Anda di halaman 1dari 8

PAPER PENYAKIT PENCERNAAN PADA RUMINANSIA

(ENTERITIS PADA SAPI)

Oleh:

PUTRI AGUSTINA

C031191003

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
ENTERITIS PADA SAPI

Enteritis adalah proses keradangan usus yang dapat berlangsung akut maupun
kronis, yang akan mengakibatkan kenaikan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi
kelenjar pencernaan serta penurunan penyerapan atau absorpsi dari lumen usus, baik
itu cairan ataupun sari-sari makanan yangterlarut di dalamnya. Enteritis primer maupun
sekunder ditandai dengan penurunan nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh,
dehidrasi dan diare. Perasaaan sakit akibat dari radang usus atau enteritis bervariasi
jenisnya, tergantung pada jenis hewan yang menderita serta derajat radang yang
dideritanya. Radang usus yang terjadi bersamaan dengan gastritis disebut sebagai
gastroenteritis (Subronto, 2007).
Kondisi ini mengakibatkan gerakan mukosal intestinal mengalami perpindahan
cairan dan elektrolit secara cepat dari darah ke lumen usus sehingga terjadi dehidrasi
dan shock hipovolemik secara cepat. Kerusakan mukosa usus dan shock septik atau
shock endotoksik diakibatkan terjadinya translokasi dari bakteri atau toksin bakteri.
Natrium dan Kalium hilang bersama dengan hilangnya cairan tubuh akibat terjadinya
dehidrasi. Radang yang terjadi di bagian usus tertentu di beri nama sesuai dengan
bagian usus yangdiderita, misalnya radang dari kolon disebut sebagai colitis, radang
pada ileum disebut sebagai ileitis, radang rektum disebut sebagai proktitis dan
sebagainya.

ETIOLOGI ENTERITIS

Enteritis dapat disebabkan oleh berbagai agen etiologis, baik yang berupa secara
terpisah atau bersama-sama. Dibawah ini dijelaskan beberapa agen infeksi bagi
enteritis, diantaranya adalah :
- Radang oleh virus
Pada sapi-sapi di Indonesia penyakit ingusan merupakan contoh klinik dari
enteritis yang disebabkan oleh virus. Virus lain yang telah dikenal sebagai penyebab
radang usus di luar negeri meliputi rinderpest, BVD, blue tounge, reo-virus, corona virus
dan parvo virus (Subronto, 2007).
Rotavirus dan Coronavirus merupakan penyebab diare yang paling umum
dijumpai. Menurut (Mason dan Caldoe, 2005) agen paling umum penyebab diare di
Skotlandia tahun 2003 dari neonatal enteritis 33% disebabkan oleh Rotavirus, 20% oleh
Coronavirus dan sisanya adalah agen penyebab lain.
- Radang oleh Bakteri
Bakteri-bakteri E.Coli, Salmonella spp, Mycobacterium paratubercolasis diketahui
paling sering menyebabkan radang usus pada berbagai jenis ternak. Oleh karena
gangguan keseimbangan biologik di dalam usus, misalnya oleh pemberian antibiotika
berlebihan, bakteri dan jamur yang hidup secara saprofitik akan berkembang baik
hingga mampu meghasilkan infeksi. Jasad renik yang biasanya hidup di dalam usus
antara lain Proteus sp, Pseudomonas sp, Staphylococcus sp, Aspergillus sp, serta
Candida albicans.
Clostridium perfingens dalam kondisi normal ada dalam usus hewan sehat dalam
jumlah sedikit dan setelah dikeluarkan bersama kotoran dapat bertahan hidup didalam
tanah selama beberapa bulan. Kondisi perubahan cuaca dan perubahan pola pakan
secara mendadak yang menyebabkan proses pencernaan makanan kurang sempurna,
memperlambat pergerakan usus, memproduksi gula, protein, dan konsentrasi oksigen
yang rendah sehingga menyebabkan lingkungan yang cocok untuk bakteri
mempercepat pertumbuhan dan memproduksi toksin. Terdapat 5 macam toksin yang
dihasilkan, yaitu tipe A, B, C, D, dan E, yang semuanya berpotensi untuk menimbulkan
penyakit pada manusia ataupun hewan (Chotiah, 2008).
Setiap toksin menyebabkan tipe lesi yang berbeda. Toksin tipe C terutama
menyerang anak sapi neonatal, sedangkan tipe D menyerang yang umurnya lebih tua,
umumnya sapi yang baru disapih. Penyakit yang terjadi umumnya disebut
enterotoksemia atau nekrotik enteritis atau hemoragik enterotoksemia (Tipe C),
sedangkan tipe D disebut sebagai overating disease atau pulpy kidney disease
(Chotiah, 2008).
- Radang oleh protozoa
Cryptosporidium banyak ditemukan hamper di semua kelompok sapi bahkan pada
letupan neonatal enteritis dengan gejala diare di Skotlandia pada tahun 2003 paling
tinggi disebabkan olehnya (35%), sedangkan pada Coccidia sp hanya 3%. Protozoa ini
memiliki ukuran jauh lebih kecil daripada Coccidia dan memiliki kemampuan untuk
melekat pada sel lapisan usus halus dan merusak mikrovili, akibatnya akan
menghambat proses pencernaan. Diare yang disebabkan oleh agen protozoa ini
biasanya terjadi pada pedet umur 7 sampai 21 hari.
- Radang oleh cacing
Cacing-cacing usus yang termasuk dalam family Stringylidae, Oesophagum sp,
Cooperia sp, dan Nematodirus sp dalam jumlah yang cukup banyak akan
menyebabkan kerusakan selaput lendir usus. Cacing lambung Paramphistomum sp di
Negara yang beriklim sedang sering menyebabkan enteritis bila infestasinya cukup
berat.
- Radang oleh keracunan
Keracunan oleh unsur-unsur anorganik jarang ditemukan di Indonesia. Di Negara-
negara industry, keracuna ternak oleh unsur-unsur anorganik seperti timah hitam (Pb),
warangan (As), tembaga (Cu), dan molybden (Mo) sering dilaporkan kejadiannya.
Selain itu keracunan dapat juga disebabkan oleh tanaman beracun.
PATOGENESA ENTERITIS
Pada kasus dengan agen infeksi Clostridium perfingens perubahan komposisi
pakan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Ada tambahan pakan yang
merupakan tripsin inhibitor. Inhibitor ini umumnya tidak tahan terhadap panas, tetapi
dapat bertahan pada penyimpanan suhu rendah. Ketika protein yang ada dalam pakan
cukup rendah, akan terjadi penurunan produksi trypsin dalam rumen hewan dan
mungkin sama sekali menghentikan produksi chymotrypsin. Akibatnya, bahan pakan
yang mengandung trypsin inhibitor tersebut akan menginduksi terjadinya
enterotoksemia, yang disebabkan tidak adanya trypsin yang biasanya dapat merusak
toksin Clostridium perfingens. Pada tahap berikutnya, terjadi penyerapan toksin
Clostridium perfingens melalui dinding usus dan penyebaran toksin ke seluruh tubuh
hewan, yang berakhir dengan toksemia fatal (Worral dkk, 1987).
Radang usus yang disertai dengan perdarahan menghasilkan tinja yang
bercampur darah atau melena. Radang usus nekrotik menghasilkan feses yang berbau
tajam karena dekomposisi reruntuhan sel mukosa usus. Pada radang kataral feses
tidak terbentuk, bercampur lender dan terdiri dari makanan yang tidak tercerna secara
sempurna. Pada enteritis yang bersifat kronis dapat terjadi berulang-ulang dan
berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan, sehingga kondisi tubuh menurun
secara bertahap.
GEJALA KLINIS
Gejala spesifik pada sapi perah dewasa adalah secara tiba-tiba hewan menjauhi
makanan, tidak ada nafsu makan sama sekali. Susu yang dihasilkan sedikit atau tidak
ada susu sama sekali. Hewan merasa sakit di bagian abdomennya dan terlihat adanya
gejala kembung. Adanya perdarahan pada usus menyebabkan kotoran yang keluar
sangat sedikit dan terkadang berdarah.
Pada anak sapi, Clostridium perfingens tipe A, biasanya menyebabkan gejala
kembung. Nafsu makan juga tidak ada dan kematian dapat cepat terjadi karena ulcer
dalam abdomen, peradangan, dan penimbunan gas. Clostridium perfingens tipe C
menyebabkan necrotic enteritis pada sapi yang baru lahir. Gejala yang dapat dilihat
pada pedet tersebut diantaranya adalah lemah, kembung, dan depresi. Clostridium
perfringens tipe E juga dapat menyebabkan enteritis pada anak sapi (Chotiah, 2008).
Rasa sakit pada sapi ditandai dengan adanya kegelisahan. Pada kuda, sering di
tandai dengan adanya gejala kolik. Diare merupakan gejala yang selalu dijumpai dalam
radang usus. Feses yang cair dengan bau yang tajam mungkin bercampur darah dan
lender atau reruntuhan mukosa usus. Pada enteritis yang bersifat kronis, kecuali
menderita kekurusan, feses jarang bersifat cair, berisi darah dan lender, serta
reruntuhan mukosa yang mencolok. Oleh karena kurangnya caitan didalam usus maka
mungkin terjadi di jumpai radang usus yang disertai gejala konstipasi (Subronto, 2007).
Enteritis akut selalu disertai dengan oligura dan anuria, serta dengan turunnya
nafsu makan. Namun pada radang yang bersifat kronik, nafsu makan umumnya tidak
mengalami penurunan (Subronto. 2007). Oleh karenanya adanya gangguan vasa darah
local dalam usus, maka biasanya dijumpai vasa injeksi pembuluh darah balik
konjungtiva. Pulsus dapat mengalami sedikit kenaikan atau dalam batas-batas normal.
Auskultasi pada dinding perut akan menghasilkan suara pindahnya isi usus, cairan, dan
gas yang dikenal dengan borborigmus (terjadi karena peningkatan peristaltic usus).
Akibat pengeluaran cairan yang berlebihan, maka penderita akan mengalami tanda
dehidrasi yang mencolok.
PERUBAHAN PATOLOGIS
Dalam kasus enterotoksemia, kondisi hewan yang mengalami perubahan adalah
pada saluran usus dan organ-organ parenkim. Pada pemeriksaan patologis
menunjukkan perubahan mencolok seperti pada usus kecil ditemukan enteritis
hemoragika yang parah. Pada abomasum, omasum, reticulum, usus besar, rektum, dan
sekum juga terdapat mukosa hiperemis. Mukosa saluran pernafasan sianosis, pulmo
mengalami oedema, berisi cairan serofibrinous. Jantung membesar, terkadang
ditemukan perdarahan titik (petichae) pada epikardial dan endokardial. Dan daerah
ventral perut umumnya hiperemis (Priadi dkk, 2008).
Pada pemeriksaan histopatologis, terlihat adanya pembendungan pada pulmo.
Adanya infiltrasi limfosit pada usus halus dan pada mukosa usus dapat ditemukan
adanya bakteri berbentuk bacillus dan bersifat gram positif. Terlihat juga adanya
pembengkakan lapisan rumen dan abomasum, disertai ulserasi dan hemoragis. Pada
usus besar terlihat adanya nekrosis fokal dari lapisan otot halus dengan adanya infiltrasi
limfosit, neutrophil dan makrofag. Selain itu, ada degenerasi otot dengan vakuolisasi
dan nekrosis. Hati menunjukkan adanya nekrosis degenerative dan vakuolisasi dari
hepatosit. Limpa menunjukkan hemosiderosis berat. Limfoglandula menunjukkan
adanya hipertrofi dan peningkatan jumlah sel reticuloendotelial. Ginjal menunjukkan
adanya degenerasi parenkim dari tubulus renali (Worral dkk, 1987). Pemeriksaan darah
penderita enteritis akut biasanya menunjukkan adanya hemokonsentrasi karena
dehidrasi. Pemeriksaan patologi anatomis ini bervariasi tergantung pada penyebab
ataupun faktor lainnya. Perubahan-perubahan tersebut mungkin hanya terlihat radang
ringan pada mukosa ataupun sampai radang nekrotik, yang mencapai lapisan
submukosa. Kelenjar-kelenjar limfe disekitar usus yang mengalami keradangan
biasanya juga membengkak oedomatous (Subronto, 2007). Dinding usus pada radang
usus, terutama pada radang yang kronik, akan mengalami penebalan. Gambaran
radang yang tersifat mungkin ditemukan sesuai dengan sifat khas penyakit primernya
(Subronto, 2007).
DIAGNOSA ENTERITIS
Diagnosa dilakukan berdasarkan pada hasil pengamatan gejala klinis, perubahan
patologis dan konfirmasi hasil isolasi dan identifikasi bekteri ataupun agen infeksi
penyebab lainnya yang dapat ditemukan dalam isi usus ataupun cairan tubuh hewan
yang mati. Diagnosa penyakit umumnya didasarkan atas penemuan toksin penyebab
penyakit serta isolasi agen penyakit. Hal ini umumnya masih dirasakan bagi
laboratorium penyakit hewan di Indonesia, selain itu sampel yang diambil harus segar
dan kurang dari 18 jam dari kematian hewan. Pada kasus dengan agen infeksi
Clostridium perfringens suspensi sampel mukosa di inokulasi kedalam Robertson’s
cooked meat medium (RCMM). Suspensi juga ditanam pada blood agar dan diinkubasi
dalam anaerobic jar. Identifikasi Clostridium perfringens secara cepat dapat dapat
dilakukan dengan teknik Flourescent Antibody Technique (FAT). Sampel di periksa di
bawah mikroskop fluorescent dan dapat dilihat bakteri berbentuk batang dan berwarna
hijau. Adanya toksin dari Clostridium perfringens dapat diuji dengan menggunakan
mouse protection test. Mencit dapat dilindungi dari kematian dengan memberikan
antitoksin yang spesifik. Dari uji ini dapat diketahui juga tipe dari Clostridium perfringens
yang menyebabkan kematian (Priadi dkk, 2008).
Identifikasi dari penyebab diare sangat diperlukan untuk menentukan pengobatan,
pencegahan dan strategi pengawasan. Diagnosa uji perlu dilkaukan selama itu
diperlukan untuk keperluan penanggulangan. Pengobatan dan vaksinasi sangat
bervariasi tergantung dari agen pathogen penyebab. Oleh karena itu sangat perlu
dilakukan pengambilan sebanyak kurang lebih15 gram dari setiap ekor hewan yang
mengalami gejala diare, minimal apabila terdapat 6 ekor sapi haruslah diambil sampel
dari 3 ekor (Chotiah, 2008).
Dalam pemeriksaan darah sindroma ini umumnya hemokensentrasi dengan Pack
Cell Volume (PCV) lebih dari 60%, terkadang sampai 75%. Sindroma ini juga
mengalami stress leukogram. Pada saat cek feses dengan ELISA untuk parvovirus
hasilnya negatif, fecal cytology akan menunjukkan banyak sel darah merah dan
mungkin spora dari Clostridium perfringens. Pada hasil Rontgen akan memperlihatkan
cairan dan gas mengisi usus halus dan usus besar. Diferensial diagnosa dari enteritis
adalah parvovirus, salmonellosis, obstruksi atau intussuception intestinal,
hypoadrenocorticm, pankreatitis, coagulopathy. Prognosa pada kasus ini baik (fausta)
dan banyak pasien yang sembuh tanpa mengalami komplikasi. Kematian secara tiba-
tiba tidak umum terjadi namun pernah dilaporkan. Diagnosa berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (darah dan tinja) digunakan untuk
mengidentifikasi penyebab radang usus. Diagnosa tentatif diambil bila tidak ditemukan
penyakit tersifat penyebab diare (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003).
Pemeriksaan tinja sangat penting dilakukan untuk menentukan penyebab radang
usus dan diare. Perlu diketahui bahwa isolasi virus, kuman, atau parasit, belum pasti
meyakinkan bahwa agen-agen tersebut merupakan penyebab primer radang usus.
Pemeriksaan darah penderita enteritis akut biasaya menunjukkan adanya
hemokonsentrasi karena dehidrasi. Perubahan atas jaringan tubuh lainnya tidak
ditemukan kecuali tanda adanya dehidrasi dan terganggunya peredaran darah.
Diagnosa tentatif diambil bila tidak ditemukan penyakit tersifat penyebab diare.
Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk menentukan penyebab radang
usus.
Pada kondisi ringan, pemeriksaan feses terhadap infestasi parasit, periksa antigen
parvovirus. Pada kondisi sedang dan berat, periksa feses, CBC (hemogram), elektrolit
dan biokimia. Bila ditemukan azotemia, jumlah leukosit meningkat, aktifitas enzim hepat
meningkat diduga tidak hanya berkaitan dengan masalah saluran gastrointestinal.
Biasanya terjadi gangguan elektrolit dan dehidrasi.
TERAPI DAN PENGOBATAN
Pengobatan terutama ditujukan untuk mengatasi penyebab primernya. Terapi
yang dilakukan adalah terapi suportif dengan pemberian protektiva (kaolin, pectin),
adstringensia (sediaan-sediaan tannin, tanalbumin), spasmolytica (atropine sulfat,
glycopyrrolate), antiseptika (enterovioform), atau kombinasi-kombinasinya. Rasa sakit
yang terus menerus kadang perlu dikurangi dengan pemberian analgesika (aspirin,
dipyron) atau kadang juga diberikan tranquilizer (chlorpromazine). Pemberian sediaan
yang bersifat asam hendaknya dilakukan dengan hati-hati, karena diare sendiri dapat
menyebabkan derajat keasaman isi usus menurun. Mutlak diperhatikan penggantian
cairan yang hilang dengan cairan faali maupun elektrolit (Subronto, 1985).
Untuk pengobatan dengan antibiotika, perlu diperhatikan bahwa pemberiannya
secara per oral memiliki konsekuensi yang luas. Antibiotika tersebut bisa saja
merangsang terjadinya enteritis lebih luas apabila diberikan dalam keadaan perut
kosong. Juga karena penyerapan oleh usus sedang terganggu, pemberian antibiotik
secara oral tidak menjamin kadar obat di dalam darah berada pada dosis terapi.
Akibatnya, bakteri-bakteri penyebabnya yang berada di dalam usus menjadi resisten,
dan bias menimbulkan kematian pada bakteri-bakteri lain yang berguna di dalam
proses pencernaannya. Lalu perlu dipertimbangkan tentang residu antibiotik ada
karkas, sehingga perlu diperhatikan waktu bebas obat (withdrawl time) untuk masing-
masing antibiotika yang diberikan dengan tujuan melindungi konsumen, pertimbangan
ekonomi, dan pertimbangan hokum (Subronto, 1985).
Pada dasarnya, pengobatan untuk infeksi dan intoksikasi yang disebabkan oleh
Clostridium perfringens seperti pemberian antibiotika atau kemoterapetika, kurang
memberikan hasil yang berarti atau tidak efektif. Dalam banyak kasus, periode
berlangsungnya penyakit dapat demikian singkat, sehingga pengobatan tidak sempat
untuk dilakukan. Pengobatan yang efektif tentunya dengan pemberian antitoksin
spesifik sesuai dengan tipe Clostridium perfringens penyebab penyakit. Tetapi,
pemberian antitoksin dalam jumlah besar tentunya sangat mahal dan tidak efisien untuk
dilakukan. Karena kerugian ekonomi yang besar akibat kematian sapi yang disebabkan
oleh enterotoksemia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan (Priadi et al, 2007).

PENCEGAHAN
Untuk pencegahan terhadap kasus enteritis pada sapi, terutama pada sapi perah
adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi pertama harus diulang dengan selang waktu 4
minggu. Sapi perah dalam masa kering kandang adalah saat yang tepat untuk
melakukan vaksinasi. Pemberian kolostrum pada anak sapi yang baru dilahirkan juga
sangat berguna untuk pencegahan enterotoksemia pada anak sapi. Vaksinasi pada
sapi dara berumur 4 sampai 6 bulan dengan vaksin clostridium yang multivalent dan
dibooster 1 bulan kemudian merupakan awal pencegahan penyakit. Vaksinasi ulangan
sebaiknya diberikan setiap tahun sesudahnya. Sedangkan untuk pencegahan penyakit
secara keseluruhan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Perlakukan pemberian pakan dengan komposisi bahan pakan yang konsisten dan
lakukan adaptasi sebelum dilakukan perubahan pakan.
- Lakukan vaksinasi secara teratur.
- Untuk pemberian silase, perhatikan ukuran panjang rumput, lama penyimpanan dan
fermentasi.
- Hindarkan terjadinya acidosis rumen.
- Berikan kolostrum dan sediakan air minum yang cukup (terutama pada anak sapi).
- Kendalikan sumber infeksi saluran pencernaan lainnya (Priadi et al, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khadi, S., et al. 2003. Identification and characterization of Clostridium perfringens
using single target DNA microarray chip. Elsevier International Journal of Food
Microbiology. Maryland, USA.
Chotiah, S. 2008. Diare pada pedet : agen penyebab, diagnose dan penanggulangan.
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas
2020
Czito BG, Willett CG. Radiation injury. In: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, eds.
Sleisenger & Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia,
Pa: Saunders Elsevier;2010: chap 39.
Giannella RA. 2010. Infectious enteritis and proctocolitis and bacterial food poisoning.
In: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, eds. Sleisenger & Fordtran’s
Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa:Saunders Elsevier;
2010:chap 107.
Nelson, R.W. and Couto C.G. 2003. Small Animal Internal Medicine 3th ed. St. Louis
Missouri: Mosby.
Priadi, A., Natalia, L. 2007. Enterotoxemia Pada Sapi Perah di Indonesia. Bogor : Balai
Besar Penelitian Veteriner.
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Worral, E.E., Natalia,L., Ronohardjo,P., Partoutomo,S. dan Tarmuji. 1987.
Enterotoxaemia inwater buffaloes caused by Clostridium perfringens type A.
Vet.Rec. 121: 278-27.

Anda mungkin juga menyukai