Disusun oleh :
Kelompok 3B
Gianika Frakastiwi 11161020000028
Adhetria Ramadhanty 11161020000032
Miftahul Jannah 11161020000033
Rahmanita Novita Sari 11161020000034
Fika Nurfiyanti Anggiyani 11161020000039
Saila Salsabila 11161020000050
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (PP No. 51,
2009). Pelayanan kefarmasian kini semakin berkembang dengan pergeseran
orientasinya dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient
oriented) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Peningkatan
tersebut terjadi seiring dengan peningkatan konsumsi masyarakat terhadap obat
terutama obat bebas, kosmetik, kosmeseutikal, health food, nutraseutikal dan obat
herbal.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian, disebutkan bahwa apotek adalah sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah
sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker. Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan berperan
dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kegiatan tersebut tidak dapat
berjalan dengan sendirinya namun harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana
dan prasarana. Pelayanan kefarmasian di apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
pelayanan farmasi klinik dan kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan 2 bahan medis habis pakai. Seorang apoteker
harus mampu dalam menjalankan serta menyeimbangkan kedua kegiatan tersebut.
Pada proses pelayanan kefarmasian seorang apoteker harus mampu
mengambil keputusan yang tepat untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi
akibat medication error serta mampu mengatasi masalah terkait obat (drug related
problems). Pekerjaan apoteker harus sesuai dengan standar yang berlaku, yaitu sesuai
standar pelayanan farmasi apotek yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No.35 tahun 2014 yang meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
pelayanan resep (meliputi peracikan, penyerahan obat serta pemberian informasi
obat), konseling, memonitor penggunaan obat, edukasi, promosi kesehatan, dan
evaluasi terhadap pengobatan (antara lain dengan membuat catatan pengobatan
pasien) sehingga dapat menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat.
Dalam laporan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pelayanan kefarmasian
terutama pengkajian klinis terhadap resep obat penyakit degenertif seperti anti
diabetes, anti hipertensi dan dislipidemia.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam laporan ini yaitu:
1. Mahasiswa mampu melaksanakan pembacaan dan pelayanan resep
2. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian riwayat pengobatan pasien
3. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian klinis terhadap resep
C. Tujuan Praktikum
1. Bagaimana cara pembacaan dan pelayan resep yang baik?
2. Bagaimana cara pengkajian riwayat pengobatan pasien yang baik?
3. Bagaimana cara melaksanakan pengkajian klinis terhadap resep?
D. Manfaat Praktikum
Mampu melakukan kajian farmasetika serta menghitung dosis terhadap suatu resep
dengan baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Resep yang baik harus memuat cukup informasi yang memungkinkan ahli farmasi
yang bersangkutan mengerti obat yang harus diberikan kepada pasien (Balqis, 2015).
Menurut KepMenkes No.1027/MENKES/SK/1X/2004 standar pelayanan resep di apotek
meliputi skrining resep dan penyiapan obat. Berikut adalah skrining resep yang meliputi tiga
aspek, yaitu:
a) Persyaratan administrasi meliputi nama dokter, SIP, alamat dokter, tanggal penulisan
resep, nama, umur, berat badan, alamat pasien, tanda tangan/paraf dokter, jenis obat, dosis,
potensi/indikasi, cara pemakaian, dan bentuk sediaan jelas.
b) Kesesuaian farmasetis meliputi bentuk sediaan, dosis, inkompatibiltas, stabilitas dan
cara pemberian.
c) Keseusaian klinis meliputi adanya efek samping, alergi, dosis dan lama pemberian.
Jika resep tidak jelas langsung menghubungi dokter yang bersangkutan dan memberikan
alternatif bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan langsung
Seperti yang telah disebutkan di atas, kajian klinis resep meliputi ketepatan indikasi,
ketepatan dosis obat, aturan penggunaan obat, cara penggunaan obat, lama penggunaan obat,
duplikasi/polifarmasi, reaksi obat yang tidak diinginkan, kontraindikasi dan interaksi obat
(Anonim, 2014). Beberapa pengertian dari poin-poin kajian resep di antaranya:
Ketepatan Indikasi
Salah satu tanggung jawab seorang farmasis adalah menjamin adanya
ketepatan indikasi bagi setiap obat yang diterima oleh pasien. Terdapat dua kategori
ketepatan indikasi yaitu:
1. Indikasi yang tidak diterapi
Indikasi yang tidak diterapi terjadi ketika pasien menderita suatu penyakit
atau mengalami kondisi medis yang baru maupun mengalami perkembangan
kondisi medis yang memburuk sehingga memerlukan terapi obat tambahan
namun tidak menerimanya. Keadaan ini meliputi pasien yang memerlukan terapi
obat baru untuk menangani penyakit barunya ataupun pasien yang memerlukan
penambahan obat kedua atau ketiga untuk menangani kondisi medisnya secara
optimal namun tidak menerimanya. DRPs ini juga meliputi pasien yang
memerlukan terapi obat untuk mencegah risiko terjadinya perkembangan
penyakit baru namun tidak menerimanya.
Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak
sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah polifarmasi telah
mengalami perubahan dan digunakan dalam berbagai hal dan berbagai situasi, tetapi
arti dasar dari polifarmasi itu sendiri adalah obat dalam jumlah yang banyak dalam
suatu resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak sesuai. Jumlah yang
spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi indikasi utama akan
adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek klinis yang
sesuai atau tidak sesuai pada pasien (Rambadhe dkk., 2012).
Interaksi obat
Interaksi obat adalah perubahan efek obat akibat adanya obat lain, makanan,
minuman atau agen kimia yang lain. Mekanisme interaksi obat ditinjau dari ADME
(Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi) tidak lepas dari efek farmakologi
obat secara keseluruhan. Interaksi ini sangat kompleks karena tidak tergantung
faktor obat tetapi tergantung faktor-faktor penderita. Interaksi ini terjadi ketika obat
berada di dalam tubuh dan menyangkut salah satu kombinasi faktor di bawah ini :
1) Efek langsung dari obat-obatan
2) Modifikasi saluran pencernaan
3) Perubahan distribusi oabat dalam darah
4) Modifikasi biotransformasi obat dalam tubuh
5) Modifikasi absorbsi melalui mukosa kulit
6) Ikatan obat pada protein darah
7) Perubahan ekskresi obat keluar dari dalam tubuh (Joenoes, 2003).
Interaksi obat meliputi 2 aspek yaitu :
a. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi pada waktu obat
masuk ke dalam organ yang ditentukan, setelah obat dilepas dari bentuk
sediaan yang meliputi peristiwa absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi. Proses absorbsi , distribusi, metabolisme, dan ekskresi biasanya
berjalan bersama secara langsung maupun tidak langsung yang biasanya
meliputi perjalanan obat melintasi sel membran (Anief, 2007).
b. Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi pada dua obat
atau lebih yang memiliki tempat kerja reseptor yang sama sehingga dapat
menumbulkan efek aditif, sinergis, atau antagonis. Tujuan dari fase ini
adalah optimasi dari efek biologi apabila obat telah berinteraksi dengan sisi
reseptor biasanya rotein membran akan menimbulkan efek (Anief, 2007).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Hasil
Resep 1
B. Pembahasan
Praktikum kali ini dilakukan kajian resep secara klinis. Pengkajian resep
secara klinis dilakukan setelah kajian secara administratif, lalu kajian secara
farmaseutik dan dosis maka selanjutnya kajian secara klinis. Pada pengkajian resep
dilakukan untuk menghindari terjadinya medication errors. Yang menurut t
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 Tahun 2004 merupakan suatu kejadian yang
merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan,
yang sebetulnya dapat dicegah (Anonima , 2004).
Menurut Cohen (1999) , faktor penyebab medication errors adalah sebagai
berikut: 1) Kurangnya pengetahuan tentang obat, 2) Kurangnya informasi tentang
pasien, 3) Kesalahan dan kehilangan arsip, 4) Kesalahan pada tulisan, 5) Kesalahan
interaksi dengan pemberi pelayanan yang lain, 6) Kesalahan dalam perhitungan dosis,
7) Masalah dalam memasukkan obat melalui selang infus lewat parenteral, 8)
Pengontrolan yang kurang, 9) Masalah dalam penyimpanan dan pengantaran obat, 10)
Kesalahan dalam preparasi, dan 11) Kekurangan standarisasi
Resep 1 :
Pada resep pertama pasien diresepkan tiga jenis obat antara lain, norvask 10
mg, simvastatin 40 mg dan magasida. Norvask sendiri merupakan obat antihipertensi
yang di dalamnya mengandung amlodipine dan berdasarkan diagnosa maka tepat
indikasi, dosis yang diberikanpun sudah tepat yaitu 10 mg/hari karena menurut
literatur dosis normal norvask yaitu 5-10 mg/hari. Namun, bila dikaji secara aturan
pakai dan cara penggunaan maka resep tersebut kurang tepat karena seharusnya dan
sebaiknya norvask dikonsumsi sekali sehari pada pagi hari. Sebab dikhawatirkan bila
dikonsumsi pada malam hari, keesekon harinya tekanan darah pasien akan mengalami
penurunan yang drastis, sebaiknya dikonsumsi setelah makan. Dan untuk penderita
tekanan darah tinggi atau hipertensi tidak boleh untuk menghentikan pengobatan
secara mendadak, sebaiknya dihentikan secara perlahan yaitu dengan menurunkan
dosis obat sedikit demi sedikit. Dan boleh dihentikan ketika tekanan darah pasien
dalam setahun stabil atau tidak terjadi kenaikan atau penurunan tekanan darah.
Selanjutnya dilakukan kajian pada obat simvastatin yang merupakan obat
untuk pasien hiperlipidemia atau yang memiliki kadar kolesterol tinggi. Pada resep ini
obat termasuk tepat indikasi karena sesuai dengan diagnosa dokter. Selain itu, obat ini
juga tepat dosis yaitu 40 mg yang menurut literatur obat ini memiliki dosis normal
antara 20-40 mg/hari. Dalam resep dituliskan bahwa simvastatin diminum sekali
sehari pada pagi hari. Hal itu merupakan ketidaktepatan aturan dan cara penggunaan
simvastatin, karena seharusnya simvastatin dikonsumsi sekali sehari pada malam hari.
Sebab, pada malam hari merupakan waktu kerjanya enzim yang membuat kolestrol.
Sehingga, lebih efektif jika dikonsumsi pada malam hari. Simvastatin dan norvask
memiliki interaksi, yaitu dapat meningkatkan level atau kadar dari simvastatin.
Sehingga keberadaan simvastatin dalam darah akan tinggi dan disarankan untuk
mengurangi dosis simvastatin menjadi kurang dari 20mg/hari. Dan diperiksa kadar
kolesterolnya setelah tiga bulan penggunaan.
Kemudian dilakukan kajian klinis untuk magasida. Magasida merupakan
obat untuk mengatasi tukak lambung. Secara ketepatan dosis tidak ditulis di dalam
resep, seharusnya 1-2 tablet dan diminum maksimal 4xsehari. Untuk aturan dan cara
pakainya tidak ditulis dalam resep, seharusnya diminum 4xsehari dalam keadaan
perut kosong yaitu satu jam sebelum makan atau satu jam sesudah makan. Obat ini
juga dapat menimbulkan interaksi dengan obat lain yaitu menghambat absorpsi obat
lain. sehingga dalam resep ini, seharusnya diinformasikan untuk waktu minum obat
norvask sebaiknya dua jam sebelum atau dua jam sesudahk mengonsumsi magasida.
Resep 2 :
Pada resep dua terdapat tiga jenis obat, yaitu daonil, corsamag dan siproxin.
Daonil merupakan obat diabetes di dalamnya terkandung glibenklamid. Obat ibi tepat
indikasi untuk diabetes. Untuk ketepatan dosis kurang tepat sebeb tidak tertulis dalm
resep, seharusnya 2,5-20 mg/hari. Untuk ketepatan aturan juga tidak tepat, seharusnya
diminum pada pagi hari dan sebaiknya bersamaan dengan makanan.
Selanjutnya corsamag yang di dalamnya terkandung antasida. Ketepatan
dosis sudah tepat, yaitu 1-2 tab dan diminum 3-4x sehari. Ketepatan aturan, pakai
tidak tepat sebab, seharusnya diminum 3x sehari sesudah makan. Terdapat interaksi
dengan glibenklamid, yaitu dapat meningkatkan efek dari glibenklamid karena
peningkatan pH lambung. Kemudian ciproxin, obat ini merupakan antibiotik. Setelah
dikaji secara klinis ditemukan ketidak tepatan dosis, aturan dan cara penggunaan.
Seharusnya, dosis ciproxin adalah 2x(100-750)mg/hari. Dan aturan penggunaannya
1x sehari diminum setelah makan serta tidak boleh diberikan bersamaan dengan
antasida. Ciproxin juga terdapat interaksi dengan gliburid namun merupakan interaksi
yang sinergis.
BAB V
KESIMPULAN
Anief M. 2007, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Anonim. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan republik Indonesia no 35 tahun 2014, tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta
Balqis, SU. 2015. Kajian Administrasi, Farmasetik, Dan Klinis Resep Pasien Rawat Jalan Di
Rumkital DR. Mintoharjo Pada Bulan Januari 2015. Skripsi: Universitas UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta. hlm:1-59
Cipolle, R. J., Strand, L. M., & Moorley, P. C. (1998). Pharmaceutical Care Practice: The
Clinician’s Guide (2th Ed). New York: The McGraw Hill.
Joenoes N.Z, 2003, ARS Prescribendi Resep Yang Rasional, Jilid 2, Airlangga University
Press, Surabaya.
World Health Organization. (2004). Promoting rational use of medicines saves lives and
money WHO experts say. Geneva.