Anda di halaman 1dari 27

THEORIES OF PERSONALITY AND PROJECTIVE TECHNIQUES

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Psikodiagnostik Tes Proyektif

Dosen Pengampu :

Ibu Neneng Tati Sumiati M.Si. Psi

Disusun Oleh :

Kelompok 1

Rizkya Putri Ramadhany 11190700000173

Adinda Hasya Putri 11190700000032

Atikah Retno Sawitri 11190700000106

Kelas : 6B

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji dan syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan kasih saying-Nya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul THEORIES OF
PERSONALITY AND PROJECTIVE TECHNIQUES dengan sebaik-baiknya. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Psikodiagostik Tes Proyektif .

Penulis menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Terlepas dari semua itu penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan
dari segi penyusunan kalimat maupun pembahasannya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka,
penulis menerima segala saran dan kritik agar makalah ini bisa diperbaiki. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa.

Jakarta, 7 Maret 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 3

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ 4

BAB I ......................................................................................................................................... 5

A. Latar Belakang ................................................................................................................... 5

B. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 5

C. Tujuan ............................................................................................................................... 5

BAB II (Pembahasan) ............................................................................................................... 6

A. Gambaran Umum Kepribadian ........................................................................................... 6

B. Teori Kepribadian Psikoanaisis .......................................................................................... 6

C. Type A Coronary-Prone Behavior Pattern ........................................................................ 10

D. Teori Fenomenologis Kepribadian .................................................................................. 11


E. Teori Behavioral & Social Learning ................................................................................ 13
F. Konsep Trait Dalam Kepribadian ..................................................................................... 15
G. Hipotesis Proyektif .......................................................................................................... 17
H. Teknik Asosiasi ............................................................................................................... 18
I. Completion Techniques ................................................................................................... 18
J. Constructuion Techniques ................................................................................................ 21
K. Expression Techniques .................................................................................................... 24

BAB III (Kesimpulan) ............................................................................................................ 26

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 27

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 (Contoh Tes SCT) .................................................................................................. 19

Gambar 2 (Contoh Tes RISB) ............................................................................................... 20

Gambar 3 (MoMA Art) ............................................................................................................ 22

Gambar 4 (Contoh Tes DAB) ................................................................................................... 24

Gambar 5 (Contoh HTP) .......................................................................................................... 25

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Personality atau kepribadian berasal dari kata persona. Kata tersebut merujuk pada
kedok atau topeng, yaitu penutup wajah yang sering digunakan oleh para pemain sandiwara
panggung. Dimana menggambarkan perilaku, kepribadian, dan karakter seseorang. Secara
umum, kepribadian seseorang mengacu pada bagaimana mereka muncul dan membuat
kesan pada orang lain. Meskipun kepribadian sulit untuk didefinisikan, kita bisa
membedakan dua fitur mendasar. Pertama, setiap orang konsisten sampai batas tertentu;
kita memiliki sifat dan pola tindakan yang bersangkut paut yang muncul berulang kali.
Kedua, setiap orang berbeda sampai batas tertentu; perbedaan perilaku ada di antara
individu. Ewen (2010) mengatakan bahwa kepribadian berkaitan dengan berbagai perilaku
manusia dalam aspek fisik, mental, emosional, dan sosial. Beberapa aspek kepribadian
tidak dapat diamati, seperti pikiran, ingatan, dan mimpi. Di sisi lain, ada aspek kepribadian
yang dapat diamati, seperti perilaku dan tindakan fisik dan terbuka.
Tes proyektif sangat terikat dengan teori psikoanalisis dan asumsinya mengenai
aspek-aspek ketidaksadaran dari kepribadian sehingga asumsi utama dari tes proyektif
adalah bahwa respon terhadap tes mewakili proyeksi dari proses mental bawah sadar
terdalam dari peserta tes. Tes proyektif ini digunakan untuk menganalisis kepribadian
seseorang dengan cara menginterpretasikan atau membuat gambar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori memandang kepribadian?
2. Apa yang dimaksud dengan tes proyektif?
3. Bagimana tes proyektif menganalisis kepribadian?
C. Tujuan
1. Mengetahui teori-teori yang menjelaskan kepribadian
2. Mengetahui pengertian tes proyektif
3. Mengetahui analisis kepribadian melalui tes proyektif

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. GAMBARAN UMUM : KEPRIBADIAN


Personality atau kepribadian berasal dari kata persona. Kata tersebut merujuk pada
kedok atau topeng, yaitu penutup wajah yang sering digunakan oleh para pemain sandiwara
panggung. Dimana menggambarkan perilaku, kepribadian, dan karakter seseorang. Secara
umum, kepribadian seseorang mengacu pada bagaimana mereka muncul dan membuat
kesan pada orang lain. Meskipun kepribadian sulit untuk didefinisikan, kita bisa
membedakan dua fitur mendasar. Pertama, setiap orang konsisten sampai batas tertentu;
kita memiliki sifat dan pola tindakan yang bersangkut paut yang muncul berulang kali.
Kedua, setiap orang berbeda sampai batas tertentu; perbedaan perilaku ada di antara
individu.
Ewen (2010) mengatakan bahwa kepribadian berkaitan dengan berbagai perilaku
manusia dalam aspek fisik, mental, emosional, dan sosial. Beberapa aspek kepribadian
tidak dapat diamati, seperti pikiran, ingatan, dan mimpi. Di sisi lain, ada aspek kepribadian
yang dapat diamati, seperti perilaku dan tindakan fisik dan terbuka.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepribadian juga mencakup aspek-aspek
yang tersembunyi di dalam diri kita. Mungkin ada aspek kepribadian yang tidak kita sadari
sepenuhnya. Demikianlah, dapat kita simpulkan pengertian dan pengertian kepribadian
dalam perspektif psikologi menurut Robert B. Ewen. Itu adalah karakteristik pribadi yang
stabil dan konstan, terlihat dan tidak terlihat, sadar dan tidak sadar. Secara harfiah ratusan
tes kepribadian tersedia untuk tujuan yang nantinya akan meninjau instrumen yang
menonjol secara historis dan juga membahas beberapa pendekatan baru menjanjikan.

A. TEORI KEPRIBADIAN PSIKOANALISIS


Psikoanalisis adalah ciptaan asli Sigmund Freud (1856-1939). Tokoh pendiri
Psikoanalisa atau disebut aliran Psikologi Dalam (depth psychology) ini secara skematis
menggambarkan jiwa sebagai sebuah gunung es. Bagian yang muncul dipermukaan air
adalah bagian yang terkecil, yaitu puncak dari gunung es itu. Yang dalam hal kejiwaan
adalah bagian kesadaran (consciousness). Di bawah permukaan air adalah bagian yang
disebutnya pra-kesadaran (subconsciousness atau preconsciousness). Isi dari prakesadaran
ini adalah hal-hal yang sewaktu-waktu dapat muncul kekesadaran. Bagian terbesar dari
gunung es itu berada dibawah permukaan air sama sekali dan hal jiwa merupakan alam
ketidaksadaran (unconsciousness). Ketidaksadaran ini berisi dorongan-dorongan yang
ingin muncul ke permukaan atau ke kesadaran. Dorongan-dorongan ini mendesak terus ke
atas, sedangkan tempat di atas sangat terbatas sekali.

 asal mula teori psikoanalitik

6
Freud memulai karir profesionalnya sebagai ahli saraf tetapi segera
berspesialisasi dalam kedokteran histeria, gangguan emosional yang ditandai
dengan perilaku histrionik dan gejala fisik yang berasal dari masalah psikologis
seperti kelumpuhan, kebutaan, dan kehilangan sensasi. Dengan rekannya Joseph
Breuer, Freud mendalilkan bahwa akar penyebab histeria terkubur kenangan
pengalaman traumatis seperti pelecehan seks masa kecil. Jika memori ini bisa
dibangkitkan di bawah hipnosis, pelepasan emosi yang disebut abreaksi akan
terjadi dan gejala histeris akan terjadi hilang, setidaknya untuk sementara (Studi
tentang Histeria, Breuer & Freud, 1893–1895).
Dari studi awal ini Freud mengembangkan teori umum fungsi psikologis
dengan konsep tidak sadaran sebagai dasarnya. Dia percaya bahwa alam bawah
sadar adalah reservoir impuls naluriah dan gudang pikiran dan keinginan tidak
dapat diterima oleh kesadaran kita. Dengan demikian, Freud berpendapat bahwa
motivasi pribadi kita yang paling signifikan kebanyakan di luar kesadaran. Konsep
tidak sadaran dibahas secara rinci dalam buku pertamanya (Tafsir Dreams, Freud,
1900). Freud percaya bahwa mimpi menggambarkan motif bawah sadar kita dalam
bentuk terselubung. Bahkan mimpi yang tampaknya tidak berbahaya mungkin
sebenarnya memiliki makna seksual atau agresif yang tersembunyi, jika ditafsirkan
dengan benar.
Konsep Freud tentang tidak sadaran menembus dasar-dasar pengujian
psikologis di awal abad kedua puluh. Seluruh keluarga teknik proyektif muncul,
termasuk tes noda tinta, pendekatan asosiasi kata, teknik penyelesaian kalimat, dan
teknik mendongeng (apersepsi) (Frank, 1939, 1948). Masing-masing metode ini
didasarkan pada asumsi bahwa motif bawah sadar dapat diramalkan dari tanggapan
peserta ujian terhadap rangsangan yang ambigu dan tidak terstruktur.

 Struktur Pikiran
Freud membagi pikiran menjadi tiga struktur: id, ego, dan superego
1. Id : Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id ini
kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua
aspek psikologi yang diturunkan, seperti insting, impuls dan drives. Id
berada dan beroperasi dalam daerah tak sadar, mewakili subjektivitas yang
tidak pernah sisadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses
fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk
mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya. Freud
menyimpulkan bahwa id adalah tempat duduk dari semua kebutuhan
naluriah seperti makanan, air, kepuasan seksual, dan penghindaran rasa
sakit.
2. Ego : Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita
sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle) usaha
memperoleh kepuasan yang dituntut id dengan mencegah terjadinya
tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan objek yang
7
nyata-nyata dapat memuaskan kebutuhan. Ego adalah eksekutif atau
pelaksana dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama ; pertama,
memilih stimuli mana yang hendak direspon dan atau insting mana yang
akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan
kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya
peluang yang resikonya minimal. Ego sesungguhnya bekerja untuk
memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan
memperoleh energi dari id.
3. Superego : Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian,
yang beroperasi memakai prinsip idealistik (edialistic principle) sebagai
lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego. Superego
berkembang dari ego, dan seperti ego, ia tak punya sumber energinya
sendiri. Akan tetapi, superego berbeda dari ego dalam satu hal penting –
superego tak punya kontak dengan dunia luar sehingga tuntutan superego
akan kesempurnaan pun menjadi tidak realistis.

Prinsip idealistik mempunyai dua sub prinsip yakni suara hati (conscience) dan
ego ideal. Freud tidak membedakan prinsip ini secara jelas tetapi secara umum,
suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman mendapatkan hukuman atas perilaku
yang tidak pantas dan mengajari kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak
dilakukan, sedangkan ego ideal berkembang dari pengalaman mendapatkan
imbalan atas perilaku yang tepat dan mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya
dilakukan. Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan,
menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru
dalam fikiran.

 Peran Mekanisme Pertahanan


Mekanisme pertahanan datang dalam banyak beragam, tetapi semuanya
memiliki tiga karakteristik berbeda sama. Pertama, tujuan eksklusif mereka adalah
membantu ego mengurangi kecemasan diciptakan oleh tuntutan id, superego, dan
realitas eksternal yang saling bertentangan. Faktanya, Freud merasa bahwa
kecemasan adalah sinyal yang memberi tahu ego untuk menggunakan satu atau
lebih mekanisme pertahanan atas namanya sendiri. Mekanisme pertahanan dan
kecemasan, oleh karena itu itu, adalah konsep yang saling melengkapi dalam teori
psikoanalitik, seseorang ada sebagai kekuatan pertandingan untuk orang lain. Ciri
umum kedua dari mekanisme pertahanan adalah bahwa mereka beroperasi secara
tidak sadar. Jadi meskipun mekanisme pertahanan dikendalikan oleh ego, kita tidak
menyadari cara kerjanya. Ciri ketiga dari mekanisme pertahanan adalah bahwa
mereka mendistorsi realitas di dalam atau di luar. Sifat inilah yang memungkinkan
mereka untuk mengurangi kecemasan. Tentu saja, karena mereka mendistorsi
kenyataan, penerapan mekanisme pertahanan yang kaku dan berlebihan dapat
menciptakan lebih banyak masalah daripada pemecahannya.
8
 Penilaian Mekanisme Pertahanan dan Fungsi Ego
Vaillant (1971) mengembangkan hierarki mekanisme pertahanan ego
berdasarkan asumsi bahwa beberapa mekanisme lebih sehat atau lebih adaptif dari
pada yang lain. Dia menyarankan empat jenis besar, tercantum di sini dalam tingkat
kedewasaan yang meningkat: psikotik, belum matang, neurotik, dewasa. Setiap
jenis mencakup mekanisme pertahanan khusus seperti penolakan, proyeksi, represi,
dan altruisme.
Mekanisme pertahanan psikotik adalah yang paling tidak sehat karena
mereka mendistorsi kenyataan sampai tingkat yang ekstrim. Salah satu contohnya
termasuk penolakan kasar terhadap realitas eksternal seperti penolakan untuk
mengakui kematian orang yang dicintai. Contoh lain adalah proyeksi delusi, yang
terdiri dari delusi jujur tentang realitas eksternal, biasanya bersifat penganiayaan.
Pengelompokan kedua, Acting Out, terdiri dari beberapa bentuk tindakan
maladaptif seperti perilaku pasif agresif (misalnya, keterlambatan yang disengaja
untuk memperburuk pasangan), perilaku impulsif yang dirancang untuk
mengurangi ketegangan, dan mengeluh sekaligus menolak bantuan.
Mekanisme pertahanan borderline termasuk pola perilaku yang sering
ditemukan pada orang dengan diagnosis Borderline Personality Disorder
(American Psychiatric Association, 2000). Mekanisme spesifiknya termasuk
pemisahan, di mana citra orang lain (atau diri sendiri) berganti dengan cepat dari
semua yang baik ke yang buruk, dan identifikasi proyektif yang merupakan
proyeksi sifat yang tidak diinginkan dan tidak dikenali (seperti kemarahan) kepada
orang lain. Mekanisme pertahanan neurotik, kelompok keempat, ditemukan sampai
tingkat humor tertentu yang tidak mendistorsi kenyataan tetapi dapat meringankan
beban masalah adalah "terlalu mengerikan untuk ditanggung" (Vaillant, 1977).
Jenis khusus dari jenis mekanisme matang meliputi:
1) Represi : merupakan mekanisme yang digunakan ego untuk mendorong hal-hal
yang menjadi penyebab kecemasan di alam bawah sadar untuk meredakan
ketakutan.
2) Sublimasi : merupakan mekanisme pertahanan ego yang ditunjukan untuk
mencegah atau meredakan kecemasan dengan cara mengganti dan
mengadaptasi impuls-impuls dasar primitif yang menimbulkan kecemasan ke
dalam bentuk perilaku yang dapat diterima dan bahkan diapresiasi oleh
masyarakat.
3) Proyeksi : adalah pengalihan dorongan, perilaku, atau tingkah laku yang
menyebabkan kecemasan pada orang lain
4) Displacement : adalah pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan
kepada objek atau individu yang kurang berbahaya dibanding individu semula.
5) Rasionalisasi : mengarah pada upaya individu memutar balikkan kenyataan,
dalam hal ini kenyataan yang mengamcam ego, melalui dalih tertentu yang
seakan-akan masuk akal.
9
6) Pembentukan reaksi : adalah upaya mengatasi kecemasan karena individu
memiliki dorongan yang bertentangan dengan norma, dengan cara berbuat
sebaliknya.
7) Regresi : adalah upaya mengatasi kecemasan dengan bertinkah laku yang tidak
sesuai dengan tingkat perkembangannya.

 Tipe Teori Kepribadian


Teori kepribadian paling awal berusaha untuk memilah-milah individu ke
dalam kategori atau tipe diskrit. Misalnya, dokter Yunani Hippocrates (ca. 460-377
SM) mengusulkan teori humoral dengan empat tipe kepribadian (sanguinis, koleris,
melankolis, dan apatis) yang terlalu sederhana untuk menjadi berguna. Pada 1940-
an, Sheldon dan Stevens (1942) mengajukan teori tipe berdasarkan hubungan
antara bentuk tubuh dan temperamen. Pendekatan mereka merangsang penelitian
dan kemudian memudar menjadi ketidakjelasan. Meskipun demikian, teori tipologi
terus menangkap minat intermiten di antara peneliti kepribadian.

B. TYPE A CORONARY-PRONE BEHAVIOR PATTERN


Friedman dan Rosenman (1974) menyelidiki variabel psikologis yang
menempatkan individu pada posisi yang lebih tinggi resiko penyakit jantung koroner.
Mereka yang pertama mengidentifikasi pola perilaku rawan koroner Tipe A, yang mereka
gambarkan sebagai "kompleks aksi-emosi yang dapat diamati pada setiap orang yang"
terlibat secara agresif dalam perjuangan yang kronis dan tak henti-hentinya untuk mencapai
lebih banyak dan lebih banyak dalam waktu yang semakin singkat, dan jika diperlukan
untuk melakukannya, melawan upaya lawan dari benda atau orang lain” (Friedman &
Rosenman, 1974).
Friedman dan Ulmer (1984) telah memberikan deskripsi rinci tentang pola perilaku
Tipe A yang lengkap. Orang-orang ini menunjukkan rasa tidak aman yang mendalam,
kurang menghargai prestasi mereka. Mereka ingin mendominasi orang lain, dan biasanya
acuh tak acuh terhadap perasaan pesaing. Mereka menunjukkan permusuhan yang
mengambang bebas, dan dengan mudah menemukan hal-hal yang mengganggu mereka.
Orang tipe A sering terlibat dalam multitasking, seperti meninjau korespondensi saat
melakukan panggilan telepon. Hampir melampaui keyakinan, satu pasien mengaku
menggunakan dua alat cukur listrik, satu untuk masing-masing tangan (Friedman & Ulmer,
1984).
Dalam penelitian lain, peneliti hanya menemukan hubungan yang lemah atau tidak
ada hubungan sama sekali antara perilaku Tipe A dan PJK. Dalam tinjauan paling
komprehensif dari jenisnya, Myrtek (2007) melakukan metaanalisis dari 25 studi
prospektif tentang perilaku Tipe A dan PJK dan menyimpulkan dengan datar bahwa
"Perilaku tipe A bukanlah faktor risiko independen untuk PJK."
Perilaku Tipe A. Myrtek (2007) juga memperingatkan bahwa keberadaan konsep
itu sendiri bisa berbahaya karena memberikan pasien "atribusi kausal eksternal" dan
membebaskan mereka dari tanggung jawab untuk perubahan perilaku. Konsep Tipe A juga
10
memberikan manfaat palsu bagi dokter ketika mereka bekerja dengan pasien PJK yang
tidak memiliki faktor risiko yang biasa (merokok, pola makan yang buruk, kurang
olahraga). Menyalahkan perilaku Tipe A lebih mudah daripada mengakui bahwa penyebab
PJK terkadang tidak diketahui.
Penelitian lain telah menemukan bahwa PJK tidak begitu banyak dengan Tipe A
yang penuh dengan pola perilaku seperti komponen tertentu seperti menjadi mudah marah
atau memiliki waktu yang mendesak (Dembroski, MacDougall, Williams, & Haney, 1985).
Perilaku tipe A dapat didiagnosis dari wawancara singkat yang terdiri dari
pertanyaan tentang kebiasaan bekerja, berbicara, makan, membaca, dan berpikir
(Friedman, 1996). Kasus yang lebih mencolok dari perilaku tipe A juga dapat dideteksi
dengan tes kertas dan pensil (Jackson & Gray, 1987).
Studi awal menunjukkan bahwa orang yang menunjukkan pola perilaku Tipe A
memiliki risiko yang sangat tinggi terhadap penyakit koroner dan serangan jantung. Tentu
saja terus ada kebutuhan untuk memilah faktor-faktor risiko spesifik di bidang investigasi
ini. Apa yang kita ketahui dengan pasti adalah bahwa persamaan sederhana dari perilaku
Tipe A menyebabkan PJK tidak lagi meyakinkan. Dalam satu penelitian 9 tahun terhadap
lebih dari 3.000 pria sehat, orang dengan pola perilaku Tipe A 2 kali lebih mungkin
menderita serangan jantung daripada mereka yang memiliki pola perilaku Tipe B
(Friedman & Ulmer, 1984). Faktanya, tidak satu pun dari Tipe B yang "murni" anggota
penelitian yang sangat santai, santai, dan tidak kompetitif mengalami serangan jantung.
Dalam studi ini, hubungan antara perilaku Tipe A dan penyakit jantung koroner (PJK)
sangat kuat terutama bagi pekerja kantoran.

C. TEORI FENOMENOLOGIS KEPRIBADIAN


Teori fenomenologis kepribadian menekankan pentingnya pengalaman langsung,
pribadi, subjektif sebagai penentu perilaku. Beberapa posisi teoritis yang termasuk dalam
judul ini telah diberi label lain juga, seperti teori humanistik, teori eksistensial, teori
konstruk, teori diri, dan teori pemenuhan (Maddi, 2000). Meskipun demikian, pendekatan
ini berbagi fokus umum pada pengalaman subjektif seseorang, pandangan dunia pribadi,
dan konsep diri sebagai sumber utama perilaku.

 Asal-usul pendekatan Fenomenologis


Fenomenologi dicetuskan secara intens sebagai kajian filsafat pertama kali
oleh Edmud Husserl (1859-1938), menemukan filosofi fenomenologi yang
kompleks yang berkaitan dengan deskripsi fenomena mental murni. Pendekatan
Husserl sangat introspektif dan hampir bisa dicermati. Yang lebih mudah didekati
adalah penulis Denmark Søren Kierkegaard (1813– 1855), yang terkenal karena
kontribusinya terhadap eksistensialisme. Eksistensialisme adalah gerakan sastra
dan filosofis yang berkaitan dengan makna hidup dan kebebasan individu untuk
memilih tujuan pribadi. Fenomenologi Husserl dan eksistensialisme Kierkegaard
mempengaruhi lusinan filsuf dan psikolog terkemuka. Sisa-sisa sudut pandang awal

11
ini terbukti dalam hampir setiap teori kepribadian fenom enologis kontemporer
(Maddi, 2000).

 Carl Rogers, Self-Theory, dan Qtechnique


Ahli teori fenomenologi yang paling berpengaruh adalah Carl Rogers
(1902–1987). Kontribusinya pada teori kepribadian, yang dikenal sebagai teori diri,
sangat luas dan umumnya sangat dihargai oleh mahasiswa psikologi (Rogers, 1951,
1961, 1980). Tetapi juga benar, meskipun sedikit diketahui, bahwa Rogers
membantu membentuk sebagian kecil dari tes psikologis dengan mempopulerkan
teknik-Q.
Teknik -Q adalah prosedur untuk mempelajari perubahan dalam konsep
diri, elemen kunci dalam teori diri Rogers. Teknik ini dikembangkan oleh
Stephenson (1953) tetapi serangkaian studi oleh Rogers dan rekan-rekannya
mempopulerkan pendekatan pengukuran ini (Rogers & Dymond, 1954). Q-sort
atau teknik-Q adalah prosedur umum yang sangat berguna untuk mempelajari
perubahan dalam konsep diri. Q-sort terdiri dari sejumlah besar kartu, masing-
masing berisi pernyataan tercetak seperti :
“Saya siap”
“Saya memasang wajah palsu”
“Saya orang yang penurut”
“Saya menyenangkan”
Peserta ujian diminta untuk mengurutkan seratus atau lebih Sifat item
ditentukan oleh kebutuhan peneliti atau praktisi. Rogers menggunakan seperangkat
item yang dirancang oleh Butler dan Haigh (Rogers & Dymond, 1954, bab 4) untuk
memanfaatkan konsep diri. Keunggulan khusus dari teknik-Q adalah bahwa
peneliti atau praktisi lain bebas membuat item mereka sendiri. Misalnya, Marks dan
Seeman (1963) menggunakan perspektif psikodinamik dalam merancang item
untuk deskripsi terapis kelompok pasien. pernyataan menjadi sembilan tumpukan,
menempatkan sejumlah kartu yang ditentukan ke dalam masing-masing, sehingga
memaksa distribusi mendekati normal.
Sifat item ditentukan oleh kebutuhan peneliti atau praktisi. Rogers
menggunakan seperangkat item yang dirancang oleh Butler dan Haigh (Rogers &
Dymond, 1954, bab 4) untuk memanfaatkan konsep diri. Adapun cara lain untuk
menggunakan Q-sort yaitu membandingkan pemilihan diri peserta ujian dengan
jenis idealnya.
Rogers menggunakan perbedaan antara dua pengurutan ini sebagai indeks
penyesuaian. Subjeknya adalah diperlukan untuk menyeleksi item dua kali, sesuai
dengan petunjuk berikut:
1. Menyeleksi sendiri. Urutkan kartu-kartu ini untuk menggambarkan diri
anda seperti yang anda lihat, dari mereka yang paling tidak menyukai anda
hingga mereka yang paling menyukai anda.
12
2. Jenis yang ideal. Sekarang urutkan kartu-kartu ini untuk mendeskripsikan
orang ideal, seperti orang yang anda paling suka di dalam diri anda (Rogers
& Dimond, 1954).

D. TEORI BEHAVIORAL DAN SOCIAL LEARNING


Studi laboratorium mengenai operant learning dan classical conditioning
merupakan asal mula dari teori behavioral dan social learning (Robert, 2014). Para ahli
teori behavioral memiliki asumsi dasar bahwasanya perilaku-perilaku yang dipelajari
individu akan membentuk kepribadiannya sehingga untuk memahami kepribadian
seseorang, kita harus mengetahui sejarah pembelajaran orang tersebut. Stimuli netral yang
diasosiasikan dengan kejadian positif dan menyenangkan akan menjadi “suka”, sementara
peristiwa atau konsekuensi yang menimbulkan respon negatif akan menjadi “tidak suka”.
Misalnya, seorang wanita dapat belajar untuk mengasosiasikan minum minuman keras di
pesta dengan waktu bersosialisasi dengan teman dan bersenang-senang. Di sisi lain,
seorang wanita yang diperkosa saat kencan di sebuah pesta mungkin akan mengembangkan
“kepribadian” yang takut akan pesta yang melibatkan alkohol (Howard, 2015).
Teori behavioral menentang pernyataan bahwasanya kognisi atau aspek internal
lainnya turut berperan dalam menentukan perilaku. Akan tetapi, teori ini menyatakan
lingkunganlah yang berperan sangat penting dalam membentuk dan mempertahankan
perilaku dan bahwasanya orang-orang dikendalikan secara mutlak oleh lingkungan mereka
(Howard, 2015). Berbeda dengan teori behavioral, teori social learning menganggap
perilaku seseorang bukan hanya sekadar hubungan antara stimulus dan respon. Mereka
menerima asumsi Skinnerian bahwa reinforcement eksternal adalah penentu penting dari
munculnya perilaku, tetapi seseorang mungkin saja mempelajari ekspektasi atau aturan
dalam lingkungannya sehingga kognisi turut berperan dalam menentukan tindakan
seseorang. Teori ini menekankan bahwa perilaku adalah hasil dari suatu keyakinan,
khususnya keyakinan bahwasanya perilaku tersebut akan membawa hasil yang diinginkan.
Menurut social learning Rotter, perilaku seseorang bergantung pada dua faktor
utama, yakni seberapa kuat ia berharap kinerjanya akan membawa hasil yang positif
(ekspektasi akan hasil/outcome expectancy) dan seberapa besar ia menghargai
reinforcement yang diharapkan (nilai atas reinforcement/reinforcement value). Teori
Rotter ini lebih berfokus pada pemikiran mengapa seorang individu melakukan perilaku
dan perilaku apa yang akan ia lakukan dalam situasi tertentu.
Berdasarkan pandangan social learningnya, Rotter percaya bahwa seseorang
memiliki kecenderungan yang bertahan lama, terlepas dari pentingnya situasi atau
lingkungan dalam menentukan perilaku. Menurut Rotter, locus of control adalah variabel
perbedaan individual yang stabil yang terdiri dari dua dimensi (internal dan eksternal) dan
memengaruhi berbagai macam perilaku dalam konteks yang beragam. Konstruk locus of
control mengacu pada persepsi seseorang mengenai sumber dari segala hal yang terjadi
pada mereka. Locus of control internal menandakan adanya ekspektasi general pada
tindakan individu itu sendiri yang akan mengarah pada hasil yang diinginkan, sementara
keyakinan bahwa hal-hal di luar individu (misalnya, suatu kebetulan atau adanya orang

13
lain yang berkuasa) yang menentukan apakah hasil yang diharapkan akan terjadi
menandakan locus of control external. Rotter (1966) juga mengembangkan Skala Internal-
Eksternal (I-E), yang mengukur locus of control internal dan locus of control external.
Dalam studi selanjutnya, ditemukan bahwa locus of control (LOC) memiliki tiga
dimensi yang agak ortogonal (independen), yakni internalitas, keberuntungan atau peluang,
dan kekuatan lainnya (Levenson, 1981 dalam Howard, 2015). Artinya, orang dengan LOC
eksternal tidak hanya mempercayai bahwa segala kejadian atau peristiwa berada di luar
kendali mereka, tetapi juga percaya mereka tidak berdaya dalam peluang atau orang lain
yang berkuasa. Orang dengan LOC internal lebih cenderung berorientasi pada pencapaian
karena mereka yakin bahwa perilaku mereka sendiri dapat menghasilkan efek positif dan
mereka juga cenderung menjadi orang yang berprestasi tinggi (Findley & Cooper, 1983
dalam Howard, 2015). Sementara itu, orang-orang LOC eksternal cenderung kurang
mandiri dan juga lebih mungkin mengalami depresi dan stres, seperti Rotter prediksikan.
Albert Bandura juga telah berkontribusi penting dalam teori social learning. Studi
awal Bandura meneliti peran dari observational learning dan vicarious reinforcement
dalam pengembangan perilaku. Bandura juga menyatakan bahwa self-efficacy yang
dirasakan seseorang adalah mekanisme sentral dalam tindakan manusia (Bandura, 1982
dalam Robert, 2014). Self-efficacy adalah suatu ekspektasi atau keyakinan yang dimiliki
seseorang mengenai seberapa kompeten dirinya untuk mampu melakukan tindakan yang
diperlukan dalam menghadapi situasi tertentu. Self-efficacy menentukan apakah seseorang
akan mencoba bertindak (tanpa self-efficacy, seseorang cenderung tidak akan mencoba
melakukan suatu tindakan), berapa lama ia akan bertahan dalam menghadapi kesulitan atau
kegagalan, dan bagaimana keberhasilan atau kegagalan dalam melakukan suatu tugas
memengaruhi perilaku kita di masa depan (Howard, 2015).
Konsep self-efficacy dapat menjelaskan alasan dari pengetahuan yang benar tidak
selalu dapat memprediksi tindakan yang efisien. Misalnya, dua anak laki-laki yakin bahwa
ular taman yang ada di bak mandi tidak berbahaya, tetapi perilaku mereka berbeda, yang
satu akan mengambilnya, sementara yang lain berlari keluar pintu. Perbedaan perilaku ini
menggambarkan peran dari pemikiran self-referential sebagai mediator antara pengetahuan
dan tindakan. Anak yang berlari keluar pintu tidak percaya jika dirinya bisa menghadapi
situasi tersebut secara efektif sehingga self-efficacy yang dirasakan untuk menangani ular
rendah. Bandura berpendapat bahwa penentu utama dari perilaku anak laki-laki adalah
penilaian dirinya tentang kemampuan pribadinya. Dengan demikian, koginisi diasumsikan
sebagai penentu utama dari perilaku (Robert, 2014).
Konsep self-efficacy berbeda dari locus of control. Self-efficacy adalah keyakinan
tentang kemampuan diri sendiri untuk berhasil melakukan suatu perilaku tertentu,
sementara locus of control adalah keyakinan tentang adanya kemungkinan bahwa
melakukan perilaku tertentu akan memengaruhi hasil akhir. Self-efficacy adalah hasil dari
empat jenis informasi: (1) pengalaman dalam mencoba melakukan perilaku serupa
(keberhasilan dan kegagalan di masa lalu); (2) menyaksikan orang lain melakukan perilaku
serupa; (3) persuasi verbal (perkataan orang yang mendorong atau menghalangi kinerja
kita); dan (4) bagaimana perasaan kita tentang perilaku tersebut (reaksi emosional).

14
Meskipun self-efficacy merupakan karakteristik internal yang memengaruhi
perilaku dan reaksi dalam cara yang relatif konstan serta dapat diprediksi, namun self-
efficacy juga dapat ditentukan secara situasional. Misalnya, seseorang mungkin saja
memiliki self-efficacy yang spesifik mengenai kemampuannya dalam melakukan perilaku
yang sehat, seperti yakin bahwa ia dapat berolahraga setiap hari untuk menjaga
kebugarannya, namun tidak yakin bisa menolak keinginannya untuk makan makanan
berlemak (self-efficacy pada domain olahraga tinggi, tetapi rendah pada kebiasaan
makannya). Selain itu, Bandura juga mengatakan bahwa seseorang mungkin juga memiliki
self-efficacy yang kurang spesifik dalam domain yang lebih luas dan lebih umum. Self-
efficacy juga dapat dilihat sebagai hal yang timbul dari interaksi struktur pengetahuan dan
proses penilaian, yakni seseorang terus-menerus mengevaluasi situasi (Cervone, 2004
dalam Howard, 2015).
Bandura (2006) mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menguasai segala hal dan
mengembangkan efficacy mereka pada bidangnya masing-masing sehingga sistem
kepercayaan efficacy tidak bersifat global, melainkan seperangkat keyakinan diri yang
berbeda terkait dengan bidang fungsi yang berbeda. Oleh karena itu, skala self-efficacy
perlu disesuaikan dengan domain tertentu. Adapun strategi untuk mengembangkan skala
self-efficacy telah diuraikan oleh Bandura (2006), yakni berupa format penilaian sederhana
dengan meminta responden untuk mengisi derajat kepercayaan diri seseorang dalam
menghadapi suatu situasi, yang berkisar dari 0 (tidak bisa) sampai 100 (benar-benar yakin).
Bandura (2006) juga memberikan saran mengenai cara membangun skala self-efficacy
yang terbaik, yakni dimulai dengan masalah validitas isi, bias respon, analisis item, dan
diakhiri dengan strategi untuk validasi skala. Namun, skala self-efficacy juga harus praktis.
Skala tersebut harus dinilai sejauh mana mereka memungkinkan orang untuk memenuhi
transformasi pribadi dan sosial yang diinginkan (Bandura, 2006 dalam Robert, 2014).

E. KONSEP TRAIT DALAM KEPRIBADIAN


Terlepas dari beragamnya perilaku orang yang sama dalam situasi yang berbeda,
pada waktu yang berbeda, dengan orang yang berbeda, dan di umurnya yang berbeda,
terdapat bagian inti yang konstan di dalam dirinya. Bagian yang konstan atau stabil itulah
yang ditangkap oleh konsep trait. Trait adalah suatu hal yang relatif bertahan lama yang
menunjukkan bahwa satu individu berbeda dengan yang lainnya (Guilford, 1959 dalam
Robert, 2014). Ketika kita mengatakan bahwasanya seseorang mudah bergaul dan orang
lainnya pemalu, kita menggunakan trait untuk menggambarkan konsistensi dalam diri
masing-masing orang tersebut dan juga perbedaan di antara mereka (Goldberg, 1981a;
Diske, 1986 dalam Robert, 2014).
Konsep trait dalam kepribadian sangat populer dalam tes psikologis. Adapun
pendekatan yang menonjol dan berpengaruh dari sekian banyak teori traits di antaranya
adalah:
1. Analisis faktor Cattell mengenai traits
Cattel mengelompokkan, menilai, lalu melakukan analisis faktor dari sekian
banyak traits yang dicatat oleh Allport. Cattell menyebut aspek kepribadian yang lebih

15
jelas sebagai permukaan dari traits yang biasanya muncul pada tahap pertama analisis
faktor ketika item-item tes individu berkorelasi satu sama lainnya. Misalnya, item
benar-salah seperti “Saya menikmati pertarungan dengan hadiah yang bagus”,
“Terjebak di belakang pengemudi yang lambat benar-benar membuat saya terganggu”,
dan “Penting untuk memberi tahu orang-orang siapa yang bertanggung jawab” bisa
saja dijawab dengan jawaban yang sama oleh subjek, dan ketiga item tersebut
mengungkapkan permukaan trait agresivitas.
Permukaan-permukaan trait biasanya cenderung muncul bersamaan (secara
berkelompok), yang menunjukkan adanya eksistensi dari sumber traits, suatu
sumber perilaku yang stabil dan konstan. Dengan demikian, meskipun sumber
traits lebih kurang terlihat daripada permukaan traits, tetapi mereka lebih berperan
dalam perilaku.Salah satu pendekatan Cattell dalam analisis faktornya adalah
meminta orang menilai orang lain yang mereka kenal dengan baik dengan memberi
tanda pada berbagai kata sifat seperti agresif, bijaksana, dan mendominasi dari
daftar 171 pilihan. Ketika hasil dari 208 subjek kemudian dianalisis faktornya,
sekitar 20 faktor atau traits diidentifikasi untuk sementara.
Pendekatan lainnya adalah meminta ribuan orang menjawab pertanyaan
tentang diri mereka sendiri dan kemudian menganalisis faktor tanggapan mereka.
Enam belas dari dua puluh ciri kepribadian asli secara independen dikonfirmasi
oleh pendekatan kedua ini (Cattell, 1973). Keenam belas sumber traits ini telah
dimasukkan ke dalam Sixteen Personality Factor Questionnaire (16PF).

2. Pendekatan Eysenck
Mengenai dimensi trait yang menggabungkan sekumpulan trait menjadi
dua dimensi utama. Ia menyatakan bahwa semua trait berasal dari tiga sistem
biologis (extroversion, neuroticism, psyhoticism).

 Extroversion, termasuk outgoingness and assertiveness dalam faktornya

Cattell.
 Neuroticism, termasuk emotional instability and apprehensiveness dalam

faktor Cattell.
 Psychoticism, kecenderungan psikopatologi, melibatkan impulsivity dan

cruelty; tough-mindedness dan shrewdness pada faktor Cattel;


agreeableness rendah dan conscientiousness rendah dalam Big Five.

3. Five factors model of personality


Dalam penelitian trait menggunakan analisis faktor, Goldberg
mengidentifikasi beberapa konsistensi yang ia sebut sebagai dimensi “Big Five”.
Meskipun para peneliti menggunakan istilah yang sedikit berbeda untuk faktor-
faktornya, label yang paling umum adalah neuroticism, extraversion, openness to
experience, agreeableness, conscientiousness atau yang bisa disusun ulang
urutannya menjadi akronim OCEAN. Sejumlah besar penelitian menunjukkan

16
bahwa model lima faktor menangkap representasi yang valid dan berguna dari
struktur sifat manusia (Robert, 2014).
Lima faktor kepribadian tersebut, secara khusus, menangkap perbedaan
individu yang berhubungan dengan fungsi dasar evolusi (seperti kelangsungan
hidup dan reproduksi) (Buss, 1997; Pervin, 1993 dalam Robert, 2014). Goldberg
(1981) juga berteori bahwasanya secara implisit, seseorang memiliki pertanyaan-
pertanyaan berikut ketika berinteraksi dengan orang lain:
a. Apakah X aktif dan dominan atau pasif dan submisif? (bisakah saya merundung X
atau akankah X mencoba untuk merundung saya?)
b. Apakah X ramah (hangat dan menyenangkan) atau tidak menyenangkan (dingin
dan tidak ramah)?
c. Dapatkah saya mengandalkan X? (apakah X bertanggung jawab dan berhati-hati
atau tidak dapat diandalkan dan lalai?)
d. Apakah X gila (tidak dapat diprediksi) atau waras (stabil)?
e. Apakah X pintar atau bodoh? (seberapa mudah saya dapat mengajari X?)

Beberapa skala kepribadian dan sistem penilaian lainnya diilhami oleh model
Big Five ini, seperti Costa dan McCrae yang mengembangkan dua tes kepribadian
berdasarkan model Big Five, revisi NEO Personality Inventory (NEO-PI-R) yang berisi
240 item yang dinilai pada skala lima poin. Selain itu, Trull, Widiger, Useda, dkk.
(1998) juga menerbitkan wawancara semi-terstruktur untuk penilaian model Big Five.

Semua pendekatan trait pada kepribadian memiliki permasalahan yang sama.


Pertama, adanya ketidaksepakatan mengenai trait menyebabkan terjadinya perilaku
ataukah hanya menggambarkan perilaku (Fiske, 1986 dalam Robert, 2014). Kedua,
pendekatan trait memiliki validitas prediktif yang rendah. Hal ini diutarakan oleh Mischel
(1968) yang menyatakan bahwa teori trait yang memprediksi konsistensi perilaku, adalah
inkonsistensi perilaku yang biasanya diamati (Mischel, 1968). Dalam tinjauan luas dari
penelitian yang ada, Mischel mencatat bahwa skala trait menghasilkan koefisien validitas
dengan batas atas r = 0,30. Dia menciptakan istilah koefisien kepribadian untuk
menggambarkan korelasi yang rendah ini. Tidak diragukan lagi signifikan untuk sampel
besar subjek, korelasi r = 0,30 adalah nilai minimal dalam prediksi perilaku individu.

Peneliti trait menanggapi serangan Mischel dengan menyempurnakan dan


membatasi konsep trait. Para peneliti berusaha mengidentifikasi subkelompok orang yang
perilakunya dapat diprediksi secara akurat berdasarkan skor trait dan juga berusaha
membedakan jenis situasi di mana perilaku sebagian besar ditentukan oleh trait. Upaya ini
berhasil dengan meningkatkan validitas beberapa kuesioner trait—dalam beberapa konteks
dengan beberapa orang—secara substansial melampaui penghalang r = 0,30 yang tidak
menyenangkan yang dikemukakan oleh Mischel (1968) (Robert, 2014).

F. HIPOTESIS PROYEKTIF
Frank memperkenalkan istilah metode proyektif untuk menggambarkan suatu
kategori tes untuk mempelajari kepribadian dengan stimuli yang tidak terstruktur (Robert,

17
2014). Pada tes proyektif, para peserta tes diberikan stimuli yang ambigu dan tidak jelas
dan meresponnya dengan bebas dengan tetap mengikuti instruksi. Tes proyektif sangat
terikat dengan teori psikoanalisis dan asumsinya mengenai aspek-aspek ketidaksadaran
dari kepribadian sehingga asumsi utama dari tes proyektif adalah bahwa respon terhadap
tes mewakili proyeksi dari proses mental bawah sadar terdalam dari peserta tes.
Berdasarkan respon yang dibutuhkan, Lindzey (1959) membagi tes proyektif
menjadi lima kategori, yakni asosiasi tinta atau kata, konstruksi cerita atau kalimat,
melengkapi kalimat atau cerita, menyusun/memilih gambar atau kata, dan ekspresi dengan
gambar atau permainan.

G. TEKNIK ASOSIASI
1. Rorschach
Rorschach terdiri dari 10 noda tinta yang dirancang oleh Herman Rorschach pada
awal 1900-an. Ia membuatnya dengan meneteskan tinta pada selembar kertas dan
melipat kertas tersebut menjadi dua sehingga tetesan tinta tadi menjadi bilateral yang
simetris. Lima dari noda tinta berwarna hitam atau abu-abu, sementara lima lainnya
berwarna, dan semuanya ditampilkan di latar belakang putih. Tes ini cocok untuk orang
berusia lima tahun ke atas, namun paling sering digunakan untuk orang dewasa.
Metode skoring Rorschach disistematisasi oleh para pengikutnya, yakni lima
psikolog Amerika, Samuel Beck, Marguerite Hertz, Bruno Klopfer, Zygmunt
Piotrowski, and David Rapaport (Erdberg, 1985 dalam Robert, 2014). Nuansa
penilaiannya pun jadi bervariasi dari satu metode penilaian ke yang lainnya. pada tahun
1990-an, John Exner dan rekan-rekannya mulai mengkodifikasi dan mensintesis
penilaian menjadi satu metode yang dikenal sebagai Rorschach Comprehensive
System, yang menggantikan semua metode sebelumnya dan menjadi metode yang
disukai karena lebih jelas serta berdasar pada penelitian empiris.
Pada sekitar tahun 2010, terdapat sebuah sistem baru untuk mengadministrasi,
skoring, dan menginterpretasi Rorschach dan menjadi pilihan yang praktis bagi para
praktisi, merupakan perpanjangan dan pengembangan dari comprehensive system,
yakni Rorschach Performance Assessment System (R-PAS). Dalam menggunakan R-
PAS, penguji akan membangun rapport dan duduk di sebelah klien, lalu klien akan
ditunjukkan kartu dan ditanya “Kira-kira ini apa?”, dan klien diminta untuk
memberikan dua atau tiga jawaban per kartu. Jika selama tes klien hanya memberikan
satu jawaban, maka penguji akan meminta tanggapan tambahan. Setelah tes dilakukan,
maka akan dilakukan skoring. Respon diskoring dengan beberapa variabel, seperti
lokasi, isi, kualitas bentuk, proses berpikir, dan faktor penentu/determinan.
H. COMPLETION TECHNIQUES
Teknik ini merupakan penjelasan diri, testee akan diberikan sebuah kalimat yang
tidak lengkap dan harus dilengkapi.
1. Sentense Completion Test
Merupakan tes melengkapi kalimat yang disajikan. Dalam tes penyelesaian kalimat
responden disajikan dengan garis-garis yang mencakup kata pertama dari kalimat dan

18
tugas testee adalah mengisi kalimat yang kosong. Seperti teknik proyeksi lainnya
pemeriksa berasumsi bahwa kalimat yang telah selesai mencerminkan motivasi, sikap
konflik dan ketakutan yang mendasari testee. Secara umum tes penyelesaian kalimat dapat
dipahami dalam dua cara berbeda yaitu analisis subjektif intuitif dari motif yang mendasari,
yang diprediksi dari tanggapan subjek atau analisis objektif yang melaluinya skor diberikan
untuk setiap kalimat yang diselesaikan.
Contoh :

Gambar 1. Contoh SCT

Tujuan tes SSCT ini untuk mengungkap kegagalan-kegagalan penyesuaian diri.


Adapun aspek yang di ungkap yaitu:

 Sikap subjek terhadap keluaga


 Sikap subjek terhadap seks
 Sikap subjek terhadap hubungan interpersonal
 Sikap subjek terhadap konsep diri

Garis Besar Sentence Completion Technique


 Sentence Completion Series Psychological Assessment Resources
SCS terdiri dari 50 pertanyaan yang dirancang untuk membantu dokter
mengidentifikasi masalah mendasar dan area kesulitan spesifik untuk klien
 Forer Structured Sentence Completion Test Western Psychological Services
Instrument ini tersedia dalam bentuk terpisah untuk pria, wanita, remaja laki-laki,
dan remaja putri. Setiap bentuk berisi 100 nomer berisi kalimat yang dirancang
untuk mencakup sistem nilai-sikap, penghindaran, dan mekanisme pertahanan.
 Geriatric Sentence Completion Form Psychological Assessment Resources
GSCF adalah formulir 30 item yang secara khusus dikembangkan untuk digunakan
dengan klien dewasa yang lebih tua. GSCF memunculkan tanggapan pribadi
terhadap empat domain konten: orientasi fisik, psikologis, sosial, dan temporal.
Manual tes mencakup sejumlah ilustrasi kasus klinis.
 Washington University Sentence Completion Test, Privately published by
Loevinger
WUSC menggunakan formulir terpisah untuk pria, wanita, dan subjek pria dan
wanita yang lebih muda. Tes ini sangat terikat teori; Respons diklasifikasikan

19
menurut tujuh tahap perkembangan ego: prasosial dan simbiosis, impulsif,
protektif, konformis, teliti, otonom, terintegrasi.
2. Rotter Incomplete Sentences Blank (RISB)
Merupakan tes penyelesaian kalimat yang paling sering digunakan dalam
tes kepribadian dan sosioemosional. RISB digunakan dalam penelitian dan
pengaturan yang diterapkan untuk menyaring ketidaksesuaian, untuk menilai
tekanan psikologis, dan memantau perubahan sealama perawatan. RISB terdiri dari
3 bentuk yaitu untuk sekolah menengah, perguruan tinggi, dan dewasa. Masing-
masing berisi 40 batang kalimat dengan format kertas dan menggunakan pensil,
hanya saja penyusunan kata yang berbeda untuk setiap kelompok .
Tes ini bisa ditafsirkan secara subjektif dengan cara yang biasa melalui
analisis kualitatif dari kebutuhan yang diproyeksikan dalam tanggapan subjek.
Dalam sistem penilaian objektif, setiap kalimat yang diselesaikan menerima skor
penyesuaian dari 0 (penyesuaian baik) hingga 6 (penyesuaian sangat buruk). Skor
tersebut dilihat dari pengkategorisasian sebagai berikut :
 Kelalaian , Tidak ada tanggapan atau tanggapan yang terlalu singkat
untuk menjadi bermakna.
 Tanggapan konflik, menunjukkan permusuhan atau
ketidakbahagiaan
 Respon positif, menunjukkan respons positif atau sikap penuh
harapan
 Respon netral, pernyataan deklaratif tanpa pengaruh positif maupun
negative

Contoh dari 3 kategori diatas yaitu :

 Aku benci. . . seluruh dunia. (tanggapan konflik)


 Terbaik . . . belum datang. (respon positif)
 Kebanyakan anak perempuan. . . adalah wanita. (tanggapan netral)

Tanggapan konflik diberi skor 4, 5, atau 6, dari tingkat terendah hingga


tertinggi dari konflik yang diungkapkan. Tanggapan positif diberi skor 2, 1, atau
0, dari tanggapan paling sedikit hingga paling positif. Tanggapan netral dan
kelalaian tidak menerima skor.

Gambar 2. Contoh RISB

20
I. Construction Techniques
Tes ini memberikan tuntutan yang lebih kompleks kepada testee. Testee diharapkan
membuat atau membuat lebih sesuatu , dan menciptakan.
1. Thematic Apperception Test (TAT)
TAT merupakan suatu teknik proyeksi yang digunakan untuk mengungkap
dinamika kepribadian yang tampak dalam hubungan interpersonal dan dalam
apersepsi terhadap lingkungan. TAT merupakan suatu metode untuk mengungkap
dorongan, emosi, sentiment, kompleks, serta konflik-konflik pribadi yang dominan.
TAT dikembangkan oleh Henry Murray dan rekan-rekannya di Harvard
Psychological Clinic (Morgan & Murray, 1935; Murray, 1938). Tes ini awalnya
dirancang untuk menilai konstruksi seperti kebutuhan dan tekanan, elemen pusat
teori kepribadian Murray.
Menurut Murray, kebutuhan mengatur persepsi, pemikiran, dan tindakan
serta menggerakkan perilaku ke arah kepuasan mereka. Contoh kebutuhan meliputi
kebutuhan untuk berprestasi, afiliasi, dan dominasi. Sebaliknya, pers mengacu pada
kekuatan peristiwa lingkungan untuk mempengaruhi seseorang. Pers alfa adalah
kekuatan eksternal yang objektif atau "nyata", sedangkan pers beta menyangkut
komponen subyektif atau yang dirasakan dari kekuatan eksternal.
TAT terdiri dari 30 gambar yang menggambarkan berbagai pokok bahasan
dan tema dalam gambar dan foto hitam putih; satu kartu kosong. Sebagian besar
kartu menggambarkan satu atau lebih orang yang terlibat dalam aktivitas ambigu.
Beberapa kartu digunakan untuk pria dewasa , wanita dewasa, anak laki-laki, atau
anak perempuan, atau beberapa kombinasi (misal Pria dan anak laki-laki).
Peserta ujian meminta peserta ujian untuk membuat cerita dramatis untuk
setiap gambar, menceritakan apa yang mengarah ke adegan saat ini, apa yang
terjadi saat ini, bagaimana pikiran dan perasaan karakter. Pemeriksa menuliskan
cerita secara verbatim untuk penilaian dan analisis selanjutnya.
Pengaplikasian TAT digunakan untuk aktfitas klinis dan penelitian, contoh
dalam aktifitas klinis yaitu,
“Dia melihat jembatan, dia benar-benar jatuh. Dia ingat bahwa dia mendengar
cerita tentang orang-orang yang melompat dan bunuh diri. Dia tidak pernah bisa
mengerti mengapa mereka melakukan itu. Sekarang dia mengerti, dia melompat
dan mati. . . dia seharusnya menunggu karena hal-hal selalu menjadi lebih baik
kapan-kapan. Tapi dia tidak menunggu, dia mati. (Ryan, 1987)”
Kebanyakan dokter akan menyimpulkan bahwa peserta ujian yang
menghasilkan cerita-cerita ini telah trauma dan membela diri terhadap impuls
merusak diri sendiri.
Adapun contoh TAT yang digunakan dalam penelitian, seperti yang
dilakukan oleh Turk, Brown, Symington, dan Paul (2010) meneliti isi cerita TAT
dari 22 orang dengan agenesis corpus callosum (ACC), kelainan otak bawaan di
mana jalur yang menghubungkan kedua belahan otak sebagian atau sama sekali

21
tidak ada. Mereka menggunakan perangkat lunak penyelidikan linguistik James
Pennebaker (Tauszcik & Pennebaker, 2010) untuk menghitung katakata dalam
kategori yang bermakna secara psikologis. Dibandingkan dengan kontrol yang
sesuai dengan usia dan IQ, individu ACC menggunakan lebih sedikit kata yang
berkaitan dengan emosionalitas, proses kognitif, dan proses sosial, menunjukkan
bahwa mereka mengalami kesulitan yang lebih besar untuk membayangkan dan
menyimpulkan keadaan mental dan emosional orang lain. Dalam aplikasi penelitian
ini, TAT terbukti bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman kita tentang kualitas
unik orang dengan ACC.
2. Picture Projective Test (PPT)
Para pengembang PPT mencatat bahwa sebagian besar gambar TAT
memberikan "tarikan" stimulus negatif yang kuat pada penceritaan. Kartu TAT
dicetak dalam warna gelap dan berbayang, dan sebagian besar adegan
menggambarkan orang dalam situasi yang tidak terlalu penting atau suram. Maka,
tidak mengherankan bahwa tanggapan proyektif terhadap TAT disalurkan dengan
kuat ke arah cerita-cerita melankolis yang negatif (Goldfried & Zax, 1965).
Sebaliknya, PPT menggunakan kumpulan gambar yang diambil dari esai foto
Keluarga Manusia yang diterbitkan oleh Museum of Modern Art (1955)
Kriteria untuk memilih gambar pada PPT, yaitu :
a. Gambar harus menunjukkan janji untuk memancing bahan proyektif yang
berarti
b. Sekitar setengah dari gambar harus menggambarkan lebih dari satu karakter
manusia
c. Sekitar setengah gambar harus menunjukan ekspresi afektif positif seperti
tersenyum, berpelukan,menari.
d. Sekitar setengah gambar harus menggambarkan pose aktif, tidak hanya
berdiri atau duduk.

Dibandingkan dengan produksi TAT, cerita PPT memiliki panjang yang


sebanding tetapi jauh lebih positif dalam konten tematik dan nada emosional.
Ceritacerita PPT juga jauh lebih aktif, yang berarti bahwa tokoh sentral memiliki
pengaruh yang aktif dan menentukan nasib sendiri pada situasi dalam cerita.
Selanjutnya, cerita PPT lebih menekankan pada tema interpersonal daripada
intrapersonal. Dengan kata lain, cerita PPT lebih menekankan pada aspek
penyesuaian kepribadian yang “sehat”, adaptif daripada produksi TAT.

Gambar 3. MoMA art

22
3. Children’s Apperception Test
Merupakan tes lanjutan dari TAT yang diperuntukan untuk anak-anak usia
3-10 tahun, menggunakan gamabr yang disenangi anak-anak seperti hewan dengan
asumsi anak-anak lebih menyukai mendeskripsikan hewan daripada manusia.
Tidak ada sistem penilaian formal untuk CAT dan tidak ada informasi
statistik yang diberikan tentang reliabilitas atau validitas. Sebaliknya, pemeriksa
menyiapkan diagnosis atau deskripsi kepribadian berdasarkan sintesis dari 10
variabel yang dicatat untuk setiap cerita: (1) tema utama; (2) pahlawan utama; (3)
kebutuhan dan dorongan utama pahlawan; (4) konsepsi lingkungan (atau dunia);
(5) persepsi figur orang tua, kontemporer, dan junior; (6) konflik; (7) kecemasan;
(8) pertahanan; (9) kecukupan super ego; (10) integrasi ego (termasuk orisinalitas
cerita dan sifat hasil). Kurangnya perhatian terhadap masalah psikometrik
penilaian, reliabilitas, dan validitas CAT merepotkan kebanyakan spesialis
pengujian.
4. TAT untuk Populasi Tertentu
a. Family Apperception Test
Untuk anak usia 6 tahun ke atas, Family Apperception Test terdiri dari 21
kartu yang menggambarkan sebuah keluarga dalam berbagai situasi. Misalnya,
satu kartu menunjukkan sebuah keluarga duduk mengelilingi meja dengan
orang tua berbicara sementara anak-anak makan. Seperti halnya TAT, peserta
ujian diminta untuk menggambarkan apa yang mengarah ke adegan, apa yang
terjadi sekarang, apa yang akan terjadi selanjutnya, dan apa yang dirasakan oleh
karakter utama. Tes ini didasarkan pada teori sistem keluarga. Manual ini
menyediakan panduan penilaian untuk kategori seperti penetapan batas,
resolusi konflik, batasan, kualitas hubungan, dan nada emosional.
b. Blacky Pictures
Untuk anak-anak usia 5 dan lebih tua, tes Blacky Pictures juga didasarkan
pada premis bahwa anak-anak lebih mudah mengidentifikasi dengan hewan
daripada manusia. 11 rangsangan kartun menggambarkan petualangan anjing
Blacky dan keluarganya (Mama, Papa, dan saudara Tippy). Selain meminta
cerita untuk setiap kartu, penguji juga menyajikan soal pilihan ganda
berdasarkan tahapan perkembangan psikoseksual yang diturunkan dari teori
psikoanalitik (Blum, 1950). Meskipun tes ini awalnya dikembangkan dengan
orang dewasa, anak-anak menikmati mengambil Blacky dan cukup responsif
terhadap gambar. Masalah dengan tes ini termasuk tidak adanya norma,
terutama untuk anak-anak, dan stabilitas skor yang buruk.
c. Michigan Picture Test-Revised
Untuk anak yang lebih besar usia 8 sampai 14 tahun, MPT-R terdiri dari 15
gambar dan kartu kosong. Tanggapan dinilai untuk Indeks Ketegangan
(misalnya, penggambaran kecukupan pribadi), Arah Kekuatan (apakah tokoh
sentral bertindak atau ditindaklanjuti), dan Verb Tense (misalnya, masa lalu,
sekarang, masa depan). Ketiga skor ini dapat digabungkan untuk menghasilkan

23
Indeks Maladjustment. Keandalan dan norma memadai, meskipun bukti
validitasnya tidak memuaskan. Masalah utama dengan tes ini adalah bahwa
kartu menggambarkan hubungan interpersonal dengan begitu jelas sehingga
sedikit yang tersisa untuk imajinasi anak.
d. Senior Apperception Test (SAT)
Meskipun 16 situasi yang digambarkan pada kartu SAT mencakup beberapa
keadaan positif, sebagian besar gambar dirancang untuk mencerminkan tema
ketidakberdayaan, pengabaian, kecacatan, masalah keluarga, kesepian,
ketergantungan, dan harga diri rendah
J. Expression Techniques
Pada tes ini subjek diberi peluang tidak hanya untuk melakukan proyeksi tapi juga
ekspresi diri.
1. Draw A Person
Karen Machover (1949, 1951) adalah pelopor dalam bidang baru ini.Tes ini
merupakan tugas menggambar yang sering digunakan dalam penilaian psikologis
anak-anak. DAP dilakukan dengan memberikan peserta ujian selembar kertas
kosong dan pensil dengan penghapus, kemudian meminta peserta ujian untuk
"menggambar seseorang." Saat menggambar selesai, ujian biasanya diarahkan
untuk menggambar orang lain yang berjenis kelamin berlawanan dengan sosok
pertama. Akhirnya, peserta ujian diminta untuk mengarang cerita tentang orang ini
seolah-olah dia adalah karakter dalam novel atau drama.
Hasil dianalisis untuk mengembangkan hipotesis tentang fungsi kognitif,
perkembangan, dan emosional serta gaya kepribadian. Namun beberapa pengulas
telah menyimpulkan bahwa DAP adalah tes yang tidak layak untuk digunakan.
Naglieri, McNeish, and Bardos (1991) mengmbangkan Draw A Person: Screening
Procedure for Emotional Disturbance (DAP:SPED) untuk skrining anak-anak yang
diduga mengalami gangguan perilaku dan gangguan emosional. Dalam satu studi,
akurasi diagnostik anak bermasalah secara signifikan ditingkatkan dengan
penerapan pendekatan skoring DAP:SPED.

Gambar 4. Contoh DAP

2. House-Tree-Person Test (H-T-P)


HTP adalah tes proyektif dengan gambar rumah, orang, dan pohon yang
dikenalkan oleh John N. Buck sekitar tahun 1948, pada awalnya tes ini dilakukan
sebagai gambran yang dapat mewakili kepribadian seseorang. Lalu kemudian tes

24
ini digunakan untuk mengumpulkan serangkaian data tentang kemajuan seseorang
yang bsedang menjalani perawatan. Interpretasi dalam tes ini mengacu pada 3
tumpuan, yaitu :
a. Rumah mencermikan kehidupan dirumah dan hubungan antar keluarga.
b. Pohon mencerminkan tata karma peserta ujian di lingkungannya
c. Orang mencerminkan hubungan antarpribadi peserta ujian

Gambar 5. Contoh gambar HTP

25
BAB III

KESIMPULAN

Banyak pendekatan dalam psikologi berbeda dalam menggambarkan struktur jiwa ataupun
kepribadian dalam individu. Pengertian kepribadian dalam perspektif psikologi menurut Robert B.
Ewen. Itu adalah karakteristik pribadi yang stabil dan konstan, terlihat dan tidak terlihat, sadar dan
tidak sadar. Secara harfiah ratusan tes kepribadian tersedia untuk tujuan yang nantinya akan
meninjau instrumen yang menonjol secara historis dan juga membahas beberapa pendekatan baru
menjanjikan

Terdapat empat teknik dalam tes proyektif yang digunakan untuk menganalisis kepribadian
seseorang. Berbagai tes tersebut bisa dianalisis secara subjektif maupun objektif. Namun beberapa
tes masih diragukan validitas dan reabilitasnya dalam menganalisis kepribadian.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ewen, R. B. (2010). An Introduction to Theories of Personality. New York: Taylor & Francis
Group.

Feist, J. & Feist, G. J. (2008). Theories of Personality 7th Edition. New York: McGraw-Hill.
Koswara, E. 1991. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: Eresco.

Friedman, H. S., & Schustack, M. W. (1999). Personality: Classic theories and modern
research (p. 576). Boston, MA: Allyn and Bacon.

Gregory, R. J. (2004). Psychological testing: History, principles, and applications. Allyn &
Bacon.

Rabin, A. I. (1960). Projective Techniques With Children. New York: Grune & Sratton.

Weis, R. (2015). Incomplete Sentences Blank. 1-2.

27

Anda mungkin juga menyukai