Anda di halaman 1dari 3

Transformasi menuju Akuntansi Hijau

Transformasi menuju Akuntansi Hijau dirasakan kian mendesak di Indonesiakarena negeri ini juga
sedang menghadapi fenomena pemanasan global, perubahaniklim, kerusakan dan bencana lingkungan,
krisis energi dan krisis sosial yang makinserius. Hal ini penting karena akuntansi juga dituding turut
memicu dan memacuterjadinya kompleksitas krisis tersebut. Alasannya, karena informasi akuntansi
keuanganyang dihasilkan dalam proses akuntansi selama ini dinilai tidak menyajikan informasiakuntansi
sosial dan lingkungan yang memadai dan akurat, dan bahkan cenderung salahkaprah. Akibatnya, selain
menyesatkan para pihak dalam penilaian dan pengambilankeputusan, ketiadaan informasi akuntansi
sosial dan lingkungan tersebut juga telahmenyebabkan para pihak stakeholder berperilaku serakah dan
tamak dalammemaksimalkan nilai laba dan ekuitas pemilik serta aset mereka. Merekamengeksploitasi
sumberdaya alam dan merusak lingkungan serta mengekploitasisumberdaya ekonomi masyarakat
secara serakah dan tamak demi mewujudkan hasratekonomi mereka. Akuntansi konvensional juga
dinilai telah gagal dalammengembangkan rerangka konseptuadan standar akuntansi hijau untuk
mendasaripraktik akuntansi dan tatakelola keuangan yang etis dan ramah lingkungan (Lako Selain itu,
reformasi dan tranformasi akuntansi konservatif menuju AkuntansiHijau juga kian penting dan
mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir kepeduliandari pemerintah untuk mengaplikasikan
konsep Ekonomi Hijau (

Green Economy ) dalammodel Pembangunan Berkelanjutan nasional makin serius. Demikian pula
kepeduliandunia bisnis terhadap gerakan “tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
socialresponsibility/CSR yang bersifat sukarela, tanggung jawab sosial dan lingkunganperseroan (TJSLP)
yang bersifat wajib, dan bisnis hijau (green business) serta tatakelolakorporasi hijau juga makin
meningkat.Meningkatnya kesadaran dan kepedulian tersebut tentu saja membawakonsekuensi serius
bagi entitas korporasi berupa pengorbanan sumberdaya ekonomik(aset) dan daya-upaya (efforts) untuk
melaksanakannya. Selama ini, secara akuntansipengorbanan sumberdaya ekonomi (costs) dan daya-
upaya (efforts) untukmelaksanakan CSR, TJSLP,green business, green corporation dangreen governance
umumnya diperlakukan sebagai beban atau biaya periodik (expenseL) yang mengurangiaset dan laba
serta nilai ekuitas pemilik. Itu sebabnya, banyak pelaku usaha yang telahmelaksanakan CSR dan
menerapkan prinsip-prinsipgreen business dalam tatakelolakorporasi dan praktik bisnisnya meminta
insentif pajak dan kompensasi lainnya daripemerintah.Namun di sisi lain, perlakuan akuntansi tersebut
menimbulkan beragamkomplikasi permasalahan yang serius bagi negara dan masyarakat konsumen.
Karenadiperlakukan sebagai biaya periodik yang mengurangi laba maka pajak penghasilanbadan (PPh
Badan) yang dibayarkan korporasi kepada negara menjadi jauh lebih rendah.Saya mencermati, banyak
korporasi secara agresif menggunakan pendekatan CSR,TJSLP dangreen business sebagai strategi untuk
penghindaran pajak (tax avoidance).Selain itu, biaya-biaya untuk melaksanakan CSR, TJSLP dan inigreen
business padaakhirnya juga diperhitungkan dalam komponen penentuan harga jual produk atau
jasa( pricing strategy ) yang akan dibebankan kepada masyarakat pembeli atau konsumen.Jadi,
masyarakat konsumenlah yang sesungguhnya menanggung biaya CSR, TJSLPdangreen

)sehingga memudahkan akses bisnis, investasi dan kredit. Juga meningkatkan reputasidan nama baik
perusahaan serta apresiasi para stakeholder sehingga meningkatkanpangsa pasar, penjualan,
pendapatan dan nilai perusahaan.Pada akhirnya, semua manfaat ekonomi dan nonekonomi tersebut
akanmeningkatkan pendapatan, laba, ekuitas dan aset, meningkatkan harga saham dan nilaipasar
perusahaan, serta mendorong pertumbuhan bisnis dan keberlanjutan korporasidalam jangka panjang.
Singkatnya, perusahaan atau entitas korporasi sesungguhnyamendapat manfaat berlipat ganda dari
pengorbanan sumberdaya

Dalam tiga dekade terakhir, masyarakat global dihadapkan pada dua kondisi dilematis dalam
membangun tata dunia baru. Di satu sisi, muncul berbagai inisiatif politik dan gerakan global dari para
pemimpin negara, korporasi dan masyarakat dunia untuk membangun kolaborasi global dalam rangka
mengintegrasikan berbagai kepentingan politik, ekonomi, perdagangan, keamanan dan lainnya ke dalam
satu visi, misi dan tujuan yang sama dalam upaya membangun tata dunia baru yang lebih aman, damai
dan sejahtera. Namun di sisi lain, dunia juga dihadapkan pada realitas yang mengkuatirkan, yaitu bumi
tempat dimana manusia berada dan membangun peradaban kehidupan sedang mengalami multikrisis
yang serius. Bumi sedang mengalami "sakit parah" akibat perbuatan manusia. Perilaku hidup manusia
yang tidak ramah lingkungan telah menyebabkan pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan
lingkungan yang parah sehingga menimbulkan berbagai bencana lingkungan dan sosial yang serius pula.
Karena itu, muncul pula berbagai agenda aksi global untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan
semesta alam agar tetap sehat dan lestari. Apa pemicu dan pemacu bumi sakit serius? Berbagai hasil
analisis menunjukkan faktor penyebabnya sangat kompleks. Kapitalisme, industrialisasi, ketidakadilan,
kemiskinan, konsumerisme, perdagangan bebas, transformasi produksi, perkembangan teknologi,
ketamakan, dan transformasi peradaban kehidupan manusia dituding menjadi faktor penyebabnya
(Gore, 2013). Akuntansi dan para akuntan pun dituding turut berkontribusi terhadap sakitnya bumi dan
terjadinya multikrisis lingkungan selama ini (Maunders dan Burritt, 1991; Gray dan Bebbington, 2001).
Alasannya, informasi akuntansi yang dihasilkan dari proses akuntansi dan diproduksi oleh para akuntan
dinilai telah menyesatkan dan mendorong perilaku tamak dan serakah dari para pemangku kepentingan
(stakeholders) sehingga menimbulkan multikrisis sosial dan lingkungan yang kian parah.

Content may be subject to copyright.

Transformasi Menuju Akuntansi Hijau* Andreas Lako Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unika Soegijapranata, Semarang; Pengurus Pusat IAI-KAPd Seksi Corporate Governance dan CSR Email:
andreaslako66@gmail.com Dalam tiga dekade terakhir, masyarakat global dihadapkan pada dua
kondisi dilematis dalam membangun tata dunia baru. Di satu sisi, muncul berbagai inisiatif politik dan
gerakan global dari para pemimpin negara, korporasi dan masyarakat dunia untuk membangun
kolaborasi global dalam rangka mengintegrasikan berbagai kepentingan politik, ekonomi, perdagangan,
keamanan dan lainnya ke dalam satu visi, misi dan tujuan yang sama dalam upaya membangun tata
dunia baru yang lebih aman, damai dan sejahtera. Namun di sisi lain, dunia juga dihadapkan pada
realitas yang mengkuatirkan, yaitu bumi tempat dimana manusia berada dan membangun peradaban
kehidupan sedang mengalami multikrisis yang serius. Bumi sedang mengalami "sakit parah" akibat
perbuatan manusia. Perilaku hidup manusia yang tidak ramah lingkungan telah menyebabkan
pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang parah sehingga menimbulkan
berbagai bencana lingkungan dan sosial yang serius pula. Karena itu, muncul pula berbagai agenda
aksi global untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan semesta alam agar tetap sehat dan lestari. Apa
pemicu dan pemacu bumi sakit serius? Berbagai hasil analisis menunjukkan faktor penyebabnya sangat
kompleks. Kapitalisme, industrialisasi, ketidakadilan, kemiskinan, konsumerisme, perdagangan bebas,
transformasi produksi, perkembangan teknologi, ketamakan, dan transformasi peradaban kehidupan
manusia dituding menjadi faktor penyebabnya (Gore, 2013). Akuntansi dan para akuntan pun
dituding turut berkontribusi terhadap sakitnya bumi dan terjadinya multikrisis lingkungan selama ini
(Maunders dan Burritt, 1991; Gray dan Bebbington, 2001). Alasannya, informasi akuntansi yang
dihasilkan dari proses akuntansi dan diproduksi oleh para akuntan dinilai telah menyesatkan dan
mendorong perilaku tamak dan serakah dari para pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga
menimbulkan multikrisis sosial dan lingkungan yang kian parah. Proses akuntansi dinilai mengabaikan
pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan, pelaporan dan pengungkapan
* Artikel ini merupakan pengembangan dari artikel “Transformasi Menuju Akuntansi Hijau” yang
diterbitkan majalah CPA Indonesia, edisi 7 Juni 2016, hlm 52-54

informasi terkait obyek-obyek, peristiwa-peristiwa atau transaksi-transaksi sosial dan lingkungan


dalam proses akuntansi dari suatu entitas. Prinsip-prinsip akuntansi berterima umum (PABU) dan
standar akuntansi keuangan konvensional yang menjadi rujukan dalam praktik-praktik akuntansi di
dunia umumnya mengabaikan faktor-faktor lingkungan dan sosial. Akibatnya, informasi akuntansi
yang disajikan kepada para pemangku kepentingan atau pemakai (users) menjadi tidak lengkap,
tidak akurat dan bahkan menyesatkan. Pengabaian dan ketiadaan informasi akuntansi hijau juga
menyebabkan perilaku serakah, tamak dan tidak peduli lingkungan baik pada level kebijakan politik
pemerintahan dan level dunia bisnis, maupun pada level kehidupan rumah tangga pada masyarakat luas
(Greenham, 2010; Lako, 2015). Karena itu, dalam satu dekade terakhir muncul desakan dari berbagai
pihak agar paradigma akuntansi konvensional yang lebih menekankan pada aspek-aspek Akuntansi
Keuangan segera direformasi dan ditransformasikan ke Akuntansi Hijau (Green Accounting).
Tujuannya, agar proses akuntansi, yaitu pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan,
pelaporan dan pengungkapan informasi akuntansi, dapat mengintegrasikan aspek-aspek keuangan,
sosial dan lingkungan secara terpadu dalam satu paket pelaporan sehingga bisa menghasilkan informasi
akuntansi keuangan, sosial dan lingkungan secara utuh dan terintegrasi. Proses akuntansi dan pelaporan
secara terpadu tersebut tentu saja akan meningkatkan relevansi, reliabilitas dan kebermanfaatan
informasi akuntansi bagi para pihak dalam penilaian dan pengambilan keputusan ekonomi dan
nonekonomi yang lebih ramah terhadap lingkungan dan masyarakat. Transformasi menuju Akuntansi
Hijau Transformasi menuju Akuntansi Hijau dirasakan kian mendesak di Indonesia karena negeri ini
juga sedang menghadapi fenomena pemanasan global, perubahan iklim, kerusakan dan bencana
lingkungan, krisis energi dan

Anda mungkin juga menyukai