Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASA

A. Teori Hukum Islam Klasik


Dalam perkembangannya teori-teori tersebut diperkenalkan oleh para
ahli hukum berhubungan dengan kepentingan bagi keberlakuan hukum Islam
di Indonesia, mulai dari tingkatan metodologi hingga tingkatan realitas
kehidupan masyarakat Islam itu. Berikut ini teori-teori yang membuktikan
berlakunya hukum Islam di Indonesia:
1. Ajaran Islam sebagai Penataan Hukum

Al-Quran memberikan ketentuan kepada setiap orang Islam untuk


mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan tidak dibenarkan seorang Islam
memakai hukum selain yang datang dari Allah dalam nash, walaupun
dalam aplikasinya disesuaikan dengan peru-bahan sosial dan hukum di
masyarakat. Ayat-ayat Al-Quran yang dianggap memiliki landasan
yuridis untuk berlakunya hukum Islam, antara lain:

a. Menggambarkan permohonan orang Islam untuk berjalan di jalan


yang lurus dan tidak dijauhkan dari aturan yang hak (QS 1:5);
b. Menentukan bahwa orang Islam diperintahkan untuk taat dan patuh
kepada Allah dan Rasul-nya serta ulul amri (QS 4:59);
c. Menjelaskan bahwa setiap orang Islam diharuskan tunduk kepada
segala Peraturan Allah dan Rasul-Nya serta berpegang teguh kepada
Al-Quran dan Sunnah (Qs 24:52).
Dari pokok-pokok pikiran tersebut, tampak bahwa segi penaatan
kepada hukum Islam bukan semata-mata prinsip hukum yang memuat
ajaran-ajaran moral dan etika, melainkan universalitas hukum Islam
mencakup semua peraturan yang berfungsi menjadi pedoman/penuntun
kehidupan manusia. Karena itu, dimensi vertikal dan horizontal hukum
Islam sesungguhnya merupakan hukum tertinggi yang tidak dimiliki
berbagai sistem hukum lainnya.
2. Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori ini dikemukakan oleh H.A.R. Gibb dalam The Modern
Trends of Islam yang menyatakan bahwa setiap orang Islam diharuskan
tunduk dan patuh kepada otoritas hukum agama yang dianutnya. Dengan
kata lain, bagi orang Islam terdapat kewajiban untuk menjalankan syar‘at
Islam dalam bentuk ketaatan yang universal dan paripurna.
Berdasarkan kepada pandangan Gibb tersebut, berarti Islam dapat
dipahami sebagai alat yang ampuh untuk mempersatukan etika sosial
masyarakat Islam. Walaupun dalam perkembangan masyarakat dikenal
keragaman pemahaman tentang hukum Islam, dan sekaligus akan
berimplikasi kepada upaya mempertahankan eksistensi hukum Islam
yang senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi zaman yang terus
berubah.
3. Teori Receptie in Complexue
Teori receptie in complexue diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk
Willem Christian van den Berg (1845-1927 M), yang menyatakan bahwa
bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk
agama Islam walaupun dalam pelak-sanaannya terdapat penyimpangan-
penyimpangan. Menurut van den Berg, hukum Islam telah berlaku pada
masyarakat asli Indonesia sejak 1885 M yang diperkuat dengan adanya
Regeering Reglement, dan hukum perkawinan dan kewarisan Islam
dalam suatu compendium Freijer tahun 1706.
Di samping itu, van den Berg berasumsi bahwa peraturan tentang
Mahkamah Syar’iyah dalam stbl.1882 No.152 jo. merupakan hukum
yang berlaku bagi rakyat pribumi yang notabene mayoritas Islam.
Misalnya Pengadilan Serambi yang dilaksanakan di serambi mesjid,
banyak diberlakukan kerajaankerajaan Islam di Kalimantan, Sulawesi
Selatan, Maluku dan Irian yang disebut dengan Majelis Syuro atau
Hakim Syara’. Sedangkan di Sumatera dikenal dengan Mahkamah
Syar’iyah.Van den Berg ingin berperan dalam memberikan pemahaman
tentang hukum Islam
kepada para pejabat Belanda saat itu. Tulisannya tentang hukum waris
Islam di Jawa dan Madura (1892 M) dan hukum Islam (Mohammadaasch
Recht menurut Syâfi‘i dan Hânafi) tahun 1882 M telah membuktikan
penyimpangan hakim-hakim agama Islam terhadap pasal 75 dan 78 yang
melaksanakan hukum-hukum agama menurut kebiasaan (Reglement of
Het Beleid der Regeering ven Netherlandsch Indie (RR) RR) Stbl. 1885
No.2).
Van den Berg ingin berperan dalam memberikan pemahaman
tentang hukum Islam kepada para pejabat Belanda saat itu. Tulisannya
tentang hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892 M) dan hukum
Islam (Mohammadaasch Recht menurut Syâfi‘i dan Hânafi) tahun 1882
M telah membuktikan penyimpangan hakim-hakim agama Islam
terhadap pasal 75 dan 78 yang melaksanakan hukum-hukum agama
menurut kebiasaan (Reglement of Het Beleid der Regeering ven
Netherlandsch Indie (RR) Stbl. 1885 No.2).
4. Teori Receptie
Teori Receptie diperkenalkan oleh Prof. Christian Snouck
Hugronye (1857-1936 M) yang kemudian dikembangkan oleh C. van
Vollen Hoeven dan Ter Haar. Snouck Hugronye sendiri dikenal sebagai
penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak
negeri tahun 1898. Ia pernah pergi ke Mekkah dan belajar tentang Islam
hingga berganti nama menjadi Abdul Gaffar. Keahliannya dalam
mempelajari hukum Islam dan hukum adat diwujudkan dalam karyanya
De Atjehhers dan De Gojoand.
Dalam pokok-pokok teori receptie, Hugronye menyebutkan bahwa
bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, dan hukum Islam
akan berlaku apabila borma hukum Islam telah diterima/diserap oleh
masyarakat hukum adat. Teori ini dikembangkan oleh Vollen Hoeven
dan Ter Haar semata-mata untuk kepentingan munculnya panIslamisme
di Indonesia serta untuk memperkokoh cengkraman penjajahan di
Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya stbl.1882 No.152 jo yang
mencakup atas tiga point: Pertama, Bagi orang Islam diberikan
kebebasan tanpa syarat untuk melaksanakan ajarannya; Kedua,
Pemerintah Belanda menghormati adat istiadat dan kebiasaan masyarakat
pribumi; Ketiga, Dalam sistem ketatanegaraan dicegah upaya-upaya
hukum untuk menekan gerakan pan-Islamisme.
5. Teori Receptie Exit
Teori receptie exit dikemukakan oleh Hazairin yang memberikan
pertentangan terhadap teori receptienya Snouck Hugronye. Menurut
Hazairin, hukum Islam adalah hukum yang mandiri dan lepas dari
pengaruh hukum lainnya, sebagaimana ia menghubungkannya dengan
sumber dan metode hukum Islam. Dan ketika Indonesia memasuki masa
kemerdekaannya, hukum Islam mewarnai sistem hukum nasional dan
tatanan kehidupan masyarakat Islam di Indonesia.
6. Teori Receptie a Contrario

Teori receptie a contrario merupakan pengembangan dari teori


receptie exit Hazairin. Sayuti Thalib dalam tulisannya Receptie a
Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, penelitiannya
tentang masalah perkawinan dan waris disimpulkan bahwa:
a. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam.
b. Hukum Islam berlaku sesuai dengan cita hukum, cita moral dan bathin
umat Islam.
c. Hukum adat berlaku, jika tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Berdasar ketiga uraian tersebut, Sayuti Thalib dan Hazairin
berpendapat bahwa teori receptie Hugronye sebagai teori iblis,
karenanya bukan berasal dari kemauan hukum syarî‘at serta akal
sehat. Pada gilirannya dapat dipahami, bahwa hukum Islam tetap
berdiri sendiri dan tidak ditundukkan oleh hukum adat, tetapi Islamlah
sesungguhnya yang telah mewarnai hukum adat itu.
Kendatipun rumusan-rumusan teori hukum tersebut menunjukkan
berlakunya hukum Islam di Indonesia, tetapi fakta sejarah perkembangan
hukum Islam dapat dijadikan bukti kuat dan sekaligus mempertegas
eksistensinya yang berbaur dengan kultur dan budaya masyarakat Islam, serta
sistem ketatanegaraan Indonesia. Tinggal bagaimana rumusan-rumusan teori
hukum itu dapat dikembangkan lagi sampai kepada tingkat transformasi
hukum ke dalam undang-undang.1

Teori Hukum Klasik yaitu teori hukum yang berkembang sejak filsuf
lonia sampai dengan epicurus diwarnai cakrawala religiusitas, baik yang
bersumber pada mitis (pra abad ke 6 SM) maupun yang bersumber pada religi
olympus (abad ke 5-1 SM). Dalam kosmologi era sebelum abad ke 6 SM.
Yang “illahi” itu adalah alam (kekuatan yang mengancam). Masuk abad ke 6-
1 SM, kosmologi yang mitis beralih kosmologi yang religi olympus. Yang
“illahi” adalah logos atau akal yang telah ada dalam diri manusia. “logos”
adalah merupakan akal dewa-dewa yang mencerahkan dan menuntun manusia
pada pengenalan akan yang “benar”. “baik” dan “patut’. “logos” akan
menciptakan suatu keteraturan (nomoi) adalah awal kebangkitan filsafat,
tidak hanya dibelahan dunia barat, tetapi juga kebangkitan filsafat secara
umum. Filsafat pada masa itu berbicara tentang kebenaran alam semesta. Para
- para pemikirnya yang tercatat dimulai dengan Thales (625-528 SM),
Anaximander (610-547 SM) dan Anaximenes (585-528 SM). Pada masa itu
dasar pemikiran manusia diwarnai cakrawala religiusitas, baik yang
bersumber pada mitis (pra abad ke 6, SM). Masa sebelum abad 6, SM, yang
illahi itu ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan mitis,
karena alam difahami sebagai sesuatu yang mengancam, serba gelap, dan
berjalan alamiah, hidup manusia tergantung pada nasib, dan hidup manusia
tergantung pada seleksi alam. Masuk abad ke 6, sampai dengan abad 1 SM.
Kosmologi serba mitis bergantu kosmologi religi olympus. Dalam terang
kosmologi ini, yang illahi itu (telah)
ada dalam diri manusia, lewat apa yang disebut logos (akal). Logos adalah
merupakan akal dewa-dewa yang mencerahkan dan menuntun manusia pada
pengenalan akan yang “benar”, baik dan “patut”. Berkat logos yang
mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos).
Memasuki abad ke 6 (enam) SM yang berlanjut hingga abad ke 1 (satu)
M, kosmologi serba mistis berganti kosmologi olympus. Dalam terang
kosmologi ini, yang “illahi” ini (telah) ada dalam diri manusia, lewat apa
yang disebut logos (akal). Logos merupakan akal-akal yang “benar”, “baik”
dan “patut”. berkat logos yang mencerahkan terciptanya suasana keteraturan
(nomos). Nomos inilah yang menjadi petunjuk hidup di dunia riil. Nomos
dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan maupun wujud aturan yang
menentukan kehidupam umat manusia yang bermartabat. Seakan suasa
religiusitas dalam dua periode itu, menjadi setting dari teori - teori hukum
yang filsuf athena (socrates, plato, aristoteles) sampai epicususrus. Di
masing- masing kelompok pemikiran itu memiliki pendapat yang berbeda-
beda.
Zaman yunani (kuno) bermula pada abad ke 6 (enam) SM sampai abad
ke 5 (lima) M, tatkala kekaisaran romawi runtuh. Pada masa zaman kuno ini,
rakyat yunani sudah siap dalam polis - polis yang satu sama lain memiliki
penguasa, sistem pemerintahan, dan sistem hukum sendiri. Semula penguasa
polis memegang kekuasaan tunggal. Baru pada abad ke 5 (lima) M, setelah
munculnya kaum sofisme, polis-polis tersebut menerapkan prinsip-prinsip itu
belum matang, karena kepercayaan manusia yang masih sangat besar
kekuasaan supranatura, seperti keyakinan terhadap dewa-dewi olympus.
Proses pematangan itu terus berlanjut pada masa keemasan filsafat yunani
(socrates, plato, dan aristoteles). Berhubung dengan keadaan negerinya, yang
tidak begitu luas, maka orang yunani suka merantau, meninggalkan tanah
airnya. Demikianlah, mereka banyak yang pergi merantau ke pulau-pulau
yang berdekatan dengan laut egia dan mendiami daratan di pantai asia minor
atau asia kecil. Dalam perantauan, berkat usaha di bidang dan pelayaran,
banyak orang yunani sampai ketarif hidup yang lumayan. Pada akhirnya,
pada lazimnya kehidupan telah makmur, maka manusia mempunyai
kelapangan
untuk memikirkan hal-hal di luar pencairan nafkah sehari-hari. Jika orang
harus membanting tulang siang malam untuk mencari sesuap nasi, maka
dengan sendirinya tak ada waktu luang untuk memperdalam ilmu. Orang
yunani perantauan ini disebabkan ada kemakmuran dalam hidupnya,
berkesempatan untuk memperkuat kemuliaan hidup dengan seni dan buah
pikiran.

Teori hukum klasik (pramodern) mencakup:

Natural (aliran hukum alam), Kadi court (peradilan kadi), Islamic


juris prudence (teori hukum islam), Japan legal theory (teori hukum jepang),
Teori hukum adat indonesia, Transcendental idealiism (aliran idealisme
transedental), Utilitarianism (aliran utilistis), Legal positivisme (positivisme
hukum), Legal formalism (formalisme hukum), Historical jurisprudence
(aliran ilmu hukum historis), Marxist jurisprudence (aliran hukum marxist).

10

Anda mungkin juga menyukai