Anomali berikutnya, pada Juli lalu total honor pejabat daerah di Lumajang sebagai
”panitia” pemakaman Covid-19 sebanyak Rp 282 juta dengan satu pemakaman
dihargai Rp 100 ribu. Bagaimana kita membayangkan, kepala daerah tega mengambil
keuntungan dari korban Covid-19 ini? Jelas, honor ini berimplikasi pada peningkatan
pendapatan pejabat.
Belum selesai isu tersebut, drama kesenjangan sosial muncul lagi. Laporan LHKPN
menyebutkan, harta kekayaan pejabat negara meningkat rata-rata 70 persen.
Kemudian, wawancara Krisdayanti, anggota DPR RI, pada sebuah media sosial, telah
membelalakkan mata. Ternyata tingginya gaji legislatif kita tidak sebanding dengan
capaian kerja ”terukur” mereka.
Gambaran di atas agak bisa dimaklumi –sekalipun tidak bisa dibenarkan– manakala
negara sedang stabil dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Roda ekonomi yang bergerak
mengarahkan masyarakat yang meningkat tingkat kesejahteraannya dan masyarakat
yang sejahtera akan melahirkan pendapatan nasional tinggi.
Tetapi, jelas ironis manakala ”penumpukan” kekayaan terjadi pada saat sektor ekonomi
tidak berjalan; pengangguran, kemiskinan, dan kelompok rentan meningkat. Ditambah
disorganisasi keluarga merebak di tengah orang tua yang meninggal akibat Covid-19.
Kesenjangan sosial tetap saja tinggi. Seakan-akan nilai-nilai solidaritas sosial, gotong
royong, nasionalisme, dan etos hidup sederhana tidak ada artinya. Demikian juga, kita
sering mendengar pernyataan tentang jati diri bangsa sebagai bangsa yang
berkebudayaan dengan solidaritas sosial tinggi. Toh, masih ada minoritas yang hanya
memikirkan diri mereka sendiri. Konsekuensinya, kelompok yang meraup keuntungan
tinggi hidup di tengah masyarakat yang sulit mengais rezeki. Di sini pandemi telah
melahirkan anomali sebagai keganjilan pada masyarakat. Salah satu bentuknya,
kesenjangan sosial yang tidak semakin membaik. Tulisan ini akan menggali sebab-
sebab kesenjangan sosial tersebut.
Kelompok kalah merupakan kelompok yang tidak beruntung. Perjuangan mereka lebih
berat daripada kelompok yang berstrata atas. Sekalipun mereka sudah berpeluh
keringat, bekerja keras, tetapi pendapatan yang diperoleh begitu-begitu saja. Di sinilah
ketimpangan distribusi pendapatan lahir.
Senada dengan Marxis, perspektif elite juga memperjelas fenomena ini. Elite menunjuk
sekelompok orang yang menguasai sumber daya politik, ekonomi, sosial, maupun
kebudayaan. Elite ini mengatur kelompok besar masyarakat. Dari kekuatan elite ini,
sistem oligarki memperkuat kedudukan elite. Kelompok yang dekat dengan penguasa
selalu mendapat keuntungan. Sementara kelompok yang jauh dari pemilik sumber daya
juga semakin jauh pada akses sumber daya. Akibatnya, sumber daya berputar pada
orang itu-itu saja.
Tugas Negara
Kesenjangan sosial menjelaskan kegagalan negara mengatur distribusi pendapatan
secara berkeadilan. Kompetisi dibiarkan mengikuti hukum alam, layaknya hukum rimba
yang berlaku dalam dunia binatang. Kegamangan negara ditunjukkan dengan tidak
memperhatikan kelompok-kelompok tidak beruntung.
Di sinilah kita perlu melakukan refleksi dan evaluasi pada tujuan hidup berbangsa dan
bernegara. Untuk apa kita dipertemukan dalam rumah bersama NKRI? Solidaritas
sosial yang akan kita bentuk, modelnya seperti apa? Tentu, tidak hanya pada
kesamaan melihat sesuatu, tetapi juga persamaan dalam pendapatan. Sekalipun tidak
merata 100 persen, pendapatan satu kelompok seharusnya tidak jauh meninggalkan
kelompok lain.
Kalau perlu, negara memikirkan strategi menetas ke bawah (trickle down effect). Ia
didesain secara formal dengan aturan ketat. Peluang itu terbuka lebar, mengingat
negara memiliki kebijakan atau diskresi-diskresi tertentu agar semuanya tidak berjalan
secara liar.
Tentu hal ini tidak mudah, persoalan sistemis tidak mudah diurai. Regulasi, kebijakan,
dan sistem politik yang mengekang perlu didobrak dengan mental, keberanian, dan
keberpihakan. Pejabat yang memiliki ”habitus” mendengar dan merasakan penderitaan
rakyat tentunya tidak sulit melakukan strategi ini. (*)