Anda di halaman 1dari 2

TRAGEDI TRISAKTI-SEMANGGI

12 Mei 1998 merupakan salah satu dari beberapa rangkaian kerusuhan yang terjadi di
Indonesia mengikuti dilantiknya Soeharto setelah tujuh tahun berturut-turut pada bulan Maret
di tahun yang sama. Yang membuat rakyat marah kemungkinan adalah karena Soeharto
berseru tentang reformasi politik dan ekonomi, tapi pada kenyataannya Kabinet
Pembangunan VII – kabinet buatan Soeharto pada saat itu berisi anggota keluarga dan kroni-
kroni Soeharto, termasuk anak didiknya, Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil
presidennya.

Sebelum terjadi kerusuhan di Jakarta, Medan telah terlebih dahulu menyalakan api
kebencian akan pemerintahan Soeharto. Pada awal Mei dimulai, para pelajar sudah mulai
menjalankan aksi demonstrasi di kampus-kampus sekitaran Medan selama dua bulan. Jumlah
pelajar yang mengikuti aksi demonstrasi ini terus bertambah seiring makin lantangnya
panggilan dari masyarakat untuk reformasi total. Hal yang membuat mahasiswa semakin
berang adalah tewasnya salah satu mahasiswa pada 27 April yang kesalahannya dilemparkan
pada pihak berwajib yang melemparkan gas air mata ke kampus dan mencapai puncak pada
tanggal 4 hingga 8 Mei saat pemerintah memutuskan menaikkan harga minyak sebesar 70%
dan 300% untuk biaya listrik.

Pada tanggal 9 Mei, presiden Soeharto terbang menuju group of 15 summit di Kairo,
Mesir. Sebelum berangkat, Soeharto berkata pada masyarakat untuk menghentikan protes
mereka dan seperti yang dituliskan di Suara Pembaruan, bahwa ia menyatakan kalau hal ini
terus berlanjut, tidak akan ada kemajuan di Indonesia. Soeharto yang awalnya dijadwalkan
untuk kembali ke Jakarta pada 14 Mei, pulang lebih cepat saat kerusuhan di Jakarta mencapai
titik kritis, sebuah kejadian yang akan mencatat sejarah kelam tragedi Trisakti 12 Mei 1998 di
Indonesia.

Kericuhan di Jakarta mencapai puncaknya pada tanggal 12 Mei ketika pihak


kepolisian dan tentara mulai menembaki mahasiswa-mahasiswa yang melakukan aksi protes
damai. Tragedi ini menewaskan 4 orang, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin
Royan, dan Hendriawan Sie. Belasan orang juka terluka sebagai hasil dari tragedi ini.
Penembakan protestan tanpa senjata ini menyebabkan kerusuhan yang sebelumnya sudah
terjadi menjadi tambah marak di seluruh Indonesia, dan pada akhirnya melengserkan
Soeharto dari kursi kepemimpinannya.

Protes yang menjadi kejadian kunci sejarah kelam tragedi Trisakti 12 Mei 1998
dimulai pada pukul 10 siang dan diikuti lebih dari 6000 mahasiswa, staff, dan dosen yang
berkumpul di lapangan parkir universitas Trisakti. Hal pertama yang mereka lakukan adalah
menurunkan bendera Indonesia menjadi setengah tiang yang menyimbolkan duka atau
kesengsaraan. Baru ketika hari mulai siang, para protestan ini bersiap-siap untuk melakukan
long march menuju gedung DPR/MPR. Belum jauh dari kampus, mereka dihentikan oleh
oleh pihak kepolisian, tepatnya di depan kantor walikota Jakarta Barat. Sebagai respon dari
penghentian mereka, para protestan ini kemudian menduduki jalan S. Parman dan
menghalangi jalur lalu lintas. Setelah bantuan dari pihak militer datang untuk membantu
kepolisian, dekan fakultas hukum, Adi Andojo, berhasil membujuk para demonstran kembali
ke kampus. Pada saat itu, pasukan pengamanan yang ada di lokasi adalah Polisi Brimob,
KOSTRAD, dan Kodam Jaya. Mereka dipersenjatai dengan perisai huru-hara, gas air mata,
Steyr AUG, dan Pindad SS-1.

Ketika waktu menunjukkan pukul 5 sore, hampir seluruh demonstran telah kembali ke
area kampus Trisakti. Sesaat setelah kembali inilah, cemoohan terdengar dari kumpulan
polisi dan tentara, diikuti dengan rentetan tembakan yang menyebabkan para demonstran
panik dan tercerai berai. Kekacauan ini memakan dua korban jiwa, yaitu Elang Mulya
Lesmana dan Hendriawan Sie yang saat itu sedang berusaha masuk ke ruangan rektorat di
gedung Dr. Syarif Thayeb. Korban jiwa kembali jatuh ketika para mahasiswa yang belum
mengungsi berkumpul di sebuah ruangan terbuka. Tentara-tentara yang diposisikan di atap
gedung terdekat terus menembak, melukai banyak mahasiswa dan mengambil nyawa dari
Heri Hartanto dan Hafidin Royan. Penembakan baru berhenti pada pukul 8 malam, dan pihak
kampus bergegas membawa mereka yang terluka menuju rumah sakit terdekat.

Sejarah tragedi Trisakti 12 Mei 1998 ini seperti disebutkan di atas memakan 4 korban
jiwa yang semuanya merupakan mahasiswa dari universitas Trisakti. Keempat mahasiswa ini
kemudian oleh Bacharuddin Jusuf Habibi yang naik menggantikan Soeharto sebagai presiden
diberi julukan sebagai pahlawan reformasi, karena tewasnya mereka secara tidak langsung
mengobarkan api reformasi di hati masyarakat-masyarakat Indonesia yang lainnya. Meski
begitu, sebelum presiden Soeharto turun, sempat ada kerusuhan yang jauh lebih besar di
Jakarta yang menewaskan 1200 orang tewas yang kebanyakan dikarenakan oleh terjebaknya
orang-orang itu di dalam gedung yang dibakar. Pada saat itu, penjarahan terjadi dimana-
mana, dan warga Indonesia keturunan Tiongkok menjadi korban penganiayaan dan berbagai
tindakan lainnya oleh masyarakat yang menjadi buas.

Anda mungkin juga menyukai