Anda di halaman 1dari 25

Nama : Kadek Adinda Suryadewi S.

P
NIM : 2108551057
Kelas : C
Topik : Apoteker Kewajiban dan kewenangannya

RESUME

Pada pertemuan tanggal 10 Maret 2022, pemaparan dan diskusi materi mengenai kewajiban dan
kewenangan Apoteker yang meliputi tugas fungsi Apoteker sesuai peraturan Undang-Undang.
Farmasis Indonesia harus memiliki pedoman dalam bertingkah laku dan menjalani
kehidupan sebagai seorang farmasis. Adanya RUU yang diajukan ke DPR yang diwakili oleh
pihak IAI bertujuan untuk memberikan konsep, strategi, dan mekanisme yang mengatur peran
pemerintah, organisasi profesi, masyarakat, dan stakeholders lainnya dalam meningkatkan mutu
kefarmasian Indonesia dan kesejahteraan Indonesia. Undang-undang kefarmasian adalah
undang-undang yang mengatur seluruh civitas kefarmasian terkait dengan produk kefarmasian,
SDM farmasi, pendidikan farmasi, lembaga– lembaga farmasi yang akan menjadi pengawas
dan pelaksana, organisasi profesi atau Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi, kelembagaan
farmasi, dan lain sebagainya. Undang-undang juga membahas mengenai larangan dan ajuran
mengenai hal yang dilarang dan dianjurkan dalam kefarmasian.
UNDANG- UNDANG DASAR 1945.

 Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum.

 Pasal 28H

Ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Artinya, Undang-undang dasar menjamin Setiap warga negaranya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya Untuk mengantarkan
kesejahteraan masyarakat

 Pasal 34

Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.

Rangkuman dari Undang-undang tersebut adalah Apoteker bertanggung jawab terhadap


penyediaan fasilitas kesehatan dalam hal ini distribusi sediaan farmasi yang layak sebagai
salah satu upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat.

UU RI No 36 Th 2009 tentang

Kesehatan

 Pasal 98
- Ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan
yang berkhasiat obat.

- Ayat (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,


pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan
farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 Pasal 108

- yang menyatakan bahwa praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk


pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan.

- Dalam pasal ini dijelaskan dalam lampiran disini hanya tenaga kefarmasian untuk berhak
mengerjakan tersebut artinya negara mengamanatkan kepada tenaga keparmasian untuk
melakukan tugas ini.

- Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan harus mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan.

- Apoteker harus memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik


kefarmasian dan harus memiliki izin untuk memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan

- PP 41/1999 tentang Masa bakti dan ijin kerja apoteker, Pasal 1 ayat 1:

Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
- PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Pasal 1, ayat 5

● Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus


● Sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker

PRAKTEK KEFARMASIAN BERDASARKAN PP 51 TH 2009

 Pekerjaan Kefarmasian: Pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,


pengamanan, pengadaan. penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat
pengelolaan obat. pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat. bahan obat dan obat tradisional.
 Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
 Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian yang
terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
 Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggungjawab
kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
 Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk:
a.memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau
menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;
b.mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan
undangan; dan
c.memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga Kefarmasian.

 Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi :

a. Pengadaan Sediaan Farmasi;


b. Produksi Sediaan Farmasi;
c. Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi; dan
d. Pelayanan Sediaan Farmasi
TOPOKSI APOTEKER DI UNIT PENGADAAN

 Berdasarkan PP 51/2009 pasal 6

1. Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau
penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi

2. Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh
Tenaga kefarmasian.

3. Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiat
Sediaan Farmasi.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
 Pengadaan Di Unit Produksi
Pengadaan di industri farmasi merupakan suatu proses agar tetap tersedianya bahan baku obat
atau bahan kemas produksi di industri
farmasi. Mutu obat tergantung pada bahan pengemas, bahan awal, proses produksi dan
pengendalian mutu Industri farmasi sehingga pengadaan harus memenuhi di syarat mutu,
keamanan, dan kemanfaatan. (UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 98)
- UU Kesehatan 36 / 2009 juga mengatur persyaratan sediaan farmasi yaitu dijelaskan pada
pasal 105 dan 108,
- Dipertegas dengan peraturan PP 72 tahun 1998 tentang pengamanan sediaan farmasi pada
pasal 1 dan 2.
- Pada pasal 2 disebutkan adanya persyaratan untuk bahan baku/obat berdasarkan
Farmakope.
 Definisi bahan obat berdasarkan Permenkes RI Nomor
1175/MENKES/PER/VIII/20120 tentang Industri Farmasi adalah bahan baik yang
berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan
standard an mutu sebagai bahan baku farmasi.
 Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Sediaan farmasi
adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika
 Peran Apoteker
Kepala Bagian bertanggung jawab atas terjaminnya mutu bahan baku obat yang akan
digunakan, tugasnya adalah memutuskan meluluskan atau menolak, bahan baku obat yang l
akan digunakan apabila tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan melakulan
sampling dan pengujian
 Landasan Hukum Industri Farmasi
1. PP No. 72 tahun 1998 tentang Pengadaan Sediaan Farmasi dan Alkes (Pasal 1 dan 2)
2. PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Pasal 1,6 (1 dan 2),9 (1))
3. PERMENKES NO. 1799/MENKES/PER/XI1/2010 tentang Industri Farmasi pasal 4
(1) dan 5
 Syarat Industri Farmasi
1. Izin
2. CPOB
3. Apoteker
● Ketentuan yang mengatur proses pengadaan di Industri dijelaskan pada PP No 51
tahun 2009 yaitu pada pasal 6.Dari peraturan tersebut diketahui bahwa dalam
produksi sediaan farmasi, industri farmasi harus mementingkan mutu, keamanan dan
kemanfaatan. Untuk memperoleh suatu bahan baku yang bermutu dalam dan produksi
sediaan farmasi diperlukan tenaga kefarmasian yang memiliki keahlianyang
kewenangan. Dalam hal ini berkompeten dalam menentukan spesifikasi bahan baku
yang baik adalah apoteker.
● Fungsi dan Peran Apoteker dalam Pengadaan Unit Pelayanan
1. Peran (APTFI, 2009)
o Melaksanakan fungsi pengadaan obat dan perbekalan kesehatan lainnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, sarana yang dimiliki dan sesuai dengan
kebutuhan di unit pelayanan.
o Melakukan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan lainnya secara
baik sesuai dengan sifat bahan
2. Fungsi (KepMenKes RI 1197/menkes/SK/X/2004
o Memilih perbekalan farmasi
o Merencanakan perbekalan farmasi
o Mengadakan perbekalan farmasi
o Menerima perbekalan farmasi
o Menyimpan perbekalan farmasi sesuai persyaratan

Apoteker dalam PP No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian (pasal 9 (1)) sebagai penanggung
jawab minimal D3. Apoteker dapat menjadi penanggung jawab produksi, penanggung jawab
pengawasan mutu, dan penanggung jawab pemastian mutu. Ketiga hal ini minimal harus
dimiliki oleh seorang apoteker. Jadi, pada industry minimal harus ada 3 apoteker.

1) Permenkes No. 1799 Tahun 2010 pasal 5 ayat 1 tentang Industri Farmasi :

- Farmasi minimal memiliki 3 apoteker penanggung jawab

2) PP 72 Tahun 1998 Pasal 5 Ayat 1 tentang Pengadaan Sediaan Farmasi dan Alkes :

- Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi
yang baik.

3) PP 51 Tahun 2009 pasal 11 ayat 1 :

- Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud dalam pasal


7 ayat (2) harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.

4) Permenkes No. 1010 Tahun 2008 pasal 4 :

- Kriteria obat yang mendapatkan izin edar ialah memunhi khasiat, mutu, dan keamanan.
BIDANG PRODUKSI OBAT

Keputusan kepala BPOM No. HK 03. 1. 33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan
pedoman CPOB bahwa dalam industri farmasi harus memenuhi syarat cara pembuatan obat
yang baik.

Ada 3 komponen yang menjadi peran apoteker, yaitu :

1) Sebagai kepala bagian produksi

2) Sebagai kepala bagian pengawasan mutu

3) Sebagai kepala bagian pemastian mutu

TUGAS DAN PERAN APOTEKER DI BIDANG PRODUKSI

1) Sebagai kepala bagian produksi berdasarkan CPOB 2.5

- Memastikan bahwa obat diproduksi dan disimpan sesuai prosedur agar memnuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan
- Memberikan persetujuan petunjuk kerja yang terkait dengan produksi dan memastikan
bahwa petunjuk kerja (SOP) diterapkan dengan tepat
- Memastikan bahwa catatan produksi telah dievaluasi dan ditandatangani oleh kepala
bagian produksi sebelum diserahkan kepada kepala bagian manajemen/pemastian mutu
- Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian produksi
- Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan
- Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di
departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan

PRODUKSI OBAT TRADISIONAL

Apoteker yang bekerja di industry obat tradisional harus memenuhi persyaratan : PP No. 51
2009 bagian ke-3
 Peran apoteker dalam produksi obat tradisional

Ruang lingkup produksi obat tradisional, yaitu meliputi personalia, bangunan, peralatan,
sanitasi dan hygiene, pengolahan dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi diri,
dokumentasi dan penangan terhadap hasil pengamatan produk di peredaran (BPOM, 2011).

1. Pengadaan

suatu proses agar tetap tersedianya bahan baku obat atau bahan kemas produksi industri
farmasi. menurut Keputusan Kepala Badan [engawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor: HK.00.05.4.2411 terdapat 3 jenis obat bahan alam (obat tradisional), yaitu :
a. Jamu
b. Obat herbal terstandar
c. Fitofarmaka

TUGAS DAN FUNGSI APOTEKER DALAM PRODUKSI OBAT HERBAL

1) Sebagai penanggung jawab

2) Kepala bagian produksi

- Meliputi formulasi, sistem operasional produksi


- manajemen sumber daya yang digunakan,
- memastikan validasi sistem yang digunakan telah dikerjakan
- pelatihan awal dan beekesinambungan

3) Kepala bagian pengawasan mutu

- Sistem operasional produksi, menolak/menerima bahan awal


- Memantau pemeliharaan bangunan dan peralatan yang digunakan
- Memastikan validasi sistem yang digunakan telah dikerjakan
- Kepala bagian manajemen risiko mutu
- Memantau sistem mutu yang berjalan
- Memantau pemenuhan persyaratan OT yang baik
- Meluluskan/menolak produk jadi yang dihasilkan

Keempatnya bisa dijabat oleh 1 org tergantung besar industi dari obat tradisional itu sendiri dan
dalam industri kosmetik dan kecantikan, diperlukan minimal satu apoteker Beberapa peraturan
perundang-undangan yang membahas mengenai ini adalah:

1. UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yaitu pasal 108 ayat 2

2. PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, yaitu pasal 9 ayat

2 Keduanya berbunyi sebagai berikut :

- Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan


farmasi, dan lain-lain harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan sesuai perundang-undangan.

- Industry kosmetika harus memiliki minimal satu Apoteker sebagai penanggung jawab.
Izin Produksi Kosmetik

Izin Produksi Konsmetik diatur dalam Permenkes RI No. 1175 / MENKES/ PER/ VIII/ 2010
Tentang Izin Produksi Kosmetika, yaitu pada pasal 6,8, dan 9 ayat 1.

Izin produksi kosmetika diberikan sesuai bentuk dan jenis sediaan yang akan dibuat. Izin
produksi ini dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

 Golongan A :
Izin produksi kosmetik yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetik. Izin
produksi golongan A dapat diberikan dengan beberapa persyaratan sebagai berikut :

· Memiliki apoteker sebagai penanggung jawab,

· Memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat,

· Memiliki fasilitas laboratorium,

· Wajib menerapkan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB)

 Golongan B : Izin produksi kosmetik yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan
kosmetik tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana. Izin Golongan B dapat
diberikan dengan beberapa persyaratan, yaitu :

· Minimal tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung jawab,

· Memiliki fasilitas produksi sederhana sesuai produksi yang dibuat,

· Mampu menerapkan hygiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB.

Bagian produksi kosmetik

· UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pasal 7 ( d) dan


8. Undang- Undang ini menjamin mutu barang yang di produksi dan ketentuan
mengenai larangan barang yang diproduksi.

· Permenkes / RI No. 1175 / MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Izin Produksi


Kosmetika Pasal 16. peraturan ini menejlaskan bawah produk kosmetik tidak
boleh mengandung bahan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan.

· Kepmenkes RI No. 965 / MENKES/SK/XI/1992 Tentang CPKB. Peraturan


ini membahas mengenai ketentuan pengolagan dan pengemasan produk
kosmetik.

Tugas dari Kepala bagian produksi

- Mengatur perencanaan dan pengendalian produksi, memimpin dan mengarahkan


bawahan dalam semua pelaksanaan tugas pengolahan dan pengemasan

- Meningkatkan efektifivas dan efisiensi produksi


- Menjalin jejaring kerja dengan instansi pemerintah

- Mengevaluasi hasil kerja produksi, melakukan perbaikan secara berkesinambungan,


dan membuat laporan bulanan

- Melaksanakan proses pembuatan produk kosmetik yang memenuhi persyaratan mutu


yang telah ditetapkan, mulai dari penimbangan, pengolahan, pengemasan, sampai
pengiriman ke Gudang Produk Jadi.

- Ketersediaan Prosedur Operasional Baku (POB) di Bagian Produksi

- Memeriksa Catatan Pengolahan Bets dan Catatan Pengemasan Bets serta menjamin
semua tahapan sesuai dengan POB Pengolahan dan POB pengemasan.

- Peralatan dan mesin produksi tepat desain, tepat ukuran, digunakan secara benar dan
terjamin kebersihannya

- Kebersihan diseluruh daerah produksi

- Pengembalian dan pelatihan karyawan bawahannya

Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) Menurut Kepmenkes RI No. 965 /
MENKES/SK/XI/1992 Tentang CPKB

Tenaga kerja => Bangunan => Peralatan => Sanitasi dan Higiene => Pengolahan dan
Pengemasan => Pengawasan Mutu => Inspeksi Diri => Dokumentasi => Penanganan
terhadap hasil pengamatan produksi pada peredaran.
Unit Distribusi dan Penyaluran

PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan

Kefarmasian Pasal 14

Ayat 1 : setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus
memiliki seorang apoteker sebagai penanggung jawab
Ayat 2 : apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan atau tenaga teknis kefarmasian

Pasal 15 :

Menyatakan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 harus memenuhi ketentuan cara distribusi
yang baik dan ditetapkan oleh Menteri
Lanjutan UNID Distribusi dan Penyaluran PP no 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasiaan

Pasal 16
Ayat (1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.

Ayat (2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui
secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran
Sediaan Farmasi pada Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi wajib dicatat
oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Pasal 18
Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi
atau Penyaluran Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang distribusi atau penyaluran.

Rangkumannya :
● apoteker memiliki tanggung jawab penuh dalam pendistribusian obat sehingga
dituntut memiliki kemampuan untuk memanajemen pendistribusian tersebut sesuai
dengan CDOB
● Apoteker mampu menyusun dan menerapkan SOP dalam pendistribusian
sediaan farmasi dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
● Apoteker mampu dalam melakukan dokumentasi yang baik terhadap proses
pendistribusian sediaan farmasi

PP no 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes, beberapa pasal yang
mengatur :
Pasal 2
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 6
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan penyerahan
Pasal 7
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan upaya
pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pasal 8
(1) Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran harus
disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
(2) Setiap pengangkut sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran,
bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat
kesehatan
Pasal 15
(1) Penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh badan usaha
yang telah memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa bahan
obat, obat dan alat kesehatan;
Pasal 21
Setiap pengangkutan dalam rangka pemasukan dan pengeluaran sediaan farmasi dan alat
kesehatan ke dalam dan dari wilayah Indonesia dilaksanakan dengan memperhatikan upaya
pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan
Rangkumannya :
● apoteker harus memiliki keahlian dan kewenangan dalam mengatur mutu dan kualitas
sediaan farmasi berupa obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika, dan alkes.
Sesuai dengan buku standar dan ketetapan menteri
● apoteker menjadi penanggung jawab di fasilitas distribusi harus menetapkan SOP
sehingga dalam pelaksanaannya dapat memenuhi ketentuan cara distribusi obat yang
baik
● apoteker mampu melakukan dokumentasi proses distribusi sediaan farmasi dan
mempertanggungjawabkan pekerjaannya
● apoteker dalam melakukan pekerjaan proses distribusi sediaan farmasi harus memiliki
suatu badan usaha yang berlandaskan hukum dengan tetap memperhatikan kualitas
sediaan famasi

Permenkes Ri no 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang penyaluran ALAT KESEHATAN,


pasal yang berkaitan
Pasal 4
(1) Produk alat kesehatan yang beredar harus memenuhi standar dan/atau persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan.
(2) Standar dan/atau persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus sesuai dengan Farmakope Indonesia, Standar Nasional Indonesia,
Pedoman Penilaian Alat Kesehatan, atau standar lain yang diatur oleh Direktur Jenderal
Pasal 5
(1) Penyaluran alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh PAK, Cabang PAK, dan toko
alat kesehatan
Rangkumannya :
● apoteker mampu mengatur mutu, keamanan, dan kemanfaatan alat kesehatan sesuai
dengan Farmakope Indonesia, Standar Nasional Indonesia, Pedoman Penilaian Alat
Kesehatan, atau standar lain yang diatur oleh Direktur Jenderal

Permenkes RI no 30 tahun 2017 tentang perubahan kedua atas Peraturan PERMENKES no


1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang pedagang besar farmasi
● apoteker di PBF dan PBF cabang memiliki tugas utama dalam pengadaan,
penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi yang bermutu
● apoteker harus memastikan bahwa penyaluran sediaan farmasi yang dilakukan harus
melalui surat pemesanan yang diminta oleh apoteker penanggung jawab dengan
mencantumkan nomor SIPA
● apoteker di PBF cabang hanya dapat melakukan pengadaan dari PBF pusat dan
menjamin penyalurannya hanya terbatas di daerah provinsi bersangkutan kecuali
mendapatkan surat tugas dari PBF pusat sehingga PBF cabang dapat menyalurkan ke
daerah provinsi terdekat.

Peran Apoteker dalam Distribusi Sediaan Farmasi

● Di bidang distribusi atau penyaluran sediaan farmasi harus memiliki


penanggungjawab seorang apoteker. Apoteker bertanggungjawab menjaga kualitas
dan keamanan obat selama proses distribusi ataupun penyimpanan dengan
menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), sehingga mutu obat tidak
berkurang setelah sampai ditangan konsumen. Serta mampu melaksanakan promosi
dan penyampaian informasi kepada tenaga professional kesehatan lain.

PP 51 (2009) ACT
Pharmaceutical Services Unit

· Pharmaceutical services unit (Section 19)

- Pharmacy (apotek)

- Hospital pharmacy

- Puskesmas (government Clinic)

- Private clinic

- Drugstore

· Apothecary

- Pharmaceutical care (section 21, 22, 24)

- Clinical Pharmacy & Pharmacy Community

- Drug dispensing (Section 21 (1), 24 (c))

- Auditing of Rational use of drug and Pharmacoeconomy (section 24, 31)

 Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) atau Goad Pharmacy Practice adalah
cara untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian yang baik secara komprehensif,
berupa panduan yang berisi sejumlah standar bagi para Apoteker dalam dalam
menjalankan praktik profesinya di sarana pelayanan kefarmasian.
 Adapun Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) hendaknya memenuhi
persyaratan.
1. Apoteker mengutamakan seluruh aktifitasnya ditujukan bagi kesejahteraan pasien.
2. lnti aktivltas apoteker adalah penyediaan obat dan produk kesehatan lainnya untuk
3. menjamin khasiat, kualitas dan keamanannya, penyediaan dan pemberian informasi yang
memadai dan saran untuk pasien dan pemantauan terapi obat.
4. Seluruh aktifitas merupakan kesatuan bagian dari kontribusi apoteker yang berupa
promosi peresepan rasional dan ekonomis serta penggunaan obat yang tepat.
5. Sasaran setiap unsur pelayanan terdefinisi dengan jelas, cocok bagi pasien, terkomunikasi
dengan efektif bagi semua pihak yang terlibat
Untuk memenuhi persyaratan ini, diperlukan kondisi sebagai berikut:
1. Profesionalisme harus menjadi filosofi utama yang mendasari praktek, meskipun juga
disadari pentingnya faktor ekonomi.
2. Apoteker harus memiliki masukan cukup dan tepat dalam membuat keputusan tentang
penggunaan obat. Suatu sistem haruslah memungkinkan apoteker melaporkan kejadian
reaksi obat yang tidak diinginkan, kesalahan medikasi dan cacat dalam kualitas produk
atau pendeteksian produk palsu. Laporan ini juga termasuk informasi tentang obat yang
digunakan dan disiapkan untuk pasien, tenaga kesehatan profesional, baik langsung
maupun melalui apoteker.
3. Menjalin hubungan profesional terus menerus dengan tenaga kesehatan lainnya, yang
harus dapat dilihat sebagai kerjasama terapeutik yang saling percaya dan mempercayai
sebagai kolega dalam semua hal yang berkaitan dengan terapi yang menggunakan obat
(farmakoterapeutik).
4. Hubungan profesional diantara apoteker harus berupa hubungan kotegial untuk
menyempurnakan pelayanan farmasi dan bukan sebagai pesaing/kompetitor.
5. Organisasi praktek kelompok dan manajer apotek harus ikut bertanggung jawab untuk
pendefinisian, pengkajian, dan penyempurnaan kualitas.
6. Apoteker harus hati-hati terhadap penyediaan dan pemberian informasi medis esensial
dan farmaseutik bagi setiap pasien. Perolehan informasi ini akan lebih mudah jika pasien
memilih menggunakan hanya satu apotek atau jika tersedia profil pengobatan pasien.
Apoteker harus tidak memihak, komprehensif, obyektif dan dapat memberikan informasi
terkini tentang terapi dan penggunaan obat.
7. Apoteker dalam setiap prakteknya harus bertanggung jawab secara pribadi untuk menjaga
dan mengukur kompetensi pribadinya melalui praktek profesionalnya.
8. Program pendidikan profesi harus membekali calon apoteker agar dapat melaksanakan
praktik maupun mengantisipasi perubahan praktik farmasi di masa yang akan datang.
9. Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) harus ditetapkan dan dipatuhi
oleh praktisi.

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit

Tanggung jawab apoteker berdasarkan Standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit :

● MANAJERIAL

1. Manajemen SDM

2. Pengelolaan logistik

3. Administrasi (umum dan pelayanan)

4. Keterlibatan dalam komite

Tipe-tipe Rumah Sakit umum menurut Permenkes RI Nomor 56 Tahun


2014 berdasarkan pelayanannya:

1. Rumah Sakit Tipe A


2. Rumah Sakit Tipe B

3. Rumah Sakit Tipe C

4. Rumah Sakit Tipe D


Ruang lingkup Kerja Apoteker :

1. Kepala Instalasi Farmasi

2. Rawat jalan

3. Rawat inap

4. Instalasi gawat darurat

5. Ruang ICU

6. Koordinator Pengelolaan Perbekalan Farmasi

7. Koordinator produksi

● PROFESIONAL

Pelayanan Farmasi Klinik:

1. Pengkajian dan pelayanan resep

2. Penelusuran riwayat penggunaan obat

3. Rekonsiliasi obat

4. Pelayanan informasi obat (PIO)

5. Konseling

6. Visite

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

10. Dispensing sediaan steril

11. Pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD)

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2016 Tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas:

1. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai

2. Pelayanan Farmasi Klinik


3. Sumber Daya Kefarmasian

4. Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian

Tupoksi Apoteker di Puskesmas

Secara menyeluruh, tupoksi Apoteker di Puskesmas ada dua yaitu:

1. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai

2. Pelayanan Farmasi Klinik

Tupoksi Apoteker di Apotek/Komunitas

1. Profesional

Apoteker melakukan Asuhan Kefarmasian dengan menerapkan GPP ( Good Pharmaceutical


Practice)

Goals: Meningkatkan kualitas hidup pasien

2. Manajerial

Perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber

daya Goals: Efektif dan Efisien

3. Retailer

Menjual komoditi obat dan alat kesehatan

Goals: profit

Tupoksi Apoteker sebagai Profesional

Apoteker memiliki kemampuan dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian yang


bermutu dan efisien yang berasaskan pharmaceutical care di apotek.

Apoteker sebagai Profesional, meliputi:

· Pelayanan Resep

· Pelayanan Tanpa Resep

· Promosi dan Edukasi

· Pelayanan Residensial (Home Care)

Tupoksi Apoteker di Dinkes


· Perizinan

· Pembinaan dan Pengawasan

Misalnya pengawasan pelaksanaan PP 51 yang umumnya dilakukan di dinas kabupaten/kota

· Pelaporan

Kita bisa melaporkan pelaksanaan dari pelayanan kesehatan terutama pada pelaporan dari
obat narkotika dan psikotropika

· Pengelolaan perbekalan farmasi

Dinkes punya sistem tugas khusus terutama pada obat buffer stock untuk pelayanan
bencana kemudian obat kebutuhan puskesmas untuk kabupaten/kota.

Deputi bidang Pengawasan Obat (narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif)

1. Peraturan BPOM No. 26 Tahun 2017


“Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan”
Pasal 96
o “Penyusunan Kebijakan…”
o “pelaksanaan kebijakan…”
o “penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria…”
o “pelaksanaan evaluasi dan pelaporan…”
o “pemberian bimbingan teknik dan supervisi…”
“… di bidang pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar meliputi
standardisasi, registrasi, dan pengawasan produksi dan distribusi obat, bahan obat, narkotika,
psikotropika, prekursor dan zat adiktif”.
Pasal 97
o Direktorat Standardisasi Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan
Zat Adiktif
o Direktorat Registrasi Obat
o Direktorat Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
o Direktorat Pengawasan Distribusi dan Pelayanan Obat, Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor
o Direktorat Pengawasan Keamanan, Mutu, dan Ekspor Impor Obat, Narkotika,
Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif
Pasal
179
o “Penyusunan kebijakan…”
o “pelaksanaan kebijakan…”
o “penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria…”
o “pelaksanaan evaluasi dan pelaporan…”
o “pemberian bimbingan teknis dan supervisi…”
“… di bidang pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar meliputi
standarisasi, registrasi, pengawasan produksi dan pengawasan distribusi obat tradisional,
suplemen kesehatan, dan kosmetik”.
Pasal 180
o direktorat standardisasi obat tradisional, suplemen kesehatan dan kosmetik
o direktorat registrasi obat tradisional, suplemen kesehatan, dan kosmetik
o direktorat pengawasan obat tradisional dan suplemen kesehatan
o direktorat pengawasan kosmetik

Deputi bidang Pengawasan Pangan Olahan


Pasal 243
o “penyusunan kebijakan…”
o “pelaksanaan kebijakan…”
o “penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria…”
o “Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan…”
o “pemberian bimbingan teknis dan supervisi…”
“… di bidang pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar, meliputi
standardisasi, registrasi, pengawasan produksi, dan pengawasan distribusi pangan olahan”.
Pasal 244
o direktorat standardisasi pangan olahan
o direktorat registrasi pangan olahan
o direktorat pengawasan pangan risiko rendah dan sedang
o direktorat pengawasan pangan risiko tinggi dan teknologi baru
o direktorat pemberdayaan masyarakat dan pelaku usaha
Pasal
322
o “penyusunan kebijakan…”
o “pelaksanaan kebijakan…”
o “penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria…”
o “Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan…”
“… penindakan meliputi cegah tangkal, intelijen, dan penyidikan terhadap pelanggaran
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan”

Deputi Bidang Penindakan


Pasal 323
o Direktorat Pengamanan
o Direktorat Intelijen Obat dan Makanan
o Direktorat Penyidikan Obat dan Makanan

Struktur Organisasi BPOM


Peraturan BPOM No. 12 Tahun
2018
“Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat
dan Makanan”. Pasal 6
RESUME DISKUSI

a. Mengapa Apoteker bisa memiliki 3 SIPA?


Jawaban: ujung tombak market adalah apoteker atau asuhan kefarmasian. Namun, pada
kenyataannya, ada beberapa apoteker yang tidak menjalankan tugasnya. Banyak yang
menyebut sepeti “apoteker dewa” yang tetap mendapatkan gajinya tetapi tidak bekerja
dengan baik.
b. Apakah mungkin apoteker memegang tanggung jawab sekaligus?
Jawaban: Tergantung kondisinya dan besar industrinya.
c. Apakah maksud dari private clinic?
Jawaban:
Public clinic: dimiliki oleh pemerintah
Private clinic: klinik yang tidak dipegang oleh pemerintah
d. Mengapa dibutuhkan Apoteker dalam pendistribusian obat?
Pada saat pendistribusian obat, harus ada apoteker agar dalam pengawasan obat-obatan
sehingga tidak mengalami kerusakan dan harus sesuai dengan good distribution
practice. Apabila tidak terdapat apoteker dalam pendistribusian obat, maka obat dapat
datang ke tangan konsumen dengan kualitas dan mutu yang berbeda karena adanya
kesalahan dalam perlakuan obat.
e. Maksud dari kepastian hukum dari video yang dijelaskan?
Apabila ada sesuatu peristiwa harus ada dasar hukumnya
DAFTAR PUSTAKA

Ajeng, Galih dan Muhamad, Syaripuddin. (2019). Peranan Apoteker dalam Pelayanan
Kefarmasian pada Penderita Hipertensi. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 15(1),
10-13.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

Anda mungkin juga menyukai