2022
LEMBAR PENGESAHAN
Makalah berjudul :
Dosen Pembimbing
Nurul Aini.M.Kes
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul
“Pengaruh Fertilitas Terhadap Kesehatan Reproduksi”. Dalam penyusunan
makalah ini, kami mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
Tim Penyusun,
2
DAFTAR ISI
3
BAB 1 PENDAHULUAN
4
4. Bagaimana pengaruh fertilitas terhadap kesejahteraan masyarakat?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi fertilitas
2. Untuk mengetahui hubungan fertilitas dengan kependudukan
3. Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi fertilitas
4. Untuk mengetahui pengaruh fertilita terhadap kesejahteraan masyarakat
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
6
ini karena kelahiran melibatkan dua orang (suami dan istri), sedangkan
kematian hanya melibatkan satu orang saja (orang yang meninggal).
Seseorang yang meninggal pada hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu
orang tersebut tidak mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya, seorang
wanita yang telah melahirkan seorang anak, tidak berarti resiko melahirkan
dari wanita tersebut menurun. (Haris R, 2020)
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang
nyata dari seseorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain
fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Fekunditas,
sebaliknya, merupakan potensi fisik untuk melahirkan anak. Jadi merupakan
lawan arti kata sterilitas. Natalitas mempunyai arti sama dengan fertilitas
hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas mencakup peranan kelahiran pada
perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada
perubahan penduduk dan reproduksi manusia. Istilah fertilitias sering disebut
dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang
wanita dengan adanya tanda-tanda kehidupan, seperti bernapas, berteriak,
bergerak, jantung berdenyut dan lain sebagainya. Sedangkan paritas
merupakan jumlah anak yang telah dipunyai oleh wanita. Apabila waktu lahir
tidak ada tanda-tanda kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still live)
yang di dalam demografi tidak dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
(Haris R, 2020)
7
menyatakan pertumbuhan penduduk meningkat karena tingginya jumlah
kelahiran. Upaya untuk menekan pesatnya pertumbuhan penduduk dapat
dilakukan dengan mengurangi jumlah keahiran. Jumlah kelahiran dapat di
turunkan melalui penundaan usia perkawinan dan pembatasan jumlah anak
dalam keluarga. (Hidayatul, 2019)
Penelitian Burhan (2008), menyatakan pengendalian pertumbuhan
penduduk dapat dilakukan melalui upaya penurunan fertilitas. Menurunnya
tingkat fertilitas berdampak pada penurunan angka laju pertumbuhan
penduduk. Hasil penelitian Sunaryanto (2012) juga menunjukkan bahwa
pembatasan jumlah kelahiran secara berkala mampu menurunkan laju
pertumbuhan penduduk.
Hasil dari keempat penelitian diatas dapat dapat diambil kesimpulan
bahwa fertilitas berhubungan dengan laju pertumbuhan penduduk.
Pembatasan terhadap fertilitas merupakan salah satu upaya penurunan laju
pertumbuhan penduduk. Namun, pembatasan yang berlebihan terhadap
fertilitas dapat mengakibatkan rendahnya laju pertumbuhan penduduk.
(Hidayatul, 2019)
8
1. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan perubahan sikap, prilaku,
pandangan, dan status sosial ekonomi suatu masyarakat.Tingkat
pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas,
dimana tingkat pendidikan merupakan salah satu pendorong tingkat
kesejahteraan masyarakat dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Jika waktu yang di tempuh wanita panjang untuk
menyelesaikan pendidikannya akan menyebabkan perkawinan tertunda
dan membuka pilihan antara bekerja dan membesarkan anak. Pendidikan
yang lebih tinggi berarti kehidupan ekonomi yang lebih terjamin, dan ini
biasanya tingkat fertilitas dalam suatu keluarga juga tergolong rendah.
Pendidikan diharapkan dapat menjadi sarana yang baik dalam
menerapkan kebijakan dalam pemerataan pembangunan. Semakin
meratanya tingkat pendidikan di setiap daerah dan strata sosial
memungkinkan masalah kesenjangan sosial dapat diatasi. Masyarakat
yang miskin menjadi cerdas akan dapat maju atau berkembang jika mereka
memiliki akses terhadap pendidikan (pendidikan yang baik), sama dengan
akses yang dimiliki oleh masyarakat yang kaya yang cerdas pula .
Wanita yang memperoleh kesempatan pendidikan tidak hanya di
daerah perkotaan saja, namun juga dialami wanita di daerah pedesaan.
Wanita yang tingkat pendidikannya lebih tinggi umumnya umur
perkawinan pertama juga tinggi dan pada akhirnya akan mempengaruhi
jumlah anak yang dilahirkan yang akan lebih sedikit.
Pendidikan sebagai variabel sosial dan ekonomi akan berpengaruh
secara tidak langsung terhadap fertilitas. Bagi seorang wanita semakin
tinggi pendidikan yang ditempuhnya akan semakin mengurangi masa
reproduksi yang akan dilaluinya dan semakin tinggi umur dalam
menempuh usia kawin pertamanya. Hal ini menyebabkan akan semakin
kecil kemampuan fekunditas dari seorang wanita untuk melahirkan.
Sebaliknya apabila tingkat pendidikan rendah akan mendorong seorang
wanita untuk memulai usia kawin pertamanya dalam usia yang masih
sangat muda, hal ini pada gilirannya akan menyebabkan masa reproduksi
9
yang dilaluinya semakin panjang dan akan semakin tinggi masa fekunditas
dan fertilitas yang dapat dilaluinya.(Lennaria, 2017)
2. Usia Kawin Pertama
Menurut Lennaria (2017) usia kawin pertama adalah usia ketika
seseorang memulai atau melangsungkan pernikahan (perkawinan
pertama), wanita yang menikah pada usia muda mempunyai waktu yang
lebih panjang berisiko untuk hamil dan angka kelahiran juga lebih tinggi.
Masalah pernikahan merupakan salah satu bagian dari masalah
kependudukan yang perlu diberi perhatian khusus, karena nantinya
pernikahan dapat menimbulkan masalah baru dibidang kependudukan
yang nantinya dapat menghambat pembangunan. Usia kawin pertama
merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi tingkat produktifitas pada
Pasangan Usia Subur (PUS).
Usia kawin pertama nantinya akan memberikan sumbangan terhadap
angka kelahiran. Rata-rata umur penduduk saat menikah pertama kali serta
lamanya seseorang dalam status perkawinan akan mempengaruhi tinggi
rendahnya fertilitas. Menjadi di usia dini menjadi perhatian penentuan
kebijakan serta perencana program karena beresiko tinggi terhadap
kegagalan perkawinan, kehamilan usia muda yang beresiko kematian,
serta resiko tidak siap mental untuk membina perkawinan dan menjadi
orang tua yang bertanggung jawab. Umur pada saat perkawinan pertama
dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi wanita. Seorang wanita
cenderung akan mempunyai resiko yang semakin lebih besar ketika
melahirkan, bahkan tidak jarang menimbulkan kematian pada ibu atau
bayi yang dilahirkan bila umur perkawinan pertama semakin muda.
10
memiliki rumah merupakan aset yang sangat berharga karena harganya
yang mahal. Tumbuhnya komplek perumahan mewah disamping menjadi
simbol kemapanan sekaligus menjadi pembeda status sosial dan tidak
jarang menjadi sumber konflik antar klas social. Pada dasarnya masalah
yang akan dihadapi setelahnya, setiap penambahan jumlah anak pada
keluarga akan membutuhkan tempat tinggal yang lebih besar lagi. Di
Indonesia yang memiliki jumlah penduduk banyak, dipastikan
membutuhkan tempat tinggal untuk memenuhi kebutuhan papannya,
sehingga banyak lahan dijadikan tempat tinggal atau perumahan. Dmapak
dari lahan yang berkurang akan timbul masalah baru. (Heri S, 2015)
2. Dampak Terhadap Nilai Anak
Studi perilaku fertilitas penduduk menampilkan dua mainstream besar
terkait dengan ekpektasi terhadap jumlah anak yang diinginkan dalam
keluarga dimana ekspektasi ini terkait dengan pemaknaan anak bagi
kepentingan dan kebutuhan keluarga yang sering disebut dengan nilai anak
(value of children). Nilai anak memiliki dimensi pemaknaan yang luas
baik secara sosial, budaya maupun ekonomi. Secara sosio-kultural anak
dapat dimaknai sebagai, penerus keturunan, aset, jaminan masa depan,
harapan perubahan nasib dan pembantu ekonomi keluarga. Pemaknaan
terhadap anak bagi keluarga inilah menjadi faktor terpenting terkait
dengan dampak fertilitas terhadap kondisi keluarga. (Heri S, 2015)
Secara makro ada dua sudut pandang melihat nilai anak, satu sisi
melihat anak sebagai beban keluarga sedang pandangan yang lain melihat
anak sebagai aset keluarga. Kedua pandangan ini sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai sosial-budaya yang diapresiasi seseorang melalui proses
sosialisasi yang dialami. Dengan mempertimbangkan aspek sosio-kultural,
maka apakah anak menjadi beban atau aset menjadi sisi obyektif-subyektif
si individu dan tentu saja menjadi sesuatu yang relatif yang tidah mudah
untuk dijelaskan. Masalah seperti ini juga sama persis dengan apa yang
dijelaskan oleh Adioetomo (2010) merujuk pada berbagai studi di
Indonesia tentang besar atau kecilnya jumlah anak bagi keluarga dan
jumlah anak yang dianggap ideal dalam suatu keluarga. Dari berbagai
11
studi di Jawa menunjukkan bahwa masing-masing daerah memiliki
persepsi yang berbeda berkaitan dengan berapa anak dalam keluarga
disebut banyak atau sedikit demikian juga terhadap jumlah ideal anak
dalam keluarga. Ada individu yang mengatakan 6 orang sedikit tapi juga
ada yang mengatakan 6 orang termasuk banyak. Sedangkan jumlah ideal
anak dalam keluarga dapat disimpulkan antara 4-6 anak. (Heri S, 2015)
Artinya, setiap individu memiliki sudut pandang yang bisa saja
berbeda dari mulai aspek psikologis, sosiologis dan ekonomi. Apa yang
dikatakan beban bagi seseorang belum tentu dirasakan menjadi beban bagi
individu yang lainnya karena beda cara menilainya.
Fenomena ini kontradiksi dengan teori yang dibangun oleh beberapa
pakar, sebut saja Todaro (2003) bahwa hubungan pendapatan dengan
upaya keluarga memenuhi kebutuhan anak merupakan hubungan yang
sangat kuat sebagaimana dijelaskan dalam teori mikro ekonomi fertilitas
rumah tangga. Secara ringkas teori ini mejelaskan bahwa jumlah anak
yang diinginkan akan dipengaruhi secara langsung oleh pendapatan
keluarga. Karena secara ekonomi jumlah anak berhubungan dengan beban
yang harus ditanggung keluarga. Artinya semakin tinggi pendapatan
keluarga, akan semakin besar pula permintaan akan anak. (Heri S, 2015)
3. Dampak Terhadap Pemenuhan Makan
Pemenuhan keluarga dalam mencukupi kebutuhan pangan (beras) telah
dijadikan salah satu indikator apakah keluarga tersebut tergolong miskin
atau tidak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebutuhan
pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic needs). Secara
teoritik bahwa jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga juga
mempengaruhi pola konsumsi. Hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun
1989 membuktikan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga
semakin besar proporsi pengeluaran keluarga untuk makanan dari pada
untuk bukan makanan. Ini berarti semakin kecil jumlah anggota keluarga,
semakin kecil pula bagian pendapatan untuk kebutuhan makanan
(Sumarwan, 1993). Selebihnya, keluarga akan mengalokasikan sisa
pendapatannya untuk konsumsi bukan makanan. Dengan demikian,
12
keluarga dengan jumlah anggota sedikit relatif lebih sejahtera dari
keluarga dengan jumlah anggota besar. Oleh karena itu sering dikaitkan
antara besarnya jumlah keluarga dan tingkat kemiskinan. (Heri S, 2015)
Seperti BPS mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk
memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan
makanan maupun nonmakanan. Dari sisi makanan, BPS menggunakan
indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun
1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari (Todaro dan Smith, 2003).
Sedangkan menurut Menteri Pertanian Yuswono menggunakan tingkat
konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan.
Menurut Yuswono bahwa kebutuhan konsumsi beras untuk setiap orang
per hari sebesar 275 gram. Hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan
oleh Prof. Sumarno (2006) dari Puslitbang Tanaman Pangan yang
menjelaskan bahwa konsumsi beras untuk setiap orang sekitar 370 gram.
Dengan menggunakan kedua pendapat di atas, maka kebutuhan konsusmsi
beras setiap orang dalam satu minggu (7 hari) berkisar antara 1,9 Kg
sampai 2,5 Kg beras.
Dengan menggunakan standar konsumsi beras tersebut, maka
kebutuhan beras setiap bulan akan berbeda antar keluarga tergantung
dengan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan keluarga.
Keluarga dengan jumlah anak banyak secara otomatis akan mengkonsumsi
beras lebih banyak. Berangkat dari asumsi seperti inilah maka fertilitas
mempunyai dampak yang signifikan terhadap upaya pemenuhan konsumsi
beras bagi keluarga. (Heri S, 2015)
4. Dampak terhadap Pendidikan
Layaknya kesehatan, pendidikan menjadi salah satu parameter Indek
Pembangunan Manusia (IPM). Dan sebagaimana diketahui bahwa menurut
UNDP, IPM Indonesia mengalami penurunan dari rangking 108 pada 2009
menjadi rangking ke 124 pada 2011 yang lalu. Dan Ironisnya, dari hasil
Sensus Penduduk 2010, rata-rata penduduk Indonesia lama sekolahnya
hanya 6,2 tahun artinya hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Padahal target
13
Grand Design Pembangunan berwawasan kependudukan sekitar 11, 8
tahun atau lulus sekolah menengah.
Meskipun pemerintah melalui berbagai kebijakan untuk selalu
meningkatkan partisipasi sekolah fakta di lapangan tidak selalu sesuai
yang diharapkan. Upaya peningkatan partisipasi sekolah menjadi
permasalahan strategis bagi Indonesia untuk meningkatkan mutu kualitas
sumberdaya manusia (IPM). Dari berbagai kajian banyak faktor yang
menyebabkan anak putus sekolah, mulai dari diri si anak, kondisi ekonomi
keluarga, pendidikan orang tua, persepsi masyarakat terhadap pendidikan
dan lingkungan sosial dimana anak tinggal. Kondisi ekonomi keluarga
dikaitkan dengan jumlah anak yang dimiliki keluarga menjadi faktor yang
sering menyebabkan anak putus sekolah. (Heri S, 2015)
14
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kami sangat mengharapkan agar makalah ini dapat memberikan
pengetahuan bagi pembaca terutama mahasiswa tentang
fertilitas,hubungan fertilitas dan kependudukan serta fakor-faktor
yang mempengaruhi fertilitas penduduk serta pengaruh fertilitas
terhadap kesejahteraan masyarakat
2. Dalam penelitian Hidayatul Aini (2019) menunjukkan bahwa
fertilitas memiliki hubungan yang signifikan dengan laju
pertumbuhan pendududuk. Nilai korelasi fertilitas dengan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 0,67. Artinya fertilitas dengan laju
pertumbuhan penduduk memiliki hubungan yang kuat. Sesuai
dengan teori transisi demografi (dalam Ryadi, 2016), yang
menyatakan bahwa perubahan keadaan pertumbuhan penduduk
dipengaruhi oleh kondisi tingkat tingkat kelahiran dan kematian.
3. Menurut Ida Bagoes Mantra (2014), Faktor-faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya fertilitas dapat dibagi menjadi dua
yaitu faktor demografi dan faktor non demografi adalah Faktor
Demografi dan Faktor Non Demografi. Selain itu menurut Lennaria
(2017) dalam penelitiannya terdapat factor yang mempengaruhi
fertilitas, yaitu Tingkat Pendidikan dan Usia Kawin Pertama
4. Pengaruh Fertilitas terhadap Kesejahteraan Masyarakat adalah
Dampak Terhadap Tempat Tinggal, Dampak Terhadap Nilai Anak,
Dampak Terhadap Pemenuhan Makan,dan Dampak terhadap
Pendidikan
3.2 Saran
Kami sangat mengharapkan agar makalah ini dapat memberikan
pengetahuan bagi pembaca terutama mahasiswa tentang
fertilitas,hubungan fertilitas dan kependudukan serta fakor-faktor yang
mempengaruhi fertilitas penduduk serta pengaruh fertilitas terhadap
kesejahteraan masyarakat
15
DAFTAR PUSTAKA
16