Nim : 21201088 Kelas : PAI C Tugas : Meresume Pancasila Pertemuan Ke-12
RELASI AGAMA DAN PANCASILA
Wilayah strategis yang dimiliki Indonesia, memudahkan agama-agama di dunia masuk dan berkembang di Indonesia. Sejak abad ke-2 s/d abad ke-21 Masehi, Indonesia telah mengakui keberadaan 6 agama yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Agama-agama tersebut memiliki latar belakang dan dinamika sejarahnya masing-masing. Namun, sebagian besar memiliki kesamaan ciri utamanya tentang hadirnya kaum pedagang dengan misi perdagangan, sekaligus rentang perbedaan waktu kelahiran, wilayah sebaran, model dan strategi pengembangan. Agama Pra-Kolonial Sebelum kedatangan orang Eropa ke Indonesia, para pemeluk agama di berbagai bagian di Nusantara tidaklah banyak. Tetapi dari bukti yang ada menunjukkan bahwa kerajaan- kerajaan di Nusantara, cenderung memperlihatkan corak pemerintahan agama. Pola pemerintahan semacam itu, biasanya pemelukan suatu agama oleh raja akan diikuti oleh rakyat dari kerajaan tersebut, serta diperlukan seperangkat organisasi pemerintahan yang mengelola masalah keagamaan. Pola pemerintahan agama berbagai kerajaan di Nusantara, antara lain: pada kerajaan Hindu Kutai di Kalimantan, Kasta Brahmana (agamawan) menempati posisi penting dalam kerajaan, kerajaan Sriwijaya, para rajanya sebagai pelindung agama Budha, dan memberi perhatian khusus pada penyebaran agama melalui lembaga pendidikan, kerajaan Hindu Majapahit menempatkan para pemuka agama pada posisi yang tinggi. Raja Majapahit menempatkan dirinya sejajar dengan para dewata. Para raja yang memeluk Islam umumnya bergelar Sultan, dalam diri Sultan tergabung dua fungsi yaitu sebagai penguasa sekaligus ahli agama. Para raja yang memeluk Islam umumnya bergelar Sultan, dalam diri Sultan tergabung dua fungsi yaitu sebagai penguasa sekaligus ahli agama. Raja sekaligus agamawan tampak pada Sunan Giri, sehingga penguasa Pajang meminta gelar Sultan kepadanya. Penguasa Cirebon Panembahan Ratu disebut sebagai Susuhunan yang dipercayai memiliki kekeramatan. Pada kerajaan Samudera Pasai Aceh, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al- Sumatrani, dan Nuruddin Ar-Raniri pernah menduduki jabatan syekh Islam, jabatan tinggi di bawah Sultan. Sultan-sultan Mataram selalu menambah gelar dengan Susuhunan, Sultan Agung Mataram selain bergelar Prabu Anyakrakusun juga bergelar Susuhunan Ing alaga Mataram. Tradisi pengelolaan agama di tingkat pemerintahan terus bertahan sejalan dengan timbul tenggelamnya kerajaan-kerajaan Islam, khususnya di Jawa yaitu Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Sultan Mataram berfungsi sebagai Sayidin Panatagama dilakukan melalui sebuah lembaga yang dipimpin oleh Penghulu Agung. Agama Pada Masa Kolonial Penyatuan kekuasaan politik dan agama pada kerajaan di Jawa khususnya Mataram, bukan hanya terjadi di tingkat pusat melainkan juga di tingkat bawah. Kedatangan orang Eropa tidak dengan sendirinya mengubah pola hubungan kekuasaan politik dan agama, justru penghulu institusi yang berkembang di masa penjajahan. Penghulu adalah seorang ahli agama Islam yang diangkat oleh pemerintah untuk secara terbatas melaksanakan ketentuan agama di tengah masyarakat. Misalnya mengawasi pernikahan dan pembagian warisan. Politik Hindia Belanda adalah sekuler dengan alasan menjamin kebebasan warganya untuk memeluk agamanya masing-masing. Tetapi Belanda mengatur bidang agama untuk keamanan dan ketertiban rakyat. Kebijakan Belanda dalam mengelola agama: “Pemerintah menjamin kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah di rumah sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum, ibadah di luar rumah harus izin. Golongan Nasrani dijamin hak hidup dan kedaulatan organisasi dan gereja, tetapi pendeta dan guru agama dalam melakukan pekerjaan di suatu daerah tertentu harus izin. Penduduk pribumi yang tidak beragama Nasrani urusan agama diserahkan kepada raja, bupati dan kepala bumiputra lainnya. Pelajaran agama tidak diberikan di sekolah pemerintah, penjabarannya diatur dalam Ordonantie 1905, kemudian diubah dengan Guru Ordonantie yang mengharuskan guru agama meminta izin dalam memberikan pelajaran agama”. Institusionalisasi Agama Pasca Kolonial Pada masa Belanda urusan agama ditangani berbagai instansi atau kementerian, pada masa kemerdekaan secara resmi diurus oleh Departemen Agama. Departemen Agama (awalnya bernama Kementerian Agama) didirikan 3 Januari 1946 . Dasar hukum pendirian adalah Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor I/SD tertanggal 3 Januari 1946. Muhammad Yamin adalah orang pertama yang mengusulkan dalam sidang BPUPKI agar pemerintah RI membentuk kementerian Islamiyah yang memberi jaminan kepada umat Islam dalam menjalankan agama. Tetapi dalam sidang PPKI usulan tersebut ditolak oleh sebagian besar tokoh penting Republik Indonesia. Hanya 6 orang dari 27 anggota PPKI yang setuju didirikannya Kementerian Agama. Usulan tersebut kembali dikemukakan pada sidang pleno BP-KNIP tanggal 25-28 November 1945 bertempat di Fakultas Kedokteran UI Salemba. Dalam usulan tersebut banyak mendapatkan dukungan dari para tokoh Islam, tanpa pemungutan suara presiden Soekarno memberi isyarat kepada Moh. Hatta, dan kemudian menyatakan bahwa Kementerian Agama sendiri mendapat perhatian dari pemerintah. Realisasi janji tersebut, pada 3 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan ketetapan No. I/S.D yang berbunyi: “Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama”. Keputusan dan penetapan pemerintah ini diumumkan di RRI ke seluruh dunia, dengan H. Rasjidi, BA., sebagai Menteri Agama yang pertama. Hubungan Antar Agama Di Indonesia Kendati pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Seperti pada masa ORBA, presiden Soeharto mengeluarkan perundang-undangan yang terasa anti Tionghoa. Presiden membatasi apa pun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, hasilnya Budha dan Konghucu diasingkan. Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet. Pada awal 1990, isi Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah menjadi dua kelompok nasionalis dan Islam. Golongan Islam dipimpin oleh Jenderal Prabowo berpihak pada Islamisasi, sedangkan Jenderal Wiranto dari nasionalis berpegang pada negara sekuler. Pada masa era Soeharto program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan setelah diaktifkan oleh Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik dan dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura yang beragama Islam ke wilayah non-Muslim. Hal ini telah menjadi pendorong konflik antar agama seperti di Poso tahun 2005 yang lalu. Kerja sama pemerintah yang diwakili Kementerian Luar Negari dan NU yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional yang membawa ajaran Islam moderat, menjalankan program “kerja sama antar agama”. Pada 6 Desember 2004 dibuka Konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”. Peristiwa PKI mengharuskan warga negara membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Terjadilah perpindahan agama secara massal. Karena Tionghoa bukan status pengenal, maka mereka pindah agama ke Kristen Katolik dan Protestan serta Budha. Relasi Agama dan Pancasila Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara agama dan negara, antara lain: Paradigma Integralistik adalah teori integralistik dapat dipahami sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri dari berbagai entitas yang saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu. Antara negara dan agama menyatu (integrated), negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan. Kepala Negara adalah pemegang kekuasaan agama dan politik, pemerintahannya diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi”. Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm) dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan. Negara dan agama saling memerlukan. Karena simbiotik maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam hal tertentu hukum agama digunakan sebagai hukum negara. Terkait paradigma ini, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa negara agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat tersebut melegitimasi bahwa konstitusi yang berlaku tidak saja berasal dari social contract, tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama. Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm) Paradigma ini menolak kedua paradigma sebelumnya, paradigma ini mengajarkan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Negara dan agama dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain mempunyai garapan bidangnya masing-masing dan tidak boleh intervensi. Hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum agama. Paradigma ini memunculkan negara sekuler yang mana negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, sedangkan agama adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan Negara dan Agama Menurut Pancasila Negara Indonesia telah dibangun dengan cita ideal yang menempatkan agama dalam posisi yang istimewa, dan sangat mempengaruhi kebijakan negara, bahkan agama masuk dalam ranah negara. Hal itu sangat berbeda dengan negara yang menganut prinsip sekularisme. Bangunan negara yang diidealkan itu adalah bangunan negara yang didasarkan pada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana terekam dalam rumusan pancasila bahwa seluruh nilai-nilai pancasila tidak ada yang bertentangan dengan agama, baik dalam tataran konsep, dasar filosofis maupun landasan konstitusional memiliki dasar legitimasi maupun konstitusional untuk diberlakukan dalam tata hukum Indonesia. Lebih dari itu, hukum dalam agama sangat berpengaruh terhadap tata hukum nasional menjadi sumber utama dan terpenting dalam pembentukan hukum nasional, disamping bersumber dari hukum Barat, hukum Adat, perjanjian Internasional maupun pengaruh sistem hukum lain yang berkembang di dunia.