BAGIAN II
KEBERAGAMAAN YANG RAHMAH
2.1 Pendahuluan.
Problem yang kita hadapi sampai sekarang adalah bagaimana menangkap pesan-
pesan Islam yang suci, yang mutlak dan universal, menjadi sebuah gerakan
kemanusian yang akan membebaskan diri dan sosial kemasyarakatan menuju tatanan
hidup salam (damai) dalam kemajemukan dan keaneka ragaman keberagamaan
Islam dalam perjuangan menuju ridha Allah.
Tidak sedikit upaya menangkap pesan-pesan Tuhan diantara umat Islam
berbenturan bahkan menafikan yang lain, karena masing-masing pihak merasa apa ia
pahami dan ia peroleh sudah menjadi sesuatu yang final dan absolut, padahal Islam
adalah ajaran yang bersifat inklusif (terbuka) yang dinyatakan oleh al-Qur’an
sebagai “Rahmatal Lilalamin”. Implikasi dari sifat ini adalah memberi beberapa
peluang dan kemungkinan kepada umat untuk memahami dan menampilkan sosok
keberagamaan yang aktual dan fleksibel sesuai dengan daya kemampuan yang ia
meliki sebagai anugra Tuhan yang Maha Kasih dan Sayang.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelingmu. Karena itu ma’afkan mereka.mohonkanlah ampun
bagimereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S.
3:159)
…. Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka (QS.30:31-32)
Nilai yang amat penting pemahaman ayat ini adalah adanya keyakinan bahwa Islam
merupakan petunjuk bagi semua umat manusia di dunia. Secara umum al-Qur’an
menyatakan sebagai petunjuk “manusia” (QS.2:185), lebih spesifik al-Qur’an adalah
petunjuk orang-orang yang bertaqwa (QS. 2:2). Islam merupakan sebuah petunjuk
untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akherat. Keinginan untuk
memperoleh kebagiaan hidup manusia ini tercermin dalam doa “Robbana atina
fiddunnya hasanah wafil akhiroti hasanah”. Petunjuk kebahagiaan tidak dengan
sendirinya akan kita peroleh dengan cara geratis, namun al-Qur’an sendiri telah
menganjurkan kepada kita untuk melakukan kreatifitas dan kerja progresif,
melakukan pencerahan dengan membaca (QS. 96:1-5), dan dengan gerakan
pembebasan diri dan sosial kemasyarakatan menuju tatanan hidup damai dunia dan
akherat (QS.90: 13-17)
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah sesuatu sesuatu (nasib) yang ada pada suatu
bangsa sehingga mereka mengubah sendiri apa yang ada pada diri (jiwa) mereka
(QS.13:11). “Dan mereka yang berjuang dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku
tunjukkan jalannya (mencapai tujuan) sesungguhnya Tuhan cinta kepada orang-oang
yang selalu berbuat baik” (QS.29:69).
Missi Islam adalah menyatu dengan misi Rasulullah diutus ke dunia, yaitu
menyempurnakan struktur sistem sosial secara tolal (menyempurnakan akhlak). Dalam
kontek al-Qur’an, Rasulullah membawa misi rahmat bagi seluruh alam (QS.21:107).
Perpaduan antara rahmat dan akhlak sebagai misi Rasulullah Muhammad telah menjadi
keperibadian yang agung dan muliah, yang oleh ‘Aisyah r.a. dikatakan bahwa akhlak
Rasulullah adalah al-Qur’an (kaana khulukuhu al-Qur’an). Nilai rahmat dan akhlak telah
menjadi misi Rasulullah dalam upaya gerakan untuk mewujudkan nilai kemanusian dan
kasih sayang dalam kehidupan manusia yaitu:
membebasan manusia dari jurang kemusyrikan , kehancuran dan perpecahan
(QS.3:103;16:36;22:30);
merubah struktur masyarakat dalam kegelapan menuju pencerahan; dari
dhulumat kepada annur (QS. 2:257;14:1;5:15;57:10-11;33:42);
membebasan beban berat manusia dari struktur manusia yang lemah, hamba
sahaya, wanita, anak yatim, orang fakir dan miskin (QS. 2:228;4:36; 90:13-16;
menegakkan hak-hak dasar manusia dari tindakan tiranik (QS. 22:30:3:31;5:90;
33:21;64:4;49:11-12)
mengemansipasi harkat dan martabat manusia yang telah hancur akibat
kebodohan dan ketimpahan sosial (QS.17:70);
memberi bimbingan manusia ke jalan yang benar, sehingga manusia bisa
membangun dirinya dan kehidupannya di segala bidang, membimbing manusia
beriman, berilmu, beramal, berakhlak mulia, menjadi umat tauhid, beribadah dan
berperilaku menjadi umat yang beradab dan umat yang satu (bersolidaritas sosial
dan berukhuwwah Islamiyyah. (QS. 6:53; 34:6;41:53;49:10-13)
Dalam konteks yang demikian, maka fungsi yang ditampilkan Islam dalam
menciptakan tatanan kehidupan yang damai adalah sebagai berikut:
Memberi petunjuk dan meletakkan dasar keimanan dalam hal ketuhan dan
semua masalah ghaib;
Memberi semangat dan nilai ibadah yang meresapi seluruh kegiatan hidup
manusia dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia daln alam sekitar
(dimensi transendensi, sosial dan kosmologi);
Memberi inspirasi, motivasi dan stimulasi agar seluruh potensi manusia
diaktifkan dan dikembangkan secara maksimal dengan kegiatan peribadi, kerja
produkti, karya ilmiah, penemuan dan penciptaan yang diarahkan kepada
kebaikan tertinggi (ridha Allah dan kesejahteraan bersama);
Memadukan segala segi aktifitas manusia, sehingga merupakan kesatuan yang
utuh, padat dan laras (Saleh Muntasir, 1985:100)
sifat Tuhan, alam ghaib dan sebaginya, yang biasanya dimasukkan dalam credo atau
rukun suatu agama (warranting beliefs). Kepercayaan ini dapatnya berupa makna yang
menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu (purposive
beliefs). Kepercayaan, yang terakhir, dapat berupa pengetahuan tentang perangkat
tingkah laku yang baik yang dikehendaki agama. Kepercayaan jenis inilah yang
mendasari struktur etis agama.
Dimensi intlektual mengacu pada pengetahuan agama – apa yang tengah atau harus
diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Pada dimensi ini, perangkata apa yang
digunakan dalam memahami agama, apakah menggunakan akal pikiran atau hati
nuraninya ataukah menyeimbangkan antara keduanya. Pada dimensi ini seseorang akan
menangkap aspek apa yang ia fahami, metodologi dan pendekatan apa yang kita gunakan
untuk menangkap pesan-pesan moral Tuhan yang suci dan mutlak. Pada dimensi ini,
unsur kemanusiaan serta kenisbian manusia, serta latar belakang seseorang akan
mempengarui hasilnya, yang jika tidak diikuti dengan keterbukaan dan krendahhatian
pada diri sesorang akan melahirkan tindak-tindak tiranik, serba mutlak-mutlakan
(mengambil oper peran Tuhan dalam menghakimi sesorang), anti kemanusiaan, saling
tafkir (mengkafirkan), sikap-sikap yang demikian akan mereduksi tujuan agama, dalam
Islam adalah salam dan kedamaian dengan penuh kasih sayang.
Dimensi eksperiensial adalah bagian keagamaan yang bersifat efektif - yakin, keterlibatan
emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan keagamaan
(religion feelling) yang dapat bergerak dalam empat tingkat: konfirmatif (merasakan
kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya), responsif (merasa bahwa Tuhan
menjawab kehendaknya atau keluhannya), eksatik (merasakan hubungan yang akrab dan
penuh cinta dengan Tuhan, dan partisipatif (merasa menjadi kawan setia kekasih, atau
wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam melakukan karya ilahiah).
Dimensi ritualistik merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan
atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Dimensi ini meliputi pedoman-pedoman pokok
pelaksanaan ritus dan pelaksanaan ritus tersebut dalam kehidupan sehari-hari, yang dalam
Islam disebut sebagai ibadah makhdhah.
Kecenderungan Madzhab.
Kecenderungan madzhab adalah kecenderungan dari sebagian umat untuk mengikuti
hasil pemikiran yang telah terkodifikasikan didalam madzhab, mengangggap kegiatan
madzhab sudah final, tidak ada lagi faham atau pemikiran keagamaan lain yang lebih
baik yang bisa dicapai di luar madzhab yang sudah ada. Mereka tidak berani dan tidak
sanggup bahkan tidak mengizinkan seseorang keluar dari belenggu keterkungkungan
madzhab ini. Dalam bentuk moderat kelompok ini hanya mengizinkan mengambil
sedikit pendapat mazhab yang lain untuk digabungkan dan ditukarkan dengan sebagian
pendapat mazhabnya sendiri. Sedang dalam bentuk ekstrim mereka cenderung
menganggap segala pendapat dan kegiatan yang tidak ada aturannya di dalam mazhab
mereka sebagai kegiatan duniawi ytang tidak tunduk pada aturan agama. Secara tidak
sadar atau sengaja kecenderungan ini akan menerima bahkan menganjurkan pemisahan
urusan agama dengan dunia sehingga tidak akan menolak paham sekularisme. (Yasa
Abubakar: 200)
Kecenderungan pembaharuan
Kecenderungan ini merupakan sebuah gerakan sebagaian umat Islam untuk melihat
dengan kritis semua aturan dan tatanan yang dihasilkan para ulama masa lalu. Bakan
mereka berusaha menafsirkan kembali teks suci ajaran al-Qur’an dan Sunnah, guna
menghasilkan tatanan dan aturan baru yang dianggap lebih sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan umat Islam masa kini. Kesadaran akan perlunya reinterpretasi menyuluruh
terhadap semua hasil pemikiran (ijtihad) yang ada sekarang, muncul seiring dengan
kehadirian ilmu dan tehnologi yang telah mengubah wajah dunia dan semangat umat
manusia.
Sepanjang tidak menyangkut Ibadah Mahdhah atau khashshah, maka peluang untuk
mengembangkan pemikiran ulang untuk menjabarkan maksud dan tujuan yang
terkandung dalam ajaran tersebut. Hal inilah melahirkan suatu koidah yang disusun oleh
para ulama’, “Semua dibolehkan kecuali yang di larang”. Rumusan prinsip ini
memberikan tanggung jawab kepada kaum muslimin, bagaiman menginterpretasikan
serta mengimplimantasikan ajaran Islam sesuai dengan tuntutan dan perkembangan,
sehingga Islam tidak terasing, karena beragama bukan untuk Tuhan tetapi beragama
adalah untuk manusia.
Bahkan Roger Garaudy memiliki pandangan tentang Islam sebagai agama terbuka
(rahmat lil alaimin), menyatakan keterbukaan Islam sebagai agama kemanusiaan
yang jauh dari persangkaan dan pandangan fundamentalisme dan terorisme yang
muncul dalam Islam bersamaan dengan munculnya gerakan tersebut pada agama-
agama lain di dunia, yang akan merugikan kemanusiaan pada umumnya. Adapun
rincian pandangan beliau dalam menampilakan keterbukaan Islam adalah sebagai
berikut:
lakukan adalah:
1. Memahami dan mengembangkan dimensi Qura’ani Islam, yang tidak membatasi
Islam hanya kepada suatu pola budaya Timur tengah di masa lalu, dan yang akan
melepaskan ketertutupan sekarang.
2. Memahami dan mengembangkan dimensi keruhanian dan kecintaancIlahi
sebagaimana dikembangkan oleh kaum Sufi seperti Dzun Nun dan Ibn “Arabi, untuk
melawan paham keagamaan yang formalistik serta leteralisme kosong, agar dihayati
makna shalat sebagai penyatuan dengan Allah, zakat sebagai penyatuan dengan
kemanusiaan, haji sebagai penyatuan dengan seluruh umat, dan puasa sebagai sarana
ingat kepada Allah dan orang kelaparan sekaligus.
3. Memahami dan mengembangkan dimensi sosial Islam guna menanggulangi masalah
kepentingan pribadi yang saling bertentangan, dan untuk mewujudkan pemerataan
pembagian kekayaan.
4. Menghidupkan kembali jiwa kritis Islam, setelah jiwa itu dibendung oleh kaum
vested intrest dari kalangan ulama dan pengusa (umara) tertentu dalam sejarah Islam,
dengan menghidupkan kembali semangat ijtihad, yang menurut Muhammad Iqbal
merupakan satu-satunya jalan menyembuhkan Islam dari penyakitnya yang paling
utama, yaitu membaca al-Qur’an dengan penglihatan orang mati
5. Secara radikal mengubah program pengajaran agama sehingga formalisme
keagamaan yang kering dapat diakhiri.
6. Meningkatkan kesadaran tentang tanggungjawab pribadi kepada Tuhan dalam
memahami ajaran-ajaran agama, tanpa mengizinkan adanya wawenang klerikal dan
kependetaan, karena Islam memang tidak mengenal sistem kependetaan.
7. Mengahiri mentalitas isolatif, dan membuka diri untuk kerjasama dengan pihak-pihak
lain manapun dari kalangan umat manusia, dalam semangat perlombaan penuh
persaudaraan, meskipun dengan mereka yang mengaku athies, guna meruntuhkan
sistem-sistem totaliter (N. Madjid: 1995: 157-158)
Dari beberapa pendekatan dalam memahami Islam tersebut di atas, tergantung masing-
masing individu dalam memberi bobot penekanan, yang terpenting adalah masing-masing
pendekatan masih memiliki kelebihan dan kekurangan, masih diperlukan kerjasama dan
keterpaduan dalam menangkap pesan Islam yang kaffah dan rahmah.
2.7 Penutup
Sebagai agama yang bersifat Universal, Islam mengandung aspek Tuhan, manusia dan
alam semesta. Islam membawa misi pembebasan individu dan sosial menuju tatanan
hidup yang sejahtera atas limpahan ridha Allah. Sebagai Wahyu Allah yang bersifat
universal, Islam dipersepsi oleh pemeluknya sesuai dengan pengalaman, problem,
kapasitas intlektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluknya.
Agar pesan ajaran Islam yang suci, yang benar dan penuh dengan kebaikan (ihsan) tetap
bertahan dan berimbas pada kebaikan realitas kehidupan manusia, maka diperlukan bagi
pemeluknya mengembangkan sikap kerendah hatian dalam memahami dan
menterjemahkan pesan-pesan Islam, sehingga terwujud keberagamaan yang rahmah,
yang toleran, menuju kehidupan hasanah dunia dan akherat.
Soal Latihan
1. Jelaskan misi Islam dalam kehidupan umat manusia
2. Misi kamanusiaan apa yang dibangun dalam ajaran Islam
3. Dimensi apa apa yang harus ditampilkan seorang muslim
4. Bagaiman a menampilkan sosok keberagamaan yang rahmah.
5. Metodolgi apa yang harus kita miliki dalam menampikan sosok Islam yang Kaffah.