Di sebuah pinggiran kota, terdapat sebuah kebun buah yang salah satu areanya khusus menanam biwa
Setiap musim semi, saat pohon biwa berbunga dan berbuah, ada seekor burung yang selalu terbang
mengitari kebun biwa dan mengawasinya
Jika ada orang yang mendekati kebun biwa, burung itu akan berkicau
Jika ada orang yang mengulurkan tangan untuk memetik buah biwa, kicauannya akan semakin keras
Jika didengar dengan teliti, ia seakan-akan sedang berkata, “semuanya adalah milik saya.”
Ia teru-menerus berkicau
Semakin banyak buah yang dipetik orang, semakin keras burung itu berkicau
Pada suatu musim semi, banyak orang yang pergi ke kebun biwa
Demi mengawasi kebun biwa, burung ini terbang kesana kemari dan terus berkicau
Akhirnya, ia mati
Seorang anggota sangha yang mendengarnya lalu bercerita kepada Buddha tentang kisah burung di
kebun buah yang terdapat di pinggiran kota tersebut dan menanyakan apa penyebabnya
Buddha berkata bahwa dahulu, di kota ini terdapat sebuah keluarga yang kaya
Saat sang anak masih kecil, kedua orang tuanya sudah meninggal dunia dan meninggalkan banyak harta
Setelah memperoleh warisan, sang anak terus berpikir bagaimana caranya meningkatkan kekayaannya
Ada orang yang berkata padanya, “kamu hendaklah menikah agar memiliki pendampig hidup”
Dia berpikir, “jika saya menikah, akan bertambah satu orang yang makan”
Setelah itu ia meninggal dunia dan tidak ada yang mewarisi hartanya, sehingga semua harta dan
lahannya menjadi milik negara
Buddha berkata bahwa kehidupan lampau burung itu merupakan orang kaya tersebut
Dia kaya akan materi, tetapi batinnya sangat miskin dan tamak
Dia selalu merasa bahwa kekayaannya belum cukup sehingga menjalani hidupnya bagai orang miskin
Dia bersusah payah menjaga harta bendanya, setelah dia meninggal dunia, hartanya menjadi milik
negara
Saat banyak orang memetik buah biwa, ia merasa sangat tidak rela