Anda di halaman 1dari 15

BAB II

CREEPING ERUPTION

A. DEFINISI

Creeping eruption disebut juga cutaneous larva migrans (CLM)


disebabkan oleh penetrasi dan migrasi larva nematoda di dalam epidermis. Istilah
creeping eruption digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan
berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh
invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing.
Creeping eruption termasuk dalam penyakit parasit hewani. Maksudnya
parasit berupa hewan. Invasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang
sering berjalan tanpa alas kaki atau berhubungan dengan tanah atau pasir.
Demikian pula para petani dan tentara sering mengalami hal yang sama. Penyakit
ini banyak di daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab.
B. ETIOLOGI

Creeping eruption biasanya ditujukan untuk lesi yang diakibatkan cacing tambang
denganhospes non manusia. Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing
tambang binatang anjing dan kucing, yaitu ancylostoma braziliense dan
ancylostoma caninum. Ancylostoma braziliense adalah penyebab tersering. Di
Asia Timur umumnya disebabkan oleh Gnathostoma babi dan kucing. Pada
beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Strongyloides Stercoralis, Dermatobia
maziales dan Lucilia Caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa
jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan Cattle Fly.
 Penyebab yang umum :
1. Ancylostoma Braziliense.
2. Ancylostoma Caninum.
3. Uncinaria Phlebotonum.
 Penyebab yang jarang :
1. Ancylostoma Ceylonicum.
2. Ancylostoma Tubaeforme.
3. Necator Amricanus.
4. Strongyloides Papillosus.
5. Strongyloides Westeri.
6. Ancylostoma Duondenale.

C. PATOFISIOLOGI
Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies cacing tambang
binatang yang didapat dari kontak kulit langsung dengan tanah yang
terkontaminasi feses anjing atau kucing. Hospes normal cacing tambang ini
adalah kucing dan anjing. Telur cacing disekresikan kedalam feses, kemudian
menetas pada tanah berpasir yang hangat dan lembab. Kemudian terjadi
pergantian bulu dua kali sehingga menjadi bentuk infektif (larva stdaium tiga).
Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh
larva dimana larvamenggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel,
fisura atau kulit intak. Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas
kutikelnya. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu beberapa hari. Larva stadium
tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari, biasanya
antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit
berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermo epidermal. Hal ini menginduksi
reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul
gejala di kulit. Larva bemigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan
jarang menembus kedermis. Manusia merupakan hospes aksidental dan larva
tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis
sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja.
Enzim proteolitik yang disekresi larva menyababkan inflamasi sehingga
terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum
untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paru-paru sehingga
terjadi infiltrate paru. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat larva dan
eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam
dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.

D. MANIFESTASI KLINIS

Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula
akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear
atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna
kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva
tersebut telah ada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan
selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik,
sepriginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang
beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terjadi rasa gatal
pada ujung lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva. Lebar lesi berkisar
antara 3 mm dan panjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi bisa tunggal atau
multipel, sangat gatal dan bisajuga nyeri. Tempat predileksi adalah di tungkai,
plantar, tangan, anus, bokong, paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering
berkontak dengan tempat larva berada. Sering terjadi ekskoriasi dan infeksi
sekunder oleh bakteri. Larva terbatas hanya pada lapisan epidermis. Penyakit ini
self limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau dua bulan. Infeksi
bakteri sekunder bisa terjadi akibat garukan pada lesi. Tanda dan gejala sistemik
(mengi, batuk kering, urtikaria) pernah dilaporkan pada pasien dengan infeksi
ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan peningkatang
kadar IgE. Pada kasus creeping eruption bisaterjadi sindrom loeffler dan mtositis
namun jarang dijumpai. Larva bisa bermigrasi ke usus halus dan menyebabkan
enteritis eosinofilik.

E. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi adalah ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh
bakteri akibat garukan. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptokokkus
pyogenes. Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi alergi.
F. PENATALAKSANAAN
Infeksi cacing tambang binatang dicegah dengan menghindari kontak kulit
langsung dengantanah yang tercemar kotoran binatang. Pengobatan cacing
tambang untuk kucing dan anjing merupakan hal yang utama untuk mencegah
creeping eruption. Kotoran binatang harus dipindahkan secara benar dari area
aktivitas manusia.
Creeping eruption bisa dicegah dengan mudah dengan memakai alas kaki
yang memadai setiap saat. Jika dibiarkan saja tanpa pengobatan, larva akan
mati dan diabsorbsi. Meskipun penyakit iniself limited, rasa gatal yang hebat dan
resiko infeksi sekunder memaksa seseorang untuk berobat.
Untuk kasus yang ringan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Jika
perlu dapat diberikan secara topikal. Pengobatan topikal ditujukan untuk lesi awal
yang terlokalisasi. Untuk kasus yang lebih berat dapat diberikan obat peroral.
Pengobatan oral untuk lesi yang luas atau gagal dengan topikal. Anti histamin
membantu mengurangi rasa gatal. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dapat
diberikan antibiotik. Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa anti helminthes
berspektrum luas, misalnya tiabendazol ternyata efektif. Dosisnya 50
mg/kgBB/hari, dua kali sehari, diberikan berturut-turut selama dua hari.
Dosis maksimum 3 gr sehari. Jika belum sembuh dapat diulangi setalah beberapa
hari. Obat ini sukar didapat. Efek sampingnya mual, pusing dan muntah.
Eyster mencoba pengobatan topikal solusio tiabendazol dalam DMSO dan
ternyata efektif. Demikian pula pengobatan secara oklusi selama 34-48 jam telah
dicoba oleh Davis. Obat lain ialah albendazol, dosis sehari 400 mg sebagai obat
dosis tunggal, oral atau thiabendazole topikal merupakan terapi yang
direkomendasikan. Namun pengobatan ini mempunyai efek samping seperti
nausea, diare, anoreksia, pusing, sakit kepala, pembesaran KBG dan reaksi alergi.
Keamanan pengobatan ini selama kehamilan masih belum diketahui. Cara terapi
ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (drice) dengan
penekanan 45 detik sampai 1 menit, 2 hari berturut-turut. Penggunaan N2 cair
juga pernah  dicoba. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi.
Cara tersebut di atas agak sulit karena kita tidak mengetahui secara oasti di mana
larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan di sekitarnya.
Pengobatan cara lama yang sudah ditinggalkan adalah dengan preparat
antimony. Penggunaan topikal spray etil klorida, nirtogen cair, fenl, Co2 beku,
piperazin sitrat, elektrokauter dan radiasi tidak behasil karena larva bisa lolos.
Kemoterapi dengan klorokuin, antimony, dan dietilkarbamazin juga tidak berhasil.
1. Tiabendazol Merupakan drog of choice. Menghambat enzim fumarat
reduktase sehingga menginhibisi pembentukan mikrotubuli. Akan terjadi
gangguan ambilan glukosa dan inhibisi malat dehidrogenase. Merupakan
anihelminthes heterosiklik generasi ketiga.
a. Dewasa-topikal berupa supensi 10-15% (kadang dicampur
dengan krim kortikosteroid) secaraoklusi, 2 kali sehari, selama
minimal 1 minggu-oral 25-50 mg/kgBB/hari, tiap 12 jam, selama 2-5
hari.
b. Anak-anak Dengan dosis 25-50 mg/kgBB/hari setiap 12 jam. Tidak
lebih dari 3 gr/hari, Tiabendazol lebih toksik daripada benzimidazol
lainnya dan ivermectin sehingga lebih dipilih agen yang lain.
Efek sampig yang sering berupa pusing, anoreksia, nausea dan muntah.
Permasalahan yang lebih jarang seperti nyeri epigastrium, kramabdomen, diare,
pruritus, nyeri kepala, mengantuk, dan simtom neuroleptik. Pernah dilaporkan
kerusakan hati yang ireversibel dan sindrom steven johnson. Tiabendazol pada
anak di bawah 15 kg masih terbatas penggunaaannya. Obat ini tidak boleh
digunakan untuk ibu hamil atau yang menderita penyakit hati maupun ginjal.
2. Ivermectin Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum luas
terhadap nematoda. Carakerjanya dengan menghasilkan paralisis flaksid
melalui pengikatan kanal klorida yangdiperantarai glutamat. Mungkin
merupakan drug of choice karena keamanan, toksisitas rendah dan dosis
tunggal.
a. Dewasa12 mg atau 200 ug/kgBB dosis tunggal.
b. Anak-anak 
 <5tahun: 150 ug/kgBB dosis tunggal.
 >5 tahun: sama dengan dewasa.
Efek samping mencakup kelelahan, pusing, nausea, muntah, nyeri perut
dan bercak kemerahan. Hindari penggunaan bersama obat yang meningkatkan
aktivitas GABA sepertibarbiturat, benzodiazepin dan asam valproat. Ivermectin
tidak boleh diberikan pada ibuhamil.
3. Albendazol Antihelmintas bersepektrum luas yang mengganggu ambilan
glukosa dan agregasimikrotubuli. Sebagai alternatif pengganti tiabendazol.
a. Dewasa
 400 mg per oral, sekali sehari, selama 3 hari atau
 2x200 mg sehari selama 5 hari
b. Anak-anak 
 <2tahun: 200 mg/hari selama 3 hari dan diulang 3 minggu
kemudian jika perlu.
 >2 tahun: sama seperti dewasa. Bila digunakan 1-3 hari, albendazol
hampir bebas efek samping.
Bisa terjadi gejala ringan distres epigastrium, diare, sakit kepala, nausea,
pusing, lesu dan insomnia. Pada pemakaian jangka panjang harus di cek darah dan
fungsi hati. Tidak boleh diberikan pada orang yang hipersensitif terhadap
benzimidazol lainnya atau orang dengan sirosis. Keamanan pada ibu hamil dan
anak kurang dari 2 tahun masih belum diketahui.
4. Mebendazol Antihelmintes spektrum luas yang menginhibisi perakitan
mikrotubuli dan memblok ambilan glukosa sehingga terjdai deplesi
cadangan glikogen parasit.
a. Dewasa 200 mg per oral, 2 kali sehari selama 4 hari
b. Anak-anak <2 tahun: tidak disarankan>2 tahun: seperti dewasaBisa
terjadi nausea, muntah, diare dan nyeri abdominal.
Efek samping yang jarang berupareaksi hipersensitivitas, agranulositosis,
alopesia dan peningkatan enzim hati. Mebandazol teratogenik pada binatang
sehingga tidak disarankan untuk ibu hamil. Pada anak kurang dari 2 tahun harus
berhati-hati karena masih kurangnya penelitian. Kadar plasma bisa berkurang
pada penggunaan bersama karbamazepin atau fenitoin. Meningkat ada
penggunaan bersama simetidin. Harus berhati-hati pada orang dengan sirosis.
Hasil studi yang dilakukan Tae Hyeung Kim, Byeung Song Lee, dan Wook Mok
Sohnmen dapatkan bahwa ivermectin dosis tunggal 12 mg pada studi acak 21
pasien didapat hasil lebih efektif daripada albendazol 400 mg dosis tunggal.
Tiabendazol juga merupakan pengobatan yang efektif untuk CLM. Namun
ivermectin dan tiabendazol sukar didapat sehingga disarankan pengobatan dengan
albendazol dosis tunggal.

BAB III
LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID

A. DEFINISI

Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah suatu penyakit kulit yang


bersifat kronis, lebih sering mengenai wajah yang ditandai oleh bercak pada kulit
yang eritematous, berbatas jelas dengan ukuran bervariasi, terdapat skuama,
cenderung sembuh meninggalkan bekas berupa atrofi dan pigmentasi.

Lupus Eritematosus Diskoid adalah suatu penyakit kulit menahun yang


ditandai dengan peradangan dan pembentukan jaringan parut yang terjadi pada
wajah, telinga, kulit kepala dan kadang pada bagian tubuh lainnya. 

Lesi (kelainan) kulit ini tampak sebagai bercak kemerahan yang bersisik


dan berkeropeng, yang jika membaik akan meninggalkan jaringan parut berwarna
putih. Bagian tengahnya berwarna lebih terang dan bagian pinggirnya berwarna
lebih gelap dari kulit yang normal.  Jika lesi timbul di daerah yang berambut
(misalnya dagu atau kulit kepala), maka bisa terjadi pembentukan jaringan parut
yang permanen dan kerontokan rambut.

B. ETIOLOGI

Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi diduga merupakan suatu reaksi
kekebalan tubuh yang secara keliru menyerang kulit yang normal.  Penyakit ini
cenderung diturunkan dan 3 kali lebih sering menyerang wanita. Pada beberapa
penderita, timbulnya lesi kulit dipicu oleh sinar matahari dan merokok. 

C. PATOFISIOLOGI
Merupakan penyakit autoimun yang menyerang sistim konektif dan
vaskuler. Dihubungkan dengan adanya faktor genetik dan mutasi somatik.
Mutasi somatik mulai pada sel asal limfositik pada orang yang mempunyai
predisposisi. Presipitasi faktor antara lain trauma, stres, sinar matahari, infeksi,
cuaca dingin dan kehamilan. Dapat diinduksi oleh obat-obatan seperti
prokainamid, hidantoin, griseofulvin, fenilbutason, penisilin, streptomisin,
tetrasiklin dan sulfonamid. Wanita lebih sering dari pada pria, 5% dapat menjadi
LES.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Bercak kemerahan yang khas bisa terus menerus ada atau hilang timbul
selama bertahun-tahun. 
2. Bentuk bercak ini berubah-ubah setiap saat, pada awalnya berbentuk bulat
dan merah, dengan diameter sekitar 0,5 cm. 
3. Biasanya muncul di pipi, hidung, kulit kepala dan telinga, tetapi dapat juga
ditemukan di batang tubuh sebelah atas, lengan dan dada.
4. Sering ditemukan luka di mulut. 
5. Jika kelainan ini tidak diobati, setiap bercak secara perlahan akan menyebar
ke daerah di sekelilingnya. Bagian tengah mengalami degenerasi dan
membentuk jaringan parut. 
6. Pada daerah yang bersisik,  folikel rambut melebar, meninggalkan lubang
yang berbentuk seperti paku karpet. Jaringan parut dapat menyebabkan
kerontokan rambut yang meluas. 
7. Bercak kemerahan bisa disertai dengan nyeri pada sendi dan penurunan
jumlah sel darah putih. 
8. Lesi berupa makula eritematous yang berbatas jelas dengan sumbatan keratin
pada folikel rambut serta terdapat skuama.
9. Bila lesi-lesi di atas hidung dan pipi berkonfluens dapat berbentuk seperti
kupu-kupu (butterfly eritema).
10. Dapat meninggalkan sikatriks, atrofik, kadang-kadang hipertropik, bahkan
distorsi telinga atau hidung.
11. Lebih cepat residif bila kena sinar matahari.
12. Lesi dapat terjadi dimukosa : oral, vulva dan konjungtiva.
13. Beberapa tipe DLE / varian DLE :
a. DLE lokalisata.
b. DLE generalisata.
c. DLE verukosus.
d. LE ‘lichen planus overlap syndrome”.
e. LE “chilblain”.
f. Le “profundus”.
g. DLE “childhood”.

E. PENATALAKSANAAN
1. Penerangan pada penderita :
a. Sifat penyakit.
b. Faktor-faktor pencetus.
c. Menghindari sinar matahari dengan memakai topi, memakai tabir surya.
d. Menghindari trauma, dan lain-lain.

2. Obat-obat tropikal :

a. Kortikosteroid topical seperti : krem fluosinolone 0,025%,


betametason 17 valerat 0,1%, triamsinolon asetonid 0,1%, fluosinolon
0,2% dan klobetasol propionat.
b. Kartikosteroid intra lesi : Triamsinolon asetonid 5 – 10 mg/ml, diberikan
0,05 – 0,3 ml pada tiap lesi.

3. Obat-obat oral :

a. Obat anti malaria : Klorokuin sulfat (Nivaquine) 200 mg 2 x/hari,


diturunkan setelah 6 minggu sesuai perbaikan klinis. Hidroksi klorokuin
(Plaquenil) 400 – 800 mg, 2 x/hari.
b. Obat-obat lain : B keraton 3 x 50 mg/hari, klofasimin 100 m, depsone 100
mg/hari, etretinat 1 mg/kg BB/hari, Isotretinoid 780 mg/hari,
siklofosfamid 50 – 200 mg dan asatioprin.
 Bercak kemerahan kecil biasanya berhasil diobati dengan krim
kortikosteroid. 
 Bercak lebih besar yang lebih resisten, kadang memerlukan pengobatan
selama beberapa bulan dengan kortikosteroid per-oral (ditelan) atau
dengan obat imunosupresan seperti yang digunakan untuk mengobati
lupus eritematosus sistemik. 
 Krim steroid yang kuat sebaiknya dioleskan pada bercak kulit sebanyak 1-
2 kali/hari, sampai bercak menghilang. Jika bercak sudah mulai berkurang,
bisa digunakan krim steroid yang lebih ringan. 
 Salep cortison yang dioleskan pada lesi seringkali dapat memperbaiki
keadaan dan memperlambat perkembangan penyakit. 
 Suntikan cortison ke dalam lesi juga bisa mengobati keadaan ini dan
biasanya lebih efektif daripada salep. 
 Lupus diskoid tidak disebabkan oleh malaria. Tetapi obat anti malaria
(cloroquine, hydroxycloroquine) memiliki daya anti peradangan yang
ampuh bagi sebagian besar kasus lupus diskoid. 
 Jika penderita mendapatkan anti malaria, maka sebaiknya penderita
menjalani pemeriksaan darah dan mata secara rutin. 
 Pemberian steroid per-oral (ditelan) biasanya tidak perlu dilakukan
kecuali pada kasus yang berat. 
 Penderita yang sensitif terhadap sinar matahari perlu menggunakan tabir
surya dengan SPF 15 atau lebih setiap harinya dan menggunakan topi jika
bepergian keluar rumah. 
 Pemeriksaan rutin sangat penting dan sebaiknya dilakukan 6 bulan-1 tahun
sekali guna memastikan bahwa penyakitnya tidak menyebar ke organ
dalam dan untuk meminimalkan pembentukan jaringan parut.

SINDROM STEVEN-JOHNSON
A. DEFINISI

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis


erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain
sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema
poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dan lain-lain.
Istilah eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya merujuk pada
kelainan kulitnya saja.

Bentuk klinis Sindrom Steven-Johnson (SSJ) berat jarang terdapat pada


bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita Sindrom
Steven-Johnson (SSJ) dari pada perempuan. Tidak terdapat kecenderungan rasial
terhadap Sindrom Steven-Johnson (SSJ) walaupun terdapat laporan yang
menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.

B. ETIOLOGI
1. Etiologi Sindrom Steven-Johnson (SSJ) sukar ditentukan dengan pasti karena
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering
dikaitkan dengan respons imun terhadap obat.
2. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur,
bakteri, parasit).
3. obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif).
4. makanan (coklat).
5. fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X).
6. lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
7. Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan
sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21
hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka
hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu
macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan
kausal.
8. Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat,
sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
9. Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi
berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap
obat-obatan penyebab.

C. PATOFISIOLOGI

Etiologi Sindrom Steven-Johnson (SSJ) sukar ditentukan dengan pasti,


karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan
dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya Sindrom
Steven-Johnson (SSJ) diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat
(salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),
makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit
polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis Sindrom Steven-Johnson (SSJ)
sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah
reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.

D. MANIFESTASI KLINIS

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.

Setelah itu akan timbul lesi di :

 Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir
seluruh tubuh.
 Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta
berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal,
muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis
merupakan gambaran utama.

 Mata : konjungtivitas kataralis, blefaro konjungtivitis, iritis, iridosiklitis,


kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa
okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler
yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun.

E. PENATALAKSANAAN

Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :

 Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

 Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji


resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

 Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,


kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat
dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap
steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen


maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.
Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5
tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan


alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari.

Anda mungkin juga menyukai