Nim : 2042500591
Kelas : HE
Isu- isu yang terjadi dalam hubungan internasional yang semakin kompleks ini membuat para
penstudi HI kritis akan perspektif sebelumnya agar tetap relavan. Berbagai perspektif yang
telah ada dalam HI memiliki objek sudut pandang yang berbeda- beda, contohnya human
nature, politik, perdagangan, budaya dan bahasa. Adanya keberagaman teori- teori HI
tersebut akhirnya muncul dua perspektif alternatif sebagai kritik perspektif- perspektif
sebelumnya, yakni post-strukturalisme dan post-kolonialisme. Sejak berakhirnya Perang
Dunia II hubungan antara negara Barat dan Timur semakin menegangkan dan kolonialisme
belum sepenuhnya berakhir. Pada tahun 1960-an dorongan akan post-kolonialisme lebih
ditekankan Fanon dalam pengantarnya kepada Frantz Fanon ‘The The Wretched of the Earth’
yang berisi bentuk pemberantasan atas kolonialisme (Grovugui, 2007). Dalam literatur
tersebut, Fanon membahas tentang negara Barat sebagai pemegang posisi hegemon yang
menguasai serta melakukan kolonialisasi terhadap negara- negara Timur (Grovogui, 2007).
Dengan adanya kolonialisasi tersebut maka negara Barat membagi dan mendeskripsikan
dunia atas man sebagai negara Barat yang superior dan native sebagai penduduk minoritas
(Grovogui, 2007). Dalam Sajay (2011) Adam Watson mengatakan bahwa dunia non-Eropa
‘didekolonialisasi’ oleh Eropa. Akibatnya negara Barat memegang kekuasaan tertinggi yang
kemudian membatasi hak-hak kedaulatan dari negara-negara lainnya. Kemudian lahirlah
post-kolonialisme sebagai bentuk perubahan cara berpikir tentang power dan self-
dtermination untuk menciptakan kedaulatan yang utuh bagi negara-negara non-Barat
(Grovugui, 2007).
Asumsi dasar yang dimiliki post-kolonialisme menurut Grovogui (2007) adalah, pertama
bahwa negara Barat yang memiliki kekuasaan dan cenderung menghegemoni sehingga hal ini
dapat dikatakan sebagai bentuk penjajahan. Bentuk penjajahan yang dilakukan negara barat
tidak hanya secara fisik maupun materi saja, namun dalam bentuk doktrin pemikiran. Pos-
kolonialisme menolak pandangan Barat yang cenderung mendoktrim perspektif HI yang
cenderung mendorong adanya dekontruksi pemikiran. Selanjutnya asumsi kedua yaitu
melihat tertindasnya negara dunia ketiga tersebut, maka seharusnya diciptakan keadilan
sehingga negara dunia ketiga mendapatkan kesempatan yang sama dengan negara dunia
pertama. Dengan hal ini, maka negara dunia ketiga akan lebih mengembangkan pemikirannya
sehingga terbebas dari doktrin pemikiran negara Barat. Terakhir adalah adanya
interdependensi secara tidak langsung akan membuat negara dunia ketiga semakin
bergantung kepada negara dunia pertama dalam berbagai aspek, yang mana hal tersebut
membuat negara dunia ketiga semakin tidak mandiri dan berkembang. Namun disisi lain
post-kolonialisme beranggapan bahwa peran pengetahuan bukan hanya sebagai ‘cermin’
yang menunjukan ‘keaslian’, tetapi juga sebagai kekuatan dengan membentuk perspektifnya
Post-kolonialisme beragumen bahwa adanya degradasi dalam budaya, seni, sains hingga
subjek akademik yang bahkan dalam HI merupakan akibat campur tangan dari pemikiran
Barat (Grovogui, 2007). Sehingga post-kolonialisme beranggapan bahwa adanya
kolonialisme tersebut mengakibatkan adanya hegemoni terhadap negara dunia ketiga
(Jackson & Sorensen, 2013). Dominasi tersebut memicu lahirnya orientalisme yang berfokus
pada negara Timur yang ingin membebaskan diri dari doktrin Barat (Grovogui, 2007). Tema
utama dari pendekatan ini yaitu keadilan, perdamaian pluralisme politik dan menolak
esensialisme pribumi (Grovogui, 2007). Adanya western stance yang terjadi sebagai bukti
nyata bahwa negara Barat menjadi negara superior yang menjadi pusat dunia (Hobson, 2007
dalam Jackson & Sorensen, 2013), yang kemudian post-kolonialisme berusaha untuk
membebaskan doktrin pemikiran tersebut. Anarki dipandang sebagai ciri khas tatanan
internasional, karena tanpa adanya anarki maka negara-negara tidak berinteraksi sehingga
tidak mengalami perkembangan (Sanjay, 2011).
Bagi para pemikir Barat, kekuasaan bersifat abstrak, seperti halnya konsep otoritas ataupun
legitimasi. Kekuasaan hanya bisa dinilai dari akibatakibatnya, dalam konteks pola-pola
interaksi sosial, seperti kepatuhan, tatanan ataupun harapan-harapan terhadap pihak lain.
Sedangkan bagi para pemikir Jawa, Kekuasaan sifatnya konkret/nyata dan bukan merupakan
dalil teoritis. Kekuasaan merupakan entitas yang independen dan adanya tidak bergantung
pada sesuatu yang lain. Kekuasaan ada pada setiap aspek di alam semesta, di batu, pohon,
api, dan lain sebagainya.
Akumulasi kekuasaan bersifat tidak terbatas dan berbeda-beda dari waktu ke waktu. Mengacu
pada poin ke dua, bisa dikatakan bahwa akumulasi kekuasaan saat ini jauh lebih besar
daripada 100 tahun yang lalu. Berbeda dengan pemikiran Barat, para pemikir Jawa
beranggapan bahwa jumlah Kekuasaan itu bersifat tetap/konstan di seluruh dunia. Jumlah
Kekuasaan tidak bisa bertambah ataupun berkurang, mereka hanya bisa terkumpul atau
terpecah. Sehingga, pengumpulan/pemusatan Kekuasaan di satu tempat secara otomatis
pengurangan Kekuasaan di tempat lain.
Menurut pemikiran Barat, kekuasaan bersifat ambigu dalam hal moralitas. Di dalam
pemikiran politik Barat terdapat perdebatan mengenai kekuasaan yang absah (legitimate) atau
tidak, tergantung dari nilai-nilai moral yang dianut. Sedangkan pada pemikiran politik Jawa,
Kekuasaan secara otomatis absah, karena Kekuasaan adalah moral itu sendiri. Sehingga,
pihak yang memperoleh Kekuasaan dengan sendirinya memiliki legitimasi atas rakyatnya.
2. Pengertian Feminisme
Feminisme adalah sebuah gerakan yang digunakan untuk tujuan mendapatkan hal-hal yang
sebelumnya tidak didapatkan oleh perempuan. Gerakan ini diberi nama feminisme karena
berhubungan dengan gender perempuan yang dalam bahasa Inggris adalah female.
Kesetaraan gender dan perjuangan kembali atas hak-hak dan kebebasan perempuan menjadi
salah satu fokus feminisme.
Sering kali feminisme disalah artikan sebagai gerakan yang anti pria. Gerakan ini juga sering
disalah artikan sebagai gerakan untuk “menggusur” pria dan menggantikannya dengan
perempuan. Perempuan yang menganut paham serta aktif dalam gerakan ini juga memiliki
stereotip yang buruk di masyarakat. Perempuan dalam gerakan ini sering dikaitkan dengan
hal buruk seperti perokok, peminum, dan pernah dilukai sehingga mereka tidak percaya
dengan pernikahan dan pria.
Feminisme merupakan salah satu pendekatan alternatif yang ada dalam Hubungan
Internasional yang sangat menarik untuk dibahas. perspektif feminisme ini pada dasarnya
muncul sebagai sebuah pergerakan emansipasi yang menuntut adanya kesetaraan dan
kebebasan yang telah dianggap tidak adil bagi kaum feminis. Dalam hal ini yang menjadi
perhatian utama yakni kesetaraan gender yang ada dalam tatanan dunia internasional.
Perspektif feminism ini pada dasarnya berusaha untuk mengenalkan gender sebagai suatu
variabel yang relevan dalam memahami konteks kekuasaan global dan hubungan
internasional. Perspektif feminism pada dasarnya memiliki agenda yang paling utama yakni
menuntut adanya kesetaraan hak, peran dan pendapat wanita yang seharusnya turut
diperhitungkan dalam tatanan internasional maupun studi hubungan internasional (Wardhani,
2015).
Menurut Steans et al (2005), feminisme merupakan perspektif yang ada dalam Hubungan
Internasional yang berisi tentang paham megenai gender yang telah memberikan kontribusi
dan turut memperkaya perspektif yang telah ada dalam studi Hubungan Internasional.
Menurut Steans et al, gender dan seks merupakan dua hal yang sangat berbeda. Gender
merupakan pembeda antara pria dan wanita, sedangkan seks merupakan sebagai pembagi
jenis kelamin yang didasarkan secara anatomi atau biologi untuk membedakan antara pria
dan wanita (Steans et al, 2005: 181). Artinya, Steans menganggap bahwa dua deskripsi antara
seks dan gender bukan merupakan suatu hal yang sama. Steans menganggap bahwa istilah
seks lebih mengarah kepada struktur biologi yang telah melekat dan ada pada diri manusia
sejak lahir, sedangkan gender merupakan suatu istilah yang lebih mengarah kepada
psikologis yang telah dimiliki oleh manusia dan hal tersebut terbentuk dari struktur social
yang ada.
Jadi, Feminisme merupakan salah satu pendekatan alternatif yang ada dalam Hubungan
Internasional yang sangat menarik untuk dibahas. perspektif feminisme ini pada dasarnya
muncul sebagai sebuah pergerakan emansipasi yang menuntut adanya kesetaraan dan
kebebasan yang telah dianggap tidak adil bagi kaum feminis. Feminisme ini terbagi menjadi
beberapa pendekatan yakni Liberal Feminsme, Marxis Feminisme, Post-Modernis Feminisme
dan Standpoint Feminisme. Feminisme merupakan perspektif yang ada dalam Hubungan
Internasional yang berisi tentang paham megenai gender yang telah memberikan kontribusi
dan turut memperkaya perspektif yang telah ada dalam studi Hubungan Internasional.
Dalam bukunya yang berjudul Introduction to International Relations, Jackson & Sorensen
(1999) berpendapat bahwa Green Politics muncul untuk mengkritik pandangan liberalisme
dan melihat isu-isu nyata ketika perang dingin yang mengakibatkan kerusakan lingkungan
yang berlebihan. Tujuan kehadiran green politics dalam Hubungan Internasional adalah
menjelaskan krisis ekologi yang dihadapi manusia. Setelah itu fokus pada usaha menangani
krisis tersebut dengan menjadikan lingkungan hidup sebagai sesuatu yang harus dijaga
keseimbangannya (Patterson, 2005). Krisis ekologi adalah isu global dalam masyarakat
dunia.
Green Politics dan teori lingkungan hidup memiliki persamaan juga perbedaan.
Persamaannya adalah keduanya peduli pada lingkungan dunia. Lalu perbedaannya adalah
Green Politics lebih kritis daripada teori lingkungan hidup. Sustainability dalam teori green
politics bukan pada pembangunan, melainkan pada keseimbangan ekologi, manusia, dan
makhluk hidup lainnya. Teori ini yakin bahwa menjaga keseimbangan ekologi melindungi
manusia. Menurut Green Politics, sistem kepercayaan yang terlalu fokus dengan pemenuhan
kebutuhan manusia (anthropocentric) menyebabkan krisis lingkungan hidup. Anthropocentric
bisa diartikan bahwa segala kebaikan yang ada di alam berpusat pada manusia sehingga
membuat manusia bertindak secara eksploratif berlebihan terhadap alam untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Adanya green politics meningkatkan berbagai macam alat kebijakan untuk mengatasi
permasalahan perubahan iklim dan mempunyai peran penting dalam merespon berbagai isu
lingkungan baik di tingkat nasional maupun internasional (Jerald Mast, 2013: 737). Green
Politics yang dilakukan oleh pemimpin negara adalah wujud nyata dari kepedulian meraka
kepada permasalahan lingkungan hidup. Permasalahan kerusakan lingkungan yang
mengancam kehidupan di bumi ini menghasilkan kepedulian manusia untuk berupaya
mencegah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup serta kelangsungan hidup manusia.
Dengan demikian, Green Politics ada sebagai jawaban dalam mengupayakan kelangsungan
yang seimbang antara alam dan makhluk hidup di dalamnya.
Hubungan Internasional merupakan suatu interaksi yang dilakukan oleh suatu negara dengan
negara untuk melakukan kerjasama dalam memenuhi segala kebutuhan yang dibutuhkan oleh
masing-masing negara. Dalam melakukan interaksi dan hubungan, negara dapat dikatakan
sebagai entitas politik yang perlu kode etik serta sistem politik yang mengglobal agar
hubungan yang terjalin dalam memenuhi kebutuhan suatu negara dapat tercapai dan berjalan
sesuai dengan aturan dan kode etik yang berlaku. Dalam hal ini, kosmopolitan merupakan
salah satu teori yang dapat dikatakan sebagai jalan yang harus ditempuh dalam melakukan
interaksi dalam hubungan internasional. Adapun tujuan penting yang harus dicapai oleh suatu
entitas politik dengan adanya kosmopolitanisme, yakni common good, prosperity dan social
justice.
Kosmopolitanisme memiliki berbagai macam definisi yang kaji oleh berbagai penstudi dalam
hubungan internasional. Adam Gannaway (2009) menjelaskan bahwa kosmopolitanisme
merupakan suatu pedoman yang dipercayai oleh masyarakat dunia dimana manusia berada
dalam sebuah tatanan kode etik dan politik global. Kemudian Immanuel Kant dalam Pheng
Cheah (2006) menjelaskan bahwa kosmopolitanisme merupakan suatu teori atau konsep yang
dapat dipahami sebagai pengetahuan akan manusia sebagai penduduk dunia atau pelaku
dalam entitas politik dunia. Pemikiran yang telah dikemukakan oleh Immanuel Kant memiliki
kecenderungan pada kosmopolitanisme yang lebih modern. Kant memiliki tujuan untuk
menciptakan serta mengembangkan eksistensi kosmopolitan universal, dimana manusia
merupakan pelaku politik yang memiliki kehidupan berkelompok yang baik dan sempurna
(Cheah, 2006).
Adam Gannaway (2009) dalam artikelnya yang berjudul What is Cosmopolitanism?
menjelaskan, bahwa konsep kosmopolitanisme pertama kali dikaji oleh filsuf Yunani yang
tergabung dalam Stoic atau Stoicism. Kosmopolitanisme pada dasarnya berasal dari kata
cosmos yang berarti dunia atau tatanan dunia dan polites yang berarti politik. Dalam hal ini,
kosmos merupakan harmonisasi, dimana perbedaan akan elemen dan unsur yang ada dapat
disatukan menjadi suatu kesatuan yang harmonis untuk menciptakan adanya keseimbangan
dunia, sedangkan polites dapat diartikan sebagai warga atau penduduk yang memiliki kaitan
dengan konstitusi atau aturan entitas politik yang secara umum dapat berupa demokrasi,
aristokrasi, oligarki, atau konstitusi gabungan (Gannaway, 2009). Selain itu, Brown (2006)
juga memiliki pendapat mengenai pandangan kaum stoicism mengenai definis dan arti dari
kosmopolitanisme. Menurut stoic atau stoicism, kosmos merupakan tempat dimana manusia
memiliki aturan dan kebijakan atau polis dalam melakukan kehidupan politik (Brown, 2006).
Eric Brown (2006) dalam bukunya yang berjudul Cosmopolitanism menjelaskan, bahwa
manusia merupakan individu yang memiliki peran aktif dalam politik kosmopolitan yang
ideal. Stoicism memiliki pandangan bahwa manusia harus saling bekerjasama untuk
membangun suatu keseimbangan dengan meminimalisir adanya tindak kejahatan untuk
meningkatkan kebaikan yang ada. Salah satu cara yang harus ditempuh oleh manusia dalam
menciptakan keseimbangan tersebut yakni dengan terlibat dalam dunia politik. Brown juga
menjelaskan bahwa melalui politik, penyebaraan perdamaian yang dilakukan oleh manusia
melalui city-states satu dengan yang lainnya akan mudah tercapai (Brown, 2006).
Jadi berdasarkan penjelasan yang telah dijelaskan diambil kesimpulan, bahwa kosmopolitan
merupakan suatu teori atau konsep yang dapat dipahami sebagai pengetahuan akan manusia
sebagai penduduk dunia atau pelaku dalam entitas politik dunia yang memiliki tujuan untuk
menciptakan keseimbangan dan harmonisasi dalam dunia internasional. Kosmopolitan dapat
dikatakan sebagai pendekatan penting untuk dipelajari dalam memahami fenomena dan isu-
isu dunia internasional yang semakin kompleks. Terdapat perbedaan yang mendasar antara
kosmopolitan dengan multikulturalisme. Kosmopolitan cenderung meleburkan identitas
dalam melakukan interaksi di dunia internasional, sedangkan multikulturalisme masih
mempertahankan identitas yang ada. Selain itu, yang membedakan antara kosmopolitan
dengan globalisasi yakni globalisasi cenderung sebagai proses yang dilakukan dalam
peleburan identitas untuk menuju masyarakat yang kosmopolitan, sedangkan
kosmopolitanisme merupakan tujuan dan hasil akhir dari adanya globalisasi tersebut.