Anda di halaman 1dari 11

PENDIDIKAN INKLUSI

Resume

HAKEKAT PENDIDIKAN INKLUSI

Dosen Pengampu

Dra. Zulmiyetri, M.Pd

Oleh

Rimal (18004091)

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
A. Pengertian Pendidikan Inklusi
Menurut Permendiknas No. 70 tahun 2009, pasal 1 Pendidikan inklusif adalah
sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya
Menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007;82), pendidikan inklusi adalah
sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik,
intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup
anak-anak penyandang cacat, berbakat. Anak-anak jalanan dan pekerja anak berasal
dari populasi terpencil atau berpindah-pindah. Anak yang berasal dari populasi etnis
minoritas, linguistik, atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang
kurang beruntung atau termajinalisasi.
Pendidikan inklusi adalah sebuah pelayanan pendidikan bagi peserta didik
yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus di sekolah regular ( SD, SMP, SMU,
dan SMK) yang tergolong luar biasa baik dalam arti kelainan, lamban belajar maupun
berkesulitan belajar lainnya. (Lay Kekeh Marthan, 2007:145).
Menurut Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007;83), pendidikan inklusi adalah
penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas. Hal ini
menunjukan kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak
berkelainan, apapun jenis kelainanya. Dari beberapa pendapat, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan untuk peserta
didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang 12 kondisi fisik intelektual, sosial
emosional, linguistik atau kondisi lainnya untuk bersama-sama mendapatkan
pelayanan pendidikan di sekolah regular ( SD, SMP, SMU, maupun SMK).
MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin (2006:75-76) menyatakan bahwa hakikat
inklusi adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial,
intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka.
Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan
memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang
memiliki ketidakmampuan khusus dan memilki kebutuhan belajar yang luar biasa
harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Daniel P.
Hallalan, dkk (2009:53) mengemukakan pengertian pendidikan inklusi sebagai
pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam
sekolah regular sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung
jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian
memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusi menyamakan anak berkebutuhan
khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab
penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru
harus memilki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik.
Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan
hal yang sama mengenai pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi berarti pendidikan
yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta
didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari
mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama
lain.

B. Sejarah Pendidikan Inklusi

Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai


dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di
Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-
pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan
Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika
Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya
konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan
konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan
deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota
konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus)
mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.Sebagai tindak lanjut deklarasi
Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca
Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal
dengan ’the Salamanca statement on inclusive education” yang berbunyi :
1) Semua anak sebaiknya belajar bersama
2) Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa
3) ABK diberi layanan khusus
Landasan hukum dan landasan konseptual menjadi landasan bagi gerakan
menuju pendidikan inklusif. Termasuk Indonesia, diantaranya adalah:
1) Deklarasi hak asasi manusia, 1948
2) Konveksi hak anak, 1989
3) Konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua, 1990
4) Persamaan kesempatan bagi orang berkelainan, 1993
5) Pernyataan salamanca tentang pendidikan inklusi, 1994
6) Komitmen dasar mengenai pendidikan untuk semua, 2000
7) Deklarasi Bandung tahun 2004
Melihat kembali ke dalam sejarah dimana beberapa peristiwa yang dipublikasi
berikut ini:
1) 1948 : Deklarasi Hak Asasi Manusia – termasuk hak atas pendidikan dan
partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang – PBB
2) 1989 : Konvensi Hak Anak ( PBB, diumumkan tahun 1991 )
3) 1990 : Pendidikan untuk semua : Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk
semua di Jomtien, Thailand, menghasilakn tujuan utama berikut ini :
 Membawa semua anak masuk sekolah
 Memberikan semua anak pendidikan yang sesuai
Dalam prakteknya sesungguhnya ini tidak mencakup anak – anak yang
berkebutuhan khusus ( UNESCO, diumumkan tahun 1991 dan 1992 )
4) 1993 : Peraturan Standar tentang kesamaan kesempatan bagi penyandang
cacat ( PBB, diumumkan tahun 1994 ).
5) 1994 : Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif ( UNESCO
diumumkan pertama tahun 1994, laporan akhir tahun 1995 )
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang
pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional
dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju
pendidikan inklusif. Untuk itu ada beberapa progam yang direncanakan yaitu :
1) Diseminasi ideolgi pendidikan inklusif melalui berbagai seminar dan
lokakarya.
2) Mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber untuk
mendukung sekolah inklusif ( dengan alat bantu mengajar, materi ajar,
metodologi, dsb ); Penataran/pelatihan bagi guru – guru SLB maypan guru –
guru reguler untuk memungkinkan mereka memberikan layanan yang lebih
baik kepada anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusi.
3) Reorientasi pendidikan guru di LPTK dan keterlibatan universitas dalam
program tersebut.
4) Desentralisasi pembuatan keputusan untuk memberikan lebih banyak peran
kepada pemerintah daerah dalam implementasi pendidikan inklusif.
5) Mendorong dan memfasilitasi pembentukan kelompok – kelompok kerja
untuk mempromosikan implementasi pendidikan inklusif.
6) Keterlibatan LSM dan organisasi internasional dalam program ini.
7) Menjalin jejaring antar berbagai pihak terkait.
8) Mengembangkan sekolah inklusif perintis.
9) Pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan kebutuhan
khusus.
Sedangkan untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar,
pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan
menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya
terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin
bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang
berkualitas dan layak. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia
tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000
mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan
program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia
pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000
dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep
pendidikan inklusif.
C. Tujuan Pendidikan Inklusi

Konsep pendidikan inklusi muncul dimaksudkan untuk memberi solusi,


adanya perlakuan diskriminatif dalam layanan pendidikan terutama bagi anak-anak
penyandang cacat atau anak-anak yang berkebutuhan khusus, Pendidikan inklusi
memiliki prinsip dasar bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya
belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin
ada pada mereka.
Pendidikan inklusi di Indonesia dilaksanakan dengan tujuan
1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk
anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai
dengan kebutuhannya.
2) Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
3) Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan
menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
4) Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
5) Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal. 32 ayat 1
yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan
ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, khususnya Pasal. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal. 51
yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana
kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa
dan pendidikan luar biasa
D. Prinsip Pendidikan Inklusi
Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005) mengidentifikasikan prinsip
pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen dasar yang memungkinkan
pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.
1) Sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan
Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru terhadap
siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak hanya
berpengaruh terhadapclassroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi
pembelajaran.
Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan
dengan cara memberikan informasi yang akurat tentang siswa dan cara
penanganannya (Johnson & Johnson, 1984 dalam Whayu Sri Ambarwati, 2005).
2) Interaksi promotif
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi promotif
antara siswa. Yang dimaksud interaksi promotif adalah upaya untuk saling
menolong dan saling memberi motivasi dalam belajar. Interaksi promotif hanya
dimungkinkan jika terdapat rasa saling menghargai dan saling memberikan
urunan dalam meraih keberhasilan belajar bersama. Interaksi promotif pada
hakekatnya sama dengan interaksi transpersonal, yaitu interaksi yang didasarkan
atas rasa saling menghormati, tidak hanya terhadap sesama manusia tetapi juga
sesama makluk ciptaan Tuhan. Interaksi promotif hanya di mungkinkan jika guru
menciptakan suasana belajar kooperatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dalam suasana belajar kooperatif, siswa cenderung memperoleh prestasi belajar
matematika lebih tinggi dari pada dalam suasana belajar kompetitif (Mulyono,
1994).
Dalam pendidikan inklusif, suasana belajar kooperatif harus dominan
sedangkan suasanabelajar kompetitif hanya untuk bersenang-senang atau untuk
selingan atau untuk materi belajar yang membosankan. Hasil penelitian Johnson
& Johnson (Wahyu Sri Ambarwati, 2005) menunjukkan bahwa suasana belajar
kompetitif dapat menimbulkan perasaan rendah diri bagi siswa yang memiliki
kemampuan kurang.
Lebih lanjut hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa para guru
umumnya lebih menyukai pembelajaran kompetitif dan tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam penyelenggaraan
pembelajaran kooperatif. Padahal, pembelajaran kompetitif dalam kelompok
heterogen dapat menghancurkan rasa harga diri siswa yang berkekurangan dan
merasa bosan terhadap siswa yang memiliki keunggulan. Perasaan rendah diri dan
perasaan bosan merupakan elemen yang merusak untuk membangun kehidupan
bersama yang lebih baik. Kompetisi bukan tidak bermanfaat tetapi hanya untuk
kelompok yang homogen yang memungkinkan semua anggota berkompetisi
memiliki peluang yang relatif sama untuk menang dan kalah. Menguatkan
pembahasan ini, sekali lagi hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa
interaksi kompetitif yang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah
kompetisi antar siswa yang mempunyai kemampuan seimbang, kompetisi dengan
standar nilai minimum, dan yang terbaik adalah kompetisi dengan diri sendiri.
3) Pencapaian kompetensi akademik dan sosial
Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam
bentuk kompetensi akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu,
perencanaan pembelajaran harus melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan
akademik (academic objectives) tetapi juga tujuan keterampilan bekerjasama
(collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan bekerjasama mencakup
keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain, menghargai pikiran
orang lain, dan tenggang rasa.
4) Pembelajaran adaptif
Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaran
yang adaftif atau program pembelajaran individual (individualized instructional
programs). Program pembelajaran adaptif tidak hanya ditujukan kepada peserta
didik dengan problema belajar tetapi juga untuk peserta didik yang dikaruniai
keunggulan. Penyusunan program pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan
tidak hanya guru kelas atau guru bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua,
guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.
5) Konsultasi kolaboratif
Konsultasi kolaboratif (collaborative consultation) adalah saling tukar
informasi antar profesional dari semua disiplin yang terkait untuk memperoleh
keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus. Yang dimaksud dengan profesional
dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas atau guru bidang studi, konselor,
psikolog, dan atau ahli-ahli lain yang terkait. Beberapa ahli telah mengembangkan
model konsultasi kolaboratif untuk melakukan tindakan pencegahan dan
rahabilitasi siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus di kelas reguler.
Berdasarkan model yang mereka buat guru PLB dan guru reguler bersama
anggota tim lainnya melakukan diskusi untuk menentukan sifat dan ukuran-
ukuraaan yang dipergunakan untuk menentukan masalah siswa, memilih dan
merekomendasikan tindakan, merencanakan danmengimplementasikan program
pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil intervensi serta melakukan
perencanaan ulang jika diperlukan.
6) Hidup dan belajar dalam masyarakat
Dalam pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari suatu
kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan suasana yang
silih asah, silih asih, dan silih asuh. Dengan kata lain, suasana belajar yang
kooperatif harus diciptakan sehingga di antara siswa terjalin hubungan yang
saling menghargai. Semua siswa tidak peduli betapapun perbedaannya, harus
dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi kemanusiaan yang harus
dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.
7) Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga.
Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang.
Begitu pula dengan sekolah, juga tempat anak belajar dan berkembang. Keduanya
memiliki fungsi yang sama. Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak
terprogram dan terukur sedangkan di sekolah pendidikan lebih banyak dilakukan
secara terprogram dan terukur atau yang biasa disebut dengan pembelajaran.
Karena kedua lembaga tersebut hakekatnya mempunyai fungsi yang sama, maka
keduanya harus menjalin hubungan kemitraan yang erat dalam upaya
memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat berkembang op-
timal dan terintegrasi. Keluarga memiliki informasi yang lebih akurat mengenai
keunikan, kekuatan, dan minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi yang
lebih akurat mengenai prestasi akademik siswa. Informasi mengenai anak yang
dimiliki oleh keluarga merupakan landasan penting bagi penyelenggaraan
pendidikan inklusif.
8) Belajar dan berfikir independen.
Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai
perkembangan kognitif taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir independen.
Berkenaan dengan semakin majunya ilmu dan teknologi, pendidikan inklusif
sangat menekankan agar siswa memiliki keterampilan belajar dan berpikir. Guru
hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil penelitian mengenai anak-anak
kesulitan belajar (students with learning difficulties) menunjukkan bahwa mereka
umumnya pasif dalam belajar, kurang mampu melakukan control diri, cenderung
bergantung (dependent),dan kurang memiliki strategi untuk belajar. Sehubungan
dengan karakteristik siswa berkesulitan belajar semacam itu maka guru perlu
memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi dengan
menerapkan berbagai teknik, terutama yang berkenaan dengan manajemen
perilaku atau memodifikasi perilaku.
9) Belajar sepanjang hayat
Pendidikan inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian dari
perjalanan panjang hidup seorang manusia; dan manusia belajar sepanjang
hidupnya (lifelong learning). Belajar sepanjang hayat memiliki makna yang
melampaui sekedar menguasai berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan
kurikulum dan upaya untuk naik kelas. Belajar sepanjang hayat pada hakekatnya
adalah belajar untuk berfikir kritis dan belajar untuk menyelesaikan berbagai
masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan inklusif menekankan pada
pengalaman belajar yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar peserta
didik dalam kehidupan masyarakat.
E. . Keutamaan dan sisi positif pendidikan inklusif
Manfaat Pendidikan Inklusif
1) Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusif
sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
2) Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi
pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik
dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.
3) Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan
masalah lainnya terhadap akses dan pembelajar
4) Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring
mutupendidikanbagisemuaanak.

Anda mungkin juga menyukai