Anda di halaman 1dari 42

SINTESIS METAL NANOKATALIS MENGGUNAKAN

MIKROEMULSI DENGAN MEMANFAATKAN KULIT


MANGGIS SEBAGAI PEREDUKSI ALAMI

TK-500 TUGAS AKHIR


Disusun Sebagai Prasyarat Untuk Kelulusan

Disusun oleh :
Alwan Taufiqurrohman (142015070)
Herul Maulana (142015105)

Pembimbing :
Riny Yolandha Parapat, S.T., M.T., Ph.D

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL BANDUNG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama 15 tahun terakhir, perkembangan sintesis material yang memiliki


struktur berdimensi nanometer telah menarik dunia sains dan merangsang para
peneliti untuk mengeksplorasi aplikasinya dalam dunia industri, medis, farmasi,
makanan, barang konsumsi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya artikel-artikel,
jurnal-jurnal ilmiah, serta buku-buku yang memiliki kontribusi besar dalam
perkembangan dunia nanopartikel. Salah satu aplikasi yang masih menjadi topik
hangat dalam dunia nanosains adalah nanokatalis. Nanokatalis adalah katalis yang
memiliki ukuran 10-100 nm. Berkurangnya dimensi katalis menjadi ukuran nano
tentu akan meningkatkan luas permukaan katalis dan konsekuensinya
meningkatkan aktivitas katalis dalam reaksi tertentu.

Masyarakat cenderung pada keinginan untuk memperoleh barang dengan


harga yang semurah mungkin dengan kualitas yang memuaskan. Hal ini
dimungkinkan apabila dalam proses pembuatan produk digunakan biaya seminim
mungkin. Biaya seminim mungkin akan dapat terwujud apabila waktu reaksi dan
energi yang dibutuhkan oleh reaksi berada pada nilai sekecil mungkin.
Berdasarkan hal tersebut, keberadaan nanokatalis diharapkan mampu
mewujudkan permintaan akan dihasilkannya produk dalam jumlah besar dengan
penggunaan energi dan waktu reaksi seminim mungkin. Dengan kata lain,
masyarakat akan berkembang ke arah perkembangan yang lebih maju lagi dalam
hal proses pembuatan produk skala industri.

Penelusuran literatur ini begitu penting artinya mengingat bahwa


nanokatalis mampu mengarahkan kita kepada proses industri yang lebih baik.
Nanokatalis merupakan suatu bidang yang masih harus dikaji lebih lanjut
khususnya di Indonesia karena kajian yang lebih lanjut mengenai nanokatalis

1 Institut Teknologi Nasional


amatlah penting untuk mengarahkan kita kepada proses industri yang lebih
efisien.

Nanokatalis saat ini dikembangkan sebagai pengganti katalis dalam


mempercepat reaksi kimia karena keunggulannya mengkatalisis suatu reaksi yang
lebih cepat dari katalis. Hal ini karena luas permukaannya yang lebih besar pada
volume yang sama dibandingkan dengan katalis homogen dan katalis heterogen
[1]. Nanokatalis memiliki peranan untuk mengkatalisis reaksi kimia dalam
berbagai sintesis di sektor industri yang reaksinya berjalan sangat lambat seperti
proses serapan material MgH2 di mana membutuhkan waktu minimal 60 menit
untuk dapat memproduksi ~ 5 wt% hidrogen. Tetapi dengan menggunakan
nanokatalis nikel dalam reaksi tersebut, maka cukup dibutuhkan waktu 5 menit
untuk memproduksi ~ 5,3 wt% hidrogen. Katalis homogen adalah katalis yang
terlarut pada media reaksi dan berada pada satu fasa yakni fasa cair dan gas.
Katalis homogen memiliki kelemahan utama dibandingkan dengan katalis
heterogen dan nanokatalis yakni sulit untuk dipisahkan dengan produk yang
terbentuk akibat paduannya yang homogen dalam media reaksi [2]. Nanokatalis
memiliki keuntungan dibandingkan dengan katalis heterogen jika ditinjau dari
kemampuannya mengkatalisis reaksi yang jauh lebih cepat [1]. Namun,
nanokatalis memiliki efek toksik yang jauh lebih besar daripada katalis homogen
dan heterogen karena bahan dasarnya yang berupa logam berat dalam ukuran
nano. Hal ini mengakibatkan logam berat dalam bentuk nanokatalis ini lebih
mudah masuk ke tubuh dan meracuni tubuh. Hal inilah yang menjadi
pertimbangan utama sehingga reaksi kimia dalam industri tidak serta-merta
digantikan dengan nanokatalis [3]. Katalis skala nano berbasis gel dapat
digunakan untuk mencairkan batu bara yang kemudian dijadikan minyak diesel
atau bensin. Cara ini disukai karena dapat mengurangi kadar belerang pada
penggunaan batubara. Ukuran nano mempunyai permukaan yang sangat luas.
Sehingga sangat efektif dan murah untuk dipakai sebagai katalis konverter pada
mobil [4].

2 Institut Teknologi Nasional


Penggunaan nanokatalis yang terpopuler saat ini adalah untuk pembuatan
energi alternatif berbahan dasar gas hidrogen yang dikenal dengan fuel cell. Hal
ini berdasar pada reaksi 2H2(g) + O2(g) = 2H2O(g). Penggunaan katalis heterogen
seperti Pt pada reaksi fuel cell untuk menghasilkan energi ini menyebabkan
terjadinya reaksi samping akibat ukuran katalis yang relatif besar sehingga katalis
tidak menuju ke pusat reaksi melainkan terperangkap ke dalam media elektrolit
(misalnya nafion) dan bereaksi dengan rantai hidrokarbonnya menghasilkan reaksi
samping yang menghasilkan karbonmonoksida (CO). Berbeda dengan
penggunaan nanokatalis seperti Co, Fe, V, dan Cu yang berukuran < 2 nm. Karena
kecilnya ukuran nanokatalis ini, sehingga katalis langsung mampu menuju ke
pusat reaksi mengubah (mereaksikan) gas hidrogen (H2) dan gas oksigen (O2)
menjadi H2O dalam bentuk uap air [2]. Penggunaan nanokatalis yang lain pada
fuel cell misalnya pada penyimpanan gas H2 dalam bentuk padat melalui proses
penyerapan material Mg menjadi MgH2 [5]. Nanokatalis ini juga potensial
digunakan pada reaksi sintesis gas H2 sebagai bahan baku fuel cell dari metanol
melalui proses Methanol Steam Reforming [6].

Pembuatan katalis berukuran nano dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
Top-down dan Bottom-up. Top-down berarti membuat katalis berukuran nano
dari bahan yang berukuran besar lalu diperkecil dengan cara mekanik (size
reduction). Bottom-up berarti katalis berukuran nano dibuat dari reaksi kimia dan
kristalisasi atau proses presipitasi yang umumnya dipengaruhi oleh kondisi pH.

Pembuatan katalis melalui metode Bottom-up ada 3 jenis, yaitu metode


simple heating, metode penumbuhan dalam zeolit, dan metode penmbuhan dalam
silika. Metode simple heating adalah salah satu metode sintesis nanopartikel
menggunakan media kontinu. Akar pemikiran metode ini adalah nanopartikel
yang tidak menggumpal dapat disintesis melalui reaksi kimia pada fasa kedua dari
media kontinu, selama kehadiran media kontinu tersebut dapat dipertahankan
hingga akhir proses. Dengan demikian, nanopartikel dapat diperoleh ketika media
kontinu tersebut dihilangkan di ujung proses sintesis. Pada metode ini, larutan
polimer seperti polietilen glikol digunakan sebagai media kontinu. Untuk

3 Institut Teknologi Nasional


mensintesis katalis, seluruh prekursor katalis dicampur dan direaksikan dengan
larutan polimer tersebut. Kemudian untuk mendekomposisi polimer, seluruh
larutan tersebut dipanaskan hingga suhu tertentu. Setelah polimer dihilangkan,
maka nanopartikel yang saling terpisahkan akan terbentuk. Pengaturan suhu
dilakukan secara linear, dimulai dari suhu ruangan sampai suhu yang diinginkan
(450-700oC). Selanjutnya, suhu akan turun menjadi normal secara eksponensial
selama 2-3 jam [7].

1.2 Tujuan Penilitian

1. Menganalisis hasil optimasi menggunakan software minitab 19 dengan metode


Box-Behnken dan Central Composite Design

2. Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi nilai %Yield dan Aktivitas


pada nanokatalis logam Ag dan Pt berdasarkan perbedaan logam, perbedaan
jumlah desain faktor dan perbedaan jenis pereduksi

3. Menganalisis nilai Aktivitas dan Yield ketika sebelum dan sesudah dilakukan
optimasi pada nanokatalis Ag dan Pt

4. Menganalisis nilai Aktivitas dan Yield ketika sebelum dan sesudah dilakukan
optimasi nanokatalis Pt dengan 3 dan 4 faktorial desain

5. Menganalisis nilai Aktivitas dan Yield ketika sebelum dan sesudah dilakukan
optimasi nanokatalis Pt pada pereduksi biji anggur dan kulit manggis

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hasil optimasi dengan menggunakan metode Box-Behnken dan


Central Composite Design?

2. Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi nilai Aktivitas dan Yield?

4 Institut Teknologi Nasional


3. Bagaimana nilai Aktivitas dan Yield ketika sebelum dan sesudah dilakukan
optimasi pada logam Pt dan Ag?

4. Bagaimana nilai Aktivitas dan Yield ketika sebelum dan sesudah dilakukan
optimasi nanokatalis Pt dengan 3 dan 4 faktorial desain?

5. Bagaimana nilai Aktivitas dan Yield ketika sebelum dan sesudah dilakukan
optimasi nanokatalis Pt pada pereduksi biji anggur dan kulit manggis?

1.4 Ruang Lingkup

Pada Penelitian ini, menggunakan data sekunder hasil dari penelitian


laporan sebelumnya. Optimasi dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
kondisi operasi terbaik agar sintesis nanokatalis dapat menghasilkan yield atau
aktivitas katalis yang optimum. Optimasi dilakukan dengan menggunakan minitab
dengan metode surface respons.

5 Institut Teknologi Nasional


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi nanoteknologi didasarkan pada kata awal "nano" dari bahasa


Yunani yang berarti "kerdil". Dalam istilah yang lebih teknis, kata "nano" berarti
10-9 atau sepermilyar. Nanoteknologi tidak selalu teknologi baru untuk desain,
proses dan penggunaan material pada skala nanometer. Kata nanoteknologi
umumnya digunakan ketika mengacu pada bahan-bahan dengan ukuran 1 sampai
100 nanometer [8]. Teknologi nano adalah suatu desain, karakterisasi, produksi
dan penerapan struktur, perangkat dan sistem dengan mengontrol bentuk dan
ukuran pada skala nanometer [9].

Pertama kali konsep nanoteknologi diperkenalkan oleh Richard Feynman


pada sebuah pidato ilmiah yang diselenggarakan oleh American Physical Society
di California Institute of Technology tahun 1959 dengan judul “There‟s Plenty of
Room at the Bottom”. Richard Feynman adalah seorang ahli fisika dan pada
tahun 1965 memenangkan hadiah Nobel dalam bidang fisika. Istilah
nanoteknologi pertama kali diresmikan oleh Prof. Norio Taniguchi dari Tokyo
Science University tahun 1974 dalam makalahnya yang berjudul “On the Basic
Concept of Nano-Technology”. Pada tahun 1980 definisi nanoteknologi
dieksplorasi lebih jauh lagi oleh Dr. Eric Drexler melalui bukunya yang berjudul
“Engines of Creation: The coming Era of Nanotechnology” [10].

Nanoteknologi didasarkan pada partikel yang ukurannya kurang dari 100


nanometer untuk membangun sifat dan perilaku baru dari struktur nano tersebut
[11]. Nanoteknologi meliputi penerapan ilmu pengetahuan dan rekayasa pada
skala atom. Hal ini melibatkan konstruksi struktur kecil dan perangkat dengan
memanipulasi masing-masing molekul dan atom yang memiliki sifat unik dan
kuat. Struktur ini dapat digunakan dalam bidang kedokteran dan bioteknologi;
energi dan lingkungan; dan telekomunikasi [12].

6 Institut Teknologi Nasional


Aplikasi nanoteknologi di sektor pangan meliputi peningkatan rasa, warna,
flavor, tekstur dan konsistensi produk makanan, meningkatkan penyerapan serta
bioavailabilitas nutrisi dan senyawa bioaktif [13]. Pada bidang elektronik,
teknologi nano diaplikasikan untuk membuat komputer yang lebih cepat dan
powerfull, kamera digital, cell phone, liquid crystal display (LCD), light emiting
dioda (LED). Pada industri otomotif, teknologi nano telah digunakan untuk
mengisi lubang-lubang yang sangat kecil secara lebih efektif sehingga mobil
menjadi lebih mengkilat catnya.

2.1 Pembuatan Nanopartikel

Nanopartikel dapat diproduksi dengan berbagai metode, diantaranya


sintesis plasma, wet-phase processing, presipitasi kimia, sol-gel processing,
pengolahan mekanik, sintesis mechanicochemical, high-energy ball milling,
chemical vapour deposition dan ablasi laser [14]. Beberapa metode untuk sintesis
nanopartikel adalah co-precipitation, ultrasound irradiation, elektrokimia, dan
sintesis hidrotermal [15]. Penelitian Sun et al. (2010) berhasil membuat
nanopartikel kalsium menggunakan teknik spray drying dengan penggunaan two-
liquid nozzle [16]

Ada dua metode yang dapat digunakan dalam sintesis nanomaterial, yaitu
secara top down dan bottom up. Top down merupakan pembuatan struktur nano
dengan memperkecil material yang besar, sedangkan bottom-up merupakan cara
merangkai atom atau molekul dan menggabungkannya melalui reaksi kimia untuk
membentuk nano struktur [17]. Contoh metode top down adalah penggerusan
dengan alat milling, sedangkan teknologi bottom up yaitu menggunakan teknik
sol-gel, presipitasi kimia, dan aglomerasi fasa gas [18]. Sintesis nanopartikel
dengan metode top down dan bottom up dapat dilihat pada Gambar 2.1

7 Institut Teknologi Nasional


Gambar 2.1 Teknis sintesis nanopartikel Top-Down dan Bottom-Up
(Sumber: Utomo, 2015)

Teknologi bottom up dimulai dengan molekul dan bahan aktif yang


dilarutkan dengan pelarut organik kemudian pelarut dihilangkan. Teknologi atop
down menggunakan berbagai jenis penggilingan dan teknik homogenisasi.
Teknologi top down lebih populer dibandingkan teknologi bottom up. Top down
dikenal sebagai "nanosizing", dalam kata lain top down adalah proses yang
memecah kristal partikel besar menjadi potongan-potongan kecil [13].

Metode presipitasi merupakan teknik pendekatan bottom up. Metode


presipitasi dilakukan dengan cara zat aktif dilarutkan ke dalam pelarut, lalu
ditambahkan larutan lain yang bukan pelarut (anti-solvent), hal ini menyebabkan

8 Institut Teknologi Nasional


larutan menjadi jenuh dan terjadi nukleasi yang cepat sehingga membentuk
nanopartikel [5]. Kelebihan metode ini adalah sederhana dan biaya rendah [13].
Kelemahan metode ini adalah nanopartikel yang terbentuk harus distabilisasi
untuk mencegah timbulnya kristal berukuran mikro [5].

Salah satu metode presipitasi yang pertama adalah teknologi pembuatan


hydrosol. Teknologi ini dikembangkan oleh Sucker pada tahun 1988 dan
merupakan hak cipta milik Sandoz (sekarang bernama Novartis). Teknologi ini
sesungguhnya merupakan metode presipitasi klasik yang dikenal sebagai “via
humida paratum”. Pada metode ini, zat aktif dilarutkan ke dalam pelarut, lalu
larutan tersebut dimasukkan ke dalam larutan lain yang bukan pelarut zat aktif
tersebut sehingga menghasilkan presipitasi zat aktif yang halus [19].

Menurut Haskell (2005), metode presipitasi dilakukan dengan


mengendalikan kelarutan bahan di dalam larutan melalui perubahan pH, suhu,
atau pelarut. Endapan yang dihasilkan dari kondisi sangat jenuh memiliki banyak
partikel berukuran kecil. Kelebihan metode ini adalah dapat menghasilkan
partikel lebih kecil dari 100 nm dan pemakaian energi sangat rendah.

Dua metode di atas pada umumnya dilakukan melaui 3 sub metode


sebagai berikut:

1. Sintesis secara fisika

Sintesis nanopartikel secara fisika biasanya dilakukan dengan melalui


evaporasi maupun kondensasi [20] dan laser [21].

2. Sintesis secara biologi

Sintesis nanopartikel secara biologi dilakukan dengan bantuan makhluk


hidup misalnya mikroorganisme maupun organisme seperti bakteri (contohnya
Pseudomonas stutzer), fungi (contohnya F.Oxysporum), dan ekstrak tumbuhan.
Sebagai contohnya, Landage dkk., telah melakukan penelitian dengan
menggunakan ekstrak alga hijau (Chlorella vulgaris) dalam mensintesis

9 Institut Teknologi Nasional


nanopartikel perak pada suhu ruang, protein pada ekstrak alga tersebut berperan
sebagai agen pereduksi dan pengontrol bentuk nanopartikel yang dihasilkan [22].

3. Sintesis secara kimia

Sintesis nanopartikel secara kimia dilakukan dengan bantuan agen


pereduksi kimia seperti borohidrat (NaBH4), hidrazin (N2H4), dan formaldehid.
Pereduksi tersebut dapat berupa pereduksi kuat maupun lemah. Pereduksi kuat
menghasilkan nanopartikel dengan ukuran kecil sedangkan pereduksi lemah akan
menghasilkan nanopartikel dengan ukuran lebih besar [22].

Seperti yang telah disebutkan di atas, sintesis nanopartikel dapat dilakukan


dalam medium dengan fasa gas maupun fasa cair. Dalam fasa gas contohnya
dilakukan dengan pirolisis sedangkan dalam fasa cair contohnya dilakukan
dengan menggunakan mikroemulsi [23]. Dalam sintesis nanopartikel dengan
menggunakan mikroemulsi, mikroemulsi berperan sebagai
mikroreaktor/nanoreaktor [12]. Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang
harus dipertimbangkan secara umum untuk menentukan metode yang sesuai guna
mendapatkan nanopartikel yang diinginkan, diantaranya:

• ukuran dan komposisi partikel yang diinginkan

• stabilitas fisik dan struktur partikel

• adanya kemungkinan peningkatan produksi

• biaya yang diperlukan

Sumber : [21]

2.2 Mikroemulsi

Mikroemulsi telah dipelajari secara luas untuk meningkatkan ketersediaan


hayati dari obat yang kelarutannya buruk. Mikroemulsi memiliki tegangan muka
yang sangat rendah dan ukuran dropletnya kecil, yang mana menghasilkan

10 Institut Teknologi Nasional


absorbsi dan permeasi tinggi. Formulasi mikroemulsi membuat ketersediaan
hayati dan profil konsentrasi plasma obat lebih reprodusibel, yang mana secara
klinis sangat penting dalam kasus obat yang memunculkan efek samping serius.
Hal ini merupakan kemajuan langkah yang sangat signifikan dalam penghantaran
obat berkelarutan buruk.

Mikroemulsi bersifat isotropik, sistem air, minyak, dan surfaktan yang


stabil transparan (tembus cahaya) secara termodinamika, seringkali
dikombinasikan dengan kosurfaktan, membentuk droplet yang ukurannya berkisar
20 – 200 nm. Sistem ini homogen, dapat dipreparasi dengan konsentrasi surfaktan
dan perbandingan air-minyak beragam menghasilkan aliran dengan viskositas
rendah.

Gambar 2.2 Struktur mikroemulsi


(Sumber: O’Donnell, 2012)

Mikroemulsi sebagai sarana penghantaran obat memperlihatkan sifatsifat


yang baik, seperti stabilitas termodinamika (waktu penyimpanan lama),
pembentukannya mudah (tegangan antarmuka nol dan pembentukkannya

11 Institut Teknologi Nasional


mendekati spontan), isotropik, dapat disterilisasi dengan filtrasi, daerah
permukaan luas (kapasitas kelarutan tinggi), dan ukuran droplet sangat kecil.
Mikroemulsi sangat mudah untuk diberikan kepada anak-anak dan orang yang
mengalami kesulitan menelan bentuk sediaan padat.

Self Microemulsifying Drug Delivery System (SMEDDS) merupakan


sistem mikroemulsi anhidrat. Hal tersebut juga dapat dimaksudkan sebagai
mikroemulsi pro konsentrat oleh beberapa peneliti. SMEDDS tersusun atas
minyak, surfaktan, dan kosurfaktan, memiliki kemampuan layaknya mikroemulsi
minyak dalam air ketika didispersikan dalam fase air melalui agitasi. Agitasi
dibutuhkan supaya SMEDDS sampai ke perut dan mengalami motilitas oleh usus.
Droplet ukuran nano memiliki permukaan sangat luas dibanding volumenya, yang
dapat melarutkan obat secara efisien. Obat yang dilepaskan dalam pola yang lebih
reprodusibel tidak akan bergantung pada keadaaan GI.

Mikroemulsi merupakan sistem dinamis yang antarmukanya berfluktuasi


secara spontan dan terus menerus. Menurut strukturnya, mikroemulsi dibagi
menjadi minyak dalam air (m/a), air dalam minyak (a/m), dan mikroemulsi
bikontinyu. Dalam mikroemulsi a/m, droplet air didispersikan dalam fase
kontinyu minyak, sementara mikroemulsi m/a terbentuk saat droplet minya
didispersikan dalam fase kontinyu air. Dalam sistem dimana jumlah minyak
sebanding dengan jumlah air, mikroemulsi bikontinyu akan dihasilkan. Pada
semua tipe emulsi, antar permukaan fase distabilkan oleh kombinasi surfaktan
dan/atau kosurfaktan. Campuran antara minyak, air, dan surfaktan dapat
membentuk bermacam struktur dan fase, bergantung dari proporsi tiap komponen.
Fleksibilitas lapisan surfaktan merupakan faktor penting untuk diperhatikan.
Lapisan surfaktan yang fleksibel dapat memperlebar beberapa hal yang berkenaan
dengan struktur, misalnya bentuk, agregat, dan struktur bikontinyu, sehingga
meningkatkan area mikroemulsi. Lapisan surfaktan yang sangat kaku tidak
memungkinkan adanya struktur bikontinyu sehingga akan menghalangi daerah
emulsi.

12 Institut Teknologi Nasional


Gambar 2.3 Mikroemulsi Tipe (a) Oil in Water, (b) Bicontinuous, (c) Water in
Oil
(Sumber: O’Donnell, 2012)

Sebagai sistem penghantaran obat, mikroemulsi memiliki beberapa keuntungan


dan kekurangan sebagai berikut:

1. Keuntungan

a. Mikroemulsi merupakan sistem yang stabil secara termodinamika dan


stabilitasnya menyebabkan swaemulsifikasi sistem, dimana sifat-sifatnya tidak
bergantung pada proses yang dilalui.

b. Mikroemulsi bertindak sebagai pelarut obat super. Mikroemulsi dapat


melarutkan obat hidrofilik dan lipofilik, termasuk obat yang relatif tidak larut
dalam air dan pelarut hidrofobik. Hal ini disebabkan adanya polaritas berbeda
pada daerah mikro dalam satu fase solusio.

c. Fase terdispersi, lipofilik ataupun hidrofilik, dapat menjadi penampung


potensial untuk obat yang hidrofilik maupun lipofilik. Obat dipartisi di antara
fase terdispersi dan fase kontinyu, yang mana bila terjadi kontak antara sistem
dengan membran semi permeabel, obat akan ditransportasikan menembus
pelindung.

d. Diameter rata-rata droplet mikromemulsi berada di bawah ukuran 220 nm


sehingga dapat disterilisasi dengan filtrasi.

e. Sama-sama dapat membawa obat yang lipofilik ataupun hidrofilik.

13 Institut Teknologi Nasional


f. Mikroemulsi mudah dipreparasi karena stabil secara termodinamika dan tidak
membutuhkan kontribusi energi yang terlalu banyak selama preparasi.

g. Mikroemulsi memiliki viskositas yang rendah bila dibandingkan emulsi lain.

h. Penggunaan mikroemulsi sebagai sistem panghantaran dapat meningkatkan


efikasi obat, termasuk mengurangi jumlah dosis dan meminimalkan efek
samping obat.

i. Pembentukan mikroemulsi bersifat reversibel. Mikroemulsi tidak stabil pada


temperatur rendah atau tinggi. Namun, ketika temperatur kembali pada kisaran
stabilitasnya, mikroemulsi akan terbentuk kembali.

2. Kekurangan

a. Menggunakan surfaktan dan kosurfaktan dalam konsentrasi tinggi untuk


menyetabilkan nanodroplet.

b. Kapasitas melarut yang terbatas untuk zat-zat yang mudah melebur.

c. Surfaktan tidak boleh toksik untuk aplikasi farmasetik

d. Stabilitas mikroemulsi dipengaruhi oleh parameter lingkungan, macam ph dan


temperatur. Parameter tersebut dapat berubah-ubah selama penyampaian
mikroemulsi kepada pasien.

Secara umum, perbedaan mikroemulsi dengan emulsi (makroemulsi) adalah


sebagai berikut:

14 Institut Teknologi Nasional


Tabel 2.1 Perbedaan mikroemulsi dan emulsi
No. Sifat Mikroemulsi Emulsi
1 Penampakan Transparan (tembus cahaya) Berkabut (putih) karena
karena diameter dropletnya ukuran dropletnya lebih
kurang dari 1/4 panjang besar dibanding panjang
gelombang cahaya. Dapat gelombang cahaya dan
menghamburkan cahaya hampir semua minyak
memiliki indeks refraktif
lebih besar dibandingkan
air
2 Isotropi optis Isotropik Anisotropik
3 Tengangan Sangat rendah Tinggi
antarmuka
4 Struktur mikro Dinamis (antarmuka Statis
berfluktuasi secara spontan
dan terus menerus)
5 Ukuran droplet 20 – 200 nm > 500 nm
6 Stabilitas Stabil secara termodinamika, Secara termodinamika
waktu penyimpanan lama tidak stabil (stabil secara
kinetik, terkadang fase
memisah)
7 Fase Monofasik Bifasik
8 Preparasi Preparasi mudah, relatif lebih Membutuhkan energi
murah untuk produksi besar, harga lebih mahal
komersial
9 Viskositas Viskositas rendah Viskositas lebih tinggi

Selama preparasi mikroemulsi, terdapat tiga kondisi yang penting yang


perlu diperhatikan, yakni:

1. Surfaktan harus dipilih secara hati-hati untuk menghasilkan tegangan


antarmuka yang amat rendah (< 10-3 mN/m) pada antarmuka minyak atau air.

15 Institut Teknologi Nasional


Hal tersebut merupakan kebutuhan mendasar untuk memproduksi
mikroemulsi.

2. Konsentrasi surfaktan harus cukup tinggi untuk menyediakan sejumlah


surfaktan yang dibutuhkan dalam menyetabilkan mikrodroplet sehingga dapat
menghasilkan tegangan antarmuka yang sangat rendah.

3. Antarmuka atau aliran harus cukup fleksibel memebentuk formasi


mikroemulsi.

Formulasi mikroemulsi memberikan sejumlah keuntungan dibanding


formulasi oral lainnya untuk pemberian obat secara oral, yang meliputi
peningkatan absorbsi, perbaikan potensi klinis, dan penurunan toksisitas obat.
Mikroemulsi dilaporkan telah menjadi sistem penghantaran obat yang ideal, untuk
steroid, hormon, diuretik, dan antibiotik.

Obat farmasetik peptida dan protein sangat poten dan spesifik dalam
fungsi fisiologisnya. Meskipun begitu, pemberiannya secara oral sangat sulit.
Pemberian oral secara konvensional (tidak berdasarkan mikroemulsi) hanya
menghasilkan ketersediaan hayai kurang dari 10% sehingga umumnya tidak aktif
secara terapetik bila diberikan secara oral. Akibat hal tersebut, sebagian besar obat
protein hanya tersedia dalam bentuk parenteral. Meskipun begitu, obat peptida
memiliki waktu paruh biologis yang sangat kecil bila diberikan secara parenteral
sehingga perlu diberikan dalam dosis ganda.

2.2.1 Surfaktan

Surfaktan atau surface active agent adalah molekul-molekul yang


mengandung gugus hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak/lemak) pada
molekul yang sama [24]. Surfaktan terbagi menjadi dua bagian yaitu kepala dan
ekor. Gugus hidrofilik berada di bagian kepala (polar) dan lipofilik di bagia ekor
(non polar) (Gambar 1). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif,
negatif atau netral. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan

16 Institut Teknologi Nasional


rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung
gugus hidroksil. Molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Molekul surfaktan


(Sumber : Google)

Sifat-sifat surfaktan adalah dapat menurunkan tegangan permukaan,


tegangan antar muka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan
mengontrol jenis formulasinya baik itu oil in water (o/w) atau water in oil (w/o).
Selain itu surfaktan juga akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau
air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan
(coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Sifat-sifat ini dapat
diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya.

Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya


tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan
permukaan akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila
surfaktan ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi
membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle
Concentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai.
Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan

17 Institut Teknologi Nasional


bahwa antar muka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam
keseimbangan dinamis dengan monomernya [25].

Berdasarkan muatannya surfaktan dibagi menjadi empat golongan yaitu:

1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang
cukup besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat Contohnya
surfaktan anionik diantaranya linier alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat
(AS), alkohol ester sulfat (AES), alfa olein sulfonat (AOS), parafin (secondary
alkane sulfonat, SAS) dan metil ester sulfonat (MES).

2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Surfaktan jenis ini memecah dalam media cair, dengan bagian kepala
surfaktan kationik bertindak sebagai pembawa sifat aktif permukaan.
Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil dimethil ammonium
dan garam alkil dimethil benzil ammonium.

3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.


Contohnya ester gliserol asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa
asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono
alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.

4. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan


positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino,
betain, fosfobetain.

Aplikasi surfaktan pada industri tergantung pada proses pembuatan produk


dan karakteristik surfaktan serta produk akhir yang diinginkan. Peranan surfaktan
yang berbeda – beda dikarenakan struktur molekulnya yang tidak seimbang,
Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu yang memiliki kepala dan
ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat
polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak),
merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion,

18 Institut Teknologi Nasional


sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi
kepala-ekor tersebut membuat sufraktan memiliki fungsi yang beragam di industri
(Hui, 1996).

Kelompok terbesar dalam jumlah pemakaian adalah surfaktan anionik.


Surfaktan jenis ini banyak diaplikasikan dalam hal pencucian dan pembersihan.
Persentase surfaktan dapat dilihat pada grafik berikut.

Gambar 2.5 Grafik persentase penggunaan surfaktan


(Sumber : Google)

Dari grafik tersebut terlihat bahwa surfaktan anionics berwarna biru muda
mencapai 57% merupakan jumlah surfaktan yang paling banyak pemakaiannya,
kemudian untuk surfaktan non ionics berwarna hijau sebanyak 40%, surfaktan
cationics berwarna merah sebesar 2% serta penggunaan surfaktan amphoteric
berwarna kuning yang paling kecil yaitu 1% [10].

Aplikasi surfaktan sangat luas. Beberapa contoh aplikasi surfaktan antara


lain bahan utama untuk industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan emulsifier
pada industri kosmetik dan farmasi, bahan emulsifier untuk sanitasi industri
pangan. Selain itu surfaktan juga digunakan untuk Enchance Oil Recovery (EOR).
EOR adalah metode yang digunakan untuk meningkatkan recovery minyak bumi
dengan melibatkan penginjeksian material biasanya menggunakan injeksi gas

19 Institut Teknologi Nasional


tercampur, bahan kimia (chemical) ataupun thermal energy untuk mengubah
karakteristik reservoir sehingga minyak yang diperoleh lebih besar dibandingkan
sebelumnya [26]. Salah satu material tersebut ialah surfaktan.

Surfaktan memegang peranan penting di dalam proses Enhanced Oil


Recovery (EOR) dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, mengubah
kebasahan (wettability), bersifat sebagai emulsifier, menurunkan viskositas dan
menstabilkan dispersi sehingga akan memudahkan proses pengaliran minyak
bumi dari reservoir untuk di produksi. Minyak yang terjebak di dalam pori-pori
batuan disebut blobs atau ganglia. Untuk mendorong ganglia maka gaya
kapilaritas dalam pori-pori harus diturunkan yakni dengan cara menurunkan nilai
IFT (Interfacial Tension) antara minyak sisa dengan brine di dalam reservoir.
Surfaktan mampu menurunkan IFT dan menurunkan saturasi minyak.

Hal yang penting dalam proses penggunaan surfaktan untuk menghasilkan


perolehan (recovery) minyak yang tinggi adalah: (a) memiliki IFT yang sangat
rendah (minimal 10-3 dyne/cm) antara chemical bank dan residual oil dan antara
chemical bank dan drive fluid, (b) memiliki kecocokan/kompatibiliti dengan air
formasi dan kestabilan terhadap temperatur, (c) memiliki mobility control dan (d)
kelayakan ekonomis proses [27].

Metode EOR telah umum diterapkan di negara lain, namun penerapan di


Indonesia masih terkendala karena ketidaksesuaian antara air formasi dan batuan
formasi dari sumur minyak di Indonesia dengan surfaktan komersial yang berbasis
minyak bumi yang bila digunakan menyebabkan terjadinya penggumpalan dan
menimbulkan gangguan pada sumur produksi. Hal ini menjadi peluang untuk
dikembangkan jenis surfaktan berbasis nabati atau sawit yaitu MES yang sesuai
untuk sumur minyak bumi di Indonesia.

20 Institut Teknologi Nasional


2.2.2 Formulasi Mikroemulsi

Mikroemulsi umumnya terdiri dari empat komponen yang berbeda yaitu


fase lipofilik, fase hidrofilik, surfaktan dan ko-surfaktan [28]. Sifat dari komponen
seperti minyak, surfaktan, ko-surfaktan dan air, serta suhu dan tekanan yang
mempengaruhi sistem mikroemulsi dikenal sebagai variabel formulasi. Perbedaan
jumlah zat yang berkaitan juga cenderung akan mengubah sifat mikroemulsi, dan
disebut sebagai variabel komposisi yang dapat dinyatakan sebagai berat,
persentase atau proporsi [29].

Agar mikroemulsi mencapai tegangan antarmuka rendah dan kemampuan


melarutkan dengan baik, mikroemulsi perlu dirumuskan secara akurat.
Pembentukan mikroemulsi bergantung pada faktor-faktor seperti: (1) rasio minyak
/ surfaktan dan surfaktan / ko-surfaktan; (2) sifat dan konsentrasi minyak,
surfaktan, ko-surfaktan dan fasa air; (3) pH; (4) suhu; dan (5) hidrofilisitas /
lipofilisitas polaritas [30]. Faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam
perumusan mikroemulsi. Untuk mempelajari perilaku fase sistem mikroemulsi
sederhana yang terdiri dari surfaktan, minyak dan air pada diagram fase terberat
tekanan dan suhu terner digunakan. Setiap sudut diagram fase terner mewakili
konsentrasi 100% komponen tertentu. Bila empat atau lebih komponen digunakan
diagram fase semu-terner digunakan untuk menggambarkan sistem di mana
masing-masing sudut mewakili campuran biner dari dua komponen seperti
surfaktan / ko-surfaktan, surfaktan / air, minyak, dan campuran air. Diagram fase
terner yang khas ditunjukkan pada Gambar 2.6 [31].

21 Institut Teknologi Nasional


Gambar 2.6 Diagram fasa terner pada perbedaan fasa
(Sumber : Soleimani, 2014)

Klasifikasi Mikroemulsi Tipe Winsor dan Diagram Fasa Winsor


mengklasifikasikan mikroemulsi ke dalam 4 tipe sebagai berikut:

a. Winsor tipe I, sistem terdiri dari dua fasa, bagian atas merupakan fasa minyak
dan bagian bawah merupakan fasa oil in water.
b. Winsor tipe II, sistem terdiri dari dua fasa, bagian bawah merupakan fasa air
dan bagian atas merupakan fasa water in oil.
c. Winsor tipe III, sistem terdiri dari tiga fasa yaitu fasa minyak, fasa tengah
(terdiri dari minyak, surfaktan, dan air), serta fasa air.
d. Winsor tipe IV, sistem terdiri dari satu fasa yang mengandung minyak,
surfaktan dan air.

22 Institut Teknologi Nasional


Gambar 2.7 Klasifikasi mikroemulsi tipe Winsor, (A) Winsor Tipe I; (B) Winsor
Tipe II; (C) Winsor Tipe III; (D) Winsor Tipe IV
(Sumber : Mehta dan Kaur, 2011)

Untuk mendapatkan mikroemulsi dengan ukuran droplet yang kecil pada


suhu ruang, maka perlu dilakukan penentuan terhadap komposisi yang digunakan.
Karena pada prinsipnya, sintesis nanopartikel dengan mikroemulsi ini
memanfaatkan perubahan temperatur untuk mendestabilisasi struktur mikroemulsi
sehingga nanopartikel yang terdapat di dalamnya dapat keluar dan menempel pada
material support [32].
Di dalam sistem fasa tiga komponen ,dimana untuk menunjukan daerah
mana yang perbedaan fasa nya ada dalam sistem tersebut maka digunakan
diagram fasa yang digambarkan dalam fish diagram pada fraksi berat minyak
konstan αdalam campuran minyak dan air.

𝑚𝐵
𝛼=𝑚 (2.1)
𝐴 +𝑚𝐵

dimana 𝑚𝐴 dan 𝑚𝐵 merupakan massa air (A) dan massa minyak (B).

Rangkaian fasa ditentukan dalam fungsi temperatur dan fungsi massa


surfaktan (𝛾)

23 Institut Teknologi Nasional


𝑚𝐶
𝛾=𝑚 (2.2)
𝐴 +𝑚𝐵 +𝑚𝐶

dimana 𝑚𝐴, 𝑚𝐵, 𝑚𝐶 merupakan massa air (A), massa minyak (B) dan massa
surfaktan (C) [33].

Jika yang digunakan adalah campuran surfaktan (C dan D) , maka untuk


salah satu surfaktan dinyatakan dalam bentuk [31]

𝑚𝐷
𝛿=𝑚 (2.3)
𝐶 +𝑚𝐷

Pada diagram fase menggambarkan wilayah tiga fasa yang mengambang


seperti “ikan” dan daerah satu-fasa membentuk “ekor” ikan. Dalam potongan ikan
diagram 3 fasa memanjang dari 𝑇1 dan 𝑇𝑢. 𝑇1 dan 𝑇𝑢 adalah yang suhu terendah
dan tertinggi di mana 3 fasa dapat muncul. Suhu (T) di mana "tubuh ikan"
berpotongan "ekor ikan" disebut suhu fasa inversi (PIT) atau titik tricritical.
Gambaran skema dari T(γ)-section digambarkan dalam Gambar 2.10.
Untuk fraksi massa surfaktan dibawah γ0 fasa minyak dan air tidak terstruktur
termasuk molekul monomer surfaktan terlarut berdampingan selama rentang
temperatur keseluruhan dengan surfaktan monomer menyerap pada antarmuka
makroskopik sampai jenuh.
Setelah tercapai γ0 antarmuka jenuh dan surfaktan berlebih larut dalam
fasa air pada temperatur rendah dan fasa minyak pada temperatur tinggi
membentuk agregat mengakibatkan mikroemulsi minyak dalam air berdampingan
dengan fasa minyak berlebih (2) atau mikroemulsi air dalam minyak dengan fasa
air berlebih (2) berturut-turut. Pada temperatur menengah antara 𝑇1 dan 𝑇𝑢
surfaktan akan sama larut dalam air dan minyak dan terbentuk keadaan tiga fasa
mikroemulsi kaya surfaktan dalam bentuk berdampingan dengan fasa air dan
minyak berlebih. Fraksi massa surfaktan menaikkan volume dari fasa kaya
surfaktan tumbuh pelarut semakin banyak kelebihan fase hingga mencapai 𝛾̃

24 Institut Teknologi Nasional


dengan titik 𝑋̃ menggambarkan jumlah terendah surfaktan yang diperlukan untuk
membentuk mikroemulsi.

Gambar 2.8 Skema fish diagram


(Sumber : Klemmer.2013)

Dalam Gambar 2.8 wilayah satu fasa dilambangkan dengan 1. Dalam


wilayah ini dekat dengan titik 𝑋̃ digambarkan struktur bicontinuous seperti spons.
Pada temperatur 𝑇̃ kontinuitas dari wilayah satu fase berubah menjadi oil-
continuous, sedangkan berubah menjadi water-continuous pada Temperatur
dibawah 𝑇̃. Untuk fraksi massa surfaktan yang lebih besar akan memperluas
wilayah satu fase dan struktur didalamnya mengubah sifat mereka [33].
Diagram fasa dibuat untuk mendapatkan konsentrasi komponen yang tepat
yang dapat menghasilkan fasa mikroemulsi. Setelah komponen mikroemulsi yang
tepat dipilih, diagram fasa terner dibangun untuk menentukan tingkat dan sifat
daerah mikroemulsi. Untuk menentukan diagram tersebut, sampel dalam jumlah
besar dengan komposisi yang berbeda harus disiapkan. Diagram fasa terner
dikembangkan dengan metode titrasi air. Campuran surfaktan dan ko-surfaktan
campuran (𝑆𝑚𝑖𝑥) dicampur dengan minyak pada suhu ruangan. Untuk setiap

25 Institut Teknologi Nasional


diagram fase, rasio minyak dengan 𝑆𝑚𝑖𝑥 bervariasi sebagai 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5,
4:6, 3:7, 2:8, 1:9 (v/v). Air ditambahkan dengan cara diteteskan dengan
pengadukkan kuat. Setelah mencapai kesetimbangan, sampel diperiksa secara
visual dan ditentukan sebagai mikroemulsi [34].

2.3 Sintesis Nanopartikel menggunakan Mikroemulsi

Metode mikroemulsi adalah salah satu teknik baru dan ideal untuk
pembuatan partikel nano anorganik [13]. Ketika dicampurkan, minyak dan air
tidak bercampur dan membentuk dua fasa yang terpisah. Upaya untuk
menggabungkan kedua fase memerlukan energi yang akan membentuk asosiasi
minyak-air.

Dispersi yang baik dari droplet yang dihasilkan dalam mikroemulsi cocok
untuk sintesis partikel nano dan memiliki potensi yang cukup baik untuk
mengendalikan reaksi kimia yang mungkin terjadi pada mikroemulsi [1]. Ide
dasar teknik mikroemulsi diilustrasikan pada gambar [10]. Mikroemulsi memiliki
beberapa kelebihan yang sangat tepat pada berlangsungnya pembuatan
nanopartikel.

Beberapa kelebihan mikroemulsi pada sintesis nanopartikel:

1. Kemudahan persiapan karena mikroemulsi dapat bekerja pada suhu kamar dan
mudah dibuat.

2. Mikroemulsi stabil secara termodinamika

3. Memiliki kemampuan untuk menggabungkan kedua agen bersifat hidrofilik


dan lipofilik

4. Memiliki area interfacial yang besar sehingga memudahkan penggunaannya


dalam sintesis nanopartikel [35]

26 Institut Teknologi Nasional


Gambar 2.9 Sintesis nanopartikel dalam mikroemulsi
(Sumber : Soleimani, 2014)

2.3.1 Mekanisme Pembentukan Nanopartikel dalam Mikroemulsi

Pembentukan Nanopartikel dalam Mikroemulsi terjadi melalui dua tahap


yaitu nukleasi dan pertumbuhan partikel. Pada awalnya reaktan dilarutkan pada
larutan dan diikuti oleh terbentuknya monomer/atom karena reaksi kimia antar
rektan, kemudian terjadi peningkatan konsentrasi monomer dengan cepat hingga
melewati konsentrasi jenuhnya. Pada tahap ini, monomer akan beragregasi ke
dalam bentuk yang lebih kecil melalui proses nukleasi secara cepat sehingga
menurunkan konsentrasi monomer dibawah tingkat jenuhnya sehingga proses
nukleasi berhenti. Setelah proses nukleasi berhenti, partikel masih memungkinkan
untuk tumbuh dengan laju yang lambat [27]. Pertumbuhan partikel terjadi hingga
konsentrasi mencapai nilai kelarutannya [14].

27 Institut Teknologi Nasional


Gambar 2.10 Mekanisme pembentukan nanopartikel pada larutan
(Sumber : Parapat dkk., 2013)

2.3.2 Prosedur Sintesis Metal Nanopartikel

Prosedur sintesis nanopartikel dalam w/o mikroemulsi umumnya terdiri dari


pencampuran dua mikroemulsi yang mengandung garam metal dan agen
pereduksi. Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk membuat nanopartikel
menggunakan mikroemulsi.
Cara yang pertama adalah dengan cara membuat dua mikroemulsi, yaitu
mikroemulsi yang terdiri dari surfaktan, pelarut organik, prekursor A dan atau
prekursor B dan mikroemulsi kedua yang terdiri dari surfaktan, pelarut organik
dan agen pereduksi.
Setelah kedua mikroemulsi tersebut dibuat, kemudian kedua mikroemulsi
tersebut dicampurkan. Ketika dua mikroemulsi dicampurkan terjadi
penggabungan antara mikroemulsi dan terjadi penggabungan antara micelle yang
mengandung ion metal dan yang lainnya mengandung agen pereduksi. Ketika

28 Institut Teknologi Nasional


kedua micelle tersebut menyatu, maka akan terjadi reaksi antara ion logam dan
agen pereduksi [14]
Sedangkan cara yang kedua yaitu dengan cara membuat mikroemulsi
terlebih dahulu dengan mencampurkan air, surfaktan dan pelarut organik
kemudian dicampurkan secara perlahan larutan prekursor A dan atau prekursor B.
Setelah prekursor tercampur dengan sempurna, kemudian ditambahkan agen
pereduksi [7].

Gambar 2.11 Pembentukan nanopartikel dalam mikroemulsi


(Sumber : Malik dkk., 2012)

29 Institut Teknologi Nasional


2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Bentuk dan Ukuran Partikel

Adapun faktor yang mempengaruhi bentuk dan ukuran partikel yaitu agen
pereduksi, tipe surfaktan dan penambahan ko-surfaktan, temperatur larutan, waktu
reaksi, dan penambahan elektrolit.

1. Agen pereduksi
Setiap agen pereduksi memiliki potensial yang berbeda-beda. Adanya
perbedaan potensial tersebut menyebabkan perbedaan kecepatan untuk mereduksi
logam. Hal tersebut mempengaruhi bentuk dan ukuran partikel yang disintesis.

2. Tipe surfaktan dan penambahan ko-surfaktan

Salah satu peneliti menunjukkan penambahan ko-surfaktan dengan geometri


molekul yang berbeda dari parameter packing kritis dapat menyesuaikan geometri
agregat surfaktan. Bentuk geometri dari reverse micelle dapat dialihkan ke
pembentukan nanopartikel pada bentuk yang sama. Surfaktan bertindak untuk
menstabilkan pertumbuhan partikel. Berdasarkan kekuatan dari interaksi
pelarut/ekor partikel akan terus tumbuh sehingga memungkinkan partikel
memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan ukuran micelle asli [17].
Soleimani dkk. (2014) menunjukkan bentuk dan ukuran dari nanopartikel dengan
berbagai macam tipe surfaktan yang ditunjukkan oleh Gambar 2.11

30 Institut Teknologi Nasional


(a) (b)

(c) (d)
Gambar 2.11 Hasil Scanning Electron Microscopy (SEM) dengan surfaktan (a)
T-X 100 ,(b) AOT ,(c) CTAB dan (d) Tween 80

(Sumber : Soleimani, 2014)

3. Temperatur larutan

Faktor lain yang mempengaruhi ukuran partikel yaitu temperatur. Temperatur


dapat mempengaruhi viskositas larutan dan akhirnya dapat mempengaruhi ukuran
partikel. Kenaikan suhu menyebabkan kenaikan laju pertumbuhan partikel.
Selanjutnya, pada suhu tinggi, kelarutan zat aktif permukaan non-ionik dalam air
berkurang karena kurangnya hidrasi gugus kepala hidrofilik. Dengan cara lain,
pada suhu yang lebih tinggi, kelarutan zat aktif permukaan dalam fase minyak
meningkat, oleh karena itu, diperlukannya pengaturan suhu untuk pengendalian
ukuran partikel. Ukuran partikel juga dipengaruhi oleh tingkat pengadukan.

31 Institut Teknologi Nasional


Selama pembentukan mikro-emulsi, mengaduk kios pertumbuhan tetesan lebih
lanjut dan efek ini meningkat dengan meningkatkan laju pengadukan. Oleh karena
itu, ukuran droplet mikro-emulsi menjadi kecil dan mengakibatkan ukuran
partikel yang dihasilkan akan lebih kecil [36].

4. . Hydrophilic LipophileicBalance (HLB)

Perbandingan antara senyawa hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka


minyak) disebut HLB. HLB sangat mempengaruhi ukuran nanopartikel. Ukuran
partikel akan meningkat seiringn meningkatnya HLB [37]. Semakin tinggi harga
HLB menunjukkan semakin tingginya kandungan senyawa hidrofilik

5. Laju pengadukan

Laju pengadukan mempengaruhi ukuran partikel. Ukuran nanopartikel


Starch yang disintesis semakin kecil seiring dengan bertambah cepatnya laju
pengadukan yang dilakukan [38].

6. pH

Partikel dengan ukuran yang besar akan dihasilkan pada nilai pH yang
rendah [39].

2.4 Optimasi Proses

Optimasi berasal dari kamus bahasa Inggris yaitu Optimization yang


berarti optimal. [40] menjelaskan bahwa analisis optimasi merupakan suatu
proses penguraian data-data awal dengan menggunakan suatu metode
sebelumnya. Dalam laporan tugas akhir ini, optimasi proses diartikan sebagai
suatu analisis yang dilakukan untuk menentukan parameter-parameter yang
dapat mempengaruhi nilai dari yield dari nanokatalis.

Optimalisasi adalah penggunaan metode khusus untuk menentukan solusi


yang paling efektif dan efisien untuk masalah atau desain untuk suatu proses.

32 Institut Teknologi Nasional


Teknik ini adalah salah satu alat kuantitatif utama dalam pengambilan
keputusan industri. Berbagai macam masalah dalam desain, konstruksi, operasi,
dan analisis pabrik kimia (serta banyak proses industri lainnya) dapat
diselesaikan dengan optimalisasi. Masalah khas dalam desain proses rekayasa
kimia atau operasi pabrik memiliki banyak solusi (mungkin jumlah tak
terbatas). Optimasi berkaitan dengan memilih yang terbaik di antara seluruh
yang ditetapkan dengan metode kuantitatif yang efisien. Komputer dan
perangkat lunak yang terkait membuat perhitungan yang diperlukan layak dan
hemat biaya.

Keadaan optimal untuk melakukan suatu proses biasanya ditentukan


setelah serangkaian eksperimen telah dilakukan dan serangkaian model empiris
telah diperoleh. Dalam banyak aplikasi rekayasa dan sains, percobaan
dilakukan dan model empiris dikembangkan dengan tujuan untuk
meningkatkan tanggapan yang baik. Dari sudut pandang matematika, tujuannya
adalah untuk menemukan kondisi operasi yang dapat memaksimalkan atau
meminimalkan variabel respon sistem. Dalam pengoptimalan eksperimental,
teknik pengoptimalan yang berbeda diterapkan pada persamaan respons yang
dipasang. Asalkan persamaan yang dipasang mendekati respon sistem yang
benar, kondisi operasi optimal dari model akan "dekat" dengan kondisi operasi
optimal dari sistem yang sebenarnya. Tujuan optimasi adalah untuk
menemukan nilai variabel dalam proses yang menghasilkan nilai terbaik dari
kriteria kinerja. Engineer bekerja untuk meningkatkan desain awal operasi dan
berusaha untuk meningkatkan pengoperasian peralatan setelah dipasang
sehingga dapat mewujudkan produksi terbesar, laba terbesar, biaya minimum,
penggunaan energi paling sedikit, dan lain-lain.

2.4.1 Metode Optimasi

Metode optimasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode Central
composite desain dan Box-behnken.

33 Institut Teknologi Nasional


1. Central Composite Design (CCD) adalah sebuah rancangan percobaan
yang terdiri dari rancangan 2k faktorial dengan ditambahkan beberapa
center runs dan axial run (star runs) [41]. CDC untuk k=2 dan k=3
secara visual ditunjukkan oleh Gambar 2.12

X
X2 3

X1
X
1

Gambar 2.12 Central Composite Design (CCD)


(Sumber : Google)

Elemen dari CDC adalah:


a. Rancangan 2k faktorial (Runs/Cube point) = nf, dimana k adalah
banyaknya faktor, yaitu percobaan pada titik (±1,±1….,±1)
b. Center Runs ( nc), yaitu percobaan pada titik pusat ( 0,0,..,0)
c. Star runs/Axial runs, yaitu percobaan pada titik-titik (α,0….,0),(-
α,0..,0), (0,α,…,0),(0,-α,..,0),….(0,0….,α) dan (0,0…,-α) dengan
menggunakan axial atau star point α yang nilainya ditentukan oleh
jumlah variabel faktor dan jenis CCD yang digunakan, dimana nilai

Titik-titik pada rancangan 2k faktorial digunakan untuk membentuk


model orde satu. Sedang penambahan center runs dan axial runs
digunakan untuk membentuk model orde dua.
Pada central composite design (CCD), agar kualitas dari prediksi
menjadi lebih baik, maka rancangannya selain memiliki sifat ortogonal

34 Institut Teknologi Nasional


juga harus rotatable. Suatu rancangan dikatakan rotatabel jika ragam dari
variabel respon yang diestimasi, ragam dari , merupakan fungsi dari x1
, x2 , …. xk yang hanya bergantung pada jarak dari pusat rancangan dan
tidak bergantung dari arahnya (letak titik percobaan). Dengan kata lain
ragam dari variabel respon yang diduga sama untuk semua titik asalkan
titik-titik tersebut memiliki jarak yang sama dari pusat rancangan
(center runs).

Salah satu perbedaan box-behnken design dengan central composite


design adalah pada box-behnken tidak ada axial/star runs pada
rancangannya. Tidak adanya axial/star runs ini menyebabkan box-
behnken lebih efisien dalam rancangan, karena melibatkan lebih sedikit
unit percobaan. Pada dasarnya box- behnken dibentuk berdasarkan
kombinasi rancangan 2k dengan incomplete block design dengan
menambahkan center run pada rancangannya [42]. Gambar 2.13
merupakan visual untuk rancangan box-behnken dengan 3 faktor.

Gambar 2.13 Box-Behnken untuk tiga faktor

(Sumber : Google)

Pada Tabel 2 menunjukkan perbedaan titik perlakuan antara center


composite design dengan box-behnken design untuk 3 faktor. Perbedaan
yang nampak pada tabel tersebut adalah dari segi titik perlakuan dan juga
jumlah perlakuan yang diberikan [43].

35 Institut Teknologi Nasional


Tabel 2.2 Contoh perbedaan Center Composite Design (CCD) dengan Box-
Behnken untuk tiga faktor

CCD Box-Behnken
Jumlah
X1 X2 X3 Jumlah Ulangan X1 X2 X3
Ulangan
1 -1 -1 -1 1 -1 -1 0
1 +1 -1 -1 1 +1 -1 0
1 -1 +1 -1 1 -1 +1 0
1 +1 +1 -1 1 +1 +1 0
1 -1 -1 +1 1 -1 0 -1
1 +1 -1 +1 1 +1 0 -1
1 -1 +1 +1 1 -1 0 +1
1 +1 +1 +1 1 +1 0 +1
1 -1.682 0 0 1 0 -1 -1
1 1.682 0 0 1 0 +1 -1
1 0 -1.682 0 1 0 -1 +1
1 0 1.682 0 1 0 +1 +1
1 0 0 -1.682 3 0 0 0
1 0 0 1.682
6 0 0 0
TOTAL RUN = 20 TOTAL RUN = 15

Rancangan box-behnken hanya dapat diterapkan pada percobaan yang


memiliki minimal 3 faktor, dengan elemen penyusunnya sebagai berikut:
a. Rancangan 2k faktorial incomplete block design, dimana k adalah
banyaknya faktor, yaitu percobaan pada titik (0,±1….,±1), (±1,0….,±1),
(±1,±1….,0)
b. Center Runs ( nc), yaitu percobaan pada titik pusat ( 0,0,..,0), dimana
jumlah Center Runs minimal 3 untuk berbagai jumlah faktor k

36 Institut Teknologi Nasional


2.4.2 Analysis of Varians (ANOVA)

Analysis Of Varians (ANOVA) adalah metode statistik yang digunakan


untuk menguji perbedaan antara dua atau lebih variable. Penggunaan ANOVA
tergantung pada desain penelitian. Beberapa asumsi dasar yang harus dipenuhi
pada uji ANOVA adalah :

1. Data sampel yang digunakan berdistribusi normal atau dianggap normal


2. Populasi tersebut memiliki varian yang homogen
3. Sampel tidak berhubungan satu dengan yang lain (independen), sehingga uji
ANOVA tidak bisa digunakan untuk sampel berpasangan (paired)

Terdapat beberapa jenis ANOVA, yaitu: ANOVA satu jalur (one way
ANOVA) dan ANOVA dua jalur (two way ANOVA). One way ANOVA
digunakan untuk menguji hipotesis komparatif rata-rata k sampel, bila pada
setiap sampel hanya terdiri atas satu kategori. Sedang two way ANOVA
digunakan untuk menguji hipotesis komparatif rata-rata k sampel bila peneliti
melakukan kategorisasi terhadap sampel.

2.4.3 Response Surface Methodology (RSM)

Respon Surface Methodology (RSM) adalah kumpulan matematika dan


statistic teknik untuk membangun model empiris. Tujuannya adalah untuk
mengoptimalkan respon (variable output) yang dipengaruhi oleh beberapa
variable bebas (variable input). Penerapan RSM salah satunya ditujukan untuk
mengurangi biaya metode analisis yang mahal. Umumnya struktur hubungan
antara respon dan variabel bebas tidak diketahui. Langkah pertama dalam RSM
adalah menemukan pendekatan yang sesuai dengan hubungan yang benar [42].

Aspek paling penting dari RSM adalah desain eksperimen, biasanya


disingkat sebagai DoE. Tujuan DoE adalah pemilihan titik-titik dimana respons
harus dievaluasi. Umumnya, model matematika ini polynomial, dengan struktur

37 Institut Teknologi Nasional


yang tidak diketahui, sehingga eksperimen yang sesuai dirancang hanya untuk
setiap masalah tertentu. Pemilihan desain eksperimen dapat memiliki pengaruh
besar pada akurasi pendekatan dan biaya membangun perrmukaan respon.
Dalam DoE tradisional, percobaan skrining dilakukan pada tahap awal proses
untuk melihat kemungkinan banyaknya variable desain yang memiliki sedikit
pengaruh atau tidak berpengaruh pada respon. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi desain variable yang memiliki efek besar untuk penyelidikan
lebih lanjut. Gambar 2.14 menunjukkan contoh hasil dari penggunaan software
Matlab untuk melihat penggambaran surface respons dari suatu persamaan
polinomial. Gambar tersebut memiliki titik puncak yaitu pada titik A. Titik A
tersebut merupakan titik optimum yang didapatkan dari faktor X1 dan X2.

Gambar 2.14 Surface Response

(Sumber : Google)

38 Institut Teknologi Nasional


2.4.4 Pareto Chart

Dalam aplikasinya, Diagram Pareto atau sering disebut juga dengan


Pareto Chart ini sangat bermanfaat dalam menentukan dan mengidentifikasi
prioritas permasalahan yang akan diselesaikan. Dengan cara ini, grafik secara
visual menggambarkan situasi mana yang lebih signifikan.

Pareto chart digunakan ketika:

1. Analisis data tentang frekuensi masalah atau penyebab dalam suatu proses.
2. Ketika terdapat banyak masalah atau sebab dan ingin difokuskan pada
masalah yang paling signifikan.
3. Analisis penyebab yang luas dengan melihat komponen yang spesifik.

Cara membuat pareto chart yaitu:

1. Tentukan kategori apa yang akan digunakan untuk mengelompokkan item.


2. Tentukan pengukuran yang tepat. Pengukuran yang umum adalah frekuensi,
kuantitas, biaya dan waktu.
3. Tentukan periode waktu
4. Kumpulkan data, catat kategori setiap kali. Atau mengumpulkan data yang
sudah ada.
5. Subtotal pengukuran untuk setiap kategori
6. Tentukan skala yang tepat untuk pengukuran yang telah dikumpulkan. Nilai
maksimum akan menjadi subtotal terbesar dari langkah 5. (Jika Anda akan
melakukan langkah opsional 8 dan 9 di bawah ini, nilai maksimumnya
adalah jumlah semua subtotal dari langkah 5.) Tandai skala di sisi kiri
bagan.
7. Buat dan beri label untuk setiap kategori. Tempatkan yang tertinggi di
paling kiri, lalu yang paling tinggi di sebelah kanan dan seterusnya. Jika ada
banyak kategori dengan ukuran kecil, mereka dapat dikelompokkan sebagai
"lainnya." Langkah 8 dan 9 bersifat opsional tetapi berguna untuk analisis
dan komunikasi.

39 Institut Teknologi Nasional


8. Hitung persentase untuk setiap kategori: subtotal untuk kategori itu dibagi
dengan total untuk semua kategori. Gambarkan sumbu vertikal kanan dan
beri label dengan persentase. Pastikan kedua sisik tersebut sesuai: Misalnya,
pengukuran kiri yang sesuai dengan setengahnya harus tepat berlawanan
50% pada skala yang tepat
9. Hitung dan gambarkan jumlah kumulatif: Tambahkan subtotal untuk
kategori pertama dan kedua, dan tempatkan titik di atas bar kedua yang
menunjukkan jumlah tersebut. Untuk jumlah tersebut, tambahkan subtotal
untuk kategori ketiga, dan tempatkan titik di atas bilah ketiga untuk jumlah
baru tersebut. Lanjutkan proses untuk semua bilah. Hubungkan titik-titiknya,
mulai dari bagian atas bilah pertama. Titik terakhir harus mencapai 100
persen pada skala yang tepa

Gambar 2.15 Pareto Chart


(Sumber : Google)

Gambar 2.15 menunjukkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi


jalannya suatu proses. Dalam proses tersebut terdapat faktor A, B, C, D, E,
interaksi B dan C, juga interaksi B dan E. Faktor B dan C merupakan faktor
yang mempengaruhi jalannya proses. Sedangkan faktor lainnya tidak terlalu

40 Institut Teknologi Nasional


mempengaruhi jalannya proses. Dengan demikian, pada saat tahap optimasi
akan dilakukan, maka perlu adanya analisis pada faktor B dan C untuk
mendapatkan kondisi proses yang mendekati kondisi optimumnya. Sedangkan
faktor-faktor lainnya dapat diabaikan karena memberikan pengaruh yang kecil
pada jalannya proses.

41 Institut Teknologi Nasional

Anda mungkin juga menyukai