com
negara bagian
IndoneSIa'S
hutanSTS2018
Ringkasan bisnis plan
negara bagian
IndoneSIa'S
hutanSTS2018
©2018Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Diterbitkan oleh:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Isi dan materi dalam buku ini dapat direproduksi dan disebarluaskan dengan cara yang tidak mengubah maksud dari isinya.
Izin untuk mengutip materi dari buku ini diberikan jika atribusi penuh diberikan.
Pemimpin Redaksi:
Siti Nurbaya
Mengelola EdItoR:
Efransjah
sEnIoR EdItoR:
San A.Awang
TIM PENULISAN:
Ruandha Agung, Yuyu Rahayu, Triyono Saputro, Roosi Tjandrakirana, Dhany Ramdhany, Mursid Wibawa, Tenang CR Silitonga, Adnin Damarraya, Emma
Y. Wulandari, Belinda A. Margono, Hany Setyawan, Sofyan, Sumantri, Untung Suprapto, Eva Famurianty, Nur I Siswanto, Dinik Indrihastuti, Sigit
Reliantoro, SPM Budisusanti, Tulus Laksono, Aep Purnama, Muhammad Askary, Tantri Endarini, Hanum Sakina, Apik Karyana, Erna Rosdiana, Catur E.
Prasetiani, Nur Dwiyati, Agus Sugiarto, Syafda Ruswandi, Rosalina, Mela Herlina, Iman A. Masud, Yuli Prasetyo Nugroho, Agung Pambudi, Nelson PN
Siahaan, Nandang Prihadi, Tri C. Nugraha, Agung Nugroho, Ihwan, Bisro Sya'bani, Adhi N. Hadi, Bambang Suriyono, Kasuma Yotrin, Sakti
Hadengganan, Drasospolino, Sigit Sarjuningtiyas, Mariana Lubis, Teguh Widodo, I Ketut Gede Suartana, Khairi Wenda, Nina M. Korompis, Plaghelmo
Seran,Komarudin, Hasanuddin, Yoga Prayoga, Selli FY Wardani, Fitri Y. Amandita, Tri H. Irawan, Noni E. Rahayu, Rus SI Putri, Santi Octavianti, Agung RT
Hidayatulloh, Damayanti Ratunanda, Lutfiah, Lilit Siswanty, Rudianto S. Napitu, Dimas Y. Baskara, Dita AM Sari, Tri A. Wibisono, Eko H. Kuncoro, Ina
Minangsari, Salis Z. Ulya, Chollis Munajad, Raditya A. Haris, Teguh Rahardja, Lenny J. Sari, Tina Artini, Sumidi, Dedy Lukmansjah , Siswati Adnan,
Sudarmanto, Yulfikar T. Zain, Bagus Martiandi, Muhammad Zahrul Muttaqin.Chollis Munajad, Raditya A. Haris, Teguh Rahardja, Lenny J. Sari, Tina Artini,
Sumidi, Dedy Lukmansjah, Siswati Adnan, Sudarmanto, Yulfikar T. Zain, Bagus Martiandi, Muhammad Zahrul Muttaqin.Chollis Munajad, Raditya A. Haris,
Teguh Rahardja, Lenny J. Sari, Tina Artini, Sumidi, Dedy Lukmansjah, Siswati Adnan, Sudarmanto, Yulfikar T. Zain, Bagus Martiandi, Muhammad Zahrul
Muttaqin.
KontRIbutor:
Bambang Hendroyono, Sigit Hardwinarto, Bambang Supriyanto, Wiratno, Agus Justianto, Hilman Nugroho, IB Putera
Parthama, MR Karliansyah, Rasio R. Sani, Mahfudz, Suhaeri, Sri Murniningtyas, Mark Smulders, Stephen Rudgard.
FaCIlItator:
Erwinsyah, Ellyn K. Damayanti, Fidelis E. Satriastanti, Yurdi Yasmi, Ageng Heriyanto, David W. Brown,
Harriansyah, Rifky Fadzri.
1. Perkenalan
Buku ini dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Republik Indonesia, untuk
memberikan informasi kepada masyarakat global mengenai keadaan hutan dan
sumber daya kehutanan Indonesia dan tentang upaya Pemerintah Indonesia untuk
mendemokratisasikan alokasi sumber daya kehutanan; mencegah dan mengelola
deforestasi dan degradasi sumber daya kehutanan; dan untuk memastikan keadilan
lingkungan dan kesetaraan kesempatan bagi semua anggota masyarakat Indonesia,
termasuk Adatkomunitas.
Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmen yang kuat dalam mencapai
demokratisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kehutanan dan dalam beberapa
tahun terakhir telah mengintensifkan komitmennya dan melaksanakan pencegahan deforestasi
dan degradasi hutan dengan beberapa hasil positif baru-baru ini; dan menerapkan sistem
sertifikasi pengelolaan hutan lestari yang juga bertujuan untuk menghentikan pembalakan liar;
dan menerapkan sistem untuk menyelesaikan konflik terkait penguasaan hutan yang melibatkan
masyarakat dan sekitarnya, termasukAdatkomunitas. Pemerintah berkomitmen untuk mengatasi
peran kehutanan dalam mitigasi perubahan iklim melalui Kontribusi yang Ditetapkan Secara
Nasional dan telah mengintensifkan komitmennya untuk menyelesaikan konflik tenurial terkait
dengan lahan hutan. Ini telah dicapai melalui pergeseran dari pendekatan berorientasi
perusahaan ke pendekatan yang lebih berorientasi pada masyarakat yang dimaksudkan untuk
meningkatkan pembangunan ekonomi tingkat masyarakat yang berkelanjutan dengan
memastikan akses yang lebih adil ke sumber daya lahan dan hutan, dan dengan demikian
meningkatkan kemakmuran masyarakat.
Buku ini terdiri dari pengenalan singkat (Bab 1), deskripsi dan analisis Kawasan
Hutan Indonesia (Bab 2), pembahasan upaya pengendalian dan pengurangan
deforestasi (Bab 3), tinjauan upaya Indonesia untuk mengintensifkan inisiatif
perhutanan sosial. (Bab 4); pertimbangan arah dan tren baru dalam pengelolaan
kawasan konservasi (Bab 5); kajian terhadap isu-isu yang terkait dengan kontribusi
sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional (Bab 6); dan catatan penutup
(Bab 7).
oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung, atau KPHL)
diperlukan di tingkat dasar. Dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia,
pengelolaan yang tepat diperlukan untuk memastikan bahwa semua elemen masyarakat
mendapat manfaat dari sumber daya tersebut.
Selama lebih dari lima dekade, sumber daya hutan telah memainkan peran
penting dalam memfasilitasi pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, kinerja
pengelolaan hutan di Indonesia menurun, dan kontribusi ekonomi hutan menurun
drastis, terutama sejak era reformasi, terkait dengan penerapan kebijakan otonomi
daerah. Pemerintah kini mulai memperkenalkan sejumlah langkah baru untuk
meningkatkan kelestarian hutan negara, termasuk sistem sertifikasi hutan dan lacak
balak untuk memastikan legalitas kayu.
Untuk meningkatkan tingkat kepastian hukum dalam pengelolaan Kawasan Hutan, dilakukan
langkah-langkah untuk memperjelas batas-batas dan peruntukan administratif Kawasan Hutan
yang sebenarnya untuk menunjukkan letak dan status hukum Kawasan Hutan yang sebenarnya;
dan untuk meningkatkan pengakuan/legitimasi publik mengenai hak masyarakat atas
penggunaan tanah dalam beberapa kasus di dalam dan juga di sekitar Kawasan Hutan.
dikenal sebagai peta moratorium). Peta tersebut mencakup lebih dari 66 juta hektar
sebagian besar hutan primer (alias 'perawan') dan/atau gambut, tidak ada yang diyakini
dibebani dengan izin sumber daya (untuk penebangan, perkebunan, pertambangan, dll).
Dalam 66 juta hektar, tidak ada konsesi sumber daya baru yang dapat diberikan, selama
moratorium ada. Moratorium tersebut mulai berlaku pada 2011 dan baru-baru ini
diperpanjang oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2017.
Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan peningkatan jumlah penduduk, permintaan
akan lahan semakin meningkat. Sejak tahun 2015, Pemerintah mencanangkan Ekonomi
Berkeadilan (Equitable Economy).Ekonomi Pemerataan) kebijakan untuk mengurangi
ketimpangan. reforma agraria (Tanah Obyek Reforma Agraria, atau TORA) dan program
perhutanan sosial merupakan komponen integral dari kebijakan Ekonomi Berkeadilan ini, yang
dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan lahan bagi anggota masyarakat lokal dan/atauAdat
komunitas. Lahan yang dialokasikan untuk TORA adalah 9 juta hektar, yang statusnya akan
diubah dari Kawasan Hutan menjadi APL.
Pemanfaatan lahan untuk kegiatan ekonomi telah mengakibatkan gangguan terhadap
keamanan hutan berupa perambahan, illegal logging, kebakaran hutan dan lahan, serta
perdagangan tumbuhan dan satwa liar secara ilegal. Pemerintah Indonesia dilengkapi dengan
sejumlah instrumen hukum untuk mengatasi masalah ini dan menggunakan langkah-langkah
pencegahan dan represif. Pekerjaan terus memperjelas batas-batas antara klasifikasi
administratif yang berbeda dari Kawasan Hutan; memperjelas status hukum Kawasan Hutan
tertentu; untuk memastikan legitimasi dan pengakuan publik; dan memberikan kepastian yang
lebih besar mengenai hak atas tanah bagi masyarakat di wilayah yang berbatasan dengan
Kawasan Hutan.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menarik perhatian dunia sejak kebakaran
dahsyat tahun 1982/1983 dan 1997/1998. Kebakaran hutan dan lahan yang signifikan terjadi lagi
pada tahun 2007, 2012 dan 2015, yang menyebabkan polusi asap lintas batas di kawasan ASEAN
dan menarik perhatian dunia yang lebih besar lagi. Pada tahun 2014, sebagai salah satu
komitmen Indonesia untuk mengurangi polusi asap lintas batas, Indonesia meratifikasi Perjanjian
ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas (AATHP), yang memberikan kerangka kerja untuk
pengendalian kebakaran hutan dan lahan di tingkat regional.
Pasca bencana kebakaran tahun 2015, Presiden Joko Widodo menegaskan
kembali komitmen Indonesia untuk mencegah kebakaran dengan intensitas dan
efektivitas upaya yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2016, Presiden secara
tegas menekankan pentingnya sistem pencegahan, sistem reward and punishment,
dan pentingnya peningkatan tinjauan lapangan, penegakan hukum dan sinergi
antara instansi pemerintah pusat dan daerah, serta dalam pengelolaan lahan
gambut. Pada tahun 2017, Presiden menekankan pentingnya sistem peringatan dini
dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berperan dalam pencegahan
kebakaran hutan dan kebakaran melalui partisipasi dan dukungan terhadap operasi
udara, penegakan hukum, tata kelola hutan dan lahan yang efektif, serta
peningkatan koordinasi dan sinergi. . Pada tahun 2018,
Ringkasan bisnis plan 7
keadaan Hutan Indonesia2018
partisipasi di tingkat masyarakat. Pada tahun 2016 dan 2017, jumlah titik panas yang
teridentifikasi dan kasus kebakaran hutan dan lahan menurun secara signifikan, dengan
penurunan ini disebabkan oleh tindakan pengendalian yang intensif dan faktor iklim.
Indonesia berperan aktif dalam forum-forum untuk membina kerjasama global untuk
mengatasi masalah ini, khususnya forum-forum yang terkait dengan United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sebagai wujud komitmennya dalam
mengelola perubahan iklim, Indonesia telah berkomitmen pada Nationally Determined
Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi GRK tanpa syarat sebesar 29 persen melalui
upayanya sendiri (dan hingga 41 persen tergantung pada tingkat bantuan internasional)
selama dekade tersebut. tahun 2020 hingga 2030, sebagaimana diukur terhadap baseline
bisnis seperti biasa tahun 2010. Pengurangan paling signifikan akan dicapai di sektor
kehutanan, dengan sektor yang menyumbang 17,2 persen dari pengurangan 29 persen,
dan 23 persen dari pengurangan 41 persen.
Menanggapi arahan dari UNFCCC tentang cara mengurangi emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan, dan mendorong konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan
peningkatan stok karbon hutan (disingkat REDD+), dan sebagai bagian dari
komitmen Indonesia untuk melaksanakan skema REDD+ Sebagai bagian dari aksi
mitigasi iklim, Indonesia telah mengembangkan infrastruktur REDD+, yang terdiri
dari Strategi nasional REDD+, Tingkat Emisi Referensi Hutan (FREL), Sistem
Pemantauan Hutan Nasional (NFMS), dan Sistem Informasi Safeguards (SIS). Sistem
Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) nasional untuk implementasi REDD+ yang
didukung oleh NFMS juga telah dikembangkan. Selain mendukung implementasi
REDD+, Indonesia telah membangun sistem pembayaran berbasis hasil dan
instrumen terkait. Akhirnya,
Khusus untuk kasus emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut, selama
periode 2000 hingga 2016, tingkat emisi tahunan rata-rata mencapai 709.409 Gg CO
e. Jika emisi
2
dari kebakaran gambut dikesampingkan, tingkat emisi rata-rata tahunan
akan menjadi 466.035 Gg CO e, dengan sebagian
2
besar berasal dari dekomposisi
lahan gambut, yang menghasilkan rata-rata tahunan 304.377 Gg CO e.2
Pelaksanaan langkah-langkah mitigasi telah menghasilkan penurunan tingkat emisi,
terutama dalam hal emisi dari kebakaran gambut. Pasca El-Nino tahun 2016, tingkat emisi
dari kebakaran gambut menurun menjadi 90.267 Gg CO e, dari angka 712.602 Gg CO e
yang
2
tercatat pada tahun 2015. Pada tahun 2017,
2
tingkat emisi dari kebakaran gambut
semakin menurun, menjadi 12.513 Gg CO e. 2
Untuk mencegah degradasi lahan gambut dan untuk meningkatkan kualitas pengelolaannya,
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan
8 Ringkasan bisnis plan
Pengelolaan Ekosistem Gambut pada tahun 2014, yang telah diubah lebih lanjut pada tahun
2016. Perubahan peraturan tersebut meningkatkan perlindungan ekosistem gambut,
berdasarkan pentingnya menjaga keseimbangan air, menyimpan karbon, dan melestarikan
keanekaragaman hayati.
Indonesia memiliki bentangan lahan gambut tropis yang lebih luas daripada
negara mana pun di dunia. Inventarisasi ekosistem gambut Indonesia telah selesai,
menghasilkan Unit Hidrologis Gambut nasional (Kesatuan Hidrologis Gambut, KHG).
Untuk tujuan perencanaan dan penegakan, beberapa KHG kini telah dipetakan
secara rinci hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Peta-peta tersebut
menunjukkan bahwa luas total ekosistem gambut Indonesia mencapai 24,14 juta
hektar, yang terdiri dari sekitar 9,16 juta hektar di Sumatera, 8,39 juta hektar di
Kalimantan, 60 ribu hektar di Sulawesi, dan 6,53 juta hektar di Papua.
satu anoa (Buballus sp.) di Sulawesi Utara, seekor gajah sumatera betina (Elephas
maximus sumatrensis) di Aceh, tiga gajah sumatera betina lagi dan satu gajah
sumatera jantan di Lampung, dan satu orangutan sumatera betina (Pongo abelii) di
Aceh.
Spesies baru, orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), diidentifikasi pada tahun
2017. Juga, spesies pohon yang diyakini telah punah,Dipterocarpus cinereus,
ditemukan kembali di Pulau Mursala, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Indonesia akan mengusulkan perubahan statusDipterocarpus cinereus, yang
dinyatakan punah oleh IUCN pada tahun 1998.
Sebagian besar penduduk Indonesia masih sangat bergantung pada sumber
daya hutan. Dari 74.954 desa di Indonesia, sekitar 25.800 desa atau 34,1 persen dari
total desa merupakan desa pinggiran hutan. Sekitar 6.381 desa berada di pinggiran
22 juta hektar Hutan Konservasi, dengan sebagian besar penduduk desa-desa ini
bergantung pada sumber daya hutan untuk mata pencaharian mereka.
Dalam kurun waktu 2015 hingga 2019, telah dilakukan program konservasi agar
masyarakat dapat mengakses dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seluas 62.000
hektar di Kawasan Tradisional yang telah ditetapkan, di Taman Nasional. Zona-zona ini
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat yang secara tradisional bergantung
pada hasil hutan non-kayu tertentu yang ditemukan di zona-zona tersebut. Melalui
pengaturan kemitraan ini, kawasan konservasi telah berkontribusi dalam meningkatkan
kesejahteraan 4.812 kepala keluarga di 62 desa yang tinggal di dalam dan di pinggiran 15
Taman Nasional.
Sebagai negara mega-biodiversity, Indonesia memiliki peran yang sangat
strategis di kancah internasional untuk melestarikan keanekaragaman hayati.
Indonesia telah meratifikasi sejumlah kesepakatan dan konvensi internasional terkait
keanekaragaman hayati, antara lain Convention on Biological Diversity (CBD),
UNESCO Man and Biosphere Programme (MAB), World Heritage Convention,
Convention on the International Trade of Endangered Species of Wild Fauna dan
Flora (CITES), dan Konvensi Ramsar (Konvensi tentang Lahan Basah Penting
Internasional sebagai Habitat Unggas Air).
dan jasa ekosistem dapat mulai memberikan kontribusi yang lebih penting bagi
perekonomian negara.
Tiga puluh enam persen dari konsesi penebangan kayu hutan alam tidak bekerja
secara aktif, meskipun keinginan pemerintah untuk melihat hutan alam yang dikelola oleh
konsesi ini berkembang. Faktor yang memperumit adalah bahwa konflik sosial dalam
banyak kasus harus dikelola oleh pemegang konsesi hutan itu sendiri. Hingga tahun 2017,
94 Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT), sepertiga dari total nasional, telah memetakan
konflik sosial mereka.
Terlepas dari tantangan sosial dan tantangan lain yang dihadapi oleh produsen hutan
alam dan kayu tanaman, penerimaan negara bukan pajak yang dihasilkan dari kegiatan
ekonomi di kawasan hutan cukup besar. Dari 2011 hingga 2017, iuran dan royalti saja dari
sektor kehutanan berjumlah USD 1,754 miliar. Iuran dan royalti utama yang terkait dengan
hutan termasuk pembayaran ke dalam Dana Reboisasi (Dana Reboisasi, atau DR), Royalti
Sumber Daya Hutan (Penyediaan Sumber Daya Hutan, atau PSDH), Biaya Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan (Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, atauiranIUPHH),
Biaya Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Jasa
Lingkungan, atauiranIUPJL), Denda Pelanggaran Pengusahaan Hutan (Denda Pelanggaran
Eksploitasi Hutan) dan Kompensasi Tumpukan (Ganti Rugi Nilai Tegakan, GNRT),
persyaratan bahwa pohon yang ditebang secara ilegal oleh pemegang konsesi kayu akan
dibebani dengan royalti sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat normal yang diatur.
7. Catatan penutup
Ada perubahan besar yang terjadi di negara ini menuju perspektif baru
keberlanjutan, melalui integrasi dua portofolio besar, kehutanan dan lingkungan. Hal
ini telah berkontribusi pada kerjasama global dalam mengatasi isu perubahan iklim,
komitmen untuk mengelola kelestarian hutan produksi, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan untuk menjamin ketersediaan lahan bagi masyarakat.
lokasi
Taman Nasional Manupeu Tanah Daru
dan Laiwangi Wanggameti, Provinsi
Nusa Tenggara Timur
foto oleh
Simon Onggo