P
NIM : 2108551057
Kelas : C
Topik : Apoteker Kewajiban dan kewenangannya
RESUME
Pada pertemuan tanggal 10 Maret 2022, pemaparan dan diskusi materi mengenai kewajiban dan
kewenangan Apoteker yang meliputi tugas fungsi Apoteker sesuai peraturan Undang-Undang.
Farmasis Indonesia harus memiliki pedoman dalam bertingkah laku dan menjalani
kehidupan sebagai seorang farmasis. Adanya RUU yang diajukan ke DPR yang diwakili oleh
pihak IAI bertujuan untuk memberikan konsep, strategi, dan mekanisme yang mengatur peran
pemerintah, organisasi profesi, masyarakat, dan stakeholders lainnya dalam meningkatkan mutu
kefarmasian Indonesia dan kesejahteraan Indonesia. Undang-undang kefarmasian adalah
undang-undang yang mengatur seluruh civitas kefarmasian terkait dengan produk kefarmasian,
SDM farmasi, pendidikan farmasi, lembaga– lembaga farmasi yang akan menjadi pengawas
dan pelaksana, organisasi profesi atau Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi, kelembagaan
farmasi, dan lain sebagainya. Undang-undang juga membahas mengenai larangan dan ajuran
mengenai hal yang dilarang dan dianjurkan dalam kefarmasian.
UNDANG- UNDANG DASAR 1945.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum.
Pasal 28H
Ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Artinya, Undang-undang dasar menjamin Setiap warga negaranya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya Untuk mengantarkan
kesejahteraan masyarakat
Pasal 34
Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
UU RI No 36 Th 2009 tentang
Kesehatan
Pasal 98
- Ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan
yang berkhasiat obat.
Pasal 108
- Dalam pasal ini dijelaskan dalam lampiran disini hanya tenaga kefarmasian untuk berhak
mengerjakan tersebut artinya negara mengamanatkan kepada tenaga keparmasian untuk
melakukan tugas ini.
- Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan harus mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan.
- PP 41/1999 tentang Masa bakti dan ijin kerja apoteker, Pasal 1 ayat 1:
Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
- PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Pasal 1, ayat 5
1. Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau
penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi
2. Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh
Tenaga kefarmasian.
3. Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiat
Sediaan Farmasi.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pengadaan Di Unit Produksi
Pengadaan di industri farmasi merupakan suatu proses agar tetap tersedianya bahan baku obat
atau bahan kemas produksi di industri
farmasi. Mutu obat tergantung pada bahan pengemas, bahan awal, proses produksi dan
pengendalian mutu Industri farmasi sehingga pengadaan harus memenuhi di syarat mutu,
keamanan, dan kemanfaatan. (UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 98)
- UU Kesehatan 36 / 2009 juga mengatur persyaratan sediaan farmasi yaitu dijelaskan pada
pasal 105 dan 108,
- Dipertegas dengan peraturan PP 72 tahun 1998 tentang pengamanan sediaan farmasi pada
pasal 1 dan 2.
- Pada pasal 2 disebutkan adanya persyaratan untuk bahan baku/obat berdasarkan
Farmakope.
Definisi bahan obat berdasarkan Permenkes RI Nomor
1175/MENKES/PER/VIII/20120 tentang Industri Farmasi adalah bahan baik yang
berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan
standard an mutu sebagai bahan baku farmasi.
Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Sediaan farmasi
adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika
Peran Apoteker
Kepala Bagian bertanggung jawab atas terjaminnya mutu bahan baku obat yang akan
digunakan, tugasnya adalah memutuskan meluluskan atau menolak, bahan baku obat yang l
akan digunakan apabila tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan melakulan
sampling dan pengujian
Landasan Hukum Industri Farmasi
1. PP No. 72 tahun 1998 tentang Pengadaan Sediaan Farmasi dan Alkes (Pasal 1 dan 2)
2. PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Pasal 1,6 (1 dan 2),9 (1))
3. PERMENKES NO. 1799/MENKES/PER/XI1/2010 tentang Industri Farmasi pasal 4
(1) dan 5
Syarat Industri Farmasi
1. Izin
2. CPOB
3. Apoteker
● Ketentuan yang mengatur proses pengadaan di Industri dijelaskan pada PP No 51
tahun 2009 yaitu pada pasal 6.Dari peraturan tersebut diketahui bahwa dalam
produksi sediaan farmasi, industri farmasi harus mementingkan mutu, keamanan dan
kemanfaatan. Untuk memperoleh suatu bahan baku yang bermutu dalam dan produksi
sediaan farmasi diperlukan tenaga kefarmasian yang memiliki keahlianyang
kewenangan. Dalam hal ini berkompeten dalam menentukan spesifikasi bahan baku
yang baik adalah apoteker.
● Fungsi dan Peran Apoteker dalam Pengadaan Unit Pelayanan
1. Peran (APTFI, 2009)
o Melaksanakan fungsi pengadaan obat dan perbekalan kesehatan lainnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, sarana yang dimiliki dan sesuai dengan
kebutuhan di unit pelayanan.
o Melakukan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan lainnya secara
baik sesuai dengan sifat bahan
2. Fungsi (KepMenKes RI 1197/menkes/SK/X/2004
o Memilih perbekalan farmasi
o Merencanakan perbekalan farmasi
o Mengadakan perbekalan farmasi
o Menerima perbekalan farmasi
o Menyimpan perbekalan farmasi sesuai persyaratan
Apoteker dalam PP No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian (pasal 9 (1)) sebagai penanggung
jawab minimal D3. Apoteker dapat menjadi penanggung jawab produksi, penanggung jawab
pengawasan mutu, dan penanggung jawab pemastian mutu. Ketiga hal ini minimal harus
dimiliki oleh seorang apoteker. Jadi, pada industry minimal harus ada 3 apoteker.
1) Permenkes No. 1799 Tahun 2010 pasal 5 ayat 1 tentang Industri Farmasi :
2) PP 72 Tahun 1998 Pasal 5 Ayat 1 tentang Pengadaan Sediaan Farmasi dan Alkes :
- Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi
yang baik.
- Kriteria obat yang mendapatkan izin edar ialah memunhi khasiat, mutu, dan keamanan.
BIDANG PRODUKSI OBAT
Keputusan kepala BPOM No. HK 03. 1. 33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan
pedoman CPOB bahwa dalam industri farmasi harus memenuhi syarat cara pembuatan obat
yang baik.
- Memastikan bahwa obat diproduksi dan disimpan sesuai prosedur agar memnuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan
- Memberikan persetujuan petunjuk kerja yang terkait dengan produksi dan memastikan
bahwa petunjuk kerja (SOP) diterapkan dengan tepat
- Memastikan bahwa catatan produksi telah dievaluasi dan ditandatangani oleh kepala
bagian produksi sebelum diserahkan kepada kepala bagian manajemen/pemastian mutu
- Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian produksi
- Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan
- Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di
departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan
Apoteker yang bekerja di industry obat tradisional harus memenuhi persyaratan : PP No. 51
2009 bagian ke-3
Peran apoteker dalam produksi obat tradisional
Ruang lingkup produksi obat tradisional, yaitu meliputi personalia, bangunan, peralatan,
sanitasi dan hygiene, pengolahan dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi diri,
dokumentasi dan penangan terhadap hasil pengamatan produk di peredaran (BPOM, 2011).
1. Pengadaan
suatu proses agar tetap tersedianya bahan baku obat atau bahan kemas produksi industri
farmasi. menurut Keputusan Kepala Badan [engawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor: HK.00.05.4.2411 terdapat 3 jenis obat bahan alam (obat tradisional), yaitu :
a. Jamu
b. Obat herbal terstandar
c. Fitofarmaka
Keempatnya bisa dijabat oleh 1 org tergantung besar industi dari obat tradisional itu sendiri dan
dalam industri kosmetik dan kecantikan, diperlukan minimal satu apoteker Beberapa peraturan
perundang-undangan yang membahas mengenai ini adalah:
- Industry kosmetika harus memiliki minimal satu Apoteker sebagai penanggung jawab.
Izin Produksi Kosmetik
Izin Produksi Konsmetik diatur dalam Permenkes RI No. 1175 / MENKES/ PER/ VIII/ 2010
Tentang Izin Produksi Kosmetika, yaitu pada pasal 6,8, dan 9 ayat 1.
Izin produksi kosmetika diberikan sesuai bentuk dan jenis sediaan yang akan dibuat. Izin
produksi ini dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
Golongan A :
Izin produksi kosmetik yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetik. Izin
produksi golongan A dapat diberikan dengan beberapa persyaratan sebagai berikut :
Golongan B : Izin produksi kosmetik yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan
kosmetik tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana. Izin Golongan B dapat
diberikan dengan beberapa persyaratan, yaitu :
- Memeriksa Catatan Pengolahan Bets dan Catatan Pengemasan Bets serta menjamin
semua tahapan sesuai dengan POB Pengolahan dan POB pengemasan.
- Peralatan dan mesin produksi tepat desain, tepat ukuran, digunakan secara benar dan
terjamin kebersihannya
Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) Menurut Kepmenkes RI No. 965 /
MENKES/SK/XI/1992 Tentang CPKB
Tenaga kerja => Bangunan => Peralatan => Sanitasi dan Higiene => Pengolahan dan
Pengemasan => Pengawasan Mutu => Inspeksi Diri => Dokumentasi => Penanganan
terhadap hasil pengamatan produksi pada peredaran.
Unit Distribusi dan Penyaluran
Kefarmasian Pasal 14
Ayat 1 : setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus
memiliki seorang apoteker sebagai penanggung jawab
Ayat 2 : apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan atau tenaga teknis kefarmasian
Pasal 15 :
Menyatakan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 harus memenuhi ketentuan cara distribusi
yang baik dan ditetapkan oleh Menteri
Lanjutan UNID Distribusi dan Penyaluran PP no 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasiaan
Pasal 16
Ayat (1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.
Ayat (2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui
secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran
Sediaan Farmasi pada Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi wajib dicatat
oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Pasal 18
Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi
atau Penyaluran Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang distribusi atau penyaluran.
Rangkumannya :
● apoteker memiliki tanggung jawab penuh dalam pendistribusian obat sehingga
dituntut memiliki kemampuan untuk memanajemen pendistribusian tersebut sesuai
dengan CDOB
● Apoteker mampu menyusun dan menerapkan SOP dalam pendistribusian
sediaan farmasi dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
● Apoteker mampu dalam melakukan dokumentasi yang baik terhadap proses
pendistribusian sediaan farmasi
PP no 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes, beberapa pasal yang
mengatur :
Pasal 2
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 6
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan penyerahan
Pasal 7
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan upaya
pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pasal 8
(1) Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran harus
disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
(2) Setiap pengangkut sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran,
bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat
kesehatan
Pasal 15
(1) Penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh badan usaha
yang telah memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa bahan
obat, obat dan alat kesehatan;
Pasal 21
Setiap pengangkutan dalam rangka pemasukan dan pengeluaran sediaan farmasi dan alat
kesehatan ke dalam dan dari wilayah Indonesia dilaksanakan dengan memperhatikan upaya
pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan
Rangkumannya :
● apoteker harus memiliki keahlian dan kewenangan dalam mengatur mutu dan kualitas
sediaan farmasi berupa obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika, dan alkes.
Sesuai dengan buku standar dan ketetapan menteri
● apoteker menjadi penanggung jawab di fasilitas distribusi harus menetapkan SOP
sehingga dalam pelaksanaannya dapat memenuhi ketentuan cara distribusi obat yang
baik
● apoteker mampu melakukan dokumentasi proses distribusi sediaan farmasi dan
mempertanggungjawabkan pekerjaannya
● apoteker dalam melakukan pekerjaan proses distribusi sediaan farmasi harus memiliki
suatu badan usaha yang berlandaskan hukum dengan tetap memperhatikan kualitas
sediaan famasi
PP 51 (2009) ACT
Pharmaceutical Services Unit
- Pharmacy (apotek)
- Hospital pharmacy
- Private clinic
- Drugstore
· Apothecary
Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) atau Goad Pharmacy Practice adalah
cara untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian yang baik secara komprehensif,
berupa panduan yang berisi sejumlah standar bagi para Apoteker dalam dalam
menjalankan praktik profesinya di sarana pelayanan kefarmasian.
Adapun Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) hendaknya memenuhi
persyaratan.
1. Apoteker mengutamakan seluruh aktifitasnya ditujukan bagi kesejahteraan pasien.
2. lnti aktivltas apoteker adalah penyediaan obat dan produk kesehatan lainnya untuk
3. menjamin khasiat, kualitas dan keamanannya, penyediaan dan pemberian informasi yang
memadai dan saran untuk pasien dan pemantauan terapi obat.
4. Seluruh aktifitas merupakan kesatuan bagian dari kontribusi apoteker yang berupa
promosi peresepan rasional dan ekonomis serta penggunaan obat yang tepat.
5. Sasaran setiap unsur pelayanan terdefinisi dengan jelas, cocok bagi pasien, terkomunikasi
dengan efektif bagi semua pihak yang terlibat
Untuk memenuhi persyaratan ini, diperlukan kondisi sebagai berikut:
1. Profesionalisme harus menjadi filosofi utama yang mendasari praktek, meskipun juga
disadari pentingnya faktor ekonomi.
2. Apoteker harus memiliki masukan cukup dan tepat dalam membuat keputusan tentang
penggunaan obat. Suatu sistem haruslah memungkinkan apoteker melaporkan kejadian
reaksi obat yang tidak diinginkan, kesalahan medikasi dan cacat dalam kualitas produk
atau pendeteksian produk palsu. Laporan ini juga termasuk informasi tentang obat yang
digunakan dan disiapkan untuk pasien, tenaga kesehatan profesional, baik langsung
maupun melalui apoteker.
3. Menjalin hubungan profesional terus menerus dengan tenaga kesehatan lainnya, yang
harus dapat dilihat sebagai kerjasama terapeutik yang saling percaya dan mempercayai
sebagai kolega dalam semua hal yang berkaitan dengan terapi yang menggunakan obat
(farmakoterapeutik).
4. Hubungan profesional diantara apoteker harus berupa hubungan kotegial untuk
menyempurnakan pelayanan farmasi dan bukan sebagai pesaing/kompetitor.
5. Organisasi praktek kelompok dan manajer apotek harus ikut bertanggung jawab untuk
pendefinisian, pengkajian, dan penyempurnaan kualitas.
6. Apoteker harus hati-hati terhadap penyediaan dan pemberian informasi medis esensial
dan farmaseutik bagi setiap pasien. Perolehan informasi ini akan lebih mudah jika pasien
memilih menggunakan hanya satu apotek atau jika tersedia profil pengobatan pasien.
Apoteker harus tidak memihak, komprehensif, obyektif dan dapat memberikan informasi
terkini tentang terapi dan penggunaan obat.
7. Apoteker dalam setiap prakteknya harus bertanggung jawab secara pribadi untuk menjaga
dan mengukur kompetensi pribadinya melalui praktek profesionalnya.
8. Program pendidikan profesi harus membekali calon apoteker agar dapat melaksanakan
praktik maupun mengantisipasi perubahan praktik farmasi di masa yang akan datang.
9. Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) harus ditetapkan dan dipatuhi
oleh praktisi.
● MANAJERIAL
1. Manajemen SDM
2. Pengelolaan logistik
2. Rawat jalan
3. Rawat inap
5. Ruang ICU
7. Koordinator produksi
● PROFESIONAL
3. Rekonsiliasi obat
5. Konseling
6. Visite
1. Profesional
2. Manajerial
3. Retailer
Goals: profit
· Pelayanan Resep
· Pelaporan
Kita bisa melaporkan pelaksanaan dari pelayanan kesehatan terutama pada pelaporan dari
obat narkotika dan psikotropika
Dinkes punya sistem tugas khusus terutama pada obat buffer stock untuk pelayanan
bencana kemudian obat kebutuhan puskesmas untuk kabupaten/kota.
Deputi bidang Pengawasan Obat (narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif)
Ajeng, Galih dan Muhamad, Syaripuddin. (2019). Peranan Apoteker dalam Pelayanan
Kefarmasian pada Penderita Hipertensi. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 15(1),
10-13.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN