Anda di halaman 1dari 3

Kesenjangan Sosial di Kala Pandemi Covid-19

Oleh RACHMAD K. DWI SUSILO *)


OPINI
29 Oktober 2021, 20:48:57 WIB

SEPERTI kita ketahui dan rasakan, pandemi telah melahirkan kesengsaraan yang


dialami oleh sebagian besar rakyat. PHK terjadi besar-besaran, akses masyarakat
terhadap lapangan pekerjaan berkurang karena PPKM telah membatasi gerak
penduduk dalam bekerja. Konsekuensinya, sebagian besar penduduk masuk dalam
kerentanan sosial ekonomi tingkat tinggi.

Ternyata, secara sosiologis, gambaran di atas tidak sepenuhnya benar. Simaklah


fenomena-fenomena sebagai berikut. Di tengah lesunya ekonomi, elite-elite partai dan
politisi pameran baliho dengan biaya mahal. Jelas, kepentingan baliho untuk memenuhi
ambisi politik tokoh-tokoh demi persiapan pemilihan presiden pada 2024. Terlebih,
semua partai politik sudah bersiap-siap dengan hajatan politik tingkat tinggi ini.

Anomali berikutnya, pada Juli lalu total honor pejabat daerah di Lumajang sebagai
”panitia” pemakaman Covid-19 sebanyak Rp 282 juta dengan satu pemakaman
dihargai Rp 100 ribu. Bagaimana kita membayangkan, kepala daerah tega mengambil
keuntungan dari korban Covid-19 ini? Jelas, honor ini berimplikasi pada peningkatan
pendapatan pejabat.

Belum selesai isu tersebut, drama kesenjangan sosial muncul lagi. Laporan LHKPN
menyebutkan, harta kekayaan pejabat negara meningkat rata-rata 70 persen.
Kemudian, wawancara Krisdayanti, anggota DPR RI, pada sebuah media sosial, telah
membelalakkan mata. Ternyata tingginya gaji legislatif kita tidak sebanding dengan
capaian kerja ”terukur” mereka.

Gambaran di atas agak bisa dimaklumi –sekalipun tidak bisa dibenarkan– manakala
negara sedang stabil dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Roda ekonomi yang bergerak
mengarahkan masyarakat yang meningkat tingkat kesejahteraannya dan masyarakat
yang sejahtera akan melahirkan pendapatan nasional tinggi.

Tetapi, jelas ironis manakala ”penumpukan” kekayaan terjadi pada saat sektor ekonomi
tidak berjalan; pengangguran, kemiskinan, dan kelompok rentan meningkat. Ditambah
disorganisasi keluarga merebak di tengah orang tua yang meninggal akibat Covid-19.

Kesenjangan sosial tetap saja tinggi. Seakan-akan nilai-nilai solidaritas sosial, gotong
royong, nasionalisme, dan etos hidup sederhana tidak ada artinya. Demikian juga, kita
sering mendengar pernyataan tentang jati diri bangsa sebagai bangsa yang
berkebudayaan dengan solidaritas sosial tinggi. Toh, masih ada minoritas yang hanya
memikirkan diri mereka sendiri. Konsekuensinya, kelompok yang meraup keuntungan
tinggi hidup di tengah masyarakat yang sulit mengais rezeki. Di sini pandemi telah
melahirkan anomali sebagai keganjilan pada masyarakat. Salah satu bentuknya,
kesenjangan sosial yang tidak semakin membaik. Tulisan ini akan menggali sebab-
sebab kesenjangan sosial tersebut.

Risiko Struktur Sosial


Penulis setuju bahwa menyamaratakan pendapatan masyarakat pada sebuah bangsa
merupakan fenomena sosial yang mustahil. Hal ini karena ketidaksamaan sosial
merupakan fitrah masyarakat kapan pun dan di mana pun.

Sejak manusia berkelompok, disparitas sosial menandai masyarakat, seperti dijelaskan


konsep kelas Karl Marx. Sejak masyarakat kuno sampai masyarakat industri,
pertentangan selalu saja terjadi. Sama keadaannya, di Indonesia, kesenjangan sosial
juga terjadi pada setiap orde.

Kesenjangan sosial muncul karena kelompok-kelompok sosial berkompetisi. Dalam


kompetisi, lahirlah pihak yang menang dan kalah atau kelompok beruntung dan
kelompok ”kurang” beruntung. Pemenang menduduki strata atas dan menguasai
banyak sumber daya dan menikmati hak-hak istimewa (privilege) sebagai imbalan.

Kelompok kalah merupakan kelompok yang tidak beruntung. Perjuangan mereka lebih
berat daripada kelompok yang berstrata atas. Sekalipun mereka sudah berpeluh
keringat, bekerja keras, tetapi pendapatan yang diperoleh begitu-begitu saja. Di sinilah
ketimpangan distribusi pendapatan lahir.

Perspektif Marxis menyatakan, kelompok kapitalis menindas kelompok proletar dengan


ideologi yang bekerja secara halus. Tidak cukup itu, kelompok kapitalis selalu
melegitimasi posisi sosial dengan berlindung pada aturan. Ilusi dimainkan dengan
menyatakan bahwa aktor-aktor tidak bisa menolak disebabkan ”kuasa” aturan.

Senada dengan Marxis, perspektif elite juga memperjelas fenomena ini. Elite menunjuk
sekelompok orang yang menguasai sumber daya politik, ekonomi, sosial, maupun
kebudayaan. Elite ini mengatur kelompok besar masyarakat. Dari kekuatan elite ini,
sistem oligarki memperkuat kedudukan elite. Kelompok yang dekat dengan penguasa
selalu mendapat keuntungan. Sementara kelompok yang jauh dari pemilik sumber daya
juga semakin jauh pada akses sumber daya. Akibatnya, sumber daya berputar pada
orang itu-itu saja.

Tugas Negara
Kesenjangan sosial menjelaskan kegagalan negara mengatur distribusi pendapatan
secara berkeadilan. Kompetisi dibiarkan mengikuti hukum alam, layaknya hukum rimba
yang berlaku dalam dunia binatang. Kegamangan negara ditunjukkan dengan tidak
memperhatikan kelompok-kelompok tidak beruntung.

Etika selalu digembar-gemborkan, tetapi penumpukan pendapatan pada segelintir


orang dibiarkan. Solidaritas sosial disuarakan, tetapi pengejaran sumber-sumber
material, mental cari selamat sendiri yang diagung-agungkan. Pengelola negara jauh
dari sensitivitas memedulikan penderitaan rakyat.

Di sinilah kita perlu melakukan refleksi dan evaluasi pada tujuan hidup berbangsa dan
bernegara. Untuk apa kita dipertemukan dalam rumah bersama NKRI? Solidaritas
sosial yang akan kita bentuk, modelnya seperti apa? Tentu, tidak hanya pada
kesamaan melihat sesuatu, tetapi juga persamaan dalam pendapatan. Sekalipun tidak
merata 100 persen, pendapatan satu kelompok seharusnya tidak jauh meninggalkan
kelompok lain.

Kalau perlu, negara memikirkan strategi menetas ke bawah (trickle down effect). Ia
didesain secara formal dengan aturan ketat. Peluang itu terbuka lebar, mengingat
negara memiliki kebijakan atau diskresi-diskresi tertentu agar semuanya tidak berjalan
secara liar.

Penumpukan kekayaan pada kelompok tertentu seharusnya dipangkas. Melihat


kelompok-kelompok gagal kompetisi atau pasif, negara menggelontorkan berbagai
pemihakan. Bahkan, melalui sumber daya yang dikuasai, negara membela kelompok-
kelompok tidak mampu.

Tentu hal ini tidak mudah, persoalan sistemis tidak mudah diurai. Regulasi, kebijakan,
dan sistem politik yang mengekang perlu didobrak dengan mental, keberanian, dan
keberpihakan. Pejabat yang memiliki ”habitus” mendengar dan merasakan penderitaan
rakyat tentunya tidak sulit melakukan strategi ini. (*)

*) RACHMAD K. DWI SUSILO, Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas


Muhammadiyah Malang, alumnus Public Policy and Social Governance Hosei
University Tokyo

Anda mungkin juga menyukai