Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi nanoteknologi didasarkan pada kata awal "nano" dari bahasa Yunani yang
berarti "kerdil". Dalam istilah yang lebih teknis, kata "nano" berarti 10-9 atau sepermilyar.
Nanoteknologi tidak selalu teknologi baru untuk desain, proses dan penggunaan material
pada skala nanometer. Kata nanoteknologi umumnya digunakan ketika mengacu pada bahan-
bahan dengan ukuran 1 sampai 100 nanometer (Greiner 2009). Teknologi nano adalah suatu
desain, karakterisasi, produksi dan penerapan struktur, perangkat dan sistem dengan
mengontrol bentuk dan ukuran pada skala nanometer (Park 2007).

Pertama kali konsep nanoteknologi diperkenalkan oleh Richard Feynman pada sebuah
pidato ilmiah yang diselenggarakan oleh American Physical Society di California Institute of
Technology tahun 1959 dengan judul “There‟s Plenty of Room at the Bottom”. Richard
Feynman adalah seorang ahli fisika dan pada tahun 1965 memenangkan hadiah Nobel dalam
bidang fisika. Istilah nanoteknologi pertama kali diresmikan oleh Prof. Norio Taniguchi dari
Tokyo Science University tahun 1974 dalam makalahnya yang berjudul “On the Basic
Concept of Nano-Technology”. Pada tahun 1980 definisi nanoteknologi dieksplorasi lebih
jauh lagi oleh Dr. Eric Drexler melalui bukunya yang berjudul “Engines of Creation: The
coming Era of Nanotechnology” (Toumey 2008).

Nanoteknologi didasarkan pada partikel yang ukurannya kurang dari 100 nanometer
untuk membangun sifat dan perilaku baru dari struktur nano tersebut (Poole dan Owens
2003). Nanoteknologi meliputi penerapan ilmu pengetahuan dan rekayasa pada skala atom.
Hal ini melibatkan konstruksi struktur kecil dan perangkat dengan memanipulasi masing-
masing molekul dan atom yang memiliki sifat unik dan kuat. Struktur ini dapat digunakan
dalam bidang kedokteran dan bioteknologi; energi dan lingkungan; dan telekomunikasi
(Einsiedel 2005).

Aplikasi nanoteknologi di sektor pangan meliputi peningkatan rasa, warna, flavor,


tekstur dan konsistensi produk makanan, meningkatkan penyerapan serta bioavailabilitas
nutrisi dan senyawa bioaktif (Greiner 2009). Pada bidang elektronik, teknologi nano
diaplikasikan untuk membuat komputer yang lebih cepat dan powerfull, kamera digital, cell
phone, liquid crystal display (LCD), light emiting dioda (LED). Pada industri otomotif,
teknologi nano telah digunakan untuk mengisi lubang-lubang yang sangat kecil secara lebih
efektif sehingga mobil menjadi lebih mengkilat catnya (Chasanah 2007).

2.1 Pembuatan Nanopartikel

Nanopartikel dapat diproduksi dengan berbagai metode, diantaranya sintesis plasma,


wet-phase processing, presipitasi kimia, sol-gel processing, pengolahan mekanik, sintesis
mechanicochemical, high-energy ball milling, chemical vapour deposition dan ablasi laser
(Park 2007). Beberapa metode untuk sintesis nanopartikel adalah co-precipitation,
ultrasound irradiation, elektrokimia, dan sintesis hidrotermal (Kosa et al. 2009). Penelitian
Sun et al. (2010) berhasil membuat nanopartikel kalsium menggunakan teknik spray drying
dengan penggunaan two-liquid nozzle.

Ada dua metode yang dapat digunakan dalam sintesis nanomaterial, yaitu secara top
down dan bottom up. Top down merupakan pembuatan struktur nano dengan memperkecil
material yang besar, sedangkan bottom-up merupakan cara merangkai atom atau molekul dan
menggabungkannya melalui reaksi kimia untuk membentuk nano struktur (Greiner 2009).
Contoh metode top down adalah penggerusan dengan alat milling, sedangkan teknologi
bottom up yaitu menggunakan teknik sol-gel, presipitasi kimia, dan aglomerasi fasa gas
(Dutta dan Hofmann 2005). Sintesis nanopartikel dengan metode top down dan bottom up
dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Teknis sintesis nanopartikel top-down dan bottom-up (Dutta dan Hofmann
2005)
Teknologi bottom up dimulai dengan molekul dan bahan aktif yang dilarutkan dengan
pelarut organik kemudian pelarut dihilangkan. Teknologi top down menggunakan berbagai
jenis penggilingan dan teknik homogenisasi. Teknologi top down lebih populer dibandingkan
teknologi bottom up. Top down dikenal sebagai "nanosizing", dalam kata lain top down
adalah proses yang memecah kristal partikel besar menjadi potongan-potongan kecil (Gulsun
et al. 2009).

Metode presipitasi merupakan teknik pendekatan bottom up. Metode presipitasi


dilakukan dengan cara zat aktif dilarutkan ke dalam pelarut, lalu ditambahkan larutan lain
yang bukan pelarut (anti-solvent), hal ini menyebabkan larutan menjadi jenuh dan terjadi
nukleasi yang cepat sehingga membentuk nanopartikel (Kenth 2009). Kelebihan metode ini
adalah sederhana dan biaya rendah (Gulsun et al. 2009). Kelemahan metode ini adalah
nanopartikel yang terbentuk harus distabilisasi untuk mencegah timbulnya kristal berukuran
mikro (Kenth 2009).

Salah satu metode presipitasi yang pertama adalah teknologi pembuatan hydrosol.
Teknologi ini dikembangkan oleh Sucker pada tahun 1988 dan merupakan hak cipta milik
Sandoz (sekarang bernama Novartis). Teknologi ini sesungguhnya merupakan metode
presipitasi klasik yang dikenal sebagai “via humida paratum”. Pada metode ini, zat aktif
dilarutkan ke dalam pelarut, lalu larutan tersebut dimasukkan ke dalam larutan lain yang
bukan pelarut zat aktif tersebut sehingga menghasilkan presipitasi zat aktif yang halus
(Junghans dan Muller 2008).

Menurut Haskell (2005), metode presipitasi dilakukan dengan mengendalikan


kelarutan bahan di dalam larutan melalui perubahan pH, suhu, atau pelarut. Endapan yang
dihasilkan dari kondisi sangat jenuh memiliki banyak partikel berukuran kecil. Kelebihan
metode ini adalah dapat menghasilkan partikel lebih kecil dari 100 nm dan pemakaian energi
sangat rendah.

Dua metode di atas pada umumnya dilakukan melaui 3 sub metode sebagai berikut:

1. Sintesis secara Fisika

Sintesis nanopartikel secara Fisika biasanya dilakukan dengan melalui evaporasi


maupun kondensasi (Abou El-Nour dkk., 2010) dan laser (Horikoshi dan Serpone 2013).
2. Sintesis secara Biologi

Sintesis nanopartikel secara Biologi dilakukan dengan bantuan makhluk hidup


misalnya mikroorganisme maupun organisme seperti bakteri (contohnya Pseudomonas
stutzer), fungi (contohnya F.Oxysporum), dan ekstrak tumbuhan. Sebagai contohnya,
Landage dkk., telah melakukan penelitian dengan menggunakan ekstrak alga hijau
(Chlorella vulgaris) dalam mensintesis nanopartikel perak pada suhu ruang, protein pada
ekstrak alga tersebut berperan sebagai agen pereduksi dan pengontrol bentuk nanopartikel
yang dihasilkan (Landage dkk., 2014).

3. Sintesis secara Kimia

Sintesis nanopartikel secara kimia dilakukan dengan bantuan agen pereduksi kimia
seperti borohidrat (NaBH4), hidrazin (N2H4), dan formaldehid. Pereduksi tersebut dapat
berupa pereduksi kuat maupun lemah. Pereduksi kuat menghasilkan nanopartikel dengan
ukuran kecil sedangkan pereduksi lemah akan menghasilkan nanopartikel dengan ukuran
lebih besar (Landage dkk., 2014).

Seperti yang telah disebutkan di atas, sintesis nanopartikel dapat dilakukan dalam
medium dengan fasa gas maupun fasa cair. Dalam fasa gas contohnya dilakukan dengan
pirolisis sedangkan dalam fasa cair contohnya dilakukan dengan menggunakan mikroemulsi
(Iskandar, 2009). Dalam sintesis nanopartikel dengan menggunakan mikroemulsi,
mikroemulsi berperan sebagai mikroreaktor/nanoreaktor (Pan, 2010). Meskipun demikian,
terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan secara umum untuk menentukan metode
yang sesuai guna mendapatkan nanopartikel yang diinginkan, diantaranya:

• Ukuran dan komposisi partikel yang diinginkan

• Stabilitas fisik dan struktur partikel

• Adanya kemungkinan peningkatan produksi

• Biaya yang diperlukan

(Horikoshi dan Serpone, 2013)


2.2 Mikroemulsi

Mikroemulsi telah dipelajari secara luas untuk meningkatkan ketersediaan hayati dari
obat yang kelarutannya buruk. Mikroemulsi memiliki tegangan muka yang sangat rendah dan
ukuran droplet nya kecil, yang mana menghasilkan absorbsi dan permeasi tinggi. Formulasi
mikroemulsi membuat ketersediaan hayati dan profil konsentrasi plasma obat lebih
reprodusibel, yang mana secara klinis sangat penting dalam kasus obat yang memunculkan
efek samping serius. Hal ini merupakan kemajuan langkah yang sangat signifikan dalam
penghantaran obat berkelarutan buruk.

Mikroemulsi bersifat isotropik, sistem air, minyak, dan surfaktan yang stabil
transparan (tembus cahaya) secara termodinamika, seringkali dikombinasikan dengan
kosurfaktan, membentuk droplet yang ukurannya berkisar 20 – 200 nm. Sistem ini homogen,
dapat dipreparasi dengan konsentrasi surfaktan dan perbandingan air-minyak beragam
menghasilkan aliran dengan viskositas rendah.

Gambar 2.2 Struktur Mikroemulsi

Mikroemulsi sebagai sarana penghantaran obat memperlihatkan sifat-sifat yang baik,


seperti stabilitas termodinamika (waktu penyimpanan lama), pembentukannya mudah
(tegangan antarmuka nol dan pembentukkannya mendekati spontan), isotropik, dapat
disterilisasi dengan filtrasi, daerah permukaan luas (kapasitas kelarutan tinggi), dan ukuran
droplet sangat kecil. Mikroemulsi sangat mudah untuk diberikan kepada anak-anak dan orang
yang mengalami kesulitan menelan bentuk sediaan padat.

Self Microemulsifying Drug Delivery System (SMEDDS) merupakan sistem


mikroemulsi anhidrat. Hal tersebut juga dapat dimaksudkan sebagai mikroemulsi pro
konsentrat oleh beberapa peneliti. SMEDDS tersusun atas minyak, surfaktan, dan
kosurfaktan, memiliki kemampuan layaknya mikroemulsi minyak dalam air ketika
didispersikan dalam fase air melalui agitasi. Agitasi dibutuhkan supaya SMEDDS sampai ke
perut dan mengalami motilitas oleh usus. Droplet ukuran nano memiliki permukaan sangat
luas dibanding volumenya, yang dapat melarutkan obat secara efisien. Obat yang dilepaskan
dalam pola yang lebih reprodusibel tidak akan bergantung pada keadaaan GI.

Mikroemulsi merupakan sistem dinamis yang antarmukanya berfluktuasi secara


spontan dan terus menerus. Menurut strukturnya, mikroemulsi dibagi menjadi minyak dalam
air (m/a), air dalam minyak (a/m), dan mikroemulsi bikontinyu. Dalam mikroemulsi a/m,
droplet air didispersikan dalam fase kontinyu minyak, sementara mikroemulsi m/a terbentuk
saat droplet minya didispersikan dalam fase kontinyu air. Dalam sistem dimana jumlah
minyak sebanding dengan jumlah air, mikroemulsi bikontinyu akan dihasilkan. Pada semua
tipe emulsi, antar permukaan fase distabilkan oleh kombinasi surfaktan dan/atau kosurfaktan.
Campuran antara minyak, air, dan surfaktan dapat membentuk bermacam struktur dan fase,
bergantung dari proporsi tiap komponen. Fleksibilitas lapisan surfaktan merupakan faktor
penting untuk diperhatikan. Lapisan surfaktan yang fleksibel dapat memperlebar beberapa hal
yang berkenaan dengan struktur, misalnya bentuk, agregat, dan struktur bikontinyu, sehingga
meningkatkan area mikroemulsi. Lapisan surfaktan yang sangat kaku tidak memungkinkan
adanya struktur bikontinyu sehingga akan menghalangi daerah emulsi.

Gambar 2.3 Mikroemulsi o/w, w/o, dan Bikontinyu


Sebagai sistem penghantaran obat, mikroemulsi memiliki beberapa keuntungan dan
kekurangan sebagai berikut:

1. Keuntungan,
a. Mikroemulsi merupakan sistem yang stabil secara termodinamika dan
stabilitasnya menyebabkan swaemulsifikasi sistem, dimana sifat-sifatnya tidak
bergantung pada proses yang dilalui.
b. Mikroemulsi bertindak sebagai pelarut obat super. Mikroemulsi dapat melarutkan
obat hidrofilik dan lipofilik, termasuk obat yang relatif tidak larut dalam air dan
pelarut hidrofobik. Hal ini disebabkan adanya polaritas berbeda pada daerah
mikro dalam satu fase solusio.
c. Fase terdispersi, lipofilik ataupun hidrofilik, dapat menjadi penampung potensial
untuk obat yang hidrofilik maupun lipofilik. Obat dipartisi di antara fase
terdispersi dan fase kontinyu, yang mana bila terjadi kontak antara sistem dengan
membran semi permeabel, obat akan ditransportasikan menembus pelindung.
d. Diameter rata-rata droplet mikromemulsi berada di bawah ukuran 220 nm
sehingga dapat disterilisasi dengan filtrasi.
e. Sama-sama dapat membawa obat yang lipofilik ataupun hidrofilik.
f. Mikroemulsi mudah dipreparasi karena stabil secara termodinamika dan tidak
membutuhkan kontribusi energi yang terlalu banyak selama preparasi.
g. Mikroemulsi memiliki viskositas yang rendah bila dibandingkan emulsi lain.
h. Penggunaan mikroemulsi sebagai sistem panghantaran dapat meningkatkan
efikasi obat, termasuk mengurangi jumlah dosis dan meminimalkan efek samping
obat.
i. Pembentukan mikroemulsi bersifat reversibel. Mikroemulsi tidak stabil pada
temperatur rendah atau tinggi. Namun, ketika temperatur kembali pada kisaran
stabilitasnya, mikroemulsi akan terbentuk kembali.

2. Kekurangan,
a. Menggunakan surfaktan dan kosurfaktan dalam konsentrasi tinggi untuk
menyetabilkan nanodroplet.
b. Kapasitas melarut yang terbatas untuk zat-zat yang mudah melebur.
c. Surfaktan tidak boleh toksik untuk aplikasi farmasetik
d. Stabilitas mikroemulsi dipengaruhi oleh parameter lingkungan, macam ph dan
temperatur. Parameter tersebut dapat berubah-ubah selama penyampaian
mikroemulsi kepada pasien.

Secara umum, perbedaan mikroemulsi dengan emulsi (makroemulsi) adalah sebagai


berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan Mikroemulsi dan Emulsi

No. Sifat Mikroemulsi Emulsi


1 Penampakan Transparan (tembus cahaya) Berkabut (putih) karena ukuran
karena diameter dropletnya dropletnya lebih besar dibanding
kurang dari 1/4 panjang panjang gelombang cahaya dan
gelombang cahaya. Dapat hampir semua minyak memiliki
menghamburkan cahaya indeks refraktif lebih besar
dibandingkan air
2 Isotropi optis Isotropik Anisotropik
3 Tengangan Sangat rendah Tinggi
antarmuka
4 Struktur Dinamis (antarmuka Statis
mikro berfluktuasi secara spontan dan
terus menerus)
5 Ukuran 20 – 200 nm > 500 nm
droplet
6 Stabilitas Stabil secara termodinamika, Secara termodinamika tidak stabil
waktu penyimpanan lama (stabil secara kinetik, terkadang fase
memisah)
7 Fase Monofasik Bifasik
8 Preparasi Preparasi mudah, relatif lebih Membutuhkan energi besar, harga
murah untuk produksi lebih mahal
komersial
9 Viskositas Viskositas rendah Viskositas lebih tinggi
Selama preparasi mikroemulsi, terdapat tiga kondisi yang penting yang perlu
diperhatikan, yakni:

1. Surfaktan harus dipilih secara hati-hati untuk menghasilkan tegangan antarmuka


yang amat rendah (< 10-3 mN/m) pada antarmuka minyak atau air. Hal tersebut
merupakan kebutuhan mendasar untuk memproduksi mikroemulsi.
2. Konsentrasi surfaktan harus cukup tinggi untuk menyediakan sejumlah surfaktan
yang dibutuhkan dalam menyetabilkan mikrodroplet sehingga dapat menghasilkan
tegangan antarmuka yang sangat rendah.
3. Antarmuka atau aliran harus cukup fleksibel memebentuk formasi mikroemulsi.

Formulasi mikroemulsi memberikan sejumlah keuntungan dibanding formulasi oral


lainnya untuk pemberian obat secara oral, yang meliputi peningkatan absorbsi, perbaikan
potensi klinis, dan penurunan toksisitas obat. Mikroemulsi dilaporkan telah menjadi sistem
penghantaran obat yang ideal, untuk steroid, hormon, diuretik, dan antibiotik.

Obat farmasetik peptida dan protein sangat poten dan spesifik dalam fungsi
fisiologisnya. Meskipun begitu, pemberiannya secara oral sangat sulit. Pemberian oral secara
konvensional (tidak berdasarkan mikroemulsi) hanya menghasilkan ketersediaan hayai
kurang dari 10% sehingga umumnya tidak aktif secara terapetik bila diberikan secara oral.
Akibat hal tersebut, sebagian besar obat protein hanya tersedia dalam bentuk parenteral.
Meskipun begitu, obat peptida memiliki waktu paruh biologis yang sangat kecil bila
diberikan secara parenteral sehingga perlu diberikan dalam dosis ganda.

2.2.1 Surfaktan

Surfaktan atau surface active agent adalah molekul-molekul yang mengandung gugus
hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak/lemak) pada molekul yang sama (Sheat dan
Foster, 1997). Surfaktan terbagi menjadi dua bagian yaitu kepala dan ekor. Gugus hidrofilik
berada di bagian kepala (polar) dan lipofilik di bagia ekor (non polar). Bagian polar molekul
surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Umumnya bagian non polar (lipofilik)
adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik)
mengandung gugus hidroksil. Molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Molekul Surfaktan

Sifat-sifat surfaktan adalah dapat menurunkan tegangan permukaan, tegangan antar


muka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formulasinya
baik itu oil in water (o/w) atau water in oil (w/o). Selain itu surfaktan juga akan terserap ke
dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau
menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Sifat-
sifat ini dapat diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya.

Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan


permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan konstan
walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan melebihi
konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya
misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun
hingga CMC tercapai. Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang
menunjukkan bahwa antar muka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam
keseimbangan dinamis dengan monomernya (Hui, 1996).

Berdasarkan muatannya surfaktan dibagi menjadi empat golongan yaitu:

1. Surfaktan anionic, yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup
besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat Contohnya surfaktan anionik
diantaranya linier alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol ester sulfat
(AES), alfa olein sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonat, SAS) dan metil
ester sulfonat (MES).
2. Surfaktan kationik, yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation.
Surfaktan jenis ini memecah dalam media cair, dengan bagian kepala surfaktan
kationik bertindak sebagai pembawa sifat aktif permukaan. Contohnya garam alkil
trimethil ammonium, garam dialkil dimethil ammonium dan garam alkil dimethil
benzil ammonium.
3. Surfaktan nonionik, yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserol asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam
lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina,
dialkanol amina dan alkil amina oksida.
4. Surfaktan amfoter, yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan positif
dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain, fosfobetain.

Aplikasi surfaktan pada industri tergantung pada proses pembuatan produk dan
karakteristik surfaktan serta produk akhir yang diinginkan. Peranan surfaktan yang berbeda –
beda dikarenakan struktur molekulnya yang tidak seimbang, Molekul surfaktan dapat
divisualisasikan seperti berudu yang memiliki kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat
hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat
hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion,
kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon.
Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat sufraktan memiliki fungsi yang beragam di
industri (Hui, 1996).

Kelompok terbesar dalam jumlah pemakaian adalah surfaktan anionik. Surfaktan jenis
ini banyak diaplikasikan dalam hal pencucian dan pembersihan. Persentase surfaktan dapat
dilihat pada grafik berikut.

Gambar 2.5 Grafik Persentase Penggunaan Surfaktan


Dari grafik tersebut terlihat bahwa surfaktan anionics berwarna biru muda mencapai
57% merupakan jumlah surfaktan yang paling banyak pemakaiannya, kemudian untuk
surfaktan non ionics berwarna hijau sebanyak 40%, surfaktan cationics berwarna merah
sebesar 2% serta penggunaan surfaktan amphoteric berwarna kuning yang paling kecil yaitu
1% (Nordic Sepawa, 2007).

Aplikasi surfaktan sangat luas. Beberapa contoh aplikasi surfaktan antara lain bahan
utama untuk industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan emulsifier pada industri kosmetik
dan farmasi, bahan emulsifier untuk sanitasi industri pangan. Selain itu surfaktan juga
digunakan untuk Enchance Oil Recovery (EOR). EOR adalah metode yang digunakan untuk
meningkatkan recovery minyak bumi dengan melibatkan penginjeksian material biasanya
menggunakan injeksi gas tercampur, bahan kimia (chemical) ataupun thermal energy untuk
mengubah karakteristik reservoir sehingga minyak yang diperoleh lebih besar dibandingkan
sebelumnya (Supriningsih, 2010). Salah satu material tersebut ialah surfaktan.

Surfaktan memegang peranan penting di dalam proses Enhanced Oil Recovery (EOR)
dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, mengubah kebasahan (wettability), bersifat
sebagai emulsifier, menurunkan viskositas dan menstabilkan dispersi sehingga akan
memudahkan proses pengaliran minyak bumi dari reservoir untuk di produksi. Minyak yang
terjebak di dalam pori-pori batuan disebut blobs atau ganglia. Untuk mendorong ganglia
maka gaya kapilaritas dalam pori-pori harus diturunkan yakni dengan cara menurunkan nilai
IFT (Interfacial Tension) antara minyak sisa dengan brine di dalam reservoir. Surfaktan
mampu menurunkan IFT dan menurunkan saturasi minyak.

Hal yang penting dalam proses penggunaan surfaktan untuk menghasilkan perolehan
(recovery) minyak yang tinggi adalah: (a) memiliki IFT yang sangat rendah (minimal 10-3
dyne/cm) antara chemical bank dan residual oil dan antara chemical bank dan drive fluid, (b)
memiliki kecocokan/kompatibiliti dengan air formasi dan kestabilan terhadap temperatur, (c)
memiliki mobility control dan (d) kelayakan ekonomis proses (Roberts, 1998).

Metode EOR telah umum diterapkan di negara lain, namun penerapan di Indonesia
masih terkendala karena ketidaksesuaian antara air formasi dan batuan formasi dari sumur
minyak di Indonesia dengan surfaktan komersial yang berbasis minyak bumi yang bila
digunakan menyebabkan terjadinya penggumpalan dan menimbulkan gangguan pada sumur
produksi. Hal ini menjadi peluang untuk dikembangkan jenis surfaktan berbasis nabati atau
sawit yaitu MES yang sesuai untuk sumur minyak bumi di Indonesia.
2.2.2 Formulasi Mikroemulsi

Mikroemulsi pada umumnya terdiri dari empat komponen yang berbeda - beda yaitu
fase lipofilik, fase hidrofilik, surfaktan dan ko-surfaktan (Scriven, 1976). Sifat dari komponen
ini dapat berupa seperti minyak, surfaktan, ko-surfaktan dan air, serta suhu dan tekanan yang
dapat mempengaruhi sistem mikroemulsi yang dapat dikenal sebagai variabel formulasi.
Perbedaan jumlah zat yang berkaitan juga cenderung akan mengubah sifat mikroemulsi, dan
disebut sebagai variabel komposisi yang dapat dinyatakan sebagai berat, persentase atau
proporsi (Salager, 2000).

Agar mikroemulsi mencapai tegangan antarmuka rendah dan kemampuan melarutkan


dengan baik, mikroemulsi perlu dirumuskan secara akurat. Pembentukan mikroemulsi
bergantung pada faktor-faktor seperti: (1) rasio minyak / surfaktan dan surfaktan / ko-
surfaktan; (2) sifat dan konsentrasi minyak, surfaktan, ko-surfaktan dan fasa air; (3) pH; (4)
suhu; dan (5) hidrofilisitas / lipofilisitas polaritas (Bolzinger, 1998: Salager, 2000). Faktor-
faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam perumusan mikroemulsi. Untuk mempelajari
perilaku fase sistem mikroemulsi sederhana yang terdiri dari surfaktan, minyak dan air pada
diagram fase terberat tekanan dan suhu terner digunakan. Setiap sudut diagram fase terner
mewakili konsentrasi 100% komponen tertentu. Bila empat atau lebih komponen digunakan
diagram fase semu-terner digunakan untuk menggambarkan sistem di mana masing-masing
sudut mewakili campuran biner dari dua komponen seperti surfaktan / ko-surfaktan, surfaktan
/ air, minyak, dan campuran air. Diagram fase terner yang khas ditunjukkan pada Gambar 2.6
(Shaji, 2004).

Gambar 2.6 Diagram Fasa Terner pada Perbedaan Fasa

Sumber: (Shaji, 2004).


2.2.3 Klasifikasi Mikroemulsi Tipe Winsor dan Diagram Fasa dalam Mikroemulsi
Winsor mengklasifikasikan mikroemulsi dapat terbagi menjadi 4 tipe yaitu sebagai
berikut:
a. Winsor tipe I, sistem terdiri dari dua fasa, bagian atas merupakan fasa minyak dan
bagian bawah merupakan fasa oil in water.
b. Winsor tipe II, sistem terdiri dari dua fasa, bagian bawah merupakan fasa air dan
bagian atas merupakan fasa water in oil.
c. Winsor tipe III, sistem terdiri dari tiga fasa yaitu fasa minyak, fasa tengah (terdiri dari
minyak, surfaktan, dan air), serta fasa air.
d. Winsor tipe IV, sistem terdiri dari satu fasa yang mengandung minyak, surfaktan dan
air.

Gambar 2.7 Klasifikasi mikroemulsi tipe Winsor, (A) Winsor Tipe I; (B) Winsor Tipe II; (C)
Winsor Tipe III; (D) Winsor Tipe IV (Sumber : Mehta dan Kaur, 2011)

Untuk mendapatkan mikroemulsi dengan ukuran droplet yang kecil pada suhu ruang,
maka perlu dilakukan penentuan terhadap komposisi yang digunakan. Karena pada
prinsipnya, sintesis nanopartikel dengan mikroemulsi ini memanfaatkan perubahan
temperatur untuk mendestabilisasi struktur mikroemulsi sehingga nanopartikel yang terdapat
di dalamnya dapat keluar dan menempel pada material support (Parapat dkk., 2013).
Di dalam sistem fasa tiga komponen ,dimana untuk menunjukan daerah mana yang
perbedaan fasa nya ada dalam sistem tersebut maka digunakan diagram fasa yang
digambarkan dalam fish diagram pada fraksi berat minyak konstan αdalam campuran minyak
dan air.
𝑚𝐵
𝛼=𝑚 (2.1)
𝐴 +𝑚𝐵

dimana 𝑚𝐴 dan 𝑚𝐵 merupakan massa air (A) dan massa minyak (B).
Rangkaian fasa ditentukan dalam fungsi temperatur dan fungsi massa surfaktan (𝛾)

𝑚𝐶
𝛾=𝑚 (2.2)
𝐴 +𝑚𝐵 +𝑚𝐶

dimana 𝑚𝐴, 𝑚𝐵, 𝑚𝐶 merupakan massa air (A), massa minyak (B) dan massa surfaktan (C)
(Klemmer. 2013:11).
Jika yang digunakan adalah campuran surfaktan (C dan D) , maka untuk salah satu
surfaktan dinyatakan dalam bentuk (Kramer. 2008)

𝑚𝐷
𝛿=𝑚 (2.3)
𝐶 +𝑚𝐷

Pada diagram fase menggambarkan wilayah tiga fasa yang mengambang seperti
“ikan” dan daerah satu-fasa membentuk “ekor” ikan. Dalam potongan ikan diagram 3 fasa
memanjang dari 𝑇1 dan 𝑇𝑢. 𝑇1 dan 𝑇𝑢 adalah yang suhu terendah dan tertinggi di mana 3 fasa
dapat muncul. Suhu (T) di mana "tubuh ikan" berpotongan "ekor ikan" disebut suhu fasa
inversi (PIT) atau titik tricritical.
Gambaran skema dari T(γ)-section digambarkan dalam Gambar 2.8. Untuk fraksi
massa surfaktan dibawah γ0 fasa minyak dan air tidak terstruktur termasuk molekul monomer
surfaktan terlarut berdampingan selama rentang temperatur keseluruhan dengan surfaktan
monomer menyerap pada antarmuka makroskopik sampai jenuh.
Setelah tercapai γ0 antarmuka jenuh dan surfaktan berlebih larut dalam fasa air pada
temperatur rendah dan fasa minyak pada temperatur tinggi membentuk agregat
mengakibatkan mikroemulsi minyak dalam air berdampingan dengan fasa minyak berlebih
(2) atau mikroemulsi air dalam minyak dengan fasa air berlebih (2) berturut-turut. Pada
temperatur menengah antara 𝑇1 dan 𝑇𝑢 surfaktan akan sama larut dalam air dan minyak dan
terbentuk keadaan tiga fasa mikroemulsi kaya surfaktan dalam bentuk berdampingan dengan
fasa air dan minyak berlebih. Fraksi massa surfaktan menaikkan volume dari fasa kaya
surfaktan tumbuh pelarut semakin banyak kelebihan fase hingga mencapai 𝛾̃ dengan titik 𝑋̃
menggambarkan jumlah terendah surfaktan yang diperlukan untuk membentuk mikroemulsi.
Gambar 2.8 Skema fish diagram (Sumber : Klemmer.2013)
Dalam Gambar 2.8 wilayah satu fasa dilambangkan dengan 1. Dalam wilayah ini
dekat dengan titik 𝑋̃ digambarkan struktur bicontinuous seperti spons. Pada temperatur 𝑇̃
kontinuitas dari wilayah satu fase berubah menjadi oil-continuous, sedangkan berubah
menjadi water-continuous pada Temperatur dibawah 𝑇̃. Untuk fraksi massa surfaktan yang
lebih besar akan memperluas wilayah satu fase dan struktur didalamnya mengubah sifat
mereka (Klemmer. 2013).
Diagram fasa dibuat untuk mendapatkan konsentrasi komponen yang tepat yang dapat
menghasilkan fasa mikroemulsi. Setelah komponen mikroemulsi yang tepat dipilih, diagram
fasa terner dibangun untuk menentukan tingkat dan sifat daerah mikroemulsi. Untuk
menentukan diagram tersebut, sampel dalam jumlah besar dengan komposisi yang berbeda
harus disiapkan. Diagram fasa terner dikembangkan dengan metode titrasi air. Campuran
surfaktan dan ko-surfaktan campuran (𝑆𝑚𝑖𝑥) dicampur dengan minyak pada suhu ruangan.
Untuk setiap diagram fase, rasio minyak dengan 𝑆𝑚𝑖𝑥 bervariasi sebagai 9:1, 8:2, 7:3, 6:4,
5:5, 4:6, 3:7, 2:8, 1:9 (v/v). Air ditambahkan dengan cara diteteskan dengan pengadukkan
kuat. Setelah mencapai kesetimbangan, sampel diperiksa secara visual dan ditentukan sebagai
mikroemulsi (Sharma, 2013).

2.3 Impregnation
Impregnasi adalah preparasi katalis dengan mengadsorpsikan garam prekursor yang
mengandung komponen aktif logam di dalam larutan kepada padatan pengemban. Impregnasi
sendiri memiliki definisi yang luas, arti impregnasi dalam suatu penelitian bisa jadi berbeda
dengan penelitiaan lainnya. Namun, impregnasi dilakukan manakala pada pengemban tidak
terdapat anion atau kation yang dapat dipertukarkan.
Secara umum cara impregnasi dibagi menjadi 2 macam, yaitu impregnasi secara
langsung (ko-impregnasi) dan impregnasi bertahap (sekuensial impregnasi). Impregnasi
langsung adalah proses pemasukan larutan logam fasa aktif dan dan promotor bersama dalam
pori support dengan cara pencampuran dan pengadukan secara bersamaan, sedangkan untuk
impregnasi bertahap (Sekuensial Impregnasi) proses impregnasi fasa aktif dan promotor
dilakukan secara terpisah. Pada umumnya dilakukan impregnasi promotor terlebih dahulu
lalu dilanjutkan dengan fasa aktif dengan pengadukan secara berurutan. Impregnasi bertahap
diketahui akan menghasilkan katalis dengan aktivitas yang lebih tinggi.
Metode impregnasi umumnya diklasifikasikan menjadi 2 jenis berdasarkan volume
larutan prekursor yang digunakan, antara perbadingan volume prekursor yang akan
diimpregnasikan dengan volume pori support. Metode ini yaitu :
1. Impregnasi kering (DI)
Pada metode ini, material yang diimpregnasikan dijaga tetap kering. Untuk impregnasi
kering, volume larutan fasa aktif sebanding dengan volume pori support, berkisar 1-1,2
kali dari volume pori support. Karena diharapkan nantinya jumlah antara larutan
prekursor dengan pori yang tersedia pada pengemban adalah sama, maka volume pori
support perlu diketahui untuk menentukan volume larutan prekursor yang digunakan.
2. Impregnasi basah (WI)
Pada impregnasi basah prekursor berupa larutan yang mengisi pori dari support. Volume
larutan prekursor fasa aktif lebih besar dari 1,5 kali volume pori support.
Penggunaan pelarut pada impregnasi basah lebih banyak dibandingkan dengan metode
kering, yang memudahkan garam bermigrasi dari larutan ke dalam pori support. Metode
ini dapat menghasilkan deposisi prekursor fasa aktif yang sangat banyak pada bagian luar
penyangga setelah dilakukan proses pengeringan dan juga menghasilkan distribusi fasa
aktif pada bagian luar penyangga. Distribusi ini bermanfaat untuk mengurangi penetrasi
reaktan ke dalam katalis, sehingga dapat meningkatkan aktivitas katalis.

2.3.1 Pembentukan Katalis dengan Metode Impregnasi


Mekanisme impregnasi diketahui melalui beberapa tahapan penting, antara lain :
1. Kontak support dengan prekursor fasa aktif dalam jangka waktu tertentu.
2. Proses pengeringan support.
3. Aktivasi katalis dengan kalsinasi, reduksi atau perlakuan yang lain yang sesuai.
Gambar 2.9 Proses sintesis katalis melalui metode impregnasi.
Suatu katalis disintesis melalui metode impregnasi umumnya menggunakan senyawa
yang dapat terlarut didalam air seperti garam-garam logam sulfat, karbonat, klorida, nitrat
dan asetat ataupun dapat berupakan logam komplek superti logam asetilasetonat. Garam-
garam ini umumnya dilarutkan dalam pelarut air, dikarenakan kelarutan yang tinggi untuk
banyak prekursor. Dengan pelarutan prekursor ini akan terbentuk larutan yang umumnya
berupa ion kompleks logam dengan ligan aquo.
Larutan logam ini harus memiliki syarat tertentu agar dapat terimpregnasi pada support, yaitu
: Stabil untuk waktu yang diperlukan, Mobilitas selama proses difusi, pengeringan, kalsinasi,
dan dapat direduksi menjadi logam;
Impregnasi logam kedalam support dilakukan dengan penambahan senyawa support
kedalam larutan dan dilakukan pengadukan dengan pemanasan dibawah titik didih pelarut
yang digunakan hingga terbentuk bubur (slurry) dengan variasi waktu dimana semakin lama
waktu pencampuran diharapkan semakin banyak logam yang mengisi pori-pori support.

Gambar 2.10 Gambaran tahapan impregnasi fasa aktif pada support


(a) Difusi prekursor pada pori, (b) Setelah proses pengeringan
Campuran selanjutnya dikeringkan untuk menghilangkan molekul pelarut sehingga
garam logam dapat mengendap pada permukaan pori penyangga pada gambar 3b. Produk
dipanaskan dalam oven yang dapat dialiri gas berupa udara, oksigen, nitrogen atau gas lain
tergantung kebutuhan. Temperatur pada proses pengeringan biasanya lebih tinggi dari titik
didih pelarut (air : 100-120oC). Penghilangan air akan menyebabkan kejenuhan prekursor dan
kristalisasi yang akan berinteraksi dengan support.
Tahapan selanjutnya yang paling penting adalah proses kalsinasi, proses ini bertujuan
mengubah kompleks logam menjadi oksidanya, meningkatkan stabilitas mekanik, serta
menghilangkan kadar air yang tersisa (kristal air hidrat). Keseluruhan proses umumnya
terjadi dalam membentuk katalis terimpregnasi. Kemudian aktivasi untuk meningkatkan
kinerja katalis.
Penggunaan metode impregnasi juga dipertimbangkan dari faktor biaya. Untuk
larutan garam yang mahal dapat dilakukan impregnasi kering. Sedangkan larutan garam yang
lebih murah dapat dilakukan impregnasi basah atau pertukaran ion. Kelebihan metode
impregnasi basah adalah dapatnya diatur pengontrolan banyak logam yang akan
diimpregnasikan. Prekursor fasa aktif tidak disaring setelah proses perendaman dan
pemanansan, tetapi langsung dilakukan pengeringan. Tetapi pada impregnasi basah logam
yang berikatan pada support hanya terjebak didalam pori sehingga dapat mudah terelusi.
Distribusi prekursor pada pori support tergantung pada beberapa faktor, seperti
kondisi pada saat difusi dan pengeringan yang menyebabkan tiga jenis distribusi seperti pada
gambar 2.11

(a) (b) (c)


Gambar 2.11 Bentuk distribusi prekursor pada variasi kondisi impregnasi dan penggeringan
(a) Egg shell, (b) Egg yolk, (c) Uniform

Distribusi “Egg Shell” berupa penumpukan prekursor pada dinding pori, distribusi ini
diperoleh jika proses prekursor sangat diserap oleh dinding pori dan viskositas yang tinggi
dari prekursor. Pada distribusi “egg yolk” terjadi distribusi prekursor pada inti pori yang
dikarenakan adanya interaksi kuat dengan dinding pori dari support. Sedangkan distribusi
“Uniform” menunjukan prekursor tersebar merata diseluruh pori yang disebabkan lemah dan
lamanya adsorpsi prekursor, biasanya pengeringan terjadi pada suhu ruang.
Menurut penelitian Riza Alviany, Maja Pranata Marbun, Firman Kurniawansyah dan
Achmad Roesyadi mengenai “Proses Produksi Katalis Al2O3 menggunakan Metode
Impregnasi”. Alumina (Al2O3) merupakan salah satu material keramik yang paling banyak
penggunaanya sebagai katalis,support katalis. Penelitian ini bertujuan mempelajari
pembuatan nano catalys γ-Al2O3 dengan metode impregnasi. Pada proses impregnasi
dilakukan variasi berupa rasio logam Cr dengan Co (1:1, 1:2, 2:1) dan % loading logam
promotor tehadap jumlah total katalis Cr-Co/γ-Al2O3 (5% dan 10%). Dari analisa XRD
diketahui bahwa kristal γ-Al2O3 hasil sintesis berukuran 17,82 nm, kemudian dari analisa
BET didapatkan hasil luas permukaan sebesar 162,840m2g. Berdasarkan analisa XRF
diketahui bahwa logam yang terkandung dalam katalis Cr-Co/γ-Al2O3. Uap keluaran reaktor
dikondensasikan dan dilakukan analisa gas kromatografi (GC). Dari hasil analisa produk
didapatkan bahwa katalis GACrCo1021 memiliki aktivitas yang lebih baik dari katalis
lainnya berdasarkan hasil konversi etanol dan yield dietil eter. Pada penelitian ini didapatkan
ukuran
diameter kristal nanokatalis γ-Al2O3 sebesar 17,82 nm menggunakan metode presipitasi
dengan luas permukaan 162,840 (m2/g). Konversi etanol meningkat dengan peningkatan
temperatur pada rentang temperatur 125-250ºC, dimana konversi etanol terbesar yakni
23.48% terjadi pada temperatur reaksi 225ºC dengan menggunakan katalis GACrCo1021.
Yield DEE terbesar dihasilkan dengan menggunakan katalis GACrCo1021 pada temperatur
reaksi 125ºC yakni sebesar 1.32%.

2.4 Sintesis Nanopartikel menggunakan Mikroemulsi

Metode mikroemulsi merupakan salah satu teknik terbaru dan ideal dalam pembuatan
partikel nano anorganik (Yu., 2010). Ketika mencampurkan, minyak dan air tidak bercampur
dan membentuk dua fasa yang terpisah. Upaya untuk menggabungkan kedua fase
memerlukan energi yang akan membentuk asosiasi minyak-air.

Dispersi yang baik dari droplet yang dihasilkan dalam mikroemulsi cocok untuk
sintesis partikel nano dan memiliki potensi yang cukup baik untuk mengendalikan reaksi
kimia yang mungkin terjadi pada mikroemulsi (Huang, 2004). Ide dasar teknik mikroemulsi
diilustrasikan pada gambar (Clifford, 2001). Mikroemulsi memiliki beberapa kelebihan yang
sangat tepat pada berlangsungnya pembuatan nanopartikel.

Beberapa kelebihan mikroemulsi pada sintesis nanopartikel:

1. Kemudahan persiapan karena mikroemulsi dapat bekerja pada suhu kamar dan mudah
dibuat.
2. Mikroemulsi stabil secara termodinamika
3. Memiliki kemampuan untuk menggabungkan kedua agen bersifat hidrofilik dan
lipofilik
4. Memiliki area interfacial yang besar sehingga memudahkan penggunaannya dalam
sintesis nanopartikel (Sarciaux dkk, 1995)
Gambar 2.12 Sintesis nanopartikel dalam mikroemulsi

2.4.1 Mekanisme Pembentukan Nanopartikel dalam Mikroemulsi

Pembentukan Nanopartikel dalam Mikroemulsi dapat terbentuk melalui dua tahap


yaitu tahap nukleasi dan tahap pertumbuhan partikel. Pada awalnya reaktan dilarutkan pada
larutan dan diikuti oleh terbentuknya monomer/atom karena reaksi kimia antar rektan,
kemudian terjadi peningkatan konsentrasi monomer dengan cepat hingga melewati
konsentrasi jenuhnya. Pada tahap ini, monomer akan beragregasi ke dalam bentuk yang lebih
kecil melalui proses nukleasi secara cepat sehingga menurunkan konsentrasi monomer
dibawah tingkat jenuhnya sehingga proses nukleasi berhenti. Setelah proses nukleasi
berhenti, partikel masih memungkinkan untuk tumbuh dengan laju yang lambat (Viswantha
dan Sarma, 2007). Pertumbuhan partikel terjadi hingga konsentrasi mencapai nilai
kelarutannya (Destree dan B.Nagy, 2006).

Gambar 2.13 Mekanisme pembentukan nanopartikel pada larutan

Sumber: (Parapat dkk, 2013)


2.4.2 Prosedur Sintesis Metal Nanopartikel

Prosedur sintesis nanopartikel dalam w/o mikroemulsi pada umumnya terdiri dari
pencampuran antara dua mikroemulsi yang mengandung garam metal dan agen pereduksi.
Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk membuat dapat nanopartikel dengan
menggunakan mikroemulsi.
Cara yang pertama yaitu dengan cara membuat dua mikroemulsi, dimana mikroemulsi
yang terdiri dari surfaktan, pelarut organik, prekursor A dan atau prekursor B dan
mikroemulsi kedua yang terdiri dari surfaktan, pelarut organik dan agen pereduksi.
Setelah kedua mikroemulsi tersebut dibuat, kemudian kedua mikroemulsi tersebut
dicampurkan. Ketika dua mikroemulsi dicampurkan terjadi penggabungan antara
mikroemulsi dan terjadi penggabungan antara micelle yang mengandung ion metal dan yang
lainnya mengandung agen pereduksi. Ketika kedua micelle tersebut menyatu, maka akan
terjadi reaksi antara ion logam dan agen pereduksi (Destrée dan B.Nagy, 2006).
Sedangkan cara yang kedua yaitu dengan cara membuat mikroemulsi terlebih dahulu
dengan mencampurkan air, surfaktan dan pelarut organik kemudian dicampurkan secara
perlahan larutan prekursor A dan atau prekursor B. Setelah prekursor tercampur dengan
sempurna, kemudian ditambahkan agen pereduksi. (Irfan dkk., 2016)

Gambar 2.14 Pembentukan nanopartikel dalam mikroemulsi

2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Bentuk dan Ukuran Partikel

Faktor - faktor yang mempengaruhi bentuk dan ukuran partikel yaitu agen pereduksi,
tipe surfaktan dan penambahan ko-surfaktan, temperatur larutan, waktu reaksi, dan
penambahan elektrolit.
1. Agen pereduksi
Setiap agen pereduksi mempunyai potensial yang berbeda-beda. Adanya perbedaan
potensial tersebut dapat menyebabkan perbedaan kecepatan untuk mereduksi logam. Hal
tersebut mempengaruhi bentuk dan ukuran partikel yang disintesis.

2. Tipe surfaktan dan penambahan ko-surfaktan

Salah satu peneliti menyatakan bahwa ketika melakukan penambahan ko-surfaktan


dengan geometri molekul yang berbeda dari parameter packing kritis dapat menyesuaikan
geometri agregat surfaktan. Bentuk geometri dari reverse micelle dapat dialihkan ke
pembentukan nanopartikel pada bentuk yang sama. Surfaktan bertindak untuk menstabilkan
pertumbuhan partikel. Berdasarkan kekuatan dari interaksi pelarut/ekor partikel akan terus
tumbuh sehingga memungkinkan partikel memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan
ukuran micelle asli (Kitchens, 2004). Soleimani dkk. (2014) menunjukkan bentuk dan ukuran
dari nanopartikel dengan berbagai macam tipe surfaktan yang ditunjukkan oleh Gambar 2.12

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 2.15 Hasil Scanning Electron Microscopy (SEM) dengan Surfaktan (a) T-X 100 ,(b)
AOT ,(c) CTAB dan (d) Tween 80
Sumber : (Soleimani dkk., 2014)
3. Temperatur larutan

Faktor lain yang dapat mempengaruhi ukuran partikel yaitu temperatur. Temperatur
dapat mempengaruhi viskositas larutan dan akhirnya dapat mempengaruhi ukuran partikel.
Kenaikan suhu menyebabkan kenaikan laju pertumbuhan partikel. Selanjutnya, pada suhu
tinggi, kelarutan zat aktif permukaan non-ionik dalam air berkurang karena kurangnya hidrasi
gugus kepala hidrofilik. Dengan cara lain, pada suhu yang lebih tinggi, kelarutan zat aktif
permukaan dalam fase minyak meningkat, oleh karena itu, diperlukannya pengaturan suhu
untuk pengendalian ukuran partikel. Ukuran partikel juga dipengaruhi oleh tingkat
pengadukan. Selama pembentukan mikro-emulsi, mengaduk kios pertumbuhan tetesan lebih
lanjut dan efek ini meningkat dengan meningkatkan laju pengadukan. Oleh karena itu, ukuran
droplet mikro-emulsi menjadi kecil dan mengakibatkan ukuran partikel yang dihasilkan akan
lebih kecil (Xiang dkk., 2004).

4. Hydrophilic LipophileicBalance (HLB)

Perbandingan antara senyawa hidrofilik (sukar air) dan lipofilik (sukar minyak) dapat
disebut dengan HLB. HLB sangat mempengaruhi ukuran nanopartikel. Ukuran partikel akan
meningkat seiring dengan meningkatnya HLB. (Housaindokht, 2012). Semakin tinggi harga
HLB dapat menunjukkan semakin tingginya kandungan senyawa hidrofilik

5. Laju pengadukan

Laju pengadukan dapat mempengaruhi ukuran partikel yang dihasilkan. Ukuran


nanopartikel Starch yang disintesis semakin kecil seiring dengan bertambah cepatnya laju
pengadukan yang dilakukan (Chin dkk., 2014).

6. pH

Partikel dengan ukuran yang besar akan dihasilkan melalui nilai pH yang sangat
rendah (Sathishkumar dkk., 2010).

2.5 Agen Pereduksi dalam Proses Sintesis Nanopartikel

Dalam proses sintesis nanopartikel dapat dibantu dengan agen pereduksi alami
maupun sintesis. Agen pereduksi pada proses ini berfungsi sebagai pereduksi dari ion-ion
metal dalam mikroemulsi. Setiap agen pereduksi memiliki karakteristik yang berbeda-beda
dalam proses pembentukan nanopartikel. Terdapat agen pereduksi lemah dan agen pereduksi
kuat yang akan berpengaruh terhadap bentuk dan ukuran pada nanopartikel.

Agen pereduksi lemah, akan mempengaruhi laju reaksi yang lambat pada reduksi ion
metal. Laju reaksi yang lambat akan menghasilkan nanopartikel dengan ukuran yang
cenderung lebih besar (Ghosh,t.t). Agen pereduksi lemah juga sangat efektif untuk
mengisolasi proses nukleasi dan pertumbuhan partikel dan membiarkan untuk mengontrol
ukuran dan bentuk (Parapat dkk., 2012).

Sementara, pada agen pereduksi kuat akan memberikan ukuran yang sangat kecil.
Karena agen pereduksi kuat akan mendorong reaksi reduksi cepat dan menghasilkan lonjakan
secara tiba-tiba konsentrasi pertumbuhan spesies hingga lewat jenuh. Dalam jurnal Zieliska-
Jurek dkk. (2012) menyebutkan hasil penelitian yang diberikan Sanchez Dominguez dkk.,
dan Zhang dkk., dapat menunjukkan bahwa dengan agen pereduksi kuat nanopartikel yang
dihasilkan memiliki bentuk yang teratur sehingga cenderung kurang aktif jika nanopartikel
tersebut digunakan untuk katalis.

2.5.1 Sintesis Nanopartikel dengan Agen Pereduksi Alami

Perkembangan nanoteknologi yang terbaru telah menggunakan bahan alami sebagai


agen pereduksi untuk mensintesis logam menjadi nanopartikel. Bahan alami seperti tumbuh
tumbuhan dapat mereduksi ion logam baik di permukaan maupun di berbagai organ
tumbuhan tersebut.

Senyawa fenolik, flavonoid, tannin merupakan bahan organik yang diekstrak dari
limbah pertanian, seperti daun cengkeh, apabila hasil ekstrak dikenai cahaya matahari,
bahan organik tersebut dapat bertindak sebagai bahan sensitizer alami (biosensitizer).

Menariknya, studi tentang proses bioakumulasi logam pada tanaman biasanya


disimpan dalam bentuk nanopartikel. Sebagai contoh, Brassica juncea (sawi) dan Medicago
sativa menumpuk nanopartikel perak dengan ukuran 50 nm sebanyak 13,6% dari berat
badannya ketika tumbuh pada substrat perak nitrat. Selain itu, emas dengan ukuran 4 nm
terdeteksi di M. sativa dan partikel tembaga semi bulat dengan ukuran 2 nm teramati dalam
Iris pseudacorus (iris kuning) yang tumbuh pada substrat yang mengandung ion garam-
garam logam masing-masing.
Pendekatan secara in vitro telah aktif dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir,
dimana ekstrak tanaman digunakan sebagai bioreduksi ion logam untuk membentuk
nanopartikel. Secara signifikan, menggunakan proses ini untuk sintesis nanopartikel terjadi
jauh lebih cepat dibandingkan dengan sintesis nanopartikel di seluruh tanaman, karena reaksi
berlangsung hampir secara spontan, tanpa diperlukan penyerapan dan difusi ion logam ke
seluruh tanaman. Pendekatan in vitro ini telah dibuktikan dengan menggunakan ekstrak dari
berbagai jenis tanaman yang berbeda dalam berbagai kondisi dan garam logam, seperti
tembaga, emas, perak, platinum, dan besi (Makarov dkk., 2014).
Menurut hasil Penelitian Esty Yunita Lembang, Maming, dan M. Zakir mengenai
Sintesis nanopartikel perak dilakukan dengan metode reduksi menggunakan ekstrak daun
ketapang (Terminalia cappa) yang berperan sebagai agen pereduksi untuk prekursor AgNO 3.
Proses pembentukan nanopartikel perak dimonitoring dengan mengamati serapan UVVis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai absorbansi meningkat dengan meningkatnya
waktu kontak reaksi. Serapan maksimum UV-Vis dari sampel biosintesis tanpa pengadukan,
dengan pengadukan, dan penambahan PAA 1%, masing-masing pada panjang gelombang
421 - 431 nm, 425 - 431 nm, dan 440,5 - 436,5 nm selama penyimpanan satu minggu. Proses
biosintesis dengan pengadukan mempercepat pembentukan nanopartikel perak. Ukuran
nanopartikel perak ditentukan menggunakan PSA (Particle Size Analyzer) dengan distribusi
rata-rata ukuran untuk sampel biosintesis tanpa pengadukan, dengan pengadukan, dan
penambahan PAA 1%, masing-masing adalah 62,61 nm, 71,56 nm dan 55,77 nm. Morfologi
nanopartikel perak diamati dengan alat Scanning Electron Microscope (SEM) dan
karakterisasi struktur senyawa dianalisis dengan menggunakan X-Ray diffraction.

2.5.2 Sintesis Nanopartikel dengan Agen Pereduksi Kimiawi

Dalam sintesis Nanopartikel perak yang perlu dikontrol karakterisasinya antara lain
adalah ukuran, bentuk dan morfologinya(Rai, dkk. 2009). Bentuk dan ukuran Nanopartikel
perak sangat 102 Vol. 13 No.2 Desember 2015 penting dalam penentuan sifat optik, listrik,
magnet, katalis dan antimikrobanya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ukuran partikel
dalam sintesis yaitu temperatur larutan, konsentrasi garam, agen pereduksi dan waktu reaksi
(Sileikaite, dkk. 2006).
Nanopartikel perak telah banyak dibuat dengan beberapa metode dan kondisi yang
berbeda seperti metode reduksi kimia, foto kimia, sonokimia, radiasi ultrasonik, sintesis
solvotermal, dll (Guzman, 2008). Diantara banyak metode yang dapat dilakukan, metode
reduksi kimia dipilih sebagai metode yang paling efektif untuk menghasilkan nanopartikel
perak. Hal ini dikarenakan langkah kerja yang mudah, cepat, murah, dan menggunakan
temperatur rendah.
Pada umumnya ketika dilakukan preparasi nanopartikel logam dengan metode reduksi
kimia, ion logam direduksi oleh agen pereduksi dengan penambahan agen protektif untuk
menstabilkan nanopartikel. Stabilitas nanopartikel memegang peranan yang sangat penting
terutama ketika nanopartikel tersebut dikarakterisasi dan diaplikasikan ke dalam sebuah
produk (Haryono, 2008).
Metode reduksi ini pernah dilakukan beberapa kali oleh para peneliti, diantaranya
Guzman(2008) dan Mailu (2010). Guzman (2008) menggunakan perak nitrat sebagai bulk,
hidrasin hidrat sebagai agen pereduksi dan dua agen stabilisator yaitu natrium sitrat dan SDS.
Begitu pula dengan Mailu(2010) yang juga menggunakan perak nitrat dan natrium sitrat.
Namun, natrium sitrat disini digunakan sebagai agen pereduksi dan agen stabilisator
sekaligus.
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, dalam penelitian ini sintesis
nanopartikel perak akan dilakukan sesuai prosedur Mailu (2010) karena prosesnya yang
sederhana dan materialnya yang mudah didapatkan. Metode yang akan digunakan dalam
penelitian ini langkahlangkahnya adalah dengan menggunakan larutan perak nitrat direduksi
menggunakan ethylene glycol (EG) yang divariasikan volumenya tujuan untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi pereduksi dan stabilisator terhadap ukuran partikel. Karakterisasi
produk yang dihasilkan dilakukan dengan menggunakan Spektrometer UV-Vis, dan
Transmission Electron Microscopy (TEM)

2.6 Sintesis Nanopartikel dengan Agen Pereduksi Alami Kulit Manggis

Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana Linn. Merupakan tanaman buah
berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan Asia Tenggara,
seperti di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Tanaman manggis mudah dijumpai di Indonesia
dari Sabang hingga Merauke. Tanaman yang sekerabat dengan kandis ini dapat mencapai
tinggi 25 m dengan diameter batang mencapai 45 cm. Pohon manggis mampu tumbuh dengan
baik pada ketinggian 0-600 m dpl, suhu udara rata-rata 20-300C, pH tanah berkisar 5-7.
Lahan dengan pH asam seperti di lahan gambut, manggis tetap mampu tumbuh dengan baik.
Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan manggis berkisar 1500-300 mm/tahun yang
merata sepanjang tahun (Mardiana, 2012). Pohon manggis memiliki cabang yang teratur,
berkulit cokelat, dan bergetah. Bentuk buahnya khas, kulitnya berwarna merah keunguan
(Gambar 1.)
Menurut Tjitrosoepomo (1994), kedudukan taksonomi dari Garcinia
mangostana Linn. yaitu :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Guttiferanales

Famili : Guttiferae

Genus : Garcinia

Spesies : Garcinia mangostana Linn.

Gambar 16. Kulit Buah Manggis

Buah manggis dapat disajikan dalam keadaan segar. Komponen terbesar dari buah
manggis adalah air, yaitu 83%. Komponen protein dan lemak yang dikandung sangat kecil.
Buah manggis tidak mengandung vitamin A, tetapi mengandung vitamin B1 dan vitamin C.
Komposisi kimia buah manggis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2.2 Komposisi nutrisi per 100 gram buah manggis

(Sumber : Yatman, 2012)


Didalam manggis terutama pada bagian kulit manggisnya itu mengandung senyawa
antioksidan yang memiliki kapasitas antioksidan 84,42 % (Dyahnugra dan Widjanarko,
2015) dan aktivitas antioksidan 94,31% (Roza dkk). Agen pereduksi yang bersifat
antioksidan dalam ekstrak kulit manggis bernama xanthone. Senyawa xanthone merupakan
antioksidan terkuat yang terdapat dalam kulit manggis, yang merupakan senyawa organik
turunan dari difenil-γ-pyron. Xanthone memiliki nilai potensial reduksi sebesar -1,68V
(Volman dkk). Senyawa xanthone merupakan substansi kimia alami yang dapat digolongan
dalam senyawa jenis fenol atau polyphenolic. Karena itulah, senyawa xanthone dapat
digolongkan sebagai senyawa polar. Senyawa ini memiliki rumus molekul C13H8O2, sehingga
memiliki massa molar sebesar 196,19 gram/ mol. Dalam penamaan menurut IUPAC,
senyawa ini diberi nama 9H-xanthen-9-one.

Gambar 2.17 Struktur Molekul dariXanthone


(Sumber : Miryanti dkk, 2011)

Kadar xanthone berbeda tergantung pada kualitas buah, di mana kadar terbesar
didapatkan pada buah dengan kulit burik atau kasar yakni sebesar 23,544 μg/g ekstrak,
sedangkan pada buah besar dengan kulit mulus mengandung kadar xanthone sebesar 18,502
μg/g ekstrak, buah kecil sebesar 20,434 μg/g dan buah dengan kulit mengandung getah
kuning 15,289 μg/g ekstrak. ( Arsana, 2014). Titik leleh xanton 173–176° C, sehingga ia
tidak hilang kalau buah manggis dipanaskan di bawah suhu itu. Senyawa hidroxy xanton
dapat larut dalam asam klorida pekat dan menghasilkan garam onium yang mudah
terhidrolisis. Zat ini tidak bersifat basa, namun proses metilasi pada gugus hidroksi tersebut
dapat meningkatkan kebasaannya. Demetoksi dapat terjadi dengan pemanasan menggunakan
asam hidriodat, dengan atau tanpa penambahan asam asetat glasial atau dengan penambahan
aluminium klorida dalam bentuk larutan benzen mendidih, atau dengan penambahan larutan
kloro benzen. Jadi, karakteristik utama golongan xanton adalah sifat gugus karbonilnya yang
inert terhadap pereaksi yang biasanya bereaksi dengan gugus karbonil.
Dalam tubuh manusia xanton berfungsi sebagai antioksidan, antiproliferasi, anti-
inflamasi, dan antimikrobial. Xanton adalah antioksidan kuat, yang sangat dibutuhkan untuk
penyeimbang pro-oxidant di dalam tubuh dan lingkungan, yang dikenal sebagai radikal
bebas. Sejumlah peneliti menjelaskan, kulit manggis matang mengandung
polyhydroxyxanton, yang merupakan derivat mangostin dan ß-mangostin, yang berfungsi
sebagai antioksoidan, antibakteri, antitumor, dan antikanker. Sifat antioksidan xanton
melebihi vitamin E dan vitamin C, yang selama ini terkenal sebagai antioksidan tingkat
tinggi. Hasil penelitian Martin (1980) menyatakan sifat antioksidan zat yang terdapat pada
kulit manggis itu jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan antioksidan pada buah
rambutan dan durian. Sementara Martin dan Kanchanapoom (1998), Nakasone (1998), serta
Paul (1998) menyatakan bahwa kulit buah manggis juga dapat digunakan sebagai obat.
Nakatani et al. (2002) menyatakan bahwa dari hasil penelitiannya dengan sel tikus bahwa 5
mikrogram gamma-mangostin mampu menghentikan inflamasi dengan cara menghambat
produksi enzim cyclooxygenase -2 yang menyebabkan inflamasi. Bahkan, gamma-mangostin
mempunyai efek anti-inflamasi yang lebih baik dari obat anti-inflamsi di pasaran. Matsumo
et al. ( 2003) dari Institut Internasional Bioteknologi Gifu menyatakan bahwa 10 mikron/ml
alfamangostin yang diisolasi dari kulit buah manggis mampu menghambat sel leukimia HL-
60 pada manusia. Dalam proses metabolisme tubuh, terjadi reaksi oksidasi dan reduksi
sehingga terbentuk radikal bebas yang bersifat oksidator dengan oksigen yang reaktif. Karena
kereaktifannya, radikal bebas itu akan mengoksidasi zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh,
sehingga menyebabkan sejumlah jaringan tubuh rusak. Contohnya, kulit jadi keriput karena
kehilangan elastisitas kolagen serta ototnya. Lalu muncul bintik-bintik berupa pigmen
kecokelatan atau flek pada kulit. Juga dapat muncul kepikunan, parkinson, atau alzheimer
karena dinding sel saraf yang terdiri atas asam lemak tak jenuh ganda merupakan sasaran
empuk radikal bebas. Oleh karena mudah teroksidasi, radikal bebas, dalam hal ini radikal
peroksil (ROO) akan mengoksidasi xanton dengan cepat, sehingga radikal peroksil itu akan
berubah menjadi R-H. Perubahan itu terjadi karena molekul oksigen direduksi oleh garsinon
B sebagai derivat xanton. Reaksinya dapat menghambat radikal bebas dari berbagai jenis.
Oksigen reaktif dari beberapa contoh radikal bebas, seperti H3C (carbon-centered), R, R2NO
(nitrogen-centered), RO, H3COO (O2-centered), atau ROO, dapat dihilangkan oleh xanton
jenis garcinon B atau parvixanton dalam proses oksidasi, sehingga senyawa bermanfaat dapat
berfungsi. Dalam reaksi xanton dengan radikal bebas itu, R berubah jadi RH, dan reaksi akan
membuat molekul A menjadi tidak aktif. Demikian juga RO. Dengan adanya xanton
(garcinon B atau parvixanton-1), posisi A diganti sehingga reaksi berubah menjadi ROH,
yang dapat menjaga zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh menjadi berfungsi dengan baik untuk
menjaga kesehatan. Hal yang sama juga terjadi pada ROO, yang dalam proses reaksi itu
berubah menjadi ROOH.

2.7. Metal Nanopartikel sebagai Katalis dalam Reaksi Kimia

Katalis merupakan suatu zat yang berfungsi untuk mempercepat laju reaksi reaksi
kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri
(lihat pula katalisis). Suatu katalis berperan dalam reaksi tetapi bukan sebagai pereaksi
ataupun produk. Katalis memungkinkan reaksi berlangsung lebih cepat atau memungkinkan
reaksi pada suhu lebih rendah akibat perubahan yang dipicunya terhadap pereaksi. Katalis
menyediakan suatu jalur pilihan dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis
mengurangi energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi. Katalis dapat dibedakan ke
dalam dua golongan utama: katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis heterogen adalah
katalis yang ada dalam fase berbeda dengan pereaksi dalam reaksi yang dikatalisinya,
sedangkan katalis homogen berada dalam fase yang sama. Satu contoh sederhana untuk
katalisis heterogen yaitu bahwa katalis menyediakan suatu permukaan di mana pereaksi-
pereaksi (atau substrat) untuk sementara terjerap. Ikatan dalam substrat-substrat menjadi
lemah sedemikian sehingga memadai terbentuknya produk baru. katan atara produk dan
katalis lebih lemah, sehingga akhirnya terlepas. Katalis homogen umumnya bereaksi dengan
satu atau lebih pereaksi untuk membentuk suatu perantara kimia yang selanjutnya bereaksi
membentuk produk akhir reaksi, dalam suatu proses yang memulihkan katalisnya.

Untuk saat ini ilmuwan dituntut untuk menciptakan katalis yang ramah lingkungan
dan juga sangat reaktif. Telah dikembangkan nanoteknologi dalam berbagai bidang.
Penerapan nanoteknologi dalam industri yaitu pembuatan nanopartikel berupa nanokatalis.
Keunggulan nanokatalis dibandingkan dengan katalis yaitu kereaktifan yang lebih tinggi
karena memiliki luas permukaan yang lebih besar. Sehingga ikatan partikel antar satu dengan
yang lainnya lebih mudah terbentuk. Kemudian jumlah pereaksi lebih besar karena
ukurannya yang lebih kecil.

Salah satu contoh dari katalis nano adalah metal nanokatalis. Pentingnya penggunaan
metal nanopartikel dalam katalis yaitu dapat meniru aktivasi permukaan logam dan katalisis
pada skala nano juga membawa efisiensi dan selektivitas untuk katalis heterogen (Astruc.
2008). Patharkar dkk mensintesis metal nanokatalis dengan Ru sebagai metal yang
digunakan, dan Al2O3 sebagai material support yang ditunjukkan pada Gambar 2.15.

Parapat, dkk., membandingkan metal nanokatalis Pt termo-destabilisasi dengan katalis


Pt komersial dan hasilnya sangat signifikan. Aktivasi dari nanokatalis Pt 4 kali lebih baik
dalam hidrogenasi AMS jika dibandingkan dengan katalis Pt komersial. (Parapat dkk., 2012).

Gambar 2.18 Aktivitas katalis Pt (atas) dan yang sesuai TEM gambar (bawah). Bar scales
adalah 10 nm.
Sumber: Parapat dkk, 2012.

Gambar 2.19 Gambar TEM pada katalis Ru dengan support Al2O3

Sumber: Patharkar dkk., 2013


Gambar 2.20. Gambar TEM dari Cu pada konsentrasi katekin yang berbeda: (A) 3.0 mM.,
(B) 4.5 mM., (C) 6.0 mM., (D) 7.49 mM., dan (E) 14,98 mM.
Sumber: Gawande dkk., 2016

Keaktifan dari metal nanokatalis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
(Parapat dkk., 2012).

1. Pengaruh Metal

Prekursor metal sangat mempengaruhi sintesis metal nanopartikel. Prekursor metal


mempengaruhi terhadap mekanisme nukleasi dan pertumbuhan partikel. Semakin besar
muatan ion, maka waktu reduksi semakin lambat sehingga mempengaruhi terhadap tahap
pembentukan inti partikel dan pertumbuhan partikel yang mempengaruhi terhadap bentuk dan
ukuran dari nanopartikel.

2. Pengaruh dari Agen Pereduksi

Agen pereduksi sangat berpengaruh terhadap bentuk dan ukuran dari katalis. Jika
agen pereduksi kuat, maka metal nanokatalis akan berbentuk isotropik dan berukuran sangat
kecil. Sedangkan agen pereduksi yang lemah menyebabkan proses reduksi lambat dan
menghasilkan bentuk yang anisotropik dan berukuran besar. Hal tersebut dapat
mempengaruhi aktivitas dari katalis metal nanopartikel.
Gambar 2.21 Perbandingan bentuk dari metal nanopartikel dengan menggunakan agen
pereduksi lemah dan agen pereduksi kuat

Sumber: Parapat dkk., 2012

3. Pengaruh Keasaman Support Katalis

Agen pereduksi mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sehingga


mempengaruhi keasaman support katalis. Sebagai contoh memiliki karakteristik dan
kondisi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, sintesis nanokatalis dengan menggunakan
pereduksi asam askorbat memberikan performa yang baik jika digunakan support Al2O3
pada kondisi asam (pH = 4) sedangkan agen pereduksi hidrazin memberikan performa yang
baik jika digunakan support Al2O3 pada kondisi basa (pH = 9).

Anda mungkin juga menyukai