Anda di halaman 1dari 3

Menurut kami ketidaktahuan merupakan sebuah bentuk ‘ketidakpedulian yang

disengaja’ karena dengan tidak mengetahui sesuatu, oleh sebab itu seseorang menerima
informasi secara mentah-mentah atau tidak diimbangi dengan fakta yang ada. Namun sangat
sangat disayangkan bahwa seseorang itu membagi informasi kepada orang lain, tetapi
informasi yang disebarkan belum diketahui. Sering kali terjadi saat ini, sebuah fenomena yang
berkaitan dengan hal ini. Seperti contohnya pada sosial media. Dimana banyak orang yang bisa
dibilang menyebarkan berita-berita dengan judul yang kontroversial. Seperti misalnya kasus
yang baru-baru ini saja terjadi, beras plastik. Secara logika, beras plastik jika diproduksi akan
menghabiskan produksi yang jelasnya lebih mahal dari harga jual beras yang asli. Dan jika
benar-benar ada, orang pasti akan langsung mengetahui jika beras itu plastik ketika akan
dimasak. Karena seperti yang kita tahu, berat jenis plastik lebih ringan daripada air. Sehingga
jika akan dimasak, plastik akan mengambang dipermukaan air dan tidak akan bisa sampai
dikonsumsi oleh orang tersebut karena sudah mengetahui sebelumnya. Jadi yang menjadi
ketakutan kita ialah sebenernya karena kita sendiri. Kurangnya pengetahuan dan kepedulian
kita akan hal sekitar.

Menurut pengertian secara luas, ketidakpedulian itu sendiri berarti mencirikan


seseorang yang tahu bahwa dirinya tidak memiliki pengetahuan atau informasi yang memadai
mengenai hal tertentu, namun dengan sadar ia terus berada dalam keadaan seperti itu. Artinya,
orang itu tidak peduli jika dirinya tidak memiliki pengetahuan atau informasi yang cukup
mengenai suatu hal. Paradox ini lahir karena pemikiran Socrates tentang orang yang lebih bijak
daripada dirinya. Seperti contoh yang telah disebutkan diatas, beras plastik, hal yang dilakukan
oleh masyarakat tersebut seharusnya menganut pemikiran ignorance, Socrates. Apabila
masyarakat kita dapat mengaplikasikan pemikiran dari Socrates, mungkin tidak akan terjadi
persebaran berita-berita yang kontroversial. Karena, Socrates mengajarkan bahwa kita harus
melihat sesuatu dari dua sisi. Tidak hanya dari satu sisi. Jadi, setelah kita benar-benar
mengetahui akar permasalahannya, kita akan dapat menyimpulkan kebenaran yang sesuai
dengan logika.

Kasus lain lagi yang memprihatinkan adalah kasus buruh. Seperti yang kita tahu, tiap
tahunnya para buruh pasti mengadakan demo dan meminta untuk kenaikan gaji. Dan kenaikan
gaji tersebut hanya untuk digunakan untuk membeli barang-barang komplementer. Bukan
bahan-bahan pokok yang dibutuhkan dan wajib ada dalam sehari-hari. Mereka meminta
kenaikan gaji tersebut tanpa mempedulikan situasi yang lainnya. Seperti situasi tempat
kerjanya, atau mengukur dari pekerjaan yang lain. Tanpa mengurangi unsur penting dari buruh
dalam perekonomian Indonesia, kita tahu bahwa saat ini untuk menjadi seorang guru sangatlah
susah. Seseorang dapat diangkat menjadi guru apabila ia memang berkuliah atau lulusan dari
IKIP (Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Dan pendidikan terakhirnya wajib S1, yang berarti
harus melakukan pendidikan selama empat tahun dan dua tahun untuk pendidikan latihan
profesi guru (PPLG). Sehingga, apabila kita melihat guru dengan buruh dan kita menyaksikan
bahwa selama ini buruh selalu mengutarakan keinginannya untuk kenaikan gaji dengan cara
yang tidak patut, maka tidaklah adil bagi guru karena perjuangan mereka dalam mendapatkan
profesinya lebih menyita waktu, biaya, tenaga dan gaji mereka tidak pernah naik, sekalipun naik
itu membutuhkan waktu yang lama. Apabila buruh dapat mengaplikasikan pemikiran Socrates,
mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk melakukan provokasi demo buruh setiap
tahunnya.

Kasus selanjutnya yang akan kami bahas, tentang pelanggaran lalu lintas yang marak
terjadi, khususnya di kota-kota besar seperti di kota Surabaya. Kita dapat melihat kejadian
secara real dan live di lingkungan Kampus B Unair yang setiap harinya terdapat banyak
mahasiswa, pekerja kantoran, bahkan warga sekitar yang melanggar rambu-rambu lalu lintas.
Tepatnya pada pertigaan sebelum Unair. Kita melihat para pengendara, motor khusunya, saat
lampu merah mereka berhenti di depan zebra cross dan bahkan sampai menerobos lampu
merah tersebut. Adapun karena mereka tidak mau untuk putar balik karena terlalu jauh,
sehingga mereka memutuskan untuk melawan arus. Banyak juga yang berpergian tanpa
menggunakan helm, dengan alasan ia hanya pergi ke tempat-tempat yang dekat. Sebenarnya,
para pengendara sadar akan peraturan lalu lintas yang ada pada Undang-Undang perlalu
lintasan yang berlaku. Mereka memilih untuk melanggar, karena mereka merasa bahwa
melanggar lalu lintas adalah salah satu jalan pintas untuk cepat sampai ke tempat tujuan tanpa
memikirkan sebab-akibat yang terjadi bila mereka melanggar. Misal saja seorang mahasiswa
mengebut dan menerobos lampu lalu lintas yang sudah merah, lalu menabrak pengendara lain
yang berkendara menaati lampu lalu lintas yang sudah hijau. Apa yang terjadi? Terjadi
kecelakaan yang mengakibatkan kerugian bagi kedua belah pihak. Sebenarnya, apa yang kami
contohkan ini merupakan bentuk dari ketidakpedulian mahasiswa tersebut pada peraturan
yang berlaku. Padahal, sebenarnya peraturan tersebut yang dibuat sedemikian rupa demi
ketertiban dan keselamatan kita bersama. Apabila pengendara tersebut mengaplikasikan
pemikiran Socrates, mereka seharusnya memandang dari dua sisi. Melihat dari apa yang
dilakukan dan apa akibat yang terjadi apabila ia melakukan hal tersebut. Sehingga, tidak terjadi
hal-hal yang seharusnya tidak terjadi.

Anda mungkin juga menyukai