Anda di halaman 1dari 15

Biografi Madzahibul Arba

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu : Drs. H. Romli Mubarok, SH., MH

Oleh : Nike Amelia Putri Efendi

Kelas : Administrasi Bisnis/ Reguler A

Semester : 1 ( Satu )

NPM : 201003632110331

JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS 17 AGUSTUS
SEMARANG

Jl. Pawiyatan Luhur Bendan Duwur Semarang

TAHUN AJARAN 2020/2021


BIOGRAFI MADZAHIBUL ARBA’

1. Madzhab Hanafiyah

 Nasab

Beliau bernama An-Nu’man bin Zauthi At-Taimi Al-Kufi, kepala suku dari Bani Tamim
bin Tsa’labah. Ada juga yang mengatakan bahwa sebab penamaan Hanifah adalah karena beliau
selalu membawa tinta yang disebut Hanifah dalam bahasa Irak.
Ia adalah seorang Imâm besar, Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-Kufi
keturunan Persia. Beliau adalah seorang asli Persi, lahir dan tumbuh sebagai seorang arabi dan
termasuk golongan merdeka yang tidak pernah merasakan perbudakan sama sekali. Beliau
dilahirkan di kuffah pada tahun 80 Hijriyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyah di Baghdad.
 Pendidikan Beliau
Awal mula yang dipelajarinya adalah menghafal memahami Al-Qur’anul Karim sejak ia
masih kecil, kemudian berpindah kepada ulama-ulama ahlul kalam dan mantiq sehingga ia
keluar dan menjadi seorang yang arif dan bijaksana. Ini merupakan awal perpindahannya
belajar tetang ilmu kalam, Ia mempelajari ilmu ini dikarenakan melihat banyaknya perpecahan di
kota Bashrah khususnya, dan Iraq pada umumnya.
Abu Hanifah adalah seorang laki-laki yang pandai berdebat dan lihai dalam berdiskusi
sejak ia mulai menuntut ilmu, lalu di kemudian hari ia pindah ke Bashrah yang merupakan
negara perpecahan Islam, di sana ia berdebat dengan para tokoh, dan yang paling menakjubkan
ia mampu mematahkan seluruh pendapat lawan debatnya, dan disebutkan dalam sebuah riwayat
bahwa ia telah mendebat 22 firqah (kelompok) dan ketika berdebat ia adalah seorang yang
sangat besar pembelaannya terhadap agama Islam. Imâm Abu Hanifah adalah seorang tabi’u
tabi’in, ada yang mengatakan tabi’in dikarenakan beliau masih mendapati empat orang sahabat,
yaitu Anas bin Malik di Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kuffah, Sahl bin Sa’ad as-Sad’idi di
Madinah, dan Abu Thufail Amir bin Watsilah di Mekkah. Dari keempat sahabat tersebut ia
belum pernah bertemu kecuali Anas bin Malik, dan ia meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik,
yaitu:
َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِري‬
‫ْضةٌ َعلَى ُكلِّ ُم ْسلِ ٍم‬
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Abu Hanifah tumbuh di Kufah dalam lingkungan ilmiah yang sangat dinamis. Wajar jika
Abu Hanifah menjadi anak cerdas yang condong kepada ilmu. Seperti disebutkan dalam satu
riwayat, Abu Hanifah pertama kali belajar ilmu nahwu. Ilmu ini adalah kaidah-kaidah baku dan
pendapat yang turun temurun, tidak menerima logika akal atau pun perbedaan pendapat.
Sebaliknya, Abu Hanifah adalah sosok pemuda yang senang menggunakan nalar dan logika.
Beliau meriwayatkan hadits dari Atha bin Abi Rabah, Nafi’ mawla Ibnu Umar, Qatadah, dan
Hammad bin Sulaiman yang digaulinya selama 18 tahun, dan beliau mengambil fikih dari
Ibrahim an-Nakha’i dari al-Qamah an-Nakha’i, dan al-Aswad bin Yazid dari Ibnu Mas’ud.
Imâm Abu Hanifah menimba ilmu hadits dan fiqh dari banyak ulama terkenal. Untuk
ilmu fiqih, selama 18 tahun beliau berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman.
Beberapa masalah fikih menurut madzhâb hanafi terbagi dalam tiga bagian, yaitu: Al-
Ushûl, an-Nawâdir dan al-Fatawa.
Bagian pertama, al-Ushûl adalah masalah-masalah yang disebut dhahir riwayat, yaitu
apa-apa yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan kawan-kawannya seperti Abu Yusuf, Zufar,
dan Muhammad serta orang yang pernah bertemu langsung dengan Abu Hanifah. Hanya saja
masalah ini mayoritas diambil dari pendapat Abu Hanifah, kawannya Abu Yusuf Muhammad
atau sebagian dari mereka. Imâm Muhammad bin Hasan adalah seorang kawan Abu Hanifah
yang telah mengumpulkan masalah-masalah ushul dalam enam kitab yang dikenal dengan
dhâhir riwayah. Bagian kedua, an-Nawadir adalah masalah-masalah yang diriwayatkan Abu
Hanifah dan kawan-kawannya diluar kitab dzâhir riwayah. Bagian ketiga, al-Fatawa apa-apa
yang difatwakan para mujtahid yang bermadhhab hanafi masa terakhir dalam hal-hal yang belum
diriwayatkan Abu Hanifah dan kawan-kawannya sebagai takhrij dan madzhâbnya. Kitab pertama
yang dikenal dalam fatwa-fatwa madzhâb hanafi adalah an-Nawâjil karya Abi Laits As-
Samarqindi.
Selain ilmu fiqh, Abu Hanifah juga belajar ilmu Kalam. Beliau mempunyai beberapa buku
sepeti “Al-Fiqh al-Akbar, ar-Radd ‘ala al- Qadariyah, al-Alim wa al-Muta’alim, Risalah li al-
Busti.” Tak aneh jika Abu Hanifah sangat menguasai bidang ini, karena ia memiliki akal yang
cemerlang.

 Secara Politik
Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Artinya ia lahir pada zaman Dinasti
Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan ‘Abd al-Mâlik ibnu Marwan.
Beliau meninggal pada zaman kekuasaan ‘Abbâsiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Sebagian besar hidupnya semasa dengan kekuasaan bani Umayyah. Sisanya di dalam masa bani
Abbasiyah. Lahir pada masa kekuasaan bani Umayyah di era pemerintahan Abdul Malik bin
Marwan, dan meninggal dunia pada masa kekuasaan bani Abasiyyah di bawah pemerintahan
Abu Ja’far al-Manshur.

 Secara Sosial
Secara sosial budaya, dari perjalanan hidupnya Abu Hanifah sempat menyaksikan
tragedi-tragedi besar di Kufah. Di satu segi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya
sehingga menjadi salah seorang ulama besar dan al-Imâm al-A’zham. Di masanya, Abu Hanifah
banyak menyaksikan berbagai kecenderungan praktik-praktik duniawi dan agama, gerakan
politik dan pemikiran
Dalam menetapkan hukum Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di
Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah Saw yang banyak
mengetahui hadits. Di Kufah kurang perbendaharaan hadits.
Di samping itu, Kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persi, kondisi
kemasyarakatannya telah mencapai peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul
problema kemasyaraakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum
pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw atau zaman Sahabat dan Tabi’in, maka untuk
menghadapinya memerlukan ijtihad atau ra’yi. Hal inilah penyebab perbedaan perkembangan
pemikiran di Kufah dengan di Madinah.
Ulama Madinah banyak memakai Sunnah dalam menyelesaikan problema-problema yang
muncul dalam masyarakat. Sedangkan di Kufah, sunnah hanya sedikit yang diketahui di samping
banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits
dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau banyak menggunakan
ra’yi.

 Guru dan Murid-Muridnya


Al-Hafizh berkata, “Dia meriwayatkan dari beberapa orang di antaranya Atha’ bin Abi
Rabah, Ashim bin Abi An-Najwad, Alqamah bin Martsad, Hammad bin Sulaiman, Al-Hakam
bin Utaibah, Salamah bin Kuhail, Abu Ja’far Muhammad bin Ali, Ali bin Al-Qamar, Ziyad bin
Alaqah, Said bin Masruq Ats-Tsauri, Adi bin Tsabit Al-Anshari, Athiyyah bin Said Al-Aufi, Abu
Sufyan As-Sa’di, Abdul Karim Abi Umayyah, Yahya bin Said Al-Anshari, Hisyam bin Urwah
dan yang lain.
Tapi yang lebih berpengaruh kepada Abu Hanifah adalah Hammad bin Abu Sulaiman,
seorang ahli fiqh dari Kufah yang meninggal tahun 120 H. Abu Hanifah berkata tentang
Hammad, “Aku berada di sebuah gudang ilmu dan fiqh, di antara ahli fiqh.” Maksudnya, Abu
Hanifah hidup dalam lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ilmu dan fiqh, kajian dan
telaah yang sangat hidup, yang dikelilingi para ulama. Dia mempunyai seorang pembimbing
yang agung, yaitu Hammad bin Abu Sulaiman.1[41]
Adapun di antara murid-murid beliau adalah, perkataan Hafizh, “Adapun yang
meriwayatkan darinya antara lain putranya sendiri yang bernama Hammad, Ibrahim bin
Thahman, Hamzah bin Hubaib Az-Ziyat, Zafr bin Al-Hudzail, Abu Yusuf Al-Qadhi2[42], Abu
Yahya Al-Hammani, Isa bin Yunus, Waki’, Yazid bin Zura’i, Asad bin Amr Al-Bajali, Hukkam
bin Ya’la bin Salam Ar-Razi, Kharijah bin Mush’ab, Abdul Majid bin Abi Ruwwad, Ali bin
Mushir, Muhammad bin Basyar Al-Abdi, Abdurrazzaq, Muhammad bin Al-Hasan Asy-
Syibani3[43], Mush’ab bin Al-Miqdam, Yahya bin Yaman, Abu Ishmah Nuh bin Abi Maryam,
Abu Abdirrahman Al-Muqri, Abu Ashim dan yang lainnya.
Wafat Abu Hanifah
Kematian adalah akhir dari setiap kehidupan, maka Abu Hanifah pun harus mati seperti
halnya orang-orang yang lain. Abu Hanifah meninggal pada tahun 150 H. menurut pendapat
Nawawi dia mati dalam penjara. Ada juga riwayat lain yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah
meninggal pada tahun 151 H., dan riwayat yang ketiga menyebutkan dia meninggal pada tahun
153 H., tetapi yang terkuat adalah pendapat pertama.

3
2. Madzhab Malikiyah

 Nasab
Dia adalah Syaikhul Islam, Hujjatul Ummah, Imam Darul Hijrah. Abu Abdullah Malik
bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin
Harits. Menurut pendapat yang paling benar, ia lahir pada tahun 93 Hijriyah yang bertepatan
dengan tahun wafatnya sahabat Anas ra, pembantu Rasulullah Saw. Ia lahir dari keluarga Arab
yang berada sejak zaman Jahiliyah sampai datangnya zaman Islam.
 Pendidikan Beliau
Imâm Malik belajar kepada para Ulama Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya
adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Ibnu
Syihab az-Zuhri.
Mulanya Imam Malik menghafal Al Qur’an kemudian hadits, kekuatan hafalnnya tinggi,
kebiasaannya adalah mendengar beberapa hadits dengan membuat beberapa ikatan ditangannya
sejumlah hadits yang ia dengar hingga melekat di memorinya.
Sesungguhnya jalan yang ditempuh imam Malik di dalam menuntut ilmu adalah sebaik-
baik jalan, pasalnya ia memberi syarat pada dirinya sendiri untuk tidak mengambil ilmu kecuali
dari orang yang tsiqqoh, adil, dan yang memahami betul tentang agama dan ilmu mereka sendiri,
dan terdidik dengan adab, ilmu dan pengetahuan. Ia adalah pendiri madzhab ini, para
pengikutnya ada di ujung barat, Afrika, Andalusia dan Mesir. Imam Syafi’i memandang bahwa
Imam Malik adalah orang paling berilmu dari orang-orang yang ada di zamannya, sebagaimana
ucapan Imam Syafi’i tentang dirinya:
ُ ِ‫ِإ َذا ُذ ِك َر ال ُعلَ َما ُء فَ َمال‬
‫ك النَّجْ ُم‬
“Jika para Ulama disebut, maka Imam Malik seperti bintang yang bersinar.”
Pada waktu beliau masih kecil, Mâlik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak
menghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada al-Qamah bin al-Qamah, disamping itu dia
juga menuntu ilmu nahwu dan juga syair, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’
yang dikenal sangat cerdas diantara para ulama’ yang menjadi gurunya yaitu Rabi’ah, Imâm
Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya.
Imâm Malik diakui oleh ulama di Madinah sebagai ahli hadist dan ahli fikih, beliau
menghafal hadits sebanyak seratusribu hadist. Ada yang mengatakan hadits-haditsnya sekitar
sepuluhribu. Beliau menulis kitab Muwatho’ yang di dalamnya mengandung hadits dan fikih.
Berkata Imâm Syafi’i tentang beliau : “Mâlik adalah guruku, darinya aku mendapatkan ilmu, dan
ia adalah hujjah antara aku dengan Allah Swt kelak, dan tak seorangpun yang lebih kupercayai
dari pada beliau dan jika berbicara tentang para ulama, maka Mâlik adalah seperti bintang yang
cahayanya paling terang”
 Secara Politik

Ia hidup semasa dengan Abu Hanifah yang hidup diantara dua daulah yaitu Umawiyyah
dan Abasiyyah. Ia dilahirkan pada zaman Al-Walîd bin Abdul Malik tahun 93 dan wafat tahun
179 pada zaman ar-Rasyid di Madinah.
Pada awalnya Imâm Malik begitu dibenci oleh penguasa karena ia bergaul dengan begitu
akrab dengan Imâm Ja’far, salah seorang dari Imâm ahlu bait yang secara alamiah adalah musuh
dari klan ’Abbas. Yang kedua, adalah karena Imâm Malik berani memberikan fatwa yang
mengatakan bahwa baiat yang dilakukan dalam keadaan terpaksa hukumnya adalah tidak sah.
Fatwa inilah yang dijadikan pijakan hukum oleh orang-orang syiah, mawalli dan sisa pendukung
muawiyyah untuk menentang kebijakan penguasa pada saat itu, yaitu al-mansur. Hal ini terjadi
pada 146 H. karena komentarnya itulah Ja’far bin Sulaiman, gubernur madinah pada saat itu
menghukum Imâm Malik.
Namun hal itu tampaknya kurang berkenan pada diri seorang al-Mansur, hingga khalifah
datang ke madinah dan meminta maaf langsung kepada Imâm malik. Khalifah menawarkan
Imâm untuk menjadi qadhi istana pada saat itu namun Imâm Malik menolaknya.
Setelah peristiwa tersebut, hubungan Imâm Malik dan para penguasa menjadi sedikit
mencair. Dalam referensi yang lain disebutkan juga alasan mengapa khalifah al-Mansur dan
keturunannya bersikap lunak terhadap Imâm malik dan akhirnya juga sedikit banyak membantu
terhadap tersebarnya madhhab maliki. Alasan yang pertama adalah untuk mengurangi sedikit
ketegangan dengan kaum alawiyyin dan kelompok pemberontak lain. Dan yang kedua adalah
untuk memberikan suasana baru yang berbeda dengan dinasti muawiyyah yang kental dengan
madhhab Hanafi dengan banyaknya qadhi dan mufti yang berasal dari Hanafiyyah. Tentunya dua
alasan ini, adalah alasan-alasan lain yang pastinya sering kita dengar, bahwasanya kedekatan
Imâm Malik kepada para penguasa adalah untuk melakukan dakwah structural.
 Secara sosial
Keluarga Imâm Malik adalah keluarga yang cukup terpandang di Madinah, namun hal ini
tidak menjamin bahwa hal itu menunjukkan sang Imâm berasal dari keluarga kaya. Karena ada
sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Imâm Malik pernah menjual atap rumahnya untuk
biaya dalam mencari ilmu ketika beliau berguru kepada Ibnu Syihab al-Zuhry. Riwayat lain juga
menyebutkan bahwa Imâm Malik mendapatkan beasiswa ketika berguru kepada Imâm Ja’far.
Namun ketika Imâm sudah dewasa, dia sudah memiliki kondisi ekonomi yang cukup
mapan dari perniagaanya. Dalam berdagang Imâm malik tidak mengurusi secara langsung segala
kegiatan bisnisnya, akan tetapi dia memperkerjakan orang lain dengan akad mudharabah.
Terlebih, sebagai seorang Imâm di daerah hijaz dia juga mendapatkan tunjangan khusus dari
khalifah abbasiyyah. Hal itu berlangsung selama periode al-Mansur, al-Mahdi, al-Ma’mun dan
juga Harun al-Rasyid.
 Guru dan Murid-murid Beliau
Dia menuntut ilmu pada Ulama Madinah dan bermulazamah dengan Abdurrahman bin
Hurmuz dalam kisaran waktu yang cukup lama, ia juga belajar dari Nafi’ Maula Ibnu Umar dan
Ibnu Syihab Az-Zuhri. Adapun syaikhnya dalam bidang fiqh adalah Rabi’ah bin Abdurrahman
yang dikenal dengan Rabi’atur-Ra’yi.
 Wafatnya
Isma’il bin Uwais berkata: “Imam Malik telah sakit dan meninggal, dan aku bertanya
pada keluarganya tentang apa yang terakhir dikatakannya ketika menghadapi sakaratul maut.
Mereka menjawab, “Malik mengucapkan dua syahadat kemudian dia membaca ayat Al-Qur’an
yang berbunyi:
‫هَّلِل ِ اَْأل ْم ُر ِمن قَ ْب ُل َو ِمن بَ ْع ُد‬
“Bagi Allah-lah sebelum dan sesudah (mereka menan.”
Imam Malik meninggal di waktu Shubuh pada tanggal 14 Rabiul Awwal tahun 179 Hijriyah.
Amirul Mu’minin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim juga ikut menyolatinya.”.
3. Madzhab Syafi’iyah

 Nasab
Imam Syafi’i adalah imam ketiga dari empat imam mazhab menurut urutan kelahirannya.
Dia adalah “Nashrul Hadits,” pembela hadits dan “Mujaddid”, pembaharu abad II H. Imam
Ahmad bin Hambal berkata, “Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw bahwa setiap 100 tahun
(1 abad) Allah mengutus pada umat ini seseorang yang memperbaharui urusan agama. Terbukti
Umar bin Abdul Aziz pada abad pertama, dan aku berharap Asyafi’i menjadi mujaddid di abad
yang lain.”
Namanya adalah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin Utsman bin Syâfi’i bin Saib bin
Abid bin Abdu Yazîd bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin Qusha bin Kilab bin
Murrah. Bertemu nasabnya dengan Rasulullah Saw di datuknya yaitu Abdul Manaf bin Qushai.
Ibunya adalah Fâthimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thâlib.
Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyyah melahirkan keturunan
kecuali Imâm Ali bin Abi Thâlib dan Imâm asy-Syafi’i. Beliau dilahirkan di Ghaza Palestina
asy-Syam pada tahun 150 H, yaitu pada tahun wafatnya Abu Hanifah. Imâm asy-Syâfi’i wafat di
Mesir Pada Tahun 204 M.
 Pendidikan Beliau
Dalam usia 7 tahun, Imam Syafi’i menyelesaikan hafalan Al-Quran. Pada usia 10 tahun
beliau menghafal kitab Al-Muwatho’ karya Imam Malik. Usia 15 tahun, beliau mulai berfatwa
dengan izin dari Sang guru yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji. Beliau juga banyak
menghafal syair-syair Hudzail. Setelah itu, beliau pergi ke Madinah untuk mempelajari ilmu
Fiqih dari Imam Malik bin Anas hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Setelah itu, beliau
melanjutkan berguru dari Sufyan bin Uyainah.
Setelah Imâm asy-Syâfi’I berusia dua tahun ibunya membawa beliau ke Mekkah tempat
ayah beliau, hafal al-Qur’an dalam usia 7 tahun, hafal hadits di usia 12 tahun dan 15 tahun sudah
diizinkan berfatwa, lalu berguru pada Imâm Malik dan menghafal kitab al-Muwatha dalam 9
malam. Beliau juga meriwayatkan hadits dari Safyan bin Uyainah, al-Fadhil bin ‘Iyadh dan
pamanya Muhammad bin Syâfi’.

 Secara Politik

Situasi politik dalam negri pada awal periode Khalifah al-‘Abbas atau tepatnya pada
masa Syafi’i, sangat menyolok perbedaannya dengan priode Khalifah Bani Umayyah. Pada masa
kekhilafahan Bani Umayyah banyak orang-orang Arab yang memegang posisi penting dalam
pemerintahan. Sedang masa Bani ‘Abbas jabatan-jabatan srategis banyak dimonopolikan oleh
orang-orang Persia. Banyaknya orang-orang Persia menyebabkan kekuasaan mutlak ada di
tangan mereka. Khususnya khurasan yang telah berjasa menyukseskan Bani ‘Abbas melenggang
ke kursi ke khilafahan, ia juga merupakan kendaraan politik Bani ‘Abbas. Di masa Syafi’i hidup,
Daulah Islamiyah hanya sedikit melakukan ekspansi. Bahkan, kekuasaan Dinasti ‘Abasiyah
mengalami penyusutan, terutama wilayah yang jauh dari pantauan pusat pemerintahan yang ada
di Baghdad.
Seiring dengan rapuhnya kekuasaan Dinasti ‘Abasiyah, berdirilah kekuasan Dinasti
Adrisiah tahun 184 H di ujung Maroko. Sementara pada tahun 184 H berdiri pula Dinasti
Aghlabiyah di Tunisia. Dinasti ini didirikan oleh Abdurrahman bin Mu’awiyah bin Hisyam bin
‘Abdul Malik. Pada tahun 138 H, ia melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti ‘Abasiyah lari ke
Andalusia untu meminta perlindungan ke Dinasti Umawiyah. Peradaban yang dibangun oleh
Dinasti Umawiyah inilah yang menjadi inspirasi bagi peradaban Eropa modern.

 Secara Sosial

Daulah islamiyah mengalami perkembangan secara bertahap dari satu kondisi yang lebih
baik sesuai dengan arah perubahan zaman. Dalam catatan sejarah, Daulah ‘Abbasiyah telah
membawa umat Islam menuju peradaban keemasan, karena berhasil memajukan aspek ekonomi,
politik, sosial dan budaya. Kehidupan sosial pada masa Syafi’i khususnya atau pada awal
kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyah secara umum, diwarnai dengan kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan dan kesuastraan yang sangat dominan. Seandainya kekuasaan Dinasti Umawiyah
masih terus bercokol, sudah barang tentu kesuksesan seperti ini mungkin tidak bisa tercapai.
Wilayah kekuasaan Islam pada masa ini terbentang luas, mulai dari Andalusia Barat sampai
India timur. Dibawah daulah Islamiyah, berbagai umat manusia hidup. Demikian kondisi sosial
pada masa Syafi’i.
 Guru dan Murid-muridnya
Guru-gurunya: Al-Hafizh berkata, “Imam Asy-Syafi’i berguru kepada Muslim bin Khalid
Az-Zanji, Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad, Said bin Salam Al-Qaddah, Ad-Darawardi,
Abdul Wahab Ats-Tsaqafi, Ibnu Ulyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Dhamrah, Hatim bin Ismail,
Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya, Ismail bin Ja’far, Muhammad bin Khalid Al-Jundi,
Umar bin Muhammad bin Ali bin Syafi’ Ash-Shan’ani, Athaf bin Khalid Al-Makhzumi, Hisyam
bin Yusuf Ash-Shan’ani dan masih banyak lagi.”
Murid-muridnya: Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Bakar Abdullah bin Az-Zubair
Al-Humaidi, Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Imam Ahmad
bin Hambal, Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi, Harmalah, Abu Ath-Thahir bin As-
Sahr, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya bin Al-Muzni, Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, Ar-
Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi, Amr bin Sawad Al-Amiri, Al-Hasan bin Muhammad bin Ash-
Shabbah Az-Za’farani, Abul Walid Musa bin Abi Al-Jarud Al-Makki, Yunus bin Abdil A’la,
Abu Yahya Muhammad bin Sa’ad bin Ghalib Al-Aththar, dan lain-lain.”
 Wafat Imam Syafi’i
Setelah mengalami penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah secara terus
menerus, Imam Syafi’i wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H dan dimakamkan di Mesir.
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata,” Imam Syafi’i meninggal pada malam Jum’at setelah
Maghrib. Pada waktu itu, aku sedang berada di sampingnya. Jasadnya dimakamkan pada hari
Jum’at setelah Ashar, hari terakhir di bulan Rajab. Ketika kami pulang dari mengiringi
jenazahnya, kami melihat hilal bulan Sya’ban tahun 204 H. Ia wafat pada hari terakhir dari bulan
Rajab tahun 204 Hijriyah.
4. Madhhab Hanabilah

 Nasab

Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin
Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin Auf bin Qasath bin Mazin bin Syaiban
bin Dzahl bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wail bin Qasith bin Hanab
bin Qushay bin Da’mi bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah Nazzar bin Ma’d bin Adnan, dilahirkan
di Baghdâd.

 Pendidikan Beliau

Al-Ulaimi berkata yang ringkasnya adalah sebagai berikut, “Sejak kecil Ahmad bin
Hambal sudah menampakkan tanda-tanda kelebihannya dengan menguasai berbagai disiplin
Ilmu dan banyak menghafal hadits. Ketika dia hendak pergi pagi-pagi sekali untuk mencari
hadits, ibunya mengambilkan baju untuknya sambil berpesan, “Tunggulah sampai terdengar
adzan atau sampai orang-orang keluar diwaktu pagi.”
Kecintaan Ahmad kepada hadits mendorongnya untuk melakukan rihlah mencari hadits.
Ahmad menemui syaikh-syaikh hadits di berbagai daerah untuk menerima periwayatan hadits.
Beliau mulai mempelajari hadits di Baghdad tahun 179 H ketika beliau masih berusia 15 tahun.
Selama tujuh tahun beliau menekuni hadits di kota ini dengan menemui lebih dari 20 orang
syaikh hadits, antara lain Hasyim ibn Basyir. Tahun 186 H, beliau belajar ke Bashrah. Setahun
kemudian ke Hijaz. Selanjutnya beliau melakukan pejalanan lagi ke Bashrah, Kufah, Hijaz,
Yaman. Tercatat sebanyak lima kali Ahmad berkunjung ke Bashrah dan lima kali pula ke Hijaz
ketika pergi ke Mekkah.
Setelah setahun menuntut ilmu dan memiliki perbendaharaan ilmu yang kaya, terutama
tentang fikih dan hadits. Ahmad mendirikan majlis sendiri di kota Baghdad ketika usianya
mencapai 40 tahun. Beliau mulai berijtihad sendiri, mengeluarkan fatwa dan mengajari murid-
muridnya.
Beliau belajar fikih kepada Imâm asy-Syâfi’i ketika beliau mengunjungi Baghdâd, maka
jadilah ia sebagi mujtahid mustaqil muthlak, Gurunya mencapai lebih dari 100 orang,
diantaranya Imâm Syâfi’i, menghafal hadits lebih dari 3 juta hadits berikut sanad dan matannya,
sehingga digelari Imâm para ahli hadits di zamannya. Disamping itu juga beliau mengarang
beberapa buku yang dijadikan sandaran madhhabnya.

 Secara Politik

Di masa hidupnya, di zaman khalifah al-Makmum, al-Mu’tasim dan al- Watsiq, Imâm
Ahmad merasakan ujian siksaan dan penjara karena mempertahankan kebenaran tentang al-
Qur’an kalamullah, ia dipaksa untuk mengubahnya bahwa al Qur’an adalah makhluk. Namun
beliau menghadapinya dengan kesabaran membaja seperti para Nabi Saw. Ibnu al-Madani
mengatakan,”Sesungguhnya Allah Swt memuliakan Islam dengan dua orang laki-laki: Abu
Bakar di saat terjadi peristiwa riddah dan Ibnu Hanbal di saat peristiwa ujian Khalqul Qur’an.”
Bisyr al-Hafi mengatakan,”Sesungguhnya Ahmad memiliki maqam para Nabi.”

 Secara Sosial

Berkata Abdullah bin Ahmad, Ayahku berjalan kaki mendatangi negeri Tharsus,
demikian pula beliau mengunjungi Yaman sambil berjalan kaki. Dan jikalau bukan dikarenakan
kehidupan beliau yang tergolong fakir miskin, beliau akan mengunjungi banyak lagi negeri-
negeri yang jauh untuk mendatangi para Ulama hadist di zaman beliau.
Imâm Ahmad berkata, "Seandainya saya mempunyai kemampuan materi, tentu saya akan
mengadakan rihlah mendatangi Yahya bin Yahya di negeri Andalusia. Beliau juga berkata,
"Sekiranya saja saya mempunyai lima puluh dirham, tentu saya akan mendatangi Jarir bin Abdul
Hamid di negeri Rai, sebagian shahabat kami mendatangi beliau, sedangkan saya sendiri
berhalangan dikarenakan tidak mempunyai kemampuan materi."

 Guru dan Murid-Muridnya

Adapun di antara guru-gurunya adalah: Bisyr bin Al-Mufadhdhal, Ismail bin Ulaiyah,
Sufyan bin Uyainah, Jarir bin Abdul Humaid, Yahya bin Said Al-Qaththan, Abu Dawud Ath-
Thayalisi, Abdullah bin Numair, Abdur-Razzaq, Ali bin ‘Iyasy Al-Himsyi, Imam Asy-Syafi’i,
Ghandar, Mu’tamar bin Sulaiman, dan lain sebagainya.
Adapun di antara murid-muridnya adalah: Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud,
Al-Baqun, Aswad bin Amir Syadzan, Ibnu Mahdi, Imam Syafi’i, Abul Walid, Abdur-Razzaq,
Waqi’, Yahya bin Adam, Yazid bin Harun (mereka semua termasuk guru-gurunya sendiri),
Qutaibah, Dawud bin Amr, Khalaf bin Hisyam (mereka lebih tua dari Imam Ahmad), Ahmad bin
Abi Al-Hawari, Yahya bin Mu’in, Ali bin Al-Madini, Husain bin Manshur, Ziyad bin Ayyub,
Duhaim, Abuqudamah As-Sarkhosi, Muhammad bin Rafi’, Muhammad bin Yahya bin Abi
Saminah (mereka adalah teman-teman Imam Syafi’i) dan kedua anaknya Abdullah dan Shalih,
dan lain sebaginya.
 Wafatnya
Dia wafat pada hari Jum’at 12 rabi’ul Awal 241 H, berumur 77 tahun.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata,” Aku pernah mendengar ayahku berkata,” Aku sudah
menyempurnakan umurku 77 tahun.” Malam itu mulut ayahku sudah kelu dan akhirnya
meninggal pada hari kesepuluh.
Imam Bukhari berkata,” Abu Abdillah mulai sakit dua malam memasuki bulan Rabiul
Awal dan meninggal pada hari Jum’at 12 Rabiul Awal.”
Abu Bakar Al-Khallal berkata,” Aku telah mendengar Abdul Wahab Al-Warraq berkata,”
Kami belum pernah tahu ada perkumpulan manusia sebanyak ini, baik di masa Jahiliyah maupun
setelah masa silam. Semua tempat penuh dengan manusia. Jumlah mereka yang turut mengiringi
jenazahnya mencapai sekitar 1.000.000. manusia. Turut hadir di pemakamannya 60.000 wanita.
Begitu banyaknya manusia, sehingga para penduduk setempat membuka pintu rumah mereka
untuk tempat wudhu.”

Anda mungkin juga menyukai