Anda di halaman 1dari 81

LAPORAN PENDAHULUAN

Keperawatan Jiwa

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Mata Ajar Keperawatan Jiwa)

Disusun Oleh :
Rosaulina purba
0101019050

AKADEMI KEPERAWATAN BHAKTI HUSADA CIKARANG


Jl. R.E Martadinata (By pass) Cikarang-Bekasi Telp. (021) 8902577
Tahun Ajaran 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Kasus (masalah utama)

Harga Diri Rendah

II. Faktor Proses Terjadinya Masalah

A. Faktor Predisposisi Harga Diri Rendah Kronis


Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang. Menurut Kemenkes
RI (2012) faktor predisposisi ini dapat dibagi sebagai berikut:

a. Faktor Biologis
Pengaruh faktor biologis meliputi adanya faktor herediter anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, riwayat penyaakit atau trauma kepala.

b. Faktor psikologis
Pada pasien yang mengalami harga diri rendah, dapat ditemukan adanya pengalaman masa lalu
yang tidak menyenangkan, seperti penolakan dan harapan orang tua yang tidak realisitis,
kegagalan berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang
lain, penilaian negatif pasien terhadap gambaran diri, krisis identitas, peran yang terganggu,
ideal diri yang tidak realisitis, dan pengaruh penilaian internal individu.

c. Faktor sosial budaya


Pengaruh sosial budaya meliputi penilaian negatif dari lingkungan terhadap pasien yang
mempengaruhi penilaian pasien, sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan lingkungan pada
tahap tumbuh kembang anak, dan tingkat pendidikan rendah.

B. Faktor Presipitasi Harga Diri Rendah Kronis


Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh,
perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menurun. Secara umum
gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional atau kronik. Secara
situsional misalnya karena trauma yang muncul tiba-tiba, sedangkan yang kronik biasanya
dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan
memingkat saat dirawat (yosep, 2009)
Menurut Kemenkes RI (2012) faktor presipitasi harga diri rendah antara lain:

1) Trauma: penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa yang mengancam
kehidupan
2) Ketegangan peran: berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan individu
mengalaminya sebagai frustasi
a) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan
b) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga
melalui kelahiran atau kematian
c) Transisi peran sehat-sakit: sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat dan keadaan sakit.
Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh; perubahan ukuran, bentuk,
penampilan atau fungsi tubuh; perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh
kembang normal; prosedur medis dan keperawatan.

C. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah Kronis


Tanda dan gejala harga diri rendah dapat dinilai dari ungkapan pasien yang menunjukkan
penilaian tentang dirinya dan didukung dengan data hasil wawancara dan observasi (Kemenkes,
RI) a. Data subjektif

Pasien mengungkapkan tentang:


1) Hal negatif diri sendiri atau orang lain
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimis
4) Penolakan terhadap kemampuan diri
b. Data objektif
1) Penurunan produktifitas
2) Tidak berani menatap lawan bicara
3) Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
4) Bicara lambat dengan nada suara rendah

Manifestasi yang bisa muncul pada klien gangguan jiwa dengan harga diri rendah menurut Fitria
(2009) adalah:
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) selera makan kurang
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah

D. Mekanisme Koping Harga Diri Rendah Kronis

Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015) adalah:

a. Jangka pendek
1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian obat-obatan, kerja
keras, nonton TV terus menerus.
2) Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial, keagaman, politik).
3) Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga kontes popularitas).
4) Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara
(penyalahgunaan obat).
b. Jangka panjang
1) Menutup identitas
2) Identitas negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan masyarakat.

E. Rentang Respon Harga Diri Rendah Kronis

Adapun tentang respon konsep diri dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Respon Adaptif Respon maladptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Keracunan depersonalisasi

Diri positif Rendah Identitas

Gambar 2.1 Rentang respon Konsep Diri menurut (Stuart, 2007)

Respon adaptif terhadap konsep diri meliputi:

a. Aktualisasi diri
Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang
sukses dan dapat diterima individu dapat mengapresiasikan kemampuan yang dimilikinya

b. Konsep diri positif


Apabila individu mempunyai pengalaman positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal
positif maupun yang negatif dari dirinya. Individu dapat mengidentifikasi kemampuan dan
kelemahannya secara jujur dalam menilai suatu masalah individu berfikir secara positif dan
realistis.

Sedangkan respon maladaptif dari konsep diri meliputi:

a. Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya negatif dan merasa lebih
rendah dari orang lain.
b. Kekacauan identitas
Suatu kegagalan individu mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kendala
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis.

c. Depersonalisasi
Perasaan yang tidak realitas dan asing terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan
kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan sdirinya dengan orang lain.
III. Pohon Masalah

A. Pohon masalah Harga Diri Rendah menurut Fitria (2009)

Defisit Perawatan Diri Isolasi sosial Effect

Harga diri rendah Core Problem

Koping individu tidak efektif Causa


B. Masalah Keperwatan Dan Data Yang Perlu Dikaji
Dari pengelompokkan data, selanjutnya perawat merumuskan masalah keperawatan pada
setiap kelompok data yang terkumpul. Umumnya sejumlah masalah pasien saling berhubungan dan
dapat digambarkan sebagai pohon masalah (Eko Prabowo, 2014). Agar penentuan pohon masalah
dapat dipahami dengan jelas
1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Pengumpulan data
yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien,
mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta merumuskan diagnosa keperawatan. Pengkajian
adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau
data tentang klien agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan klien baik mental, sosial, dan lingkungan (Keliat, 2011)
Menurut Prabowo (2014) isi dari pengkajian tersebut adalah:
1) Identitas pasien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, status marital,
suku/bangsa, alamat, nomor rekam medis, ruang rawat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal
pengkajian, diagnosa medis, dan identitas penanggung jawab.

2) Keluhan utama/alasan masuk


Biasanya pasien datang ke rumah sakit jiwa atau puskesmas dengan alasan masuk pasien sering
menyendiri, tidak berani menatap lawan bicara, sering menunduk dan nada suara rendah.

3) Tipe Keluarga
Menjelaskan mengenai tipe keluarga beserta kendala mengenai jenis tipe keluarga atau masalah
yang terjadi dengan jenis tipe keluarga tradisional dan nontradisional.
4) Suku Bangsa
Membahas tentang suku bangsa keluarga serta mengidentifikasi budaya suku bangsa tersebut
kaitannya dengan kesehatan.

5) Agama
Menjelaskan tentang agama yang dianut oleh masing-masing keluarga, perbedaan kepercayaan
yang dianut serta kepercayaan yang dapat memengaruhi kesehatan

6) Status Sosial dan Ekonomi


Status sosial ekonomi keluarga ditentukan oleh pendapatan baik dari kepala keluarga maupun
anggota keluarga lainnya. Selain itu status sosial ekonomi keluarga ditentukan pula oleh kebutuhan-
kebutuhan yang dikeluarkan oleh keluarga serta barang-barang yang dimiliki oleh keluarga. 7)
Aktivitas Rekreasi Keluarga

Rekreasi keluarga tidak hanya dilihat dari kapan saja keluarga pergi bersama-sama untuk
mengunjungi tempat rekreasi tertentu, namun dengan menonton televisi dan mendengarkan
radio juga merupakan aktivitas rekreasi

8) Riwayat keluarga dan Tahap Perkembangan


a) Tahap perkembangan keluarga saat ini
Dari beberapa tahap perkembangan keluarga, identifikasi tahap perkembangan keluarga
saat ini. Tahap perkembangan keluarga ditentukan oleh anak tertua dari keluarga inti.

b) Tahap Perkembangan keluarga yang belum tercapai


Identifikasi tahap perkembangan keluarga yang sudah terpenuhi dan yang belum terpenuhi.
Pengkajian ini juga menjelaskan kendala – kendala yang membuat tugas perkembangan
keluarga tersebut belum terpenuhi.

c) Riwayat keluarga inti


Pengkajian dilakukan mengenai riwayat kesehatan keluarga inti, meliputi riwayat penyakit
keturunan, riwayat kesehatan masing – masing anggota keluarga meliputi penyakit yang
pernah diderita oleh keluarga, terutama gangguan jiwa.

d) Riwayat keluarga sebelumnya


Pengkajian mengenai riwayat kesehatan orang tua dari suami dan istri, serta penyakit
keturunan dari nenek dan kakek mereka. Berisi tentang penyakit yang pernah diderita oleh
keluarga klien, baik berhubungan dengan panyakit yang diderita oleh klien, maupun
penyakit keturunan dan menular lainnya.

9) Data Lingkungan
a) Karakteristik rumaah
Karakteristik rumah diidentifikasi dengan melihat luas rumah, tipe rumah, jumlah ruangan,
jumlah jendela, jarak septic tank dengan sumber air, sumber air minum yang digunakan
serta dilengkapi dengan denah rumah.

b) Karakteristik tetangga dan komunitas RW


Identifikasi mengenai karakteristik dari tetangga dan komunitas setempat meliputi
kebiasaan, lingkungan fisik, aturan atau kesepakatan penduduk setempat serta budaya
setempat yang memengaruhi kesehatan.

c) Mobilitas geografis keluarga


Mobilitas geografis keluarga dapat diketahui melalui kebiasaan keluarga berpindah tempat.

d) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat


Identifikasi mengenai waktu yang digunakan keluarga untuk berkumpul serta perkumpulan
keluarga yang ada dan sejauh mana interaksi keluarga dengan masyarakat.

10) Struktur Keluarga


a) Sistem pendukung keluarga
Hal yang perlu dalam identifikasi sistem pendukung keluarga adalah jumlah anggota
keluarga yang sehat, fasilitas – fasilitas yang dimiliki keluarga untuk menunjang kesehatan
mencangkup fasilitas fisik, fasilitas psikologis atau dukungan dari anggota keluarga dan
fasilitas sosial atau dukungan dari masyarakat setempat.

b) Pola komunikasi keluarga


Identifikasi cara berkomunikasi antar anggota keluarga, respon anggota keluarga dalam
komunikasi, peran anggota keluarga, pola komunikasi yang digunakan, dan kemungkinan
terjadinya komunikasi disfungsional.

c) Struktur kekuatan keluarga


Mengenai kemampuan anggota keluarga mengendalikan dan mempengaruhi orang lain
untuk mengubah prilaku.

d) Struktur peran
Mengetahui peran masing – masing anggota keluarga baik secara formal maupun informal

e) Nilai dan norma keluarga


Mengetahui nilai dan norma yang dianut oleh keluarga yang berkaitan dengan
kesehatannya.

11) Fungsi Keluarga


a) Fungsi afektif
Hal yang perlu dikaji yaitu gambaran diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki
dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, bagaiman
kehangatan tercipta pada anggota keluarga dan bagaimana keluarga mengembangkan
sikap saling menghargai.

b) Fungsi sosialisasi
Kaji mengenai interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh mana anggota keluarga
belajar disiplin, norma, budaya, serta prilaku.

c) Fungsi perawatan kesehatan


Mengetahui sejauh mana keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlingdungan, serta
perawatan anggota keluarga yang sakit. Kesanggupan anggota keluarga dalam
melaksanakan perawatan kesehatan dilihat dari kemampuan keluarga dalam melaksanakan
lima tugas kesehatan keluarga, yaitu (a) Mengenal masalah kesehatan; (b) Mengambil
keputusan untuk melakukan tindakan; (c) melakukan perawatan terhadap anggota yang
sakit; (d) Menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan kesehatan; (e) Mampu
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang terdapat di lingkungan tempat tinggal.

d) Fungsi reproduksi
Fungsi Reproduksi perlu dikaji mengenai jumlah anak, rencana mengenai jumlah anggota
keluarga, dan upaya mengendalikan jumah anggota keluarga.

e) Fungsi ekonomi
Hal yang perlu dikaji mengenai fungsi ekonomi keluarga adalah sejauh mana keluarga
memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, sejauh mana keluarga memanfaatkan
sumberdaya

dimasyarakat untuk meningkatkan status kesehatannya


12) Faktor predisposisi
a) Riwayat gangguan jiwa
Biasanya pasien dengan harga diri rendah memiliki riwayat gangguan jiwa dan pernah
dirawat sebelumnya.

b) Pengobatan
Biasanya pasien dengan harga diri rendah pernah memiliki riwayat gangguan jiwa
sebelumnya, namun pengobatan klien belum berhasil.

c) Aniaya
Biasanya pasiendengan harga diri rendah pernah melakukan, mengalami, menyaksikan
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan
tindakan kriminal.

d) Anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa


Biasanya ada keluarga yang mengalami gangguan jiwa yang sama dengan pasien.

e) Pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan


Biasanya pasien dengan harga diri rendah mempunyai pengalaman yang kurang
menyenangkan pada masa lalu seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan
pekerjaan serta tidak tercapainya ideal diri merupakan stressor psikologik bagi klien yang
dapat menyebabkan gangguan jiwa.

13) Pengkajian fisik


Tanda tanda vital:
Biasanya tekanan darah dan nadi pasien dengan harga diri rendah meningkat.

14) Pengkajian psikososial


a) Genogram
Biasanya menggambarkan garis keturunan keluarga pasien, apakah ada keluarga pasien
yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami pasien.

b) Konsep diri
(1) Gambaran diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah akan mengatakan tidak ada keluhan
apapun

(2) Identitas diri


Biasanya pasien dengan harga diri rendah merasa tidak berdaya dan rendah diri
sehingga tidak mempunyai status yang di banggakan atau diharapkan di keluarga
maupun di masyarakat.

(3) Peran
Biasanya Pasien mengalami penurunan produktifitas, ketegangan peran dan merasa
tidak mampu dalam melaksanakan tugas.

(4) Ideal diri


Biasanya pasien dengan harga diri rendah ingin diperlakukan dengan baik oleh
keluarga maupun masyarakat, sehingga pasien merasa dapat menjalankan perannya
di keluarga maupun di masyarakat.

(5) Harga diri


Biasanya pasien dengan harga diri rendah kronis selalu mengungkapkan hal negatif
tentang dirinya dan orang lain, perasaan tidak mampu, pandangan hidup yang
pesimis serta penolakan terhadap kemampuan diri. Hal ini menyebabkan pasien
dengan harga diri rendah memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang lain
sehingga pasien merasa dikucilkan di lingkungan sekitarnya.

c) Hubungan sosial
(1) Pasien tidak mempunyai orang yang berarti untuk mengadu atau meminta dukungan
(2) Pasien merasa berada di lingkungan yang mengancam
(3) Keluarga kurang memberikan penghargaan kepada klien
(4) Pasien sulit berinteraksi karena berprilaku kejam dan mengeksploitasi orang lain.
d) Spiritual
(1) Falsafah hidup
Biasanya pasien merasa perjalanan hidupnya penuh dengan ancaman, tujuan hidup
biasanya jelas, kepercayaannya terhadap sakit serta dengan penyembuhannya

(2) Konsep kebutuhan dan praktek keagamaan


Pasien mengakui adanya tuhan, putus asa karena tuhan tidak memberikan sesuatu
yang diharapkan dan tidak mau menjalankan kegiatan keagamaan.

15) Status mental


(1) Penampilan
Biasanya pasien dengan harga diri rendah penampilannya tidak rapi, tidak sesuai karena
klien kurang minta untuk melakukan perawatan diri. Kemuduran dalam tingkat
kebersihan dan kerapian dapat merupakan tanda adanya depresi atau skizoprenia.

(2) Pembicaraan
Biasanya pasien berbicara dengan frekuensi lambat, tertahan, volume suara rendah,
sedikit bicara, inkoheren, dan bloking.

(3) Aktivitas motorik


Biasanya aktivitas motorik pasien tegang, lambat, gelisah, dan terjadi penurunan
aktivitas interaksi.

(4) Alam perasaan


Pasien biasanya merasa tidak mampu dan pandangan hidup yang pesimis.

(5) Afek
Afek pasien biasanya tumpul yaitu klien tidak mampu berespon bila ada stimulus emosi
yang bereaksi.

(6) Interakasi selama wawancara


Biasanya pasien dengan harga diri rendah kurang kooperatif dan mudah tersinggung.

(7) Persepsi
Biasanya pasien mengalami halusinasi dengar/lihat yang mengancam atau memberi
perintah.

(8) Proses pikir


Biasanya pasien dengan harga diri rendah terjadi pengulangan pembicaraan
(perseverasi) disebabkan karena pasien kurang kooperatif dan bicara lambat sehingga
sulit dipahami.

(9) Isi pikir


Biasanya pasien merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri sendiri,
mengejek dan mengkritik diri sendiri.

(10) Tingkat kesadaran


Biasanya tingkat kesadaran pasien stupor (gangguan motorik seperti ketakutan, gerakan
yang diulang-ulang, anggota tubuh klien dalam sikap canggung yang dipertahankan
dalam waktu lama tetapi klien menyadari semua yang terjadi di lingkungannya).

(11) Memori
Biasanya pasien dengan harga diri rendah umumnya tidak terdapat gangguan pada
memorinya, baik memori jangka pendek ataupun memori jangka panjang.

(12) Tingkat konsentrasi dan berhitung


Biasanya tingkat konsentrasi terganggu dan mudah beralih atau tidak mampu
mempertahankan konsentrasi dalam waktu lama, karena merasa cemas. Dan biasanya
tidak mengalami gangguan dalam berhitung.

(13) Kemampuan menilai


Biasanya gangguan kemampuan penilaian ringan (dapat mengambil keputusan yang
sederhana dengan bantuan orang lain, contohnya: berikan kesempatan pada pasien
untuk memilih mandi dahulu sebelum makan atau makan dahulu sebelum mandi,
setelah diberikan penjelasan pasien masih tidak mampu mengambil keputusan) jelaskan
sesuai data yang terkait. Masalah keperawatan sesuai dengan data.

(14) Daya tilik diri


Biasanya pasien tidak menyadari gejala penyakit (perubahan fisik dan emosi) pada dirinya
dan merasa tidak perlu meminta pertolongan/pasien menyangkal keadaan penyakitnya,
pasien tidak mau bercerita penyakitnya.

16) Kebutuhan persiapan pulang


a) Makan
Biasanya pasien makan 3 kali sehari dengan lauk pauk dan sayuran.

b) Buang air besar dan buang air kecil


Biasanya pasien BAB dan Bak secara mandiri dengan menggunakan toilet. Klien jarang
membersihkannya kembali

c) Mandi
Biasanya pasien mandi 2 kali sehari, memakai sabun, menyikat gigi dan pasien selalu
mencuci rambutnya setiap 2 hari 1 kali.

Klien menggunting kuku setiap kuku pasien dirasakan panjang.


d) Berpakaian
Biasanya pasien dapat mengenakan pakaian yang telah disediakan, klien mengambil,
memilih dan mengenakan secara mandiri.

e) Istirahat dan tidur


Biasanya pasien tidur siang setelah makan siang lebih kurang 2 jam, dan pada malam
hari pasien tidur lebih kurang 7-8 jam. Terkadang pasien terbangun dimalam hari karena
halusinasinya muncul.

f) Penggunaan obat
Biasanya pasien minum obat 3 kali dalam sehari, cara pasien meminum obatnya
dimasukkan kemudian pasienmeminum air. Biasanya pasien belum paham prinsip 5
benar dalam meminum obat.

g) Pemeliharaan kesehatan
Biasanya pasien akan melanjutkan obat untuk terapi dengan dukungan dari keluarga
serta petugas kesehatan dan orang disekitarnya.

h) Aktivitas di dalam rumah


Biasanya pasien jarang membantu di rumah, pasien jarang menyiapkan makanan sendiri
dan membantu membersihkan

i) Aktivitas di luar rumah.


Biasanya pasien jarang bersosialisasi dengan keluarga maupun dengan lingkungannya.
17) Mekanisme koping
Pasien dengan harga diri rendah biasanya menggunakan mekanisme koping maladaptif yaitu
dengan minum alkohol, reaksi lambat, menghindar dan mencederai diri.

18) Masalah psikososial dan lingkungan


Biasanya pasien mempunyai masalah dengan dukungan dari keluarganya. Pasien merasa
kurang mendapat perhatian dari keluarga. Pasien juga merasa tidak diterima di lingkungan
karena penilaian negatif dari diri sendiri dan orang lain.

19) Kurang pengetahuan


Biasanya pasien dengan harga diri rendah tidak mengetahui penyakit jiwa yang ia alami dan
penatalaksanaan program pengobatan.

20) Aspek medik


Biasanya pasien dengan harga rendah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Pasien
dengan diagnosa medis Skizofrenia biasanya klien mendapatkan Clorpromazine 1x100 mg,
Halloperidol 3x5 mg, Trihexy penidil 3x2 mg, dan Risporidon 2x2 mg.

Jenis data yang diperoleh dapat berupa data primer yaitu data yang langsung didapat oleh
perawat, dan data sekunder yaitu data yang diambil dari hasil pengkajian atau catatan tim
kesehatan lain. Perawat dapat menyimpulkan kebutuhan atau masalah pasien dari kelompok
data yang telah dikumpulkan.

Kemungkinan kesimpulan tersebut adalah:

a. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan


1) Pasien tidak memerlukan peningkatan kesehatan, pasien hanya memerlukan
pemeliharaan kesehatan dan memerlukan follow up secara periodik karena tidak ada
masalah dan pasien telah mempunyai pengetahuan untuk antisipasi masalah.
2) Pasien memerlukan peningkatan kesehatan berupa upaya prevensi dan promosi
sebagai program antisipasi terhadap masalah.

b. Ada masalah dengan kemungkinan:


1) Resiko terjadi masalah karena sudah ada faktor yang dapat menimbulkan masalah.
2) Aktual terjadi masalah disetai data pendukung.
, penting untuk diperhatikan tiga komponen yang terdapat pada pohon masalah yaitu: penyebab
(causa), masalah utama (core problem) dan effect (akibat). Masalah utama adalah prioritas
masalah pasien dari beberapa maslaah yang dimiliki oleh pasien. Umumnya masalah utama
berkaitan erat dengan alasan masuk atau keluhan utama. Penyebab adalah salah satu dari
beberapa masalah pasien yang merupakan penyebab masalah utama. Masalah ini dapat pula
disebabkan oleh salah satu masalah lain, demikian seterusnya. Akibat adalah salah satu dari
masalah pasien yang merupakan efek/akibat dari masalah utama. Efek ini dapat pula
menyebabkan efek lain, demikian seterusnya.

IV. Diagnosa Kepwerawatan


Yosep (2014) menjelaskan terdapat beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada
pasien dengan harga diri rendah diantaranya adalah:

1. Harga diri rendah kronik


2. Koping Individu tidak efektif
3. Isolasi sosial
4. Defisit Perawatan Diri

V. Rencana Tindakan Keperawatan


Perencanaan tindakan keperawatan pada pasien menurut Kemenkes RI (2012), yaitu:

a) Strategi pelaksanaan pertama pasien: pengkajian dan latihan kegiatan pertama

(1) Identifikasi pandangan/penilaian pasien tentang diri sendiri dan pengaruhnya terhadap
hubungan dengan orang lain, harapan yang telah dan belum tercapai, upaya yang dilakukan
untuk mencapai harapan yang belum terpenuhi
(2) Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif pasien (buat daftar kegiatan)
(3) Membantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih dari daftar kegiatan
mana kegiatan yang dapat dilaksanakan)
(4) Membuat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini
(5) Membantu pasien memilih salah satu kegiatan yang dapat dilakukan saat ini untuk dilatih
(6) Melatih kegiatan yang dipilih oleh pasien (alat dan cara melakukannya)
(7) Memasukkan kegiatan yang telah dilatih pada jadwal kegiatan untuk dilatih dua kali per hari
b) Strategi pelaksanaan kedua pasien: latihan kegiatan kedua
(1) Mengevaluasi tanda dan gejala harga diri rendah.
(2) Memvalidasi kemampuan pasien melakukan kegiatan pertama yang telah dilatih dan berikan
pujian.
(3) Mengevaluasi manfaat melakukan kegiatan pertama
(4) Membantu pasien memilih kegiatan kedua yang telah dilatih
(5) Melatih kegiatan kedua (alat dan cara)
(6) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan: dua kegiatan, masingmasing dua kali per
hari

c) Strategi pelaksanaan ketiga pasien: latihan kegiatan ketiga


(1) Mengevaluasi tanda dan gejala harga diri rendah
(2) Memvalidasi kemampuan melakukan kegiatan pertama dan kedua yang telah dilatih dan
berikan pujian
(3) Mengevaluasi manfaat melakukan kegiatan pertama dan kedua
(4) Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih
(5) Melatih kegiatan ketiga (alat dan cara)
(6) Memasukkan jadwal kegiatan untuk latihan: tiga kegiatan, masingmasing dua kali per hari.

d) Strategi pelaksanaan keempat pasien: latihan kegiatan keempat


(1) Mengevaluasi data harga diri rendah
(2) Memvalidasi kemampuan melakukan kegiatan pertama, kedua, dan ketiga yang telah dilatih
dan berikan pujian
(3) Mengevaluasi manfaat melakukan kegiatan pertama, kedua dan ketiga.
(4) Membantu pasien memilih kegiatan keempat yang akan dilatih
(5) Melatih kegiatan keempat (alat dan cara)
(6) Memasukan pada jadwal kegiatan untuk latihan: empat kegiatan masingmasing dua kali per
hari.

Strategi tindakan keperawatan keluarga menurut Suhron (2017) yaitu:


a) Strategi pelaksanaan pertama keluarga: mengenal masalah harga diri rendah dan megenal
masalah harga diri rendah dan latihan cara merawat (melatih kegiatan pertama)

(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien harga diri rendah.
(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya harga diri rendah dan akibat
harga diri rendah (gunakan booklet).
(3) Menjelaskan cara merawat pasien dengan harga diri rendah .
(4) Memberikan pujian terhadap semua hal positif yang dimiliki pasien.
(5) Melatih keluarga memberi tanggung jawab kegiatan yang dipih pasien.
(6) Menganjurkan kepada keluarga untuk membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan
pujian.
b) Strategi pelaksanaan kedua keluarga: latihan cara merawat/membimbing melakukan kegiatan
kedua
(1) Mengevaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala harga diri rendah.
(2) Memvalidasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien melaksanakan kegiatan yang
telah dilatih.
(3) Mengevaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat dan berikan pujian.
(4) Bersama keluarga melatih pasien melakukan kegiatan kedua yang dipilih.
(5) Menganjurkan pada keluarga untuk membantu pasien sesuai jadwal dan berikan pujian.

c) Strategi pelaksanaan ketiga keluarga: latihan cara merawat/membimbing melakukan kegiatan


ketiga
(1) Mengevaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala harga diri rendah
(2) Memvalidasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien melaksanakan kegiatan yang
telah dilatih
(3) Mengevaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat dan berikan pujian
(4) Bersama keluarga melatih pasien melakukan kegiatan ketiga yang dipilih
(5) Menganjurkan pada keluarga untuk membantu pasien sesuai jadwal dan berikan pujian
d) Strategi pelaksanaan keempat keluarga: latihan cara merawat/membimbing melakukan kegiatan
keempat
(1) Mengevaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala harga diri rendah
(2) Memvalidasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien melaksanakan kegiatan yang
telah dilatih
(3) Mengevaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat dan berikan pujian
(4) Bersama keluarga melatih pasien melakukan kegiatan ketiga yang dipilih
(5) Menganjurkan pada keluarga untuk membantu pasien sesuai jadwal dan berikan pujian.

VI. Daftar Pustaka

SPTK HARGA DIRI RENDAH


A. Proses Keperawatan
1. kondisi klien
Klien selalu terlihat menyendiri dan tidak mau bergaul
2. Diagonasa Keperawatan
Gangguan Keperawatan
3. Tujuan Khsus
Klien dapat membina hubungan saling percaya
4. Tindakan Keperawatan
1) Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal
2) Perkenalkan diri dengan sopan
3) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
4) Jelaskan tujuan pertemuan
5) Jujur dan menepati janji
6) Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7) Berikan perhatian kepada klien
B. Proses Pelaksanaan Tindakan
Orientasi :
Salam terapeutik : “Assalamualaikum, selamat pagi ibu. Perkenalkan nama saya suster D,
bapak bisa panggil saya suster Della. Dengan ibu siapa?”
Evaluasi validasi : bagaimana keadaannya hari ini ?  ibu kok saya lihatin dari tadi tampak
murung, ibu kenapa? Apa yang ibu rasakan? “.
”Bagaimana, kalau kita bercakap-cakap tentang kemampuan dan kegiatan yang pernah ibu
lakukan? Setelah itu kita akan nilai kegiatan mana yang masih dapat T dilakukna di rumah
sakit. Setelah kita nilai, kita akan pilih satu kegiatan untuk kita latih”
Kontrak waktu dan tempat : ”Dimana kita duduk ? bagaimana kalau di ruang tamu ? Berapa
lama ? Bagaimana kalau 20 menit ?
Tujuan : “tujuannya agar kita tahu kemampuan apa yang ibu miliki ya buk”

Kerja :
”ibu apa saja kemampuan yang  ibu miliki? Bagus, apa lagi? Saya buat daftarnya ya! Apa pula
kegiatan rumah tangga yang biasa ibu lakukan? Bagaimana dengan merapihkan kamar?
Menyapu ? Mencuci piring..............dst.”.
“ Wah, bagus sekali ada lima kemampuan dan kegiatan yang  ibu miliki “.
”   ibu dari lima kegiatan/kemampuan ini, yang mana yang masih dapat dikerjakan di rumah
sakit ? Coba kita lihat, yang pertama bisakah, yang kedua.......sampai 5 (misalnya ada 3 yang
masih bisa dilakukan).  Bagus sekali ada 3 kegiatan yang masih bisa dikerjakan di rumah sakit
ini. 
”Sekarang, coba  ibu pilih satu kegiatan  yang masih bisa dikerjakan di rumah sakit ini”.” O
yang nomor satu, menyiram bunga? Kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kita latihan
menyiram bunga bu? ". Ayo kita ke halaman depan."
“Nah kalau kita mau menyiram bunga, kita harus mempersiapkan alat-alatnya ya bu seperti alat
penyiram bunga, dan air. Lalu ibu ambil alat penyiram bunga di gudang, setelah itu ibu bisa ke
sumber air yang dekat dengan taman, lalu ibu isi alat penyiram bunga dengan air hingga penuh.
Lalu ibu dapat menyiram bunga dengan perlahan jangan terlalu sedikit, dan jngan terlalu
banyak karena itu dapat menyebabkan tanaman layu. Sekarang saya praktekkan ya bu, nah
sudah ya bu. Sekarang ibu praktekkan.. !” "wah ibu hebat, ibu bisa melakukannya".
” oke ibu saya ingatkan ya, tanaman disiramnya sehari 2 kali saja ya bu pagi dan sore"
"nah kalau sudah selesai ibu rapihkan, pastikan ibu menaruh alat penyiram bunganya ketempat
semula ya bu. " "sekarang ibu sudah bisa menyiram bunga ya bu. Coba ibu perhatikan
tanamannya, bedakah dengan sebelum disiram? Bagus! "
“ Coba ibu lakukan dan jangan lupa memberi tanda M (mandiri) kalau T lakukan tanpa
disuruh, tulis B (bantuan) jika diingatkan bisa melakukan, dan T (tidak) melakukan.
”Sekarang, mari kita masukkan pada jadual harian.    T. Mau berapa kali sehari menyiram
bunga? . Oke ibu, jam 7 pagi dan jam 4 sore ya bu"
Terminasi :
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap-cakap dan latihan menyiram bunga? .Nah
kemampuan ini dapat dilakukan juga di rumah setelah pulang.”
“apa ibu masih ingat bagaimana cara menyiram bunga?”
“oke bapak kita sudah sepakat ya untuk melakukan tindakan menyiram bunga pagi jam 7 dan
jam 4 sore ya bu. jangan lupa untuk dilakukan ya buk”
”Besok pagi  kita latihan lagi kemampuan yang kedua. T masih ingat kegiatan apa lagi yang
mampu dilakukan di rumah sakit selain merapihkan tempat tidur? Ya bagus, cuci piring.. kalu
begitu kita akan latihan mencuci piring besok jam 8 pagi di dapur ruangan ini sehabis makan
pagi   Sampai jumpa ya”
Tujuannya : “tujuannya supaya bapak dapat melakukan aktivitas yang positif ya pak”
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

I. Kasus (Masalah utama)

II. Proses terjadinya masalah


A. Faktor Predisposisi

1) Faktor Biologis
Adanya faktor herediter yang mengalami gangguan jiwa,adanya resiko, riwayat penyakit
trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.

2) Faktor Psikologis
Ditemukan pengalaman negatif klien terhadap gambaran diri, tidak jelasnya atau
berlebihnya peran yang dimiliki, kegagalan dalam mencapai harapan atau cita-cita, krisis
identitas dan kurangnya penghargaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan,yang dapat
menyebabkan gangguan dalam berinteraksi dengan orang lain,dan akhirnya menjadi
masalah isolasi sosial.

3) Faktor Sosial Budaya


Pada klien isolasi sosial biasanya ditemukan dari kalangan ekonomi rendah,riwayat
penolakan lingkungan pada usia perkembangan anak,tingkat penididikan rendah dan
kegegalan dalam berhubungan
sosial.(Pusdiklatnakes,2012)

B. Faktor Presipitasi

Biasanya ditemukan riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis,atau kelaianan struktur


otak,kekerasan dalam keluarga,kegagalan dalam hidup, kemiskinan, atau adanya tuntutan di
keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan klien,konflik antar masyarakat.
Faktor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress seperti
kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain
dan menyebabkan ansietas. (Pusdiklatnakes, 2012)

C. Jenis- jenis Isolasi Sosial


Menurut Kusumawati dan Hartono (2012) secara umum jenis Terapi Aktivitas Kelompok terdiri
dari 4 jenis, yaitu :
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi

2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori

3) Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realitas 4) Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi

D. Fase Isolasi Sosial


Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2009). Salah satu gangguan berhubungan

sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak

berharga, yang bisa di alami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan,

ketegangan, kekecewan, dan kecemasan.

Perasaan tidak berharga menyebabkan klien semakin sulit dalam mengembangkan hubungan

dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas

dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam

perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang

austistic dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi

halusinasi (Ernawati, 2009).

Tabel 2.2 Proses Terjadinya Masalah Isolasi Sosial

Misal: Pada anak yang kelahirannya tidak


Pola Asuh dikehendaki akibat kegagalan KB, hamil diluar
Keluarga nikah, jenis kelamin tidak diinginkan, bentuk fisik
kurang menawan menyebabkan keluarga
mengeluarkan komentar-komentar negatif,
merendahkan, serta menyalahi anak.

Misal: Saat individu menghadapi kegagalan


Koping Individu Tidak Efektif mengalahkan orang lain, ketidakberdayaan, tidak
mampu menghadapi kenyataan dan menarik diri dari
lingkungan.

Gangguan Tugas Misal: Kegagalan menjalin hubungan intim


Perkembangan dengan sesama jenis atau lawan jenis, tidak mampu mandiri.

Misal: Stress terjadi akibat ansietas yang


berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
Stress Internal Dan keterbatasan individu untuk mengatasi. Ansietas
Eksternal tejadi akibat berpisah dengan orang terdekat,
kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai.
Sumber: Yosep (2009)

Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari interaksinya dengan

lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang antara respon adaptif dengan

maladaptive sebagai berikut:

Adaptif Maladaptif

Menyendiri, Otonomi, Manipulasi,


kebersamaan, saling impulsif,
ketergantungan narsisme

Skema 2.1 Rentang respon isolasi sosial

(sumber: Sutejo, 2017)

a. Respon Adaptif
Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma

sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam

batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang termasuk respon adaptif:

1. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah terjadi di

lingkungan sosialnya.

2. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, dan

perasaan dalam hubungan sosial.

3. Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal yang saling membutuhkan

satu sama lain.

4. Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling ketergantungan antara

individu dengan orang lain

b. Respon Maladaptif

Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan

kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon maladaptif:

1. Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.

2. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subjek yang tidak

dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak mampu melakukan penilaian secara objektif.

3. Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah marah.

E. Mekanisme koping
Individu yang mengalami respon sosial maladiptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya
untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan
yang spesifik (gall,W Stuart 2006). Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian
antisosial antara lain proyeksi, spliting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan
dengan gangguan kepribadian ambang spliting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang
lain, merendahkan orang lain dan
identifikasi proyektif.

Menurut Gall W. Stuart (2006), sumber koping yaang berhubungan dengan respon sosial
maladaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman, hubungan dengan
hewan peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan stress interpersonal
misalnya kesenian, musik atau
tulisan.

III. A. Pohon Masalah

Resiko Perilaku Kekerasan

Effect

Resiko gangguan persepsi sensori : halusinasi

ISOLASI SOSIAL Core Problem

Harga Diri Rendah Causa

Gangguan Konsep Diri


Bagan 2.2 Pohon Masalah Isolasi Sosial
Sumber: Badar,2016

B. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Pengkajian Klien isolasi sosial dapat dilakukan melalui wawancara dan observasi kepada klien dan

keluarga (Hartono, 2010).

Pengkajian
a. Identitas

Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, status

mental, suku bangsa, alamat, nomor rekam medis, ruang rawat, tanggal masuk rumah sakit,

tanggal pengkajian, diagnosis medis.Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien, alamat.

b. Alasan Masuk

1. Apa penyebab klien datang ke RSJ?

2. Apa yang sudah dilakukan keluarga?

3. Bagaimana hasilnya?

c. Faktor Predisposisi

Kehilangan, perpisahan, penolakan orangtua, harapan orang tua yang tidak realistis,

kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.

Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus sekolah,

PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-
tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai Klien/perasaan negatif terhadap diri sendiri yang

berlangsung lama.

d. Fisik

Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya dengan klien depresi berat

didapatkan pada sistem integumen klien tampak kotor, kulit lengket di karenakan kurang perhatian

terhadap perawatan dirinya bahkan gangguan aspek dan

kondisi klien .

e. Psikososial

Konsep Diri:

1. Gambaran Diri : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak

menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan

perubahan tubuh, persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh yang

hilang, mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.

2. Ideal Diri : Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya: mengungkapkan keinginan

yang terlalu tinggi.

3. Harga Diri : Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri,

gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri, dan kurang percaya

diri.

4. Penampilan Peran : Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses

menua, putus sekolah, PHK.

5. Identitas Personal : Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan

tidak mampu mengambil keputusan.


f. Hubungan Sosial

Klienmempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain

terdekat dalam kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat. g. Spiritual

Nilai dan keyakinan klien, pandangan dan keyakian klien terhadapap gangguan jiwa sesuai

dengan norma dan agama yang dianut pandangan masyarakat setempat tentang gangguan jiwa.

Kegiatan ibadah : kegiatan di rumah secara individu atau kelompok.

h. Status Mental

Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang dapat memulai

pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang lain, adanya

perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.

1) Penampilan

Biasanya pada Klien menarik diriklien tidak terlalu memperhatikan penampilan, biasanya

penampilan tidak rapi, cara berpakaian tidak seperti biasanya (tidak tepat).

2) Pembicaraan

Cara berpakaian biasanya di gambarkan dalam frekuensi, volume dan karakteristik.

Frekuansi merujuk pada kecepatan Klien berbicara dan volume di ukur dengan berapa keras

klien berbicara. Observasi frekuensi cepat atau lambat, volume keras atau lambat, jumlah

sedikit, membisu, dan di tekan, karakteristik gagap atau kata-kata bersambungan.

3) Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik klien. Tingkat aktifitas : letargik, tegang,

gelisah atau agitasi. Jenis aktifitas : seringai atau tremor. Gerakan tubuh yang berlebihan

mungkin ada hubunganya dengan ansietas, mania atau penyalahgunaan stimulan. Gerakan

motorik yang berulang atau kompulsif bisa merupakan kelainan obsesif kompulsif.

4) Alam Perasaan

Alam perasaan merupakan laporan diri klien tentang status emosional dan cerminan situasi

kehidupan klien. Alam perasaan dapat di evaluasi dengan menanyakan pertanyaan yang

sederhana dan tidak mengarah seperti “bagaimana perasaan anda hari ini” apakah klien

menjawab bahwa ia merasa sedih, takut, putus asa, sangat gembira atau ansietas.

5) Afek

Afek adalah nada emosi yang kuat pada klien yang dapat di observasi oleh perawat selama

wawancara. Afek dapat di gambarkan dalam istilah sebagai berikut : batasan, durasi, intensitas,

dan ketepatan. Afek yang labil sering terlihat pada mania, dan afek yang datar,tidak selaras

sering tampak pada skizofrenia.

6) Persepsi

Ada dua jenis utama masalah perseptual : halusinasi dan ilusi. Halusinasi di definisikan

sebagai kesan atau pengalaman sensori yang salah. Ilusi adalah persepsi atau respon yang salah

terhadap stimulus sensori. Halusinasi perintah adalah yang menyuruh klien melakukan sesuatu

seperti membunuh dirinya sendiri, dan melukai diri sendiri.

7) Interaksi Selama Wawancara


Interaksi menguraikan bagaimana klien berhubungan dengan perawat. Apakah klien

bersikap bermusuhan,tidak kooperatif, mudah tersinggung, berhati-hati, apatis,

defensive,curiga atau sedatif.

8) Proses Pikir

Proses pikir merujuk “ bagaimana” ekspresi diri klien proses diri klien diobservasi melalui

kemampuan berbicaranya. Pengkajian dilakukan lebih pada pola atas bentuk verbalisasi dari

pada isinya.

9) Isi Pikir

Isi pikir mengacu pada arti spesifik yang diekspresikan dalam komunikasi klien. Merujuk

pada apa yang dipikirkan klien walaupun klien mungkin berbicara mengenai berbagai subjek

selama wawancara, beberapa area isi harus dicatat dalam pemeriksaan status mental.

Mungkin bersifat kompleks dan sering disembunyikan oleh klien.

10) Tingkat Kesadaran

Pemeriksaan status mental secara rutin mengkaji orientasi klien terhadap situasi terakhir.

Berbagai istilah dapat digunakan untuk menguraikan tingkat kesadaran klien seperti bingung,

tersedasi atau stupor.

11) Memori

Pemeriksaan status mental dapat memberikan saringan yang cepat tehadap masalah-

masalah memori yang potensial tetapi bukan merupakan jawaban definitif apakah terdapat

kerusakan yang spesifik. Pengkajian neurologis diperlukan untuk menguraikan sifat dan
keparahan kerusakan memori. Memori didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengingat

pengalaman lalu.

12) Tingkat Konsentrasi Dan Kalkulasi

Konsentrasi adalah kemampuan klien untuk memperhatikan selama jalannya

wawancara.Kalkulasi adalah kemampuan klien untuk mengerjakan hitungan

sederhana.

13)Penilaian

Penilaian melibatkan perbuatan keputusan yang konstruktif dan adaptif termasuk

kemampuan untuk mengerti fakta dan menarik kesimpulan dari hubungan.

14) Daya Titik Diri

Penting bagi perawat untuk menetapkan apakahklien menerima atau mengingkari

penyakitnya.

i. Kebutuhan Persiapan Pulang

Pengkajian diarahkan pada klien dan keluarga klien tentang persiapan keluarga, lingkungan

dalam menerima kepulangan klien. Untuk menjaga klien tidak kambuh kembali diperlukan

adanya penjelasan atau pemberian pengetahuan terhadap keluarga yang mendukung

pengobatan secara rutin dan teratur.


IV. Diagnosa Keperawatan

Menurut Sutejo (2017) diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala isolasi

sosial yang ditemukan. Jika hasil pengkajian menunjukkan tanda dan gejala isolasi sosial, maka

diagnosis keperawatan yang ditegakkan adalah:

a. Isolasi sosial

b. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

c. Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

V. Rencana Tindakan Keperawatan

Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan isolasi sosial pada klien dan keluarga yaitu :

a. Isolasi sosial

1) Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien

a) Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :


Pengkajian Isolasi sosial, dan melatih bercakap-cakap antara pasien dan keluarga.

(1) Membina hubungan saling percaya


(2) Membantu pasien menyadari masalah isolasi sosial
(3) Melatih bercakap-cakap secara bertahap antara pasien dan anggota keluarga
b) Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 2 orang lain), latihan bercakap-
cakap saat melakukan 2 kegiatan harian.

(1) Mengevaluasi tanda dan gejala isolasi sosial


(2) Memvalidasi kemampuan berkenalan (berapa orang)
(3) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2 kegiatan)
(4) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihanberkenalan 2-3 orang
c) Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 4-5 orang), latihan bercakap-
cakap saat melakukan 2 kegiatan harian baru.

(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial


(2) Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat melakukan dua
kegiatan harian

(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan


(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian
(latih 2 kegiatan baru)

(5) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan 4-5 orang


d) Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien :

Mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih cara bicara saat melakukan kegiatan sosial

(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial


(2) Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat melakukan empat
kegiatan harian

(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan


(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatansocial

2) Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada keluarga

a) Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada keluarga :


Mengenal masalah dalam merawat pasien isolasi sosial, berkenalan dan berkomunikasi saat
melakukan kegiatan harian.

(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.


(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial,
yangdialami klien beserta proses terjadinya.

(3) Memberi kesempatan keluarga untuk memutuskan perawatan pasien


(4) Menjelaskan cara merawat isolasi sosial dan melatih dua cara merawat :
berkenalan dan melakukan kegiatan harian

b) Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada keluarga :


Latihan merawat : melibatkan pasien dalam kegiatan rumah tangga sekaligus melatih
bicara pada kegiatan tersebut

(1) Evaluasi kemampuan keluarga mengenal gejala isolasi sosial


(2) Validasi kemampuan keluarga melatih pasien berkenalan dan berbicara saat
melakukan kegiatan harian

(3) Beri pujian pada keluarga


(4) Menjelaskan kegiatan rumah tangga yang dapat melibatkan pasien berbicara (makan,
sholat bersama)

(5) Latih cara berbimbing pasien berbicara dan memberi pujian


(6) Anjurkan keluarga membantu pasien melakukan kegiatan bercakap-cakap sesuai
jadwal

c) Strategi pelaksanaan 3 untuk keluarga :


Melatih cara merawat dengan melatih berkomunikasi saat melakukan kegiatan sosial

(1) Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala isolasi sosial


(2) Validasi kemampuan keluarga dalam merawat atau melatih berkenalan
(3) Berbicara saat melakukan kegiatan harian dan rumah tangga
(4) Menjelaskan cara melatih pasien bercakap-cakap dalam melakukan kegiatan sosial
berbelanja, dan melatih keluarga mendampingi pasien berbelanja

(5) Menganjurkan keluarga membantu melakukan kegiatan sosial sesuai jadwal dan
berikan pujian

d) Strategi pelaksanaan 4 untuk keluarga :


Melatih keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk follow up pasien isolasi sosial

(1) Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala isolasi


sosial

(2) Validasi kemampuan keluarga dalam merawat/melatih pasien


(3) Berikan pujian atas upaya yang telah dilakukan keluarga
(4) Jelaskan follow up ke pelayanan kesehatan masyarakat, tanda kambuh, dan rujuk
pasien segera

(5) Anjurkan keluarga membantu pasien melakukan kegiatan sesuai jadwal dan berikan
pujian
VI. Daftar Pustaka

SPTK ISOLASI SOSIAL

A. Proses Keperawan

1. Kondisi klien :
Data subjekif
- Klien mengatakan malas berinteraksi dengan orang lain
- Klien mengatakan orang-orang jahat dengan dirinya
- Klien mengatakan orang lain tidak selevel

Data objektif

- Klien tampak menyendiri


- Klien terlihat mengurung diri
- Klien tidak mau bercakap – cakap dengan orang lain
2. Diagnose keperawatan:
Isolasi sosial
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat menyebutkan penyebab isolasi social
c. Klien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan kerugian menarik diri
dengan orang lain
d. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
e. Klien dapat menjelaskan perasaan setelah berhubungan dengan orang lain
f. Klien dapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan social
g. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
4. Tindakan keperawatan
5. Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal
6. Perkenalkan diri dengan sopan
7. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
8. Jelaskan tujuan pertemuan
9. Jujur dan menepati janji
10. Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
11. Berikan perhatian kepada klien

B. Strategi Komunikai
1. Orientasi (Perkenalan):

a. salam terapeutik

“Assalammu’alaikum ”

“Saya H ……….., Saya senang dipanggil Ibu Her …………, Saya perawat di Ruang
Mawar ini… yang akan merawat Ibu.”

“Siapa nama Ibu? Senang dipanggil siapa?”

b. evaluasi/validasi

‘’ibu bagaimana perasaanya hari ini”?

c.kontrak

kontrak:

“ibu kenapa dari tadi sendirian aja saya perhatiin? Kenapa tidak bergabung dengan
temannya yang lain?” Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan
teman-teman S? Mau dimana kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di ruang tamu?

Waktu:

Mau berapa lama, S? Bagaimana kalau 15 menit”

“tujuannya agar ibu tahu ya bu keuntungan berhubungan dan kerugian jika tidak
berhubungan dengan orang lain.”

Kerja:

(Jika pasien baru)

”Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan S? Siapa yang
jarang bercakap-cakap dengan S? Apa yang membuat S jarang bercakap-cakap
dengannya?”

(Jika pasien sudah lama dirawat)

”Apa yang S rasakan selama S dirawat disini? O.. S merasa sendirian? Siapa saja yang
S kenal di ruangan ini”
  “Apa saja kegiatan yang biasa S lakukan dengan teman yang S kenal?”

  “Apa yang menghambat S dalam berteman atau bercakap-cakap dengan pasien


yang   lain?” 

”Menurut S apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman ? Wah benar, ada
teman bercakap-cakap. Apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa) Nah
kalau kerugiannya tidak mampunyai teman apa ya S ? Ya, apa lagi ? (sampai pasien
dapat menyebutkan beberapa) Jadi banyak juga ruginya tidak punya teman ya. Kalau
begitu inginkah S belajar bergaul dengan orang lain ?”  Bagus. Bagaimana kalau
sekarang   kita belajar berkenalan dengan orang lain”

  “Begini lho S, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama kita dan
nama panggilan yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh: Nama Saya S, senang
dipanggil Si. Asal saya dari Bireun, hobi memasak”

“Selanjutnya S menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya begini:

Nama Bapak siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana/ Hobinya apa?”

“Ayo S dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan S. Coba berkenalan dengan saya!”

“Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”

“Setelah S berkenalan dengan orang tersebut S bisa melanjutkan percakapan tentang


hal-hal yang menyenangkan S bicarakan. Misalnya tentang cuaca, tentang hobi, tentang
keluarga, pekerjaan dan sebagainya.”

”Selanjutnya S dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama saya tidak ada.
Sehingga S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain.  S mau praktekkan ke pasien
lain. Mau jam berapa mencobanya. Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan
hariannya. Mau jam berapa aja?” dan beri tanda kalau sudah dilakukan Spt M
( mandiri ) kalau dilakukan tanpa disuruh, B ( bantuan ) kalau diingatkan baru
dilakukan dan T ( tidak ) tidak melakukani?

Terminasi:
a. evaluasi/validssi

”Bagaimana perasaan S setelah kita   latihan berkenalan?”

“apa S masih ingat bagaimana cara berkenalan dengan baik?”

”S tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali”

“oke kita sudah sepakat ya untuk latihan berkenalan 2 kali sehari jam 9 pagi dan jam 3
sore ya, jangan lupa untuk dilakukan”
”Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini   untuk mengajak S berkenalan dengan
teman saya, perawat N. Bagaimana, S mau kan?”

”Baiklah, sampai jumpa. Assalamu’alaiku

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

I.Kasus (masalah utama)

Halusinasi

II. Proses terjadinya masalah

A. Fakto. Faktor predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan sumber yang dapat
digunakan oleh individu untuk menangani
stresss

1) Faktor Genetik
Telah diketahui bahwa secara genetik skizofernia diturunkan oleh kromosom yang
mengalami skizofernia Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang
skizofernia cenderung mengalami skizofernia.
Hasil ini menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.

2) Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu,
maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
3) Faktor Neurobiologi
Biasanya terjadi pada klien skizofrenia yang terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal
4) Faktor Biokimia
Dengan adanya stresss yang berlebihan yang dialami seseorang, maka tubuh akan
menghasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik.
5) Psikologis
Hubungan intrerpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan
dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan
berakhir dengan gangguan orientasi realitas.

B. Faktor Presipitasi

Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, Ancaman/tuntutan yang
memerlukan energi untuk koping. Proses penghambatan dalam proses komunikasi sehingga dengan
demikian faktor-faktor pencetus respon neurobiologis dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem syaraf yang menerima dan memproses informasi di
otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap, dan periaku seperti, kurang
nutrisi, kurang tidur, kelelahan, infeksi, lingkungan yang memusuhi, masalah rumah tangga,
isolasi sosial.

C. Jenis – jenis Halusinasi


Menurut (Pardede,2021), jenis halusinasi antara lain :
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara –suara orang, biasanya klien
mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan
memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

2. Halusinasi penglihatan(visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran
geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa
menyenangkan atau menakutkan.

3. Halusinasi penghidu (olfactory)


Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti: darah,
urine atau feses.Kadang – kadang terhidu bau harum.Biasanya berhubungan dengan stroke,
tumor, kejang dan dementia.

4. Halusinasi peraba(tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat.
Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

5. Halusinasi pengecap(gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan, merasa
mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

6. Halusinasi cenesthetik
7. Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena
atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
8. Halusinasikinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak

Tabel 2.2 Karakteristik (Pardede,2021)

Jenis Halusinasi Karakteristik


Pendengaran Mendengar suara – suara / kebisingan, paling sering
suara kata yang paling jelas, berbicara dengan klien
bahkan sampai kepercakapan lengkap antara dua
orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang
terdengar jelas dimana klien mendengar perkataan
bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu
kadang – kadang dapat membahayakan.

Penglihatan Stimuluis visual dalam bentuk kelihatan cahaya,


gambaran geometris,gambaran kartun, bayangan
yang rumit dan kompleks. Bayangan bias
menyenangkan atau menakutkan seperti melihat
monster.

Penghidu Menghirup bau-bauan tertentu seperti bau darah,bau


urin,atau bau feses,umumnya baubauan yang tidak
menyenangkan.Halusinasi penghidu sering akibat dari
stroke,tumor,kejang atau dimensia.

Pengecapan rasa mengecap rasa sesuatu seperti darah,urin atau


feses.

Perabaan ngalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus


yang jelas.Rasa tersetrum listrik yang datang dari
tanah, benda mati atau oranglain.

Sinestetik rasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau


arteri,pencernaan makanan atau
pembentukan urin.

Kinestetik rasakan pergerakan saat berdiri tanpa bergerak.

D. Fase – fase Halusinasi


Halusinasi terbagi atas beberapa fase (Oktiviani, 2020):

a. Fase Pertama / Sleep disorder

Pada fase ini Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang
lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karna berbagai stressor terakumulasi,
misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah dikampus, drop out, dst. Masalah
terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah
sangat buruk. Sulit tidur berlangsung trus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap
lamunanlamunan awal tersebut sebagai pemecah masalah

b. Fase Kedua / Comforting


Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa,
ketakutan, dan mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa
pengalaman pikiran dan sensorinya dapat dia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada
kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya

c. Fase Ketiga / Condemning


Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu
lagi mengontrolnya dan mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan
klien mulai menarik diri dari orang lain, dengan intensitas waktu yang lama.

d. Fase Keempat / Controlling Severe Level of Anxiety


Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien dapat merasakan
kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotik.

e. Fase ke lima / Conquering Panic Level of Anxiety


Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam dengan datangnya suara-suara
terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya.
Halusinasi dapat berlangsung selama minimal empat jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan
komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.

E. Rentang Respon
Persepsi mengacu pada identifikasi dan interprestasi awal dari suatu stimulus berdasarkan

informasi yang diterima melalui panca indra. Respon neurobiologis sepanjang rentang sehat sakit

berkisar dari adaptif pikiran logis, persepsi akurat, emosi konsisten, dan perilaku sesuai sampai

dengan respon maladaptif yang meliputi delusi, halusinasi, dan isolasi

sosial.

a. Respon adaptif

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya yang berlaku.

Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan

dapat memecahkan masalah tersebut.

Respon adaptif :

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman ahli

4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran

5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan

b. Respon psikosossial

Meliputi :

1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan.

2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-

benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indra

3) Emosi berlebih atau berkurang

4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran

5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain.

c. Respon maladapttif
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari

norma-norma sosial budaya dan

lingkungan, ada pun respon maladaptive antara lain :

1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak

diyakinioleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial

2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak realita

atau tidak ada.

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.Perilaku tidak

terorganisirmerupakan sesuatu yang tidak teratur.

4) Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai

ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negative mengancam

(Damaiyanti,2012).

Rentang respon dapat digambarkan sebagai berikut:

Rentang Respon Neurobiologis

Respon adaptif Respon maladaptif

Pikiran logis Proses pikir kadang terganggu Gangguan proses pikir waham
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Emosi berlebihan/kurang Kerusakan proses emosi
Perilaku sesuai Perilaku tidak teroganisir Perilaku tidak sesuai
Hub sosial harmonis Isolasi social

III. A. Pohon Masalah


Effect Resiko Tinggi Prilaku Kekerasan

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi


Core problem

Causa Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis


B. Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan data subjektif dan objektif secara, sistematis dengan tujuan
membuat penentuantindakan keperawatan bagi individu,kekuarga dan komunitas (Damayanti &
Iskandar,2014). Pada tahap ini ada beberapa yang perlu dieksplorasi baik pada klien yang
berkenaan dengan kasus halusinasi yang meliputi : a. Identitas klien

Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, Agama, tanggal MRS, informan,
tanggal pengkajian, nomor rumah klien, dan alamat klien.

b. Keluhan utama
Keluhan utama Biasanya berupa bicara sendiri, tertawa sendiri, senyum sendiri, menggerakkan
bibir tanpa suara, menarik diri dari orang lain, tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak
nyata, ekspresi muka tegang mudah tersinggung, jengkel dan marah ketakutan biasa terdapat
disorientasi waktu tempat dan orang, tidak dapat mengurus diri dan tidak melakukan kegiatan
sehari-hari.

c. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Diperoleh baik dari klien maupun
keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial kultural, biokimia psikologis dan genetik
yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh
individu untuk mengatasi stres.

1. Faktor perkembangan ; biasanya tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan


interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stres dan kecemasan.
2. Faktor sosiokultural ; berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien dibesarkan.
3. Faktor biokimia ; adanya stres yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neuro kimia.
4. Faktor psikologis; hubungan interpersonal yang tidak harmonis, adanya peran ganda yang
bertentangan dan tidak diterima oleh anak akan mengakibatkan stres dan kecemasan yang
tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas seperti halusinasi.
5. Faktor genetik; Apa yang berpengaruh dalam skizoprenia. Belum diketahui, tetapi Hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
d. Faktor presipitasi
Adanya rangsangan lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok,
terlalu lama Diajak komunikasi objek yang ada di lingkungan juga suasana sepi / isolasi adalah
sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stres
dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

e. Aspek fisik
Hasil pengukuran tanda vital (TD, nadi, suhu, pernapasan, TB, BB) dan keluhan fisik yang
dialami oleh klien. Terjadi peningkatan denyut jantung pernapasan dan tekanan darah.

f. Aspek psikososial
Genogram yang menggambarkan tiga generasi.
g. Konsep diri
1. Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah/ tidak menerima
perubahan tubuh yang terjadi / yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan
tubuh, persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang,
mengungkapkan keputusasaan, mengungkapkan ketakutan.

2. Identitas diri
Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu
mengambil keputusan.

3. Peran
Berubah / berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses menua putus sekolah
dan PHK.
4. Identitas diri
Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya dan mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi

5. Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan
hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri dan kurang percaya
diri.

h. Status mental

Pada pengkajian status mental pasien halusinasi ditemukan data berupa bicara sendiri,
senyum sendiri, tertawa sendiri, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata
yang cepat, respon verbal yang lambat, menarik diri dari orang lain berusaha untuk
menghindari orang lain, tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata, terjadi
peningkatan denyut jantung pernapasan dan tekanan darah, perhatian dengan
lingkungan yang kurang / hanya beberapa detik com berkonsentrasi dengan
pengalaman sensori, sulit berhubungan dengan orang lain, ekspresi muka tegang,
mudah tersinggung, jengkel dan marah tidak mampu mengikuti perintah dari perawat,
tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton curiga dan
bermusuhan, bertindak merusak diri orang lain dan lingkungan, ketakutan, tidak dapat
mengurus diri, biasa terdapat disorientasi waktu tempat dan orang.

i. Mekanisme koping
Apabila mendapat masalah, pasien takut / tidak mau menceritakan kepada orang lain
(koping menarik diri). Mekanisme koping yang digunakan pasien sebagai usaha
mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Mekanisme koping yang sering digunakan pada halusinasi adalah :

1. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari.


2. Proyeksi : menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
3. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.
j. Aspek medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa terapi farmakologi psikomotor terapi
okupasional, TAK dan rehabilitas.

IV. Diagnosa Keperawatan


Menurut Carpenito (1998), diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon aktual
atau potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan/proses
kehidupan. Rumusan diagnosis yaitu Permasalahan (P) berhubungan dengan Etiologi (E) dan
keduanya ada hubungan sebab akibata secara ilmiah. Perumusan diagnosis keperawatan jiwa
mengacu pada pohon masalah yang sudah dibuat. Pada rumusan diagnosis keperawatan yang
menggunakan typology single diagnosis, maka rumusan diagnosis adalah menggunakan etiologi saja.
Berdasarkan pohon masalah di atas maka rumusan diagnosis adalah sebagai berikut :
1. Perubahan sensori persepsi : Halusinasi
2. Resiko perilaku kekerasan
3. Isolasi sosial
4. Gangguan konsep diri : harga diri rendah (Yusuf, Fitryasari, Nihayati, 2015).

5. Perencanaan Keperawatan
Rencana keperawatan adalah serangkaian tindakan yang dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan
khusus. Rencana keperawatan yang digunakan di tatanan kesehatan jiwa disesuaikan dengan
standar asuhan keperawatan jiwa Indonesia. (Yusuf, Fitryasari, Nihayati, 2015).
Menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) Rencana keperawatan pada klien dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi sebagai berikut :
Observasi :

1. Monitor prilaku yang mengindikasi halusinasi.


2. Monitor dan sesuaikan tingkat aktivitas dan stimulasi lingkungan.
3. Monitor isi halusinasi (misalnya, kekerasan, atau membahayakan diri).
Trapeutik :

1. Pertahankan lingkungan yang aman.


2. Lakukan tindakan keselamatan ketika tidak dapat mengontrol perilaku (misalnya limit setting,
pembatasan wilayah, pengekangan, seklusi).
3. Diskusikan perasaan dan respon terhadap halusinasi.
4. Hindari perdebatan tentang validasi halusinasi Edukasi :
1. Anjurkan memonitor sendiri situasi terjadinya halusinasi.
2. Anjurkan bicara pada orang yang dipercaya untuk memberi dukungan dan umpan balik korektif
terhadap halusinasi.
3. Anjurkan melakuka distraksi (misalnya mendengarkan musik, melakukan aktivitas, dan teknik
relaksasi).
4. Ajarkan pasien dan keluarga cara mengontrol halusinasi.
Kolaborasi :

Kolaborasi dalam pemberian obat antipsikotik (clorpomazine, haloperidol, sulpiride) dan anti ansietas
(carbamazepin, diazepam, dan flumazeil) , jika perlu.

V. Rencana Tindakan Keperawatan


1) Rencana tindakan untuk klien halusinasi

Rencana keperawatan berdasarkan (Fitria,2009) adalah sebagai berikut:

Tujuan tindakan untuk klien adalah sebagai berikut:

a) Klien mengenali halusinasi yang dialaminya.

b) Klien dapat mengontrol halusinasinya.

c) Klien mengikuti program pengobatan secara optimal.

Tindakan keperawatan :

a) Membantu klien mengenali halusinasi.

Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu klien mengenali

halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan klien terkait isi halusinasi (apa yang

didengar atau dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, frekuensi

terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabakan halusinasi muncul, dan perasaan klien

saat halusinasi muncul (komunikasinya sama dengan yang diatas).

b) Melatih klien mengontrol halusinasi.


Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi pada klien. Keempat

cara tersebut sudah terbukti mampu mengontrol halusinasi seseorang. Keempat cara

tersebut adalah menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan

aktivitas yang terjadwal, dan patuh minum obat dengan enam benar secara teratur.

2) Rencana Tindakan keperawatan untuk keluarga pasien

Tujuan tindakan untuk keluarga:

a) Mengenal tentang halusinasi

b) Mengambil keputusan untuk merawat halusinasi

c) Merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi

d) Memodifikasi lingkungan yang mendukung pasien mengatasi halusinasi

e) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan untuk anggota keluarga yang mengalami halusinasi

Tindakan keperawatan:

a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien

b) Menjelaskan tentang halusinasi: pengertian, tanda dan gejala, penyebab terjadinya

halusinasi, dan akibat jika halusinasi tidak diatasi.

c) Membantu keluarga mengambil keputusan merawat pasien

d) Melatih keluarga cara merawat halusinasi

e) Membimbing keluarga merawat halusinasi

f) Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung pasien

mengatasi halusinasi

g) Mendiskusikan tanda dan gejala kekambuhan yang memerlukan rujukan segera ke fasilitas

pelayanan kesehatan

h) Menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara teratur.


i) Evaluasi

4) Evaluasi keperawatan

a) Klien mampu menerapkan 4 cara mengontrol halusinasi:

1) Menghardik halusinasi

2) Mematuhi program pengobatan

3) Mengajak orang lain bercakap-cakap dengan bila timbul halusinasi.

4) Menyusun jadwal kegiatan harian untuk mengurangi waktu luang dan melaksanakan

jadwal kegiatan tersebut secara mandiri.

5) Menilai manfaat cara mengontrol halusinasi dalam mengendalikan halusinasi.

b) Evaluasi keperawatan untuk keluarga:

Keluarga dapat:

1) Menjelaskan halusinasi yang dialami oleh pasien

2) Menjelaskan cara merawat pasien halusinasi

3) Mendemonstrasikan cara merawat pasien halusinasi

4) Memodifikasi lingkungan untuk membantu pasien mengatasi masalahnya

5) Menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah

halusinasi.

VI. Daftar Pustaka

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien:
Klien terlihat berbicara dan tertawa sendiri, marah marah tanpa sebab, semakin dekat telinga
kearah tertentu, dan menutup telinga. Mendengar suara yang tidak ada wujudnya. Dan
mendengar suara melakukan sesuatu yang berbahaya
2. Diagnose Keperawatan
halusinasi
3. Tujuan khusus
a. ekspresi wajah bersahabat
b. menunjukkan perasaan senang
c. membina hubungan saling percaya
4. Tindakan keperawatan
a. Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Berikan perhatian kepada klien

B. Strategi komunikasi
Orientasi:
”Assalamualaikum D. Saya perawat yang akan merawat D. Nama Saya SS, senang dipanggil S.
Nama D siapa? Senang dipanggil apa”
”Bagaimana perasaan D hari ini? Apa keluhan D saat ini?”
”Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama ini D dengar tetapi
tak tampak wujudnya? Di mana kita duduk? Di ruang tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 30
menit”
“tujuannya agar bapak dapat tahu cara-cara mengontrol halusinasi ya pak”
Kerja:
”Apakah D mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan suara itu?”
” Apakah terus-menerus terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan yang paling sering D dengar
suara? Berapa kali sehari D alami? Pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada
waktu sendiri?”
” Apa yang D   rasakan pada saat mendengar suara itu?”
”Apa yang D lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suara-suara itu
hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara-suara itu muncul?
” D , ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan menghardik
suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga, melakukan
kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang ke empat minum obat dengan teratur.”
”Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik”.
”Caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul, langsung D  bilang, pergi saya tidak
mau dengar, … Saya tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu diulang-ulang sampai suara
itu tak terdengar lagi. Coba D peragakan! Nah begitu, … bagus! Coba lagi! Ya bagus D sudah
bisa”
“bagaimana kalu kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja latihannya? (Saudara
masukkan kegiatan latihan menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian pasien).
Terminasi:
”Bagaimana perasaan  D  setelah peragaan latihan tadi?” Kalau suara-suara itu muncul lagi,
silakan coba cara tersebut !
Oke tadi sudah sepakat ya untuk latihan menghardik halusinasi 2x sehari, jam 9 dan jam 3 sore,
jangan lupa untuk dilakukan ya.
Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan suara-suara
dengan cara yang kedua? Jam berapa  D? Bagaimana kalau dua jam lagi? Berapa lama kita
akan berlatih? Dimana tempatnya”
“Baiklah, sampai jumpa, Assalamu’alaikum”
LAPORAN PENDAHULUAN
Perilaku kekerasaan
I. Kasus (maslah utama)
Perilaku kekerasaan
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Faktor predisposisi
a. Faktor Predisposisi

Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin

terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:

1. Psikologis : kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frutasi yang kemudian dapat timbul

agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditilak, dihina,

dianiaya.

2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi

kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi

perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial

yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan

yang diterima (permissive).

4. Bioneurologis banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal dan

ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan

(Prabowo,

2014).

B. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain.

Kondisi pasien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidak berdayaan, percaya diri

yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang

ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya atau

pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain interaksi yang profokatif dan konflik

dapat pula memicu perilaku kekerasan (Prabowo, 2014).

C. Tanda dan Gejala

Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku kekerasan: (Yosep, 2011)

1. Fisik: muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal,

postur tubuh kaku, jalan mondar mandir.

2. Verbal: bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak, mengancam secara fisik,

mengumpat dengan kata-kata kotor.

3. Perilaku: melempar atau memukul benda pada orang lain, menyerang orang lain atau

melukai diri sendiri, merusak lingkungan, amuk atau agresif.


4. Emosi: tidak ade kuat, dendam dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk,

menyalahkan dan menuntut.

5. Intelaktual: cerewet, kasar, berdebat, meremehkan.

6. Spiritual: merasa berkuasa, merasa benar sendiri, mengkritik pendapat orang lain,

menyinggung perasan orang lain, tidak peduli dan kasar.

7. Sosial: menarik diri, penolakan, ejekan, sindiran.

D. Patofisiologi

Stress, cemas, harga diri rendah, dan bermasalah dapat menimbulkan marah. Respon

terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal ekspresi

marah dapat berupa perilaku konstruktif maupun destruktif. Mengekspresikan rasa marah dengan

kata-kata yang dapat di mengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain. Selain memberikan

rasa lega, ketegangan akan menurun dan akhirnya perasaan marah dapat teratasi. Rasa marah

diekspresikan secara destrukrtif, misalnya dengan perilaku agresif, menantang biasanya cara

tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat menimbulkan amuk yang di

tunjukan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Yosep, 2011).

Perilaku yang submisif seperti menekan perasaan marah karena merasa tidak kuat, individu

akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya, sehingga rasa marah tidak

terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, pada suatu saat

dapat menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, dan pada suatu saat dapat menimbulkan

kemarahan yang destruktif yang ditujukan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Dermawan

& Rusdi, 2013).

E. Rentang Respon Ekpresi Marah


Gambar 2.1 : Rentang Respon Ekpresi marah
menurut Stuart and Sundeen (1987)

Respon Adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Keterangan :

a. Asertif

Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang

lain b. Frustasi

Respon yang terjadi akibat individu gagal mencapai tujuan, keputusan /

rasa aman dan individu tidak menemukan alternatif lain. c. Pasif

Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realitas atau

terhambat. d. Agresif

Memperlihatkan permusuhan, keras, dan menuntut, mendekati orang lain

dengan ancaman, memberi kata – kata ancaman tanpa niat melukai orang

lain.

e. Kekerasan

Dapat disebut juga dengan amuk yaitu perasaan marah dan bermusuhan

yang kuat disertai kehilangan kontrol diri individu dapat merusak diri

sendiri, orang lain dan lingkungan. Contohnya membanting barang-barang

menyakiti diri sendiri (bunuh diri).

F. Mekanisme koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien sehingga dapat membantu klien untuk

mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif dalam mengekspresikan marahnya.

Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti: sublimasi

yaitu menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami suatu dorongan ,

penyalurannya ke arah lain, proyeksi yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya

atau keinginannya yang tidak baik, represi yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau

membahayakan masuk ke alam sadar, reaksi formasi yaitu mencegah keinginan yang berbahaya

bila diekspresikan dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan digunakannya

sebagai rintangan, dan diplacement yaitu melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan

pada obyek yang tidak begitu berbahaya yang membangkitkan emosi itu (Maramis, 2009).

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik mengangkat untuk menulis karya tulis ilmiah tenntang

mekanisme koping pada pasien perilaku kekerasan yang berjudul " Mekanisme Koping Pada

Pasien Perilaku Kekerasan Dengan Risiko Menciderai Orang LainDan Lingkungan".

III.A. Pohon Masalah


Perilaku Kekerasan

Core Problem
Resiko Perilaku Kekerasan

Harga Diri Rendah

B. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


Pengkajian
Berdasarkan dari Nurhalimah, 2016 konsep asuhan keperawatan sebagai

berikut :

1. Identitas Klien
Identitas klien yang perlu ditulis adalah nama klien, jenis kelamin, umur (biasanya pada

usia produktif), pendidikan (segala jenis/tingkat pendidikan berisiko perilaku

kekerasan), pekerjaan (tingkat keseriusan/tuntutan dalam perkerjaannya dapat

menimbulkan masalah), status (belum menikah, menikah atau bercerai), alamat,

kemudian nama perawat.

2. Alasan masuk rumah sakit dan faktor prespitasi

Faktor yang membuat klien melakukan perilaku kekerasan.

3. Faktor Predisposisi

Hal-hal yang menyebabkan perubahan perilaku kekerasan klien, baik dari pasien,

keluarga, maupun lingkungan (Nurhalimah,

2016).

4. Pemeriksaan Fisik

1 Keadaan Umum : klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya muka merah,

pandangan tajam, sakit fisik, napas pendek, yang menyebabkan perubahan memori,

kognitif, alam perasaan dan kesadaran.

2 Tanda-tanda vital

Tekanan darah : hipertensi/normal

Nadi :normal atau tidak

Suhu : meningkat/normal

Pernapasan : napas pendek

Berat badan : mengalami penurunan akibat nafsu makan menurun

Keluhan fisik : muka merah, pandangan tajam

5. Psikososial

1 Genogram
Genogram minimal tiga generasi yang dapat menggambarkan hubungan klien dan

keluarga.

Menjelaskan : seseorang yang berada dalam disfungsi keluarga akan tertekan dan

ketertekanan itu dapat merupakan faktor penyerta bagi dirinya akibat perilaku

kekerasan, kondisi keluarga yang tidak baik itu adalah : keluarga yang tidak utuh,

orang tua meninggal, orang tua cerai dan lain-lain (Nursalim,

2016).

2 Konsep Diri

a) Citra diri : klien tubuhnya baik-baik saja

b) Identitas : klien kurang puas terhadap dirinya

c) Peran :klien anak keberapa dari berapa saudara

d) Ideal diri :klien menginginkan keluarhga dan orang lain menghargainya

e) Harga diri :kurangnya penghargaan keluarga terhadap perannya

3 Hubungan Sosial

Marah-marah, bersikap tidak ramah, kasar terhadap keluarga lainnya.

4 Status Mental

a) Penampilan:

Tidak rapi, tidak sesuai dan cara berpakaian tidak seperti biasanya.

b) Pembicaran

Kaji cara bicara klien apakah cepat, keras, gagap, apatis, lambat dan membisu.

5 Aktivitas Motorik

Lesu, gangguan kesadaran, selisah, gerakan otot muka yang berubah-ubah tidak

dapat dikontrol.
6 Afek dan Emosi

Afek : tumpul (datar) dikarenakan terjadi penurunan kesadaran.

Emosi : klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya memiliki emosi yang tinggi.

7 Interaksi Selama Wawancara

Kontak mata kurang, cepat tersinggung, dan biasanya klien akan menunjukan curiga.

8 Persepsi

Biasanya klien suka emosi.

9 Proses Pikir

Akibat perilaku kekrasan klien mengalami penurunan kesadaran.

10 Tingkat Kesadaran

Menunjukan perilaku kekerasan

11 Tingkat Konsentrasi dan Berhitung

Secara umum klien perilaku kekerasan mengalami penurunan konsentrasi dan

penurunan berhitung.

12 Kamampuan Penilaian

Penurunan kemampuan penilaian.

13 Daya Tarik Diri

Apakah mengingkari penyakit yang diderita atau menyalahkan hal-hal diluar dirinya.

IV. Diagnosa Keperawatan

Menurut (Direja, 2011)

Resiko perilaku kekerasan berhubungan dengan mencederai diri sendiri.

a. Definisi

Berisiko membahayakan secara fisik, emosi dan atau seksual pada diri sendiri atau orang lain.

b. Faktor Risiko
1. Pemikiran waham atau delusi

2. Curiga pada orang lain

3. Halusinasi

4. Kerusakan kognitif

5. Kerusakan kontrol implus

6. Persepsi pada lingkungan tidak akurat

7. Alam perasaan depresi

8. Riwayat kekerasan pada hewan

9. Lingkungan tidak teratur

10. Penganiayaan atau pengabaian anak

b. Kondisi Klinis Terkait

1. Penganiayaan fisik, psikologis atau seksual

2. Gangguan perilaku

3. Depresi

4. Serangan panik

5. Demensia

6. Halusinasi

V. Rencana Tindakan Keperawatan

Menurut (Direja, 2011)

Resiko perilaku kekerasan berhubungan dengan mencederai diri sendiri.

Tujuan : Pasien tidak mencederai diri sendiri.

1. Tujuan Khusus I : Klien dapat membina saling percaya.

Kriteria hasil : klien dapat menunjukan tanda-tanda percaya kepada perawat :


a. Wajah cerah.

b. Tersenyum.

c. Mau berkenalan.

d. Ada kontak mata.

e. Mau menceritakan perasaan yang dirasakan.

f. Mau mengungapkan masalahnya.

Intervensi :

a. Beri salam setiap interaksi.

b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat, dan tujuan perawat berkenalan.

c. Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien.

d. Tunjukan tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali

berinteraksi.

e. Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien.

f. Buat kontrak interaksi yang jelas.

g. Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien.

2. Tujuan Khusus II : Klien dapat mengidentifikasikan penyebab perilaku kekerasan.

Kriteria Hasil :

a. Klien dapat mengungkapkan perasaannya.

b. Klien dapat menceritakan penyebab perasaan marah baik dari diri sendiri maupun

orang lain.

Intervensi :
a. Bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya.

b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan marahnya.

c. Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel atau kesal.

d. Motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa marahnya.

e. Dengarkan tanpa menyela atau menberikan penilaian setiap ungkapan perasaan.

3. Tujuan Khusus III : Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

Kriteria Hasil : Klien mampu menceritakan tanda-tanda perilaku kekerasan:

a. Tanda fisik : mata merah.

b. Tanda emosional : perasaan marah, jengkel, bicara kasar.

c. Tanda sosial : bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan.

Intervensi :

a. Bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialaminya.

b. Motivasi klien menceritakan kondisi fisik (tanda-tanda fisik) saat perilaku kekerasan

terjadi.

c. Motivasi klien menceritakan kondisi emosionalnya (tanda-tanda emosional) saat terjadi

perilaku kekerasan.

d. Motivasi klien menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain saat terjadi perilaku

kekerasan.

4. Tujuan Khusus IV : Klien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan.

Kriteria Hasil : Klien mampu menjelaskan :


a. Jelas ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukan.

b. Perasaannya saat melakukan perilaku kekerasan.

c. Efektifitas cara yang di pakai dalam menyelesaikan masalah.

Intervensi :

a. Diskusikan dengan klien perilaku kekerasan yang dilakukannya selama ini.

b. Motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindakan kekerasan tersebut terjadi.

c. Diskusikan apakah dengan tindakan kekerasan masalah yang di

alami teratasi.

5. Tujuan Khusus V : Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

Kriteria Hasil : Klien dapat menjelaskan akibat tindakan kekerasan yang dilakukannya :

a. Diri sendiri : luka, dijahui teman, dan lain-lain.

b. Orang lain atau keluarga : luka, tersinggung, ketakutan, dan lain-

lain.

c. Lingkungan : batang atau benda rusak.

Intervensi :

a. Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien.

b. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan

klien.

c. Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara yang sehat.

6. Tujuan Khusus VI : klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku

kekerasan.

Kriteria Hasil :
a. Klien menyebutkan contoh mencegah perilaku kekerasan secara

fisik.

b. Tarik napas dalam.

c. Pukul bantal dan kasur.

d. Kegiatan fisik yang lain.

e. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan.

Intervensi :

a. Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.

b. Beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa di lakukan.

c. Diskusikan dua cara fisik yang paling mudah di lakukan untuk mencegah perilaku

kekerasan : tarik nafas dalam, pukul bantal dan kasur.

d. Diskusikan cara melakukan tarik nafas dalam dengan klien.

e. Beri contoh kepada klien tentang cara menarik nafas dalam.

f. Minta klien mengikuti contoh yang diberikan sebanyak 5 kali.

g. Beri pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan cara menarik nafas

dalam.

7. Tujuan Khusus VII : Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah

perilaku kekerasan.

Kriteria Hasil :

a. Klien mampu memperagakan cara mengontrol perilaku kekerasan.

b. Fisik : tarik nafas, pukul bantal dan kasur.

c. Verbal : mengungkapkan perasaan kesal dan jengkel pada orang lain tanpa menyakiti.
d. Spiritual : zikir, medikasi dan lain-lain.

Intervensi :

a. Diskusikan cara yang mungkin dipilih dan di anjurkan klien memilih cara yang mungkin

untuk mengungkapkan kemarahan :

a. Peragakan cara yang mungkin dipilih dan di anjurkan klien memilih cara yang mungkin

untuk mengungkapkan kemarahan.

b. Peragakan cara melaksanakan cara yang di pilih.

c. Anjurkan klien menirukan perasaan yang sudah dilakukan.

d. Beri penguatan pada klien, perbaik cara yang masih belum sempurna.

e. Anjurkan klien mengungkapkan cara yang sudah dilatih saat marah.

8. Tujuan Khusus VIII : klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah

perilaku kekerasan.

Kriteria Hasil :

a. Klien dapat menyebutkan nama ibadah yang biasa dilakukan.

b. Klien dapat mendemostrasikan cara ibadah yang di pilih.

c. Klien mempunyai jadwal untuk melatih kegiatan ibadah.

d. Klien dapat mengevaluasi terhadap kemampuan melakukan

kegiatan.

Intervensi :

a. Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah di lakukan.

b. Bantu klien menilai kegiatan ibadah yang dapat di lakukan.

c. Bantu klien memilih kegiatan yang akan dilakukan.


d. Minta klien mendemomstrasikan kegiatan ibadah yang di pilih.

e. Beri pujian atas keberasilan klien.

9. Tujuan Khusus IX : Klien menggunakan obat sesuai program yang

telah di tetapkan.

Kriteria Hasil : Klien mampu menjelaskan :

a. Manfaat minum obat.

b. Kerugian tidak minum obat.

c. Nama obat.

d. Bentuk dan warna obat.

e. Dosis yang diberikan kepadanya, waktu, cara, dan efek.

f. Klien mampu menggunakan obat sesuai program.

Intervensi :

a. Jelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur dan kerugian jika tidak

mengguanakan obat.

b. Jelaskan kepada klien :

1. Jenis obat (nama, warna dan bentuk).

2. Dosis, waktu, cara dan efek.

c. Anjurkan klien :

1. Minta mengunakan obat tepat waktu.

2. Laporan jika mengalami efek yang tidak biasa.

3. Beri pujian kedisiplinan klien menggunakan obat.


A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
DS :
a. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
b. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau
marah
c. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya
DO :
a. Mata merah, wajah agak merah
b. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai
c. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam
d. Merusak dan melempar barang-barang

2. Diagnosa Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan

3. Tujuan Khusus
a. Pasien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
e. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah atau mengendalikan perilaku kekerasannya

4. Tindakan Keperawatan
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi penyebab marah
c. Tanda dan gejala yang dirasakan
d. Perilaku kekerasan yang dilakukan
e. Akibat dan cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik pertama (latihan
nafas dalam)

B. Strategi Komunikasi
1. ORIENTASI
a. Salam terapeutik
" Assalamualaikum, selamat pagi bu. Perkenalkan nama saya nurmala dewi, saya biasa
dipanggil mala. Saya mahasiswi Akper Bhakti Husada Cikarang, saya sedang berdinas
diruangan ini selama 2 minggu dari pukul 07:00 sampai dengan pukul 14:00 siang. Saya
yang akan merawat ibu selama di rumah sakit ini. Nama ibu siapa? Senangnya ibu di
panggil apa?”.
b. Evaluasi/Validasi
"Bagaimana perasaan ibu S saat ini? Masih ada perasaan kesal atau marah?"

c. Kontrak
Topik : "Baiklah sekarang kita akan berbincang-bincang tentang perasaan marah
yang ibu rasakan"

Waktu : "Berapa lama ibu mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 10 menit
saja?"

Tempat : "Dimana kita akan berbincang-bincang? Bagaimana kalau diruang tamu?"

Tujuan : "Tujuannya agar ibu dapat mengontrol atau mencegah perilaku kekerasan
secara fisik"

2. KERJA
"Apa yang menyebabkan ibu S marah? Apakah sebelumnya ibu S pernah marah? Terus
penyebabnya apa? Samakan dengan yang sekarang?"
"Pada saat penyebab marah itu ada, seperti rumah yang berantakan, makanan yang tidak
tersedia, air tak tersedia, (misalnya ini penyebab marah klien), apa yang ibu S rasakan?
Apakah ibu S merasa kesal, kemudian dada ibu berdebar-debar, mata melotot, rahang
terjatuh rapat, dan tangan mengepal?" Apa yang ibu lakukan selanjutnya? Apakah dengan
ibu S marah-marah keadaan jadi lebih baik?" Menurut ibu adakah cara lain yang lebih baik
selain marah-marah? Maukah ibu belajar mengungkapkan marah dengan baik tanpa
menimbulkan kerugian?"
"Ada beberapa cara fisik untuk mengendalikan rasa marah, hari ini kita belajar satu cara
dulu, "begini bu, kalau tanda-tanda marah itu sudah ibu rasakan ibu berdiri lalu tarik nafas
dari hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan secara perlahan-lahan dari mulut seperti
mengeluarkan kemarahan, coba lagi Bu dan lakukan sebanyak 5 kali. Bagus sekali ibu S
sudah dapat melakukannya. "Nah sebaiknya latihan ini ibu S lakukan secara rutin, sehingga
ibu sewaktu-waktu rasa marah itu muncul ibu S sudah terbiasa melakukannya?." Baiklah
bagaimana kalau latihan dimasukkan kedalam jadwal harian ya bu, mau berapa kali ibu
melakukannya? Bagaimana kalau 2 kali sehari jam 08:00 pagi dan jam 16:00 sore. Nanti
tolong ibu tulis M (bila ibu melakukannya sendiri), tulis B (bila ibu dibantu), dan T (bila ibu
tidak melakukan).

3. TERMINASI
a. Evaluasi
Subyektif :
"Bagaimana perasaan ibu S setelah berbincang-bincang tentang kemarahan ibu?"
Obyektif :
"Coba ibu S sebutkan penyebab ibu marah dan yang ibu rasakan dan apa yang ibu
lakukan serta akibatnya."

b. Rencana Tindak Lanjut


"Baiklah, bagaimana kalau besok kita latihan cara lain untuk mencegah dan
mengendalikan marah ibu S yaitu belajar cara mengendalikan perasaan marah dengan
kegiatan fisik untuk cara yang kedua."

c. Kontrak
Topik : "Baikalah ibu, bagaimana kalau besok kita latihan cara lain untuk mencegah
dan mengendalikan marah ibu S, yaitu dengan kegiatan fisik, apakah ibu bersedia?"

Waktu : "Ibu mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 08:00 pagi?"

Tempat : "Dimana kita akan latihan, bagaimana kalau tempatnya diruang tamu saja?"
Baiklah saya permisi dulu ya bu Assalamualaikum.
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Kasus (masalah utama)


Gangguan Konsep Diri : Defisit Perawatan Diri
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Pengertian Defisit Perawatan Diri

Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai
dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak
dapat melakukan perawatan diri (Depkes RI.2010).

Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan
jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri terlihat dari ketidakmampuan
merawat kebersihan diri antaranya mandi, makan minum secara mandiri, berhias secara
mandiri, serta toileting (BAK/BAB) (Damaiyanti, 2012).

Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan melakukan aktivitas perawatan diri
(mandi, berhias, makan serta toileting) kegiatan itu harus bisa dilakukan secara mandiri
(Direja, 2011).

Sedangkan menurut SDKI (2016) defisit perawatan diri adalah tidak mampu melakukan
atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri. Kurang perawatan diri adalah kondisi dimana
seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya (Tarwoto dan
Wartonah, 2015).
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri
menurun (Keliat dkk. 2014).

B. Faktor Predisposisi

1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu.
2) Biologis
Penyakitkronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungan.Situasi lingkungan
mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.

C. Faktor Presipitasi

Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/ lemah yang dialami individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.

D. Jenis
Menurut NANDA (2012) dalam Mukhripah Damaiyanti (2014), perawatan diri terdiri
dari:
a. Defisit perawatan diri: mandi
Hamabatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/ beraktivitas
perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit perawatan diri: berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian dan
berhias untuk diri sendiri.
c. Defisit perawatan diri: makanan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas seharian.
d. Defisit perawatan diri: eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas eliminasi
sendiri.

D. Fase-fase

1. Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan. memperoleh atau
mendapatkan sumber air, mengatur suhu, atau aliran air mandi, mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.

2. Berpakaian berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan pakaian,
menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien juga
memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam memilih pakaian,
mnggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan
pakaian,menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu.

3. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan,
mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut,
mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi
makanan, mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil
cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
4. BAB/BAK
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau
kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting,
memebersihkan diri setelah BAB BAKdengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar
kecil. Keterbatasan perawatan diri di atas biasanya diakibatkan karena stressor yang
cukup berat dan sulit ditangani oleh klien (klien bisa mengalami harga diri rendah),
sehingga dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik dalam hal
mandi, berpakaian, berhias, makan, maupun BAB dan BAK. Bila tidak dilakukan
intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bisa mengalami masalah risiko
tinggi isolasi sosial (Direja, 2011).

E. Rentang Respons
Adaptif Maladptif

Pola Perawatan Diri Kadang Perawatan Tidak Melakukan Perawatan


Seimbang diri,Kadang Tidak Diri Pada Saat Stres

a. Pola perawatan diri seimbang saat pasien mendapatkan stressor dan mampu untuk
berperilaku adaptif maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri.

b. Kadang melakukan perawatan diri kadang tidak: saat pasien mendapatan stressor kadang-
kadang pasien tidak menperhatikan perawatan dirinya.

e. Tidak melakukan perawatan diri klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stress (Direja, 2011).

F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongan dibagi menjadi 2 menurut Damaiyanti (2012)
yaitu:
1. Mekanisme Koping Adaptif: mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi
pertumbuhan belajar dan mencapai tujuan. Kategori ini adalah klien bisa memenuhi kebutuhan
perawatan diri secara mandiri.
2. Mekanisme Koping Maladaptif: mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi,
memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategorinya adalah tidak mau merawat diri.

III. A. Pohon Masalah

Risiko tinggi isolasi sosial Efek

Defisit Perawatan Diri Core problem

Harga diri rendah Causa


B. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
1. Defisit Perawatan Diri
2. Harga Diri Rendah
3. Risiko Isolasi Sosial

1. Data subyektif
a. Klien mengatakan dirinya malas mandi karena airnya dingin, atau di RS
tidaktersedia alat mandi.
b. Klien mengatakan dirinya malas
2. Data obyektif
Klien malu untuk berkontak mata, tidak berinisiatif berinteraksi dengan orang lain,
malu berjabat tangantangan, klien mau menyebutkan nama. malu duduk berdampingan
dengan perawat, nada suara lembut dan pelan

IV. Diagnosa Keperawatan


Defisit perawatan diri
V. Rencana tindakan keperawatan
Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan umum: Pasien tidak mengalami defisit perawatan
diri.
TUK 1: Pasien bisa membina hubungan saling percaya dengan perawat
Intervensi: Bina hubungan saling percaya dgn menggunakan prinsip komunikasi terapeutik
a. Sapa pasiendengan ramah, baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c.Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang di sukai pasien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
g. Beri perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar pasion
SPTK DEFISIT PERAWATAN DIRI

Pertemuan Ke : 1
Hari/Tanggal : Selasa, 2 November 2021
Nama Klien : Ny. R

C. Proses Keperawatan
4. Kondisi Klien
Seorang klien mengalami defisit perawatan diri. Klien terlihat kotor, rambut kotor dan
kusam. Gigi kotor, kulit berdaki, bau, kuku panjang dan kotor, BAB/BAK disembarang
tempat.

5. Diagnosa Keperawatan : Defisit perawatan diri ketidakmampuan dalam kebersihan diri

6. Tujuan Khusus
7. a. Membina hubungan saling percaya
b. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri
c. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri
d. Membantu pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
e. Menganjurkan pasien memasukkan kedalam jadwal harian

5. Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya
b. Jelaskan pentingnya kebersihan diri
c. Jelaskan cara menjaga kebersihan diri
d. Bantu pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
e. Anjurkan pasien masukkan dalam jadwal kegiatan harian

D. Strategi Komunikasi
4. ORIENTASI
a. Salam terapeutik
"Assalamualaikum, selamat pagi ibu. Perkenalkan nama saya Putri Sugiarti, saya biasa
dipanggil putri. Saya mahasiswi dari Akper Bhakti Husada Cikarang yang sedang
berdinas diruangan ini, dari jam 07:00 pagi sampai jam 14:00 siang. Dan saya yang
akan merawat ibu selama dirumah sakit ini. Nama ibu siapa? Senangnya dipanggil
apa?".

b. Evaluasi/Validasi
"Bagaimana keadaan ibu hari ini? Ibu apakah sudah mandi?"

c. Kontrak
Topik : "Baiklah ibu saya ingin berbincang-bincang tentang pentingnya kebersihan
diri"
Waktu : "Ibu kita akan berbincang-bincang berapa lama? Bagaimana jika 10 menit
saja?"
Tempat : "Dimana kita akan berbincang-bincang? Bagaimana kalau diruang tamu?"

d. Tujuannya : "Agar ibu bisa merawat diri ibu dengan baik dan bersih ya bu"

5. KERJA
"Berapa kali ibu mandi dalam sehari? Menurut ibu apa kegunaan mandi? Apa alasan ibu
sehingga tidak bisa merawat diri? Menurut ibu apa manfaatnya kalau kita menjaga
kebersihan diri? Kira-kira tanda-tanda orang yang merawat diri dengan baik seperti apa?
Kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah apa menurut ibu yang bisa
muncul? Sekarang apa saja alat untuk menjaga kebersihan diri, seperti kalau kita mandi,
cuci rambut, gosok gigi apa saja yang disiapkan? Benar sekali, ibu perlu menyiapkan
pakaian ganti, handuk, sabun, sikat gigi, odol, shampo serta sisir. Wah bagus sekali, ibu
bisa menyebutkan dengan benar."
"Kita sudah bicara tentang kebersihan diri. Sekarang bisakah ibu cerita bagaimana cara
melakukan mandi, keramas, dan gosok gigi. Ya benar pertama ibu bisa siram seluruh tubuh
ibu termasuk rambut laku ambil shampo gosokkan pada kepala ibu sampai berbusa lalu
bilas sampai bersih. Selanjutnya ambil sabun, gosokkan diseluruh tubuh secara merata lalu
siram dengan air sampai bersih jangan lupa sikat gigi pakai odol. Giginya disikat mulai dari
arah atas kebawah. Gosok keseluruh gigi ibu mulai dari depan ke belakang. Bagus lalu
kumur-kumur sampai bersih. Terakhir siram lagi seluruh tubuh ibu sampai bersih lalu
keringkan dengan handuk. Ibu bagus sekali melakukannya, selanjutnya ibu bisa pasang
baju dan sisir rambutnya dengan baik. Jangan lupa dimasukkan kedalam jadwal harian ibu
ya, ibu kapan saja ingin mempraktekkan lagi? Jam berapa ibu? Bagaimana jam 08:00 pagi
dan jam 17:00 sore. Nanti tolong ibu tulis M (bila ibu melakukannya sendiri), tulis B (bila
ibu dibantu), dan T (bila ibu tidak melakukan).

6. TERMINASI
a. Evaluasi
Subyektif :
"Bagaimana perasaan ibu setelah kita mendiskusikan tentang pentingnya kebersihan
diri, manfaat dan alat serta cara melakukan kebersihan diri?"
Obyektif :
"Sekarang coba ibu sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang baik yang sudah ibu
lakukan. Apa saja alat untuk menjaga kebersihan diri, bagaimana kebersihan diri
menurut ibu? Bagus sekali, ibu sudah menjawabnya dengan benar. Bagaimana
perasaan ibu setelah mandi? Coba lihat dicermin lebih bersih dan segar yaa."

b. Rencana Tindak Lanjut


"Baiklah ibu, kalau mandi yang paling baik sehari berapa kali? Ya bagus mandi 2 kali
sehari. Sikat gigi 2 kali sehari, keramas 2 kali seminggu. Nanti ibu masukkan kedalam
jadwal harian ibu ya. Jika ibu melakukannya secara mandiri maka ibu menuliskan M,
jika ibu melakukannya dibantu atau diingatkan oleh keluarga atau teman maka ibu
tulis B, jika tidak melakukannya maka ibu tulis T. Apakah ibu mengerti? Coba ibu
ulangi? Nah bagus ibu."

c. Kontrak
Topik : "Baiklah ibu besok kita akan ketemu lagi untuk berbincang-bincang tentang
cara berdandan, apakah ibu bersedia?"

Waktu : "Ibu mau jam berapa kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau jam 08:00
pagi?"

Tempat : "Ibu ingin dimana kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau diruang


tamu?" Baiklah ibu besok saya akan kesini lagi jam 08:00 pagi, sampai jumpa besok bu
saya permisi Assalamualaikum.

Anda mungkin juga menyukai