Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kegiatan dan kinerja sebuah perusahaan sangatlah dipengaruhi oleh
kondisi ekonomi pasar pada periode yang sedang berjalan. Fluktuasi kondisi
ekonomi yang sulit diprediksi merupakan sebuah jurang kebangkrutan bagi
perusahaan apabila tidak dapat beradaptasi dengan baik. Salah satu pertanda
bagi perusahaan yang berpotensi mengalami kebangkrutan adalah financial
distress (kesulitan keuangan), berawal dari masalah keuangan yang berlarut-
larut dan tidak terselesaikan. Financial distress adalah sebuah konsep yang luas
dimana perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan (Atmini dan
Andayani 2006:154). Menjadi hal yang baik apabila perusahaan dapat
mengantisipasi dan mencegah adanya kebangkrutan lebih awal pada saat
financial distress. Damodaran (2001) menyatakan bahwa kesulitan arus kas,
besarnya hutang dan kerugian operasional merupakan faktor financial distress
secara mikro yang dimiliki oleh peusahaan.
Arus kas dan laba dapat memberikan informasi yang relevan mengenai
kesehatan perusahaan. Sebuah perusahaan dapat dikatakan mengalami financial
distress apabila arus kas dan laba tidak mampu memenuhi kewajiban. Arus kas
dan laba dapat dijadikan indikator bagi pihak investor dan kreditor untuk
mengetahui kondisi keuangan persahaan.
Nilai arus kas yang kecil akan membuat investor dan kreditor
kehilangan kepercayaan terhadap perusahaan sehingga dapat menarik kembali
seluruh dana mereka. Halim (2017) melalui penelitiannya menunjukkan bahwa
arus kas dan laba berpengaruh signifikan dalam memprediksi financial distress.
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtyas (2010) serta Bhandari dan Iyer
(2013) menyimpulkan laba memiliki pengaruh signifikan, sedangkan arus kas
miliki keterbatasan serta memiliki hasil yang tidak signifikan untuk
memprediksi financial distress.
Perusahaan untuk menutupi kewajiban yang dimiliki tidak hanya
mengandalkan laba dan arus kas, namun juga hutang dari pihak ketiga. Hutang
kepada pihak ketiga yang dilakukan oleh perusahaan untuk menyelesaikan
kewajibannya sering disebut dengan Leverage. Penyelesaian kewajiban dana
pinjaman kepada pihak ketiga harus seiring dengan membaiknya keadaan
keuangan perusahaan, jika tidak maka akan semakin memperbesar kewajiban
perusahaan sehingga terindikasi financial distress (Gobenvy 2014:2). Utami
(2009) menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif dan signifikan.
Widhiari dan Merkusiwati (2015) menyatakan bahwa leverage tidak memiliki
pengaruh terhadap financial distress. Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian skripsi dengan judul
“Pengaruh Arus Kas, Laba dan Leverage Terhadap Financial Distress pada
Perusahaan Non Bank di Bursa Efek Indonesia Tahun 2016 – 2018”.

Penelitian ini menggunakan data dari perusahaan non bank karena


Bank Indonesia sudah merumuskan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
untuk menciptakan infrastruktur yang kuat bagi industri perbankan nasional.
Bank Indonesia melalui websitenya menjelaskan, API dapat membangun sistem
bagi perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh serta memberikan arah,
bentuk dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh
tahun ke depan. Infrastruktur yang dimiliki oleh perusahaan perbankan belum
diterapkan ke indsutri yang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa industri non
bank masih memiliki risiko kebangkrutan yang lebih tinggi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah arus kas berpengaruh terhadap financial distress?”
2. Laba berpengaruh terhadap financial distress?”
3. Leverage berpengaruh terhadap financial distress?”
C. Batasan Masalah
Penelitian ini memiliki batasan masalah, antara lain :
1. Penelitian hanya menggunakan laba bersih.
2. Perhitungan arus kas hanya menggunkan arus kas operasi, tidak
menghitung besarnya arus kas investasi dan pendanaan.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh arus kas, laba
dan leverage terhadap financial distress dengan sampel perusahaan non bank
yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia tahun 2016 – 2018.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi ilmu pengetahuan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana
dalam menambah wawasan serta pengetahuan mengenai faktor yang dapat
mempengaruhi financial distress.
2. Bagi perusahaan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukkan atau
saran dalam manajemen pengelolaan keuangan dengan lebih baik serta
membantu dalam pengambilan keputusan yang tepat untuk menyelesaikan
masalah.
3. Bagi peneliti berikutnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
referensi ilmiah dan pelengkap temuan-temuan empiris yang terkait dengan
financial distress.
F. Penelitian Trdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan refrensi oleh

peneliti dalam penelitiannya. Berikut disajikan tabel yang berisi ringkasan dari
penelitian terdahulu :

Nama
No. Judul Alat Ukur Kesimpulan Sektor
Pemilik
Arus kas tidak
berpengaruh terhadap
PENGARUH financial distress Perusahaan
ARUS KAS, LABA Non Bank Di
Laba memiliki
Kristiana DAN LEVERAGE Regresi Bursa Efek
1 pengaruh terhadap
Ardeati TERHADAP Berganda Indonesia
financial distress
FINANCIAL Periode 2012
DISTRESS Leverage tidak - 2016
berpengaruh terhadap
financial distress
Laba tidak
berpengaruh terhadap
financial distress
Arus Kas tidak
berpengaruh terhadap
financial distress
Septy Indra PENGARUH Kepemilikan Perusahaan
Santoso, LABA, ARUS KAS Manajerial Manufaktur
Dwi Yana DAN CORPORATE berpengaruh positif Yang
Regresi
2 Amalia Sari GOVERMANCE terhadap financial Terdaftar Di
Logistik
Fala dan An TERHADAP distress Bursa Efek
Nisan Nur FINANCIAL Kepemilikan Indonesia
Khoirin DISTRESS Institusional tidak 2011 - 2015
berpengarug terhadap
financial distress
Ukuran Dewan
Direksi berpengaruh
negatif terhadap
financial distress
PENGARUH Laba berpengaruh Perusahaan
Fanny
LABA DAN ARUS terhadap financial Non Bank
Nailufar,
KAS TERHADAP Statistik distress Yang
3 Sufitrayati
KONDISI Deskriptif Arus kas Terdaftar di
dan
FINANCIAL berpengaruh terhadap Bursa Efek
Badaruddin
DISTRESS financial distress Indonesia
Likuiditas tidak
berpengaruh terhadap
financial distress
LIKUIDITAS Leverage
LEVERAGE, berpengaruh terhadap Pada
OPERATING financial distress Manufaktur
G. Anggana CAPACITY, Yang
Operating capacity
Lisiantara PROFITABILITAS, Regresi Terdaftar Di
4 berpengaruh terhadap
dan Lilik SALES GROWTH Logistik Bursa Efek
financial distress
Febriana SEBAGAI Indonesia
PREDITOR Profitabilitas Tahun 2013 –
FINANCIAL berpengaruh terhadap 2016
DISTRESS financial distress
Sales growth tidak
berpengaruh terhadap
financial distress
Profitabilitas
berpengaruh negatif
terhadap financial
distress
Leverage
ANALISIS
berpengaruh positif
PENGARUH
terhadap financial Perusahaan
RASIO
distress Jasa Non
PROFITABILITAS,
Likuiditas Keuangan
Tirza LEVERAGE,
berpengaruh negatif Yang
Chrissentia LIKUIDITAS,
5 Z-score terhadap financial Terdaftar Di
dan Julianti FRIM AGE, DAN
distress Bursa Efek
Syarief KEPEMILIKAN
Film age Indonesia
INSTITUSIONAL
berpengaruh negatif Tahun 2014 –
TERHADAP
terhadap financial 2016
FINANCIAL
distress
DISTRESS
Kepemilikan
institusional
berpenaruh negatif
terhadap financial
distress
PENGARUH Likuiditas
LIKUIDITAS, berpengaruh Perusahaan
PROFITABILITAS, signifikan positif Makanan
LEVERAGE DAN Regresi terhadap financial Minuman
Abdul
6 ARUS KAS Linear distress Yang
Ghofur
OPERSASI Berganda Profitabilitas Terdaftar Di
TERHADAP berpengaruh BEI Tahun
FINANCIAL signifikan terhadap 2012 - 2017
DISTRESS financial distress
Leverage tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
financial distress
Arus kas operasi
berpengaruh
signifikan terhadap
financial distress
Financial Leverage
tidak berpengaruh
terhadap financial
PENGARUH distress Perusahaan
FINANCIAL Manufaktur
Firm Growth tidak
LEVERAGE, FIRM Yang
berpengaruh terhadap
Frans Julius GROWTH, LABA Regresi Terdaftar Di
7 financial distress
P.S DAN ARUS KAS Logistik Bursa Efek
Laba tidak
TERHADAP Indonesia
berpengaruh terhadap
FINANCIAL Tahun 2010 –
financial distress
DISTRESS 2014
Arus Kas memiliki
pengaruh terhadap
financial distress
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Arus Kas
Kas merupakan aktiva yang paling likuid atau merupakan salah satu
unsur modal yang paling tinggi likuiditasnya, berarti semakin besar jumlah
kas yang dimiliki oleh suatu perusahaan akan semakin tinggi pula tingkat
likuiditasnya (Jumingan 2014 : 97). Munawir (2014:242) menyatakan
bahwa kas merupakan uang yang dapat dikontrol dan digunakan
perusahaan. Kas dalam laporan arus kas sebagai jumlah uang tunai yang
terdapat di perusahaan dan rekening giro atau pada simpanan bank yang
dalam pengambilannya tidak dibatasi baik dalam segi waktu ataupun
jumlahnya dan investasi jangka pendek, yang secara formal disebut kas dan
setara kas.
Arus kas menurut Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) no. 2
tahun 2014 adalah arus kas masuk dan arus kas keluar atau setara kas. Purba
(1997:38) menyatakan arus kas (cash flow) merupakan jumlah pengeluaran
tiap–tiap periode, antara lain pembelian bahan–bahan, peralatan dan lain-
lain di samping penerimaan. Laporan arus kas merupakan ringkasan
transaksi keuangan yang berhubungan dengan kas.
Arus kas memiliki beberapa jenis seperti arus kas operasi, arus kas
investasi, dan arus kas pendanaan :
a. Arus Kas Operasi
Aktivitas operasi merupakan pengaruh kas dari transaksi-
transaksi yang menimbulkan pendapatan dan beban, termasuk dalam
penentuan laba bersih (Jusup 2011: 411). Arus kas dari aktivitas operasi
terutama diperoleh dari aktivitas penghasil utama pendapatan
perusahaan, arus kas umumnya berasal dari transaksi dan peristiwa lain
yang mempengaruhi penetapan laba atau rugi bersih (Surya 2012: 48).
Prihadi (2010: 54) dalam bukunya terdapat pola arus kas operasi
dalam perusahaan :
1.) Kondisi normal seharusnya positif artinya lebih banyak kas masuk
dibandingkan dengan kas keluar. Arus kas positif diperoleh dari
penjualan, sedangkan arus kas operasi lainnya dalah negatif. Arus
kas operasi positif berarti penerimaan dari penjualan seharusnya
mampu menutup seluruh pengeluaran operasi yang bersifat rutin.
2.) Arus kas operasi jika negatif, maka hal itu merupakan tanda bahwa
perusahaan sedang bermasalah. Arus kas operasi apabila negatif
perlu diingat apakah hanya tahun tertentu atau menetap.

Jumlah arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan


indikator yang menentukan apakah dari kegiatan operasi perusahaan
dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melengkapi pinjaman,
memelihara kemampuan operasi perusahaan, membayar deviden dan
melakukan investasi baru tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari
luar (Surya 2012 : 49).

b. Arus Kas Investasi


Aktivitas Investasi merupakan pembelian dan penjualan
investasi serta aset tetap. Aktivitas Investasi juga mencakup pemberian
dan penerimaan pelunasan pinjaman (Jusup 2011:411). Subramanyam
(2017:5) menjelaskan aktivitas investasi merupakan sarana untuk
memperoleh dan melepasakan aset non-kas. Aktivitas investasi meliputi
aset yang diperkirakan akan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan,
seperti pembelian dan penjualan aset tetap dan investasi pada bursa efek.
Aktivitas investasi juga meliputi pemberian dan penarikan dana oleh
pemilik modal dan imbal hasil (deviden) atas investasinya.
Prihadi (2010:55-56) menyatakan pola arus kas investasi
mempunyai pola terbalik dengan arus kas operasi, yaitu :
1.) Kondisi normal seharusnya negatif. Pengertian negatif di sini adalah
perusahaan lebih banyak membeli peralatan, gedung dan aktiva tetap
lainnya dibanding dengan menjualnya. Perusahaan sebaiknya
menambah kapasitasnya, minimal bertahan dengan menggati alat
yang lama dengan alat baru.
2.) Arus kas positif secara terus menerus menunjukkan perusahaan
sedang bermasalah. Arus kas positif secara terus menerus
kemungkinan perusahaan mengurangi kaspasitas dengan menjual
aktiva tetapnya. Kondisi perusahaan mengurangi kaspasitas dapat
diartikan bahwa perusahaan sedang melepas aset tetapnya sekarang
yang di periode berikutnya diikuti dengan pembelian aset tetap
lainnya.
c. Arus Kas Pendanaan
Aktivitas pendanaan merupakan sarana mendistribusikan,
menarik, dan menyediakan dana untuk mendukung aktivitas bisnis.
Aktivitas pendanaan meliputi peminjaman dan pelunasan dana dengan
obligasi dan bentuk pinjaman lainnya. Aktivitas pendanaan juga
meliputi pendistribusian dan penarikan dana oleh pemilik modal dan
imbal hasil (deviden) atas investasi lainnya (Subramanyam 2017:5).
Kieso, Weygandt, dan Warfield (2002:1243) menyatakan aktivitas
pendanaan meliputi item hutang dan ekuitas dan termasuk di dalamnya
perolehan kas dari kreditor dan pembayaran kembali sejumlah pinjaman
tersebut dan perolehan modal dari pemilik dan memberikan mereka
pengembalian investasi.

Subramanyam (2017:10) menyatakan perubahan bersih kas sama


dengan jumlah arus kas bersih dari aktivitas operasi, aktivitas investasi, dan
aktivitas pendanaan :

Arus neto dari operasi


(-) Arus kas neto dari aktivitas investasi
(-) Arus kas neto dari aktivitas pendanaan
Perubahan neto kas
(+) Saldo awal periode
Saldo akhir periode
a. Arus Kas Operasi
Subramanyam (2017:5) menyatakan arus kas operasi merupakan
aktivitas perusahaan terkait dengan laba. Aktivitas operasi juga meliputi
arus kas masuk dan arus kas keluar bersih yang berasal dari aktivitas
operasi terkait, seperti pemberian kredit kepada pelanggan, investasi
dalam persediaan, dan perolehan kredit dari pemasok. Aktivitas operasi
juga meliputi transaksi dan peristiwa yang tidak cocok untuk
dikelompokkan ke dalam aktivitas investasi atau aktivitas pendanaan.
Menurut Fraser dan Ormiston (2008:174), arus kas bersih dari aktivitas
operasi dapat dicari dengan mengikuti perhitungan :

Laba Bersih
(+) Penyesuaian untuk merekonsiliasi laba bersih pada kas
(±) Kas yang disediakan (digunakan) oleh aktiva & kewajiban lancar
Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi

Hery (2016:105-105) menyatakan bahwa nilai kas bersih dari


arus kas operasi positif, atau mengalami peningkatan akan berdampak
pada kemungkinan perusahaan untuk membeli aset tetap dan membayar
utang jangka panjang kepada kreditor, atau melakukan pembayaran
prive, atau deviden tunai kepada pemilik atau investor. Arus operasi
apabila mengalami penurunan dan bernilai negatif, perusahaan
kemungkinan akan menjual seluruh investasi atau aset tetap dan
melakukan pinjaman jangka pajang dari kreditor.
b. Arus Kas Investasi
Prihadi (2010:207) menyatakan bahwa arus kas investasi secara
normatif adalah negatif. Pengertian negatif adalah perusahaan secara
normal melakukan belanja dengan membeli aktiva tetap. Aktivitas
invesatsi lainnya akibat dari penurunan dalam akun aktiva lain-lain pada
neraca, yang menyajikan kepemilikian invesatasi properti. Penjualan
atas aktiva tersebut disediakan suatu arus kas masuk yang dapat dihitung
menggunakan rumus (Fraser 2008 :176-177) :
(±) Tambahan (Penjualan) dari properti, bangunan dan peralatan
(+) Aktivitas invesatasi lainnya
Kas bersih yang disediakan (digunakan) oleh aktivitas investasi

Hery (2016:104-105) menyatakan penurunan kas bersih dari


aktivitas investasi berdampak pada penggunaan kelebihan yang dimiliki
arus kas operasi dan hasil pendanaan untuk melakukan investasi,
pembelian aset tetap, atau pun ekspansi bisnis. Kenaikan arus kas
berasal dari investasi berdampak pada penjualan investasi atau aset tetap
untuk membiayai pembayaran utang jangka panjang kepada keditor atau
pembayaran prive atau deviden tunai kepada pemilik atau investor.
c. Arus Kas Pendanaan
Prihadi (2010:207) menyatakan bahwa aktivitas pendanaan tidak
mempunyai pola tertentu. Arus kas pendanaan sulit untuk dipastikan
apakah arus kasnya akan positif atau negatif. Aktivitas pendanaan
termasuk pinjaman dari kreditur dan pengembalian pokok pinjaman dan
memperoleh sumber dana dari pemilik dan mengembalikan investasinya
(Fraser 2008 :167).
Fraser (2008 :167) menuliskan rumus untuk mengetahui kas
bersih yang disediakan (digunakan) oleh aktivitas pendanaan sebagai
berikut :

Penjualan Saham Biasa


(±) Peningkatan (penurunan) dalam pinjaman jangka peendek
(+) Tambahan terhadap pinjaman jangka panjang
(-) Pengurangan pinjaman jangka panjang
(-) Deviden yang dibayar
Kas bersih yang disediakan (digunakan) oleh aktivitas pendanaan

Hery (2016:104-105) menyatakan kenaikan kas bersih dari


aktivitas pendanaan menyebabkan pembiayaan perusahaan dilakukan
dari pinjaman jangka panjang dari kreditor, penjulan saham pendiri
kepada investor, atau dari tambahan setoran pemilik. Penurunan kas
bersih dari aktivitas pendanaan berakibat pada pembiayaan yang
dilakukan oleh arus kas operasi dan hasil penjualan investasi untuk
membayar utang jangka panjang kepada kreditor atau melakukan
pembayaran prive dan deviden.
Berdasarkan penelitian Hapsari (2012), Amarilla, et. al (2015),
dan kesimpulan yang dikemukakan Amilia (2006), arus kas dapat
dihitung menggunakan rasio arus kas terhadap kewajiban lancar.
Menurut Hery (2016:106), rasio arus kas terhadap kewajiban lancar
menunjukkan kemampuan arus kas operasi perusahaan dalam melunasi
kewajiban lancar yang dimiliki, rumus yang digunakan :

Arus Kas Operasi


Kewajiban Lancar

Keterangan :
1.) Arus Kas Operasi : Subramanyam (2017:5) menyatakan arus kas
operasi merupakan aktivitas perusahaan terkait dengan laba.
Aktivitas operasi juga meliputi arus kas masuk dan arus kas keluar
bersih yang berasal dari aktivitas operasi terkait, seperti pemberian
kredit kepada pelanggan, investasi dalam persediaan, dan perolehan
kredit dari pemasok, piutang, persediaan, pembayaran di muka,
utang dan beban akrual.
2.) Kewajiban Lancar : Munawir (2014:18) menyatakan hutang lancar
adalah kewajiban keuangan perusahaan yang pelunasannya atau
pembayaran akan dilakukan dalam jangka pendek (satu tahun sejak
tanggal neraca) dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki
perusahaan. Kewajiban lancar meliputi : hutang dagang, hutang
wesel, hutang pajak, biaya yang masih harus dibayar, hutang jangka
panjang yang segera jatuh tempo dan penghasilan yang diterima di
muka.
Hery (2015:124) menyatakan rasio arus kas operasi terhadap
kewajiban lancar menunjukkan kemampuan arus kas operasi perusahaan
dalam melunasi kewajiban lancarnya. Perusahaan yang memiliki rasio arus
kas operasi terhadap kewajiban lancar dibawah 1 berarti bahwa perusahaan
tersebut tidak mampu melunasi kewajiban lancarnya hanya dengan arus kas
operasi saja. Rasio arus kas operasi terhadap kewajiban lancar perusahaan
apabila memiliki nilai diatas 1 dapat diartikan bahwa perusahaan mampu
melunasi kewajiban lancarnya menggunakan arus kas operasi saja.

2. Laba
Swardjono (2008:343) mendefinisikan laba sebagai imbalan atas
upaya perusahaan menghasilkan barang dan jasa. Definisi laba yang
diungkapkan memiliki arti bahwa laba merupakan kelebihan pendapatan
atas biaya (biaya total yang melekat dalam kegiatan produksi dan
penyerahan barang/jasa). Harahap (2009:113) menyatakan laba menurut
APB Statement (Accounting Principles Board Statement) adalah kelebihan
penghasilan diatas biaya selama satu periode akuntansi. Committe on
Terminology mendefinisikan laba sebagai jumlah yang berasal dari
pengurangan harga pokok produksi, biaya lain, dan kerugian dari
penghasilan atau penghasilan operasi.
Laba adalah pendapatan dan keuntungan dikurangi dengan beban
serta kerugian. Laba meringkas dampak keuangan akibat aktivitas operasi
suatu bisnis. Laba dapat dikatakan sebagai parameter paling penting dari
kinerja keuangan sebuah perusahaan. Tujuan utama laporan laba rugi adalah
untuk menjelaskan bagaimana menentukan laba, dengan melaporkan
komponen pentingnya sebagai pos terpisah (Subramanyam 2014:370).
Penelitian ini seperti dengan yang dilakukan oleh Aminah (2015)
dan Fatmawati (2017) pengukuran laba menggunakan rasio return of aset.
Menurut Hery (2016: 193), rasio hasil pengembalian atas aset digunakan
untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang akan dihasilkan
dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset. Kasmir (2016:202)
menyatakan rumus yang dapat digunkan dalam menghitung return of asset
(rasio hasil pengembalian atas aset) :
Laba Bersih
Total Aktiva
Keterangan:
1.) Laba bersih menurut Fahmi (2011:101) merupakan laba yang sudah
dikurangkan dengan pajak.
2.) Total Aktiva merupakan penjumlahan dari aktiva lancar dan aktiva tidak
lancar. Munawir (2014:14) menyatakan kelompok aktiva lancar terdiri
dari kas atau uang tunai yang digunakan untuk membiayai operasional
perusahaan, investasi jangka pendek, pitang wesel, piutang dagang,
persediaan, piutang penghasilan dan penghasilan yang masih harus
diterima, dan persekot atau biaya yang dibayar di muka. Aktiva tidak
lancer meliputi investasi jangka panjang, aktiva tetap, aktiva tetap tidak
berwujud, beban yang ditangguhkan, dan aktiva lain-lain.
Menurut Hery (2015:228), return of assets (hasil pegembalian atas
aset) menghitung seberapa besar kontribusi aset dalam menciptakan laba
bersih. Tingginya hasil pengembalian atas aset berarti semakin tinggi pula
jumlah laba bersih yang dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam
dalam total aset. Rendahnya hasil pengembalian atas aset berarti semakin
rendah pula jumlah laba bersih yang dihasilkan dari setiap rupiah dana yang
tertanam dalam total aset. Standar industri rasio ROA sebesar 20% atau 0,2
dimana, semakin tinggi hasil pengembalian atas aset berarti semakin tinggi
pula jumlah laba bersih yang dihasilkan dari setiap dana yang tertanam.

3. Leverage
Leverage merupakan jumlah utang yang digunakan untuk
membiayai/membeli aset-aset perusahaan. Leverage juga dapat diartikan
penggunaan serbagai macam instrumen keuangan atau modal pinjaman
dengan tujuan untuk meningkatkan hasil potensial suatu investasi.
Fakhrudin (2008:109) menyatakan leverage timbul akibat adanya opsi,
futures, marjin, dan instrumen-instrumen uang lainnya. Penggunaan aktiva
yang menimbulkan beban tetap disebut dengan operating leverage,
sedangkan penggunaan dana dengan beban tetap disebut financial leverage
(Sudana 2015 : 180).
Menurut Keown, et. al. (2010 : 116) leverage operasi adalah
responsivitas EBIT (earnings before interest and taxes) perusahaan
terhadap perubahan dalam penerimaan penjualan akibat dari penggunaan
biaya operasi tetap. Biaya operasi tetap yang terdapat dalam struktur biaya
perusahaan, perubahan dalam EBIT akan jauh diperbesar lagi. Dampak
negatif terhadap EBIT akan lebih terasa apabila perusahaan mengalami
penuruan penjualan.
Financial leverage timbul karena perusahaan melakukan kegiatan
berbelanja dengan dana yang meinmbulkan beban tetap (utang), yaitu
berupa utang dengan beban tetapnya berupa bunga. Pembelanjaan utang
untuk investasi perusahaan dapat mempengaruhi kemampuan dalam
menghasilkan laba atas modal yang digunakan (Sudana 2015 : 180).
Harahap (2016:303) menyatakan rasio leverage menggambarkan
kemampuan yang dimiliki perusahaan dalam mendapatkan laba melalui
sumber daya yang ada. Pengukuran leverage dalam penelitian yang
dilakukan menggunakan debt to asset ratio. Hery (2015:195) menyatakan
bahwa dengan menggunakan debt to asset ratio atau sering juga disebut
dengan debt ratio dapat diketahui apakah kewajiban yang dimiliki oleh
perusahaan dapat tertutupi oleh jumlah aktivanya. Alasan perusahaan harus
mengetahui seberapa besar aktiva yang dapat digunakan untuk menutupi
kewajiban adalah antisipasi perusahaan dalam menyelesaikan kewajiban
tanpa mengorbankan terlalu banyak kepentingan pemilik, perusahaan harus
memiliki debt ratio yang rendah. Nilai debt ratio yang tinggi dikhawatirkan
akan membuat perusahaan kesulitan membayar kewajibannya dan
mengalami financial distress. Menurut Fahmi (2011:127) rumus debt to
total assets atau debt ratio adalah :
Total Kewajiban
Total Aktiva
Keterangan:
1.) Total Kewajiban merupakan pennjumlahan dari hutang lancar dan
hutang jangka panjang. Munawir (2014:18) menyatakan hutang lancar
meliputi : hutang dagang, hutang wesel, hutang pajak, biaya yang masih
harus dibayar, hutang jangka panjang yang segera jatuh tempo dan
penghasilan yang diterima di muka. Hutang jangka panjang merupakan
kewajiban keuangan yang jangka waktu pembayarannya masih jangka
panjang, meliputi : hutang obligasi, hutang hipotik dan pinjaman jangka
panjang lain.
2.) Total Aktiva merupakan penjumlahan dari aktiva lancar dan aktiva tidak
lancar. Munawir (2014:14) menyatakan kelompok aktiva lancar terdiri
dari kas atau uang tunai yang digunakan untuk membiayai operasional
perusahaan, investasi jangka pendek, piutang wesel, piutang dagang,
persediaan, piutang penghasilan dan penghasilan yang masih harus
diterima, dan persekot atau biaya yang dibayar di muka. Aktiva tidak
lancar meliputi investasi jangka panjang, aktiva tetap, aktiva tetap tidak
berwujud, beban yang ditangguhkan, dan aktiva lain-lain.
Kasmir (2016 : 156) menyatakan bahwa hasil pengukuran debt ratio,
apabila menunjukkan rasio yang bernilai tinggi memiliki arti bahwa
pendanaan perusahaan menggunakan utang semakin banyak, maka semakin
sulit bagi perusahaan tidak mampu menutupi utang- utangnya dengan aktiva
yang dimiliki. Nilai debt ratio yang rendah akan menjadikan perusahaan
semakin kecil dalam menggunakan biaya utang. Menurut Hery (2015:66)
ketentuan umum untuk debt ratio adalah bahwa perusahaan seharusnya
memiliki debt ratio kurang dari 0,5. Ketentuan umum dapat bervariasi
tergantung pada masing-masing jenis industri.

4. Financial Distress
Financial distress adalah sebuah konsep yang luas dimana
perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Istilah yang sering
digunakan dan dapat dengan jelas menggambarkan situasi tersebut adalah
kebangkrutan, kegagalan, ketidakmampuan melunasi hutang dan default.
Default yang dimaksudkan adalah sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh
perusahaan terhadap perjanjian dengan kreditur dan mengkibatkan sebuah
tindakan hukum (Atmini dan Andayani 2006:154).
Plat dan Plat, dalam Fahmi (2011:158), mendefinisikan financial
distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum
terjadinya kebangkrutan atau likuidasi. Financial distress dimulai dari
ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban- kewajibannya, terutama
kewajiban yang bersifat jangka pendek termasuk kewajiban likuiditas, dan
juga termasuk kewajiban dalam kategori solvabilitas.
Financial distress digolongkan menjadi empat istilah ditulis oleh
Altman (2006: 4), yaitu :
1.) Economic Failure
Pendapatan perusahaan tidak dapat menutup seluruh total biaya
yang digunakan. Perusahaan dalam kondisi ini dapat terus melakukan
aktivitas operasi apabila kreditur tetap ingin menyediakan tambahan
modal dan pemilik dapat menerima pengembalian di bawah tingkat
bunga pasar.
2.) Business Failure
Business Failure digunakan untuk menggambarkan berbagai
macam kondisi bisnis yang tidak memuaskan.
3.) Insolvent
Kondisi insolvent dialami pada perusahaan yang tidak dapat
memenuhi kewajiban jangka pendeknya karena tidak mampu
memperoleh laba bersih. Insolvent sendiri dapat dibagi menjadi dua
kelompok, Technical Insolventcy dan Bankcruptcy Insolvency.
Technical Insolventcy merupakan kondisi perusahaan tidak likuid yang
bersifat temporer, namun apabila dapat meningkatkan kas dan mampu
membayar kewajibannya dapat dikatakan bahwa perusahaan selamat
dari ancaman kegagalan. Bankcruptcy Insolvency terjadi ketika
perusahaan memiliki nilai buku dari total kewajiban lebih besar daripada
nilai pasar asetnya, sehingga nilai perusahaan adalah negatif.
4.) Legal Bankcruptcy
Legal Bankcruptcy adalah keadaan pada saat perusahaan sudah
dinyatakan bangkrut dan disahkan secara hukum.
Financial distress dapat timbul karena faktor dari dalam perusahaan
(internal) maupun dari luar perusahaan (eksternal). Damodaran (2001)
menyebutkan bahwa faktor penyebab financial distress dari dalam
perusahaan bersifat mikro, faktor-faktor tersebut anara lain adalah :
1.) Kesulitan Arus Kas
Kesulitan arus kas terjadi ketika penerimaan pendapatan
perusahaan dari hasil operasi perusahaan tidak cukup untuk menutupi
beban-beban usaha yang timbul atas aktivitas operasi perusahaan.
Kesulitan arus kas bisa juga disebabkan karena kesalahan dari
manajemen dalam mengelola aliran kas perusahaan untuk pembayaran
aktivitas perusahaan yang memperburuk kondisi keuangan perusahaan.
2.) Besarnya Jumlah Hutang
Salah satu cara untuk menutupi biaya yang timbul akibat operasi
perusahaan adalah dengan mengambil hutang dan menimbulkan
kewajiban bagi perusahaan. Kondisi pasar saat terjadi tagihan atas
hutang jatuh tempo dan perusahaan tidak mempunyai cukup dana untuk
membayar tagihan-tagihan yang terjadi maka kemungkian kreditur akan
menyita harta perusahaan untuk menutupi kekurangan pembayaran
tagihan tersebut.
3.) Kerugian Operasional Perusahaan
Kerugian operasional perusahaan menyebabkan arus kas negatif
dalam perusahaan. Arus kas negatif dalam perusahaan dapat terjadi
karena beban operasional perusahaan lebih besar dari pada pendapatan
yang diterima perusahaan.
Damodaran (2001) menyatakan perusahaan dapat menanggulangi
atau menutupi tiga hal tresebut, namun tidak ada jaminan pasti bahwa
perusahaan dapat terhindar dari financial distress, karena masih terdapat
faktor eksternal perusahaan yang dapat menyebabkan financial distress.
Faktor eksternal perusahaan itu sendiri lebih bersifat makro dan cakupannya
lebih luas. Beberapa faktor eksternal tersebut dapat berupa kebijakan
pemerintah serta kebijakan suku bunga pinjaman yang meningkat sehingga
dapat menyebabkan beban bunga yang ditanggung perusahaan meningkat.
Skala nominal merupakan skala pengukuran yang menyatakan
kategori, atau kelompok dari suatu subjek. Kedua kelompok diberi kode
angka 1 dan 2. Angka 1 dan 2 berfungsi sebagai label kategori semata tanpa
memiliki nilai intrinsik dan tidak memiliki arti apa-apa dan sebagai cara
untuk mengkelompokkan subjek ke dalam kelompok yang berbeda atau
hanya untuk menghitung berapa banyak jumlah setiap kategori (Ghozali
2016: 3-4). Skala nominal adalah skala yang memungkinkan peneliti untuk
menempatkan subjek pada kategori atau kelompok tertentu. Kode dalam
skala numerik berfungsi sebagai label kategori yang sederhana dan sesuai,
tanpa nilai intrinsik (Sekaran 2006:15).
Financial distress didefinisikan oleh Whitaker (1999) sebagai suatu
perusahaan yang mengalami laba bersih (net income) negatif selama
beberapa tahun. Terdapat dua proxy yang digunakan untuk mengukur
kesulitan keuangan yaitu kerugian dan penurunan laba. Kerugian
didefinisikan ketika laba sebenarnya pada tahun n kurang dari 0. Sedangkan
penurunan laba didefinisikan sebagai pendapatan tahun n lebih kecil
daripada pendapatan tanun n-1 (Ellen dan Juniarti 2013: 3). Financial
distress dapat dilihat dari perusahaan yang memiliki laba bersih negatif
dalam satu periode pelaporan (Rahmayanti dan Ulil, 2017). Menurut
Mus’ud dan Reva (2015), kriteria ini menunjukkan kondisi financial
distress karena dengan adanya laba bersih negatif selama dua tahun atau
lebih secara berturut-turut berarti perusahaan mengalami penurunan kondisi
keuangan atau kerugian.
5. Pengaruh Arus Kas terhadap Financial Distress
Financial distress dimulai dari ketidakmampuan dalam memenuhi
kewajiban-kewajibannya, terutama kewajiban yang bersifat jangka pendek
termasuk kewajiban likuiditas, dan juga kewajiban yang masuk dalam
kategori (leverage) solvabilitas. Satu dari ketidakmampuan keuangan
(financial distress) adalah flow-based insolvency yang ditunjukkan dengan
kondisi arus kas operasi yang tidak dapat memenuhi kewajiban lancar
perusahaan (Fahmi 2011:158).
Hery (2016:106) menyatakan arus kas positif memungkinkan bagi
perusahaan untuk melunasi utang, membayar prive atau deviden tunai, serta
mendanai pertumbuhananya melalui ekspansi bisnis atau aktivitas investasi.
Arus kas operasi yang negatif sebagai akibat dari gagalnya atau
ketidakberhasilan aktivitas operasi mengharuskan perusahaan untuk
mencari alternatif sumber kas lainnya. Solusi untuk perusahaan dalam
mengatasi kegagalan aktivitas operasi apabila tidak ditemukan dan diikuti
dengan alasan ketidaksediaan sumber dana, bukan tidak mungkin
perusahaan akan mengalami kondisi kesulitan keuangan (financial distress).
Mengenai pengaruh arus kas terhadap financial distres,
Sumbramanyam (2017:19) menyatakan sebagai berikut :
“Perusahaan yang sukses maupun yang gagal dapat mengalami
masalah arus kas dari operasi, namun dengan alasan yang jauh
berbeda. Perusahaan yang sukses yang menghadapi masalah
investasi dalam piutang dan persediaan yang meningkat untuk
memenuhi permintaan pelanggan yang meningkat, mendapati
bahwa keuntungan yang meningkat berguna untuk mendapatkan
pendanaan tambahan dengan utang maupun ekuitas. Keuntungan
(laba akrual positif) yang dimiliki pada akhirnya menghasilkan arus
kas positif. Perusahaan yang gagal akan mengalami kekurangan
kas karena penurunan perputaran piutang dan persediaan,
mengalami kerugian operasi, atau kombinasi dari kedua faktor
tersebut atau faktor lainnya. Perusahaan yang gagal dapat
meningkatkan arus kas dengan mengurangi piutang dan persediaan,
namun hal ini umumnya disertai dengan penurunan pelayanan pada
pelanggan, yang menurunkan lebih lanjut. Faktor-faktor tersebut
merupakan tanda krisis saat ini dan dimasa depan, serta
kekurangan kas, termasuk penurunan kredit perdagangan.
Penurunan arus kas bagi perusahaan gagal memiliki implikasi yang
sama sekali berbeda dengan implikasinya bagi perusahaan yang
sukses. Manajer meskipun gagal dapat meminjam uang, biaya dan
pinjaman hanya akan memperbesar kerugian.”
Berdasarkan pemaparan pengaruh arus kas terhadap financial
distress, peneliti mengembangkan hipotesis sebagai berikut :
Ha2 : Arus kas berpengaruh terhadap financial distress pada
perusahaan non bank yang terdaftar di BEI tahun 2016-2018.

6. Pengaruh Laba terhadap Financial Distress


Laba merupakan sumber kas yang menjadi tujuan utama dalam
perusahaan karena dapat diandalkan untuk pembayaran jangka panjang atas
bunga dan pokok utang. Arus laba yang stabil merupakan ukuran penting
atas kemampuan perusahaan dalam mencari dana pinjaman pada saat dalam
kondisi financial distress. Arus laba yang stabil juga merupakan ukuran bagi
perusahaan untuk dapat bangkit dari kesulitan ekonomi (Subramanyam
2017:161). Laba perusahaan yang ideal dapat bertumpu dengan :
a. Diperolehnya laba operasi dan bukan laba lain-lain.
b. Laba operasi di atas rata-rata industri, yang menunjukkan bahwa
kemampuan perusahaan di atas rata-rata.
c. Sudah terjadi perulangan, yang membuktikan bahwa kemampuan
perusahaan menjual produk memang teruji di pasar.
Ketiga hal tersebut apabila sudah terdapat dan dijumpai dalam
sebuah perusahaan dapat dikatakan bahwa fundamental dari laba yang
dimiliki sudah kuat. Laba yang sudah kuat diartikan bahwa perusahaan
sudah teruji di pasar dan memperoleh pendapatan yang memadai (Prihadi
2010:55).
Hery (2016:87) menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat
pertumbuhan laba yang tinggi, laba bersih yang dihasikan tidak menjamin
bahwa laba perusahaan tersebut memiliki uang kas yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan kas jangka pendeknya. Laba yang dihasilkan oleh
aktivitas operasi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek
perusahaan akan mendorong manajemen untuk melakukan peminjaman.
Peminjaman yang dilakukan perusahaan jika tidak disertai dengan
peningkatan laba pada periode berikutnya dapat mengalami kondisi
kesulitan keuangan (financial distress). Whitaker (1999) menyatakan
bahwa perusahaan yang memiliki laba bersih negatif maka akan mengalami
masa kesulitan kuangan (financial distress).
Laba merupakan target perusahaan, dengan laba dapat dilihat
perkembangan perusahaan dalam rentang waktu tertentu, baik penurunan
atau kenaikan. Perusahaan apabila dapat mencapai target yang diharapkan,
dapat dikatakan telah mencapai target untuk periode atau beberapa periode
(Kasmir 2016:196).
Berdasarkan pemaparan mengenai pengaruh laba terhadap financial
distress, peneliti mengembangkan hipotesisi sebagai berikut :
Ha3 : Laba berpengaruh terhadap financial distress pada
perusahaan non bank yang terdaftar di BEI tahun 2016-2018.

7. Pengaruh Leverage terhadap Financial Distress


Penggunaan hutang yang terlalu tinggi akan membahayakan
perusahaan karena perusahaan akan masuk dalam kategori extreme
leverage, yaitu perusahaan terjebak dalam tingkat hutang yang tinggi dan
sulit untuk melepaskan beban utang tersebut (Fahmi 2011:127). Beban
utang yang dimiliki oleh perusahaan jika terus meningkat dan aktivitas
operasi perusahaan tidak memberikan hasil yang membaik, maka
perusahaan akan masuk kedalam kondisi financial distress karena tidak
dapat mencukupi kebutuhan dan menyelesaikan kewajiban yang menjadi
tanggungannya.
Rasio leverage yang terus bertambah besar akan memberikan
pengaruh kepada besarnya kemungkinan yang dimiliki perusahaan dalam
mengalami financial distress. Perusahaan mengalami financial distress
terjadi kemungkian akibat dari rasio leverage yang tinggi akan
menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki kemampuan dalam
menyelesaikan kewajibannya. Hery (2016:163) menyatakan perusahaan
dengan rasio solvabilitas tinggi (memiliki utang yang besar) dapat
berdampak pada timbulnya risiko keuangan yang besar, tetapi juga memiliki
peluang yang besar pula untuk menghasilkan laba yang tinggi. Risiko
keuangan yang besar ini timbul perusahaan harus menanggung atau
terbebani dengan pembayaran bunga dalam jumlah yang besar.
Leverage memperbesar kesuksesan serta kegagalan manajerial.
Batas utang yang berlebihan menghambat inisiatif dan fleksibilitas
manajemen untuk mengejar peluang yang menguntungkan (Subramanyam
2017:163). Fakta yang ditemukan dalam praktik perhitungan rasio leverage,
apabila dihasilkan angka yang tinggi akan bredampak menimbulkan risiko
kerugian yang lebih besar, namun kesempatan untuk mendapatkan laba juga
besar. Terjadi sebaliknya apabila hasil perhitugan menunjukkan angka yang
kecil, risiko kerugian yang akan dimiliki oleh perusahaan juga kecil
terutama pada saat perekonomian menurun. Nilai rasio leverage bergantung
pada pinjaman yang dimiliki perusahaan, selain aktiva yang dimiliki
(Kasmir 2016:152).
Berdasarkan pemaparan mengenai pengaruh leverage terhadap
financial distress, peneliti mengembangkan hipotesis sebagai berikut :
Ha4 : Leverage berpengaruh terhadap financial distress pada perusahaan
non bank yang terdaftar di BEI tahun 2016-2018.
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang digunakan sebagai
landasan/patokan pada penelitian yang akan dilakukan. Oleh karena itu akan
lebih relevan apabila penulis mengulas tentang hasil penelitian yang sudah ada
sehingga dapat dilakukan sebagai acuan untuk penelitian yang akan dilakukan.
Penelitian relevan tersebut yaitu:
Dari hasil penelitian dan analisa Halim (2017) yang berjudul
“Penggunaan Laba Dan Arus Kas Untuk Memprediksi Kondisi Financial
Distress”. menyimpulkan laba dan arus kas berpengaruh signifikan dan dapat
digunakan untuk memprediksi nilai probabilitas financial distress pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2013-2014. Gustiyawan
(2013) menyebutkan bahwa rasio keuangan yang berasal dari laporan laba-rugi,
neraca dan laporan arus kas menunjukkan bahwa rasio TL/TA, CFFO/TL,
CA/CL dan NI/TA dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial
distress perusahaan dengan daya klasifikasi total sebesar 92,3% yang
mengindikasikan tingkat keberhasilan untuk memprediksi financial distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Laksmita dan Komala (2017) yang
berjudul “Analisis Terhadap Financial Distress Pada Perusahaan Sub Sektor
Properti dan Real Estate di BEI 2011-2015”. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa arus kas berpengaruh terhadap financial distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Bhandari dan Iyer (2013) yang
berjudul “Predicting Business Failure Using Cash Flow Statement Based
Measures”. Menyatakan bahwa banyak perusahaan lebih memilih
menggunakan laporan keuangan yang berbasis akrual dengan variabel prediktor
rasio keuangan. Perhitungan menggunakan arus kas memiliki keterbatasan
dalam memprediksi kegagalan sebuah perusahaan.
Dari hasil penelitian dan analisa Atmini dan Andayani (2006) yang
berjudul “Manfaat Laba dan Arus Kas Untuk Memprediksi Kondisi Financial
Distress Pada Perusahaan Textile Mill Products san Apparel And Other Textile
Products yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Menyimpulkan bahwa model
laba yang lebih baik dalam memprediksi financial distress pada perusahaan
Textile Mill Products dan Apparel and Other Textile Products yang terdaftar di
Bursa Efek Jakarta.
Dari hasil penelitian dan analisa Djongkang dan Maria (2014) yang
berjudul “Manfaat Laba Dan Arus Kas Untuk Memprediksi Kondisi Financial
Distress”. Menyimpulkan model laba cukup kuat untuk dingunakan dalam
memprediksi financial distress perusahaan, sedangkan model arus kas tidak
dapat digunakan sebagai model prediksi financial distress karena hasil statistik
yang tidak signifikan.
Dari hasil penelitian dan analisa Wahyuningtyas (2010) yang berjudul
“Penggunaan Laba dan Arus Kas Untuk Memprediksi Financial Distress”.
Menyatakan informasi nilai laba memiliki kemampuan dalam memprediksi
kondisi financial distress pada suatu perusahaan, ditunjukkan dengan nilai
signifikan dalam uji regresi logistik. Informasi nilai arus kas tidak memiliki
pengaruh yang signifikan.
Dari hasil penelitian dan analisa Aminah (2015) yang berjudul
“Manfaat Laba dan Arus Kas Dalam Menentukan Prediksi Kondisi Financial
Distress”. menarik kesimpulan bahwa laba berpengaruh signifikan terhadap
prediksi kondisi financial distress pada perusahaan food and beverage di Bursa
Efek Indonesia. Arus kas sebagai variabel lainnya memiliki pengaruh tidak
signifikan terhadap prediksi kondisi financial distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Novianita (2017) yang berjudul
“Pengaruh Laba, Arus Kas dan Struktur Kepemilikan Terhadap Financial
Distress Pasa Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”.
menyatakan bahwa laba berpengaruh signifikan teradap kondisi financial
distress. Arus kas tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi financial
distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Julius (2017) yang berjudul “Pengaruh
Financial Leverage, Firm Growth, Laba dab Arus Kas Terhadap Financial
Distress”. Hasil penelitian menyatakan bahwa laba tidak berpengaruh terhadap
financial distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Utami (2009) yang berjudul “Pengaruh
Aktivitas, Leverage, dan Pertumbuhan Perusahaan dalam Memprediksi
Financial Distress”. Menyatakan bahwa leverage mempunyai pengaruh positif
dan signifikan dalam memprediksi financial distress pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Semakin tinggi leverage,
probabilitas perusahaan mengalami financial distress semakin besar.
Dari hasil penelitian dan analisa Andre dan Taqwa (2014) yang
berjudul “Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas dan Leverage dalam Memprediksi
Financial Distress”. menyatakan bahwa leverage memiliki pengaruh yang
signifikan dalam memprediksi financial distess. Kesimpulan lain diambil
bahwa profitabilitas memiliki pengaruh signifikan negatif dalam memprediksi
kondisi financial distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Atika, Darminto dan Handayani
(2013) yang berjudul “Pengaruh Beberapa Rasio keuangan Terhadap Prediksi
Kondisi Financial Distress”. Menarik kesimpulan bahwa Current Ratio, Debt
Ratio dan CLTA merupakan rasio yang dapat digunakan untuk pemprediksi
kondisi financial distress perusahaan. Profit Margin, Sales Growth dan
Inventory Turn Over tidak dapat digunakan untuk memprediksi kondisi
financial distress perusahaan.
Dari hasil penelitian dan analisa Widhiari dan Merkusiwati (2015) yang
berjudul “Pengaruh Rasio Likuiditas, Leverage, Operating Capaity, dan Sales
Growth Terhadap Financial Distress”. Menyimpulkan bahwa leverage tidak
mampu mempengaruhi financial distress perusahaan manufaktur yang terdaftar
di BEI periode 2010-2013.
Dari hasil penelitian dan analisa Mas’ud dan Srengga (2015) yang
berjudul “Analisis Rasio Keuangan Untuk Memprediksi Kondisi Financial
Distress Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”.
Menyimpulkan bahwa financial leverage tidak berpengaruh terhadap kondisi
financial distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Budiarso (2014) yang berjudul
“Pengaruh Struktur Kepemilikan, Likuditas dan Leverage Terhadap Financial
Distress”. Menyimpulkan bahwa leverage tidak memiliki kontribusi terhadap
terjadinya financial distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Kusanti (2015) yang berjudul
“Pengaruh Good Corporate Governance dan Rasio Keuangan Terhadap
Financial Distress”. Menarik kesimpulan dari penelitian yang diakukan adalah
laverage tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Putri dan Merkusiwati (2014) yang
berjudul “Pengaruh Mekanisme Corporate Governance, Likuiditas, Leverage,
dan Ukuran Perusahaan Pada Financial Distress”. Menyimpulkan ketiga
variabel komisaris independen, kompetensi komite audit, likuiditas dan
leverage tidak berpengaruh signifikan pada kemungkinan terjadinya financial
distess. Berbeda dengan ukuran perusahaan yang menunjukkan hasil statistk
negatif dan signifikan.
Dari hasil penelitian dan analisa Rahmy (2015) yang berjudul
“Pengaruh Profitabilitas, Financial Leverage, Sales Growth dan Aktivitas
Terhadap Financial Distress”. Menyimpulkan bahwa financial leverage, sales
growth dan aktivitas tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Profitabilitas menjadi variabel tunggal yang memliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap financial distress.
Dari hasil penelitian dan analisa Widarjo dan Setiawan (2009) yang
berjudul “Pengaruh Rasio keuangan Terhadap Komdisi Financial Distress
Perushaan Otomotif”. Menyatakan melalui penelitian yang dilakukan adalah
leverage tidak berpengaruh terhadap financial distress.

C. Kerangka Konseptual Penelitian


Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan, kerangka
konseptual yang digunakan dalam penelitian dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian

D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori yang sudah ada dapat dirumuskan hipotesis
sementara untuk digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
Ha1 : Arus kas, laba, dan leverage berpengaruh terhadap financial distress
pada perusahaan non bank yang terdaftar di BEI tahun 2016-2018.
Ha2 : Arus kas berpengaruh terhadap financial distress pada perusahaan non
bank yang terdaftar di BEI tahun 2016-2018.
Ha3 : Laba berpengaruh terhadap financial distress pada perusahaan non
bank yang terdaftar di tahun BEI 2016-2018.
Ha4 : Leverage berpengaruh terhadap financial distress pada perusahaan
non bank yang terdaftar di BEI tahun 2016-2018.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Objek Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan objek laporan tahunan


perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id) kecuali
industri perbankan periode tahun 2016-2018.

B. Metode dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah studi empiris, yaitu


penelitian yang menggunakan data sekunder dari pihak eksternal. Data dari
pihak eksternal tersebut kemudian diolah serta dilakukan analisa secara
menyeluruh. Studi empiris dengan menganalisa secara matematik dan statistik
digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, dan membuat prediksi dari
data-data yang sudah didokumentasikan. Data-data sekunder tersebut terdiri
dari rasio arus kas terhadap kewajiban lancar, return of assets ratio, debt to
assets ratio dan financial distress.

C. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel penelitian diambil menggunakan teknik purposive sampling


yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2016:).
Purposive sampling dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi
berdasarkan suatu kriteria tertentu (Hartono, 2013 : 98). Sampel dari
penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia
kecuali industri perbankan periode tahun 2012-2016. Seluruh perusahaan harus
termasuk dalam kriteria sampel penelitian, yaitu :
1. Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2016- 2018
secara terus menerus, kecuali perusahaan perbankan.
2. Perusahaan non bank yang menyampaikan laporan keuangan secara rutin di
Bursa Efek Indonesia periode 2016-2018.
3. Perusahaan non bank yang memiliki laba bersih negatif selama 3 tahun
berturut-turut.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi. Teknik


ini dilakukan dengan mengumpulkan, mempelajari, dan menganalisis data
laporan keuangan perusahaan. Data yang diolah juga didapatkan dari studi
pustaka, artikel, jurnal, dan sumber-sumber terkait yang relevan.

E. Variabel Penelitian

Analisis data pada penelitian ini menggunakan variabel arus kas, laba,
leverage dan financial distress. Definisi atas masing-masing variabel tersebut
diselaskan sebagai berikut:
1. Arus Kas
merupakan jumlah pengeluaran tiap–tiap periode, antara lain pembelian
bahan–bahan, peralatan dan lain-lain di samping penerimaan.
2. Laba
Laba dimaknai sebagai imbalan atas upaya perusahaan dalam menghasilkan
barang dan jasa.
3. Laverage
Rasio Leverage menggambarkan kemampuan yang dimiliki
perusahaan dalam mendapatkan laba melalui sumber daya yang ada.
4. Financial distress
Financial distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi
sebelum kebangkrutan atau likuidasi.
F. Teknik Analisis Data

1. Menghitung Variabel
a. Menghitung Rasio Arus Kas terhadap Kewajiban Lancar
1) Menghitung arus kas operasi
2) Menghitung kewajiban lancar
3) Menghitung rasio arus kas terhadap kewajiban lancar
Rasio arus kas terhadap kewajiban lancar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :

Arus Kas Operasi


Kewajiban Lancar

Perusahaan yang memiliki rasio arus kas operasi terhadap


kewajiban lancar di bawah 1 berarti bahwa perusahaan tersebut tidak
mampu melunasi kewajiban lancar.

b. Menghitung Return of Assets


1) Menghitung laba/rugi bersih
2) Menghitung total aktiva
3) Menghitung return of assets
Return of assets dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Laba Bersih
Total Aktiva

Standar indutri rasio ROA sebesar 20% atau 0,2 dimana, semakin tinggi
hasil pengembalian atas aset berarti semakin tinggi pula jumlah laba
bersih yang dihasilkan dari setiap dana yang tertanam.

c. Menghitung Debt Ratio


1) Menghitung total kewajiban
2) Menghitung total aktiva
3) Menghitung debt ratio
Debt ratio dapat dihitung dengan menggunkan rumus :

Total Kewajiban
Total Aktiva

Ketentuan umumnya adalah bahwa perusahaan seharusnya memiliki


debt ratio kurang dari 0,5.

d. Mengklasifkasi Laba Negatif dan Positif


Financial distress dapat dilihat dari perusahaan yang memiliki
laba bersih negatif dalam satu periode pelaporan (Rahmayanti dan Ulil,
2017). Menggunakan skala nominal dengan kode 1 dan 2 yang berfungsi
sebagai label kategori semata tanpa memiliki nilai interinsik dan tidak
memiliki arti apa-apa. Label 1 untuk laba negatif dan 2 untuk laba
positif.

2. Menguji Asumsi Klasik


a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah
model regresi, variabel independen dan dependen atau keduanya
mempunyai distribusi normal atau tidak. Model yang paling baik
adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Normalitas data
dapat dideteksi dengan melihat bentuk kurva histogram dengan
kemiringan seimbang ke kiri dan ke kanan dan berbentuk seperti
lonceng atau dengan melihat titik-titik data yang menyebar di sekitar
garis diagonal searah mengikuti garis diagonal dari gambar normal P-
Plot (Nugroho 2005:23).

b. Uji Multikolinieritas
Ghozali (2016:103) menyatakan uji multikolinieritas untuk
menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar
variabel independen. Masalah multikolinieritas dapat diidentifikasi jika
terjadi korelasi. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi antar variabel independen. Pengujian terhadap ada tidaknya
multikolineritas dilakukan dengan metode VIF (Variance Inflation
Factor) dengan ketentuan :
VIF > 10 terdapat masalah multikolinieritas
VIF ≤ 10 tidak terdapat msalah multikolinieritas

c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu
model regresi berganda ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1.
Mendiagnosis adanya autokorelasi dalam suatu model regresi dapat
dilakukan pengujian terhadap nilai uji Durbin Watson untuk
autokorelasi tingkat satu dan mensyaratkan adanya intercept dalam
model regresi dan tidak ada vaiabel lag di antara variabel independen
(Ghozhali, 2016 : 107).

Kriteria Pengujian :

Hipotesis Nol Keputusan Jika


1. Tidak ada autokorelasi positif Tolak 0<d-dl
2. Tidak ada autokorelasi positif No decision dl<d<du
3. Tidak ada autokorelasi negatif Tolak 4-dl<d<4
4. Tidak ada autokorelasi negatif No decision 4-du<d<4-dl
5. Tidak ada autokorelasi, positif
Tidak ditolak du<d<4-du
atau negatif
Tabel 1. Kriteria Pengujian Autokorelasi (Sumber : Ghozali, 2016)

d. Uji Heterokedastisitas
Heterodeskesitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi terjadi ketidak samaan variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah
mengalami homoskedatisitas atau tidak terjadi heteroskesdatisitas.
Variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi variabel
dependen dapat diartikan bahwa terjadi heteroskedastisitas. Tingkat
signifikan dapat dilihat melalui probabilitas di atas tingkat kepercayaan
5% (0,05) yang berarti tidak terdapat masalah heteroskedastisitas
(Ghozali, 2016 : 134).

e. Uji Linieritas
Uji ini dilakukan untuk melihat apakah spesifikasi model yang
digunakan sudah benar atau tidak. Spesifikasi model yang dimaksud
apakah fungsi yang digunakan dalam suatu studi empiris sebaiknya
berbentuk linear, kuadrat atau kubik. Uji linieritas ini biasanya
digunakan sebagai prasarat dalam analisis korelasi atau regresi
berganda (Ghozali, 2016: 159).

3. Menentukan Regresi Berganda


Analisis regresi berganda berganda digunakan dalam penelitian
ini, bila peneliti bermaksud meramalkan bagaimana keadaan variabel
dependen, bila dua atau lebih variabel independen sebagai faktor prediktor
dimanupulasi. Analisis regresi berganda akan dilakukan bila jumlah
variabel independennya minimal dua (Sugiyono 2016:211). Pengaruh
antara arus kas, laba dan leverage terhadap financial distress dapat dilihat
menggunakan regresi berganda, untuk menguji hipotesis menggunakan
rumus :

Y = a + b1X1 +b2X2 + b3X3 + e

Keterangan :
Y = Financial Distress
a = Konstanta
b1, b2, b3 = Koefisien Regresi
X1 = Arus Kas
X2 = Laba
X3 = Leverage
e = Tingkat Kesalahan
4. Menguji Hipotesis
a. Merumuskan Hipotesis
Berdasarkan teori yang ada, dapat ditarik hipotesis sementara,
yaitu :

Ha1 : Arus kas, laba, dan leverage berpengaruh terhadap financial


distress pada perusahaan non bank yang terdaftar di BEI tahun
2016 - 2018.

Ha2 : Arus kas berpengaruh terhadap financial distress pada


perusahaan non bank yang terdaftar di BEI tahun 2016 - 2018.

Ha3 : Laba berpengaruh terhadap financial distress pada


perusahaan non bank yang terdaftar di BEI tahun 2016 - 2018.

Ha4 : Leverage berpengaruh terhadap financial distress pada


perusahaan non bank yang terdaftar di BEI tahun 2016 - 2018.

b. Menentukan Tingkat Signifikansi


Uji signifikansi, yaitu pengujian terhadap pengaruh yang terjadi
dan variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat.
Pembuktian dilakukan dengan cara membandingkan nilai F kritis
dengan nilai F hitung yang terdapat pada tabel analysis of variance.
Nilai F-tabel dapat ditentukan dengan tingkat signifikansi yang
digunakan sebesar 5% dengan derajat kebebasan (degree of freedom)
df=(n-k) dan (k-1) dimana n adalah jumlah observasi, kriteria uji yang
digunakan adalah :

Nilai signifikansi > 0,05 maka Ha tidak didukung

Nilai signifikansi < 0,05 maka Ha didukung

Setelah melakukan uji F dan menunjukkan adanya penolakan


hipotesis nol yang berarti bahwa secara bersama-sama semua variabel
independen mempengaruhi variabel dependen, namun hal ini tidak
berarti secara individual variabel dependen mempengaruhi variabel
dependen melalui uji t. Perbedaan dapat terjadi karena kemungkinan
adanya korelasi yang tinggi antar variabel independen. Kondisi korelasi
yang tinggi antar variabel independen menyebabkan standard error
juga menjadi sangat tinggi dan rendahnya nilai t hitung meskipun
model secara umum mampu menjelaskan data dengan baik (Widarjono
2015: 20).

c. Menghitung Nilai “t”

Uji Signifikansi Indivisual/Parsial untuk menguji pengaruh


yang terjadi dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel
terikat secara parsial. Seberapa besar pengaruh variabel terikat terhadap
variabel bebas ditentukan dari hasil akhir pengujian. Nilai t-statistik
dapat diketahui degan tabel yang memiliki tingkat signifikansi 5%
derajat kebebasan df = (n-k) dan (k 1), dimana n adalah jumlah
observasi. Penolakan dan penerimaan Ho dapat ditentukan
menggunakan kriteria uji “t” sebagai berikut :

Nilai signifikansi > 0,05, maka Ha tidak didukung

Nilai signifikansi < 0,05, maka Ha didukung

d. Mengambil Keputusan
Keputusan dari hasil penelitian dapat diambil dengan syarat :

1) Hipotesis alternatif (Ha) didukung apabila thitung ≥ ttabel

2) Hipotesis alternatif (Ha) tidak didukung apabila thitung< ttabel

e. Menarik Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian dapat ditarik dengan menggunakan
ketentuan :
1) Apabila Ha1 didukung, maka variabel arus kas, laba, dan leverage
tidak berpengaruh terhadap financial distress pada perusahaan non
bank yang terdaftar di BEI tahun 2016 - 2018.

2) Apabila Ha2 didukung, maka variabel arus kas berpengaruh


terhadap financial distress pada perusahaan non bank yang
terdaftar di BEI tahun 2016 - 2018.

3) Apabila Ha3 didukung, maka variabel laba berpengaruh terhadap


financial distress pada perusahaan non bank yang terdaftar di BEI
tahun 20126 - 2018.

4) Apabila Ha4 didukung, maka variabel leverage berpengaruh


terhadap financial distress pada perusahaan non bank yang
terdaftar di BEI tahun 2016 – 2018.
DAFTAR PUSTAKA

Altman, E. I., dan Hotchkiss, E. 2006. Corporate Financial Distress and


Bankruptcy. Canada: Jhon Wiley & Sons, INc., Hoboken, New Jersey.

Amarilla, Ulfi, Kania Nurcholisah, & Diamonalisa Sofianty. 2015. Pengaruh


Arus Kas Operasi dan Ukuran Perusahaan Terhadap Financial
Distress. Pusat Penerbitan Universitas (P2u Unisba). Bandung

Amilia, L. S. 2006. Prediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Go-Public


dengan Menggunakan Analisis Multinominal Logit. Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Volume XII, No.1.

Amilia, L. S., dan Kristijadi. 2003. Analisis Rasio Keungan Untuk Memprediksi
Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di
Bursa Efek Jakarta. JAAI, Volume 7, No.2 , 183.

Aminah, Siti. 2015. Manfaat Laba dan Arus Kas Dalam Menentukan Prediksi
Kondisi Financial Distress. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Vol
4No.5

Atmini, S., dan Andayani, W. 2006. Manfaat Laba dan Arus Kas Untuk
Memprediksi Kondisi Financial Distress Pada Perusahaan Textile
Mill Products san Apparel And Other Textile Products yang Terdaftar
di Bursa Efek Jakarta. TEMA, Vol.7, Nomor 2 , 154.

Andre, Orina dan Taqwa, Salma. 2014. Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas dan
Leverage Dalam Memprediksi Financial Distress. Junal Elektronik
Universitas Negeri Padang.

Atika; Darminto dan Handayani, Siti Ragil. 2013. Pengaruh Beberapa Rasio
keuangan Terhadap Prediksi Kondisi Financial Distress. Jurnal
Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya
Malang. Bank Indonesia.

Bhandari, S. B., dan Iyer, R. 2013. Predicting Business Failure Using Cash Flow
Statement Based Measures. Managerial Finance, Vol. 29 No.7 , 667-
676.

Budiarso, Novi S. 2014. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Likuditas dan


Leverage Terhadap Financial Distress. Jurnal Elektronik Universitas
Sam Ratulangi Manado.

Damodaran, A. 2001. Corporate Finance: Theory and Practice. New York:


Willey.
Diarista, M. R. 2017. Hubungan Antara Mekanisme Corporate Governance,
Financial Distress, dan Nilai Perusahaan. Skripsi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.

Djongkang, F., dan Rita, M. R. 2014. Manfaat Laba Dan Arus Kas Untuk
Memprediksi Kondisi Financial Distress. Journal Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana .

Ellen dan Juniarti. 2013. Penerapan Good Corporate Governance, Dampaknya


terhadap Prediksi Financial Distress pada Sektor Aneka Industri dan
Barang Konsumsi. Bussiness Accounting Review, Vol.1 , No.2.
Akuntansi Bisnis Universitas Petra

Fahmi, I. 2011. Analisis Laporan Keuangan. Bandung: Alfabeta.

Fakhruddin, H. M. 2008. Istilah Pasar Modal A-Z. Jakarta: PT.Elex Media


Komputindo.

Fatmawati, Amelia. 2017. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Financial


Distress. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Volume 6, Nomor 10.
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya.

Fraser, L. M., dan Aileen, O. 2008. Memahami Laporan Keuangan, Ed. 7.


PT.Indeks.

Ghozali, I. 2016. Aplikasi Analisis Mutltivariate Dengan Program SPSS.


Semarang: BP. Undip.

Gobenvy, O. 2014. Pengaruh Profitabilitas, Financial Leverage, dan Ukuran


Perushaan Terhadap Financial Distress Pada Perusahaan Manufaktur
Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2011. Jurnal
Ekonomi Universitas Negeri Padang .

Gustiyawan, Arya. 2013. Prediksi Financial Distress pada Perusahaan


Manufaktur yang Terdaftar di BEI dengan Menggunakan Analisis
Multinomial Logit. Skripsi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Halim, M. 2017. Penggunaan Laba Dan Arus Kas Untuk Memprediksi Kondisi
Financial Distress.

Hapsari, Evanny Indri. 2012. Kekuatan Rasio Keuangan dalam Mempediksi


Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur BEI. Jurnal
Dinamika Manajemen Universitas Negeri Semarang.

Harahap, S. S. 2016. Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT.


Rajagrafindo Persada.
Hartono, Jogiyanto. 2013. Metodologi Penelitian Bisnis Salah Kaprah dan Pengalaman-
pengalaman. Edisi 5. BPFE-Yogyakarta.

Hery. 2016. Analisis Laporan Keuangan : Interated and Comprehensive Edition.


Jakarta: Grasindo.

Hery. 2015. Analisis Laporan Keuangan : Pendekatan Rasio Keuangan.


Yogyakarta: CAPS.

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2014. Standar Akuntansi Keuangan. PSAK No. 2 :


Penyajian Arus Kas. Jakarta: Salemba Empat.

Julius, Frans P. S. 2017. Pengaruh Financial Leverage, Firm Growth, Laba dab
Arus Kss Terhadap Financial Distress. Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Ekonomi Universitas Riau.

Jumingan. 2014. Analisis Laporan Keuangan. Cetakan Kelima, Jakarta: Bumi


Aksara.

Jusup, H. 2011. Dasar-dasar Akuntansi Jilid 2 Ed. 7. Yogyakarta: Sekolah Tinggi


Ilmu Ekonomi YKPN.

Kasmir. 2016. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Keown, Arthur J., Scott, David F., Martin, Jhon D., dan Petty, William J. 2010.
Manajemen Keuangan: Prinsip san Penerapan Jilid 2 , Ed. 10. Jakarta:
PT. Indeks.

Kieso, D. E., Weygant, J., dan Warfield, T. 2002. Akuntansi Intermediete, Ed. 10,
Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kusanti, Okta. 2015. Pengaruh Good Corporate Governance dan Rasio


Keuangan Terhadap Financial Distress. Jurnal Ilmu dan Riset
Akuntansi, Vol 4 No. 10. Sekolah Tinggi Ilmu ekonomi Indonesia Surabaya.

Laksmita, Nadia; dan Komala, Adeh Ratna. 2017. Analisis Terhadap Financial Distress
Pada Perusahaan Sub Sektor Properti dan Real Estate di BEI 2011-2015.
Jurnal Riset Akuntansi Vol. IX/No.2. Universitas Komputer Indonesia.

Mas'ud, I., dan Srengga, R. M. 2012. Analisis Rasio Keuangan Untuk Memprediksi
Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa
Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi Universitas Jember, 139-153.

Munawir, S. 2014. Analisis Laporan Keuangan, Ed. 4. Yogyakarta: Liberty.


Novianita, Azizah. 2017. Pengaruh Laba, Arus Kas dan Struktur Kepemilikan
Terhadap Financial Distress Pasa Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Artikel Ilmiah Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Surabaya.

Nugroho, A. 2005. Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Dengan


Metodologi Berorientasi Objek. Bandung: Informatika.

Prihadi, T. 2010. Analisis Laporan Keuangan : Teori dan Aplikasi. Jakarta Pusat:
PPM.

Prastowo, D., dan Juliaty, Rifka. 2005. Analisis Laporan Keuangan: Konsep dan
Aplikasi, Cetakan Perama. Yogyakarta: UPP AMP YKPN

Purba, R. 1997. Analisis Biaya dan Manfaat. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Putra, B. C. 2017. Hubungan Rasio Keuangan dan Kondisi Financial Distress. Skripsi
Universitas Sanata Dharma.

Putri, Ni Wayan Krisnayanti Arwinda dan Merkusiwati, Ni kt. Lely A. 2014. Pengaruh
Mekanisme Corporate Governance, Likuiditas, Leverage, dan Ukuran
Perusahaan Pada Financial Distress. E-Jurnal Akuntansi Universitas
Udayana Bali.

Rahmayanti, Sri dan Ulil Hadromi. 2017. Analisis Financial Distress Pada
Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Jurnal Akuntansi dan ekonomika, Universitas Muhammadiyah Riau,
Indonesia.

Rahmy. 2015. Pengaruh Profitabilitas, Financial Leverage, Sales Growth dan


Aktivitas Terhadap Financial Distress. Skripsi Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Padang.

Santoso, S. 2010. Satistik Multivariat Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.

Sekaran, Uma. 2006. Metodologi Pene;itian untuk Bisnis. Ed 4, Buku 2. Jakarta


: Salemba Empat

Subramanyam, K. R. 2014. Analisis Laporan Keuangan Buku 2, Ed 11. Jakarta


Selatan: Salemba Empat.

Subramanyam, K. R. 2017. Analisis Laporan Keuangan Buku 2, Ed 11. Jakarta


Selatan: Salemba Empat.

Sudana, I Made. 2015. Manajemen Keuangan Perusahaan, ED 2. Jakarta:


Erlangga.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Surya. Raja Adri Satriawan. 2012. Akuntansi Keuangan Versi IFRS+. Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Suwardjono. 2008. Teori Akuntansi : Perekayasaan Pelaporan Keuangan.


Yogyakarta: BPFE.

Utami, Mesisti. 2009. Pengaruh Aktivitas, Leverage, dan Pertumbuhan


Perusahaan dalam Memprediksi Financial Distress. Artikel Akuntansi
Universitas Negeri Padang.

Wahyuningtyas, F. 2010. Penggunaan Laba dan Arus Kas Untuk Memprediksi Financial
Distress. Skripsi Universitas Diponegoro .

Whitaker, R. B. 1999. The Early Stages of Financial Distress. Journal of


Economics and Finance 23 .

Widarjo, Wahyu & Setiawan, Doddy. 2009. Pengaruh Rasio keuangan Terhadap
Komdisi Financial Distress Perushaan Otomotif. Jurnal Bisnis dan
Akuntansi, Vol. 11 No.2. Universitas Sebelas Maret

Widarjono, Agus. 2015. Analisis Multivariat Terapan, Edisi Kedua.Yogyakarta:


UPP SIM YKPN.

Widhiari, N. L., & Merkusiwati, N. K. 2015. Pengaruh Rasio Likuiditas, Leverage,


Operating Capaity, dan Sales Growth Terhadap Financial Distress. E- Jurnal
Universitas Udayana , 456-469.

Anda mungkin juga menyukai