Anda di halaman 1dari 12

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Kementerian Lingkungan Hidup dan


Kehutanan Republik Indonesia

negara bagian

IndoneSIa'S
hutanSTS2018
Ringkasan bisnis plan
negara bagian

IndoneSIa'S
hutanSTS2018
©2018Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

Diterbitkan oleh:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

Isi dan materi dalam buku ini dapat direproduksi dan disebarluaskan dengan cara yang tidak mengubah maksud dari isinya.
Izin untuk mengutip materi dari buku ini diberikan jika atribusi penuh diberikan.

Pemimpin Redaksi:
Siti Nurbaya

Mengelola EdItoR:
Efransjah

sEnIoR EdItoR:
San A.Awang

TIM PENULISAN:
Ruandha Agung, Yuyu Rahayu, Triyono Saputro, Roosi Tjandrakirana, Dhany Ramdhany, Mursid Wibawa, Tenang CR Silitonga, Adnin Damarraya, Emma
Y. Wulandari, Belinda A. Margono, Hany Setyawan, Sofyan, Sumantri, Untung Suprapto, Eva Famurianty, Nur I Siswanto, Dinik Indrihastuti, Sigit
Reliantoro, SPM Budisusanti, Tulus Laksono, Aep Purnama, Muhammad Askary, Tantri Endarini, Hanum Sakina, Apik Karyana, Erna Rosdiana, Catur E.
Prasetiani, Nur Dwiyati, Agus Sugiarto, Syafda Ruswandi, Rosalina, Mela Herlina, Iman A. Masud, Yuli Prasetyo Nugroho, Agung Pambudi, Nelson PN
Siahaan, Nandang Prihadi, Tri C. Nugraha, Agung Nugroho, Ihwan, Bisro Sya'bani, Adhi N. Hadi, Bambang Suriyono, Kasuma Yotrin, Sakti
Hadengganan, Drasospolino, Sigit Sarjuningtiyas, Mariana Lubis, Teguh Widodo, I Ketut Gede Suartana, Khairi Wenda, Nina M. Korompis, Plaghelmo
Seran,Komarudin, Hasanuddin, Yoga Prayoga, Selli FY Wardani, Fitri Y. Amandita, Tri H. Irawan, Noni E. Rahayu, Rus SI Putri, Santi Octavianti, Agung RT
Hidayatulloh, Damayanti Ratunanda, Lutfiah, Lilit Siswanty, Rudianto S. Napitu, Dimas Y. Baskara, Dita AM Sari, Tri A. Wibisono, Eko H. Kuncoro, Ina
Minangsari, Salis Z. Ulya, Chollis Munajad, Raditya A. Haris, Teguh Rahardja, Lenny J. Sari, Tina Artini, Sumidi, Dedy Lukmansjah , Siswati Adnan,
Sudarmanto, Yulfikar T. Zain, Bagus Martiandi, Muhammad Zahrul Muttaqin.Chollis Munajad, Raditya A. Haris, Teguh Rahardja, Lenny J. Sari, Tina Artini,
Sumidi, Dedy Lukmansjah, Siswati Adnan, Sudarmanto, Yulfikar T. Zain, Bagus Martiandi, Muhammad Zahrul Muttaqin.Chollis Munajad, Raditya A. Haris,
Teguh Rahardja, Lenny J. Sari, Tina Artini, Sumidi, Dedy Lukmansjah, Siswati Adnan, Sudarmanto, Yulfikar T. Zain, Bagus Martiandi, Muhammad Zahrul
Muttaqin.

KontRIbutor:
Bambang Hendroyono, Sigit Hardwinarto, Bambang Supriyanto, Wiratno, Agus Justianto, Hilman Nugroho, IB Putera
Parthama, MR Karliansyah, Rasio R. Sani, Mahfudz, Suhaeri, Sri Murniningtyas, Mark Smulders, Stephen Rudgard.

FaCIlItator:
Erwinsyah, Ellyn K. Damayanti, Fidelis E. Satriastanti, Yurdi Yasmi, Ageng Heriyanto, David W. Brown,
Harriansyah, Rifky Fadzri.

Kementerian Lingkungan Hidup dan


Kehutanan Republik Indonesia

Dengan dukungan dari:


Ringkasan bisnis plan

1. Perkenalan
Buku ini dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Republik Indonesia, untuk
memberikan informasi kepada masyarakat global mengenai keadaan hutan dan
sumber daya kehutanan Indonesia dan tentang upaya Pemerintah Indonesia untuk
mendemokratisasikan alokasi sumber daya kehutanan; mencegah dan mengelola
deforestasi dan degradasi sumber daya kehutanan; dan untuk memastikan keadilan
lingkungan dan kesetaraan kesempatan bagi semua anggota masyarakat Indonesia,
termasuk Adatkomunitas.
Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmen yang kuat dalam mencapai
demokratisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kehutanan dan dalam beberapa
tahun terakhir telah mengintensifkan komitmennya dan melaksanakan pencegahan deforestasi
dan degradasi hutan dengan beberapa hasil positif baru-baru ini; dan menerapkan sistem
sertifikasi pengelolaan hutan lestari yang juga bertujuan untuk menghentikan pembalakan liar;
dan menerapkan sistem untuk menyelesaikan konflik terkait penguasaan hutan yang melibatkan
masyarakat dan sekitarnya, termasukAdatkomunitas. Pemerintah berkomitmen untuk mengatasi
peran kehutanan dalam mitigasi perubahan iklim melalui Kontribusi yang Ditetapkan Secara
Nasional dan telah mengintensifkan komitmennya untuk menyelesaikan konflik tenurial terkait
dengan lahan hutan. Ini telah dicapai melalui pergeseran dari pendekatan berorientasi
perusahaan ke pendekatan yang lebih berorientasi pada masyarakat yang dimaksudkan untuk
meningkatkan pembangunan ekonomi tingkat masyarakat yang berkelanjutan dengan
memastikan akses yang lebih adil ke sumber daya lahan dan hutan, dan dengan demikian
meningkatkan kemakmuran masyarakat.
Buku ini terdiri dari pengenalan singkat (Bab 1), deskripsi dan analisis Kawasan
Hutan Indonesia (Bab 2), pembahasan upaya pengendalian dan pengurangan
deforestasi (Bab 3), tinjauan upaya Indonesia untuk mengintensifkan inisiatif
perhutanan sosial. (Bab 4); pertimbangan arah dan tren baru dalam pengelolaan
kawasan konservasi (Bab 5); kajian terhadap isu-isu yang terkait dengan kontribusi
sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional (Bab 6); dan catatan penutup
(Bab 7).

2. gambaran umum tentang kawasan hutan Indonesia


Indonesia adalah bangsa yang besar, dengan 120,6 juta hektar atau 63 persen
dari seluruh wilayah negara ditetapkan sebagai Kawasan Hutan (Kawasan Hutan).
Sebagian besar wilayah Indonesia yang tersisa terdiri dari lahan publik non-hutan,
yang dikenal sebagai Area untuk Keperluan Lain (Area Penggunaan Lain, atau APL).
Kawasan Hutan dikelola sesuai dengan tiga fungsi. Hutan Produksi (Hutan Produksi,
HP), meliputi total luas 68,8 juta hektar, atau 57 persen dari Kawasan Hutan. Hutan
Konservasi (Hutan Konservasi), mencakup luas total 22,1 juta hektar atau 18 persen
(dengan tambahan 5,3 juta hektar konservasi laut
4 Ringkasan bisnis plan

keadaan Hutan Indonesia2018

daerah). Hutan Lindung (Hutan


Lindung) memiliki fungsi DAS dan
Salah satu Kawasan Hutan Konservasi Indonesia
mencakup 29,7 juta hektar sisanya yang lebih terkenal adalah Taman Nasional
atau 25 persen. Komodo, Situs Warisan Dunia PBB dan rumah
Diberkahi dengan iklim tropis, bagi Naga Komodo (Varanus komodoensis).
Indonesia memiliki 17.000+ pulau yang Indonesia terletak di Segitiga Terumbu Karang,
terletak di antara dua benua, Asia dan yang merupakan wilayah lautan yang paling
beragam secara biologis di planet ini. Dua
Australia, dan di antara samudra, Samudra
kawasan konservasi laut yang paling terkenal di
Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letak Indonesia adalah Laut Wakatobi, dan Kawasan
geografisnya, Indonesia memiliki tingkat Konservasi Laut Raja Ampat.
keanekaragaman hayati, dan endemisitas
yang sangat tinggi, dan
memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang lebih tinggi daripada negara lain di
dunia kecuali Brasil dan Kolombia. Jenis satwa terdiri dari fauna terkenal seperti
harimau sumatera, gajah sumatera, badak sumatera dan jawa, orangutan kalimantan
dan sumatera, kerbau cebol, komodo dan cendrawasih (Paradisaea apoda).
Rencana pembangunan nasional Indonesia 2015 hingga 2019 menegaskan kembali
status Indonesia sebagai negara yang berdaulat, mandiri, dan berprinsip berdasarkan
gotong royong. Sembilan agenda prioritas pembangunan nasional dikenal dengan
NAWACITA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terlibat langsung
setidaknya dalam tiga agenda tersebut. (1) Memperkuat dan melaksanakan komitmen
Indonesia dalam pembenahan penegakan hukum dan sistem lainnya agar bersih dari
korupsi, amanah, dan sesuai dengan harkat dan martabat bangsa. (2) Meningkatkan
produktivitas bangsa di tingkat masyarakat dan meningkatkan kemampuannya bersaing di
pasar internasional. (3) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan mendorong sektor-
sektor strategis dalam perekonomian domestik.
Sebagai bagian dari upaya global, Pemerintah Indonesia berkomitmen dan
mengimplementasikan Perjanjian Internasional tentang Perubahan Iklim dan
menunjukkan kemajuan dalam implementasi Nationally Determined Contribution
(NDC), termasuk aspek mitigasi dan adaptasi, dimana NDC Indonesia tahun 2030
menargetkan pengurangan emisi adalah 29 persen melalui upaya sendiri, dan hingga
41 persen tergantung pada tingkat kerjasama internasional.
Indonesia memiliki lebih dari 15 juta ha lahan gambut, yang mencakup 12 persen
dari lahan hutannya dan ditemukan tepat di empat pulau besar di Indonesia yaitu
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Lahan gambut ini, bersama dengan 9,14
hektar lainnya di lanskap terkait, dikelola di bawah wilayah yang secara administratif
ditetapkan sebagai Kesatuan Hidrologis Gambut (Kesatuan Hidrologis Gambut, KHG),
yang mencakup area seluas 24,14 juta hektar.
Hutan Lindung memainkan peran strategis utama dalam melindungi sistem penyangga
kehidupan lingkungan dengan mengatur pasokan air; mencegah banjir; mengendalikan erosi;
mencegah intrusi air laut; dan menjaga kesuburan tanah, serta menyediakan pasokan pangan
yang cukup, pasokan energi untuk kehidupan manusia dan plasma nutfah untuk penggunaan di
masa depan. Sebagai pengakuan atas peran vital ini, pengelolaan hutan-hutan ini
Ringkasan bisnis plan 5
keadaan Hutan Indonesia2018

oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung, atau KPHL)
diperlukan di tingkat dasar. Dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia,
pengelolaan yang tepat diperlukan untuk memastikan bahwa semua elemen masyarakat
mendapat manfaat dari sumber daya tersebut.
Selama lebih dari lima dekade, sumber daya hutan telah memainkan peran
penting dalam memfasilitasi pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, kinerja
pengelolaan hutan di Indonesia menurun, dan kontribusi ekonomi hutan menurun
drastis, terutama sejak era reformasi, terkait dengan penerapan kebijakan otonomi
daerah. Pemerintah kini mulai memperkenalkan sejumlah langkah baru untuk
meningkatkan kelestarian hutan negara, termasuk sistem sertifikasi hutan dan lacak
balak untuk memastikan legalitas kayu.

3. Mengatasi Penyebab Deforestasi dan Degradasi


Hutan
Pemantauan sumber daya hutan secara berkala dilakukan dengan interval tiga
tahun dalam periode 2000 sampai 2009. Dengan kemajuan teknologi penginderaan
jauh, sejak tahun 2011, pemantauan sumber daya hutan dilakukan setiap tahun,
dengan proses persiapan peta tutupan lahan yang berasal dari interpretasi citra
satelit resolusi menengah (Landsat 4 TM, Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+, Landsat 8
OLI) dan citra satelit resolusi tinggi (SPOT-6, SPOT-7). Untuk setiap periode satu
tahun, proses tersebut mengidentifikasi kenaikan atau penurunan tingkat
deforestasi.
Sistem Informasi Geospasial Tematik Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang
terintegrasi penuh dengan Jaringan Informasi Geospasial Nasional (Jaringan
Informasi Geospasial Nasional, JIGN), dimaksudkan untuk memfasilitasi implementasi
Kebijakan Satu Peta Indonesia (Kebijakan Satu Peta). Kebijakan ini bertujuan untuk
membuat peta tunggal berskala 1:50.000 yang dapat menjadi acuan standar
geospasial, berdasarkan standar tunggal, database tunggal, dan geoportal tunggal.

Untuk meningkatkan tingkat kepastian hukum dalam pengelolaan Kawasan Hutan, dilakukan
langkah-langkah untuk memperjelas batas-batas dan peruntukan administratif Kawasan Hutan
yang sebenarnya untuk menunjukkan letak dan status hukum Kawasan Hutan yang sebenarnya;
dan untuk meningkatkan pengakuan/legitimasi publik mengenai hak masyarakat atas
penggunaan tanah dalam beberapa kasus di dalam dan juga di sekitar Kawasan Hutan.

Moratorium pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut merupakan


kebijakan yang sangat signifikan yang dirumuskan oleh Pemerintah Indonesia. Untuk
melaksanakan kebijakan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menerbitkan Keputusan Menteri dengan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin
Baru, Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan Kawasan Hutan serta Perubahan
Penetapan Kawasan Hutan dan Kawasan Penggunaan Lain. (PIPPIB; lebih umum
6 Ringkasan bisnis plan

keadaan Hutan Indonesia2018

dikenal sebagai peta moratorium). Peta tersebut mencakup lebih dari 66 juta hektar
sebagian besar hutan primer (alias 'perawan') dan/atau gambut, tidak ada yang diyakini
dibebani dengan izin sumber daya (untuk penebangan, perkebunan, pertambangan, dll).
Dalam 66 juta hektar, tidak ada konsesi sumber daya baru yang dapat diberikan, selama
moratorium ada. Moratorium tersebut mulai berlaku pada 2011 dan baru-baru ini
diperpanjang oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2017.
Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan peningkatan jumlah penduduk, permintaan
akan lahan semakin meningkat. Sejak tahun 2015, Pemerintah mencanangkan Ekonomi
Berkeadilan (Equitable Economy).Ekonomi Pemerataan) kebijakan untuk mengurangi
ketimpangan. reforma agraria (Tanah Obyek Reforma Agraria, atau TORA) dan program
perhutanan sosial merupakan komponen integral dari kebijakan Ekonomi Berkeadilan ini, yang
dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan lahan bagi anggota masyarakat lokal dan/atauAdat
komunitas. Lahan yang dialokasikan untuk TORA adalah 9 juta hektar, yang statusnya akan
diubah dari Kawasan Hutan menjadi APL.
Pemanfaatan lahan untuk kegiatan ekonomi telah mengakibatkan gangguan terhadap
keamanan hutan berupa perambahan, illegal logging, kebakaran hutan dan lahan, serta
perdagangan tumbuhan dan satwa liar secara ilegal. Pemerintah Indonesia dilengkapi dengan
sejumlah instrumen hukum untuk mengatasi masalah ini dan menggunakan langkah-langkah
pencegahan dan represif. Pekerjaan terus memperjelas batas-batas antara klasifikasi
administratif yang berbeda dari Kawasan Hutan; memperjelas status hukum Kawasan Hutan
tertentu; untuk memastikan legitimasi dan pengakuan publik; dan memberikan kepastian yang
lebih besar mengenai hak atas tanah bagi masyarakat di wilayah yang berbatasan dengan
Kawasan Hutan.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menarik perhatian dunia sejak kebakaran
dahsyat tahun 1982/1983 dan 1997/1998. Kebakaran hutan dan lahan yang signifikan terjadi lagi
pada tahun 2007, 2012 dan 2015, yang menyebabkan polusi asap lintas batas di kawasan ASEAN
dan menarik perhatian dunia yang lebih besar lagi. Pada tahun 2014, sebagai salah satu
komitmen Indonesia untuk mengurangi polusi asap lintas batas, Indonesia meratifikasi Perjanjian
ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas (AATHP), yang memberikan kerangka kerja untuk
pengendalian kebakaran hutan dan lahan di tingkat regional.
Pasca bencana kebakaran tahun 2015, Presiden Joko Widodo menegaskan
kembali komitmen Indonesia untuk mencegah kebakaran dengan intensitas dan
efektivitas upaya yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2016, Presiden secara
tegas menekankan pentingnya sistem pencegahan, sistem reward and punishment,
dan pentingnya peningkatan tinjauan lapangan, penegakan hukum dan sinergi
antara instansi pemerintah pusat dan daerah, serta dalam pengelolaan lahan
gambut. Pada tahun 2017, Presiden menekankan pentingnya sistem peringatan dini
dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berperan dalam pencegahan
kebakaran hutan dan kebakaran melalui partisipasi dan dukungan terhadap operasi
udara, penegakan hukum, tata kelola hutan dan lahan yang efektif, serta
peningkatan koordinasi dan sinergi. . Pada tahun 2018,
Ringkasan bisnis plan 7
keadaan Hutan Indonesia2018

partisipasi di tingkat masyarakat. Pada tahun 2016 dan 2017, jumlah titik panas yang
teridentifikasi dan kasus kebakaran hutan dan lahan menurun secara signifikan, dengan
penurunan ini disebabkan oleh tindakan pengendalian yang intensif dan faktor iklim.
Indonesia berperan aktif dalam forum-forum untuk membina kerjasama global untuk
mengatasi masalah ini, khususnya forum-forum yang terkait dengan United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sebagai wujud komitmennya dalam
mengelola perubahan iklim, Indonesia telah berkomitmen pada Nationally Determined
Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi GRK tanpa syarat sebesar 29 persen melalui
upayanya sendiri (dan hingga 41 persen tergantung pada tingkat bantuan internasional)
selama dekade tersebut. tahun 2020 hingga 2030, sebagaimana diukur terhadap baseline
bisnis seperti biasa tahun 2010. Pengurangan paling signifikan akan dicapai di sektor
kehutanan, dengan sektor yang menyumbang 17,2 persen dari pengurangan 29 persen,
dan 23 persen dari pengurangan 41 persen.
Menanggapi arahan dari UNFCCC tentang cara mengurangi emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan, dan mendorong konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan
peningkatan stok karbon hutan (disingkat REDD+), dan sebagai bagian dari
komitmen Indonesia untuk melaksanakan skema REDD+ Sebagai bagian dari aksi
mitigasi iklim, Indonesia telah mengembangkan infrastruktur REDD+, yang terdiri
dari Strategi nasional REDD+, Tingkat Emisi Referensi Hutan (FREL), Sistem
Pemantauan Hutan Nasional (NFMS), dan Sistem Informasi Safeguards (SIS). Sistem
Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) nasional untuk implementasi REDD+ yang
didukung oleh NFMS juga telah dikembangkan. Selain mendukung implementasi
REDD+, Indonesia telah membangun sistem pembayaran berbasis hasil dan
instrumen terkait. Akhirnya,

Khusus untuk kasus emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut, selama
periode 2000 hingga 2016, tingkat emisi tahunan rata-rata mencapai 709.409 Gg CO
e. Jika emisi
2
dari kebakaran gambut dikesampingkan, tingkat emisi rata-rata tahunan
akan menjadi 466.035 Gg CO e, dengan sebagian
2
besar berasal dari dekomposisi
lahan gambut, yang menghasilkan rata-rata tahunan 304.377 Gg CO e.2
Pelaksanaan langkah-langkah mitigasi telah menghasilkan penurunan tingkat emisi,
terutama dalam hal emisi dari kebakaran gambut. Pasca El-Nino tahun 2016, tingkat emisi
dari kebakaran gambut menurun menjadi 90.267 Gg CO e, dari angka 712.602 Gg CO e
yang
2
tercatat pada tahun 2015. Pada tahun 2017,
2
tingkat emisi dari kebakaran gambut
semakin menurun, menjadi 12.513 Gg CO e. 2
Untuk mencegah degradasi lahan gambut dan untuk meningkatkan kualitas pengelolaannya,
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan
8 Ringkasan bisnis plan

keadaan Hutan Indonesia2018

Pengelolaan Ekosistem Gambut pada tahun 2014, yang telah diubah lebih lanjut pada tahun
2016. Perubahan peraturan tersebut meningkatkan perlindungan ekosistem gambut,
berdasarkan pentingnya menjaga keseimbangan air, menyimpan karbon, dan melestarikan
keanekaragaman hayati.
Indonesia memiliki bentangan lahan gambut tropis yang lebih luas daripada
negara mana pun di dunia. Inventarisasi ekosistem gambut Indonesia telah selesai,
menghasilkan Unit Hidrologis Gambut nasional (Kesatuan Hidrologis Gambut, KHG).
Untuk tujuan perencanaan dan penegakan, beberapa KHG kini telah dipetakan
secara rinci hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Peta-peta tersebut
menunjukkan bahwa luas total ekosistem gambut Indonesia mencapai 24,14 juta
hektar, yang terdiri dari sekitar 9,16 juta hektar di Sumatera, 8,39 juta hektar di
Kalimantan, 60 ribu hektar di Sulawesi, dan 6,53 juta hektar di Papua.

Khususnya, Peraturan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Tahun 2014


sebagaimana telah diubah pada tahun 2016 mengamanatkan restorasi retroaktif pada kawasan
gambut dalam tertentu yang dikonversi oleh hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa
sawit, pertama-tama dengan mewajibkan perkebunan tersebut untuk menyusun Restorasi
Ekosistem Gambut. Rencana.
Kegiatan restorasi juga dilakukan di kawasan hutan alam bekas tebangan yang
berada di bawah naungan Izin Usaha Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Konsesi-
konsesi ini diberikan kepada mereka yang telah berjanji untuk mengembalikan
sebanyak mungkin areal bekas tebangan ke keadaan semula dalam hal struktur,
komposisi dan kondisi keanekaragaman hayati. Prinsip dasar konsesi restorasi
ekosistem adalah mempertahankan fungsi hutan (termasuk status administrasi
Kawasan Hutan yang ada); menjamin perlindungan dan pemeliharaan hutan
(konservasi); memulihkan tingkat keanekaragaman hayati dan keanekaragaman
hayati non-hayati (restorasi), mengoptimalkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
dan jasa lingkungan, mencapai kelestarian, dan memfasilitasi rehabilitasi.

4. Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan


Sebelum tahun 1990-an, masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak
dianggap oleh negara memiliki potensi dan kapasitas untuk memainkan peran penting
dalam pengelolaan hutan. Dari tahun 1990 hingga 1998, tumbuh penerimaan dan
kesadaran akan konsep bahwa masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dapat
berperan aktif dalam pengelolaan hutan. Dari tahun 2007 hingga 2013, berbagai peraturan
dikeluarkan untuk mendukung peran masyarakat dalam pengelolaan hutan. Dari tahun
2007 hingga 2014, proses pemberian akses hukum sumber daya hutan kepada masyarakat
relatif lambat, dengan sedikit izin yang dikeluarkan. Sebagai langkah korektif, Presiden
Joko Widodo kini telah mengungguli gagasan perhutanan sosial dengan menggarisbawahi
potensi fungsi kesejahteraan masyarakatnya.
AdatHutan (Hutan Adat) merupakan salah satu dari beberapa kategori Perhutanan Sosial
yang diprioritaskan oleh Presiden.AdatHutan didefinisikan sebagai hutan yang terletak di dalam
Ringkasan bisnis plan 9
keadaan Hutan Indonesia2018

wilayah di manaAdatmasyarakat memegang hak tradisional (Adat). Untuk


menyelaraskan peraturan kehutanan negara dengan keputusan penting Mahkamah
Konstitusi Indonesia pada tahun 2013 tentangAdatKehutanan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan peraturan baru tentang Hak Hutan
pada tahun 2015. Presiden Joko Widodo juga mengakui sembilan peraturan baruAdat
Hutan seluas lebih dari 13.000 hektar di Istana Negara pada 30 Desember 2016.
Hingga Juni 2018, ada 26 hutan yang diakuiAdatHutan di seluruh Indonesia, terletak
di Provinsi Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Banten, Jawa
Barat dan Kalimantan Timur.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kesatuan Pengelolaan Hutan, atau KPH) adalah bentuk
pengelolaan hutan yang paling dilimpahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. KPH mengambil tiga bentuk, salah satunya adalah Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung, KPH). KPHL tidak hanya fokus pada
perlindungan hutan tetapi juga memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam program-
program yang berkaitan dengan pengumpulan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
dan penyediaan jasa lingkungan. Di tingkat tapak, kegiatan pengelolaan hutan lindung
meliputi pemberian fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan lindung guna menunjang kesejahteraan mereka dan mengikutsertakan
masyarakat tersebut dalam mendukung fungsi hutan lindung.
Dalam menyikapi berbagai persoalan di sektor kehutanan Indonesia, sejumlah
kegiatan penelitian dan pengembangan telah dilakukan. Antara lain rehabilitasi lahan
gambut pasca kebakaran hutan dan lahan yang merusak, program penangkaran
spesies satwa langka, bioprospeksi untuk kebutuhan obat dan protein (manusia) di
masa depan, benih rekayasa genetika berkualitas tinggi untuk spesies pohon penting
terpilih, dan pengembangan komoditas hutan nonkayu yang diprioritaskan
masyarakat.

5. Paradigma Baru Pengelolaan Kawasan Konservasi


Indonesia memiliki 552 kawasan konservasi yang ditetapkan yang tersebar di seluruh
provinsi di negara ini, dengan luas total 27,4 juta hektar, di mana 5,3 juta hektar di
antaranya merupakan kawasan konservasi laut. Kawasan konservasi menghadapi tekanan
yang signifikan dan kompleks, banyak di antaranya berpotensi mengakibatkan degradasi
dan fragmentasi habitat, yang mengarah pada apa yang disebut fenomena “Ekosistem
Pulau”. Kawasan konservasi Indonesia semakin banyak dioperasikan dengan
menggunakan alat pengelolaan berbasis resor (RBM).
Dari 25 spesies terancam punah yang ditemukan di Indonesia dan terdaftar dalam
Daftar Merah Spesies Terancam Punah International Union for the Conservation of Nature
(IUCN), Indonesia telah menetapkan target untuk meningkatkan populasi 25 spesies
terancam tersebut setidaknya 10 persen dari angka dasar untuk populasi yang tercatat
pada tahun 2013. Sebagai bukti kemajuan nyata dalam mencapai target pertumbuhan
populasi tersebut, pada tahun 2017 saja tercatat sembilan kelahiran spesies satwa liar
Indonesia yang terancam punah, termasuk dua tarsius (Tarsius fuskus) di Sulawesi Selatan,
10 Ringkasan bisnis plan

keadaan Hutan Indonesia2018

satu anoa (Buballus sp.) di Sulawesi Utara, seekor gajah sumatera betina (Elephas
maximus sumatrensis) di Aceh, tiga gajah sumatera betina lagi dan satu gajah
sumatera jantan di Lampung, dan satu orangutan sumatera betina (Pongo abelii) di
Aceh.
Spesies baru, orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), diidentifikasi pada tahun
2017. Juga, spesies pohon yang diyakini telah punah,Dipterocarpus cinereus,
ditemukan kembali di Pulau Mursala, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Indonesia akan mengusulkan perubahan statusDipterocarpus cinereus, yang
dinyatakan punah oleh IUCN pada tahun 1998.
Sebagian besar penduduk Indonesia masih sangat bergantung pada sumber
daya hutan. Dari 74.954 desa di Indonesia, sekitar 25.800 desa atau 34,1 persen dari
total desa merupakan desa pinggiran hutan. Sekitar 6.381 desa berada di pinggiran
22 juta hektar Hutan Konservasi, dengan sebagian besar penduduk desa-desa ini
bergantung pada sumber daya hutan untuk mata pencaharian mereka.

Dalam kurun waktu 2015 hingga 2019, telah dilakukan program konservasi agar
masyarakat dapat mengakses dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seluas 62.000
hektar di Kawasan Tradisional yang telah ditetapkan, di Taman Nasional. Zona-zona ini
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat yang secara tradisional bergantung
pada hasil hutan non-kayu tertentu yang ditemukan di zona-zona tersebut. Melalui
pengaturan kemitraan ini, kawasan konservasi telah berkontribusi dalam meningkatkan
kesejahteraan 4.812 kepala keluarga di 62 desa yang tinggal di dalam dan di pinggiran 15
Taman Nasional.
Sebagai negara mega-biodiversity, Indonesia memiliki peran yang sangat
strategis di kancah internasional untuk melestarikan keanekaragaman hayati.
Indonesia telah meratifikasi sejumlah kesepakatan dan konvensi internasional terkait
keanekaragaman hayati, antara lain Convention on Biological Diversity (CBD),
UNESCO Man and Biosphere Programme (MAB), World Heritage Convention,
Convention on the International Trade of Endangered Species of Wild Fauna dan
Flora (CITES), dan Konvensi Ramsar (Konvensi tentang Lahan Basah Penting
Internasional sebagai Habitat Unggas Air).

6. Kontribusi Ekonomi Nasional dan Sektor Swasta


Hutan Produksi Indonesia seluas 68,8 juta hektar, yang telah diberikan konsesi
seluas 30,6 juta hektar, sedangkan 38,2 juta hektar sisanya tidak memiliki konsesi.
Dari luas yang diberikan dalam konsesi, sekitar 61 persen adalah untuk IUPHHK-HA
dan sekitar 37 persen untuk penanaman kayu industri (IUPHHK-HT). Kedua jenis
konsesi ini merupakan produsen utama kayu bulat untuk sektor pulp dan kertas,
kayu lapis, dan kayu gergajian di Indonesia. Dari hulu dan hilir, semua kegiatan ini
secara bersama-sama menyumbang sekitar 5 persen dari perekonomian nasional.
Melihat ke masa depan, pertimbangan aktif sedang diberikan apakah hasil hutan
bukan kayu
Ringkasan bisnis plan 11
keadaan Hutan Indonesia2018

dan jasa ekosistem dapat mulai memberikan kontribusi yang lebih penting bagi
perekonomian negara.
Tiga puluh enam persen dari konsesi penebangan kayu hutan alam tidak bekerja
secara aktif, meskipun keinginan pemerintah untuk melihat hutan alam yang dikelola oleh
konsesi ini berkembang. Faktor yang memperumit adalah bahwa konflik sosial dalam
banyak kasus harus dikelola oleh pemegang konsesi hutan itu sendiri. Hingga tahun 2017,
94 Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT), sepertiga dari total nasional, telah memetakan
konflik sosial mereka.
Terlepas dari tantangan sosial dan tantangan lain yang dihadapi oleh produsen hutan
alam dan kayu tanaman, penerimaan negara bukan pajak yang dihasilkan dari kegiatan
ekonomi di kawasan hutan cukup besar. Dari 2011 hingga 2017, iuran dan royalti saja dari
sektor kehutanan berjumlah USD 1,754 miliar. Iuran dan royalti utama yang terkait dengan
hutan termasuk pembayaran ke dalam Dana Reboisasi (Dana Reboisasi, atau DR), Royalti
Sumber Daya Hutan (Penyediaan Sumber Daya Hutan, atau PSDH), Biaya Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan (Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, atauiranIUPHH),
Biaya Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Jasa
Lingkungan, atauiranIUPJL), Denda Pelanggaran Pengusahaan Hutan (Denda Pelanggaran
Eksploitasi Hutan) dan Kompensasi Tumpukan (Ganti Rugi Nilai Tegakan, GNRT),
persyaratan bahwa pohon yang ditebang secara ilegal oleh pemegang konsesi kayu akan
dibebani dengan royalti sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat normal yang diatur.

Maraknya pembalakan liar di Indonesia dan di tempat lain telah menyebabkan


deforestasi dan degradasi hutan serta menyebabkan kerugian yang cukup besar. Untuk
mengatasi hal ini, pemerintah Indonesia telah melakukan ratusan operasi anti pembalakan
liar di abad ini. Pada tahun 2001, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tingkat
menteri regional Asia Timur untuk menyepakati langkah-langkah pemberantasan
pembalakan liar, yang menghasilkan Deklarasi Bali tentang Penegakan Hukum dan Tata
Kelola Hutan (FLEG).
Pemerintah telah mengambil sejumlah langkah luas untuk meminimalkan praktik
produksi hutan yang tidak lestari atau ilegal. Indonesia memiliki sistem nasional wajib
untuk sertifikasi kelestarian hutan yang dikenal sebagai PHPL. Indonesia juga memiliki
sistem lacak balak nasional yang menjamin legalitas kayu (SVLK) yang pada gilirannya
menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang berhasil menyelesaikan
perjanjian perdagangan kayu legal dengan UE. Detail mengenai SVLK dapat dilihat pada
sistem SIPUHH-online. Indonesia sedang dalam proses pembentukan 600 Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH). Adanya sistem berbasis internet untuk memfasilitasi
peningkatan penerimaan negara bukan pajak (SIMPONI).
Dalam rangka meningkatkan nilai ekonomi hutan produksi, terjadi pergeseran
paradigma dari pengelolaan kayu ke pengelolaan kawasan hutan. Transformasi ini
menghasilkan pengelolaan lanskap hutan yang lebih holistik. Pengelolaan hutan
berorientasi pada pemanfaatan ganda hutan negara, baik hasil hutan kayu maupun
non kayu serta jasa lingkungan.
12 Ringkasan bisnis plan

keadaan Hutan Indonesia2018

7. Catatan penutup
Ada perubahan besar yang terjadi di negara ini menuju perspektif baru
keberlanjutan, melalui integrasi dua portofolio besar, kehutanan dan lingkungan. Hal
ini telah berkontribusi pada kerjasama global dalam mengatasi isu perubahan iklim,
komitmen untuk mengelola kelestarian hutan produksi, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan untuk menjamin ketersediaan lahan bagi masyarakat.

Air Terjun laputi berasal dari


batuan karst di bawah hutan
Praingkareha, sumba Timur

lokasi
Taman Nasional Manupeu Tanah Daru
dan Laiwangi Wanggameti, Provinsi
Nusa Tenggara Timur

foto oleh
Simon Onggo

Anda mungkin juga menyukai