Rasululloh SAW :

ِ َ‫ب هَّللا ِ فَهُ َو ب‬


‫اط ٌل َوِإ ْن َكانَ ِماَئةَ شَرْ ٍط‬ َ ‫ُكلُّ شَرْ ٍط لَي‬
ِ ‫ْس فِي ِكتَا‬

Semua syarat yang tidak ada dikitabullah maka ia bathil walaupun seratus syarat. (HR Al Bukhori).
Mereka menyatakan: Pensyaratan Al Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al Qur’an dan diperintahkan,
sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim sehingga ia
tertolak.

Pendapat ini dibantah bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini
jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya:

Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) (QS. 2:283). Demikian juga pada asalnya dalam transaksi
mu’amalah adalah kebolehan (mubah) hingga ada larangannya dan disini tidak ada larangannya.[13]

Anda mungkin juga menyukai